Sajak Sajak Aa Manggeng

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sajak Sajak Aa Manggeng as PDF for free.

More details

  • Words: 2,092
  • Pages: 25
Yang Hilang di Musim Badai Sajak AA Manggeng Aku cari engkau saudaraku yang sudah lama tidak kembali Apakah musim badai tanah rencong ini telah mendekapmu di penjara-penjara rahasia? Suara tidak selalu menjadi kata, saudaraku untuk itu ingin aku pastikan nurani atas kehilanganmu Apakah engkau mendengarnya dari sukma bumi yang bernafaskan air mata Saudaraku, cahaya kunang-kunang memberi isyarat duka cita atas kepergianmu Jangan kuburkan kebenaran, saudaraku hanya karena paksaaan bersuaralah meskipun tak jadi kata kami mendengarnya di musim gugur daun-daun muda berumahkan pepohonan tumbang yang tercerabut akarnya Pastikanlah saudaraku jika engkau bersama Tuhan menunggu pengadilan akhir riwayat tinggal risau kami di jalan-jalan penuh gelagat saat manusia memutuskan keadilan dimeja hijau adakah suaramu bergema dari kubur rahasia? sebab ada pertanyaan yang belum terjawab: “berapa harga kemerdekaan dibanding nyawa?” ACEH, 1999

Di Beranda dan Jendela Terbuka Sajak AA Manggeng ada yang meniup seruling di balik bukit sampai juga angin membawa alunannya ke lembah diberanda rumah ada yang menterjemahkan menjadi cerita duka ia adalah suara suara dalam keluh yang tak terkabarkan penghuninya telah pergi jauh ke balik bukit meniup seruling dan siulnya yang panjang berharap ada yang menyimpulkan isyarat masikah ada angin di kaki bukit mengajak ilalang melambai ketika waktu lewat esoknya di beranda yang sama jendela masih terbuka peniup seruling tak kembali dari balik bukit sejauh suara tidak mampu tersimpul dalam kata ialah suara rahasia. (Suak Beurembang, 1989)

Isyarat Itukah, Ibu Sajak AA Manggeng mendung memayungi jalan pada ketergasaanku lingkup kenangan mengajak pulang tapi hujan memberuku di terminal waktu aku terkurung di sini mengenang masa kanak-kanak bersamamu karena rindu di sini melebihi gelisahku jarak lalu merubah dia menjadi rama-rama kupikir inilah isyarat melebihi degub berita dukacita yang arif telah mendekapku sekian kurun waktu merantaiku di pintu-pintu rahasia mendung memayungi jalan di keputusanku ada yang tak sampai ke sukmamu berulangkali kubaca ketuaanmu adalah buku di lembar-lembarnya bertuliskan keabadian kasih aku dan berikut yang lahir dari rahimmu menterjemahkan kalimat demi kalimat menyusun buku baru yang tak sampai-sampai hingga hujan turun di pelataran terminal tua membentuk gundukan tanah tanah yang masih basah oleh kedukaan. (Meunasah Sukon, 1990)

Mencari Suara Sajak AA Manggeng siapa mendengar desau angin di kaki lembah alunan seruling penggembala dan cicit unggas di kebun-kebun petani, siapa ? siapa mendengar pilu si miskin di musim kemarau yang tergusur dari kalimat perintah dari wewenang yang tak diberi mengerti, siapa ? engkaukah, yang bersuara dari sehelai kertas resmi atau surat keputusan seperti robot-robot yang diprogramkan tanpa hari nurani engkaukah ? siapa mencari suara : engkaukah di altar itu bersenda suara lalu orang-orang, gila pukau dalam duka mereka tak ada lagi rasa bagimu aturan segalanya. tiba musimnya engkau cari suara lalu engkau jual suara sampai lupa suara siapa sebenarnya yang kau bawa. (PEMILU, 1992)

Suara Kesabaran Sajak AA Manggeng begitu luluhnya hidup dalam kabut kita ikut dalam barisan upacara lalu mengikrarkan cita bangsa ketika bubar kulihat anak-anak berebut mainan bendera berkibar di langit-langit rumahku anak-anak membawa bendera seraya berseru: Indonesia, Indonesia duhai, duhai jika saja kabut dalam acara itu menurunkan hujan kita sama-sama menadahkan tangan tanpa perlu ikrar tapi ramai-ramai berseru : Indonesia, Indonesia basah kuyup kita semua duhai, duhai (ACEH, 1995)

Gadis Perangkai Bunga Sajak AA Manggeng : pun bunga alami, iri dirangkai juga bunga kewanitaan sambil menyusun nafsu lewat mimpi. (BOGOR, Juni 1987)

