Skripsi Pembangunan Borongan

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Skripsi Pembangunan Borongan as PDF for free.

More details

  • Words: 19,536
  • Pages: 96
BAB I PENDAHULUAN 1 A. Latar Belakang Perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar manusia dan mempunyai peranan yang strategis dalam pembentukan watak serta kepribadian kehidupan dan penghidupan masyarakat. Perumahan dan pemukiman tidak dapat dilihat sebagai sarana kebutuhan kehidupan semata-mata, tetapi lebih dari itu merupakan proses bermukim manusia dalam menciptakan ruang kehidupan untuk memasyarakatkan dirinya dan menampakkan jati diri. Pembangunan perumahan di Indonesia pada saat sekarang ini merupakan hal yang sangat penting. Hal ini disebabkan oleh karena pertambahan jumlah penduduk tidak diikuti dengan terpenuhinya kebutuhan akan perumahan dalam arti yang layak, sehat aman dan serasi. Untuk memenuhi kebutuhan akan perumahan itulah, maka tidak mengherankan pada saat sekarang ini banyak pihak yang saling berlomba untuk mengelola usaha (proyek) pembangunan perumahan. Peran serta dalam usaha pembangunan perumahan merupakan sektor yang dianggap relevan dalam konteks derap langkah pembangunan di Indonesia. Kebutuhan akan perumahan di Indonesia setiap tahun semakin meningkat, sedangkan areal pertanahan yang tersedia tetap dan dirasakan semakin sempit. Selain itu harga bahan-bahan bangungan semakin melambung setiap waktu dan menyebabkan harga rumah semakin mahal dan sulit terjangkau. Hal ini disebabkan oleh karena harga yang semakin tinggi itu tidak diimbangi dengan pendapatan

2

perkapita masyarakat. Namun yang jelas walaupun pendapatan perkapita masyarakat belum mampu untuk mendapatkan rumah yang sesuai dengan idamannya, pembangunan perumahan dalam kenyataan masih tetap terus berjalan oleh karena permintaan dari kalangan menengah keatas terus bertambah. Dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1998 diamanatkan bahwa pembangunan perumahan dan pemukiman bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan tempat tinggal baik kualitas maupun kuantitas, dan untuk meningkatkan mutu lingkungan hidup, memberi arah pada pertumbuhan wilayah, memperluas kesempatan kerja serta menggerakkan kegiatan ekonomi dalam rangka peningkatan dan pemerataan rakyat. Menurut Prijono Tjiptoherijanto, tingginya tingkat permintaan masyarakat akan perumahan pada dasarnya dipengaruhi beberapa faktor, yaitu : 1. Karena pendapatan masyarakat akan meningkat. Diperkirakan income elasticity of demand for housing yang tinggi mencapai sekitar delapan. Ini berarti permintaan untuk rumah akan naik delapan kali lipat, seiring dengan peningkatan satu unit pendapatan masyarakat. 2. Kenaikan harga yang diimbangi oleh kemudahan dalam sumber pembiayaan. Seperti dalam hukum ekonomi, permintaan yang diimbangi oleh penawaran akan diantisipasi melalui kenaikan harga. Namun kenaikan harga yang diharapkan akan meredam permintaan dan ditambah lagi kenaikan pada persentase uang muka dan suku KPR, diimbangi dengan kemudahan pemberian kredit-kredit perumahan oleh perbankan sehingga permintaan cenderung untuk tetap tinggi. 3. Masalah kependudukan, baik yang menyangkut pertambahannya maupun permintaannya. Dewasa ini pembangunan perumahan belum dapat mengimbangi kebutuhan yang terus meningkat, khususnya di kota-kota. Bahkan terdapat kecenderungan pembangunan perumahan penduduk dan kualitas hidup kota. 4. Tingkat suku bunga yang akan menentukan, pilihan prilaku investasi dalam bentuk fixed asset seperti rumah, tanah, kenderaan dan liquid assets demand terhadap rumah akan tetap tinggi. Kondisi ini terutama apabila kepemilikan rumah merupakan investasi jangka panjang. Terakhir, perilaku manusia yang berkaitan dengan harapan masyarakat

3

menyangkut prestise, serta keinginan mendapatkan fluktuasi capital gain harga rumah.1 Mantan Ketua Umum Real Estate Indonesia Muhammad S. Hidayat juga mengatakan hal yang senada yaitu : Sebaiknya pola pembangunan perumahan dibagi dalam dua kategori. Pertama rumah sederhana dengan kriteria dan identifikasi yang jelas, dan kedua rumah mewah yang dibiarkan berjalan tanpa regulasi. Prospek di bidang pembangunan perumahan akan tetap cerah, sepanjang aturan pemerintah jelas, dan komitmen yang menyalurkan KPR bisa dilaksanakan. Soalnya rumah adalah kebutuhan primer, terutama bagi golongan menengah kebawah. Hanya saja aturannya meski baku, jelas dan berdimensi jangka panjang serta konsekuen dijalankan.2 Sasaran utama yang mau dicapai dalam pembangunan perumahan dan pemukiman adalah pengadaan rumah bagi masyarakat khususnya masyarakat golongan pendapatan rendah. Untuk itu perlu ditingkatkan upaya pembangunan perumahan dan pemukiman yang harganya terjangkau oleh masyarakat, terutama golongan yang berpenghasilan rendah dengan tetap memperhatikan persyaratan menimum bagi perumahan, dan atau pemukiman yang layak, aman, sehat dan serasi. Hal penting yang harus diperhatikan dalam pembanguan perumahan dan pemukiman adalah perlunya memperhatikan kondisi dan pengembangan nilai-nilai sosial budaya dan masyarakat, laju pertumbuhan penduduk serta penyebarannya pusat-pusat produksi dan tata guna tanah dalam rangka membina kehidupan masyarakat yang maju. Dengan kata lain pembangunan perumahan dan pemukiman harus dapat mendorong perilaku hidup yang sehat dan tertib serta ikut mendorong kegiatan pembangunan disektor lain. 1 Prijono Tjiptoherijanto, Perumahan dan Pembangunan, Warta Ekonomi No. 182/Th. XVI/25, November , 2006, hal. 23. 2 Mohammad S. Hidayat, Pola Pembangunan Perumahan Belum Tepat, (Media Indonesia : Jakarta) 24 April 2004, hal. 4.

4

Pembangunan perumahan dan pemukiman harus dilaksanakan serta terencana dan terpadu. Harus ada komunikasi dan koordinasi yang baik antara pihak pemerintah dengan pihak pengembang (developer) maupun dengan masyarakat. Peranan Lembaga Keuangan Bank maupun bukan bank sangat diperlukan dalam pembangunan perumahan dan pemukiman oleh karena biaya suatu proyek perumahan tidak kecil dan hal ini tidak mungkin ditanggulangi secara mandiri oleh pihak pengembang (developer). Dengan adanya komunikasi dan koordinasi yang baik antara pihak-pihak yang terkait dalam pembangunan perumahan dan pemukiman maka pembangunan perumahan itu dapat terlaksana dengan baik dalam arti terarah dan terpadu. Pada

kenyataannya

pihak

pengembang

(developer)

dalam

bidang

pembangunan rumah menginginkan agar rumah-rumah yang telah dibangun dan layak huni tersebut dapat terjual secepatnya dengan harga yang sesuai dengan yang telah ditentukan. Selain untuk memperoleh keuntungan seperti yang diharapkan, hal ini juga diinginkan pihak pengembang (developer) untuk menutupi biaya operasional atas rumah-rumah yang telah dibangunnya. Namun kenyataan yang didapat oleh pihak pengembang adalah lain, meskipun permintaan masyarakat akan perumahan terus meningkat tetapi bukan berarti masyarakat akan sangat membutuhkan rumah dapat membayarnya secara kontan. Dengan kata lain sebenarnya pihak pengembang (developer) sudah terlebih dahulu memperhitungan bahwa daya beli masyarakat terhadap perumahan yang dibangun hanya mungkin terlaksana dengan cara mencicil atau melalui kredit pemilikan rumah yang diadakan oleh pihak bank maupun lembaga keuangan lain

5

bukan bank. Pembayaran secara mencicil atau kredit ini harus diikat dengan suatu perjanjian yang bertujuan untuk menjaga kepastian hukum para pihak supaya tidak dirugikan, terutama pihak pengembang dalam bidang perumahan oleh karena biasanya dalam suatu kredit perumahan yang sering melakukan wanprestasi adalah pihak pembeli dengan tidak membayar cicilannya. Walaupun kadangkala ada juga pihak pengembang yang melakukan wanprestasi seperti tidak menyelesaikan pembangunan rumah tepat pada waktunya sesuai dengan yang diperjanjikan. Perjanjian kredit dalam bidang perumahan biasanya disebut dengan perjanjian kredit pemilikan rumah. Penulis melihat bahwa perjanjian kredit pemilikan rumah yang berkembang sekarang adalah modus yang baru apabila dikaitkan dengan segi-segi perjanjian yang tertuang dalam KUH Perdata. Hal ini dikarenakan oleh pada saat sekarang ini perjanjian kredit pemilikan rumah yang dilakukan antara lembaga keuangan bank ataupun lembaga keuangan non bank dengan pihak nasabah (pembeli) biasanya telah tertuang dalam kredit pemilikan rumah tersebut mengacu kepada ketentuan-ketentuan perjanjian kredit yang dilakukan sebagaimana layaknya digunakan dalam praktek dunia perbankan. Selain hal tersebut diatas, penulis juga melihat bahwa perjanjian kredit pemilikan rumah yang banyak dilakukan sekarang menyerupai perjanjian jual beli cicilan dan perjanjian sewa beli, yang keduanya merupakan wujud baru dari perkembangan hukum perjanjian. Dimana dalam pelaksanaannya diikuti dengan pemberian jaminan sebagaimana layaknya perjanjian kredit dalam dunia perbankan.

6

Beberapa hal tersebut diataslah yang mendorong penulis untuk membahas perjanjian kredit pemilikan rumah dari aspek hukum perdata, dengan acuan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian yang ada dalam KUH Perdata. B. Permasalahan Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam skripsi ini adalah : 1. Apakah ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata, masih dipakai dalam perjanjian kredit pemilikan rumah ? 2. Apakah syarat-syarat pembebanan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah mengikuti syarat-syarat sahnya suatu hak tanggungan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan ? C. Tujuan Dan Manfaat Penulisan Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan dari penulisan skripsi ini adalah : 1. Untuk mengetahui ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata yang masih dipakai dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. 2. Untuk menjelaskan syarat-syarat pembebanan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah mengikuti syarat-syarat sahnya suatu hak tanggungan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan.

Sedangkan manfaat penulisan ini adalah : 1. Segi teoritis

7

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sekedar sumbangan pemikiran dalam rangka pengembangan ilmu hukum pada umumnya, perkembangan Hukum Perdata khususnya mengenai perjanjian kredit pemilikan rumah. b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan informasi kepada pendidikan ilmu hukum mengenai pelaksanaan kaidahkaidah hukum di abad ini. c. Penelitian ini diharapkan dapar memberikan sumbangan pemikiran kepada pembuat undang-undang dalam menetapkan kebijaksanaan lebih

lanjut

sebagai

upaya

menciptakan

perumahan

dan

pemukiman yang aman, serasi dan tertib di masyarakat. 2. Segi Praktis Penelitian ini di harapkan dapat memberikan masukan kepada apartur negara dan pihak-pihak lainnya dalam membuat peraturan yang mengatur mengenai perjanjian kredit pemilikan rumah.

D. Keaslian Penulisan Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti diketahui bahwa penelitian tentang tinjauan yuridis terhadap perjanjian kredit pemilikan rumah belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perjanjian kredit pemilikan rumah. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, obyektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan

8

kebenarannya secara ilmiah dan terbuka atas masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah

E. Metode Penelitian 1. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi

penelitian

yang

digunakan

adalah

deskriptip

analitis

yang

menggambarkan secara sistematis data mengenai masalah yang akan dibahas. Data yang terkumpul kemudian dianalisis secara sistematis sehingga dapat ditarik kesimpulan dari keseluruhan hasil penelitian. 2. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif, yaitu Penelitian Hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder, berupa hukum positif dan bagaimana penerapannya dalam praktik di Indonesia. 3. Metode Penelitian Metode penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan, yaitu kegiatan mengumpulkan data-data sekunder yang terdiri dari: 1) Bahan hukum primer yaitu ketentuan-ketentuan dalam peraturan kekuatan

perundang-undangan hukum

mengikat,

yang

baik

mempunyai

peraturan

yang

dikeluarkan oleh pemerintah Republik Indonesia maupun peraturan yang diterbitkan oleh negara lain dan badanbadan internasional.

9

2) Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu menganalisa dan memahami bahan hukum primer. 3) Bahan hukum tertier yaitu bahan-bahan hukum yang memberikan informasi dan penjelasan mengenai bahan hukum primer dan sekunder. 4. Analisa Data Metode analisis yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis normatif kualitatif. Dengan demikan akan merupakan analisis data tanpa mempergunakan rumus dan data matematis.

F. Sistematika Penulisan Bab I

Pendahuluan Pada bab ini berisikan latar belakang penulisan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

Bab II Pengertian Perjanjian Pada Umumnya Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang pengertian perjanjian dan dasar hukum perjanjian, syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, jenis-jenis perjanjian dan berakhirnya perjanjian. Bab III Peranan Jaminan Dalam Kredit Pemilikan Rumah

10

Pada bab ini penulis akan menjelaskan tentang jaminan dan pengertian hukum jaminan secara umum, hak-hak kebendaan yang dapat dijadikan jaminan

dalam perjanjian

kredit

pemilikan

rumah, syarat

sahnya

pembebanan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, berakhirnya pembebanan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Bab IV Tinjauan Juridis Tehadap Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Dalam bab ini penulis akan menjelaskan tentang perjanjian kredit pemilikan rumah merupakan perjanjian baku, pihak-pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, dan hal-hal yang diperjanjikan dalam kredit pemilikan rumah. Bab V Kesimpulan dan Saran Pada bab ini penulis akan memberikan kesimpulan dari pembahasanpembahasan dari permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini dan mencoba memberikan beberapa saran kepada pihak-pihak yang berkepentingan

11

BAB II PENGERTIAN PERJANJIAN PADA UMUMNYA

A. Pengertian Perjanjian dan Dasar Hukum Perjanjian Hukum perjanjian diatur didalam Bukum ke III KUH Perdata yang menggunakan kata “persetujuan untuk menyatakan perjanjian”. Dalam memberikan arti yang sebenarnya daripada suatu perjanjian tidaklah semudah menyebutkannya, melainkan merupakan suatu permasalahan para ahli hukum didalam memberikan rumusan perjanjian tersebut. Secara juridis pengertian perjanjian dijumpai didalam pasal 1313 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”. Selain pengertian perjanjian menurut pasal tersebut diatas, ada juga beberapa pendapat sarjana yang memberikan rumusan tentang perjanjian, antara lain Mariam Darus Badrulzaman. Beliau tidak memakai istilah perjanjian tetapi memakai istilah perikatan dalam mengemukakan pendapatnya : “Perikatan adalah hubungan yang terjadi antara dua orang atau lebih, yang terletak didalam lapangan harta kekayaan, dimana pihak yang satu berhak atas sesuatu prestasi, sedangkan pihak yang lain wajib memenuhi prestasi itu.”3 3 Mariam Darus Badrulzaman (I), KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan

12

11 Sedangkan Wirjono Prodjodikoro, mengatakan : “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum mengenai harta kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain menuntut pelaksanaan perjanjian itu.”4 Selanjutnya KMRT. Tirtodiningrat mengatakan : “Perjanjian adalah suatu hubungan hukum benda antara dua pihak atau lebih, dimana pihak kesatu berkewajiban memenuhi sesuatu yang menjadi hak dan dapat dituntut oleh pihak lain.”5 Dari perumusan-perumusan yang dikemukakan oleh para sarjana diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa perjanjian mengandung pengertian sebagai berikut : “Perhubungan hukum atau peristiwa hukum, dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dua pihak saling mengikatkan dirinya atau saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal atau tidak melakukan sesuatu hal yang dapat dituntut pelaksanaannya oleh satu pihak apabila pihak lain tidak memenuhi janjinya.” Bertolak dari beberapa pendapat sarjana diatas juga dapat ditemukan unsur yang penting di dalam suatu perjanjian. Unsur tersebut adalah hubungan hukum yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang atau lebih yang memberikan hak pada pihak yang satu dan kewajiban pada pihak yang lainnya. Hubungan hukum dalam Penjelasan), (Alumni : Bandung), 1996, hal. 1. 4 Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Sumur : Bandung), 2002, hal. 9. 5 KMRT Tirtodiningrat, Ichtiar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Pembangunan : Jakarta), 1991, hal. 53.

13

perjanjian bukan suatu hubungan yang dapat timbul dengan sendirinya. Hubungan hukum dalam perjanjian tercipta oleh karena adanya tindakan hukum (recht handeling), yang dilakukan oleh para pihak sehingga terhadap satu pihak diberikan hak untuk memperoleh suatu prestasi sedangkan pihak lain menyediakan diri untuk dibebani dengan kewajiban untuk menunaikan atau melaksanakan prestasi tersebut. Jadi satu pihak memperoleh hak dan pihak lain memikul kewajiban. Pihak yang berhak atas suatu prestasi biasanya disebut dengan kreditur, sedangkan pihak yang wajib menunaikan atau melaksanakan prestasi biasanya disebut dengan debitur. Suatu perjanjian harus dianggap lahir pada waktu terjadinya suatu kata sepakat antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian. Orang yang akan membuat perjanjian harus menyatakan kehendaknya untuk bersedia mengikatkan diri. Pernyataan kedua belah pihak yang berkehendak untuk mengikatkan diri inilah yang disebut dengan kata sepakat. Pasal 1338 KUH Perdata menetapkan bahwa segala perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang untuk mereka yang membuatnya. Maksud suatu perjanjian dibuat secara sah adalah bahwa perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan undang-undang dan mengikat kedua belah pihak. Perjanjian itu pada umumnya tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan persetujuan kedua belah pihak atau berdasarkan alasan-alasan yang ditetapkan oleh undang-undang. Dalam Pasal 1338 KUH Perdata itu pula ditetapkan bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini berarti cara menjalankan suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kepatutan dan keadilan. Misalnya, seorang kreditur dapat dikatakan bertentangan dengan itikad baik apabila ia menuntut

14

pelaksanaan suatu perjanjian justru pada saat yang sangat merugikan debitur (siberhutang) sedangkan keadaan ini diketahui oleh kreditur itu sendiri. Selanjutnya Pasal 1347 KUH Perdata menetapkan bahwa hak-hak atau kewajiban-kewajiban yang sudah lazim diperjanjikan dalam suatu perjanjian (gebruikelijke beding), meskipun pada suatu waktu tidak dimasukkan dalam surat perjanjian, harus juga dianggap tercantum dalam surat perjanjian. “Oleh karena apa yang dinamakan gebruikelijke beding ini menurut undangundang harus dianggap sebagai dicantumkan didalam perjanjian, akibatnya ia dapat menyingkirkan suatu pasal undang-undang yang tergolong hukum pelengkap (aanvullend recht), sebagaimana halnya dengan kebanyakan pasalpasal dalam Buku III KUH Perdata.”6 Misalnya, dalam suatu kalangan perdagangan tentang suatu macam barang yang sudah lazim diperjanjikan bahwa resiko terhadap barang dipikul oleh sipenjua sampai pada saat penyerahannya kepada sipembeli, maka tuntutan seorang penjual untuk mendapatkan pembayaran harga barang yang telah hapus sebelum barang itu diserahkan harus ditolak oleh hakim meskipun pasal 1460 KUH Perdata menetapkan bahwa resiko terhadap barang yang tertentu harus dipikul oleh sipembeli. Dalam hal ini dapat diartikan bahwa pasal-pasal resiko ini tergolong hukum pelengkap, yang akan berlaku oleh pihak-pihak yang berkontrak apabila tidak mengadakan perjanjian sendiri. Mengenai resiko ini, penulis menganggap sudah selayaknya dan seadilnya, jika dalam suatu perjanjian yang meletakkan suatu kewajiban timbal balik salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dengan sendirinya pihak yang lain juga dibebaskan dari kewajibannya karena memang seorang hanyalah menyanggupi untuk 6 R. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasa : Jakarta), 1978, hal. 117.

