SELAMATAN KEMATIAN ( TAHLILAN ) BAGAIMANA HUKUMNYA ? Sudah menjadi tradisi masyarakat di Indonesia ketika salah seorang anggota keluarganya meninggal dunia, maka diadakan acara ritual " Tahlilan". Apakah acara tersebut berasal dari Islam ? Mari kita simak dengan hati nurani yang murni untuk mencari yang haq dari dien yang kita yakini ini. Kita lihat acara dalam Tahlilan ( maaf ini hanya sepanjang penulis ketahui, bila ada yang kurang harap maklum ) - Biasanya bila musibah kematian pagi hari maka di malam harinya diadakan acara Tahlilan ini yaitu dibacakan bersama-sama surat Yasin atau doa lainnya. - Kemudian di do'akan untuk ahli mayit dan keluarganya dan terkadang ahli mayit menyediakan makanan guna menghormati tamunya yang ikut dalam acara Tahlilan tersebut. - Bahkan biasanya acara ini bukan hanya pada hari kematian namun akan berlanjut pada hari ke 40 dan seterusnya. Saudaraku, Mari kita simak Hadits Shahih berikut : " Dari Jarir bin Abdullah Al Bajalii, " Kami ( yakni para Shahabat semuanya ) memandang/menganggap ( yakni menurut madzhab kami para Shahabat ) bahwa berkumpul-kumpul di tempat ahli mayit dan membuatkan makanan sesudah ditanamnya mayit termasuk dari bagian meratap." Sanad Hadits ini shahih dan rawi-rawinya semuanya tsiqat ( dapat dipercaya ) atas syarat Bukhari dan Muslim, bahkan telah di shahihkan oleh jama'ah para ulama' Mari kita perhatikan ijma'/kesepakatan tentang hadits tersebut diatas sebagai berikut : 1. Mereka ijma' atas keshahihan hadits tersebut dan tidak ada seorang pun ulama' ( sepanjang yang diketahui penulis-Wallahua'lam ) yang mendhaifkan hadits tersebut. 2. Mereka ijma' dalam menerima hadits atau atsar dari ijma' para shahabat yang diterangkan oleh Jarir bin Abdullah. Yakni tidak ada seorang pun ulama' yang menolak atsar ini. 3. Mereka ijma' dalam mengamalkan hadits atau atsar diatas. Mereka dari zaman shahabat sampai zaman kita sekarang ini senantias melarang dan mengharamkan apa yang telah di ijma'kan oleh para shahabat yaitu berkumpul-kumpul ditempat atau rumah ahli mayit yang biasa kita kenal di negeri kita ini dengan nama " Tahlillan atau Selamatan Kematian ". Mari kita simak dan perhatikan perkataan Ulama' ahlul Ilmi mengenai masalah ini : 1. Perkataan Al Imam Asy Syafi'I, yakni seorang imamnya para ulama', mujtahid mutlak, lautan ilmu, pembela sunnah dan yang khususnya di Indonesia ini banyak yang mengaku bermadzhab beliau, telah berkata dalam kitabnya Al Um (I/318) : " Aku benci al ma'tam yaitu berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit meskipun tidak ada tangisan, karena sesungguhnya yang demikian itu akan memperbaharui kesedihan ." )* )* : ini yang biasa terjadi dan Imam Syafi'I menerangkan menurut kebiasaan yaitu akan memperbaharui kesedihan. Ini tidak berarti kalau tidak sedih boleh dilakukan. Sama sekali tidak ! Perkataan Imam Syafi'I diatas tidak menerima pemahaman terbalik atau mafhum mukhalafah. Perkataan imam kita diatas jelas sekali yang tidak bisa dita'wil atau di Tafsirkan kepada arti dan makna lain kecuali bahwa : " beliau dengan tegas Mengharamkan berkumpul-kumpul dirumah keluarga/ahli mayit. Ini baru berkumpul saja, bagaimana kalau disertai dengan apa yang kita namakan disini sebagai Tahlilan ?" 2. Perkataan Al Imam Ibnu Qudamah, dikitabnya Al Mughni ( Juz 3 halaman 496-497 cetakan baru ditahqiq oleh Syaikh Abdullah bin Abdul Muhsin At Turki ) : " Adapun ahli mayit membuatkan makanan untuk orang banyak maka itu satu hal yang dibenci ( haram ). Karena akan menambah kesusahan diatas musibah mereka dan menyibukkan mereka diatas kesibukan mereka dan menyerupai perbuatan orang-orang jahiliyyah. Dan telah diriwayatkan bahwasannya Jarir pernah bertamu kepada Umar. Lalu Umar bertanya, " Apakah mayit kamu diratapi ?" Jawab Jarir, " Tidak !" Umar bertanya lagi, " Apakah mereka berkumpul di rumah ahli mayit dan mereka membuat makanan ? Jawab Jarir, " Ya !" Berkata Umar, " Itulah ratapan !" 3. Perkataan Syaikh Ahmad Abdurrahman Al Banna, dikitabnya :
Fathurrabbani Tartib Musnad Imam Ahmad bin Hambal ( 8/95-96) : " Telah sepakat imam yang empat ( Abu Hanifah, Malik, Syafi'I dan Ahmad ) atas tidak disukainya ahli mayit membuat makanan untuk orang banyak yang mana mereka berkumpul disitu berdalil dengan hadits Jarir bin Abdullah. Dan zhahirnya adalah HARAM karena meratapi mayit hukumnya haram, sedangkan para Shahabat telah memasukkannya ( yakni berkumpul-kumpuldirumah ahli mayit ) bagian dari meratap dan dia itu (jelas) haram. Dan diantara faedah hadits Jarir ialah tidak diperbolehkannya berkumpul-kumpul dirumah ahli mayit dengan alas an ta'ziyah /melayat sebagaimana dikerjakan orang sekarang ini. Telah berkata An Nawawi rahimahullah, 'Adapun duduk-duduk (dirumah ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta'ziyah telah dijelaskan oleh Imam Syafi'I dan pengarang kitab Al Muhadzdzab dan kawan-kawan semadzhab atas dibencinya ( perbuatan tersebut ).' Kemudian Nawawi menjelaskan lagi, " Telah berkata pengarang kitab Al Muhadzdzab : Dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alas an untuk Ta'ziyah. Karena sesungguhnya yang demikian itu adalah muhdats ( hal yang baru yang tidak ada keterangan dari Agama), sedang muhdats adalah " Bid'ah." 4. Perkataan Al Imam An Nawawi, dikitabnya Al Majmu' Syarah Muhadzdzab (5/319-320) telah menjelaskan tentang Bid'ahnya berkumpul-kumpul dan makan-makan dirumah ahli mayit dengan membawakan perkataan penulis kitab Asy Syaamil dan ulama lainnya dan beliau menyetujuinya berdalil dengan hadits Jarir yang beliau tegaskan sanadnya shahih. 5. Perkataan Al Imam Asy Syairazi, dikitabnya Muhadzdzab yang kemudian disyarahkan oleh Imam Nawawi dengan nama Al Majmu' Syarah Muhadzdzab : " Tidak disukai /dibenci duduk-duduk ( ditempat ahli mayit ) dengan alasan untuk Ta'ziyah karena sesungguhnya yang demikian itu muhdats sedangkan muhdats adalah " Bid'ah ".
