A.
LATAR BELAKANG
Pada hakikatnya setiap negara yang berdaulat memiliki hukum atau aturan yang kokoh dan mengikat pada seluruh perangkat yang ada didalamnya. Seperti pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang memiliki mainstrem hukum positif untuk mengatur warga negaranya. Salah satu hukum positif yang ada di indonesia adalah Hukum Perdata Internasional yang nantinya akan dibahas lebih detail.
Permasalahan mengenai keperdataan yang mengaitkan antara unsur unsur internasional pada era gloobalisasi saat sekarang ini cukup berkembang pesat. Faktor non negara dan faktor individu mempunyai peran yang dominan. Perusahaan perusahaan multi nasional, baik yang berorientasi pada keuntungan atau yang tidak berorientasi pada keuntungan, hilir mudik melintasi batas teritorial suatu negara untuk melakukan transaksi perdagangan. Mereka yang mempunyai uang lebih uatau ingin mencari uang lebih, keluar masuk dari satu negara ke negara lain dengan proses yang begitu cepat. Terjadinya perkawinan antara dua warga negara yang berbeda, mempunyai keturunan di suatu negara, mempunyai harta warisan dan lain sebagainya. Inilah sebuah konsensi dari sebuah globalisasi. Tidak bisa dihindari, akan tetapi inilah sebuah kebutuhan dan merupakan sifat dasar umat manusia. Masalah masalah keperdataan diatas sangat diperlukan sebuah wadah untuk dapat menjadi acuan dan rujukan bertindak dari semua hal diatas. Wadah tersebut dibutuhkan agar dunia yang ditempati ini tidak didasari pada hukum rimba, dimana yang kuatlah yang menang, dan yang lemah akan selalu tertindas, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin.
Permasalahan diataslah yang menjadikan hukum tentang keperdataan sangat perlu diatur dalam suatu kerangka kerangka hukum positif. Hukum Perdata internasional merupakan sesuatu hal nyata rier terjadi di dunia nyata yaitu adanya hubungan perdata yang lintas Negara, dalam proses berintraksi dan berhubungan khususnya perdata khususnya masalah perdata yang lintas Negara yang mana terdapat unsure asing didalamnya maka hal yang mungkin sekali terjadi adalah adanya sebuah masalah atau sengketa perdata internasional yang cirinya ada unsur asing di dalamnya atau salah satu pihak yang bersengketa, maka di makalah ini akan mencoba untuk mengulas dan membahas serta menganalisa sebuah kasus sengketa yang terjadi dalam hubungan perdata internasional pada putusan Mahkamah Agung No. 797/Pdt.G/2014/PN.Dps
TINJAUAN PUSTAKA A. PENGERTIAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL
Seperti bidang kajian ilmu hukum lainnya, kajian tentang hukum perdata internasional pun memiliki pemahaman dan definisi yang berbeda di antara para tokoh. Adapun pengertian hukum perdata internasional menurut beberapa ahli dapat disimak sebagai berikut:
1. Menurut Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmaja
Hukum Perdata Internasional adalah keseluruhan kaidah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata melewati batas negara, atau dengan kata lain, hukum yang mengatur hubungan antar pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berbeda.
2. Menurut R.H Graveson
Hukum Perdata Internasional berkaitan dengan perkara-perkara yang di dalamnya mengandung fakta yang relevan yang berhubungan dengan suatu sistem hukum lain, baik karena teritorialistasnya dapat menumbulkan permasalahan hukum sendiri atau hukum asing untuk memutuskan perkara atau menimbulkan masalah pelaksanaan yuridiksi pengadilan sendiri atau asing.
3. Van Btakel
Hukum perdata internasional adalah hukum nasional yang ditulis atau diadakan untuk hubungan-hubungan hukum internasional.
4. Sudarta Gautama ( GOUW GIOK SIONG )
Hukum perdata internasional adalah keseluruhan peraturan & keputusan hukum yang menunjukan stelsel hukum manakah yang berlaku atau apakah yang merupakan hukum jika hubungan-hubungan & peristiwa-peristiwa antara warga ( warga ( negara pada satu waktu tertentu memperlihatkan titik pertalian dengan stelsel-stelsel kaidah-kaidah hukum dari 2 atau lebih negara yang berbeda dalam lingkungan-lingkungan ( kuasa, tempat yang pribadi ) soal-soal.