15

memberikan suatu barang atau untuk melakukan suatu perbuatan karena ia mengharapkan akan menerima juga suatu barang atau pihak lain akan melakukan suatu perbuatan pula. “Perjanjian-perjanjian adalah merupakan tingkah laku yang sangat luas terutama di dalam masyarakat negara yang berkecimpung di dalam pembangunan. Perjanjian-perjanjian yang memenuhi syarat-syarat, sehingga menjelma menjadi suatu perikatan apabila tidak diindahkan dapat dipaksakan untuk pelaksanaannya dengan suatu keputusan hakim.”7 B. Syarat-Syarat Sahnya Suatu Perjanjian Mengenai syarat-syarat sahnya suatu perjanjian ada diatur didalam Pasal 1320 KUH Perdata. Untuk sahnya suatu peranjian menurut KUH Perdata haruslah emenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian 2. Adaya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian 3. Harus mempunyai objek tertentu 4. Yang diparjanjikan adalah sesuatu sebab yang halal. Keempat syarat tersebut dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu syarat subjektif (syarat nomor satu dan dua) dan syarat objektif (syarat nomor tiga dan empat). Disebut syarat subjektif oleh karena menyangkut orang atau person yang mengadakan perjanjian, sedangkan disebut syarat objektif oleh karena menyangkut mengenai perbuatan yang dilakukan. Bila syarat nomor satu dan nomor dua tidak dipenuhi, maka perjanjiannya adalah batal demi hukum (Pasal 1446 KUH Perdata). Sedangkan kalai syarat yang 7 Mariam Darus Badrulzaman (II), Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Medan), 1999, hal. 11.

16

nomor tiga dan nomor empat yang tidak dipenuhi maka perjanjiannya dapat dimintakan pembatalan. Diadakan pembedaan demikian oleh karena kalau tidak dipenui syarat nomor satu dan syarat nomor dua (syarat subjektif), maka orang luar tidak dapat melihatnya, misalnya sewaktu menutup perjanjian, salah satu pihak masih dibawah umur atau kata sepakatnya (persetujuannya) karena penipuan, kesilapan atau paksaan. Oleh karena itu hal tersebut harus diajukan kepada Hakim dan dibuktikan. Sedangkan kalau syarat nomor tiga dan nomor empat (syarat objektif) tidak dipenuhi maka hal ini dapat segera dilihat atau diketahui oleh hakim. Ad.1. Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian Adanya kata sepakat dari mereka yang mengadakan perjanjian, maksudnya adalah keduabelah pihak yang mengadakan perjanjian harus sepakat, setuju, seiya sekata mengenai hal-hal yang pokok dalam perjanjian yang diadakan untuk itu. Apa yang dikehendaki oleh satu pihak juga dikehendaki oleh pihak lain. Keduabelah pihak menghendaki sesuatu cara timbal balik, misalnya si pembeli menginginkan suatu barang dari si penjual. Dengan diberlakukannya kata sepakat mengadakan perjanjian maka berarti bahwa keduabelah pihak mempunyai kebebasan berkehendak. Para pihak tidak mendapat sesuatu tekanan yang mengakibatkan adanya cacad bagi perwujudan kehendak tersebut. Kata sepakat dapat dinyatakan kepada pihak lain dengan mengucapkan secara tegas, tertulis atau diam-diam misalnya dengan menguapkan kata setuju, accord (acc),

17

atau ok. Secara tertulis misalnya kedua belah pihak bersama-sama membubuhkan tandatangan dibawah pernyataan keduabelah pihak sebagai tanda bukti tertulis bahwa keduabelah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera diatas tulisan tersebut. Pernyataan sepakat dapat juga dilakukan secara diam-diam yaitu dengan tingkah laku atau dengan kata-kata misalnya : “barangsiapa yang melangkahkan kaki masuk ke Tram/bus, maka secara diam-diam telah terjadi suatu perjanjian yang meletakkan kewajiban kepada keduabelah pihak (wederkerige overeenkomst), yaitu dari pihak si penumpang untuk membayar karcis menurut tarip dan dari pihaknya kodektur, yang bertindak atas nama maskapai tram/bus, untuk mengangkut penumpang itu dengan aman ketempat hendak ditujunya.”8 Para pihak dalam menyatakan kata sepakat harus bebas, artinya betul-betul atas kemauan secara sukarela, tidak ada paksaan, kesilapan ataupun penipuan (Pasal 1321 KUH Perdata). Apabila terjadi suatu kesepakatan yang diberikan oleh karena kesilapan atau paksaan serta penipuan maka atas kesepakatan tersebut dapat dilakukan pembatalan (vernietigbaar, voidable). Hal ini disebabkan oleh karena kesepakatan tersebut mempunyai suatu kehendak yang cacad. Hal ini sesuai dengan yang dikatakan oleh Mariam Darus Badrulzaman, yaitu: “Bahwa kata sepakat mengadakan perjanjian berarti kedua belah pihak harus mempunyai kebebasan kehendak. Para pihak tidak mendapatkan suatu tekanan yang mengakibatkan adanya “cacad” bagi perwujudan kehendak tersebut.”9 Yang dimaksud paksaan dalam hal ini bukanlah paksaan dalam arti yang 8 R. Subekti, Op.Cit., hal. 112. 9 Mariam Darus Badrulzaman (II), Op.Cit, hal. 163.

18

absolut, sebab dalam hal yang demikian perjanjian sama sekali tidak terjadi, misalnya seseorang yang secara paksa memegang tangan orang lain yang lebih lemah untuk membubuhkan tandatangannya pada kertas perjanjian. Menurut Pasal 1324 KUH Perdata, paksaan telah terjadi apabila perbuatan itu sedemikian rupa sehingga dapat menakutkan orang yang berpikiran sehat, dan apabila perbuatan itu dapat menimbulkan ketakutan pada orang tersebut bahwa dirinya atau kekayaannya terancam dengan suatu kerugian yang terang dan nyata. Dalam hal ini harus diperhatikan usia, kelamin dan kedudukan orang-orang yang bersangkutan. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa paksaan ialah perbuatan yang menakutkan seseorang yang berpikiran sehat dan menimbulkan ketakutan padanya bahwa dirinya atau harta bendanya terancam kerugian yang besar dan akan menjadi kenyataan. Jadi yang dimaksud dengan paksaan disini adalah paksaan jiwa (psychis) bukan paksaan fisik ataupun kekuatan. Unsur sepakat disini mengandung makna yang dalam bahwa para pihak yang membuat persetujuan telah sepakat atau telah ada persesuaian kehendak atau saling menyetujui kemauan masing-masing yang memang diinginkan oleh para pihak. Ad.2. Adanya kecakapan untuk membuat suatu perjanjian Mengenai cakap atau tidak cakapnya seseorang dalam membuat suatu perjanjian dapat dilihat dari ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa: “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap.” Dari ketentuan Pasal 1329 KUH Perdata diatas dapat dikatakan bahwa selama

19

tidak dilarang oleh undang-undang untuk membuat suatu perikatan maka seseorang dianggap cakap. Pada umumnya orang dianggap cakap untuk melakukan suatu perbuatan hukum apabila ia telah mencapai umur 21 tahun. Sedangkan orang-orang yang dianggap tidak cakap dalam membuat suatu perikatan menurut undang-undang dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1330 KUH Perdata yang mengatakan bahwa orang-orang yang dianggap tak cakap dalam membuat persetujuan-persetujuan adalah: 1. Orang-orang yang belum dewasa 2. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan 3. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah

melarang

membuat

persetujuan-

persetujuan tertentu. Menurut pasal diatas, maka orang yang belum dewasa tidak cakap atau tidak dapat melakukan tindakan hukum. Apabila orang yang belum dewasa ingin melakukan perbuatan hukum maka ia harus diwakili oleh orang tua atau walinya. Orang yang tidak sehat pikirannya tidak mampu menginsyafi tanggung jawab yang dipikul oleh seseorang yang mengadakan suatu perjanjian. Orang yang ditaruh dibawah pengampuan, menurut hukum tidak dapat berbuat bebas dengan harta kekayaannya, sebab kedudukannya sama seperti orang yang tidak dewasa sehingga dalam melakukan perbuatan hukum, harus diwakili oleh pengampunya. Menurut Pasal 108 KUH Perdata seorang perempuan yang bersuami, dalam mengadakan suatu perjanjian memerlukan bantuan atau izin terlebih dahulu dari

20

suaminya karena isteri dianggap tidak cakap bertindak dalam hukum. Dalam Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tanggal 4 Agustus 1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, bahwa Mahkamah Agung menganggap bahwa Pasal 108 dan Pasal 110 KUH Perdata mengenai wewenang seorang isteri untuk melakukan perbuatan hukum dan untuk menghadap didepan pengadilan tanpa bantuan suaminya, tidak berlaku lagi. Artinya bahwa seorang isteri tidak lagi harus dibantu oleh suaminya untuk melakukan perbuatan hukum dan menghadap ke pengadilan. Jadi Pasal 108 dan 110 KUH Perdata tersebut tidak berlaku lagi terhadap seorang isteri berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3/1963 tanggal 4 Agustus 1963. Ad.3

Harus mempunyai objek tertentu Maksud dari harus mempunyai objek tertentu adalah apa yang diperjanjikan

haruslah diketahui jenisnya walaupun pada saat dibuatnya perjanjian tersebut belum ada barang yang diserahkan. Dalam suatu perjanjian harus ada objek yang diperjanjikan oleh karena apabila objek tersebut tidak ada dalam suatu perjanjian, maka perjanjian tersebut akan batal demi hukum. Objek tertentu yang terdapat dalam suatu perjanjian biasanya berbentuk barang. Barang-barang yang dimaksud dalam perjanjian paling sedikit harus ditentukan jenisnya. Bahwa barang itu sudah ada atau tidak ada pada saat dibuatnya perjanjian tersebut adalah tidaklah menjadi suatu keharusan oleh undang-undang, demikian juga mengenai jumlahnya tidak perlu disebutkan asal saja kemudian dapat

21

dihitung atau diterapkan. Jadi wujud dari benda tersebut harus dapat ditentukan pada waktu mengadakan perjanjian. Misalnya A mengadakan perjanjian jual beli sepeda motor dengan B, maka dalam hal ini A sebagai penjual harus dapat menentukan dengan jelsa kepada B sebagai pembeli apa merek dari sepeda motor tersebut dan bagaimana jenisnya. Menurut Pasal 1332 KUH Perdata bahwa hanya barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi pokok persetujuan-persetujuan. Ketentuan ini hanya menyebutkan bahwa barang-barang yang dapat diperdagangkan saja yang menjadi pokok persetujuan-persetujuan, tetapi ketentuan pasal ini tidak mengatakan barang-barang apa saja yang dapat dijadikan objek perjanjian. Mariam Darus Badrulzaman mengatakan : “Barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum antara lain, jalan umum, pelabuhan umum, gedung dan sebagainya tidak dapat dijadikan objek perjanjian.”10 Selanjutnya Pasal 1334 KUH Perdata menyatakan bahwa barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat dijadikan objek perikatan, dapat dijadikan pokok suatu persetujuan. Contohnya perjanjian jual beli sebuah rumah dari suatu warisan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap pihak lain yang baru akan terbuka apabila pewaris meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa perjanjian itu berlangsung sebelum rumah tersebut diwarisi oleh ahli waris.

10 Mariam Darus Badrulzaman (I), Op.Cit, hal. 105.

22

Ad.4

Yang diperjanjikan adalah suatu sebab yang halal Syarat yang terakhir dari sahnya suatu perjanjian adalah suatu sebab yang

halal. Dalam bahasa latin kata sebab disebut causa yang mempunyai arti dasar atau sebab. Sedangkan dalam bahasa Belanda kata sebab disebut oorzack. Menurut Arrest Hoge Raad 17 November 1922, sebab atau causa perjanjian adalah tujuan/sasaran yang akan dicapai oleh kedua belah pihak. Sedangkan yurisprudensi causa ditafsirkan sebagai isi atau maksud dari suatu perjanjian. Undang-undang tidak memberikan pengertian sebab atau causa. Perkataan sebab atau causa ini maksudnya tidak lain dari isi perjanjian itu sendiri. Sebab ini menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian maka perjanjian yang akan dibuat tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan dan ketertiban umum. Jadi pengertian suatu sebab yang halal adalah apa yang diperjanjikan para pihak dalam suatu perjanjian tidak boleh bertentangan dengan kesusilaan, ketertiban umum atau hal-hal yang dilarang oleh undang-undang. Hal ini sesuai dengan yang diatur oleh KUH Perdata pada Pasal 1335 sampai degan Pasal 1337 KUH Perdata. Jadi yang dimaksud dengan sebab atau causa suatu perjajian adalah isi dari perjanjian itu sendiri. Misalnya, pada perjanjian jual beli, dimana pihak penjual menghendaki sejumlah uang dan pihak pembeli menghendaki suatu barang yang dijual oleh penjual untuk menjadi hak miliknya tanpa melanggar ketentuan yang berlaku. Jadi menurut penulis sebaiknya perkataan sebab ini harus segera dihilangkan untuk menghindari adanya kemungkinan salah sangka. Wirjono Prodjodikoro, mengatakan : “Oleh karena causa adalah isi dan tujuan suatu perjanjian, maka tidak

23

mungkin ada suatu persetujuan yang tidak mempunyai causa.”11 Jadi dapat disimpulkan bahwa sebab atau causa harus ada dalam suatu perjanjian, dalam arti bahwa sebab atau causa itu adalah sebab atau causa yang halal, bukan causa yang palsu atau causa yang bertentangan dengan hukum. Dengan demikian apabila suatu perjanjian dibuat dengan isi (causa) yang palsu ataupun bertentangan dengan hukum maka perjanjian yang dibuat tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata), atau dapat dilakukan tanpa diminta oleh pihak-pihak yang bersangkutan atau perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Suatu perjanjian yang tidak mengandung hal tertentu misalnya jual beli gula seberat sepuluh ton tetapi tidak diketahui atau tidak jelas jenis dan kwalitas gula tersebut serta tidak diketahui berapa harga satu ton gula. Sedangkan contoh lain suatu perjanjian yang causanya tidak halal adalah perjanjian jual beli terhadap barang curian dan perjanjian jual beli ganja yang nyata-nyata dilarang oleh undang-undang. Dalam hl ini hakim yang dapat seketika melihat bahwa perjanjian tidak mengandung hal tertentu atau mengandung causa yang terlarang, sehingga ia dapat seketika memutuskan perjanjian tersebut batal demi hukum demi jabatannya tanpa harus diajukan terlebih dahulu ke persidangan. C. Jenis-Jenis Perjanjian Perjanjian dapat dibagi beberapa jenis, yaitu seperti yang diuraikan di bawah ini : 1. Perjanjian timbal balik 11 Wirjono Prodjodikoro, Op.Cit, hal. 8.

24

Perjanjian timbal balik adalah perjanjian dimana kedua belah pihak yang membuat perjanjian timbul kewajiban pokok masing-masing pihak, seperti contonya pada perjanjian jual beli dimana penjual harus menyerahkan barang yang dijualnya dan pembeli harus membayar harga dari barang yang dijual oleh penjual tadi. Begitu pula dengan perjanjian sewa menyewa, dimana pihak yang menyewakan berkewajiban memberikan kenikmatan dari barang yang disewakan, sedangkan pihak yang menyewa harus membayar harga sewa sesuai dengan yang disepakati. Dengan demikian didalam perjanjian timbal balik prestasi para pihak kira-kira adalah seimbang. 2. Perjanjian timbal balik tidak sempurna Perjanjian timbal balik tidak sempurna adalah perjanjian dua pihak secara kebetulan, dimana salah satu pihak timbul prestasi pokok sedangkan pihak lain ada kemungkinan untuk berkewajiban sesuatu tanpa dapat dikatakan dengan pasti bahwa kedua prestasi itu adalah seimbang. Misalnya pada perjanjian pemberian kuasa, dimana penerima kuasa wajib memenuhi sesuatu, tetapi pemberi kuasa tidak mempunyai kewajiban apa-apa terhadap penerima kuasa tadi, kecuali apabila penerima kuasa telah mengeluarkan biaya atau telah diperjanjikan upah. Dalam hal ini pemberi kuasa berkewajiban untuk membayar biaya yang dikeluarkan oleh penerima kuasa dan pemberi kuasa wajib membayar upah yang telah diperjanjikan dengan penerima kuasa. 3. Perjanjian sepihak Perjanjian sepihak adalah suatu perjanjian yang dibuat dimana satu pihak saja yang mempunyai kewajiban pokok. Misalnya pada perjanjian pinjam pakai. Pada

25

perjanjian pinjam pakai ini pihak yang memimjamkan memberikan barang hak miliknya kepada si peminjam untuk dipakai dan pada saat berakhirnya waktu yang diperjanjikan si peminjam wajib mengembalikan barang kepada pihak yang meminjamkan. Dalam perjanjian ini dilihat bahwa pihak yang meminjamkan secara sukarela memberikan barangnya tanpa mempunyai kewajiban apa-apa sebagai pemenuhan prestasi. Sedangkan orang yang meminjam mempunyai kewajiban untuk mengembalikan barang yang sudah dipinjam dan dipakainya kepada pihak yang meminjamkan apabila telah habis waktu yang diperjanjikan sebagai pemenuhan prestasi. Oleh karena itulah maka perjanjian pinjam pakai digolongkan kepada perjanjian sepihak. 4. Perjanjian yang dapat dibuat dengan Cuma-Cuma atau denga alas hak yang membebani Perjanjian dengan alas hak yang membebani adalah perjanjian dimana prestasi dari pihak yang satu selalu ada kontra dari prestasi pihak yang lain dan kedua prestasi ini saling berhubungan. Perjanjian dengan cuma-cuma adalah perjanjian dimana menurut hukum salah satu pihak saja yang menerima keuntungan, misalnya pada pemberian hadiah dimana pihak yang menerima hadiah saja yang memperoleh keuntungan. Perjanjian timbal balik pada umumnya adalah perjanjian dengan alas hak yang membebani, tetapi tidak sebaliknya, misalnya perjanjian pinjam mengganti dengan bunga (Pasal 1754, Pasal 1765 KUH Perdata). Perlu dikemukakan bahwa kadangkadang ada yang disebut perjanjian campuran yaitu perjanjiannya termasuk perjanjian timbal balik tetapi prestasi kedua belah pihak tidak seimbang. Misalnya, ada sebuah

