Said Bin Jubair.docx

  • Uploaded by: Farah Lutfiana
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Said Bin Jubair.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,810
  • Pages: 22
Sunday, July 18, 2010

Said Bin Jubair Agak sulit memang mencari referensi kisah Said bin Jubair salah seorang tokoh tabi'in yang banyak mengumpulkan hadits. Hadits-haditsnya menjadi rujukan bagi para ulama dimasanya hingga masa sekarang. Berikut sekelumit kisahnya : Nama lengkapnya adalah Sa’id bin Jubair al-Asadi al-Kufi, yang mempunyai julukan “Abu Abdillah”, Ia seorang ahli fiqh, pembaca al-Qura’an yang fasih dan ahli ibadah. Sufyan ats-Tsauri lebih mendahulukan tafsirnya dari pada Ibrahim an-Nakha’I, ia berkata:” Ambilah tafsir dari empat orang, yaitu dari Sa’id bin Jubair, Mujahid, Ikrimah dan adhDhahhak”. Ibnu Jubair pernah menulis untuk Abdullah bin Utbah bin Mas’ud ketika Abdullah menjadi Qodli di Kuffah. Sesudah itu ia menulis untuk Abi Burdah bin Abi Musa. Sa’id bin Jubair meriwayatkan dari Abdullah bi az-Zubair, Anas bin Malik, Abu Sa’id al Qudri, dari mereka ini hadits-haditsnya Musnad. Namun, Ia tidak mendengar langsung dari Abu Hurairah, Abu Musa al-Asy’ari, Ali, Sayiidah Aisyah. Jadi semua riwayatnya dari mereka adalah Mursal. Mengenai hal ini Yahya bin Sa’id berkata:” Hadits-hadits Mursal Sa’id lebih aku sukai dari pada hadist-hadist Mursal Atha’”. Yang meriwayatkan hadits dari Sa’id bin Jubair antara lain: alAmasi, Mansyur bin al-Mu’tamir, Ya’la bin Hakim,ats-Tsaqafi, dan Simak bin Harb. Ada kisah menarik semasa hidupnya.. Pada suatu hari. Khalid bin Abdillah menemukannya shalat dibelakang Imam Ali Zainal Abidin as (bin Hussain bin Ali bin Abi Thalib). Ia ditangkap dan dihadapkan ke al-Hajaj, algojo Dinasti Umayyah. Terjadilah dialog yang menarik antara al-Hajaj dengan Said bin Zubair. Al-Hajaj: Namamu bukan Said bin Zubair (yang beruntung). Namamu Syaqiy bin Kusair ( Si Celaka anak si Melarat). Said: Ibuku lebih tahu tentang namaku daripadamu. Al-Hajaj: Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar dan Umar. Apakah mereka di surga atau neraka? Said: Kalau aku masuk surga tahulah aku siapa yang ada disana, begitu pula kalau aku masuk neraka. Al-Hajaj: Bagaimana pendapatmu tentang para Khalifah? Said: Aku tidak mengurus mereka. Al-Hajaj: Siapa yang paling kamu cintai? Said: Yang paling disenangi Allah. Al-Hajaj: Siapa yang paling disenangi Allah? Said: itu hanyalah Allah yang tahu. Dia tahu apa yang tampak dan tersembunyi. Al-Hajaj: Kau berusaha melawanku? Said: Aku tidak senang berdusta. Said kemudian dipenggal. Tidak henti – hentinya ia membacakan ayat – ayat Al-Qur’an. Ketika kepalanya jatuh, kepala itu masih menggumamkan zikir tiga kali. Sekali keras, dua kali hampir tidak kedengaran. Sejak membunuh Said, Al-Hajaj menjadi gila. Ia terus – menerus diburu wajah Said yang mencemoohnya. (Al-Mas’udi 3:152). Mengapa Al-Hajaj tidak menyenangi Said? Al-Hajaj adalah tiran. Tidak ada yang paling dibenci tiran selain orang – orang yang berani berbicara dan tidak mau berdusta. “Dan tidaklah mereka menyiksa orang – orang kecuali karena mereka beriman kepada Allah, Maha Perkasa dan Maha

Terpuji” (Al-Buruj : 8). Maimun bin Mahran berkata:” Sa’id bin Jubair meninggal dunia, saat orang orang membutuhkan ilmunya” Ia wafat pada tahun 95 H di Kuffah. Ibroh yang bisa kita petik dari perjalanan hidup Said bin Jubair : 1. kekuatan iman melahirkan keteguhan memegang dalam prisip 2. keberanian mengatakan kebenaran dihadapan penguasa (jihad yang paling utama) 3. Allahu Ghoyatunaa.Bahkan detik menjelang kematiannya tak henti dzikrullah terucap dari lisannya. Subhanallah, moga sirah Said bin Jubair menginspirasi kita dalam mengemban amanah dakwah ini. Wallahu 'alam bishshowwab (googling) Diposkan oleh ranselhitam05 di Sunday, July 18, 2010 Tokoh kita kali ini termasuk salah seorang Imam kaum Muslimin. Dia sangat terkanal dengan ibadah dan tangisannya. Sesuai dengan namanya, dia senang melaksanakan perintah AllahSubhanahu Wata’ala, dan kita berharap semoga dia diterima disisi-Nya sebagai oarng yang mati syahid. Dia salah seorang wali dari wali-wali AllahSubhanahu Wata’ala yang sholeh dan yang di kabulkan doa’-doa’nya. Dari Ashbugh bin Zaid, dia berkata, “Said bin Jubair pernah mempunyai seekor ayam jantan yang sering berkokok setiap menjelang fajar. Pada suatu ketika ayam tersebut tidak berkokok mulai dari malam hingga pagi hari, sehingga Said bin Jubair luput untuk melakukan shalat malam. Karena, tanpa ayam itu ia merasa berat untuk bangun malam hingga ia berkata, “Apa yang terjadi padanya hingga Allah Subhanahu Wata’ala menghilangkan suaranya?” Mulai saat itu dia tidak mendengar lagi suara kokok ayamnya, kemudian ibunya berkata kepadanya,”Janganlah mendo’akan sesuatu setelah ini.” Inilah Said bin Jubair yang di siksa oleh para perwira Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi hingga meninggal dunia. Bisa saja dia mendo’akan Al-Hajjaj agar tidak membunuhnya, akan tetapi dia tidak mau melakukannya. Anehnya, dia malah berdo’a agar orang yang terakhir dibunuh Al-Hajjaj dan bala tentaranya adalah dirinya. Allah Subhanhu Wata’ala menghancurkan para perusuh akidah ummat islam itu, yang telah banyak melakukan kerusakan di berbagai daerah dan menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat. Itu terjadi selang beberapa hari setelah terbunuhnya Said. Jika ada seseorang dari penduduk Kuffah yang bertanya kepada Ibnu Abbas Hibrul Ummah – pembawa berita bagi Ummat dan orang yang mengamalkan Al-Qur’an-, maka dia mengalihkannya kepada Said bin Jubair dengan berkata. “Tidakkah diantara kalian terdapat Ibnu Ummu AdDuhama’ (Said bin Jubair)?” Dia adalah Said yang sering menangis saat melakukan shalat malam hingga penglihatannya kabur dan rabun.