5. Masmuim
Hukum perdata internasional adalah keseluruhan ketentuan2 hukum yang menentukan hukum perdata dari negara mana harus diterapkan suatu perkara yang berakar didalam lebih dari satu negara. Maka, secara umum pengertian hukum perdata internasional adalah keseluruhan kaedah dan asas hukum yang mengatur hubungan perdata yang melintasi batas Negara atau hukum yang mengatur hubungan hukum perdata antara para pelaku hukum yang masing-masing tunduk pada hukum perdata (nasional) yang berlainan. https://annisawally0208.blogspot.com/2016/04/materi-kuliah-pengertian-hukum-perdatainternasional.html
B. Pengertian Perjanjian Internasional Perjanjian Internasional adalah sebuah perjanjian yang dibuat di bawah hukum internasional oleh beberapa pihak yang berupa negara atau organisasi internasional. Sebuah perjanjian multilateral dibuat oleh beberapa pihak yang mengatur hak dan kewajiban masing-masing pihak. Perjanjian bilateral dibuat antara dua negara. Sedangkan, perjanjian multilateral adalah perjanjian yang dibuat oleh lebih dari dua negara Berikut ini adalah beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli.
1. Prof Dr.Mochtar Kusumaatmadja Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antarbangsa yang bertujuan untuk menciptakan akibat-akibat hukum tertentu 2. Oppenheimer-Lauterpacht Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antarnegara yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara pihak-pihak yang mengadakannya 3. G. Schwarzenberger Perjanjian internasional adalah suatu persetujuan antara subjek-subjek hukum internasional yang menimbulkan kewajiban-kewajiban yang mengikat dalam hukum internasional 4. Konferensi Wina ((1969)) Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh dua negara atau lebih yang bertujuan untuk mengadakan akibat-akibat hukum tertentu 5. Pasal 38 ayat 1 Piagam Mahkamah Internasional
Perjanjian internasional baik yang bersifat umum maupun khusus, yang mengandung ketentuan-ketentuan hukum yang diakui secara tegas oleh negara-negara yang bersangkutan Jadi, perjanjian Internasional adalah perjanjian yang diadakan oleh masyarakat bangsabangsa dan bertujuan mengakibatkan hukum tertentu. Perjanjian internasional sekaligus menjadi subjek hukum internasional. Perjanjian internasional juga lebih menjamin kepastian hukum serta mengatur masalah-masalah bersama yang penting. Disebut perjanjian internasional jika perjanjian diadakan oleh subjek hukum internasional yang menjadi anggota masyarakat internasional. https://id.wikipedia.org/wiki/Perjanjian_internasional
3. Pengertian arbirtrase Arbitrase Internasional adalah pengajuan sengketa internasional kepada arbitrator yang dipilih, yang memberi keputusan dengan tidak harus ketat memperhatikan pertimbanganpertimbangan hukum. Hal-hal penting dalam arbitrase ialah perlunya persetujuan para pihak dalam setiap tahap proses arbitrase dan sengketa diselesaikan atas dasar menghormati hukum. Selanjutnya proses arbitrase dilakukan melalui prosedur khusus sebagai berikut 1. Pertama masing-masing pihak sengketa menunjuk dua arbitrator degnan hanya satu yang boleh dari negera yang bersangkutan atau yang boleh dipilih di antara orang-orang yang diajukan oleh negara yang bersangkutan. 2. Kedua, para arbitrator ini memilih seorang wasit yang hanya akan bertindak sebagai ketua pengadilan.
3. Ketiga, dari anggota yang hadir diambil suara mayoritas/ terbanyak sebagai hasil keputusannya. dan jika keputusan berdasar mayoritas telah tercapai, maka proses arbitrase dengan sendirinya telah selesai. Itulah informasi yang dapat saya sampaikan tentang pengertian Arbitrase Internasional, semoga informasi tersebut dapat bermanfaat buat anda.
BAB III A. ADAD
BAB II PEMBAHASAN MASALAH Di dalam kontrak internasional tercantum klausula penyelesaian sengketa melalui kesepakatan, apakah ditempuh cara : 1.
Pilihan hukum (choice of law), dalam hal ini para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang hukum mana yang berlaku terhadap interpretasi kontrak tersebut; 2.
Pilihan forum (choice of jurisdiction), yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan dan forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut; o Litigasi = pengadilan o Non litigaasi : arbitrase, negosiasi, konsialisi dan mediasi. 1.