Lhokseumawe Sajak AA Manggeng Kabut lebih setia hadir di sini dari janji kemakmuran yang telah jadi awan mengepul dari cerobong pabrik raksasa adalah mutasi nilai cinta penghuni lama Negeri yang disulap kemana jauh batas perburuanmu ?. (ACEH, 05-01-1990)

Mencari Makna, Ayuthia Sajak AA Manggeng Apakah kesunyian Pattani adalah kesunyian perjalanan bersetuju menghantar bunga mas dan perak ke Ayuthia Pertanda perpisahan tanpa pengganti atau aku bermimpi akan kejayaan masa lampau ketika Siam tidak punya cukup daya mengawal Pattani. Kesunyian Pattani kini adalah keagungan tidak kekal mengering kembali minoriti Melayu terbata-bata di tengah semaraknya pertumbuhan kota Aku tertegun sendiri menyusuri jalan-jalan perempatan, mataku buta membaca hurufhuruf di sepanjang kota, segera kucari arti dari makna kata menuju jalan keteguhan dan iman kita tetap hidup di tengah-tengah kemilau rasa Benarlah kiranya kesepian itu jadi bermakna. (Thailand, 1-5 Desember 1999)

Melawat Di Tapak Pattani Sajak AA Manggeng Rindu aku padamu, Syaik Said adalah rindu dari Pasai menyusuri tapak sejarah adakah alunan suaramu bergema di langit Ayuthia aku tertegun di tanah Melayu Patani dalam guyur hujan Desember pada lawatanku setelah ratusan tahun pertaruhan martabat dan harga diri yang tak terkalahkan Sisa tapak-tapak sejarah yang bicara melalui prasasti bertuliskan huruf, lalu mendengar cerita anak cucumu yang renta terbata-bata meluruskan ingatan Namun rindu aku akan kenikmatan hidup dalam ketenangan bersama Ummat. Rinduku, Syaik Said adalah guyur hujan yang tak reda-redanya agar segera membalut ragamu yang rebah bertahun dalam tanah adakah cinta ini membingkai dalam lukisan negeri-negeri Melayu atau sebentuk gambar wajah-wajah juang mempertaruhkan nyawa demi tegaknya martabat dan nilai-nilai kehdupan bersama tangis dan kebahagiaan mengalir deras dalam tempo sekejap ketika rinduku singgah di pondok-pondok pesantren dan aku kian akrab di jalan-jalan juangmu tidak ada kata kalah sebelum singgah dan berucap sapa di tapak sejarah. (Thailand Selatan, Pattani Desember 1999)

Terminal-Terminal Sajak AA Manggeng - bagi Doel Cp Allisah Lirih benar keluhmu mengembara dalam tifa suka belum luput benar jejak mengitari kota dan aku lalu melongok lewat jendela warung siang yang tak sengaja meninggalkan kopi pagi kita keberangkatan tanpa lambaian disini kalender waktu menghitung tahun-tahun berlalu Siapa yang merindukanmu ? debu trotoir disiram peluh tukang parkir barangkali lagu gumammu yang kasmaran itu mampu berceloteh tentang luka-luka ahk, sudahlah di ujung jalan ada bayangan engkau kembali menyambutmu sembari membawa kepura-puraan cinta. (Mimbar Swadaya, 1986)

Prahara Sajak AA Manggeng Mengapa ibu menutup pintu dan mengurung diri dalam rumah Sedang aku diluar mendiamkan kegelisahan diri Ibu tidak lagi membuka jendela rumah Ia mengurung angin malam dalam kesendiriannya Anak-anak yang diharapkan kembali telah pergi Tanpa alamat negeri yang dituju Kabar terakhir jalanan sepi Berita kematian tanpa nama Membungkus doa-doanya Untuk sampai kepada Tuhan Dalam ketakutan ibu berkata : “Anjing piaraan kita sudah tidak setia Ia melolong sekehendak hatinya membuat kita gusar dan mencari-cari penyebabnya Ternyata anjing kita dihantui ketakutan juga rupanya”. (ACEH’ 1999)

Nyala Sajak AA Manggeng unggunkan jiwamu, saudaraku agar malam tidak kelam dan kita masih bisa berkirim kabar tentang kematian pada setiap hari yang kita tunggu-tunggu itu menjadi rutin jadinya unggunkan jiwamu, saudaraku agar semangat tetap menggelora dalam dada dan kita tepis keraguan dijalan-jalan kebenaran pada setiap keputusan yang kita sepakati bersama adalah martabat kemanusiaan kita cahaya jangan sampai silaukan ruang dan waktu gelora jangan sampai jadi ria, saudaraku timbang-timbangkan antara yang jihad dan dendam agar unggun dalam jiwa memancarkan suluh kebenaran. (ACEH’ 1999)