Dia ikut serta Ibnu Al-Asy’ats ketika keluar untuk memerangi Al-Hajjaj bin Yusuf Ats-Tsaqafi. Dia mengajak orang-orang untuk memerangi kaum perusak itu, karena tindakan mereka telah meresahkan Ummat, sombong, tidak mau melakukan shalat dan menghalang-halangi mereka yang shalat serta merendahkan martabat kaum muslimin. Ketika kelompok Ibnu Al-Asy’ats kalah, Said bin Jubair melarikan diri ke Makkah, dan bersembunyi disana selama hampir 12 tahun. Kemudian dia tertangkap oleh kaki tangan Al-Hajjaj pada tahun dimana dia meninggal dunia, ketika Allah Subhanahu Wata’ala menghendaki sang perusuh itu juga binasa – semoga Allah Subhanahu Wata’ala mengutuk orang-orang yang telah berbuat kedzaliman- dengan kematian yang tragis, yakni Su’ul Khatimah, di saat Ibnu Jubair meraih kebahagiaan dengan mati syahid. Said di bunuh Al-Hajjaj sang perusuh itu dengan sadisnya. Said adalah orang yang penyabar dan seorang yang senang dengan kemuliaan yang di janjikan Allah Subhanahu Wata’ala di syurga. Kita memohon kepada Allah agar mengangkat derajat dan kehormatannya di sisi Allah melebihi ummat dan makhluk lainnya karena kesabaran dan ibadah yang dia lakukan, jerih payah dan kematian syahid yang di perolehnya . Kita juga memohon kepada Allah Subhanahu Wata’ala agar berkenan memberikan kesyahidan kepada kita dalam memperjuangkan agama-Nya dan dapat menerimanya dengan penuh kaikhlasan dan bukan sebagai orang yang menyesal. Semoga shalawat dan salam senantiasa mengalir kepada Rosulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam yang di utus-Nya sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin, beserta keluarganya yang terhormat dan suci serta para Shahabatnya yang mempunyai dedikasi dan loyalitas tinggi. Dan segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.”

TOKOH TABI’IN: SA’ID BIN JUBAIR KISAH ISLAM · NOVEMBER 12, 2012

4 10 16.6K 20

SA’ID BIN JUBAIR Badannya kekar, sempurna bentuk tubuhnya, lincah gerak-geriknya, cerdas otaknya, jenius akalnya, antusias terhadap kebajikan, dan menjauhi dosa. Meski hitam warna kulitnya, keriting rambutnya, dan asalnya dari Habsyi, namun tidaklah jatuh rasa percaya dirinya untuk menjadi manusia yang istimewa, apalagi umurnya masih muda. Pemuda yang berasal dari Habsyi asli dan menjadi warga Arab ini sadar betul bahwa ilmu adalah jalan yang bisa mengantarkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Dan takwa adalah jalan yang menuntunnya ke surga. Oleh sebab itu, dijadikannya takwa di sisi kanannya dan ilmu di sisi kirinya. Keduanya dipadukan dengan ikatan yang erat. Dengan dua hal tersebut beliau mengarungi samudra kehidupan tanpa berleha-leha dan berpangku tangan. Sejak beliau masih muda, orang-orang telah mengenalnya sebagai pemuda yang akrab dengan buku-buku yang ia baca. Atau jika mereka tidak mendapatkannya sedang membaca buku, maka beliau tengah di mihrabnya untuk ibadah. Itulah dia manusia pilihan di zamannya, Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu. Pemuda Sa’id ini berguru kepada banyak sahabat senior, seperti Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah bin Umar maupun Ummul Mukminin Aisyah. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu, guru besar umat Islam dan lautan ilmu yang luas. Dengan setiap Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Alquran, hadis-hadis, dan seluk-beluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorang pun di muka bumi ini kecuali memerlukan ilmunya. Selanjutnya, beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya. Dan kelak beliau menjadi guru dan imam di kota itu. Beliau menjadi imam shalat bagi kaum muslimin di bulan Ramadhan, terkadang membaca Alquran dengan qira’ah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkadang dengan qira’ah Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu dan terkadang dengan qira’ah selainnya. Jika beliau shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Alquran dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi kebiasaan beliau apabila membaca ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala: “(Yaitu) orang-orang yang mendustakan al-Kitab (Alquran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. Al-Mukmin: 70-72)

Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya, dan menetes air matanya. Kemudian mengulang-ulang ayat tersebut sampai adakalanya hampir pingsan. Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji. Orang-orang yang merindukan ilmu dan kebaikan datang berduyun-duyun ke Kufah untuk menghirup sumber ilmu yang jernih dari Sa’id bin Jubair. Beliau ditanya, “Apakah khasyyah (takut) itu?” beliau menjawab, “Khasyyah adalah bahwa engkau harus takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hingga rasa takutmu menghalangi dirimu dari perbuatan maksiat.” Ketika ditanya tentang dzikir, beliau berkata, “Dzikir itu adalah taat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Barangsiapa menyahut seruan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan menaati-Nya, berarti dia berdzikir kepada-Nya. Adapun orang yang berpaling dan tak mau taat, maka dia bukanlah termasuk ahli dzikir, meski dia bertasbih dan membaca Alquran semalam suntuk.” Kota Kufah yang menjadi pilihan beliau untuk menetap ketika itu di bawah kepemimpinan gubernur Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi. Kekuasaan Hajjaj meliputi Irak dan seluruh Masyriq serta negeri di seberangnya, dia memegang kedudukan dan kekuasaannya dengan penuh kesombongan. Dia telah membunuh Abdullah bin Zubair, menumpas gerakannya, menundukkan Irak di bawah kekuasaan Bani Umayah dan memadamkan pemberontakan di sana-sini. Menghunus pedangnya ditengkuk manusia dan menyebarkan rasa takut di seluruh negeri kekuasaannya. Hingga para penduduk merasa ngeri dan takut akan kekejamannya.