Pilihan Hukum (Choice of Law) Pada prinsipnya para pihak diberi kebebasan menentukan sendiri hukum mana yang berlaku dalam perjanjian sesuai prinsip kebebasan berkontrak. Menurut ketentuan pasal 1338 KUH Perdata bahwa perjanjian yang dibuat secara sah, yaitu memenuhi syarat-syarat pasal 1320 KUH Perdata berlaku sebagai undang-undang bagi yang mebuatnya, tidak dapat ditarik kembali tanpa persetujuan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang cukup
menurut undang-undang, dan harus dilaksanakan dengan itikad baik. Adapun syarat sahnya perjanjian menurut pasal 1320 KUH Perdata adalah : 1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu hal tertentu; 4. suatu sebab yang halal. Dua syarat pertama dinamakan syarat-syarat subyektif, karena mengenai orang-orang atau subyek yang mengadakan perjanjian. Sedangkan dua syarat terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjian sendiri atau obyeknya dari perbutan hukum yang dilakukan. Tidak terpenuhinya syarat subyektif maka perjanjian itu dapat dibatalkan, sedangkan tidak terpenuhinya syarat-syarat obyektif maka perjaian itu batal demi hukum. Meskipun demikian batasan yang harus dipahami para pihak dalam berkontrak adalah: 1. tidak melanggar ketertiban umum; 2.
hanya di bidang hukum kontrak; 3.
tidak boleh mengenai hukum kontrak kerja;
4.
tidak boleh mengenai ketentuan hukum publik. Penempatan klausula pilihan hukum kontrak mempunyai arti penting untuk: 1. sebagai sarana untuk menghindari
ketentuan hukum yang memaksa yang tidak efisien 2. untuk meningkatkan persaingan yurisdiksi; 3.
memecahkan masalah peraturan berbagai negara. 2. Pilihan forum (choice of jurisdiction) Berdasarkan asas kebebasan berkontrak, maka para pihak dalam kontrak dapat memilih pengadilan mana seandainya timbul sengketa terhadap kontrak yang bersangkutan yang dapat dilakukan melalui pilihan forum pengadilan dan di luar pengadilan. Pilihan forum yakni para pihak menentukan sendiri dalam kontrak tentang pengadilan dan forum mana yang berlaku jika terjadi sengketa di antara para pihak dalam kontrak tersebut; Penyelesaian sengketa yurisdiksi dapat dilakukan dengan cara : 1.
Litigasi 2.
Non Litigasi a.
Penyelesaian sengketa dengan Litigasi • Penyelesaian sengketa lewat pengadilan
• Ada sengketa tapi kemudian sengketa tersebut dapat berubah menjadi tidak sengketa atau dengan kata lain orang yang mengajukan gugatan ke pengadilan bisa saja telah dalam persidangan b.
Penyelesaian sengketa dengan non litigasi Sudah dibuka kemungkinan oleh hakim pada waktu penyelesaian suatu perkara ke pengadilan. Hanya saja penyelesaian perkara secara alternative yang ditawarkan oleh pihak pengadilan/majelis hakim pada waktu itu masih dalam rangka/ruang lingkup penyelesaian perkara secara litigasi. Salah satunya adalah dengan ARBITRASE. Arbitrase Menurut ket entuan pasal 1 ayat (1) UU No. 30 Tahun 1999 dinyatakan bahwa: “Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersangkutan.” Arbit rase adalah suatu cara penyelesaian sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada. Menurut Undang-Undang nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternatif penyelesaian sengketa umum, yang dimaksud dengan arbitrase adalah cara adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa. Adapun perjanjian arbitrase diartikan sebagai suatu kesepakatan berupa klausul arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa Bentuk arbitrase ada 2 macam, yaitu : 1.
Arbitrase institusional : • arbitrase permanen • arbitrase melembaga 2.
Arbitrase ad hoc : • Sementara
• Khusus
• valunter = sukarela Bentuk perjanjian arbitrase ada 2 macam : • Factum de compromittendo, yaitu suatu bentuk perjanjian yang dibuat dan disepakati oleh para pihak, sebelum adanya sengketa dan klausula dibuat/dicantumkan di dalam perjanjian pokok. Perjanjian arbitrase selalu didahului dengan perjanjian pokok, tanpa perjanjian arbitrase, perjanjian pokok dapat berjalan, sehingga perjanjian arbitrase disebut perjanjian assesori (perjanjian lanjutan/tambahan) • Kebalikan dari factum de compromittendo, yaitu Perjanjian arbitrase dibuat setelah terjadi sengketa. Macam-Macam Lembaga Arbitrase : 1.
Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) Yang didirikan oleh Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) pada tanggal 3 Desember 1977. 2.