26

rumah yang berharga 100 juta rupiah, tetapi rumah tersebut dijual dengan harga 50 juta rupiah, disini dilihat tidak seimbangnya prestasi. Hal ini dapat saja terjadi dalam praktek, dimana para pihak yang melakukan perjanjian jual beli tersebut bertujuan untuk menghindari dari pembayaran pajak penghasilan sebesar 5 % yang dikenakan terhadap perjanjian jual beli rumah yang nilai jualnya diatas 60 juta rupiah. Jadi harga sebenarnya yang dibayarkan kepada pihak penjual adalah 100 juta rupiah tetapi didalam akta jual beli nilai jual beli yang dicantumkan adalah sebesar 50 juta rupiah. Jika dilihat dari akta jual beli yang dibuat, maka perjanjian diatas merupakan suatu perjanjian campuran antara perjanjian cuma-cuma dengan perjanjian alas hak yang membebani, dengan alasan bahwa perjanjian tersebut mempunyai kedua sifat yang sebahagian merupakan perjanjian dengan cuma-cuma dan sebahagian lagi merupakan perjanjian dengan alas hak yang membebani. Tetapi apabila dilihat dari harga jual beli yang sebenarnya maka perjanjian tersebut merupakan perjanjian dengan alas hak yang membebani karena prestasi kedua belah pihak seimbang. 5. Perjanjian bernama dan perjanjian tidak bernama Perjanjian bernama adalah perjanjian yang ada diatur dalam undang-undang sedangkan perjanjian tidak bernama adalah sebaliknya yaitu tidak ada diatur tersendiri dalam undang-undang. Jadi perjanjian itu bernama atau tidak adalah berdasarkan apakah ada diatur tersendiri dalam undang-undang atau tidak, dan bukan karena perjanjian tersebut mempunyai nama tertentu. 6. Perjanjian obligatoir dan perjanjian kebendaan Perjanjian kebendaan adalah perjanjian untuk menyerahkan hak milik (Hak Eigendom). Sedangkan perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang menimbulkan

27

perikatan yang meletakkan kewajiban kepada kedua belah pihak. Jadi pada perjanjian obligatoir adalah mengikat untuk menyerahkan suatu benda sedangkan pada perjanjian kebendaan adalah penyerahan benda serta hak miliknya kepada pihak lain. 7. Perjanjian konsensuil dan riil Perjanjian konsensuil adalah perjanjian yang dibuat berdasarkan kesepakatan atau persetujuan kehendak, sedangkan perjanjial riil adakah suatu perjanjian yang terjadi tidak hanya berdasarkan kesesuaian kehendak saja tetapi diikuti dengan adanya penyerahan nyata, misalnya pada perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUH Perdata), perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUH Perdata). 8. Perjanjian liberatoir Perjanjian liberatoir adalah kebalikan dari perjanjian obligatoir, yaitu perjanjian yang dibuat untuk membebaskan suatu kewajiban yang sudah ada, misalnya pembaharuan hutang yang diatur pada Pasal 1413 KUH Perdata. Pada Pasal 1413 KUH Perdata disebutkan ada tiga macam jalan untuk melaksanakan pembaharuan hutang, yaitu : 1) Apabila seseorang yang berhutang membuat suatu perikatan utang baru guna orang yang mengutangkan kepadanya, yang menggantikan hutang yang lama, yang dihapuskan karenanya. 2) Apabila seorang berhutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berhutang lama, yang oleh siberpiutang dibebaskan dari perikatannya 3) Apabila, sebagai akibat suatu persetujuan baru,

28

seorang berpiutang baru ditunjuk untuk menggantikan orang berpiutang lama, terhadap siapa siberhutang dibebaskan dari perikatannya. Dari ketentuan pasal diatas maka dapatlah dilihat apa yang dimaksud dengan perjanjian liberatoir, yaitu perjanjian yang dibuat untuk membebaskan suatu kewajiban yang ada. Pada ketentuan pasal diatas si debitur lama dibebaskan kewajibannya untuk membayar hutang kepada kreditur dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. 9. Perjanjian pembuktian dan perjanjian penetapan Perjanjian pembuktian adalah perjanjian dimana para pihak dapat menentukan sendiri apa yang berlaku sebagai pembuktian dalam perjanjian yang dibuat itu. Sedangkan perjanjian penetapan adalah perjanjian yang dibuat untuk menetapkan apa yang menurut hukum akan berlaku antara para pihak tanpa ada maksud menimbulkan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang baru. Sifat perjanjian ini tidak obligatoir tetapi deklaratif dan tidak menimbulkan hal-hal baru tetapi menetapkan apa yang dianggap hubungan hukum yang terjadi antara para pihak. Perjanjian penetapan ini untuk mengakhiri sesuatu yang tidak psati dalam hubungan hukumnya dan untuk mencegah ketidakpastian itu. Misalnya pada peraturan ganti rugi dalam asuransi yang diatur dalam KUH Perdata pada Pasal 1851 mengenai dading.

10. Perjanjian untung-untungan Perjanjian untung-untungan adalah suatu perjanjian yang spekulatif, dimana

29

salah satu pihak ada kewajiban yang tetap dengan harapan adnya kemungkinan akan menerima keuntungan. Misalnya pada perjanjian asuransi, Pasal 1774 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Suatu persetujuan untung-untungan adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak, maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu. Demikian adalah Persetujuan pertanggungan, perjudian dan pertaruhan. Persetujuan yang pertama diatur dalam KUH Dagang.” Dari ketentuan pasal diatas dapatlah dikatakan bahwa perjanjian untunguntungan baru bisa dikatakan untung atau rugi tergantung dari peristiwa yang belum pasti. 11. Perjanjian Hukum Publik (Publiekrechtelijk) Perjanjian hukum publik (publiekrechtelijk) adalah perjanjian yang sebagian atau seluruhnya tunduk pada hukum publik. Penguasa dalam suatu perjanjian dapat bertindak sebagai pihak tetapi kadang-kadang penguasa dalam perjanjian dapat bertindak sebagai penguasa, misalnya memberikan konsesi disini pengusa mengadakan perjanjian memberikan izin untuk mengadakan eksploitasi terhadap suatu perusahaan.

D. Berakhirnya Perjanjian Berakhirnya perjanjian atau biasa disebut hapusnya perjanjian atau bisa juga

30

disebut dengan hapusnya persetujuan, berarti menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan pihak debitur. Ditinjau dari segi teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara pihak kreditur dan pihak debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian. Akan tetapi sebaliknya, dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya mengakibatkan hapusnya persetujuan. Hanya saja dengan hapusnya perjanjian, persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan telah dipenuhi debitur. Contohnya pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga barang oleh pembeli dan diserahkannya barang oleh penjual kepada pembeli maka dengan sendirinya perjanjian telah hapus. Akan tetapi persetujuan jual belinya masih tetap ada pada para pihak. Lain halnya dengan jika persetujuan yang dihapuskan. Umpamanya para pihak menyatakan persetujuan jual beli dibatalkan dengan sendirinya perjanjian jual beli hapus dan para pihak kembali kepada keadaan semula. Jadi jelaslah bahwa jika persetujuan yang dihapuskan, mengakibatkan para pihak harus kembali kepada keadaan semula, seolah-olah diantara para pihak tidak pernah terjadi apa-apa. Lain halnya apabila perjanjian yang hapus, maka tidak mempunyai akibat kembali kepada keadaan semula. Malah yang terjadi, para pihak berada dalam keadaan yang baru, yaitu pihak pembeli mendapatkan barang yang diinginkan dan pihak penjual mendapatkan harga barang yang dijual. Perlu diketahui bahwa perjanjian berbeda dengan perikatan. Walaupun ada anggapan beberapa sarjana seperti M. Yahya Harahap yang menyatakan bahwa

31

perikatan sama dengan perjanjian. Setiap perjanjian adalah merupakan perikatan, sedangkan perikatan tidak semuanya berasal dari perjanjian. Perikatan bersumber dari perjanjian dan undang-undang. Jadi berlaku sebaliknya bahwa tidak semua perikatan itu adalah sebuah perjanjian. Oleh karena setiap perjanjian merupakan suatu perikatan, maka dalam hal hapusnya perjanjian penulis menganggap bahwa hapusnya perikatan sama dengan hapusnya suatu perjanjian. Jadi penjelasan mengenai hapusnya perjanjian selanjutnya adalah sama dengan hapusnya suatu perikatan. Pada Pasal 1381 KUH Perdata ada diatur cara-cara hapusnya perikatan. Dalam pasal ini telah disebut satu persatu cara penghapusan suatu perikatan yang dalam hal ini juga menghapuskan suatu perjanjian. Untuk lebih jelasnya penuli coba menguraikan satu persatu tentang hapusnya perikatan yang ada diatur dalam Pasal 1381 KUH Perdata tersebut. 1. Karena Pembayaran Pembayaran dalah hal ini adalah pembayaran dalam arti yang luas dan tidak boleh diartikan dalam arti yang sempit. Pembayaran dalam arti yang sempit maksudnya adalah seperti yang selalu diartikan orang hanya sebatas pada masalah yang berkaitan dengan pelunasan utang semata-mata. Dan biasanya orang beranggapan bahwa pembayaran dalam arti pelunasan utang biasanya hanya digunakan dalam bentuk uang ataupun barang. Padahal pelunasan utang bisa saja dilakukan dalam bentuk jasa. M. Yahya Harahap berpendapat bahwa : “Mengartikan pembayaran hanya sebatas pada ‘pelunasan hutang’ semata-

32

mata tidaklah selamanya benar. Karena ditinjau dari segi ‘yuridis teknis’, tidak selamanya mesti berbentuk sejumlah uang atau barang tertentu. Bisa saja dengan pemenuhan jasa.”12 Pembayaran prestasi bisa juga dilakukan dengan ‘melakukan sesuatu’, misalnya seorang dokter bedah, dengan melakukan suatu operasi terhadap pasiennya, berarti dokter tersebut telah melunasi pembayaran. Tukang cukur yang telah melakukan suatu perbuatan jasa dapat saja disebut telah membayar prestasi dengan jasa, begitu juga seorang guru privat yang telah memberi pelajaran bisa dianggap telah melakukan suatu pembayaran. Secara yuridis, setiap pembayaran didahului dengan penetapan hutang. Hal ini berarti bahwa pembayaran hutang pada dasarnya adalah perwujudan dari hutang prestasi. Dengan pembayaran yang dilakukan oleh debitur prestasi hapus dengan sendirinya. Namun tidak selamanya pembayaran menghapuskan hutang, misalnya dalam subrogasi, hutang tidak hapus karena yang terjadi hanya pengalihan atau perpindahan hutang. Kedudukan debiturnya saja yang berganti dari debitur yang pertama kepada pihak ketiga yang telah menerima pengalihan hutang. Jadi walaupun debitur semula terlepas dari pembayaran, tetapi hutang semula tadi tidak hapus, dan tanggung jawabnya dipikul oleh pihak ketiga yang telah mengambil alih kedudukan debitur semula. 2. Karena penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan (konsignasi) 12 M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Alumni : Bandung), 2002, hal. 107.

33

Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan ini adalah suatu cara pembayaran untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayar itu diantarkan pada si berpiutang atau diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat. Jikalau si berpiutang menolak pembayaran tersebut, maka barang tersebut disimpan disuatu tempat atas tanggungan si berpiutang. Penawaran dan peringatan tersebut harus dilakukan secara resmi, misalnya oleh seorang jurusita yang membuat proses verbal dari pembuatnnya itu, sedangkan penyimpanan dapat dilakukan dikepaniteraan Pengadilan Negeri, dengan diberitahukan kepada si berpiutang. Jika cara-cara yang ditetapkan dalam undang-undang dipenuhi, dengan disimpannya barang tersebut, si berhutang telah dibebaskan dari hutangnya. Artinya ia dianggap telah melakukan pembayaran secara sah. 3. Pembaharuan hutang Pembaharuan hutang maksudnya adalah para pihak yang terkait dalam suatu perikatan membuat suatu perjanjian baru yang mengakibatkan hapusnya suatu perikatan lama dan menimbulkan suatu perikatan baru. R. Subekti, mengatakan : “Pembaharuan

hutang

ini,

suatu

pembuatan

perjanjian

baru

yang

menghapuskan suatu perikatan lama, sambil meletakkan suatu perikatan baru.”13 Menurut Pasal 1415 KUH Perdata, kehendak untuk mengadakan suatu pembaharuan hutang itu, harus nyata-nyata secara jelas dari perbuatan para pihak 13 R. Subekti, Op.Cit., hal. 156.

34

(dalam pasal ini perkataan akte berarti perbuatan). Suatu pembaharuan hutang misalnya, akan terjadi jika seorang penjual barang membebaskan si pembeli dari pembayaran harga barang, tetapi si pembeli itu disuruh menandatangani suatu perjanjian pinjaman uang yang jumlahnya sama dengan harga barang itu. Pembaharuan hutang dapat juga terjadi, jika si berhutang dengan persetujuan si berpiutang diganti oleh seorang lain yang menganggupi akan membayar hutang itu. Disini juga ada suatu perjanjian baru yang membebaskan si berhutang yang lama dengan timbulnya suatu perikatan baru antara si berpiutang dengan orang baru itu. 4. Kompensasi atau perhitungan hutang timbal balik Kompensasi atau perhitungan timbal balik ini dapat terjadi apabila seorang yang berhutang mempunyai suatu piutang pada si berpiutang. Hal ini mempunyai arti bahwa diantara kedua orang ini masing-masing terdapat suatu hutang dan suatu piutang, sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih hutang piutang satu kepada yang lainnya. Oleh karena itu maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat diperhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut pasal 1426 KUH Perdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya, tidak perlu para pihak menuntut diadakannya prhitungan itu. Untuk perhitungan itu juga tidak diperlukan bantuan siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu sama lain, kedua piutang itu harus mengenai uang atau mengenai sejumlah barang yang semacamnya, misalnya beras atau hasil bumi lainnya dari satu kwalitet. Lagi pula kedua piutang itu harus dapat dengan seketika ditetapkan jumlahnya dan seketika dapat ditagih.

35

5. Pencampuran Hutang Pencampuran hutang ini dapat terjadi seperti misalnya A melakukan perjanjian hutang piutang dengan B, dimana B adalah merupakan orang tua dari A. Jika kemudian B meninggal maka A akan mewarisi hak-hak dari B yang termasuk hak menagih hutang kepada A (dirinya sendiri). Maka dalam hal ini terjadi pencampuran hutang. 6. Pembebasan Hutang Pembebasan hutang ini dapat teradi dengan cara pembuatan perjanjian baru yang berisikan bahwa si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya. Perkataan sukarela berarti bahwa tanpa ada paksaan dari pihak manapun. Dengan demikian perikatan hutang piutang ini hapus atau berakhir karena ada pembebasan ini. R. Subekti, mengatakan bahwa : “Pembebasan hutang ini, suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si berhutang dari segala kewajibannya.”14 Pasal 1439 KUH Perdata menerangkan, bahwa jika si berpiutang dengan sukarela memberikan suatu perjanjian hutang pada si berhutang, itu dapat dianggap sebagai suatu pembuktian tentang adanya suatu pembebasan hutang.

7. Hapusnya barang yang dimaksudkan dalam Perjanjian Menurut Pasal 1444 KUH Perdata, jika suatu barang tertentu yang 14 Ibid, hal. 159.

36

dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh diperdagangkan atau hilang hingga tidak terang keadaannya, maka perikatannya menjadi hapus, asal saja hapus atau hilangnya barang itu sama sejali diluar kesalahan si berhutang dan sebelumnya ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan barang itu, ia pun akan bebas dari perikatan apabila ia dapat membuktikan bahwa hapusnya barang itu disebabkan oleh suatu kejadian di luar kekuasaannya. Barang tersebut juga akan menemui nasib yang sama seandainya barang itu sudah berada di tangannya si berpiutang. Jika si berhutang dengan terjadinya peristiwa-peristiwa yang diuraikan dalam pasal tersebut diatas, telah dibebaskan dari perikatan dengan si berpiutang, lalu ia diwajibkan menyerahkan pada si berpiutang itu segala hak yang mungkin ia dapat lakukan terhadap orang-orang pihak ketiga sebagai pemilik barang yang hapus atau hilang itu. 8. Pembatalan Perjanjian Sebagaimana telah diterangkan, perjanjian-perjanjian yang dibuat oleh orangorang yang menurut undang-undang tidak cakap untuk bertindak sendiri, begitu juga yang dibuat karena paksaan, kekhilafan atau penipuan atau pun mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum, dapat dibatalkan. Pembatalan ini pada umumnya berakibat, bahwa keadaan antara kedua pihak dikembalikan seperti pada waktu perjanjian belum dibuat. Kalau yang dimaksud oleh undang-undang itu untuk melindungi suatu pihak yang membuat perjanjian sebagaimana halnya dengan orang-orang yang masih

37

dibawah umur atau dalam hal telah terjadi suatu paksaan, kekhilafan atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dapat dituntut oleh orang yang hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Akan tetapi, dalam hal yang dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk menjaga ketertiban umum, sebagaimaa halnya dengan perjanjian-perjanjian yang mempunyai sebab yang bertentangan dengan undang-undang kesusilaan atau ketertiban umum, maka pembatalan itu dapat dimintakan oleh siapa saja asal ia mempunyai kepentingan.

BAB III PERANAN JAMINAN DALAM PERJANJIAN

38 38

KREDIT KEPEMILIKAN RUMAH

A. Jaminan dan Pengertian Hukum Jaminan Secara Umum Secara umum jaminan dapat diartikan dengan penyerahan kekayaan atau penyerahan kesanggupan seseorang untuk menanggung pembayaran kembali suatu hutang. Dengan adanya jaminan yang diberikan oleh debitur, maka penyalur kredit tidak terlalu takut apabila debitur suatu waktu melakukan wanprestasi atau cedera janji, oleh karena kreditur masih memiliki agungan yang dapat dijual untuk melunasi hutang debitur. Jaminan hutang dapat dibagi menjadi jaminan umum dan jaminan khusus. Yang dimaksud dengan jaminan umum adalah jaminan dari pihak debitur yang terjadi oleh karena perbuatan hukum itu sendiri dan merupakan sesuatu yang diperintahkan oleh undang-undang bahwa setipa barang bergerak atau tidak bergerak miliknya debitur menjadi tanggungan hutangnya kepada kreditur. Hal ini sesuai dengan Pasal 1131 KUH Perdata yang menyebutkan bahwa : “Segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.” Selanjutnya Pasal 1132 KUH Perdata menyebutkan bahwa : “Kebendaan tersebut menjadi jaminan bersama-sama bagi orang yang mengutangkan padanya, pendapatan penjualan benda-benda itu dibagi-bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang masing-masing, kecuali apabila diantara para berpiutang itu ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.” Dengan demikian, apabila misalnya seorang debitur dalam keadaan

39

wanprestasi, maka lewat kewajiban jaminan umum ini, kreditur dapat minta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitur, kecuali atas harta tersebut ada hak-hak lainnya yang bersifat lebih didahulukan. Sedangkan yang dimaksud dengan jaminan khusus adalah setiap jaminan hutang yang bersifat ‘kontraktual’, yakni yang timbul dari perjanjian tertentu dan tidak timbul dengan sendirinya. Jaminan khusus ini ditujukan terhadap barang-barang tertentu, seperti halnya gadai dan hipotik. Pada hipotik dan gadai barang yang menjadi objek jaminan sudah ditentukan. Disini dapat dilihat bahwa yang menjadi objek jaminan adalah barang tertentu sesuai dengan yang diperjanjikan dan bukan seluruh harta debitur. Thomas Suyatno, et. Al., berpendapat bahwa kegunaan jaminan adalah : 1. Memberikan hak dan kekuasaan kepada bank untuk mendapatkan pelunasan pada barang-barang jaminan tersebut bila nasabah melakukan cedera janji, yaitu tidak membayar kembali hutangnya pada waktu yang telah ditetapkan dalam perjanjian. 2. Menjamin agar nasabah berperan serta dalam transaksi membiayai usahanya, sehingga kemungkinan untuk meninggalkan usahanya, atau proyeknya dengan merugikan diri sendiri atau perusahaannya dapat dicegah atau sekurang-kurangnya kemungkinan untuk berbuat demikian dapat diperkecil terjadinya. 3. Memberi dorongan kepada debitur (tertagih) untuk memenuhi perjanjian kredit, khususnya mengenai pembayaran kembali sesuai dengan syarat pembayaran kembali seperti yang telah disetujui agar tidak kehilangan kekayaan yang telah dijaminkan kepada bank.15 Kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaannya bank harus memperhatikan asas-asas perkreditan yang sehat. Untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas

15 Thomas Suyatno, et. Al., Dasar-Dasar Perkreditan, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta), 1997, hal. 88.