SA’ID BIN JUBAIR MELAWAN KEKEJAMAN HAJJAJ BIN YUSUF ATS-TSAQAFI Suatu ketika takdir Allah menghendaki terjadinya perselisihan antara Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi dengan salah satu pendampingnya yang bernama Abdurrahman bin Asy’ats. Perang argumen akhirnya berkembang menjadi fitnah besar yang menelan sangat banyak korban, meninggalkan bekas luka yang dalam dan menyedihkan hati kaum muslimin. Ada yang berkata bahwa fitnah tersebut terjadi ketika Hajjaj mengutus Ibnu Asy’ats bersama pasukannya untuk menaklukkan kota Ratbil di Turki, di belakang daerah yang bernama Sajistan. Maka berperanglah panglima yang tangguh tersebut dengan membawa pasukan besarnya dan berhasil menguasai sebagian besar wilayah negeri tersebut. Termasuk merebut beberapa benteng yang kokoh dan mendapatkan banyak ghanimah dari kota-kota dan desa-desa. Kemudian panglima itu mengirim utusan untuk menghadap kepada Hajjaj agar menyampaikan kabar gembira dan sekaligus mengirimkan seperlima dan ghanimah untuk baitul maal milik kaum muslimin. Selain itu dia juga menulis surat, minta izin untuk sementara menghentikan perang. Agar dia dapat mempelajari seluk-beluk medan maupun keadaan dan kebiasaan penduduk negeri itu, sebelum memutuskan untuk menyerbu daerah pedalaman

yang belum diketahui medannya oleh pasukan yang sebelumnya telah berhasil mendapatkan kejayaan. Namun Hajjaj murka dengan pendirian panglima tersebut. Dia menulis surat balasan berisi kecaman pedas dan menuduh Abdurrahman sebagai pengecut serta mengancam akan memecatnya. Begitu surat dari gubernurnya datang. Abdurrahman bin Asy’ats segera mengumpulkan para komandan pasukan dan perwiranya. Beliau membaca surat tersebut untuk kemudian dimusyawarahkan bagaimana sikap yang harus mereka ambil. Ternyata para komandan itu menyarankan untuk menentang perintah Hajjaj. Maka Abdurrahman berkata, “Apakah kalian bersedia berbaiat untuk berjihad kepadanya hingga Allah membersihkan bumi Irak dari kezalimannya?” akhirnya mereka melakukan baiat kepada panglimanya. Tentara Abdurrahman bin Asy’ats bergerak menyerang pasukan Hajjaj dengan kebencian berkobar di dada. Terjadilah pertempuran dahsyat antara mereka dengan pasukan Ibnu Yusuf, dan pasukan Abdurrahman berhasil memenangkannya hingga mampu menguasai Sajistan serta sebagian besar wilayah Persia. Selanjutnya Abdurrahman berhasrat merebut Kufah dan Basrah dari kekuasaan Hajjaj bin Yusuf. Perang masih berkecamuk antara dua kubu. Ibnu Asy’ats terus menguasai kota demi kota. Hal itu membuat kemarahan Hajjaj memuncak ke ubun-ubun. Bersamaan dengan itu, para wali di berbagai daerah telah menulis surat kepada Hajjaj yang melaporkan banyaknya ahli dzimmah yang memeluk Islam untuk melepaskan diri dari kewajiban membayar jizyah. Mereka telah meninggalkan pedesaan menuju ke kota-kota. Ini berarti makin menipisnya pendapatan negara. Kemudian Hajjaj menulis surat kepada walinya di Basrah dan kota-kota lainnya untuk mengumpulkan para ahli dzimmah yang telah berpindah dan mengembalikan semuanya ke tempat asal masing-masing. Tak luput pula bagi mereka yang sudah lama tinggal di kota. Perintah Hajjaj segera dilaksanakan. Sejumlah besar ahli dzimmah tersebut dikumpulkan dan dijauhkan dari mata pencahariannya. Di pinggiran kota, mereka dikumpulkan beserta anak-istrinya dan dipaksa kembali ke desa-desa yang telah lama mereka tinggalkan. Para wanita, anak-anak dan orang-orang tua menangis beruraian air mata. Mereka minta tolong sambil berseru, “Wahai umat Muhammad.. wahai umat Muhammad.” Mereka bingun hendak berbuat apa, tak tahu harus pergi kemana. Kemudian, keluarlah para ulama dan ahli-ahli fikih Bashrah untuk menolong serta mengusahakan agar perintah tersebut dibatalkan. Namun hasilnya nihil, sehingga mereka pun ikut menangis karena tangisan mereka lalu berdoa agar Allah mengentaskan mereka dari musibah tersebut. Kekecewaan para ulama itu dimanfaatkan oleh Abdurrahman. Dia mendekati para alim ulama untuk mendukung perjuangannya. Kemudian beberapa tokoh tabi’in dan pemuka-pemuka Islam turun tangan, di antara termasuk Sa’id bin Jubair, Abdurrahman bin Laila, Imam asy-Sya’bi, Abul Bukhtari dan lain-lain. Perang besar antara kedua belah pihak meletus. Mula kemenangan berpihak di pasukan Ibnu Asy-ats, tapi kemudian sedikit demi sedikit keseimbangan beralih. Pasukan Hajjaj berada di atas angin, sampai akhirnya kekuatan Ibnu Asy’ats dapat dihancurkan. Ibnu Asy’at melarikan diri dan pasukannya menyerah kepada Hajjaj.

