Salah Kaprah

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Salah Kaprah as PDF for free.

More details

  • Words: 565
  • Pages: 2
Salah Kaprah Bahasa yang kita gunakan sehari-hari tidak selamanya baku. Yang penting bahwa apa yang menjadi maksud dan tujuan kita bisa sampai dan diterima oleh orang yang kita ajak berbicara. Oleh karenanya kita cenderung tidak ambil pusing apabila ada ungkapanungkapan yang banyak kita gunakan dinyatakan default oleh pakar bahasa. Ada satu contoh menarik yang bisa kita lihat. Yaitu istilah ’nuansa’. Seingat saya kata ini mulai diakrabi khalayak dengan hadirnya lagu ”Nuansa Bening” ciptaan Keenan Nasution sekitar tahun 70 an. Lagu manis yang selalu membawa saya ke nostalgia sewaktu masih mahasiswa. Kata ’nuansa’ ini jelas diserap dari bahasa Inggris nuance. Apakah sebenarnya arti dari kata ini? Di kamus Oxford didefinisikan sebagai suatu perbedaan yang sangat halus dalam hal warna,ekspresi,makna dan sebagainya. Perbedaan ini sedemikian halusnya sehingga hanya mereka yang memiliki kepekaan yang dapat merasakannya. Tapi lihatlah apa yang terjadi setelah kata ini menjadi nuansa. Kini dalam penggunaannya mungkin 99 persen dia memberi konotasi ’suasana’. ’Hunian dengan nuansa Mediteranian’, kata sebuah iklan perumahan mewah. ’Nuansa kedamaian menyelimuti peribadatan itu’,terbaca dalam suatu artikel. Ada pula kata ’bergeming’ yang artinya tidak bergerak. Kira-kira kalau dalam bahasa Inggrisnya unmoved. ’Presiden bergeming menghadapi protes masyarakat’,kata headline sebuah surat kabar. Ini penggunaan yang benar. Namun tidak jarang kata ”bergeming’ berubah menjadi ’tak bergeming’ dengan makna yang sama. Maka bersandinglah keduaduanya dalam kesalah-kaprahan. Dalam nafas yang sama kita melihat penggunaan kata ’acuh’ Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ’acuh’ berarti ’peduli,mengindahkan’. Namun dalam media lisan maupun tulisan kita acapkali mendengar : Ia bersikap acuh saja menghadapi persoalan ini. Walhasil ’acuh’ dan ’tak acuh’ berjalan beriring dengan makna yang sama dan sebangun. Saya teringat pada waktu di sekolah dasar belajar Bahasa Indonesia. Guru memberi contoh ’lesung pipit’ sebagai suatu perumpamaan. Sebagai anak SD saya menerima saja ajaran itu meskipun sedikit bertanya-tanya kenapa burung pipit itu ada didalam lesung. Belakangan saya baru mafhum bahwa ungkapan yang benar adalah lesung pipi. Tapi sekali lagi kesalah-kaprahan ini sudah terlanjur terjadi. Dengan lahirnya istilah-istilah baru dalam bahasa Inggris maka pakar bahasa bergerak untuk mencari padanan kata yang sesuai. Maka lahirlah ’rekayasa’ untuk padanan ’engineering’, ’wacana’ untuk ’discourse’,’dampak’ untuk ’impact’ Dari semula rekayasa dimaksudkan sebagai penerapan kaidah-kaidah ilmu di bidang desain, konstruksi bangunan,mesin,mobil dan sebagainya. Namun dalam perjalanannya rekayasa sudah ’melenceng’ maknanya sebagai ’perbuatan menipu seolah-olah benar’. ’Hasil penghitungan suara pilkada itu sudah direkayasa’, tuduh seorang kontestan. Jadi kalau dicari padanan bahasa Inggrisnya dari pengertian ’rekayasa’ yang (salah) dipakai sekarang ini adalah fabrication.

Demikian pula penggunaan istilah yang cukup ngetren sekarang ini yaitu ’wacana’. ’Wacana’ berarti : ucapan,perkataan atau tutur (KBBI). Lain tidak. Tetapi lihatlah apa yang terjadi dalam aplikasinya. Wacana memberikan kesan dan konotasi ’rencana’. ’Penerapan aturan ini baru sebatas wacana’,ujar seorang politisi. ’Berkembang wacana untuk menaikkan pajak barang mewah’, tulis sebuah media cetak. Saya juga tergelitik untuk membahas istilah ’kepala keluarga’. Di televisi hampir setiap hari kita menyaksikan berita musibah kebakaran dan si pembaca berita akan mengatakan: ’Kebakaran ini menyebabkan sedikitnya 20 kepala keluarga kehilangan tempat tinggal’. Kepala keluarga tentunya berarti orang yang mengepalai keluarganya, biasanya si bapak. Tetapi kalau rumahnya terbakar yang kehilangan tempat tinggal tentunya bukan cuma si bapak tetapi seluruh keluarganya. Jadi kalau menurut saya yang benar adalah ’sedikitnya 20 keluarga kehilangan tempat tinggal’ Dan untuk menutup ’kebingungan’ kita ini saya akan menambahkan beberapa kesalahkaprahan lagi berikut ini : mencolok/menyolok, peduli/perduli, tolok ukur/tolak ukur. Siapakah yang berhak menjadi hakim terhadap kesalah-kaprahan ini. Saya kira kita serahkan semuanya kepada masyarakat penggunanya. They have the final say.

Related Documents

Salah Kaprah
June 2020 2
Salah Kaprah Bersalam
May 2020 14
Salah
June 2020 18
Salah Apa.docx
June 2020 19
Salah Apa.docx
June 2020 17