40

kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi hutangnya sesuai dengan yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Untuk mempoleh keyakinan tersebut, sebelum memberi kredit, bank harus melakukan penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan, modal, agungan dan prospek usaha dari debitur. Mengingat bahwa agungan menjadi salah satu unsur jaminan pemberian kredit maka apabila berdasarkan unsur-unsur lain telah dapat diperoleh keyakinan atas kemampuan debitur mengembalikan hutangnya, agungan dapat berupa barang, proyek dan hak tagih yang dibiayai dengan kredit yang bersangkutan. Untuk lebih memperjelsa tentang jaminan, maka penulis akan menguraikan bentuk-bentuk jaminan yang sering digunakan dalam perjanjian kredit. Dalam prakteknya bentuk jaminan yang sering digunakan dalam membuat suatu perjanjian kredit adalah jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. 1. Jaminan Kebendaan Menurut Munir Fuady, yang dimaksud dengan jaminan kebendaan adalah : “Jaminan kebendaan adalah jaminan yang mempunyai hubungan langsung dengan benda tertentu, selalu mengikuti benda tersebut kemanapun benda tersebut beralih atau dialihkan, dapat dialihkan dan dipertahankan terhadap siapapun, misalnya gadai, hipotik, hak tanggungan atas tanah dan sebagainya.”16 Jaminan kebendaan dapat diklasifikasikan kepada dua jenis, yaitu kebendaan atas benda bergerak dan benda-benda tidak bergerak. Jaminan atas benda bergerak dibagi kepada dua bentuk yaitu gadai dan fidusia, sedangkan atas benda-benda tidak bergerak dikenal dengan hipotik dan creditverband yang kemudian diganti dengan 16 Munir Fuady, Hukum Perkreditan Kontemporer, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung), 1996, hal. 70.

41

apa yang disebut dengan Hak Tanggungan. 1.1.

Jaminan atas benda bergerak

1.1.1. Gadai Gadai

merupakan

suatu

jaminan

hutang

yang

diatur

dan

diakui

kelembagaannya oleh peraturan perundang-undangan. Terhadap gadai atas benda bergerak maka yang berlaku adalah ketentuan KUH Perdata. Dasar hukum gadai yang terdapat dalam KUH Perdata dapat dilihat pada Pasal 1150. Batasan gadai yang terdapat pada Pasal 1150 KUH Perdata dikatakan sebagai berikut : Gadai adalah sesuatu hak yang diperoleh seseorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang yang berutang atau orang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada siberpiutang itu secara didahulukan dari orang-orang yang berpiutang lainnya, dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkan setelah barang itu digadaikan, biaya mana harus didahulukan. Dari ketentuan pasal diatas dapat ditemukan beberapa unsur pokok dari gadai, yaitu sebagai berikut : 1) Gadai lahir karena adanya penyerahan kekuasaan atas barang yang digadaikan kepada penerima gadai (kreditur) dari pemberi gadai (debitur). 2) Penyerahan benda gadai dapat dilakukan oleh debitur atau orang lain atas nama debitur 3) Barang-barang yang menjadi objek gadai adalah benda-benda bergerak 4) Kreditur pemegang gadai berhak untuk mengambil pelunasan dari barangbarang gadai lebih dahulu dari pada kreditur lainnya. Gadai sebagai suatu perjanjian pemberian jaminan, merupakan suatu

42

perjanjian yang bersifat riil, maksudnya disamping telah disepakatinya perjanjian jaminan dalam wujud gadai, harus langsung diikuti dengan penyerahan benda yang akan digadaikan tersebut. Penyerahan benda yang menjadi objek gadai secara langsung inilah yang disebut dengan perjanjian yang bersifat riil. Selain perjanjian gadai bersifat riil, perjanjian gadai juga merupakan perjanjian yang bersifat assesoir, yang mempunyai arti bahwa perjanjian gadai merupakan perjanjian tambahan atau suplement dari perjanjian pokok. Sedangkan perjanjian pokok dari gadai adalah perjanjian hutang piutang. Konsekwensi dari sifat assesoir dari gadai menurut J. Satrio adalah sebagai berikut : a. Bahwa sekalipun perjanjian gadainya sendiri mungkin batal karena melanggar ketentuan gadai yang bersifat memaksa, tetapi perjanjian pokoknya tetap berlaku, kalau ia dibuat secara sah. Hanya saja tagihan tersebut kalau tidak ada dasar preferensi yang lain, kreditur berkedudukan sebagai pemilik tagihan konkuren belaka. b. Hak gadainya sendiri tidak dapat dipindahkan tanpa turut sertanya perikatan pokoknya, tetapi sebaliknya......perikatan pokoknya meliputi semua accesoirnya, dalam mana termasuk kalau ada gadainya. Yang demikian sesuai dengan ketentuan Pasal 1533 BW.17 Hartono Hadisoeprapto, menegaskan bahwa benda yang dapat dijadikan objek jaminan dalam bentuk gadai adalah : 1) Benda bergerak yang berujud 2) Benda bergerak yang tidak berujud, yaitu berupa pelbagai hal untuk mendapatkan pembayaran uang, yaitu yang berujud surat-surat piutang yang aan tonder (atas tunjuk), aan order (atas pengganti) serta opnaam (atas nama). Benda-benda tersebut meliputi deposito, promes, wessel, konosemen, obligasi, saham, perhiasan, persediaan barang-barang trtentu misalnya stock tembakau, cengkeh dan lain-lain, kenderaan bermotor dan sebagainya.18 17 J. Satrio (I), Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Citra Aditya Bakti : Bandung), 2001, hal. 111. 18 Hartono Hadisoeprapto, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Liberty : Yogjakarta), 2001, hal. 56.

43

Persyaratan terjadinya jaminan dalam bentuk gadai secara umum dapat disebutkan yaitu harus ada perjanjian gadai dan barang yang digadaikan diserahkan kepada si penerima gadai, dengan demikian apabila benda bergerak dijadikan jaminan dalam suatu perjanjian hutang piutang, maka benda itu harus diserahlepaskan kepada penerima gadai, dengan ketentuan teknis penyerahannya harus didasarkan pada ketentuan Pasal 612 dan 613 KUH Perdata. Setelah benda tersebut diserahkan kepada kreditur, maka lahirlah hak dan kewajiban dalam perjanjian gadai tersebut. Hartono Hadisoeprapto, mengatakan hak dan kewajiban dari penggadaian tersebut adalah : 1) Pemegang gadai mempunyai hak retensi, yaitu hak untuk menahan benda jaminan sampai hutang yang bersangkutan dengan benda itu dilunasi seluruhnya dan selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 1154 KUH Perdata, apabila si berhutang atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya, maka pemegang gadai tidak berhak untuk memiliki benda jaminan tersebut. 2) Pemegang gadai mempunyai hak untuk menjual benda jaminan atas kekuasaan sendiri, apabila debitur atau pemberi gadai tidak memenuhi kewajibannya dalam waktu yang ditentukan. Dari hasil penjualan itu pemegang gadai mengambil untuk pelunasan jumlah piutang beserta bunganya dan biaya-biaya yang dikeluarkan.19 Hak gadai tersebut berakhir apabila perjanjian hutang piutang berakhir, dan barang yang digadaikan tersebut telah dikembalikan kepada si pemberi gadai. Tegasnya perjanjian penjaminan dalam bentuk gadai berakhir dengan sendirinya apabila hutang perutangan pokok telah dilunasi. 1.1.2. Fiducia Fiducia Eigendoms Overdracht atau penyerahan atas hak milik berdasarkan 19 Ibid., hal. 60.

44

kepercayaan ini, belum diatur secara yuridis dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kehadirannya yang dianggap sebagai lembaga jaminan baru diantara lembaga-lembaga jaminan yang ada sebelumnya diakui dalam tingkat lembaga peradilan. Pengakuan dalam tingkat lembaga peradilan ini diwujudkan dalam bentuk yurisprudensi. Tetapi walaupun masih diatur dalam tingkat yurisprudensi, namun dalam praktek fiducia berkembang dengan sangat pesat, sehingga keberadaannya sebagai suatu lembaga jaminan dalam bentuk baru telah dikenal dan diakui secara yuridis. Dilatarbelakangi oleh ketentuan undang-undang yang mengatur tentang lembaga gadai sangat merugikan bagi para debitur, maka lahirlah lembaga jaminan yang disebut dengan fiducia. Hal ini disebabkan oleh karena didalam lembaga jaminan gadai debitur harus menyerahkan barang bergerak yang dimilikinya untuk memperoleh pinjaman, sementara para semata-mata menggantungkan pencaharian nafkahnya dari penggunaan dan pemanfaatan benda-benda bergerak yang dimilikinya. Dalam Pasal 1152 KUH Perdata ada disebutkan bahwa hak gadai atas bendabenda bergerak dan atas piutang-piutang bawa diletakkan dengan membawa barang gadaiannya dibawah kekuasaan siberpiutang. Adanya ketentuan gadai yang mengharuskan pemilik benda menyerahkan benda tersebut kepada kreditur menyebabkan mereka merasa sangat dirugikan apabila memakai lembaga jaminan dalam bentuk gadai. Karena apabila barang itu diserahkan kepada pihak penerima gdai (kreditur), maka mereka (debitur) sulit untuk mengadakan pencicilan untuk melunasi hutangnya. Hal ini disebabkan oleh karena debitur sulit untuk mendapatkan

45

dana karena barang yang selama ini menjadi tempat ia bergantung berada di tangan penerima gadai (kreditur) Bertitik tolak dari masalah tersebut diatas, dan besarnya kebutuhan untuk mendapatkan kredit, dalam praktek maka lahirlah lembaga fiducia. Dimana dalam lembaga fiducia ini perjanjian kredit yang dibuat dengan mengadakan pengikatan jaminan atas benda bergerak dilakukan secara fiktif. Maksudnya, penyerahan benda hanya dilakukan diatas kertas, sedangkan benda yang diserahkan itu masih tetap didalam penguasaan pemilik benda. Jadi disini kreditur percaya bahwa benda yang diletakkan dalam lembaga fiducia itu akan dijaga dan dirawat oleh debitur sebagai bapak rumah yang baik. Mariam Darus Badrulzaman berpendapat bahwa fiducia ini sejak dulu dikenal dengan bermacam-macam nama, yaitu : Zaman Romawi disebut “Fiducia cum creditore” Asser van Oven menyebutnya “zekerheidseigendom” (hak milik sebagai jaminan), Blom menyebutnya “bezitloos zekerheidsrecht” (hak jaminan tanpa penguasaan), Kahrel memberi nama Verrid Pandbegrif (pengertian gadai yang diperluas), Dr. A. Veenhoven menyebutnya “eigendomsoverdracht tot zekerheid (penyerahan hak milik sebagai jaminan). Sebagai singkatan dapat dipergunakan istilah fiducia saja.20 Lembaga fiducia mulai dikenal sebagai lembaga jaminan semenjak adanya putusan Hoge Raad, dalam Arrestnya tanggal 25 Januari 1929, jo Arrest Hogerechtshof 18 Agustus 1923. Di Indonesia perkembangan lembaga jaminan dalam bentuk fiducia semakin lama semakin berkembang dan hampir dikenal diberbagai dunia usaha, khususnya

20 Mariam Darus Badrulzaman (III), Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung), 1991, hal. 89.

46

dikalangan dunia perbankan, lembaga keuangan non bank, dan dunia perdagangan. Lebih jauh lagi, sejak berlakunya peraturan tentang rumah susun yaitu UndangUndang Rumah Susun Tahun 1985, fiducia tidak hanya diletakkan atas benda bergerak saja, tetapi telah meliputi atas hak yang merupakan kesatuan dengan bendabenda tidak bergerak, seperti jaminan atas bangunan dan rumah atas tanah milik negara, diatas tanah sewa, hak pakai, dan hak pengelolaan. Dari perkembangan tersebut, kelihatan meskipun belum ada pengaturan tentang lembaga fiducia dalam perundang-undangan secara khusus, kehadiran lembaga jaminan dalam bentuk fiducia tidak dapat dikesampingkan secara juridis. Dengan kata lain, lembaga ini telah dibenarkan dalam praktek. Secara juridis bila persoalan tentang lembaga fiducia dianalisa dari berbagao keputusan Hogeraad, maka dapat disimpulkan bahwa : 1. Fiducia tidak bertentangan dengan ketentuan undangundang mengenai gadai, karena disitu tidak dilakukan perjanjian gadai 2. Fiducia juga tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang mengenai hak jaminan bersama bagi kreditur, karena ketentuan undang-undang mengenai hal tersebut berlaku bagi semua benda bergerak maupun benda tetap debitur, sedang pada fiducia justru bendanya bukan haknya debitur. 3. Dari ketentuan-ketentuan mengenai gadai sama sekali tidak dapat disimpulkan adanya maksud pembentuk undang-undang bahwa jaminan hutang hanya dimungkinkan benda-benda bergerak yang tidak boleh berada pada tangan debitur 4. Fiducia merupakan alas hak untuk perpindahan hak milik sebagaimana yang dimaksudkan dalam Pasal 639 KUH Perdata. 5. Namun demikian kemungkinan perpindahan hak tersebut semata-mata hanya dimaksudkan sebagai pemberian jaminan, tanpa penyerahan nyata dari barangnya, dan perpindahan hak demikian tidak

47

memberikan semua akibat hukum sebagaimana yang berlaku pada perpindahan hak milik yang normal.21 Selanjutnya beliau berpendapat bahwa, untuk melaksanakan perjanjian fiducia, paling sedikit harus dipenuhi empat syarat, yaitu : 1. 2. 3. 4.

Adanya perjanjian zakelijk, Adanya titel untuk peralihan hak Kewenangan untuk menguasai bendanya dari orang uang menyerahkannya Adanya cara tertentu untuk penyerahan, yaitu secara constitutum possesorium bagi benda bergerak, berujud dan secara cessie untuk piutang-piutang.22

Bertitik tolak dari berbagai pendapat diatas, penulis berpendapat bahwa pada dasarnya perjanjian yang dibuat dalam bentuk jaminan fiducia hampir menyerupai perjanjian yang dibuat dalam bentuk jaminan gadai, karena pada awalnya keduanya dibuat untuk jaminan atas benda-benda bergerak, walaupun pada saat sekarang ini telah mengalami perkembangan. Hanya saja yang menjadi perbedaan mendasar antara lembaga jaminan dalam bentuk gadai dan lembaga jaminan dalam bentuk fiducia adalah kalau pada gadai, benda yang menjadi objek gadai berada dalam penguasaan penerima gadai (kreditur), sedangkan dalam fiducia, benda yang menjadi objek fiducia tetap berada ditangan pemberi fiducia (debitur).

1.2.

Jaminan atas benda tidak bergerak Dengan diudangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT), yaitu

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 maka sepanjang yang mengenai tanah, hipotik 21 Sri Soedewi Maschoen Sofwan (I), Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek Dan Perkembangannya di Indonesia, (Fakultas Hukum UGM : Jogyakarta), 1977, hal. 79. 22 Ibid., hal. 31.

48

dan credietverband dinyatakan tidak berlaku lagi, untuk kemudian diganti dengn apa yang disebut dengan Hak Tanggungan. J. Satrio mengatakan bahwa : “Dengan diundangkannya Undang-Undang Hak Tanggungan telah terjadi suatu perubahan perundang-undangan dalam bidang hukum jaminan, khususnya yang mengenai persil sebagai jaminan UUHT.23 Adalah sudah jamak, bahwa orang bisa mendapat dan bahkan dalam kenyataannya memang seringkali mendapat kesulitan untuk menafsirkan suatu ketentuan baru. Kita belum tahu pelaksanaannya nanti dalam praktek, kesulitankesulitan apa yang akan dialami dalam perjalanan waktu, pendapat dari para sarjana dan terutama pihak pengadilan, kita belum mempunyai tradisi atas suatu ketentuan baru. Di dalam hukum, disatu pihak selalu ada perkembangan, ada perubahan, ada pergantian tetapi dilain pihak perubahan itu berlangsung satu alur, ada kontinuitas. Perkembangan dan perubahan seperti itu hanya dimengerti, kalau dilihat adanya alur perubahan itu. Barang siapa tidak melihat kebelakang, ia tidak dapat melihat kedepan. Kesadaran dan pengakuan akan adanya kesinambugan dalam pengaturan undang-undang mempunyai pengaruh yang penting, dalam mengartikan ketentuan hukum baru, yaitu dalam hal ada perubahan undang-undang. Begitu pula halnya dengan lembaga hipotik dan credietverband yang telah berlaku sekian lama dinegeri kita. Sudah bisa dibayangkan betapa besar pengaruhnya atas kesadaran hukum

23 J . Satrio (II), Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung), 1997, hal. 9

49

masyarakat mengenai hukum jaminan. J. Satrio dalam bukunya “Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, mengatakan bahwa : “Berbicara tentang undang-undang hak tanggungan tidak bisa dilepaskan sama sekali dari pembicaraan tentang hipotik dan credietverband. Apalagi kalau diakui, bahwa ada segisegi dari hipotik yang mempunyai sifat universal, yang dikenal hampir semua perundang-undangan modern.”24 Bertitik tolak dari hal tersebut maka penulis memasukkan penjelasan tentang ketentuan hipotik dan credietverband kedalam jaminan atas benda tidak bergerak ditambah dengan penjelasan tentang Hak Tanggungan yang dikenal sekarang ini. Untuk lebih jelasnya maka penulis mencoba untuk menguraikan tentang lembaga jaminan atas benda tidak bergerak.