Setelah itu, Hajjaj memerintahkan pegawainya untuk menyeru kepada para pemberontak agar memperbaharui baiatnya. Di antara mereka ada yang menaati dan sebagian kecil menghilang, termasuk Sa’id bin Jubair. Orang-orang yang menyerah itu datang untuk berbaiat, namun mereka dikejutkan oleh kejadian yang tidak mereka duga. Hajjaj berkata kepada salah seorang di antara mereka, “Apakah engkau mengaku kafir karena telah membatalkan baiatmu kepada amirmu? Jika dia menjawab, “Ya” maka diterima baiatnya yang baru lalu dibebaskan. Namun jika menjawab, “Tidak” maka dibunuh. Sebagian dari mereka yang lemah, tunduk dan terpaksa mengaku kafir demi keselamatan dirinya. Sedangkan sebagian lagi tetap teguh dan tidak meingdahkan perintah tersebut, tetapi mereka harus membayar dengan lehernya. Menurut kabar yang tersebar, penjagalan tersebut telah memakan ribuan orang, sedangkan ribuan selainnya selamat setelah mengaku kafir. Dalam kejadian lain, ada orang tua dari suku Khat’am. Ketika terjadi huru-hara dan kekacauan antara dua kubu, dia tidak berpihak kepada siapapun dan tinggal di suatu tempat yang jauh di belakang sungai Eufrat. Kemudian dia digiring menghadap Hajjaj, lalu ditanya tentang dirinya. Orang Tua: “Semenjak meletus pertempuran, aku mengasingkan diri ke tempat yang jauh sambil menunggu perang usai. Setelah Anda menang dan perang usai, maka aku datang kemari untuk melakukan baiat.” Hajjaj: “Celakalah engkau! Engkau tinggal diam menjadi penonton dan tidak ikut membantu pemimpinmu, sekarang apakah engkau mengaku bahwa dirimu telah kafir?” Orang tua: “Terkutuklah aku jika selama 80 tahun ini mengabdi kepada Allah, lalu mengaku sebagai kafir.” Hajjaj: “Jika demikian aku akan membunuhmu.” Orang tua: “Jika engkau membunuhku.. demi Allah, yang tersisa dari usiaku selama ini hanyalah seperti waktu kesabaran seekor keledai yang kehausan. Pagi hari dia minum dan sorenya mati. Aku memang sudah menantikan kematian itu siang dan malam hari. Oleh karena itu, lakukanlah semaumu. Akhirnya orang tua itupun dipenggal lehernya. Tak seorang pun dari pengikut ataupun musuh Hajjaj yang hadir di situ yang tak memuji dan merasa iba terhadap syaikh tua tersebut serta memintakan rahmat untuknya. Kemudian giliran Hajjaj memanggil Kamil bin Ziyad an-Nukhai dihadapkan dari ditanya: Hajjaj: “Apakah engkau mengakui dirimu telah kafir?” Kamil: “Tidak. Demi Allah aku tidak akan mengakuinya.” Hajjaj: “Bila demikian, aku akan membunuhmu.”

Kamil: “Silakan saja kalau engkau mau melakukannya. Kelak akan bertemu di sisi Allah dan setiap pembunuhan ada perhitungannya.” Hajjaj: “Ketika itu, kesalahan berada di pihakmu.” Kamil: “benar, bila engkau yang menjadi hakimnya di hari kiamat itu.” Hajjaj: “Bunuh dia!” Lalu beliaupun dibunuh… Selanjutnya dihadapkan pula seseorang yang sudah lama menjadi burnonan Hajjaj karena dianggap menghinanya. Hajjaj berkata, “Kurasa orang yang di hadapanku ini mustahil mengakui dirinya kafir.” Namun orang itu menjawab, “Janganlah tuan memojokkan aku dulu dan jangan pula berdusta tentang diriku. Sesungguhnya akulah orang yang paling kafir di muka bumi ini, lebih kafir daripada Fir’aun yang semena-mena itu.” Hajjaj terpaksa membebaskannya, padahal ia sudah gatal untuk membunuhnya. Konon, pembantaian besar-besaran tersebut telah menelan ribuan korban dari orang-orang mukmin yang teguh pendiriannya. Dan ribuah lain yang selamat adalah yang dipaksa mengaku dirinya kafir. Sa’id bin Jubair merasa yakin bahwa kalau dia tertangkap, maka akan menghadapi dua pilihan seperti yang lain juga, yaitu dipenggal lehernya atau mengakui dirinya kafir. Dua pilhan, yang paling manis dari keduanyapun begitu pahit. Oleh sebab itu, beliau memilih keluar dari Irak, ia menyembunyikan diri dari masyarakat. Maka berkelilinglah ia di bumi Allah dengan sembunyi-sembunyi agar tak diketahui oleh Hajjaj dan kaki tangannya, hingga akhirnya tinggal di sebuah desa di dekat Mekah. Selama sepuluh tahun beliau tinggal di sana, waktu yang cukup lama untuk menghilangkan dendam dan kedengkian Hajjaj. Akan tetapi, ternyata ada perkembangan situasi yang tak terduga. Seorang amir baru didatangkan ke Mekah, yaitu Khalid bin Abdullah al-Qasri yang juga berasal dari Bani Umayah. Para sahabat Sa’id bin Jubair menjadi gelisah dan khawatir karena mereka tahu tentang kekejaman wali baru itu. Mereka menduga bahwa wali baru tersebut pasti akan menangkap Sa’id bin Jubair. Di antara mereka segera menemui Sa’id bin Jubair lalu berkata, “Orang itu telah datang ke Mekah. Demi Allah, kami khawatir akan diri Anda, maka sebaiknya Anda keluar saja dari sini.” Namun beliau menjawab, “Demi Allah, sudah lama aku bersembunyi sampai malu rasanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Aku telah memutuskan akan tetap tinggal di sini, pasrah dengan kehendak Allah.” Dugaan orang-orang tentang kekejaman Khalid ternyata tak meleset. Begitu mendengar dan mengetahui tempat persembunyian Sa’id bin Jubair, dia langsung mengirimkan pasukannya untuk menangkap Sa’id, mengikat lalu mengirimkannya kepada Hajjaj di kota Wasit nanti. Tentara Khalid mengepung rumah syaikh tersebut lalu menangkap dan mengikatnya di depan murid-murid dan para sahabatnya. Setelah itu mereka bersiap-siap untuk