6. Perkataan Al Imam Ibnul Humam Al Hanafi, dikitabnya Fathul Qadir (2/142) dengan tegas dan terang menyatakan bahwa perbuatan tersebut adalah " Bid'ah yang jelek ". Beliau berdalil dengan hadits Jarir yang beliau katakan shahih. 7. Perkataan Al Imam Ibnul Qayyim, dikitabnya Zaadul Ma'aad (I/527-528) menegaskan bahwa berkumpulkumpul ( dirumah ahli mayit )dengan alasan untuk ta'ziyah dan membacakan Qur'an untuk mayit adalah " Bid'ah " yang tidak ada petunjuknya dari Nabi SAW. 8. Perkataan Al Imam Asy Syaukani, dikitabnya Nailul Authar (4/148) menegaskan bahwa hal tersebut menyalahi sunnah. 9. Perkataan Al Imam Ahmad bin Hambal, ketika ditanya tentang masalah ini beliau menjawab : " Dibuatkan makanan untuk mereka (ahli mayit ) dan tidaklah mereka (ahli mayit ) membuatkan makanan untuk para penta'ziyah." (Masaa-il Imam Ahmad bin Hambal oleh Imam Abu Dawud hal. 139 ) 10. Perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit dan mengirimnya kepada mereka. Akan tetapi tidak disukai mereka membuat makanan untuk para penta'ziyah. Demikian menurut madzhab Ahmad dan lain-lain." ( Al Ikhtiyaaraat Fiqhiyyah hal.93 ). 11. Perkataan Al Imam Al Ghazali, dikitabnya Al Wajiz Fighi Al Imam Asy Syafi'I ( I/79), " Disukai membuatkan makanan untuk ahli mayit." Kesimpulan : 1. Bahwa berkumpul-kumpul ditempat ahli mayit hukumnya adalah BID'AH dengan kesepakatan para Shahabat dan seluruh imam dan ulama'termasuk didalamnya imam empat. 2. Akan bertambah bid'ahnya apabila ahli mayit membuatkan makanan untuk para penta'ziyah . 3. Akan lebih bertambah lagi bid'ahnya apabila disitu diadakan tahlilan pada hari pertama dan seterusnya. 4. Perbuatan yang mulia dan terpuji menurut SUNNAH NABI Saw kaum kerabat /sanak famili dan para tetangga memberikan makanan untuk ahli mayit yang sekiranya dapat mengenyangkan mereka untuk mereka makan sehari semalam. Ini berdasarkan sabda Nabi Saw ketika Ja'far bin Abi Thalib wafat: " Buatlah makanan untuk keluarga Ja'far ! Karena sesungguhnya telah datang kepada mereka apa yang menyibukakan mereka ( yakni musibah kematian )." ( Hadits Shahih, riwayat Imam Asy Syafi'I ( I/317), Abu Dawud, Tirmidzi, Ibnu Majah dan Ahmad (I/205 )
Wahai Saudaraku, APAKAH PERKATAAN ORANG-ORANG AHLUL ILMU TERSEBUT MASIH BELUM MEYAKINKAN ? Marilah kita mencoba merenungi dengan hati yang jernih, janganlah kita kedepankan hawa nafsu kita. Tentu dalam hati kita senantiasa banyak pertanyaan yang mengganjal diantaranya : - Kenapa sejak dahulu, kakek kita, bapak kita, ustadz kita bahkan kyiai kita mengajarkannya dan bahkan sudah lumrah dimasyarakat ? - Darimana mereka ( ustadz/kyiai kita ) mengambil dalilnya apa hanya budaya ? Wahai saudaraku, Dalam menilai sebuah kebenaran bukanlah disandarkan oleh banyak atau sedikitnya orang yang mengikuti, karena hal ini telah disindir oleh Alloh SWT dalam QS. Al An'aam 116 : "Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang dimuka bumi ini,niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan-Nya dan Dia lebih mengetahui tentang orang-orang yang mendapat petunjuk." Marilah kita dalam beragama bersandarkan kepada dalil-dalil yang shahih karena dengan berdasar hujjah ( dalil ) yang kuat maka kita akan selamat. Kita tidak boleh beragama hanya mengikuti orang lain yang tidak mengetahui tentangnya karena di akhirat kelak kita akan dimintai pertanggung jawaban terhadap yang telah kita lakukan di dunia, perhatikan peringatan Alloh dalam QS. Al Israa' 36 ; "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya." MUDAH-MUDAHAN ALLOH SWT MEMBERIKAN TAUFIK SERTA HIDAYAH KEPADA KITA SEHINGGA MENDAPAT RIDHO DARI ALLOH SUBHANAHU WA TA’ ALA ATAS AMAL YANG KITA LAKUKAN BUKAN SEBALIKNYA, AMIN (Maraji, dari kitab " Al Masaail oleh Ust. Abdul Hakim bin Amir Abdat ") Wallahua'lam bish showab
Tahlilan dan Selamatan Menurut madzhab Syafi'i Oleh :Drs Ubaidillah TAHLILAN Acara tahlilan, yaitu acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, merupakan tradisi yang telah melembaga di kalangan masyarakat atau dengan kata lain, telah menjadi milik masyarakat Islam di tanah air. Dalam acara tersebut lazimnya dibacakan ayat-ayat Al Qur'an tertentu, bacaan laa ilaaha illallah, subhanallah dll, dengan niat pahala bacaan tersebut dihadiahkan / dikirimkan kepada mayit / roh tertentu atau arwah kaum Muslimin pada umumnya. Satu hal yang belum banyak diketahui kaum muslimin itu sendiri ialah, pada umumnya mereka, mengaku BERMADZAB SYAFI'I, baik dengan pengertian yang sebenarnya atau hanya ikut-ikutan. Namun demikian, ironinya justru amalan Tahlilan atau Selamatan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit itu bertentangan dengan berbagai pendapat ulama-ulama dari kalangan madzhab Syafi'I, termasuk Imam Syafi'i sendiri. Kalau toh ada pendapat lain dari kalangan madzhab tersebut maka jumlahnya sangat sedikit dan dipandang lemah, sebab bertentangan dengan ajaran Al Qur'an (ayat 39 Surat An Najm dan Sunnah Rasulullah serta para sahabatnya), yang mendasari pendapat mereka. Berikut ini penulis bawakan sejumlah pendapat Ulama-Ulama Syafi'i tentang masalah tersebut yang dikutib dari Kitab-kitab tafsir, Kitab-kitab Fiqih dan Kitab-kitab Syarah Hadits, yang penulis pandang mu'tabar (jadi pegangan) di kalangan pengikut-pengikut madzhab Syafi'i. Pendapat Imam As Syafi'i Rahimahullah. Imam An Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, SYARAH MUSLIM, demikian : "Adapun bacaaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit), maka yang masyur dalam madzhab Syafi'i, tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi...Adapun dalil Imam Syafi'i dan pengikutnya adalah firman Allah (yang artinya), "Dan seseorang tidak akan memperoleh, melainkan pahala usahanya sendiri" dan sabda Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM,
"Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah amal usahanya, kecuali tiga hal yaitu, sedakah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak yang shaleh yang berdoa untuknya." (An Nawawi, SYARAH MUSLIM, Juz 1 Hal. 90). Juga Imam Nawawi di dalam Kitab Takmilatul Majmu', Syarah Mahadzab mengatakan : "Adapun bacaan Qur'an dan mengirimkan pahalanya untuk mayit dan mengganti shalatnya mayit tsb, menurut Imam Syafi'i dan Jumhurul Ulama', tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Keterangan ini telah diulang-ulang oleh Imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim." (As Subuki, TAKMILATUL MAJMU', syarah MUHADZAB, juz X, hal. 426). (Mengganti shalat mayit, maksudnya menggantikan shalat yang ditinggalkan almarhum semasa hidupnya). Al Haitami, di dalam Kitabnya, Al FATAWA AL KUBRO AL FIGHIYAH, mengatakan demikian : "Mayit, tidak boleh dibacakan apapun, berdasarkan keterangan yang mutlak dari Ulama' Mutaqaddimin (terdahulu), adpun bacaan (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepadanya, sebab pahala bacaan tersebut untuk pembacanya saja. Sedang pahala hasil amalan tidak dapat dipindahkan dari amil (yang mengamalkan) perbuatan itu, berdasarkan firman Allah, "Dan Manusia tidak memperoleh, kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri." (Al Haitami, AL FATAWA AL KUBRA AL FIGHIYAH, juz 2, hal. 9). Imam Muzani, di dalam Hamisy AL UM, mengatakan demikian : "Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM memberitahukan sebagaimana yang diberitakan Allah, bahwa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya amalnya adalah untuk dirinya sendiri, bukan untuk orang lain dan tidak dapat dikirimkan kepada orang lain." (Tepi AL UM, AS SYAFI'I, juz 7, hal. 269). Imam Al Khaizin di dalam tafsirnya mengatakan sebagai berikut: "Dan yang masyhur dalam madzhab Syafi'i adalah, bacaan Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayit) tidak dapat sampai kepada mayit yang dikirimi." (Al Khazin, AL JAMAL, juz 4, hal. 236). Di dalam tafsir Jalalain disebutkan demikian : "Maka sesorang tidak memperoleh pahala sedikitpun dari usaha orang lain." (Tafsir JALALAIN, 2/197). Ibnu Katsir dalam tafsirnya TAFSIRUL QUR'ANIL AZHIM menafsirkan ayat 39 Surat An Najm dengan mengatakan "Yakni, sebagaimana dosa seseorang tidak dapat menimpa kepada orang lain, demikian juga manusia tidak dapat memperoleh pahala melainkan dari hasil amalnya sendiri, dan dari ayat yang mulia ini (ayat 39 An Najm), Imam Syafi'i ra. dan Ulama-ulama yang mengikutinya mengambil kesimpulan, bahwa bacaan yang pahalanya dikirimkan kepada mayit tidak akan sampai, karena bukan dari hasil usahanya sendiri. Oleh karena itu Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tidak pernah menganjurkan umatnya untuk mengamalkan (pengiriman pahala bacaan), dan tidak pernah memberikan bimbingan, baik dengan nash maupun dengan isyarat. Juga tidak ada seorang sahabatpun yang pernah mengamalkan perbuatan tersebut. Kalau toh amalan semacam itu memang baik, tentu mereka lebih dahulu mengerjakannya, padahal amalan qurban (mendekatkan diri kepada Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) hanya terbatas yang ada nash-nashnya (dalam Al Qur'an dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) dan tidak boleh dipalingkan dengan qiyas-qiyas dan pendapat-pendapat." Demikian diantaranya berbagai pendapat Ulama Syafi'iyah tentang acara tahlilan atau acara pengiriman pahala bacaan kepada mayit/roh, yang ternyata mereka mempunyai satu pandangan yaitu, mengirimkan pahala bacaan Qur'an kepada mayit / roh tidak akan sampai kepada mayit atau roh yang dikirimi, terlebih lagi kalau yang dibaca itu selain Al Qur'an, tentu saja akan lebih tidak sampai kepada mayit yang dikirimi. Jika sudah jelas bahwa pengiriman pahala tersebut tidak dapat sampai, maka acara-acara semacam itu adalah sia-sia belaka, atau merupakan perbuatan tabdzir. Padahal Islam melarang umatnya berbuat sia-sia dan tabdzir. Adapaun dasar hukum dari pendapat mereka itu adalah firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM dalam surat An Najm ayat 39 dan Hasits Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM tentang terputusnya amal manusia apabila ia telah meninggal dunia, kecuali tiga hal, yaitu sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang shaleh, baik laki-laki maupun perempuan yang berdoa untuk orang tuanya. Kemudian timbul pertanyaan, bagaimana kalau seandainya setiap usai tahlilan lalu berdoa, ALLAHUMA AUSHIL TSHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAMABA MAA WARA'NAAHU ILA RUHI FULAN (Ya Allah sampaikanlah pahala bacaan kami tadi kepada roh si fulan)? Pertanyaan tadi dapat dijawab demikian : Ulama telah sepakat, bahwa pengiriman pahala bacaan itu tidak sampai kepada toh yang dikirimi, sebab
bertentangan dengan firman Allah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM dalam Surat An Najm ayat 39. Adalah sangat janggal, kalau kita berbuat mengirimkan pahala bacaan kepada mayit, yang berarti kita telah melanggar syari'at-Nya, tetapi kemudian kita mohon agar perbuatan melanggar syari'at itu dipahalahi dan lebih dari itu, mohon agar do'a tersebut dikabulkan. Jadi, kalau toh sehabis acara tahlilan itu, kita lalu berdoa seperti itu, rasanya adalah janggal dan tetap tidak dapat dibenarkan, karena mengandung hal-hal yang kontradiktif (bertentangan); yaitu di satu pihak, doa adalah ibadah dan di pihak lain amalan megirim pahala bacaan adalah amalan sia-sia, yang berarti melanggar syari'at, yang kemudian, amalan semacam itu kita mohonkan agar dipahalahi, dan pahalanya disampaikan kepada roh. SELAMATAN KEMATIAN Demikian juga selamatan atau berkumpul dengan hidangan makanan di rumah keluarga mayit, baik pada saat hari kematian, hari ke dua, hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus dsb..maupun dalam upacara yang sifatnya massal yang lazimnya dilakukan di perkuburan (maqrabah) yang biasa disebut khaul dll. yang di situ juga di adakan acara selamatan atau makan-makan, maka sebenarnya apabila kita