Sejarah1

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sejarah1 as PDF for free.

More details

  • Words: 449
  • Pages: 3
MARTIR Dr. Eddy Kristiyanto, OFM∗ NATAL identik dengan pesta keluarga. Masih dalam suasana sukacita, gereja mengenang peristiwa kemartiran: Stefanus dan kanak-kanak suci. Yang pertama mati dirajam. Yang kemudian dibabat atas amanat Raja Herodes Agung (37 SM 4 M). Begitu kesaksian Evangelium Secundum Matium (abad 1 Masehi). Sejarahwan Flavius Josephus (hidup 37-100) menulis Antiquities of the Jews (tahun 95). Di sini Josephus melacak sejarah Yahudi dari penciptaan dunia sampai awal Perang Yahudi. Disebutkannya juga politik pembantaian atas semua anak laki-laki di bawah usia dua tahun tersebut. Tujuannya adalah mengeliminasi munculnya raja bangsa Yahudi, mengingat informasi yang disampaikan orang-orang majus dari Timur. Tradisi mengenangkan peran kanak-kanak suci ini dihangatkan oleh pandanga bapa gereja Gregorius Nazianzus (meninggal tahun 389) dalam Patrologia Greeca 36, dan Gregorius Nyssa (meninggal tahun 398) dalam Patrologia Greeca 46. Menurut Kalendarium Ecclesiae Carthaginiensis (awal ∗ Dosen Sejarah Gereja; STF Driyarkara - Jakarta

1

abab VI) dan Martyrologium Hieronymianum (abab VII), pesta kanak-kanak suci diperkenalkan di Barat baik di Afrika Utara maupun di Roma sejak abad V. Semua anak laki-laki yanf dibantai itu digelari ”‘martir”’. Karena mereka dibunuh tanpa (dapat) membela diri. Dan karena politik pembantaian itulah keluarga Yesus mengungsi ke Mesir. Dalam ikonografi Kristen, sejumlah sosok kanak-kanak suci diabadikan dalam plengkung mosaik di Basilika Santa Maria Magggiore, Roma. Martir berarti saksi, yakni orang yang menyerahkan hidupnya demi kebenaran iman yang dikukuhinya. Banyak martir wafat pada masa penganiayaan sebelum sebelum Konstantinus Agung menetapkan Maklumat Toleransi, tahun 313. Menyerahkan diri sampai tetes darah terakhir di hadapan penguasa yang bengis dipandang sebagai semacam baptis kedua. Dalam kenangan akan para martir itu, iman diungkapakan dengan pembacaan firman, nyanyian, dan pemecahan roti. Kemudian, gedung-gedung gereja dibangun dekat makam para martir, dan nantinya tempat itu dijadikan obyek ziarah. Relikui para martir juga dihormati dan adakalanya dipindahkan dari makam asalnya ke gereja atau basilika. Tubuh para martir (masih tetap) dihormati sebagai kediaman Si Empunya Hidup Sejati. Ketika zaman penganiayaan berakhir (abad IV), format kemartiran berkembang dalam bentuk penghayatan keutamaan spritual dan askese. Orang dapat menjadi ”kudus” tanpa menjadi martir. Namun sikap para martir untuk menolak untuk menyangkal iman di hadapan ancaman kematian fisik tetap dipandang sebagai kesaksian iman par excellence. 2

Ketika agama dipolitisasi, banyak orang beriman dibunuh hanya karena perbedaan pandangan doktriner, misalnya para martir Protestan dan Katolik di masa reformasi (abad XVI); orang-orang Kristen dibunuh karena mereka dianggap sebagai ancaman bbagi sistem religius di Jepang (1596-1598). Sejak 1940, kemartiran dikaitkan denga isu politik: Dietrich Bonhoeffer, Franz Jaegerstatter, Maximilianus M. Kolbe pada zaman Nazi; MArtin Luther King, Jr di Amerika Serikat; Uskup Oscar Romero di El Savador. Soalnya: apakah ”para martir” wafat demi iman dalam suasana yang dipolitisasi ataukah karena suasana politik merea berada dalam ditekan agama? Harian Kompas Minggu, 26 Desember 2004

3

Related Documents

Sejarah1
April 2020 14
Sejarah1
November 2019 23
2008 Kedah Spm Sejarah1
October 2019 21
Sembilan Wali-sejarah1
November 2019 12