membawanya kepada Hajjaj. Sa’id menghadapi semua itu dengan tenang. Beliau menoleh kepada para sahabatnya dan berkata, “Saya merasa akan terbunuh di tangan penguasa yang zalim itu. Sesungguhnya pada suatu malam aku pernah melakukan ibadah bersama dua orang teman. Kami merasakan manisnya ibadah dan doa kepada Allah, lalu kami bertiga memohon syahadah (mati syahid). Kedua kawan tersebut sudah mendapatkannya, tinggal aku yang masih menunggu.” Belum lagi beliau selesai bicara,seorang gadis cilik muncul dan demi melihat beliau diikat dan diseret oleh para prajurit, dia langsung merangkul Sa’id sambil menangis. Sa’id menghiburnya dengan lembut dan berkata, “Katakanlah kepada ibumu wahai putriku, kita akan bertemu nanti di surga, insya Allah.” Bocah itupun pergi. Sampailah utusan yang membawa Sa’id seorang imam yang zahid, ‘abid, dan berbakti itu di kota Wasit. Sa’id dihadapkan kepada Hajjaj bin Yusuf. Setelah Sa’id berada di hadapan Hajjaj, dengan pandangan penuh kebencian Hajjaj bertanya: Hajjaj: “Siapa namamu?” Sa’id: “Sa’id (bahagia) bin Jubair (perkasa).” Hajjaj: “Yang benar engkau adalah Syaqi (celaka) bin Kasir (lumpuh).” Sa’id: “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada engkau.” Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Muhammad?” Sa’id: “Apakah yang kau maksud adalah Muhammad bin Abdullah shallallahu ‘alaihi wa sallam?” Hajjaj: “Benar.” Sa’id: “Manusia utama di antara keturunan Adam dan nabi yang terpilih. Yang terbaik di antara manusia yang hidup dan yang paling mulia di antara yang telah mati. Beliau telah mengemban risalah dan menyampaikan amanat, beliau telah menunaikan nasihat bagi Allah, kitab-Nya, bagi seluruh kaum muslimin secara umum dan khusus.” Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Abu Bakar?” Sa’id: “Ash-Shiddiq, khalifah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau wafat dengan terpuji dan hidup dengan bahagia. Beliau mengambil tuntunan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tanpa merubah ataupun mengganti sedikitpun darinya.” Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang Umar?”

Sa’Id: “Beliau adalah al-Faruq, dengannya Allah membedakan antara yang haq dengan yang batil. Beliau adalah manusia pilihan Allah dan rasul-Nya, beliau melaksanakan dan mengikuti jejak kedua pendahulunya, maka dia hidup terpuji dan mati sebagai syuhada.” Hajjaj: “Bagaimana dengan Utsman?” Sa’id: “Beliau yang membekali pasukan Usrah dan meringankan beban kaum muslimin dengan membeli sumur “Ruumah” dan membeli rumah untuk dirinya di Surga. Beliau adalah menantu Rasulullah atas dua orang putri beliau dan dinikahkan karena wahyu dari langit. Lalu terbunuh di tangan orang zalim.” Hajjaj: “Bagaimana dengan Ali?” Sa’id: “Beliau adalah Putra paman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan pemuda pertama yang memeluk Islam. Beliau adalah suami Fathimah radhiallahu ‘anha putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ayah dari Hasan dan Husein yang merupakan dua pemimpin pemuda ahli Surga.” Hajjaj: “Khalifah yang mana dari Bani Umayah yang paling kau sukai?” Sa’id: “Yang paling diridhai Pencipta mereka.” Hajjaj: “Manakah yang paling diridhai Rabb-nya?” Sa’id: “Ilmu tentang itu hanyalah diketahui oleh Yang Maha Mengetahui yang zahir dan yang tersembunyi.” Hajjaj: “Bagaimana pendapatmu tentang diriku?” Sa’id: “Engkau lebih tahu tentang dirimu sendiri.” Hajjaj: “Aku ingin mendengarkan pendapatmu.” Sa’id: “Itu akan menyakitkan dan menjengkelkanmu.” Hajjaj: “Aku harus tahu dan mendengarnya darimu.” Sa’id: “Yang kuketahui, engkau telah melanggar Kitabullah, engkau mengutamakan hal-hal yang kelihatan hebat padahal justru membawamu ke arah kehancuran dan menjurumuskanmu ke neraka.” Hajjaj: “Kalau begitu, demi Allah aku akan membunuhmu.” Sa’id: “Bila demikian, maka engkau merusak duniaku dan aku merusak akhiratmu.” Hajjaj: “Pilihlah bagi dirimu cara-cara kematian yang kau sukai.” Sa’id: “Pilihlah sendiri wahai Hajjaj. Demi Allah, untuk setiap cara yang kau lakukan, Allah akan membalasmu dengan cara yang setimpal di akhirat nanti.”

Hajjaj: “Tidakkah engkau menginginkan ampunanku?” Sa’id: “Ampunan itu hanyalah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan engkau tak punya ampunan dan alasan lagi di hadapan-Nya.” Memuncaklah kemarahan Hajjaj. Kepada algojonya diperintahkan: “Siapkan pedang dan alasnya!” Sa’id tersenyum mendengarnya, sehingga bertanyalah Hajjaj, Hajjaj: “Mengapa engkau tersenyum?” Sa’id: “Aku takjub atas kecongkakanmu terhadap Allah dan kelapangan Allah terhadapmu.” Hajjaj: “Bunuh dia sekarang!” Sa’id: (Menghadap kiblat sambil membaca firman Allah Ta’ala): “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah.” (QS. Al-An’am: 79) Hajjaj: “Palingkan ia dari kiblat!” Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala) “Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah wajah Allah.” (QS. Al-Baqarah: 115) Hajjaj: “Sungkurkan dia ke tanah!” Sa’id: (Membaca firman Allah Ta’ala) “Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaha: 55) Hajjaj: “Sembelihlah musuh Allah ini! Aku belum pernah menjumpai orang yang suka berdalih dengan ayat-ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti dia.” Sa’id: (Mengangkat kedua tangannya sambil berdoa), “Ya Allah jangan lagi Kau beri kesemaptan ia melakukannya atas orang lain setelah aku.” Tak lebih dari lima belas hari setelah wafatnya Sa’id bin Jubair, mendadak Hajjaj bin Yusuf terserang demam. Kian hari suhu tubuhnya makin meningkat dan bertambah parah rasa sakitnya hingga keadaannya silih berganti antara pingsan dan siuman. Tidurnya tak lagi nyenyak, sebentar-sebentar terbangun dengan ketakutan dan mengigau: “Ini Sa’id bin Jubair hendak menerkamku! Ini Sa’id bin Jubair berkata: “Mengapa engkau membunuhku?” Dia menangis tersedu-sedu menyesali diri: “Apa

yang telah aku perbuat atas Sa’id bin Jubair? Kembalikan Sa’id bin Jubair kepadaku!” Kondisi itu terus berlangsung hingga dia meninggal. Setelah kematian Hajjaj, seorang kawannya pernah memimpikannya. Dalam mimpinya itu dia bertanya kepada Hajjaj: “Apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala perbuat terhadapmu setelah membunuh orang-orang itu, wahai Hajjaj?” Dia menjawab, “Aku disiksa dengan siksaan yang setimpal atas setiap orang tersebut, tapi untuk kematian Sa’id bin Jubair aku disiksa 70 kali lipat.” Sumber: Mereka adalah Para Tabi’in, Dr. Abdurrahman Ra’at Basya, At-Tibyan, Cetakan VIII, 2009 Artikel www.KisahMuslim.com