1.2.1. Hipotik Hipotik berasal dari hukum Romawi, yang berasal dari kata hypotheca, dalam bahasa Belanda diartikan dengan onderzetting. Sedangkan dalam bahasa Indonesia diartikan dengan pembebanan. Istilah pembebanan disini dimaksud dengan pembebanan hak atas tanah, atau benda-benda tidak bergerak.

J. Satrio mengatakan bahwa : “Hipotik adalah hak pembebanan atas benda tetap tertentu milik orang lain, yang secara khusus diperikatkan, demi untuk memberikan kepada suatu 24 Ibid., hal. 8.

50

tagihan hak untuk didahulukan didalam mengambil pelunasan atas hasil eksekusi barang tersebut.”25 Sedangkan dalam Pasal 1162 KUH Perdata menyebutkan bahwa Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian dari padanya bagi pelunasan suatu perikatan. Sebagai jaminan dalam wujud benda yang tidak bergerak, hipotik memiliki kedudukan yang istimewa disamping fiducia yang telah dikemukakan terlebih dahulu, meskipun lainnya sama-sama mengikuti perjanjian pokok dan sama-sama diletakkan sebagai jaminan hutang. Perbedaaanya hanya terletak dalam status pengistimewaan atau pememgang hipotik didahulukan haknya dalam penyelesaian hutang piutang. Hipotik sebagai jaminan, bila disarikan dari ketentuan pasal 1162 KUH. Perdata, mempunyai sifat-sifat umum, yaitu : 1. Hipotik adalah hak kebendaan. Undang-undang menyebutkan bahwa hak kebendaan adalah hak yang mengikuti bendanya. Walaupun didalam tangan siapapun benda itu berada, (pasal 1163 dan pasal 1198 KUH. Perdata). Hak kebendaan ini adalah hak absolut, artinya hak ini dapat dipertahankan terhadap setiap orang. Pemegang hak ini berhak menuntut semua pihak ketiga yang mengganggu haknnya, sehingga dengan adanya hak ini, pemegang mempunyai kekuasaan yang luas atas jaminan hipotik tersebut. Hak hipotik itu dapat dialihkan, diletakkan sebagai jaminan, disewakan atau dipergunakan sendiri, karena 25 J . Satrio (I), Op.Cit., hal. 213.

51

jangka waktunya tidak terbatas. 2. Hipotik merupakan perjanjian assesoir. Perjanjian assesoir artinya perjanjian jaminan hipotik tersebut tidak terdiri sendiri, tetapi lahirnya merupakan tindak lanjut dari perjanjian pokok, yang pada umumnyatimbul dari perjanjian pokok hutang piutang yang dilandasi dengan jaminan, yaitu jaminan dalam bentuk hipotik. 3. Hak hipotik merupakan hak yang idahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain (droit de freference), pasal 1133 KUH Perdata. 4. Mudah dieksekusi (pasal 1178 KUH Perdata). 5. Objek hipotik adalah benda-benda tetap, baik yang berujud maupun yang tidak berujud, yang ada pada sebidang tanah. 6. Hak hipotik hanya berisi hak untuk melunasi hutang dari nilai benda jaminan dan tidak memberi hak untuk menguasai atau memiliki bendanya. 7. Hipotik hanya dapat dibebani atas benda orang lain dan tidak atas benda milik sendiri. 8. Hipotik tidak dapat dibagi-bagi (pasal 1163 KUH Perdata) 9. Hipotik

menganut

sistem

terbuka,

pemasangan hipotik harus didaftarkan 10. benda yang dibebani hipotik harus jelas.

maksudnya

setiap

52

Menurut Pasal 1164 KUH Perdata yang dapat dibebani hipotik adalah : a. Benda-benda tidak bergerak yang dapat dipindahtangankan, beserta segala perlengkapannya sepanjang yang terakhir ini dianggap sebagai benda tidak bergerak b. Hak pakai atas benda-benda tersebut beserta segala perlengkapannya c. Hak numpang karang dan hak usaha d. Bunga tanah, baik yang harus dibayar dengan uang maupun yang harus dibayar dengan hasil tanah dan ujudnya e. Bunga sepersepuluh f. Pasar-pasar yang diakui oleh pemerintah, beserta hak-hak istimewa yang melekat padanya Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, maka jenis-jenis benda yang dapat dibebani hipotik sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 1164 KUH Perdata diatas akan mengalami perubahan. Dalam Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 ini, ditegaskan bahwa yang dapat diletakkan Hak Tanggungan (jaminan) yang diharapkan sebagai pengganti hipotuk adalah hak milik (Pasal 25 UUPA), hak guna usaha (Pasal 33 UUPA) dan hak guna bangunan (Psal 39 UUPA). Ketentuan-ketentuan diatas sesuai dengan rumusan Pasal 51 jo Pasal 57 UUPA, yang pada pokoknya mengatakan, sepanjang hak tanggungan tersebut belum diatur dalam suatu perundang-undangan, maka pelaksanaan hak tanggungan tersebut masih menggunakan ketentuan-ketentuan hipotik yang diatur dalam KUH Perdata. Selain hak atas tanah, kapal udara dan kapal laut yang telah terdaftar dengan ukuran lebih dari 20 m3 juga dapat digunakan sebagai objek hipotik. Sampai pada akhirnya keluarlah Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang hak tanggungan, yang menegaskan bahwa dengan keluarnya Undang-Undang ini maka ketentuan mengenai hypotheek sebagaimana tersebut dalam Buku II KUH

53

Perdata sepanjang mengenai pembebanan hak tanggungan pada hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah dinyatakan tidak berlaku lagi. Hal ini berarti bahwa ketentuan mengenai hypotheek yang tidak berlaku lagi hanya yang menyangkut pembebanan hypotheek atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan kalau tidak berkaitan dengan tanah maka hypotheek dianggap masih berlaku sesuai dengan ketentuan yang diatur didalam KUH Perdata. 1.2.2. Credietverband Credietverband juga merupakan suatu bentuk pemberian jaminan untuk dilakukan terhadap benda-benda yang tidak bergerak. Tetapi dalam credietverband ini yang diatur adalah mengenai benda bergerak dalam hal ini tanah, yang pengaturan tunduk kepada ketentuan hukum adat. Pengaturan mengenai credietverband ini sudah diatur secara khusus didalam Koninklijk Besluit 6 Juli 1908 No. 50, S 1908 No. 542 dengan nama Regeling van het Credietverband (aturan tentang credietverband). Aturan ini seterusnya dituangkan lagi dalam ketentuan pelaksana, yaitu Reglement of het vestigen van crediteverband in Nederlandsch-Indie S 1909 No. 584. Pertimbangan untuk menciptakan lembaga ini adalah untuk memenuhi kebutuhan yang dirasakan perlu pada waktu itu, untuk mengadakan lembaga jaminan semacam hypotheek untuk penerima kredit Bumiputera. Lazimnya seorang Bumiputera yang meminjam uang dengan menggadaikan tanah (adat) miliknya, menyerahkan tanah tersebut kepada pemegang gadai. Pemegang gadai berhak mengambil hasil dari tanah tersebut. Hak tersebut merugikan pihak pemberi gadai, karena ia kehilangan sumber penghidupannya.

54

Untuk mencegah kerugian yang dialami oleh pihak pemberi gadai maka timbullah pemikiran untuk menciptakan lembaga jaminan yang objeknya tetap berada dalam tangan pemberi gadai. Untuk kepentingan kreditur dibutuhkan pula ikatan yang kuat, yaitu kewajiban untuk melunasi hutang itu tetap mengikat benda jaminan walupun benda jaminan itu sudah dialihkan pemiliknya kepada orang lain. Untuk itu dibutuhkan sifat kebendaan. Benda yang dapat diikat dengan credietverband adalah hak milik tanah menurut hukum adat dan untuk mencapai maksud agar credietverband ini memiliki sifat yang mirip dengan hypotheek, maka beberapa ketentuan hypotheek diterapkan dalam credietverband ini. Dalam perkembangan selanjutnya pengaturan tentang hypotheek dan credietverband sudah dilaksanakan dengan sejalan, karena dirasakan hampir tidak ada lagi pluralisme dalam hukum pertanahan, meskipun hak-hak atas tanah adat masih diakui oleh UUPA. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa pengaturan credietverband secara materil dalam praktek, dipergunakan ketentuan materil hipotik dan dalam pemasangannya juga berlaku ketentuan sebagaimana dipergunakan terhadap hypotheek. Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan maka ketentuan mengenai credietverband seluruhnya dianggap tidak berlaku lagi. Jadi perlui ditegaskan bahwa mengenai hypotheek dan credietverband disini diuraikan hanyalah untuk mengetahui lembaga-lembaga jaminan kebendaa yang pernah berlaku di Indonesia.

55

1.2.3. Hak Tanggungan Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional, merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan tersebut, yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang-perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang besar. Dengan meningkatnya kegiatan pembangunan maka meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebahagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan. Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima kredit serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Dan pada akhirnya setelah ditunggu-tunggu sekian lama oleh dunia perbankan Indonesia yang notobene bergerak dalam bidang perkreditan, akhirnya pada tanggal 9 April 1996 dikeluarkanlah Undang-Undang mengenai Hak Tanggungan yang merupakan pengganti dari Hypotheek (selanjutnya dalam tulisan ini diIndonesiakan menjadi hipotik) sebagaimana diatur dalam buku kedua KUH Perdata dan juga mengenai credietverband yang diatur dalam Stb. 1908-542 sebagaimana telah diubah dengan Stb. 1937-190. Hal ini sesuai dengan yang dijanjikan oleh Pasal 57 Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 UUPA. Dengan demikian diundangkanlah undang-undang tersebut

56

dengan nama Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan tanah dengan sebuta kependekannya adalah Undang-Undang Hak Tanggungan. Dengan lahirnya undang-undang hak tanggungan ini maka telah memberikan angin segar terhadap hukum khususnya mengenai hukum jaminan yang berkaitan dengan tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah, dan sekaligus memberikan kepastian hukum dalam lembaga hukum jaminan. Hal senada diutarakan oleh AP Parlindungan, sebagai berikut : Sebagaimana juga disebutkan dalam Penjelasan Umum UUHT Nomor 1, maka penting sekali hak tanggungan ini diletakkan pada suatu undang-undang karena setidak-tidaknya memberikan kepastian hukum kepada suatu pranata hukum yang sudah berjalan beberapa tahun dalam keragu-raguan dan kekacauan dalam sistem.26 Menurut Pasal 1 Nomor 1 disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan kepada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 UUPA, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan hutang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap krediturkreditur lain. Hal ini berarti bahwa jika debitur cedera janji, kreditur pemegang hak tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yag dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditur-kreditur lain. Sesuai dengan Penjelasan tentang Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor

26 AP. Parlindungan, Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan, (Mandar Maju : Bandung), 1996, hal. 34.

57

3, maka undang-undang hak tanggungan ini sebagai undang-undang mengenai lembaga hak jaminan atas tanah yang mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : a. memberikan kedudukan yang diutamakan atau mendahulu kepada pemegangnya b. selalu mengikuti objek yang dijaminkan dalam tangan siapapun objek itu berada c. memenuhi asas spesialitas dan publisitas sehingga dapat mengikat pihak ketiga dan memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan d. mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya. Hak tanggungan yang diatur dalam undang-undang ini pada dasarnya adalah hak tanggungan yang dibebankan pada hak atas tanah. Namun kenyataannya seringkali terdapat benda-benda berupa bangunan, tanaman, dan hasil karya yang secara tetapmerupakan satu kesatuan dengan tanah yang dijadikan jaminan tersebut. Sebagaimana diketahui, Hukum Tanah Nasional didasarkan pada hukum adat, yang menggunakan asas pemisahan horizontal. Sehubungan dengan itu, maka kaitannya dengan bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, Hukum Tanah Nasional juga menggunakan pemisahan secara horizontal. Dalam rangka pemisahan horizontal, benda-benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah menurut hukum merupakan bagian dari tanah tang bersangkutan. Oleh karena itu setiap perbuatan hukum mengenai hak-hak atas tanah, tidak dengan sendirinya meliputi benda-benda tersebut. Namun demikian penerapan asas-asas hukum adat tidaklah mutlak melainkan

58

selalu memperhatikan dan disesuaikan dengan perkembangan kenyataan dan kebutuhan dalam masyarakat yang dihadapinya. Atas dasar kenyataan sifat hukum adat itu, dalam rangka asas pemisahan horizontal tersebut, dalam undang-undang ini dinyatakan, bahwa pembebanan hak tanggungan atas tanah dimungkinkan pula meliputi benda-benda sebagaimana disebutkan diatas. Hal tersebut telah dilakukan dan dibenarkan oleh hukum dalam praktek, sepanjang benda-benda tersebut merupakan satu kesatuan dengan tanah yang bersangkutan dan keikutsertaannya dijadikan jaminan dengan tegas dinyatakan oleh pihak-pihak dalam akta pembebanan hak tanggungan. Bangunan, tanaman dan hasil karya yang ikut dijadikan jaminan itu tidak terbatas pada yang dimiliki oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan, melainkan dapat juga meliputi yang dimiliki pihak lain. Sedangkan bangunan yang menggunakan ruang bawah tanah yang secara fisik tidak ada hubungannya dengan bangunan yang ada di atas permukaan bumi diatasnya, tidak termasuk dalam pengaturan ketentuan mengenai Hak Tanggungan. 2. Jaminan Perorangan Jaminan perorangan adalah adanya pihak ketiga yang bersedia menjamin terlaksananya suatu pembayaran atau pengembalian pinjaman apabila pihak peminjam tidak mampu untuk mengembalikan uang yang telah dipinjamnya. Menurut Munir Fuady, jaminan perseorangan adalah : Jaminan perseorangan adalah jaminan yang mempunyai hubungan langsung dengan pihak pemberi jaminan, bukan terhadap benda tertentu. Jaminan perorangan ini hanya dapat dipertahankan tehadap orang-orang tertentu. Yang bahwa nantinya lewat jaminan perorangan, seorang kreditur dapat saja

59

mengambil harta debitur yang prestasi lewat atau tanpa pranata hukum yang disebuit “Sita jaminan” itu lain soal. Karena bagaimanapun yang terikat sebagai jaminan disini bukanlah barangnya tetapi orangnya.27 Sri Soedewi Maschoen Sofyan berpendapat, lembaga pertanggungan perorangan ini timbul dalam praktek karena :

1. 2.

1. 2.

a. Sipenanggung mempunyai persamaan kepentingan ekonomi didalam usaha si peminjam (ada hubungan kepentingan diantara para penjamin dengan peminjam), misalnya dalam keadaan sebagai berikut : sipenjamin sebagai direktur perusahaan selaku pemegang saham terbanyak, secara pribadi ikut menjamin hutang-hutang dari peusahaan perusahaan induk ikut menjamin hutang-hutang perusahaan cabang/ anak cabang b. Penanggung memegang peranan penting dan banyak terjadi dalam bentuk bank garansi, dimana yang bertindak sebagai penanggung/ borg adalah bank, dengan ketentuan bahwa : bank mensyaratkan adanya provisi dari debitur untuk perutangan siapa ia mengikatkan diri sebagai borg bank mensyaratkan adanya sejumlah uang/deposito yang disetorkan kepada bank. Bank garansi diadakan kebanyakan untuk meniadakan hak conservatoir beslag dari kreditur c. Penanggung juga mempunyai peranan penting karena dewasa ini lembaga-lembaga pemerintah lazim mensyaratkan adanya penanggungan untuk kepentingan pengusaha-pengusaha kecil, misalnya untuk pertanian (institutional borgtoch).28

Perjanjian pertanggungan perorangan atau perjanjian pertanggungan hutang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 KUH Perdata. Perjanjian pertanggungan juga merupakan perjanjian yang bersifat assesoir, yaitu perjanjian yang mengikuti perikatan pokok, sama halnya dengan jaminan dalam bentuk kebendaan. Hal ini sesuai dengan yang ditegaskan dalam Pasal 1821 KUH Perdata, yang pada pokoknya mengatakan, tidak ada perjanjian pertanggungan tanpa perjanjian pokok yang sah. 27 Munir Fuady, Loc.Cit. 28 Sri Soedewi Maschoen Sofwan (II), Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Liberty : Yogyakarta), 1980, hal. 81.

60

Berdasarkan uraian diatas dapat dikatakan bahwa perjanjian pemberian jaminan tersebut merupakan sarana juridis untuk menambah keyakinan kreditur agar bersedia memberikan pinjaman kepada debitur. Kalau pada perjanjian jaminan dalam bentuk kebendaan, bendanya yang diikat jaminan, sedangkan pada jaminan perorangan, orangnya yang bertindak sebagai penjamin, dalam hal ini yang dijadikan jaminan adalah nama baik dan status sosial ekonominya. Kondisi inilah yang mendorong kreditur untuk lebih percaya dalam menyalurkan kredit.

B. Hak-Hak Kebendaan Yang Dapat Dijadikan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Para investor atau kreditur pemberi kredit dalam menyalurkan suatu kredit, sudah pasti mempunyai keinginan supaya kredit yang disalurkannya dapat kembali sesui dengan yang diharapkan berdasarkan perjanjian yang dibuat. Dalam pengembalian dana yang mereka salurkan, mereka juga tidak menginginkan debitur memiliki hambatan-hambatan dalam proses pengembalian kredit tersebut. Namun mereka menyadari bahwa meskipun para debitur peminjam mempunyai itikad baik untuk melakukan pembayaran, kreditur juga telah dapat menduga bahwa mungkin saja karena sesuatu hal debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya. Pihak kreditur penyalur kredit akan mengalami kerugian apabila debitur tidak dapat memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya. Untuk menghindari kerugian tersebut maka pihak kreditur dalam menyalurkan kredit selalu meminta jaminan kepada debitur. Hal ini sesuai dengan Undang-Undang Pokok Perbankan yang mengharuskan setiap kredit harus disertai dengan jaminan. Jaminan ini diminta oleh

61

pihak penyalur kredit dimaksudkan supaya pihak debitur sebagai penerima kredit, dapat membayar kreditnya secara teratur dan tepat waktu. Dan apabila dalam batas waktu yang telah ditentukan sesuai dengan perjanjian debitur tidak mampu melaksanakan kewajibannya, maka debitur dapat mengambil alih barang jaminan tersebut. Begitu pula halnya dengan jaminan dalam pemberian kredit pemilikan rumah. Pihak kreditur dalam prakteknya, selalu menginginkan jaminan yang ideal demi keamanan dana yang telah disalurkan. Karena jaminan yang ideal, secara maksimal dapat menjamin bahwa kreditur akan menerima kembali pembayaran dari debitur. Hak-hak kebendaan yang dapat dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah credietverband dan hipotik seperti yang diatur didalam Buku II KUH Perdata. Tetapi dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria maka lembaga jaminan hipotik dan credietverband diganti dengan Hak Tanggungan sesuai dengan yang diperintahkan oleh Pasal 51 Undang-Undang Pokok Agraria. Permasalahannya pada waktu itu adalah Undang-Undang Hak Tanggungan yang diperintahkan UUPA untuk dibentuk belum ada, sehingga menurut Pasal 57 UUPA, sebelum terbentuknya Undang-Undang Hak Tanggungan tersebut maka ketentuan hipotik dan credietverband yang diatur didalam Buku II KUH Perdata masih berlaku. Namun pada akhirnya setelah 35 tahun semenjak keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka lahirlah Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 mengenai Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang berkaitan dengan tanah. Undang-

62

undang ini dirasakan akan membawa perubahan dalam ketentuan lembaga hukum jaminan yang selama ini ada, terutama akan menambah terasanya kepastian hukum dalam bidang hukum jaminan. Bambang Setioprodjo, mengatakan : Hadirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (selanjutnya akan disebut ‘Undang-Undang Hak Tanggungan’) merupakan hak yang sangat berarti guna mengantisipasi perkembangan dan kebutuhan yang ada. UndangUndang Hak Tanggungan ini merupakan jawaban dari amanah yang ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), khususnya yang berkaitan dengan diwujudkannya lembaga pengganti dari lembaga jaminan hipotik dan credietverband.29 Dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 ini, maka mengenai hipotik sepanjang mengenai tanah dan ketentuan mengenai credietverband seluruhnya dihapus dan dianggap tidak berlaku lagi. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada saat sekarang ini, hak-hak kebendaan yang dapat dijadikan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah hanyalah Hak Tanggungan sesuai dengan Undang-Undang Hak Tanggungan Nomor 4 Tahun 1996. Hal ini disebabkan oleh karena didalam perjanjian kredit pemilikan rumah, yang menjadi objek jaminannya adalah tanah beserta bangunan rumah yang ada diatasnya. Para penyalur dana (kreditur) yang bergerak dalam bidang konstruksi perumahan atau pihak lembaga keuangan bank yang menyalurkan kredit merasa sudah saatnya Undang-Undang Hak Tanggungan ini dikeluarkan, karena lebih dapat

29 Bambang Setioprodjo, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Fakultas Hukum USU : Medan), 1996, hal. 3.

63

menjamin kepastian hukum terhadap para pihak yang mengikat perjanjian kredit pemilikan rumah, khususnya kepentingan kreditur yang selama ini khawatir apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya untuk membayar cicilan kredit rumah yang dibelinya. Dengan keluarnya Undang-Undang Hak Tanggungan ini kreditur tidak perlu sangsi, karena apabila debitur lalai dalam melaksanakan kewajibannya, kreditur pemegang Hak tanggungan pertama dapat langsung mengambil barang jaminan, dalam hal ini rumah beserta tanah yang menjadi objek jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, dan kreditur dapat melelang didepan umum barang jaminan tersebut. Dari hasil pelelangan tersebut kreditur pemegang hak tanggungan pertama dapat mengambil pelunasan hutang debitur.