ICC ICC berkedudukan di Paris yang didirikan atas prakarsa Asosiasi Dagang Internasional. ICC meletakkan dasar penyelesaian sengketa perdagangan bukan hanya dalam konteks ICC (Court of Arbitration), akan tetapi juga dalam konteks konsiliasi yang memiliki rules of conciliation tersendiri. Meskipun ICC bermarkas di Paris, sidang ICC dapat berlangsung dimana saja dalam menerapkan hukum bagi para pihak telah sepakat untuk menggunakan ICC. Badan arbitrase memiliki hukum acara arbitrase tersendiri (rules of arbitration). Badan arbitrase ICC merupakan salah satu lembaga arbitrase yang terkenal dimana setiap tahunnya terdapat hampir 400
kasus/sengketa perdagangan yang diserahkan ke ICC. Oleh karena itu sebagai sebuah badan administratif yang bersifat formal, ICC tidak melaksanakan arbitrase secara tersendiri, akan tetapi mendaftarkan penyelenggaraan arbitrase ke seluruh dunia. Kasus yang diserahkan melalui ICC akan diadili oleh arbiter dengan mendasarkan pada persoalan (kasus) yang menjadi kewenangan ICC. Dalam hal para pihak yang bersengketa tidak sepakat terhadap beberapa isu (masalah) yang berkembangan dalam penanganan kasus tersebut seperti penetapan tempat, dan lain sebagainya maka ICC memiliki kewenangan untuk menetapkannya. Konteks keputusan (award) yang dihasilkan, award tersebut harus mendapat persetujuan dari
ICC (international court of arbitration) yang memiliki kewenangan untuk membuat modifikasi. Menyangkut pembiayaan akan ditentukan oleh kedua belah pihak secara bersama-sama dan merata, dimana sekretariat badan arbitrase akan mensyaratkan pembayaran administrasi dan biaya arbiter. Perhitungan biaya (cost) didasarkan pada jumlah biaya yang telah ditentukan oleh ICC dan jumlah biaya yang disengketakan. Sekretariat mensyaratkan pula biaya deposit sebelum badan arbitrase memulai pekerjaannya. Oleh karena itu, dari segi pembiayaan, cost yang dikeluarkan sangatlah besar. 3.
UNCITRAL (United Nations Commission on International Trade Law) Saat ini terdapat banyak alternative penyelesaian sengketa yang dapat digunakan oleh para pihak yang bersengketa secara internasional khususnya di bidang perdagangan internasional. Salah satunya adalah The United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) yang merupakan badan kelengkapan khusus dari Majelis Umum PBB. Badan ini dibentuk pada tahun 1966. Pembentukannya didasarkan pada Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 2205 (XXI) tanggal 17 Desember 1966. UNCITRAL memainkan peranan yang sangat penting terhadap perkembangan alternatif penyelesaian sengketa, dengan partisipasi para alhi internasional dengan latar belakang hukum, ekonomi dan sosial sehingga dapat menciptakan aturan yang dapat digunakan dalam kontrak perdata bila terjadi sengketa, yaitu : a.
UNCITRAL Arbitration Rules 1976 revised in 2010 b.
UNCITRAL Conciliation Rules 1980; Pada dasarnya sifat dari arbitrase dan konsiliasi dalam UNCITRAL ini adalah rahasia dan privat. Memang tidak diperlukan suatu badan yang membimbing arbitrator maupun konsiliator berikutnya karena penyelesaiannya dilakukan per kasus.
http://business-law.binus.ac.id/2017/04/27/penyelesaian-sengketa-dalam-perdaganganinternasional/
B. SAFASF ndonesia pernah melalui beragam kasus sengketa bisnis dengan pihak asing. Berikut tiga contoh kasus arbitrase internasional yang melibatkan Indonesia.
Kehadiran investor asing untuk menanamkan modal di dalam negeri memang berdampak positif pada perekonomian Indonesia. Namun, dalam perjalanan, ada kalanya muncul sengketa kedua pihak yang bekerja sama. Arbitrase internasional menjadi bentuk penyelesaian sengketa secara final dan mengikat, serta terlepas dari formalitas aturan hukum negara masing-masing.
Tentu saja dalam perjanjian kerja sama perlu ada klausul arbitrase. Kedua belah pihak dapat menyertakan kesepakatan tentang hukum pengaturan kontrak dan detil terkait proses arbitrase, seperti tempat, bahasa, dan jumlah arbiter.
Banyak contoh arbitrase internasional yang melibatkan Indonesia diselesaikan melalui beberapa lembaga arbitrase internasional. Biasanya, ini bergantung pada asal investor, jenis perjanjian kerja sama, dan tentu saja kesepakatan bersama.