Sa’id bin Jubair - Tabi'in yang Wafat karena Dipenggal muhamad nurdin fathurrohman Wednesday, September 17, 2014 Tabiin

Masjid Asafi di Lucknow, India. [Foto : Wikipedia: Sayed Mohammad Faiz Haider]

Sa’id bin Jubair adalah seorang tabi’in, ahli fiqih dan periwayat hadits yang berkedudukan di Kufah. Ia juga merupakan ahli tafsir dan salah seorang murid dari Ibn Abbas. Karena ketinggian ilmunya sehingga ia digelari Jahbadz al ‘Ulama (pemuka ulama). Dia adalah seorang Imam, AlHafidz (yang hafal banyak hadits dalam jumlah tertentu dan menghafal Al-Qur’an), dan salah seorang

yang

mati

syahid.

Sa’id ibn Jubair ibn Hisyam al Asadi, biasa dipanggil Abu Abdillah merupakan keturunan Habasyah (Ethiopia) dan menjadi maula Walibah bin Harits dari Bani Asad. Ia tinggal di Kufah dan menjadi salah

seorang

tabi’in

terkemuka

disana.

Kelahiran Tidak ada seorang pun dari para sejarawan atau yang menulis biografinya yang mengetahui tempat dan waktu kelahirannya. Mereka hanya menjelaskan bahwa dia terbunuh pada bulan Sya’ban tahun 95 Hijriyah. Dia pernah berkata pada puteranya, “Ayahmu tidak akan ada lagi setelah berusia

tahun.”

54

Jadi

kelahirannya

diperkirakan

pada

tahun

38

Hijriyah.”

Adz-Dzahabi menegaskan bahwa dia dilahirkan pada masa kekhalifahan Abu Hasan Ali bin Abi Thalib.” Ada juga yang mengatakan,”Dia berumur 49 tahun, jadi dia lahir pada tahun 46 Hijriyah.”

Sifat-sifatnya

:

berkata, “Ada

Adz-Dzahabi

yang

mengatakan

bahwa

dia

berkulit

hitam.

Dari Abdullah bin Numair dari Fithr, dia berkata, “Aku melihat Sa’id bin Jubair dengan rambut kepala dan

jenggot

berwarna

putih.” (Tarikh

Al-Islam

6/367)

Dari Ayyub, dia berkata, “Said bin Jubair pernah di tanya seseorang tentang Khidhab dengan menggunakan tato, diapun tidak menyukainya, dan dia berkata, “Allah memberi pakaian seorang hamba dengan cahaya yang memancar di wajahnya (kehormatan), kemudian dia mematikannya dengan warna (Tato).”

hitam

Dari Isma’il bin Abdul Malik, dia berkata, “Aku melihat Said bin Jubair memakai sorban berwarna putih.” (Thabaqat

Ibnu

Sa’ad

6/267)

Dari Al-Qasim Al-A’raj, dia berkata, “Pernah pada suatu malam Said menangis hingga penglihatannya rabun.” (Siyar

Guru-guru

A’lam

An-Nubala’

4/333)

beliau

Abu Sa’id al-Khudri, Adi bin Hatim ath-Thayy, Abu Musa al-Asy’ari, Abu Hurairah ad-Dausi, Abdullah bin Umar dan Ummul Mukminin Aisyah. Tapi guru utamanya adalah Abdullah bin Abbas radhiyallahu

‘anhu.

Dengan setiap Sa’id bin Jubair mengikuti Abdullah bin Abbas layaknya bayangan yang selalu mengikuti orangnya. Dari sahabat inilah beliau menggali tafsir Alquran, hadis-hadis, dan selukbeluknya. Darinya pula beliau mendalami persoalan agama maupun tafsirnya. Juga mempelajari bahasa hingga mahir dengannya. Dan pada gilirannya, tidak ada seorang pun di muka bumi ini kecuali

memerlukan

ilmunya.

Selanjutnya, beliau mengembara dan berkeliling di negara-negara muslimin untuk mencari ilmu sesuai kehendak Allah. Setelah merasa cukup, beliau memutuskan Kufah sebagai tempat tinggalnya.

Dan

kelak

beliau

menjadi

guru

dan

imam

di

kota

itu.

Beliau menjadi imam shalat bagi kaum muslimin di bulan Ramadhan, terkadang membaca Alquran dengan qira’ah Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, terkadang dengan qira’ah Zaid bin Tsabit radhiyallahu

‘anhu

dan

terkadang

dengan

qira’ah

selainnya.

Jika beliau shalat sendirian, adakalanya beliau khatamkan Alquran dalam sekali shalat. Dan sudah menjadi

kebiasaan

beliau

apabila

membaca

ayat

Allah

Subhanahu

wa

Ta’ala:

“(Yaitu) orang-orang yang mendustakan al-Kitab (Alquran) dan wahyu yang dibawa oleh rasul-rasul Kami yang telah Kami utus. Kelak mereka akan mengetahui, ketika belenggu dan rantai dipasang di leher mereka, seraya mereka diseret, ke dalam air yang sangat panas, kemudian mereka dibakar dalam api.” (QS. AlMukmin:

70-72)

Atau ketika membaca ayat-ayat serupa yang berisi ancaman, maka menjadi gemetarlah badannya, gentar hatinya, dan menetes air matanya. Kemudian mengulang-ulang ayat tersebut sampai

adakalanya

hampir

pingsan.

Beliau melakukan perjalanan ke Baitullah al-Haram dua kali setiap tahunnya. Pertama adalah pada bulan Rajab untuk melakukan umrah, lalu di bulan Dzulqa’dah hingga usai ibadah haji.