C. Syarat Sahnya

Pembebanan

Jaminan Dalam

Perjanjian

Kredit

Pemilikan Rumah Pada pembahasan terdahulu telah dikemukakan bahwa untuk melakukan suatu perjanjian atau perikatan, maka ketentuan dari Pasal 1320 KUH Perdata harus selalu diperhatikan, sebab ia merupakan syarat umum dari suatu perjanjian, dalam bentuk apapun perjanjian itu dibuat. Tidak terkecuali dalam perjanjian pembebanan jaminan, dalam arti bahwa ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata itu berlaku juga bagi perjanjian kredit pemilikan rumah, yang termasuk dalam perjanjian pembebanan jaminan. Maksudnya semenjak dari pembuatan perjanjian kredit pemilikan rumah tersebut harus diperhatikan oleh para debitur dan kreditur. Dalam perjanjian pembebanan jaminan pada kredit pemilikan rumah, hal yang harus diperhatikan selain ketentuan umum yang dimaksud

64

dalam Pasal 1320 KUH Perdata, juga harus diperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang ditentukan oleh lembaga penyalur kredit. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah pada saat sekarang ini, lembaga jaminan yang dipakai adalah Hak Tanggungan sesuai dengan ketentuan UndangUndang Hak Tanggungan. Dalam prakteknya, yang mempunyai peran yang cukup besar dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah lembaga keuangan Bank. Hal ini berarti bahwa pihak debitur hanya perlu melakukan pembayaran kepada pihak bank dalam penyelesaian hutangnya. Sektor perbankan yang berfungsi sebagai lembaga perantara keuangan mempunyai peranan yang stategis dalam kegiatan perekonomian karena kegiatan usahanya terutama menghimpun dana dan menyalurkan kredit. Disamping itu peranan bank juga penting karena merupakan lembaga pembiayaan yang strategis dalam membiayai berbagai kegiatan usaha yang produktif, yang pada gilirannya akan mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi yang merupakan bagian dalam pembangunan nasionl, sangat diperlukan dana yang besar, yang sebahagian besar diperoleh melalui kegiatan kredit perbankan. Dalam hal pemberian kredit konstruksi, seperti kredit konstruksi perumahan, hak tanggungan dapat memberikan pengamanan dan jaminan kredit, karena objek yang dibebani hak tanggungan bukan hanya objek yang sudah ada pada saat pembebanan hak tanggungan tetapi juga yang akan ada. Pasal 4 ayat (4) UUHT menegaskan bahwa hak tanggungan dapat juga pada hak atas tanah berikut bangunan, tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada yang merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan merupakan milik pemegang hak atas tanah yang

65

pembebanannya dengan tegas dinyatakan didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan. Contoh konkritnya, kredit konstruksi pembangunan rumah, dimana pada saat kredit diberikan rumah yang dijaminkan justru belum terbangun/ada namun dijadikan jaminan. Dengan hak tanggungan kredit tersebut dapat diamankan. Sebagai perbandingan, praktek seperti ini tidak dapat dilakukan melalui hipotik, karena sesuai dengan pasal 1175 KUH Perdata disebutkan bahwa Hipotik hanya dapat dibebankan atas benda-benda yang sudah ada. Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa hipotik atas benda-benda yang baru akan ada dikemudian hari adalah batal. Mengenai syarat sahnya pembebanan jaminan dalam kredit pemilikan rumah adalah tidak terlepas dari syarat sahnya suatu hak tanggungan seperti yang diatur di dalam UUHT Nomor 4 Tahun 1996. Hal ini disebabkan karena dalam melakukan perjanjian kredit pemilikan rumah pada saat sekarang ini, rumah beserta tanah yang dibeli menjadi objek yang dibebani dengan hak tanggungan. Dan biasanya pemegang hak tanggungan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah pihak lembaga keuangan bank yang ditunjuk oleh pihak pengembang sebagai salah satu pihak dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Jadi hak tanggungan itu hapus apabila pihak debitur telah membayar lunas seluruh cicilannya kepada bank tersebut sesuai dengan yang diperjanjikan. Tetapi didalam praktek, kadangkala perjanjian kredit pemilikan rumah antara pihak bank dengan pihak debitur tidak diikat dengan hak tanggungan. Perjanjian kredit yang dibuat adalah perjanjian kredit pemilikan rumah biasa yang dibuat dihadapan notaris. Hal ini biasanya dilakukan apabila jumlah jaminan kredit yang

66

menjadi hak tanggungn itu tidak terlalu besar. Pada Pasal 10 ayat (1) UUHT disebutkan bahwa pemberian hak tanggungan didahului oleh janji untuk memberikan hak tanggungan sebagai jaminan pelunasan hutang tertentu, yang dituangkan didalam dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perjanjian hutang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan hutang tersebut. Pada ayat (2) disebutkan pula Pemberi Hak Tanggungan dilakukan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan oleh PPAT sesuai dengan perauran perundang-undangan yang berlaku. Selain itu syarat sahnya suatu hak tanggungan juga dapat dilihat pada Pasal 11 ayat (1) UUHT, yang pada pokoknya menyebutkan bahwa didalam Akta Pemberian Hak Tanggungan harus mencantumkan antara lain identitas yang jelas, domisili, nilai tanggungan dari para pihak yang terikat dalam hak tanggungan. Selain pasal-pasal diatas ada beberapa lagi pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu hak tanggungan seperti pasal yang mengatur tentang janji dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan (Pasal 11 ayat (2) UUHT), prosedur pendaftaran pada kantor pertanahan (Pasal 13 UUHT), tentang penerbitan sertifikat hak tanggungan oleh kantor pertanahan (Pasal 14 UUHT), tentang Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (Pasal 15 UUHT), dan pasal-pasal lain yang berkaitan dengan syarat sahnya suatu hak tanggungan. D. Berakhirnya Pembebanan Jaminan Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Berakhirnya pembebanan jaminan kredit pemilikan rumah pada dasarnya sama seperti hapusnya perjanjian pembebanan jaminan pada umumnya. Yaitu karena

67

hapusnya perutangan pokok, sebagai clausule yang menerbitkan perjanjian pembebanan jaminan tersebut. Berakhirnya perikatan berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata adalah : a. b. c. d. e. f. g. h. i. j.

Karena pembayaran Penawaran pembayaran, diikuti dengan penitipan Pembaharuan hutang Perjumpaan hutang Pencampuran hutang Pembebasan hutang Musnahnya barang yang terutang Kebatalan atau pembatalan perikatan Adanya syarat batal kadaluarsa

Apabila berakhirnya perikatan tersebut dikaitkan dengan perjanjian kredit pemilikan rumah yang disertai dengan pembebanan jaminan, maka pembebanan jaminan berakhir apabila debitur telah melunasi jumlah kreditnya sesuai dengan isi perjanjian pada saat dilakukannya perjanjian kredit pemilikan rumah. Apabila debitur telah melunasi cicilan teakhirnya, maka pemberi kredit akan memberikan surat keterangan telah lunas cicilan, dan selanjutnya mengembalikan hak-hak debitur yang terikat jaminan. Karena pada umumnya pada perjanjian kredit diletakkan jaminan, begitu pula halnya dengan perjanjian kredit pemilikan rumah. Setelah keluarnya UUHT, lembaga keuangan perbankan maupun lembaga keuangan non bank pada saat sekarang ini dalam perjanjian kredit pemilikan rumah meletakkan jaminannya dalam bentuk Hak Tanggungan dan bukan hipotik seperti yang berlaku pada saat belum keluarnya UUHT. Oleh karena dalam perjanjian kredit pemilikan rumah berlaku hak jaminan

68

dalam bentuk hak tanggungan, maka berlakulah ketentuan berakhirnya atau hapusnya hak tanggungan sesuai dengan UUHT. Hapusnya hak tanggungan menurut UUHT, diatur dalam Pasal 18 sebagai berikut : a. b. c. d.

(1) Hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut : Hapusnya hutang yang dijamin dengan hak tanggungan Dilepaskannya hak tanggungan oleh pemegang hak tanggungan Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh Ketua Pengadilan Negeri Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan (2) Hapusnya hak tanggungan karena dilepaskannya oleh pemegangnya dilakukan dengan pemberian pernyataan tertulis mengenai dilepaskannya hak tanggungan tersebut oleh pemegang hak tanggungan kepada pemberi hak tanggungan (3) Hapusnya hak tanggungan karena pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan peringkat oleh ketua pengadilan negeri terjadi karena permohonan pembeli hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tersebut agar hak atas tanah yang dibelinya itu dibersihkan dari beban hak tanggungan sebagaimana diatur dalam Pasal 19. (4) Hapusnya hak tanggungan karena hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan tidak menyebabkan hapusnya hutang yang dijamin.

Sesuai dengan sifat accesoir dari hak tanggungan, adanya hak tanggungan tergantung pada adanya piutang yang dijamin pelunasannya. Apabila hutang itu hapus karena pelunasan atau sebab-sebab lain, dengan sendirinya hak tanggungan yang bersangkutan menjadi hapus juga. Selain itu, pemegang hak tanggungan dapat melepaskan hak tanggungannya dan hak atas tanah dapat dihapus, yang mengakibatkan hapusnya hak tanggungan. BAB IV TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PERJANJIAN KREDIT PEMILIKAN RUMAH

69

69

A. Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Merupakan Perjanjian Baku Seringkali perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, dengan disana sini diadakan penyesuaian seperlunya. Biasanya pihak lembaga pembiayaan seperti bank telah mempunyai bentuk atau form tersendiri, dimana para pihak tinggal mengisi data pribadi dan data tentang jumlah pinjaman yang akan diambil. Sedangkan terms dan conditionsnya suday dicetak secara baku. Di dalam praktek perbankan, setiap bank telah menyiapkan formulir/blanko perjanjian kredit, yang isi dari perjanjian tersebut telah disiapkan terlebih dahulu (telah dibakukan). Formulir tersebut disodorkan pada setiap pemohon kredit, yang isinya tidak diperbincangkan melainkan setelah dibaca oleh pemohon pihak bank hanya meminta pendapat calon nasabah, apakah dapat menerima syarat-syarat yang tersebut dalam formulir itu atau tidak. Sedangkan hal-hal yang kosong didalam formulir, seperti jumlah pinjaman, besarnya bunga, tujuan pemakaian kredit, dan jangka waktu kredit adalah hal-hal yang tidak mungkin diisi sebelum ada persetujuan dari kedua belah pihak. Isi perjanjian kredit yang telah ditetukan terlebih dahulu dalam suatu bentuk tertentu, telah dibakukan, menunjukkan pada kita bahwa perjanjian kredit dalam praktek perbankan adalah suatu perjanjian standar (standart contract).

Menurut Munir Fuady, Perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausul-klausulnya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak yang lain pada dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, harga, jumlah, warna, tempat, waktu dan beberapa hal lain

70

yang spesifik dari objek yang diperjanjikan. Dengan kata lain yang dibakukan bukan formulir perjanjian tersebut tetapi klausul-klausulnya.30 Dari batasan perjanjian baku dapat disimpulkan bahwa sebenarnya yang disebut baku disini adalah klausul-klausul dari perjanjian tersebut dan bukan formulir perjanjian itu. Begitu juga halnya dengan perjanjian kredit pemilikan rumah. Biasanya pihak kreditur yang memberikan kredit, dalam hal ini pihak bank yang ditunjuk pihak developer atau pengembang untuk mengikat hak tanggungan dengan debitur pembeli rumah, sudah mempersiapkan suatu bentuk atau form perjanjian yang sebahagian besar klausul-klausulnya telah dibuat dan ditentukan oleh pihak bank itu sendiri sebagai pihak yang menyalurkan kredit perumahan. Sedangkan pihak debitur hanya dapat mengisi beberapa hal yang dianggap perlu untuk dilengkapi seperti halnya mengenai identitas pihak debitur, waktu dan lamanya kredit yang akan diambil. Setelah itu debitur menandatangani perjanjian yang telah dibuat sedemikian rupa itu oleh pihak kreditur sebagai tanda persetujuan. Banyak masalah hukum bisa timbul dalam hubungan dengan pemberlakuan perjanjian baku seperti ini. Hal ini bahwa perjanjian ini belum bisa diterima secara keseluruhan atau dengan kata lain dapat dikatakan ada yang mengatakan perjanjian baku itu dapat diterima dan ada pula yang mengatakan bahwa perjanjian baku itu sulit untuk diterima. Masalah yang paling sering dilontarkan secara umum dapat disimpulkan bahwa mengenai legalitas perjanjian baku dan berkenaan dengan klausul yang memberatkan dalam perjanjian baku tersebut. 30 Munir Fuady, Op.Cit., hal. 41, dikutip dari Sutan Remi Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Banki Indonesia, (Institusi Bankir Indonesia : Jakarta), 1993, hal. 66.

71

Untuk lebih jelasnya penulis akan menguraikan kedua masalah diatas satu persatu sebagai berikut : 1. Legalitas Perjanjian Baku Legalitas perjanjian baku atau ada juga yang mengatakan sebagai perjanjian standar, maksudnya adalah keabsahan dari perjanjian baku itu sendiri, apakah perjanjian baku itu sah atau tidak. Di dalam praktek ada yang menganggap perjanjian baku sah dan dapat diterima dan ada juga pendapat yang mengatakan perjanjian baku sulit untuk diterima atau dianggap tidak sah. Adapun pendapat yang mengatakan keabsahan perjanjian baku sulit untuk diterima oleh karena alasan-alasan sebagai berikut : a. Kedudukan

pihak

pembuat

perjanjian

baku

dalam

transaksi

yang

bersangkutan sama seperti pembentuk undang-undang swasta (legio pertuculiere wetgever) b. Perjanjian baku tidak lain dari perwujudan suatu perjanjian paksa (dwangcontract) c. Terutaman yang

menganut sistem Common

Law,

berlaku Doktrin

Unconscionability. Doktrin unconscionability ini mengajarkan bahwa hakim dapat mengeyampingkan berlakunya suatu kontrak (sebahagian atau seluruhnya) jika terdapat klausul dalam kontrak tersebut yang seyogyanya tidak mungkin dibuat, atau kalaupun dibuat seyogyanya tidak mungkin diterima oleh orang jujur dan adil (a fair and honest man). Sebab klausul tersebut dianggap menindas dan tidak adil. Selain alasan-alasan diatas pendapat senada juga dikatakan oleh Edy Putra

72

Tje’ Aman, sebagai berikut : Bila diperhatikan secara seksama, perjanjian (standart) kredit ini biasanya mengandung kelemahan; terutama dihubungkan dengan Pasal 1320 yo 1338 KUH Perdata. Dikatakan mengandung kelemahan, karena dalam perjanjian kredit tidak terkandung adanya kesepakatan (konsensus) dalam arti luas dari kedua belah pihak, melainkan hanya sepihak. Sedangkan pihak pemohon dalam memberi kesepakatannya hanyalah fiktif belaka. Dengan demikian perjanjian kredit bank dan lembaga perkreditan lainnya seperti tersebut diatas, tidak saja mengandung kelemahan tetapi juga sekaligus menyimpang dari asas-asas yang terkandung dalam Pasal 1320 yo 1338 KUH Perdata.31 Seteah dilihat alasan-alasan diatas, memang sulit untuk menerima perjanjian baku tersebut. Tetapi pada prakteknya, perjanjian dalam bentuk baku (standar) ini masih dipakai sampai sekarang ini terutama dalam hal perjanjian perkreditan. Terlepas dari kelemahan dan penyimpangan terhadap Pasal 1320 yo 1338 KUH Perdata seperti yang disebutkan diatas, harus bisa diterima sebagai suatu kenyataan bahwa perjanjian baku tersebut masih banyak diketemukan dalam praktek, khususnya praktek dalam perjanjian kredit. Sebab disatu segi, timbulnya perjanjian (standar)

kredit

dilatarbelakangi

tidak

dilatarbelakangi

oleh

kaum

oleh

kemauan

pemerintah

untuk

ekonomi

kuat,

tetapi

membantu/merangsang

pertumbuhan pengusaha ekonomi lemah lewat bantuan kredit tanpa disertai adanya persyaratan yang ketat yang akan mengakibatkan terbukanya resiko yang besar bagi kelangsungan usaha bank dan pada akhirnya akan melumpuhkan tujuan yang terkandung dalam pemberian kredit itu sendiri. Pihak kreditur dalam perjanjian kredit pemilikan rumah menggunakan perjanjian baku (standar), dengan alasan untuk melindungi kepentingan kreditur yang