Contoh Arbitrase Internasional Arbitrase internasional selalu bersifat netral, sehingga sering menjadi pilihan para pihak yang bersengketa untuk menuntaskan perkara secara adil. Sebagai gambaran, berikut tiga contoh kasus arbitrase internasional dengan keterlibatan Indonesia sebagai salah satu pihak bersengketa.
Pemerintah Indonesia dan Hesham Al Warraq Pada 15 Desember 2014, ICSID memenangkan Indonesia terhadap gugatan salah satu pemegang saham Bank Century, Hesham Al Warraq. Ini merupakan kemenangan kedua Indonesia dalam kasus terkait, yang sebelumnya berhadapan dengan mantan pemilik saham bank yang sama, Rafat Ali Rizvi. Pada tahun 2011, Hesham, yang pernah menjabat Wakil Komisaris Utama Bank Century, menuntut pemerintah karena tindakan ekspropriasi atas saham di bank tersebut.
Ia meminta ganti rugi senilai US$19,8 juta. Alih-alih memperoleh ganti rugi, ICSID justru menolak gugatan Hesham terkait tindakan ekspropriasi. Dengan demikian, kemenangan Indonesia pada dua kasus Bank Century tersebut membuat pemerintah terhindar dari kewajiban membayar biaya sekitar Rp1,3 triliun atau US$100 juta.
Churchill Mining Plc, Planet Mining, dan Pemerintah Indonesia Tepat pada 6 Desember 2016, Pemerintah Indonesia berhasil menang atas gugatan dua perusahaan tambang batubara asing. Keputusan lembaga arbitrase internasional, International Center for Settlement of Investment Dispute (ICSID) yang berbasis di Washington DC, menolak gugatan kedua perusahaan tersebut.
Gugatan bermula dari pencabutan izin usaha kedua perusahaan oleh Pemerintah Kutai Timur pada tahun 2010. Churchill Mining Plc dari Inggris pernah mengantungi izin tambang seluas 350 km2 di Busang, Telen, Muara Wahau, dan Muara Ancalong dengan mengakuisisi 75% saham PT Ridlatama Group. Sementara, Planet Mining asal Australia merupakan anak perusahaan Churchill.
Sebelumnya, Churchill telah mengajukan gugatan hukum pada PTUN Samarinda. Namun, hasilnya sama, pencabutan izin usaha oleh bupati tersebut sudah sesuai prosedur. Proses banding berlanjut hingga ke MA dan hasilnya tetap sama, hingga Churchill membawa kasus ini ke arbitrase internasional. Atas putusan ICSID tersebut, Indonesia berhak memperoleh gugatan senilai US$1,31 miliar atau sekitar Rp17 triliun.
Kementerian Pertahanan (Kemenhan) RI dan Avanti Communications Ltd. Pada 6 Juni 2018, pengadilan arbitrase di bawah lembaga London Court of International Arbitration (LCIA) memutuskan Avanti berhasil memenangkan
perkara melawan Kemenhan RI. Proses arbitrasi ini terkait dengan pembayaran sewa satelit ARTEMIS Avanti oleh Indonesia.
Kasus ini bermula saat Avanti memosisikan Satelit Artemis di Slot Orbit 123° BT sejak 12 November 2016 untuk mengantisipasi kehilangan hak spektrum L-band. Indonesia lebih dulu mengisi slot tersebut lewat Satelit Garuda-1 selama 15 tahun sampai berhenti mengorbit pada 2015. Menurut informasi, Indonesia sudah berkomitmen membayar US$30 juta ke pihak Avanti sebagai biaya sewa dan relokasi satelit. Namun, Indonesia berhenti melakukan pembayaran setelah Avanti menerima US$13,2 juta.
Akhirnya, Agustus 2017 Avanti menggugat Indonesia melalui jalur arbitrase dan resmi mematikan ARTEMIS pada November 2017. Atas gugatan tersebut, Indonesia melalui Kemenhan RI wajib membayar kerugian yang dialami Avanti sebesar US$20,075 juta selambatnya 31 Juli 2018.
Demikianlah tiga kasus sengketa sebagai contoh arbitrase internasional yang melibatkan Indonesia. Dalam berbisnis dan berinvestasi, terutama dengan pihak asing, perselisihan pasti ada. Langkah terbaik adalah membuat perjanjian kerja sama dengan klausul arbitrase yang terlindungi secara hukum. https://blog.bplawyers.co.id/contoh-kasus-arbitrase-internasional/