Tentang

ketinggian

ilmunya

Diceritakan bahwa pada suatu hari Ibn Abbas berkunjung ke Kufah, penduduk setempat meminta fatwa tentang masalah haji. Ibn Abbas menjawab: “ Mengapa kalian meminta fatwa kepada saya, sementara ditengah-tengah kalian ada IbnuUmmu Dahma’ (maksudnya Sa’id ibn Jubair).”

Menurut Qatadah, Sa’id Ibn Zubair adalah seorang tabi’in yang paling alim dalam bidang tafsir Al Qur’an. Dan Sufyan Ats Tsaury berkata dihadapan Ibrahim An Nakha’I :”Ambilah tafsir (Al qur’an)dari 4 orang, yaitu dari Sa’id Ibn Zubair, Mujahid, Ikrimah, dan dari Ad Dahhak”.

Said juga terkenal sebagai seorang pemberani, ia termasuk salah seorang penentang penguasa Irak yang terkenal dzalim waktu itu, Hajjaj bin Yusuf, seorang raja muda Umayah di Irak. Perbincangannya dengan penguasa Irak menunjukan bahwa ia seorang yang sangat pemberani dalam

menegakan

kebenaran.

Sehingga

kemudian

ia

dipancung

kepalanya.

Hajjaj membunuh Sa’id pada tahun 95 H (pada usia 49 tahun), kepala Sa’id terisah dengan raganya. Konon, Hajjaj bin Yusuf tidak pernah bisa tidur setelah memancung Sa’id, dan ia bertahan hidup tidak lama, dan meninggal beberapa hari setelah itu. Sebelum meninggal Hajjaj bin Yusuf berkata:” Apa yang terjadi antara aku dan Sa’id. Setiap kali mau tidur, ia selalu menyeret kakiku.”

Diantara ahli Al Qur’an yang pernah belajar kepadanya adalah Abu Amr bin ‘Ala, salah seorang ahli

qira’at

7.

Sumber:

 

http://www.hasmi.org/nama-kelahiran-dan-sifat-sifat-sa%E2%80%99id-bin-jubair/ http://www.ensikperadaban.com/?%26nbsp%3BTABI%27IN:Tabi%27in_Ahli_Tafsir:Sa%27id_ib n_Jubair_al_Asadi_al_Kufi

Kisah Tabi'in, Sa’id bin Jubair

Orang yang Tidak Takut dengan Kematian

Dia adalah Sa’id bin Jubair, pewaris ilmu Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhu dan Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu. Salah seorang yang paling alim di kalangan tabi’in. Beliau ditemani Abdurrahman bin al-Asy’ats ketika melawan pemerintahan Khalifah Abdul Malik bin Marwan lantaran berbuat sewenang-wenang dan keterlaluan dalam melakukan pembunuhan. Pada saat Ibnul Asy’ats terkalahkan dalam perang Dairul Jamajim dan terbunuh, Sa’id tertangkap di Makkah. Gubernur Makkah yang ketika itu dijabat oleh Khalid bin Abdullah al-Qasri yang menangkapnya.

Ia dibawa menghadap kepada Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi.

Lantas Hajjaj bertanya kepadanya, “Siapa namamu?”

Ia menjawab, “Sa’id bin Jubair.”

Hajjaj berkata, “Bukan, kamu adalah Syaqi bin Kusair.”

Ia menanggapi, “Ibuku lebih mengetahui namaku daripada dirimu.”

Hajjaj menambahkan, “Celaka ibumu dan juga kamu.”

Ia menjawab, “Yang mengetahui hal ghaib bukanlah kamu.”

Hajjaj berkata, “Sungguh, saya akan mengganti duniamu dengan api yang menyala-nyala.”

Ia berkata, “Seandainya aku mengetahui hal tersebut, pastilah saya menjadikanmu sebagai Tuhan.”

Hajjaj berkata, “Apa pendapatmu mengenai Muhammad?”

Ia menjawab, “Beliau adalah Nabi yang membawa kasih sayang dan pemimmpinnya orang yang mendapat petunjuk.”

Hajjaj melanjutkan, “Apa pendapatmu mengenai Ali? Apakah ia di surga atau di neraka?”

Ia menjawab, “Jika engkau telah masuk ke dalam neraka dan kamu mengetahui siapa yang berada di dalamnya, pastilah engkau mengetahui penduduk neraka.” Hajjaj bertanya lagi, “Apa pendapatmu mengenai para khalifah?”

Ia menjawab, “Saya bukanlah orang yang bertanggung jawab terhadap mereka.” Hajjaj melanjutkan, “Siapakah di antara mereka yang paling engkau sukai?”

Ia menjawab, “Orang yang paling diridhai oleh Sang Penciptaku.”

Hajjaj bertanya, “Siapa orang yang paling diridhai oleh Sang Pencipta?”

Ia menjawab, “Pengetahuan mengenai hal ini ada di sisi Dzat yang mengetahui rahasia dan bisikkan mereka.”

Hajjaj berkata, “Saya ingin engkau jujur kepadaku.”

Ia menjawab, “Jika saya tidak menjawab pertanyaanmu, berarti saya tidak berdusta kepadamu.’

Hajjaj berkata, “Mengapa engkau tidak tertawa?”

Ia menjawab, “Bagaimana bisa tertawa seorang makhluk yang diciptakan dari tanah sedangkan tanah dapat dilalap api.”

Hajjaj berkata, “Bagaimana dengan kami yang bisa tertawa?”

Ia menjawab, “Karena hati manusia tidaklah sama.”

Hajjaj hendak membujuk Sa’id dengan keindahan dan permainan dunia. Lantas ia memerintahkan agar didatangkan mutiara, zamrud, dan permata. Semua benda tersebut dikumpulkan di hadapannya.

Sa’id berkata kepada Hajjaj, “Jika engkau mengumpulkan semua ini agar engkau terlindungi dari ketakutan pada Hari Kiamat, maka bagus. Jika tidak demikian, maka hal ini akan menjadi sebauh teror di mana semua perempuan yang menyusui anaknya akan lalai terhadap anak yang disusuinya. Tidak ada kebaikan sedikit pun dalam sesuatu yang dikumpulkan hanya untuk dunia kecuali harta yang baik dan dizakati.”

Lantas Hajjaj menyuruh agar diambilkan alat musik gambus dan seruling. Ketika kecapi itu dimainkan dan seruling ditiup, Sa’id menangis, lalu Hajjaj bertanya, “Apa yang membuatmu menangis? Apakah permainan musik ini?”