31 Edy Putra Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Liberty : Yogjakarta), 2003, hal. 33.

73

biasanya lebih sering mengalami kerugian oleh karena kelalaian yang dibuat oleh debitur seperti halnya debitur tidak melaksanakan kewajibannya dalam membayar cicilan kredit rumah yang dibelinya. 2. Klausul Yang Memberatkan Dalam Perjanjian Baku Dalam suatu perjanjian baku, seringkali terdapat klausul-klausul yang memberatkan sesuatu pihak. Yakni yang memberatkan pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku tersebut. Dalam literatur Belanda, klausul yang memberatkan salah satu pihak ini disebut Onredelijkbezwarend. Sementara dalam literatur Hukum Anglo Saxon sering disebut dengan istilah, antara lain : Unreasonably onerous, Onereous clause dan Unconscionability. Contoh dari klausul berat sebelah dalam suatu perjanjian kredit misalnya diberikannya hak kepada kreditur untuk memutuskan perjanjian kredit secara sepihak, bahkan kadang-kadang for cause or no cause (dengan atau tanpa alasan sama sekali) tanpa melalui prosedur pengadilan. Hal ini jelas merupakan klausul yang sangat memberatkan pihak debitur. Dalam suatu perjanjian kredit bank, maka klausul berat sebelah tersebut yang sangat mencolok tetapi sering dilakukan adalah apa yang disebut dengan ‘klausul eksemsi’. Atau sering juga disebut dengan istilah Exemption clause, Exclusion clause atau Exception clause. Adapun yang dimaksud dengan klausul eksemsi adalah suatu klausul dalam suatu kontrak, dalam hal ini kontrak perjanjian kredit, yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggungjawab salah satu pihak (in casu pihak bank) terhadap gugatan pihak lainnya, padahal mestinya yang bersangkutan telah

74

melakukan hal-hal yang tidak semestinya dilakukan dan tidak dalam keadaan force majeure. Kadang-kadang bahkan klausul eksemsi ini jelas terlihat di dalam kontrak. Misalnya didalam suatu perjanjian terdapat suatu klausul yang berbunyi ‘kreditur tidak bertanggungjawab jika ...’ atau ‘kreditur hanya bertanggungjawab sampai batas sebesar sekian rupiah saja, jika terjadi hal-hal ...’ Didalam KUH Perdata tidak ada larangan untuk membuat klausul eksemsi ini, atau dengan kata lain klausul eksemsi ini tidak menjadi masalah sepanjang syaratsyarat sahnya suatu perjanjian dipenuhi. Misalnya jika dipenuhi unsur kesepakatan seperti yang diatur didalam Pasal 1320 KUH Perdata dimana misalnya dalam kontrak tersebut tidak melanggar kebiasaan atau itikad baik. Jadi selama hal-hal tersebut dipenuhi, maka tidak ada ketentuan dalam KUH Perdata yang dengan tegas melarang klausul eksemsi. Sementara itu dalam yurisprudensi Indonesia, masih terdapat pendapat yang berlainan, dimana umumnya keputusan pengadilan tidak melarang praktek klausul berat sebelah ini, termasuk klausul eksemsi, tetapi dipihak lain ada juga satu dua keputusan yang berusaha untuk membatalkan atau menyatakan batal klausul memberatkan seperti ini. Jadi jelaslah bahwa di dalam praktek, perjanjian pemilikan rumah pun masih menggunakan perjanjian baku. Walaupun mengenai perjanjian baku masih terdapat perbedaan pendapat, tetapi tidak bisa menghindar dari suatu keadaan yang merupakan kenyataan dan bahkan sudah menjadi suatu kebiasaan. Mengenai perjanjian baku yang diterapkan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, menurut penulis hal itu

75

sah-sah saja asalkan kedua belah pihak sepakat untuk mengadakan perjanjian tersebut. Selain itu KUH Perdata pun tidak ada mengatur dengan tegas tentang larangan perjanjian baku tersebut.

B. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Kebutuhan akan rumah dewasa ini menunjukkan bahwa pemerintah harus memberikan perhatian yang khusus terhadap bidang perumahan serta harus segera meningkatkan pembangunan pada bidang perumahan. Permintaan akan kebutuhan perumahan ini bukan saja berasal dari golongan ekonomi menengah kebawah, yang membutuhkan tempat tinggal yang layak, tetapi juga dari golongan ekonomi menengah keatas yang membutuhkan rumah bukan hanya sebagai tempat berteduh yang layak huni tetapi sebagai sarana peningkatan gengsi guna mendukung usaha/bisnis siempunya rumah tersebut. Di dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah ada beberapa pihak yang mempunyai kepentingan yang sangat berperan. Pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian kredit pemilikan rumah ini sangat menentukan terlaksananya suatu perjanjian itu terlaksana dengan baik dan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Salah satu pihak saja yang tidak ada atau tidak berfungsi sebagaimana mestinya, maka perjanjian kredit pemilikan rumah ini tidak dapat berjalan dengan baik. Banyak pihak yang terkait dalam perjanjian kredit pemilikan rumah ini seperti, pihak pembeli, pihak pengembang, pihak lembaga pembiayaan/keuangan, Notaris, PPHT, Kantor Pertanahan. Tetapi di dalam tulisan ini hanya akan ditinjau tiga pihak saja yang paling penting, yaitu pihak pembeli, pihak developer dan pihak

76

lembaha pembiayaan/keuangan seperti bank. 1. Pihak Pembeli Rumah Manusia membutuhkan rumah sebagai tempat tinggal dan tempat berlindung. Tak dapat dipungkiri bahwa rumah adalah salah satu kebutuhan dasar manusia. Setiap manusia membutuhkan rumah yang layak huni dan memenui standar kesehatan, dalam arti cukup sirkulasi udara dan cahaya serta terjadi sanitasinya. Perumahan adalah tempat dimana orang akan melaksanakan suatu fungsi dasar dan pribadi dalam kehidupan keluarga. Kesehatan fisik dan mental, bekarya dengan efisien, keamanan, emosi dan sosial, status kesemuanya akan berpengaruh kepada kondisi perumahan. Sejalan dengan pertambahan penduduk yang meningkat maka kebutuhan perumahan akan semakin meningkat pula. Tetapi penyediaan kebutuhan akan perumahan tidak sebanding dengan daya beli yang ada pada masyarakat itu, sehingga timbullah praktek pembelian rumah dengan cara mencicil atau lebih dikenal dengan cara kredit. Konsumen pada saat ini lebih cenderung untuk membeli rumah yang berada di kawasan perumahan yang dibangun oleh pihak developer. Hal ini disebabkan oleh karena sulitnya mencari rumah yang berada atau dekat dengan daerah pusat kota. Sedangkan proyek perumahan biasanya berada atau didirikan didaerah yang jauh dari keramaian dan kebisingan kota atau bisa juga disebut dengan daerah pinggiran kota. Selain itu harga rumah yang ada dekat pusat kota biasanya sudah sangat tinggi dan tidak terjangkau oleh golongan menengah kebawah. Bertitik tolak dari hal diataslah maka para pengembang yang bergerak dalam

77

bidang konstruksi perumahan mendirikan perumahan dengan segala jenis type sesuai dengan kebutuhan dan daya beli masyarakat. Dan untuk mendorong minat para pembeli dan supaya rumah yang dibangunnya cepat terjual, pihak pengembang menawarkan pembelian rumah dengan cara mencicil, yaitu dengan cara mengikatkan diri dengan pihak lembaga keuangan, dalam hal ini bank, untuk membuat perjanjian kredit pemilikan rumah. Pihak yang berminat untuk membeli rumah akan menghubungi pihak developer. Setelah pihak pembeli setuju untuk membeli rumah tersebut, maka dibuatlah akta jual beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah. Lalu pihak developer membawa pihak pembeli rumah kepada pihak lembaga keuangan bank untuk mengikat perjanjian kredit pemilikan rumah. Pada akhirnya perjanjian kredit pemilikan rumah ini terjadi antara pihak bank sebagai kreditur dan pihak pembeli rumah sebagai debitur. Hal ini berarti bahwa pihak pembeli rumah (debitur) hanya mempunyai kewajiban untuk membayar cicilannya kepada pihak bank yang ditunjuk pihak developer, tanpa harus berurusan lagi dengan pihak developer dalam hal pembayaran cicilan angsuran rumah. 2. Pihak Pengembang (Developer) Pihak pengembang atau biasa dengan developer ini ada berawal dari kebutuhan perumahan yang dewasa ini semakin meningkat. Untuk membangun suatu proyek perumahan, pihak pengembang (developer) membutuhkan areal tanah yang cukup luas sesuai dengan kebutuhan perumahan yang akan dibangun. Sebelum membeli areal tersebut, pihak developer harus menanyakan kepada Pemerintah

78

Daerah setempat, terutama bagian Tata Kota, di daerah mana saja ditempat tersebut yang bisa dibuat sebagai kawasan perumahan. Setelah mendapat penjelasan dan petunjuk dari PEMDA setempat maka pihak pengembang berusaha mencari lokasi yang strategis untuk perumahan sesuai dengan petunjuk yang diberikan. Setelah dapat lokasi yang strategis maka pihak pengembang menghubungi masyarakat sekitar dan mendata tanah-tanah yang akan dibeli atau diganti rugi. Pihak pengembang harus menjelaskan kepada masyarakat sekitar bahwa tujuannya untuk membeli tanah adalah untuk membangun perumahan. Pihak developer harus bernegoisasi dengan masyarakat supaya proses ganti rugi berjalan dengan baik. Salah satu contoh yuang harus dinegoisasikan dalam proses ganti rugi adalah harga per meter tanah yang akan dijadikan proyek pembangunan rumah. Apabila pihak pengembang sudah mendapat persetujuan ganti rugi lebih dari setengah (lebih dari 50 %) dari yang ditargetkan, maka pengembang dapat mengajukan izin lokasi dan izin prinsip. Izin lokasi dan izin prinsip diajukan kepada PEMDA dan disetujui oleh Kepala Daerah. Izin ini diperlukan untuk dapat mengurus sertifikat. Biasanya dalam proyek pembangunan perumahan sertifikat yang harus diurus adalah sertifikat Hak Guna Bangunan, bisa juga diberi sertifikat Hak Pengelolaan seperti yang ada pada Perum Perumnas atau bisa juga diberi sertifikat Hak Milik tetapi hanya terbatas pada 5000 m2 dan tidak boleh lebih dari 5 persil tanah. Setelah izin keluar, maka pengembang diberi dua kali kesempatan untuk bernegoisasi dengan masyarakat, yaitu kesempatan pertama dalam jangka waktu satu tahun untuk mengganti rugi/membebaskan tanah selebihnya. Apabila dalam waktu

79

satu tahun tersebut belum selesai juga maka diberi kesempatan yang kedua dalam jangka waktu satu tahun lagi untuk dapat menyelesaikan masalah pembebasan tanah dengan cara bernegoisasi dengan masyarakat setempat. Setelah dua kali kesempatan yang diberikan tidak juga berhasil maka izin lokasi yang telah diberikan pihak PEMDA hanya sebatas yang disetujui oleh masyarakat setempat saja, dalam arti tidak memenuhi target sesuai dengan yang direncanakan. Setelah mendapat izin ini barulah sertifikat induk hak guna bangunan dapat diurus pada kantor pertanahan setempat. Tidak semua pengembang mempunyai cukup dana untuk membangun proyek perumahan. Walaupun kadang kala ada beberapa pengembang yang mampu untuk membiayai proyek pembangunan itu sendiri. Oleh karena keterbatasan dana dalam proyek pembangunan perumahan maka sangat dibutuhkan peranan lembaga keuangan seperti bank untuk memberikan kredit konstruksi guna membangun perumahan. Kredit konstruksi adalah kredit yang diberikan oleh pihak lembaga pembiayaan kepada pihak pengembang (developer) untuk membangun suatu proyek, seperti misalnya proyek pembangunan perumahan. Dengan diberikannya kredit konstruksi ini maka pihak pengembang dapat memulai proyek pembangunan perumahan. 3. Pihak Lembaga Pembiayaan Pihak lembaga pembiayaan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah terbagi dua yaitu lembaga pembiayaan bank dan lembaga pembiayaan non bank. Fungsi lembaga pembiayaan ini adalah untuk membantu membiayai proyek pembangunan perumahan yang dilakukan oleh pengembang, dengan cara memberikan kredit konstruksi kepada pihak pengembang.

80

Hal tersebut diatas disebabkan karena tidak semua pengembang memiliki dana yang cukup untuk membiayai proyek pembangunan perumahan yang membutuhkan dana yang cukup besar. Kredit konstruksi yang diberikan oleh lembaga pembiayaan ini kepada pihak pengembang ini diikat dengan hak tanggungan sesuai dengan yang ditentukan di dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan atas tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Selain itu memberikan kredit konstruksi, lembaga pembiayaan seperti halnya bank juga dapat mengikat perjanjian kredit pemilikan rumah dengan pihak pembeli rumah/debitur. Hal ini dapat terjadi apabila adanya kerjasama antara pihak pengembang dengan lembaga pembiayaan bank, dimana pihak pengembang membantu pihak pembeli rumah dalam hal pembuatan perjanjian kredit pemilikan rumah dengan pihak lembaga pembiayaan seperti bank yang ditunjuk oleh pihak pengembang. Jadi pihak pembeli rumah (debitur) mempunyai kewajiban membayar cicilan rumah yang dibelinya kepada pihak lembaga pembiayaan yang ditunjuk oleh pihak pengembang dan pihak lembaga pembiayaan tersebut membayar kepada pihak pengembang sejumlah uang seharga rumah yang dibeli oleh pihak pembeli rumah. Tetapi didalam praktek, adakalanya lembaga pembiayaan yang diajak bekerjasama oleh pihak pengembang hanya satu saja. Hal ini berarti bahwa pihak pengembang mendapat kredit konstruksi dari pihak lembaga pembiayaan yang biasanya bank dan bank itu pula yang ditunjuk oleh pihak pengembang sebagai lembaga pembiayaan yang dapat mengikat perjanjian kredit pemilikan rumah dengan

81

pembeli rumah. Mengenai penyelesaian pembayaran cicilan kredit konstruksi dapat saja diperjanjikan dengan pihak lembaga pembiayaan tersebut seperti misalnya apabila rumah yang ditawarkan oleh pihak pengembang laku atau terjual maka hasil dari penjualan rumah itu langsung dianggap sebagai pembayaran cicilan dari kredit konstruksi yang diperoleh oleh pihak pengembang sesuai dengan yang diperjanjikan dengan bunga tertentu. Jadi disini pihak lembaga pembiayaan tersebut tidak perlu membayar sejumlah uang seharga rumah yang terjual kepada pihak pengembang sampai hutang pihak pengembang tersebut lunas atau dengan kata lain kredit konstruksinya telah berakhir.

C. Hak dan Kewajiban Yang Timbul Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Pada dasarnya setiap perjanjian melahirkan perikatan bagi para pihak yang melakukan perjanjian tersebut. Bila diperhatikan secara yuridis perjanjian kredit pemilikan rumah, tidak sama dengan perjanjian kredit yang biasanya ada pada lembaga keuangan bank. Walaupun pada prakteknya pada saat sekarang ini perjanjian kredit pemilikan rumah penyaluran kreditnya melalui lembaga keuangan bank. Oleh

82

karena itu hak dan kewajiban yang timbul darai perjanjian ini tidak sama dengan hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian kredit yang biasanya ada pada lembaga keuangan bank, meskipun garis besar penyaluran kreditnya sama. Perbedaan yang nampak antara perjanjian kredit pemilikan rumah dengan perjanjian kredit yang biasanya ada pada bank adalah mengenai tujuan pinjaman. Pinjaman yang biasanya ada pada bank dalam bentuk uang yang akan dikelola kemudian, sedangkan pada kredit pemilikan rumah meskipun dinilai dalam bentuk uang, tetapi yang diberikan kepada debitur adalah rumah, dengan kewajiban membayar sisa cicilan rumah tersebut, dan sejak disepakatinya perjanjian tersebut, debitur telah merupakan pemilik rumah tersebut, hanya saja debitur masih mempunyai kewajiban untuk melunasi pembayaran yang tersisa. Mengacu pada asumsi diatas, penulis melihat bahwa perjanjian kredit pemilikan rumah yang dilakukan oleh pihak penyalur kredit, dalam hal ini lembaga keuangan bank tergolong pada perjanjian jual beli dengan cicilan. Hal ini disebabkan oleh karena debitur adalah orang yang membeli rumah, tetapi pelunasannya dilakukan secara cicilan atau angsuran. Jual beli cicilan, merupakan penjabaran nyata dari keterbukaan Buku III KUH Perdata, sebab KUH Perdata hanya mengenal perjanjian jual beli tanpa ditambah dengan kata cicilan. Tetapi dasar yang dipakai untuk melakukan jual beli secara kredit tersebut tetap ketentuan umum yang berlaku pada perjanjian jual beli, hanya saja teknik operasional pembayarannya saja yang berbeda. Karena kredit pemilikan rumah tersebut, merupakan pengalihan hak milik dengan suatu pembayaran kredit. Dalam Pasal 1457 KUH Perdata, disebutkan bahwa :

83

“Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang diperjanjikan.” Dari ketentuan pasal diatas, dapat dilihat bahwa jual beli, merupakan pengalihan hak milik dengan cara melakukan pembayaran harga barang yang dialihkan. Hanya saja tidak semua orang mempunyai uang kontan untuk membayar, maka didalam praktek berkembang sistem pembayaran dengan cara kredit atau angsuran (cicilan) seperti halnya pada perjanjian kredit pemilikan rumah. M. Yahya Harahap, berpendapat : Jual beli cicilan merupakan salah satu bentuk ‘perjanjian kredit’. Pembeli wajib membayar harga barang secara termien atau berkala. Sebaliknya penjual biasanya masih berhak menarik barang yang dijual dari tangan pembeli, apabila pembeli tidak tepat waktu (niet tijdig) membayar harga cicilan, menurut termien yang dijadwalkan. Adanya hak penjual untuk menarik kembali barang yang telah dijual karena akibat keterlambatan membayar cicilan adalah merupakan syarat yang disebut klausula yang menggugurkan atau vervalclausule.32 Berdasarkan pendapat diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa perjanjian kredit pemilikan rumah merupakan perjanjian jual beli rumah dengan pembayaran cicilan atau angsuran. Maka hak dan kewajiban yang timbul dalam perjanjian tersebut mengacu kepada hak dan kewajiban perjanjian jual beli pada umumnya dengan memperhatikan perjanjian khususnya yang dilakukan sebagai persyaratan untuk mendapatkan kredit. 1. Hak dan Kewajiban Kreditur Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, kreditur berhak untuk menerima

32 M. Yahya Harapah, Op.Cit., hal. 216.

84

pembayaran sesuai dengan persyaratan yang telah ditentukan pada saat melakukan perjanjian kredit. Pihak kreditur, dalam hal ini lembaga keuangan bank, berkewajiban menyerahkan rumah melalui tangan developer atau pihak pengembang kepada debitur dan memberikan jaminan atau tanggungan bahwa barang yang diserahkan (rumah) tidak mempunyai sangkutan apapun, baik berupa tuntutan dari pihak ketiga maupun pembebanan, kecuali ditentukan lain. Penyerahan barang dalam jual beli, merupakan tindakan pemindahan barang yang dijual dalam kekuasaan dan pemilikan pembeli. Penyerahan itu dapat diserahkan secara nyata maupun secara yuridis. Bila dikaitkan dengan kredit pemilikan rumah, penulis melihat bahwa jual beli dalam hal ini adalah dilakukan secara penyerahan nyata dan yuridis, dengan tujuan agar pemilikan rumah oleh pembeli menjadi sempurna. Pembeli harus menyelesaikan penyerahan tersebut dengan cara membuat Akta Jual Beli di depan PPAT antara pihak developer dan pihak pembeli. Setelah itu baru pihak developer membawa akta tersebut kepada pihak lembaga keuangan seperti bank untuk diikat dengan perjanjian kredit. Perjanjian kredit yang dibuat bisa berbentuk perjanjian kredit biasa yang dibuat dihadapan Notaris atau perjanjian kredit yang diikat dengan hak tanggungan yang dibuat didepan PPAT. Dalam hal ini berlaku pada perjanjian kredit pemilikan rumah, bahwa ongkos-ongkos yang timbul dalam proses penyerahan ini ditanggung sesuai dengan kesepakatan para pihak. Hak dan kewajiban kreditur, seperti yang penulis kemukakan diatas, pada dasarnya merupaan penjabaran dari ketentuan pasal 1474, 1475, 1476 KUH Perdata, yang mengatakan :