periksa di dalam kitab-kitab Syafi'iyah, baik kitab-kitab fiqih, tafsir maupun syarah-syarah hadits, amalan tersebut dinyatakan sebagai amalan 'terlarang' atau dengan kata lain 'haram'.Hal ini tentu belum banyak diketahui oleh kalangan madzhab Syafi'i itu sendiri, atau kalau toh ada yang tahu, maka jumlahnya tidak banyak, maka marilah kita ikuti bersama bagaimana pandangan mereka tentang masalah ini. Di dalam kitab Fiqih I'anatut Thalibin dinyatakan demikian: "Ya, apa yang dikerjakan orang, yaitu berkumpul di rumah keluarga mayit dan dihidangkannya makanan untuk itu, adalah termasuk bid'ah munkarat bid'ah yang di ingkari agama) yang bagi orang yang memberantasnya akan diberi pahala." (I'anatut Thalibin. Syarah Fat-hul Mu'in, juz 2, hal.145). Imam Syafi'i sendiri tidak menyukai adanya berkumpul di rumah ahli mayit ini, seperti yang beliau kemukakan dalam Kitab AL UM sbb : "Aku tidak menyukai ma'tam, yaitu berkumpul (di rumah keluarga mayit), meskipun di situ tidak ada tangisan, karena hal itu malah akan menimbulkan kesedihan baru." (As Syafi'i AL UM, juz 1, hal. 248). Selanjutnya di dalam Kitab I'anatut Thalibin tersebut dikatakan demikian: "Dan apa yang dibiasakan orang tentang hidangan makanan oleh keluarga mayit untuk dihidangkan kepada para undangan, adalah bid'ah yang tidak disukai dalam agama, sebagaimana halnya berkumpul di rumah keluarga mayit itu sendiri, karena ada hadits shahih yang di riwayatkan Jarir yang berkata: "Kami mengganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayit) yakni haram." (I'anatut Thalibin, juz 2, hal. 146). Juga pengarang I'anah mengutip keterangan dari Kitab BAZZAZIYAH sebagai berikut: "Dan tidak disukai menyelenggarakan makan-makan pada hari pertama (kematian), hari ke tiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke kuburan secara musiman (seperti peringatan khaul - pen) (I'anatut thalibin, juz2, hal. 146). Di dalam Kitab Fiqih Mughnil Muhtaj disebutkan demikian: "Adapun menyediakan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ, adalah bid'ah, dan dalam hal ini Imam Ahmad yang sah dari Jarir bin Abdullah, ia berkata, "Kami menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan oleh keluarga mayit untuk acara itu, adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayit), yaitu haram." (MUGHNIL MUHTAJ, juz 1, hal. 268). Di dalam Kitab Fiqih Hasyiyatul Aqlyubi, dinyatakan demikian: "Syekh Ar Ramli berkata, "Di antara bid'ah yang munkarat (yang tidak dibenarkan agama), yang tidak disukai dikerjakan, yaitu sebagaimana diterangkan di dalam Kitab Ar Raudlah, yaitu apa yang dikerjakan orang, yang disebut: kirafah," dan hidangan makanan untuk acara berkumpul di rumah keluarga mayit, baik sebelum maupun sesudah kematian, dan juga penyembelihan di kuburan." (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal. 353). Di dalam Kitab Fiqih karangan Imam Nawawi, AL MAJMU' syarah MUHADZAB, antara lain dikatakan demikian: "Adapun penyediaan hidangan makanan oleh keluarga mayit dan berkumpulnya orang banyak di situ adalah tidak ada nashnya sama sekali, yang jelas itu adalah bid'ah. " (An-Nawawi, AL MAJMU' SYARAH MUHADZAB, juz 5, hal. 286). Juga pengarang I'anatut Thalibin mengutip keterangan dalam Kitab AL JAMAL SYARAH AL MINHAJ, yang berbunyi demikian: "Dan di antara bid'ah yang munkarat yang tidak disukai, ialah apa yang biasa dikerjakan orang tentang cara penyampaian rasa duka cita, berkumpul dan acara hari ke empatpuluh, bahkan semua itu adalah haram." (I'anatut Thalibin, juz2,hal. 145-146).
Selanjutnya pengarang Kitab tersebut mengutip keterangan dalam Kitab TUHFATUL MUHTAJ SYARAH AL MINHAAJ, sebagai berikut: "Apa yang dibiasakan orang tentang menghidangkan makanan untuk acara mengundang orang banyak ke rumah mayit adalah bid'ah yang tidak disukai, sebab ada hadits yang diriwayatkan Jarir, bahwa ia berkata, "Kami (para sahabat Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM) menganggap, bahwa berkumpul di rumah keluarga mayit dan menghidangkan makanan untuk itu adalah sama hukumnya dengan niyahah (meratapi mayat), yaitu haram." (I'anatutThalibin, juz 2, hal. 145-146). Lebih lanjut pengarang kitab tersebut mengutip fatwa Mufti Madzhab Syafi'i, Ahmad Zaini bin Dahlan sebagai berikut: "Dan tidak ada keraguan sedikitpun, bahwa mencegah umat dari bid'ah munkarat ini adalah berarti menghidupkan sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, mematikan bid'ah, membuka seluas-luasnya pintu kebaikan dan menutup serapat-rapatnya pintu-pintu keburukan, karena orang-orang memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada hal yang diharamkan." (I'natut Thalibin, juz 2, hal. 145-146). Dan di dalam Kitab Fiqih Alal Madzahibil Arba'ah, dinyatakan demikian: "Dan di antara bid'ah yang tidak di sukai agama ialah, apa yang dikerjakan orang tentang memotong binatang-binatang ketika mayit di keluarkan dari tempat bersemayamnya atau di kuburan dan juga menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi orang-orang yang ta'ziyah." (Abdurrahman Al Jaza'iri, AL FIQHU ALAL MADZAHIBIL ARBA'AH, juz 1, hal.539). Demikian pendapat Ulama Syafi'iyah tentang selamatan kematian yang sepakat bahwa amalan tersebut adalah BID'AH MUNKARAT. Dasar mereka ialah kesepakatan (ijma') Sahabat Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, yang menganggap 'haram' hukum amalan tersebut.Jika timbul pertanyaan tentang masalah semacam ini dapat dijawab sbb: Bahwa sedekah itu akan lebih tepat mengena pada sasarannya, lebih berarti dan tentu lebih utama, kalau di wujudkan dalam bentuk selamatan atau walimahan, tapi diberikan langsung kepada FUQORA' MASAKIN, sebab dalam acara selamatan, kebanyakan yang hadir dan yang di undang adalah orang-orang yang mampu, sehingga apa yang diniatkan sebagai sedekah itu tentu akan kurang berarti bagi mereka, kalau tidak boleh dikatakan hampir tidak berarti sama sekali. Ini kalau dipandang makna sedekah