Sabam Siagian

  • Uploaded by: Poltak Simanjuntak
  • 0
  • 0
  • October 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Sabam Siagian as PDF for free.

More details

  • Words: 305
  • Pages: 1
Sabam Siagian Peringatan Hari Proklamasi, dewasa ini, didominasi oleh upacara-upacara resmi, khususnya upacara nasional yang diselenggarakan di halaman depan Istana Negara dipimpin langsung oleh Presiden RI. Kemudian dikaitkan juga dengan semacam pesta rakyat di tingkat kelurahan yang cukup ramai dan menimbulkan kegembiraan sepintas. Agaknya tidak banyak peluang bagi para warga, yang prihatin mengamati situasi kondisi bangsa dan negara, untuk merenungkan, apakah makna yang tersimpul dalam peristiwa amat bersejarah 63 tahun lalu di Jakarta itu masih relevan dengan situasi yang dihadapi bangsa, saat ini? Apakah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia masih mampu menjadi sumber inspirasi yang mengangkat kita dari tekanan depresi melihat bangsa ini seperti terjerat dalam rawa persoalan? Anda mungkin tidak begitu tergugah lagi betapa peristiwa Proklamasi itu, 63 tahun lalu, merupakan tonggak sejarah yang amat penting untuk mengangkat harkat bangsa sebagai bangsa merdeka. Oleh karena itu, dengarlah kata-kata Ir Soekarno sebelum membacakan Proklamasi Kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 pagi hari di ruang muka kediamannya, Pegangsaan Timur 56 (sekarang Jalan Proklamasi), Jakarta. Bung Karno, yang baru setengah pulih diserang malaria, mungkin karena ketegangan selama beberapa hari, didampingi oleh Bung Hatta dengan nada serius di depan para tokoh dari berbagai kalangan masyarakat serta pemuda-pemudi berkata: "Saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan suatu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan tanah air kita. Bahkan telah beratusratus tahun." Kemudian sebelum mengakhiri pengantar singkatnya ia menandaskan: "Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri akan dapat berdiri dengan kuatnya.... Dengarkanlah Proklamasi kami...." Kalau awal pergerakan kebangsaan modern dihitung sejak berdirinya Boedi Oetomo pada 1908 (seorang sejarawan Jepang, Akira Nagazumi, menyebutnya sebagai The Dawn of Indonesian Nationalism - "Fajar Nasionalisme Indonesia"), maka 37 tahun telah dilampaui sebelum Proklamasi Kemerdekaan dicanangkan. Selama 37 tahun itu, gerakan kebangsaan mengalami pasang surut dan kepulauan Nusantara dijajah militer Jepang 3,5 tahun. Sumber : Suara Pembaruan

Related Documents


More Documents from "Yohanes Hidaci Aritonang"