85

1) Ia (Penjual) mempunyai dua kewajiban utama, yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya (Pasal 1474 KUH Perdata) 2) Penyerahan ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli (Psal 1475 KUH Perdata) 3) Biaya-biaya akta jual beli dan lain-lain biaya tambahan dipikul oleh si pembeli, jika tidak telah diperjanjikan sebaliknya (Pasal 1476 KUH Perdata). Dengan melihat rumusan pasal tersebut diatas, jelaslah bahwa didalam membuat perjanjian kredit pemilikan rumah, masih menggunakan atau masih bertitik tolak kepada ketentuan-ketentuan hukum perjanjian jual beli yang diatur dalam KUH Perdata, dengan tetap mengindahkan persyaratan umum perjanjian sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH Perdata. 2. Hak dan Kewajiban Debitur Hak dan kewajiban debitur ini lahir sebagai kebalikan adanya hak dan kewajiban dari kreditur. Seperti yang sudah dikemukakan, bahwa khusus dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang metoda operasionalnya sama dengan perjanjian jual beli dengan cicilan, maka debitur berhak untuk mendapatkan status pemilikan rumah tersebut secara yuridis. Hal ini ditandai dengan diberikannya sertifikat pemilikan. Dari hal itu, maka timbullah kewajiban, yaitu debitur harus memenuhi segala ketentuan perjanjian kredit pemilikan rumah yang telah disetujui semula. Kewajiban mana yang dalam hal ini paling prinsipil adalah kewajiban untuk membayar angsuran kredit sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan. Bila debitur tidak melaksanakannya maka ia dapat dikategorikan telah melakukan tindakan wanprestasi, yang pada titik tertentu apabila tidak diselesaikan dengan baik, dapat menimbulkan akibat-akibat hukum sesuai dengan yang tertera dalam akad

86

kredit yang disetujuinya. Bila hak dan kewajiban debitur ini dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan hukum perjanjian jual-beli, maka hal ini dapat dilihat pada Pasal 1474, 1475, 1513, 1515, 1243, 1266 dan 1267 KUH Perdata, yang mengatakan : 1) Ia (penjual mempunyai dua kewajiban utama yaitu menyerahkan barangnya dan menanggungnya (Pasal 1474 KUH Perdata) Dari kewajiban menanggung dan menyerahkan barang tersebut, lahirlah hak debitur/pembeli menerima rumah, serta sertifikat pemilikannya, sebagaimana disebutkan diatas. 2) Penyerahan ialah suatu pemindahan barang yang telah dijual ke dalam kekuasaan dan kepunyaan si pembeli (Psal 1475 KUH Perdata) 3) Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian, pada waktu ditempat sebagaimana ditetapkan menurut persetujuan (Pasal 1513 KUH Perdata) 4) Si pembeli, biarpun tidak ada janji yang tegas, diwajibkan membayar bunga dari harga pembelian, jika barang yang dijual dan diserahkan memberi hasil atau lain pendapatan (Pasal 1515 KUH Perdata) 5) Penggantian biaya, rugi dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan barulah mulai diwajibkan, apabila seberhutag, setelah dinyatakan lalai memenuhi kewajiban tetap melalaikannya, atau jika sesuatu yang harus diberikan atau dibuatnya, hanya dapat diberikan atau dibuat dalam tenggang waktu yang telah dilampaukannya (Pasal 1243 KUH Perdata) 6) Jika siberhutag lalai akan menyerahkannya, maka semenjak saat kelalaian, kebendaan adalah atas tanggungan siberhutang (Pasal 1237 ayat (2) KUH Perdata) 7) Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang timbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya Dalam hal demikian persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan kepada hakim (Pasal 1266 ayat (1) dan (2) KUH Perdata) 8) Pihak terhadap siapa perikatan tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia, jika itu masih dapat dilakukan, akan memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, ataukah ia akan menuntut pembatalan persetujuan, disertai biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267 KUH Perdata). Dari ketentuan tersebut diatas, tampaklah bahwa hak dan kewajiban debitur

87

pada perjanjian kredit pemilikan rumah, yang tetap berlandaskan pada ketentuanketentuan yang ada didalam KUH Perdata. Meskipun didalam akad kreditnya tidak disebutkan secara jelas pasal-pasal mana dalam KUH Perdata tersebut yang akan dipergunakan. Jadi hak dan kewajiban debitur yang ditinjau disini adalah secara umum, sedangkan hak dan kewajiban yang lain dapat saja diperjanjikan didalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang telah dibuat formatnya secara baku oleh pihak kreditur.

D. Hal-Hal Yang Diperjanjikan Dalam Perjanjian Kredit Pemilikan Rumah Tentang isi suatu perjanjian kredit, sebenarnya ada variasi dari suatu jenis kredit dengan jenis kredit lainnya. Juga besarnya uang pinjaman ikut memberi warna kepada klausul-klausul yang dituangkan dalam perjanjian kredit tersebut. Secara umum dapat dikatakan bahwa semakin besar jumlah pinjaman yang diberikan, maka semakin terperinci isi perjanjian kreditnya. Namun demikian ada beberapa klausul penting dalam perjanjian kredit yang didapati dalam hampir semua jenis perjanjian kredit. Dalam tulisan ini penulis meninjau tentang hal-hal yang diperjanjikan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, tidak secara khusus tetapi secara umum. Dengan kata lain dapat disebutkan bahwa penulis akan menguraikan mengenai klausulklausul penting yang biasanya ada dalam suatu perjanjian kredit pemilikan rumah. a. Pemberian kuasa dari pihak pengembang kepada pihak kreditur Pada bagian ini pihak pengembang memberikan kuasa sepenuhnya kepada

88

pihak kreditur untuk membuat/memasang hipotik, dahulunya sekarang disebut dengan hak tanggungan atas bangunan rumah beserta tanah yang menjadi objek jaminan. Selain itu pihak kreditur juga dapat membuat ketentuan-ketentuan yang lazim dibuat dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Pihak kreditur juga mempunyai hak untuk mengambil alih bangunan rumah beserta tanah yang menjadi objek jaminan dan melelangnya didepan pelelangan umum apabila pihak debitur lalai melaksanakan kewajibannya dalam membayar cicilan sesuai dengan jangka waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian tersebut. b. Pinjaman yang diberikan Pihak kreditur membayar sejumlah uang kepada pihak pengembang seharga rumah yang dibeli oleh pihak debitur. Hal ini berarti bahwa pihak kreditur memberikan pinjaman uang kepada debitur untuk membeli sebuah rumah beserta tanahnya. Dan pihak debitur mempunyai kewajiban untuk membayar pinjaman tersebut dengan cara mencicil ditambah dengan bunga seperti yang telah ditetapkan didalam perjanjian kredit tersebut. Oleh karena pihak kreditur sudah mendahulukan pembayaran tersebut, maka dibitur harus mengikuti segala ketentuan yang dituangkan didalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Seperti misalnya, debitur harus melunasi hutangnya dengan cara mencicil kepada pihak kreditur ditambah dengan bunga pinjaman seperti yang telah ditentukan dalam perjanjian tersebut. Jadi di dalam perjanjian kredit pemilikan rumah harus jelas berapa jumlah pinjaman dan jumlah bungan yang harus dibayar oleh pihak debitur agar tidak terjadi kesalahfahaman yang mengakibatkan kerugian kedua belah pihak.

89

c. Biaya-biaya yang timbul dalam perjanjian kredit pemilikan rumah Dalam bagian ini ditentukan biaya-biaya apa saja yang harus dikeluarkan dan siapa yang mengeluarkan. Dalam perjanjian kredit pemilikan rumah biasanya biayabiaya yang timbul adalah biaya-biaya sepert misalnya biaya pembuatan akta perjanjian kredir di notaris, biaya pengurusan sertifikat dan balik nama sertifikat kepada nama si pembeli rumah. Oleh karena hal tersebut lah maka mengenai biaya-biaya ini harus jelas dituliskan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Dalam arti bahwa biaya apa saja yang perlu dibayar dan siapa yang berhak untuk membayarnya. d. Jaminan hutang dalam perjanjian kredit pemilikan rumah Di dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang menjadi jaminan hutangnya adalah rumah beserta tanah yang dibeli oleh debitur. Kreditur dalam memberikan kredit harus meminta jaminan kepada debitur, untuk menjaga supaya pembayaran kredit itu dapat berjalan dengan baik, dalam arti agar debitur tidak lalai dalam melaksanakan kewajibannya membayar cicilan rumah. Hal ini terjadi karena dalam perjanjian kredit pemilikan rumah, pihak kreditur dianggap telah memberikan pinjaman uang sejumlah harga rumah yang ditawarkan oleh pengembang. Konsekuensinya adalah untuk dapat menerima kredit tersebut pihak debitur harus memberikan jaminan yaitu berupa rumah beserta tanah yang dibelinya tadi. Dan debitur harus membayar cicilan hutangnya kepada kreditur ditambah dengan bunga sesuai dengan yang ditentukan oleh pihak kreditur. Apabila kreditur lalai dalam melaksanakan kewajibannya, maka kreditur dapat

90

mengambil barang yang menjadi jaminan tersebut dan dapat melelangnya didepan pelelangan umum. Dari hasil pelelangan tersebut kreditur dapat mengambil pelunasan hutang sebatas sebesar hutang debitur. Dan apabila dari hasil pelelangan itu ada lebihnya, maka lebihnya itu harus dikembalikan kepada debitur, begitu pula sebaliknya apabila kurang maka kekurangan atas pelunasan hutang itu harus dibayar oleh debitur. Jadi mengenai jaminan juga penting untuk diperjanjikan secara jelas dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Perlu ditegaskan bahwa yang menjadi jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah adalah rumah beserta tanahnya. e. Hal-hal yang mengakibatkan wanprestasi Dalam suatu perjanjian kredit, seperti umumnya juga dalam perjanjianperjanjian lainnya, biasanya diperinci hal-hal yang apabila dilakukan oleh salah satu pihak, maka terjadilah wanprestasi dan menyebabkan pihak lain dapat memutuskan perjanjian tersebut. Hal-hal atau kejadian-kejadian seperti ini sering disebut dengan istilah events of default, yang apabila diartikan memiliki makna kegagalan dari suatu peristiwa, dalam hal ini kegagalan salah satu pihak untuk menjaga perjanjian tersebut dari hal-hal yang dapat membatalkan perjanjian. Didalam perjanjian kredit pemilikan rumah harus diperjanjikan mengenai halhal yang mengakibatkan wanprestasi. Hal ini biasanya dibuat agar debitur mengetahui batasan-batasan yang tidak boleh dilanggarnya yang dapat mengakibatkan debitur wanprestasi. Batasan-batasan itu harus secara jelas dituangkan dalam perjanjian tersebut supaya tidak terjadi hal yang dapat merugikan kedua belah pihak. Misalnya ketentuan

91

mengenai wanprestasi pembayaran. Dalam ketentuan wanprestas membayar debitur dianggap melakukan wanprestasi seandainya dia gagal melakukan pembayaran kembali pokok pinjaman atau bunga pada tanggal jatuh tempo, atau tidak membayar biaya-biaya lainnya yang merupakan kewajibannya menurut perjanjian kredit atau dokumen lainnya yang terkait. f. Perintah untuk mengasuransikan jaminan kredit pemilikan rumah Untuk mencegah hal yang dapat merugikan pihak kreditur selama cicilan hutang debitur belum lunas, maka pihak kreditur memerintahkan dalam perjanjian kepada debitur untuk mengasuransikan rumah yang menjadi objek pada perusahaan asuransi yang ditunjuk oleh pihak kreditur. Asuransi ini dilakukan untuk menghindari bahaya-bahaya yang dapat mengakibatkan barang jaminan rusak atau musnah disebabkan oleh karena misalnya kebakaran dan bahaya-bahaya lain yang dipandang perlu oleh pihak kreditur. Jika dalam waktu yang ditetapkan, debitur belum melaksanakan perintah kreditur untuk mengasuransikan barang jaminan, maka kreditur berhak dan dengan ini dikuasakan oleh debitur untuk mengasuransikan sendiri bangunan rumah tersebut. Premi-premi asuransi tersebut dibayar oleh debitur, sedangkan polisnya harus diserahkan dan disimpan oleh kreditur. g. Jangka waktu pembayaran Mengenai jangka waktu pembayaran ini sangat perlu untuk dituliskan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah. Hal ini disebabkan supaya debitur tahu dengan

92

jelas kapan perjanjian ini berakhir. Jangka waktu itu misalnya 10 tahun atau 20 tahun. Sedangkan jangka waktu pembayaran cicilan biasanya 1 bulan sekali, dengan ketentuan apabila debitur terlambat satu hari akan didenda sebesar sekian rupiah seperti yang diperjanjikan. h. Hak dan kewajiban debitur dan kreditur Hak dan kewajiban debitur dan kreditur pada perjanjian kredit pemilikan rumah tetap berlandaskan pada ketentuan-ketentuan yang ada didalam KUH Perdata. Meskipun didalam akad kreditnya tidak disebutkan secara jelas pasal-pasal mana dalam KUH Perdata tersebut yang dipergunakan. Jadi hak dan kewajiban debitur yang ditinjau disini adalah secara umum, sedangkan hak dan kewajiban yang lain dapat saja diperjanjikan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang telah dibuat formatnya secara baku oleh pihak kreditur. Hak dan kewajiban debitur dan kreditur ini harus secara jelas dituangan dalam perjanjian dengan tujuan tidak ada pihak yang dirugikan.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 1. Bahwa ketentuan-ketentuan yang ada pada KUH Perdata, masih dipakai dalam perjanjian kredit pemilikan rumah walaupun tidak seluruhnya. Hal ini dapat dilihat bahwa ketentuan mengenai persyaratan umum perjanjian seperti ini dapat dilihat bahwa ketentuan mengenai persyaratan umum perjanjian

93

seperti yang diatur didalam Pasal 1320 KUH Perdata masih dipakai sebagai acuan dalam membuat perjanjian kredit pemilikan rumah. Khusus mengenai ketentuan hipotik dan credietveband yang diatur dalam KUH Perdata, dan biasanya dipakai dalam perjanjian kredit pemilikan rumah sebagai pembebanan jaminan, dianggap tidak berlaku lagi setelah keluarnya UndangUndang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan. 2. Syarat-syarat pembebanan jaminan dalam perjanjian kredit pemilikan rumah 93 mengikuti syarat-syarat sahnya suatu hak tanggungan seperti yang diatur dalam Undang-Undang Hak Tanggungan. Hal ini dikarenakan didalam perjanjian kredit pemilikan rumah yang paling penting sekali adalah hak tanggungan sebagai suatu lembaga jaminan tehadap tanah dan benda-benda yang berkaitan dengan tanah. Atau dengan kata lain dapat disebutkan bahwa perjanjian kredit pemilikan rumah harus melibatkan hak tanggungan dan tidak boleh dipisahkan oleh karena hal tersebut merupakan satu kesatuan yang telah ada pengaturannya dalam perundang-undangan. B. Saran 1. Oleh karena belum adanya kesamaan pendapat mengenai perjanjian baku, khususnya didalam bidang perjanjian kredit pemilikan rumah, maka diharapkan kepada pembentuk undang-undang bekerjasama dengan instansi yang terkait untuk menciptakan suatu peraturan tentang perjanjian baku (standar) yang bersifat nasional dan universal. 2. Dengan adanya peraturan yang mengatur tentang perjanjian baku, khususnya mengenai perjanjian kredit pemilikan rumah maka diharapkan para pihak

94

yang terkait dalam perjanjian itu lebih terjamin kepastian hukumnya. Hal ini ditandai dengan adanya kesamaan dalam klausul dan materi perjanjian, agar persyaratan khusus di luar KUH Perdata yang dipergunakan dalam perjanjian kredit, tidak merugikan kedua belah pihak, terutama pihak debitur sebagai pemohon kredit.

DAFTAR PUSTAKA

Badrulzaman, Mariam Darus, KUH Perdata Buku III (Hukum Perikatan dengan Penjelasan), (Alumni : Bandung), 1996. --------------------------, Hukum Perdata Tentang Perikatan, (Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara : Medan), 1999. -------------------------, Bab-Bab Tentang Credietverband, Gadai dan Fiducia, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung), 1991. Fuady, Munir, Hukum Perkreditan Kontemporer, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung),

95

1996. Hadisoeprapto, Hartono, Pokok-Pokok Hukum Perikatan dan Hukum Jaminan, (Liberty : Yogjakarta), 2001. Harahap, M. Yahya, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Alumni : Bandung), 2002. Hidayat, Mohammad S., Pola Pembangunan Perumahan Belum Tepat, (Media Indonesia : Jakarta) 24 April 2004. Parlindungan, AP., Komentar Undang-Undang Tentang Hak Tanggungan, (Mandar Maju : Bandung), 1996. Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Perjanjian, (Sumur : Bandung), 2002. Putra, Edy Tje’Aman, Kredit Perbankan Suatu Tinjauan Yuridis, (Liberty : Yogjakarta), 2003. Remi, Sutan Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bankir Indonesia, (Institusi Bankir Indonesia : Jakarta), 1993. Satrio, J. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Kebendaan, (Citra Aditya Bakti : Bandung), 2001. ----------------------, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan, (PT. Citra Aditya Bakti : Bandung), 1997. Setioprodjo, Bambang, Pengamanan Kredit Perbankan Yang Dijamin Oleh Hak Tanggungan, (Fakultas Hukum USU : Medan), 1996. Soedewi, Sri Maschoen Sofwan, Beberapa Masalah Pelaksanaan Lembaga Jaminan Khususnya Fiducia Di Dalam Praktek Dan Perkembangannya di Indonesia, (Fakultas Hukum UGM : Jogyakarta), 1977.

96

----------------------, Hukum Jaminan Di Indonesia, Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Liberty : Yogyakarta), 1980. Subekti, R., Pokok-Pokok Hukum Perdata, (PT. Intermasa : Jakarta), 1978. Suyatno, Thomas, et. Al., Dasar-Dasar Perkreditan, (PT. Gramedia Pustaka Utama : Jakarta), 1997. Tjiptoherijanto, Prijono, Perumahan dan Pembangunan, Warta Ekonomi No. 182/Th. XVI/25, November , 2006. Tirtodiningrat, KMRT, Ichtiar Hukum Perdata dan Hukum Dagang, (Pembangunan : Jakarta), 1991.

Related Documents

Skripsi
December 2019 83
Skripsi
May 2020 46
Skripsi
June 2020 43