itu dari segi kepentingan materil para fuqaha dan masakin. Tambahan lagi, kalau amalan tersebut diniatkan sebagai sedekah, maka akan terjadi talbisul haq bil bathil (mencampuraduk antara yang haq dan bathil). Sebab di satu pihak, sedekah adalah di perintahkan agama sedang dipihak lain yaitu berkumpul dengan hidangan makanan di rumah ahlil mayit adalah haram, dan mengirim pahala semacam itu sendiri juga perbuatan sia-sia. Di sinilah letaknya, bahwa kalau hidangan makanan itu diniatkan sebagai sedekah, maka terjadi campuraduk antara yang haq dan bathil. SANTUNAN UNTUK KELUARGA MAYIT Menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kepada tetangga dari keluarga yang ditimpa musibah kematian anggota keluarganya, dianjurkan agar mambantu meringankan beban penderitaan lahir maupun bathin, dengan sekedar memberikan santunan berupa bahan makan, lebih-lebih jika keluarga mayit itu orang-orang yang tidak mampu atau keluarga miskin. Imam Syafi'i didalam Kitabnya ALUM, antara lain mengatakan demikian: "Dan aku menyukai, bagi tetangga mayit atau sanak kerabatnya untuk membuatkan makanan bagi keluarga mayit, pada hari datangnya musibah itu dan malamnya, yang sekiranya dapat mengeyangkan mereka, dan amalan yang demikian itu adalah sunnah." (As Syafi'i, AL UM, juz 1, hal. 247). Selanjutnya Imam Syafi'i mengatakan bahwa hal itu berdasarkan riwayat dari Abdullah bin Ja'far sbb: "Abdullah bin Ja'far berkata, tatkala tersiar berita terbunuhnya Ja'far, Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM bersabda, "Hendaklah kamu membuat makanan untuk keluarga Ja'far, sebab mereka telah ditimpa hal yang menyusahkan." (HR. As Syafi'i/AL UM, juz 1, hal. 247). Hadits ini menunjukkan bahwa menurut sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM, kaum Muslimin baik tetangga mayit atau sanak kerabatnya, hendaknya berusaha menghibur keluarga mayit yang sedang ditimpa kesusahan itu dengan cara memberikan bantuan barupa bahan makanan dan semacamnya, terutama kepada keluarga mayit yang tidak mampu atau miskin. Maka Imam Syafi'i menganjurkan berbuat hal yang bertentangan dengan anjuran Imam Syafi'i tersebut yaitu masih berlanjutnya tradisi selamatan juga kepada kaum Muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini, karena hal itu sesuai dengan sunnah Rasulullah
SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM. Sementara tradisi masyarakat muslim di tanah air kita ini masih hari ke tiga, ke tujuh, ke empat puluh, ke seratus, ke seribu dsb. dengan menyediakan hidangan makanan yang di samping acara selamatan juga disertai acara tahlilah, yang justru keduanya merupakan amalan yang tidak dibenarkan oleh ulama-ulama Syafi'iyah yang berpedoman dengan Kitabullah dan Sunnah Rasulullah SHALALLAAHU'ALAIHI WASSALAM.
HUKUM TAHLILAN DAN DOA SELAMAT MENURUT MAZHAB IMAM SYAFIE ( BENARKAH KITA BERMAZHAB SYAFIE ATAU BERMAZHAB ORANG TUA-TUA ? )
BAB PERTAMA MENGIRIM PAHALA BACAAN KEPADA MAYAT BERTAHLIL merupakan satu perbuatan bacaan yang dilakukan untuk dikirimkan kepada seseorang yang meninggal dunia atau roh mayat. Ia merupakan satu tradisi tetap yang diamalkan di kalangan masyarakat kita pada hari ini. Lazimnya, bacaan yang diucapkan semasa bertahlil ialah sedikit daripada ayat-ayat al-Qur'an yang tertentu, kalimah La Ilaha Illa Allah atau Subhanaallah atau lain-lain dengan niat bacaan-bacaan tersebut dapat dihadiahkan atau dikirimkan kepada orang yang meninggal dunia atau roh mayat di kalangan orang Islam. Terdapat seperkara yang belum diketahui oleh banyak di kalangan orang Islam sama ada yang benar-benar mengikut mazhab Imam Syafie atau mereka yang hanya mengikut-ikut sahaja, adalah amalan bertahlil dan doa selamat yang kononnya dikirimkan untuk seseorang yang mati sebenarnya bertentangan dengan banyak pendapat di kalangan ulama-ulama yang bermazhab imam Syafie. Ini termasuklah imam Syafie sendiri yang tidak sependapat atau tidak setuju dengan amalan bertahlil dan doa selamat. Terdapat juga ulama-ulama yang berpendapat amalan tersebut boleh dilakukan, namun pandangan tersebut adalah sangat lemah dan amat bertentangan dengan ajaran al-Qur'an (pada surah an-Najm ayat 39 dan sunnah nabi serta para sahabatnya). Di bawah ini penulis cuba membawakan sebahagian daripada pendapat ulama Safiyah berikutan masalah amalan tersebut. Pendapat-pendapat ini telah diambil dari kitab-kitab tafsir, kitab-kitab feqah dan kitab-kitab syarah hadith. Pendapat tersebut juga merupakan pegangan kuat bagi penulis. 1. Pendapat Imam Syafie rahimahullah & Ulama’-Ulama’ Imam Syafie. Imam Nawawi menyebutkan di dalam kitabnya, Syarah Muslim iaitu, "Adalah, bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat), maka pendapat yang masyhur dalam mazhab Syafie ialah amalan tersebut tidak akan sampai kepada mayat. Sebagai dalilnya, imam Syafie dan para pengikutnya mengambil daripada firman Allah SWT (yang bermaksud), "Dan seseorang itu tidak akan memperoleh melainkan pahala daripada daya usahanya sendiri". Serta dalam sebuah sabda Nabi SAW yang bermaksud, "Apabila manusia telah meninggal dunia, maka terputuslah segala amal usahanya kecuali tiga daripada amalnya, sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan anak (lelaki atau perempuan) soleh yang berdoa untuk simati" (an-Nawawi, Syarah Muslim : juz 1 hal; 9) Lagi daripada imam Nawawi di dalam kitab Taklimatul Majmu', Syarah Mazhab ada mengatakan, "Adalah, membaca al-Qur'an dan mengirimkannya sebagai pahala untuk seseorang yang mati dan menggantikan sembahyang untuk seseorang yang mati atau sebagainya adalah tidak sampai kepada mayat yang dikirimkan menurut Jumhur Ulama dan imam Syafie. Keterangan ini telah diulang beberapa kali oleh imam Nawawi di dalam kitabnya, Syarah Muslim" (as-Subuki, Taklimatul Majmu', Syarah Muhazab: juz 10, hal; 426) Menggantikan sembahyang untuk si mati bermaksud menggantikan sembahyang yang telah ditinggalkan oleh si mati semasa hidupnya.