Keteguhan Sajak AA Manggeng rindu akan kesunyian adalah pohon yang ridangi ilalang risau akan keriuhan adalah badai dalam jiwa yang resah kerinduan dan kerisauan berlayarlah kesamudera luas nikmati perjalanan dan layari laut bebas teriakkan risau kalahkah gemuruh hidup-hidupkan sunyi dirindu-rindu lautan kikiskan karatan yang lekat dihati. (ACEH, 1990)

Diorama Sajak AA Manggeng Kita tidak perlu menangis, saudaraku Hanya karena disiksa dan dihabisi Sebab air mata seketika habis diseka Kita hidupkan kesunyian yang teguh Dan rebahkan keriuhan yang gelap Sebentar lagi diorama kegelisahan akan dipertontonkan Dari peran-peran pencabulan, pemerkosaan dan pembunuhan Siapkan nurani kita menyaksikan hidup mereka Kita hidupkan kesunyian yang teguh Dan rebahkan keriuhan yang gelap (ACEH’1998)

Lenyap - Senyap Sajak AA Manggeng Unggun kemuliaan di kamar tidur saudaraku Telah redup oleh silau cahaya yang menyusup Ketekunan yang ditidurkan jadi rayap-rayap Merobohkan tiang penyangga rumah Jangan berkata mungkin karena pemusnahan Jangan berkilah janji karena mungkir Hidupkan bara dengan napas cinta Dan yang pergi dari keterkejutan Adalah keriuhan yang mengabaikan sunyi Unggun kemuliaan tepiskan silau cahaya Dengan membuka celah lebih terbuka Lalu tatap lekat-lekat diluar yang saudaraku anggap gelap. Ketekunan yang dirampas rayap-rayap Musti diganti dengan tiang keimanan Sebab kelalaian terlalu mengendap-endap. (ACEH’1993)

Peringatan Sajak AA Manggeng Mengapa kalian melarang aku menyirami kamboja di tamanku Bukankah terik hari telah membakar rumput disekelingnya Aku lihat isyarat kematian semakin lekat Kesuburan tidak selalu tumbuh dengan pagar yang rapat Didalamnya kita saling merumput tanpa rasa takut Ingatkan nurani agar tidak asing dengan isyarat (ACEH, 1999)

Pengembara Sajak AA Manggeng Tuhan, bawalah jiwaku dalam sungaiMu hanyut dalam arus tenang dan bergelombang singgahkan aku pada tebing-tebing rerumputan agar aku bisa rebahkan letihku dalam embun maafMu mata air yang berdarah beningkan dalam cawan kemuliaan aku ingin reguk kenikmatan dari cawan yang memabukkan bertemu makna kesucian Tuhan, bawalah aku dalam kendaraanMu melintasi lintasan persimpangan dan singgah di rumah-rumah keteduhan agar aku lebih lama bersimpuh dan istirah di alam ketenangan. Tuhan, aku teruskan pengembaraan ke tengah-tengah rimbun Ridha-MU. (ACEH’ 1994)

Prosesi & Janji Sajak AA Manggeng menunggu aku di simpang jalan ini berharap engkau akan hadir tepat dengan janji sebelum matahari terbenam dan malam menutup kisah-kisah kelam dengan air mata yang mengalir di pipimu keletihan sudah tak kuperhitungkan larut aku menghitung yang lewat dari arah yang tidak kita sepakati melintas orang-orang mengantar kematian dan kuharap engkau tidak sedang berduka menunggu juga aku disini setelah senja memberi isyarat malam akan tiba jalan tetap bersahabat dan persimpangan yang menakutkan melintasi pikiranku sekian kemungkinan-kemungkinan yang tinggal itu cuma aku sedang engkau telah lama lewat sebelum janji itu siapa sebenar yang aku tunggu ! (ACEH, 1997)

Rakyat Sedang Berlayar Sajak AA Manggeng Rakyat sedang berlayar mengarungi lautan ketakutan Mengkayuh hidup dengan rasa sakit yang dalam Berharap pada sejarah yang dilabuhkan lewat dermaga Singgah dalam diam dan dendam pembalasan Rakyat sedang menarik tali layar Mengikuti angin menuju keluasan samudra misteri Mendengar desir kepedihan dan menikmati malam gelap gulita Berdoa untuk ketibaan di penghujung harapan agar sampai dan sampai Rakyat sedang mengkayuh hidup melewati gelombang Walau sekejap dalam ketenangan Arus do’a direkam badai menuju langit Tuhan Walau sekejap di hantam badai Arus perlawanan bertumpu dalam kepasrahan Rakyat adalah tanda tanya Dan laut adalah gelora Kemana hendak di bawa ?. (ACEH’1999)