Sa’id menjawab, “Yang membuatku menangis ialah kesedihan. Tiupan tersebut mengingatkanku akan hari agung, yaitu hari sangkakala ditiup. Sedangkan kecapi tersebut berasal dari pohon yang ditebang tanpa hak, tali senarnya berasal dari kulit kambing yang akan dibangkitkan bersamanya pada Hari Kiamat.”

Lantas Hajjaj berkata, “Celakalah engkau Sa’id!”

Sa’id menimpali, “Tidak ada celaka bagi orang yang dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.’

Lalu Hajjaj berkata, “Pilihlah Sa’id!” (maksudnya, pilihlah dengan cara apa saya membunuhmu).

Ia menjawab, “Terserah kamu sendiri, hai Hajjaj! Demi Allah, Engkau tidak akan membunuhku melainkan Allah Subhanahu wa Ta’ala pasti akan membunuhmu dengna cara yang sama di akhirat.”

Hajjaj berkata, “Apakah kamu ingin saya ampuni?”

Ia menjawab, “Sesungguhnya ampunan ialah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, sedangkan kamu tidak mempunyai hak membebaskan dan memberi ampunan.”

Hajjaj berkata kepada tentaranya, “Bawalah ia pergi, lalu bunuhlah dia.” Ketika Sa’id dibawa keluar, ia tertawa. Lantas Hajjaj diberitahu mengenai hal ini, lalu Sa’id dibawa kembali lagi.

Hajjaj bertanya, “Apa yang membuatmu tertawa?”

Ia menjawab, “Saya takjub pada kelancanganmu terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kesabaranNya terhadapmu.”

Hajjaj berkata, “Bunuhlah dia!”

Lalu Sa’id mengucapkan:

“Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang musyrik.” (QS. Al-An’am: 79)

Hajjaj berkata, “Hadapkanlah wajahnya ke selain arah kiblat.” Lalu Sa’id mengucapkan:

“Dari bumi (tanah) itulah Kami menjadikan kamu dan kepadanya Kami akan mengembalikan kamu dan daripadanya Kami akan mengeluarkan kamu pada kali yang lain.” (QS. Thaahaa: 55)

Hajjaj berkata, “Sembelih dia!”

Sa’id berkata, “Sesungguhnya saya bersaksi bahwa tiada Ilah yang benar selain Allah Yang Esa. Tiada sekutu baginya. Dan saya bersaksi bahwa Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba-Nya dan rasul-Nya. Ambillah dariku sampai engkau bertemu denganku pada hari Kimat.”

Kemudian Sa’id berdoa, “Ya Allah! Janganlah engkau memberinya kesempatan untuk membunuh seorang pun setelah aku.”

Sa’id dibunuh pada bulan Sya’ban tahun 96 H. Setelah itu Hajjaj meninggal dunia pada bulan Ramadhan pada tahun itu juga. Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak memberinya kesempatan untuk membunuh seorang pun setelah Sa’id hingga ia meninggal dunia.

Pada saat Sa’id disembelih, ternyata darahnya mengalir sangat banyak. Lantas Hajjaj memanggil para dokter. Ia menanyakan kepada mereka mengenai Sa’id dan orang-orang yang telah ia bunuh sebelumnya. Sesungguhnya orang-orang yang dibunuh sebelum Sa’id, darahnya yang mengalir hanya sedikit. Lantas para dokter menjawab, “Ketika Sa’id dibunuh, nafasnya masih bersamanya. Darah itu mengikuti nafas. Sedangkan selain Sa’id, ternyata nafasnya telah hilang lantaran ketakutan. Oleh karena ituah darah yang mengalir hanya sedikit.”

Ketika Hasan al-Basri mengetahui bahwa Hajjaj telah membunuh Sa’id bin Jubair dengan cara disembelih, maka ia berdoa, “Ya Allah! Binasakanlah orang fasik yang keterlaluan itu. Demi Allah, seandainya semua yang ada di antara langit dan bumi bekerja sama untuk membunuh Sa’id. Pastilah Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menceburkan mereka semua ke dalam neraka.”

Ketika Hajjaj menjelang kematiannya, ia mengalami pingsan kemudian sadar kembali dan berujar, “Apa yang terjadi pada diriku dan Sa’id bin Jubair?” Pada saat sakit, ketika tidur ia pernah bermimpi melihat

Sa’id sedang memegang ujung pakaiannya dan berkata kepadanya, “Hai musuh Allah! Dalam rangka apa kamu membunuhku?” Lantas ia pun terbangun dalam keadaan ketakutan. Ia berkata, “Apa yang terjadi pada diriku dan Sa’id bin Jubair?” Setelah Hajjaj meninggal dunia ia dimimpikan di dalam tidur, lalu ditanyakan kepadanya, “Apa yang diperbuat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala terhadapmu?” Ia menjawab, “Dia membunuhku untuk setiap orang-orang yang kubunuh. Dan Dia membunuhku sebanyak 70 kali karena saya membunuh Sa’id bin Jubair.”

Sa’id bin Jubair merupakan salah seorang yang paling hafal Alquran al-Karim dan sangat mengetahui tafsir sebagaimana ia juga orang yang paling mengetahui hadis, halal, dan haram. Wafa’ bin Iyas berkata, “Pernah suatu hari Sa’id berkata kepadaku pada bulan Ramadhan, ‘Pertahankanlah untuk terus membaca Alquran.’ Makanya, beliau tidak beranjak dari tempatnya sebelum mengkhatamkan Alquran. Sa’id berkata mengenai dirinya sendiri, “Saya membaca Alquran secara keseluruhan di dalam dua rekaat shalat sunah di Baitullah yang mulia.”

Semoga Allah merahmatinya dan memberinya pahala.

Sumber: Hiburan Orang-orang Shalih, 101 Kisah Segar, Nyata dan Penuh Hikmah, Pustaka Arafah Cetakan 1 Dakwah Syariah Minggu, Juli 27, 2014 No comments Kisah Tabi'in

Sumber: http://dakwahsyariah.blogspot.com/2014/07/kisah-tabiin-said-binjubair_27.html#ixzz4znUNmwvM

Related Documents

Said Bin Jubair.docx
December 2019 33
Said
October 2019 50
Said
June 2020 28
He Said. She Said.
December 2019 40
Bin
August 2019 53
Bin
November 2019 60

More Documents from ""