2. Al-Haitami di dalam kitabnya, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyyah, berkata sebagai berikut, "Bagi seseorang mayat, tidak boleh dibacakan kepadanya apa-apa pun berdasarkan keterangan yang mutlak dari ulama Mutaqaddimin (terdahulu) iaitu baca-bacaan yang disedekahkan kepada si mati adalah tidak akan sampai kepadanya kerana pahala bacaan tersebut pembaca sahaja yang menerimanya. Pahala yang diperolehi hasil daripada sesuatu amalan yang telah dibuat oleh amil (orang yang beramal) tidak boleh dipindahkan kepada orang lain berdasarkan sebuah firman Allah yang berbunyi, "Dan manusia tidak memperolehi kecuali pahala dari hasil usahanya sendiri". (Al-Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah : juz 2, hal; 9)
3. Imam Muzani, di dalam Hamisy al-Umm, juga berkata, "Rasulullah SAW telah memberitahu sebagaimana yang telah pun diberitakan dari Allah bahawa dosa seseorang akan menimpa dirinya sendiri seperti halnya sesuatu amal yang telah dikerjakan adalah hanya untuk dirinya sendiri bukan untuk orang lain dan ia tidak dapat dikirimkan kepada orang lain". (Tepi al-Umm as-Syafie : juz 7, hal ; 269)
4. Imam al-Khazin di dalam tafsirnya mengatakan, "Dan yang masyhur di dalam mazhab Syafie adalah, bahawa bacaan al-Qur'an (yang pahalanya dikirimkan kepada mayat) adalah tidak dapat sampai kepada mayat yang dikirimkan" (Al-Khazin, al-Jamal : Juz 4, hal ; 236)
5. Di dalam tafsir Jalalain telah disebutkan seperti berikut, "Maka seseorang tidak akan memperolehi pahala sedikit pun dari hasil usaha orang lain". (Tafsir Jalalain : juz 2, hal ; 197)
6. Ibnu Katsir di dalam tafsirnya, Tafsirul Qur'anil Azim telah menafsirkan surah an-Najm ayat 39 sebagai, "Iaitu, sebagaimana dosa seseorang tidak boleh menimpa ke atas orang lain, begitu juga halnya seseorang manusia juga tidak boleh memperolehi sebarang pahala melainkan dari hasil usaha amalannya sendiri. Dan daripada surah an-najm ayat 39 ini, Imam Syafie r.a dan para ulama yang mengikutnya telah mengambil kesimpulan bahawa, sebarang pahala bacaan yang dikirimkan kepada mayat adalah tidak akan sampai kepadanya kerana amalan tersebut bukan daripada hasil usahanya sendiri. Oleh sebab itu, Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan umatnya agar mengamalkan (pengiriman tahlil atau doa selamat). Baginda juga tidak pernah memberikan bimbingan sama ada dengan nas atau berupa isyarat di dalam hal tersebut. Terdapat juga di kalangan para sahabat ada yang melakukan amalan tersebut tetapi sekiranya amalan tersebut memang satu amalan yang digalakkan, tentunya mereka telah mengamalkannya lebih dari dulu lagi sedangkan amalan korban (mendekatkan diri kepada Allah) juga terdapat batasan-batasan nas yang terdapat di dalam di dalam al-Qur'an dan sunnah Rasul SAW dan tidak boleh dipalingkan dengan qias-qias atau pendapatpendapat ulama". Demikianlah beberapa pendapat ulama Safiyah yang menyentuh tentang amalan bertahlil dan pengiriman pahala bacaan kepada si mati. Namun begitu, ternyata pendapat-pendapat tersebut telah bersepakat dan mempunyai satu pandangan yang teguh iaitu mengirimkan pahala bacaan al-Qur'an kepada si mati adalah tidak akan sampai kepada si mati atau roh yang dikirimkan. Kini, jelaslah bahawa pengiriman pahala melalui amalan tersebut tidak akan sampai kepada si mati. Jadi, segala amalan yang dilakukan seperti itu merupakan satu amalan yang sia-sia atau membazir sedangkan Islam amat melarang umatnya dari membazir. Dasar hukum yang telah para ulama tersebut ambil adalah dari firman Allah SWT di dalam surah an-Najm ayat 39 dan melalui hadith nabi SAW yang menerangkan bahawa apabila seseorang manusia itu mati, segala amalannya di dunia telah terputus kecuali tiga keadaan iaitu, sedekah jariah, ilmu yang dimanfaatkan dan doa anak-anak yang soleh untuk kedua ibu bapanya. Apabila sudah jelas tentang hukum mengamalkan tahlil dan doa selamat, kini timbul pula masalah lain iaitu di dalam bacaan tahlil sendiri ada menyebut,
"Allahumma ausil tsawaba ma wara'nahu ila ruhi fulan". Maksudnya, "Ya Allah, sampaikanlah pahala bacaan tahlil kami tadi kepada roh si Fulan". Persoalan tersebut bolehlah dijawab, bahwa para ulama telah bersepakat, pengiriman pahala melalui bacaan tidak akan sampai kepada roh yang dikirimkan kerana ianya bertentangan dengan firman Allah di dalam surah an-Najm ayat 39. Jika difikirkan secara dalam, amalan bertahlil ini amat canggung di sisi Islam. Mana tidaknya, bertahlil atau mengirimkan pahala melalui bacaan kepada seseorang mayat merupakan satu perbuatan yang melanggar syariat Allah, tetapi kemudian dimohon pula agar tahlil tersebut diberikan pahala dan pahalanya pula dimohon agar disampaikan kepada si mati atau roh si Fulan. Tidakkah ianya satu perbuatan yang janggal? BAB KEDUA DOA SELAMAT UNTUK KEMATIAN DOA selamat boleh digambarkan dengan berkumpul bersama-sama (keluarga dan masyarakat sekampung atau lain-lain) dengan dihidangkan makanan oleh keluarga yang mengalami kematian. Ianya dilakukan di rumah keluarga yang mengalami kematian pada hari kematian atau hari kedua, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus atau sebagainya. Sebenarnya, apabila diperiksa, dirungkai dan diperhatikan satu persatu di dalam kitab-kitab Safiyah sama ada pada kitab Feqah, tafsir mahu pun syarah-syarah hadith, amalan doa selamat telah ditemui di situ bahawa ianya adalah amalan yang dilarang atau dengan kata lain ialah haram. Hal ini sebenarnya belum diketahui oleh banyak pengikut mazhab Syafie di kalangan kita sendiri. Jika ada yang tahu, tentu jumlahnya hanya segelintir sahaja. Oleh itu, mari kita ikuti bersama bagaimana pandangan ulama-ulama mazhab Syafie di dalam hal ini . 1. Di dalam kitab Feqh I'anatut Talibin telah menyatakan, "Ya, apa-apa yang dilakukan oleh orang iaitu berkumpul di rumah keluarga mayat dan dihidangkan makanan untuk perkumpulan itu, ia adalah termasuk bid'ah mungkarat (bid'ah yang diingkari agama). Bagi orang yang memberantrasnya akan diberi pahala". (I'anatut Talibin, syarah Fathul Mu'in : juz 2, hal 145) 2. Imam Syafie sendiri tidak menyukai amalan berkumpul di rumah kematian sepertimana yang telah beliau kemukakan di dalam kitab al-Umm, "Aku tidak sukakan mat'am iaitu berkumpul (di rumah keluarga mayat) meskipun di situ tiada tangisan kerana hal tersebut malah akan menimbulkan kesedihan". (As-Syafie al-Umm : juz 1; hal 248)