Menarik Diri Sajak AA Manggeng Ini ladang kita tempat menyemai benih cinta tempat kita memanen nasib dan tempat menggambar harapan-harapan di langit selalu di langit itulah sejarah kini langit telah berubah jadi kanvas dan sejumlah lukisan berbentuk angan-angan. masih di ladang kita cinta tumbuh dalam ruang yang sempit (ACEH,1999)

Kamera Musim Gugur Sajak AA Manggeng tidak ada badai, angin topan dan bencana alam, saudaraku orang-orang pergi meninggalkan rumahnya meninggalkan harta dan ladangnya bersama anak-isteri dan keluarganya hidup di pengungsian malam-malam diperkampungan mencekam rumah-rumah di bakar orang tak dikenal ancaman dan pembunuhan telah jadi sarapan hidup yang dilindas oleh kesewenangan tanpa peduli rakyat dan kemanusiaan langit-langit Tuhan adalah atap rumah yang aman berteduh dibawah rimbun do’a dan harapan walau nyawa taruhan, dan penyakit datang menyerang lebih pasti dan iklas dibanding dengan hidup dirundung was-was. (ACEH,1999)

Menjelang Agustus Tahun Ini Sajak AA Manggeng ilalang dekat rumah kita hangus sudah padahal matahari belum terik benar kegerahan di malam-malam terakhir juli ini meninggalkan juni dan agustus sebentar lagi mengibarkan bendera merah putih sedangkan juli berangkat dengan peristiwa duka ulang tahunkah ini, saudaraku atau kita memperingati orang-orang yang hilang, tertembak dan mati sambil menyisip duka cita yang kita alami di bawah bendera tanah air. ilalang dekat rumah kita hangus sudah peristiwa kerontang itu dibiarkan lewat begitu saja sukma kita menyayat luka-luka sejarah dan air mata tiada arti lagi tumpah sebab darah mengental di tanah agustus datang, mengulang-ulang kita kenang mengentalkan rasa benci pada penguasa dan juli bulan ini mebuka katub nadi tanah air denyutnya tak beraturan bagai isyarat degub jantung kegelisahan dan rasa duka yang mendalam sebentar lagi agustus datang dan dalam hening siapa pahlawan yang kita kenang (ACEH’ JULI 1999)

Lonceng Cakradonya Sajak AA Manggeng Beribu pasang telinga tersumbat Deru ombak laut cina rindu badai Dari selat malaka Kini hentak seudati didengar sendiri Sunyi tersimpan di museum Beribu pasang kaki melawat Mereka-reka suara Diantara diam meriam dilingkar pusara syuhada Gaung itu menggelantung Tangan-tangan yang hadir berikutnya Menggapai awan Gelegar petir mematahkan harapan Dilembar-lembar sejarah Bunyipun sunyi Hapalan didesak salinan Penghayatan serupa diam Kehilangan anak Negeri ini hilang isyarat Gelegar dulu menghentak dunia Laut cina mengawini riak selat malaka Seketika sepakat Pekak !!! MUSEUM ACEH 20 FEBRUARI ‘88

Dini Hari di Taman Kamboja Sajak AA Manggeng Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman Padahal angin sangat bersahabat malam itu Di jalan-jalan mencekam Isyarat kedukaan tanpa terduga Bunga kamboja berguguran di sebuah pedalaman Aromanya ditiup angin ke seluruh penjuru Siapa yang sanggup menutup rahasia duka Atas kebiadaban manusia Pohon kamboja yang tumbuh di taman kita Penghias kebun=kebun negeri Adalah dia yang lahir dari sejarah Lalu gugur bunganya Luruh daunnya Tercabut akarnya Tumbang batangnya Kamboja, bunga kamboja Seorang ibu mencari anaknya Yang terkapar di bawah rontokan bunga Dalam gelimangan darah Bersama orang-orang yang tak tahu apa-apa !. ACEH, 3 Februari 1999

Gejolak III Sajak AA Manggeng

Perantau Sajak AA Manggeng Anak-anak kampung tinggal desa Orang-orang kota linglung, Mencari kampung asalnya. JAKARTA, 17 Februari 1987

Related Documents

Sajak Sajak Aa Manggeng
December 2019 36
Sajak
June 2020 35
Sajak Jenis Sajak
December 2019 46
Sajak 5
July 2020 0