3. Selanjutnya di dalam kitab I'anatut Talibin juga ada menyebut lagi, "Dan perkara yang sudah menjadi kebiasaan iaitu keluarga mayat menghidangkan makanan untuk para jemputan yang berkumpul, adalah satu perkara bid'ah yang tidak disukai agama (Islam). Hal ini samalah seperti berkumpul di rumah keluarga kematian itu sendiri kerana terdapat hadith sahih yang telah diriwayatkan oleh Jarir r.a yang berkata, "Kami menganggap bahawa berkumpul di rumah keluarga kematian yang menghidangkan makanan untuk jamuan para jemputan adalah sama dengan hukum niyahah (meratapi mayat) iaitu haram". (I'anatut Talibin, juz 2, hal 146)
4. Pengarang kitab I'anah juga ada mengambil keterangan sahih di dalam kitab Bazzaziyah yaitu, "Dan ianya dibenci, menyelenggarakan makanan pada hari pertama (kematian), hari ketiga, sesudah seminggu dan juga memindahkan makanan ke tanah kubur secara bermusim-musim". (I'anatut Talibin, juz 2, hal 146)
5. Di dalam kitab Fiqh Mughnil Muhtaj ada menyebutkan,
"Adalah, keluarga kematian yang menyediakan makanan dan orang ramai berkumpul di rumahnya untuk menjamu, merupakan bid'ah yang tidak disunatkan, dan di dalam hal ini Imam Ahmad telah meriwayatkan hadith yang sahih daripada Jarir bin Abdullah, berkata, "Kami menganggap bahawa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk menjamu para hadirin, adalah sama hukumnya seperti niyahah (meratapi mayat) yaitu haram". (Mughnil Muhtaj, juz1, hal 268)
6. Di dalam kitab Fiqh Hasyiyatul Qalyubi ada menyatakan, "Syeikh ar-Ramli ada berkata, "Di antara bid'ah yang mungkarat (yang tidak dibenarkan agama), yang dibenci apabila diamalkan sebagaimana yang telah diterangkan di dalam kitab ar-Raudhah, iaitu apa-apa yang telah dilakukan oleh orang yang dinamakan "kifarah" dan hidangan makanan yang disediakan oleh tuan rumah kematian untuk jamuan orang yang berkumpul di rumahnya sama ada sebelum atau sesudah kematian, serta penyembelihan di tanah kubur". (Hasyiyatul Qalyubi, juz 1, hal 353)
7. Di dalam kitab Fiqh karangan imam Nawawi iaitu kitab al-Majmu' syarah Muhazab, ada menyebutkan, "Penyedian makanan yang dilakukan oleh keluarga kematian dan berkumpulnya orang yang ramai di rumahnya, adalah tidak ada nasnya sama sekali, yang jelasnya semua itu adalah bid'ah yang tidak disunatkan". (an-Nawawi, al-Majmu' syarah Muhazab, juz 5, hal 286) 8. Pengarang kitab I'anatut Talibin juga turut mengambil keterangan di dalam kitab al-Jamal syarah al-Minhaj yang berbunyi seperti berikut, "Dan di antara bid'ah mungkarat yang tidak disukai ialah sesuatu perkara yang sangat biasa diamalkan oleh individu iaitu majlis menyampaikan rasa duka cita (kenduri arwah), berkumpul dan membuat jamuan majlis untuk kematian pada hari keempat puluh, bahkan semua itu adalah haram". (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)
9. Selanjutnya, pengarang kitab tersebut juga ada mengambil lagi keterangan daripada kitab Tuhfatul Muhtaj syarah al-Minhaj yang berbunyi, "Sesuatu yang sangat dibiasakan oleh seseorang dengan menghidangkan makanan untuk mengundang orang ramai ke rumah keluarga kematian merupakan bid'ah yang dibenci sebab ada hadith yang telah diriwayatkan oleh Jarir yang berkata, "Kami (para sahabat nabi SAW) menganggap bahawa berkumpul di rumah keluarga kematian dan keluarga tersebut menghidangkan makanan untuk majlis itu adalah sama dengan hukum niyahah iaitu haram". (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)
10. Pengarang kitab tersebut mengambil lagi fatwa dari mufti mazhab Syafie, Ahmad Zaini bin Dahlan, "Dan tidak ada keraguan sedikit pun bahawa mencegah umat daripada perkara bid'ah mungkarat ini sama seperti halnya menghidupkan sunnah nabi SAW. Mematikan bid'ah seolah-olah membuka pintu kebaikan seluasluasnya dan menutup pintu keburukan serapat-rapatnya kerana orang lebih suka memaksa-maksa diri mereka berbuat hal-hal yang akan membawa kepada sesuatu yang haram". (I'anatut Talibin, juz 2, hal 145-146)
11. Dan di dalam kitab Fiqh Ala Mazahibil Arba'ah menyatakan, "Dan di antara bid'ah yang dibenci agama ialah sesuatu yang dibuat oleh individu iaitu menyembelih haiwanhaiwan di tanah kubur tempat mayat di tanam dan menyediakan hidangan makanan yang diperuntukkan bagi mereka yang datang bertakziah". (Abdurrahman al-Jaza'iri, al-Fiqhu Ala Mazahibil Arba'ah, juz 1, hal 539)
Demikianlah di antara pendapat-pendapat para ulama Syafi'iyah berkenaan doa selamat atau kenduri arwah. Mereka telah bersepakat bahawa amalan tersebut adalah bid'ah mungkarat atau bid'ah yang dibenci. Dasar hukum yang mereka ambil (mengikut kata sepakat atau ijma' para sahabat nabi SAW) ialah haram hukumnya mengamalkan amalan tersebut. Bukankah lebih baik jika tuan rumah kematian menggantikan kenduri doa selamat untuk kematian atau lebih mudah disebut sebagai kenduri arwah kepada satu amalan bersedekah kepada ahli faqir dan miskin. Sebabnya ialah, jika kenduri tersebut diniatkan untuk bersedekah makanan kepada orang yang menjamu hidangannya, kebanyakan orang yang hadir di dalam jamuan tersebut tentunya di kalangan orang yang berkemampuan dan sudah tentu sedekah tersebut kurang bererti bagi mereka atau tidak bererti sama sekali. Tambahan pula, jika amalan tersebut diniatkan sebagai amalan bersedekah, maka akan terjadilah satu amalan yang mencampuradukkan antara yang hak dan yang batil kerana amalan tersebut melibatkan dalam dua hal iaitu, ia diniatkan sebagai bersedekah iaitu amalan yang disukai agama dan dalam masa yang sama, berkumpul di dalam satu majlis jamuan yang telah diadakan di rumah kematian pula adalah satu perkara yang amat dilarang oleh agama atau disebut haram. Mengirimkan pahala bacaan tahlil itu juga merupakan satu amalan yang sia-sia. Oleh itu, kedua-duanya sama sekali tidak boleh dilakukan kerana telah mencampuradukkan yang hak dan yang batil. BAB KETIGA MENGHORMATI KELUARGA KEMATIAN MENURUT sunnah nabi SAW, jiran tetangga hendaklah menghormati ahli keluarga yang sedang mengalami kematian dengan membantu seperti menghadiahkan kepada mereka makanan atau lain-lainnya agar keluarga tersebut merasa ia dihormati dan seolah-olah meringankan bebanan yang dialaminya. Hal ini benar-benar dianjurkan agama Islam lebih-lebih lagi keluarga tersebut lahir daripada orang-orang yang tidak berkemampuan. Imam Syafie berkata di dalam kitabnya al-Umm yang berbunyi, "Dan aku sangat suka kepada para jiran tetangga dan kaum kerabat keluarga yang mengalami kematian menghadiahkan makanan yang mengenyangkan untuk keluarga kematian sama ada pada hari pertama kematian atau pada malamnya. Amalan demikianlah adalah sunnah". (as-Syafie, al-Umm, juz1, hal 247) Seterusnya, imam Syafie mengatakan bahawa hal tersebut ada disentuh di dalam satu riwayat daripada Abdullah bin Ja'far r.a, "Abdullah bin Ja'far berkata, "Apabila sampai sahaja berita Ja'far terbunuh, nabi SAW bersabda, "Hendaklah kamu membuatkan makanan untuk keluarga Ja'far kerana mereka telah ditimpa kesusahan". (HR asSyafie, al-Umm, juz1 hal 247 Hadith ini menunjukkan bahawa mengikut sunnah nabi SAW, kaum muslimin iaitu sama ada kaum kerabat daripada keluarga yang mengalami kematian atau jiran tetangga hendaklah berusaha menghiburkan keluarga kematian yang sedang mengalami kesedihan dengan cara memberikan bantuan yang berupa makanan atau selainnya lebih-lebih lagi jika keluarga tersebut adalah daripada golongan miskin atau tidak berkemampuan. Oleh sebab itu, imam Syafie r.a juga menganjurkan kepada kaum muslimin agar mengamalkan ajaran yang mulia ini, kerana ianya sesuai dengan sunnah nabi SAW. Namun begitu, tradisi masyarakat pada hari ini melakukan amalan yang sebaliknya bertentangan dengan anjuran yang telah disarankan oleh imam Syafie. Mereka juga masih lagi mengamalkan tradisi bertahlil, doa selamat, kenduri arwah hari pertama, ketiga, ketujuh, keempat puluh, keseratus dan lain-lainnya dengan di samping itu menyediakan hidangan makanan untuk tetamu yang membacakan tahlil dan doa. Sebenarnya amalan itu adalah salah dan amat tidak dibenarkan oleh para ulama Syafi'iyah yang berpedomankan kitab Allah dan sunnah Rasulullah SAW.
Sebagai kesimpulannya, 1. Menurut pendapat para ulama dari kalangan mazhab Syafi'e (Syafi'iyah), bertahlil, doa selamat dan kenduri arwah yang dikirimkan kepada si mati adalah tidak sampai kepada roh si mati. 2. Pendapat-pendapat tersebut berdasarkan firman Allah di dalam al-Qur'an surah an-Najm, ayat 39 yang memberi maksud, manusia tidak akan memperoleh pahala kecuali daripada hasil amalannya sendiri.
3. Segala amalan bertahlil, doa selamat dan kenduri arwah yang dikirimkan kepada roh si mati tidak akan sampai kepadanya bahkan sia-sia sedangkan Islam amat melarang umatnya berbuat perkara yang sia-sia. 4. Majlis bertahlil, doa selamat dan kenduri arwah atau berkumpul di rumah keluarga si mati dengan disediakan hidangan makanan untuk para tetamu adalah dilarang, mengikut para ulama yang bermazhab imam Syafie. Malah ada di antara mereka mengatakan bahawa ia adalah Bid'ah Mungkarat iaitu bid'ah yang tidak diakui Islam. Ada juga yang mengatakan bahawa ia adalah Bid'ah Ghairu Mustahab iaitu bid'ah yang tidak pernah disunatkan dan segelintir daripada ulama tersebut mengatakan amalan tersebut adalah Bid'ah Makruhah iaitu bid'ah yang dibenci. 5. Segala amalan Bid'ah Mungkarat adalah haram. 6. Bertahlil dan kenduri arwah di rumah keluarga si mati yang menyediakan makanan hukumnya haram berdasarkan sebuah hadith sahih yang diriwayatkan oleh seorang sahabat nabi SAW, Jarir bin Abdullah yang berkata, "Kami (para sahabat nabi SAW) menganggap bahawa berkumpul di rumah keluarga si mati di samping dihidangkan makanan adalah sama hukumnya dengan niyahah iaitu haram". 7. Hukum haram berkumpul di rumah keluarga si mati dengan dihidangi makanan telah pun disepakati oleh para ijma' ulama dan para sahabat nabi SAW kerana hadith daripada Jarir r.a yang berkata, "Kami (para sahabat nabi SAW) menganggap bahawa berkumpul di rumah keluarga si mati di samping dihidangkan makanan adalah sama hukumnya dengan niyahah iaitu haram". Tidak ada seorang pun di antara mereka yang membantahnya. 8. Menurut sunnah nabi SAW, jika terdapat salah sebuah keluarga yang ditimpa kematian daripada anggota keluarganya, hendaklah kaum muslimin sama ada di kalangan kaum kerabat atau sebagai jiran mereka, memberikan kehormatan dengan menghadiahkan bahan makanan lebih-lebih lagi jika keluarga tersebut lahir daripada golongan yang tidak berkemampuan atau miskin. 9. Dapat dikatakan di sini, bertahlil, doa selamat dan kenduri arwah yang sering diamalkan oleh masyarakat pada hari ini adalah satu amalan yang amat bertentangan dengan ajaran Islam iaitu melalui al-Qur'an dan sunnah nabi SAW.