Nama : Devita Saverena Kartika D NIM
:170710101229
Kelas :Hukum Acara Perdata G
UPAYA HUKUM TERHADAP PUTUSAN Suatu putusan hakim tidak luput dalam kekeliruan atau kekhilafan, bahkan tidak mustahil memihak. Oleh karena itu, demi kebenaran dan keadila, setiap putusan hakim perlu dimungkikan untuk diperiksa ulang, agar kekeliruan atau kekhilafan yang terjadi pada putusan dapat diperbaiki. Bagi setiap putusan hakim pada umumnya tersedia upaya hukum, yaitu upaya atau alat untuk mencegah atau memperbaiki kekeliruan dalam suatu putusan. Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihakpihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalaha/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.1
Upaya hukum perlu dibedakan dari dasar hukum. Kalau mengenai dasar hukum itu hakim secara ex officio wajib menambahkannya (Pasal 178 ayat 1 HIR, 189 RBg) maka dalam hal upaya hukum pihak yang bersangkutlah yang tegas nengajukannya.2 Sifat dan berlakunya upaya hukum itu berbeda, tergantung apakah merupakan upaya hukum biasa atau upaya hukum istimewa. Upaya hukum biasa pada azasnya terbuka untuk setiap putusan selama tenggang waktu yang ditentukan oleh undang-undang dan bersifat sementara. Upaya hukum biasa ialah: perlawanan (verzet), banding dan kasasi. Untuk putusan yang memperoleh kekuatan hukum yang pasti tersedia upaya hukum istimewa. Upaya hukum istimewa ini hanya diperbolehkan dalam hal – hal tertentu yang disebut dalam undang-undang saja. Yang termasuk upaya hukum istimewa ialah: request civil (peninjauan kembali) dan derdenverzet (perlawanan dari pihak ketiga)3
1
DJKN Upaya Hukum dalam Hukum Acara Perdata diakses dari https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2296/Upaya-Hukum-dalam-Hukum-Acara-Perdata.html pada 3 Desember 2018 2 Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Lima(Yogyakarta:Liberty Yogyakarta), 195 3 Ibid., hal.196
UPAYA HUKUM BIASA 1. Perlawanan (verzet) Perlawanan merupakan upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat (ps. 125 ayat 3 jo.129 HIR, 149 ayat 3 jo. 153 RBg). Pada asas perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang (pada umumnya) dikalahkan. Bagi penggugt yang putusan verstek dikalahkan tersedia upaya hukum banding (ps. 8 ayat 1 UU 20/1947, 200 RBg)4 Perlawanan (verzet) adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan pengadilan terhadap putusan tanpa hadirnya pihak tergugat (Putusan Verstek), hal ini sejalan dengan ketentuan undang-undang, Pasal 125 ayat (3) jo pasal 129 HIR, pasal 149 ayat (3) jo 153 Rbg, pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang dikalahkan. Apabila setelah dilakukan verzet ternyata Pemohon/Tergugat sekali lagi dikalahkan dengan verstek, karena tidak hadir mengikuti sidang maka ia tidak dapat lagi melakukan verzet, melainkan harus mengajukan banding atas putusan itu. Dalam perkara verzet maka gugatan awal diperiksa kembali seperti perkara semula, artinya disini akan ada jawaban, replik, duplik dan konglusi, tetapi dalam banding hal itu tidak ada melainkan hanya memori banding.5 Verzet / Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu sbb : 1. Perlawanan dapat diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan putusan verstek diterima Tergugat secara pribadi. 2. Jika Putusan verstek itu tidak diberitahukan kepada tergugat Pribadi, maka perlawanan masih dapat diajukan sampai hari ke 8 (delapan) setelah tegoran untuk melaksanakan putusan verstek itu. 3. Atau apabila tergugat tidak datang menghadap ketika ditegur, perlawanan tergugat dapat diajukan sampai hari ke – 8 (pasal 129 ayat (2) HIR, sampai hari ke – 14 (Pasal 153 ayat (2) Rbg sesudah putusan verstek dijalankan. Perlawanan terhadap putusan verstekdiajukan seperti mengajukan surat gugatan biasa. ( Pasal 129 ayat (3) HIR dan pasal 153 ayat (3) Rbg. Ketika perlawanan telah diajukan maka tertundalah putusan verstek dijalankan.
4
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Lima(Yogyakarta:Liberty Yogyakarta), hal.196 5 Rasyid, M. Laila.Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.(Aceh:Unimal Press,2015), hal.123
2. Banding Apabila sala satu pihak dalam suatu perkara perdata tidak bias menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang terserang oleh adanya putusan tu atau mengganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil, maka ia dapat mengajukan permohonan banding. Asas peradilan dalam dua tingkat itu bersandarkan pada keyakinan bahwa putusan pengadilan dalam tingkat pertama itu belum tentu tepat atau benar dan oleh karena itu perlu dimungkinkan pemeriksaan ulang oleh pengadilan yang lebih tinggi6 dengan harapan akan dijatuhkan putusan yang bereda dengan putusan semula atau setidak – tidaknya putusan pengadilan menjadi mentah kembali dan pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat ditunda untuk sementara sampai putusan mendapat kekuatan pasti (inkracht van gewijde)7 Yang dapat mengajukan permohonan banding adalah yang bersangkutan (pasal 6 UU No. 20 tahun 1947, pasal 199 Rbg, pasal 19 UU No. 14 tahun 1970, banding ini hanya diperuntukkan bagi pihak yang dikalahkan.Yurisprudensi menentukan bahwa putusan banding hanya dapat menguntungkan pihak yang mengajukan banding, artinya pihak yang tidak mengajukan banding dianggap telah menerima putusan Pengadilan Negeri.8 Banding harus diajukan dalam tenggang waktu 14 (empat belas) hari sejak putusan didengar, apabila para pihak hadir pada saat diucapkan putusan oleh majelis Hakim, atau 14 (empat belas) hari sejak pemberitahuan putusan apabila para pihak tidak hadir saat putusan dibacakan. Permohonan banding harus diajukan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan, dalam waktu 14 hari terhitung mulai hari berikutnya pengumuman putusan kepada yang bersangkutan, setelah permohonan banding diterima oleh panitera, maka pihak lawan diberitahukan oleh panitera tentang permintaan banding itu selambat-lambatnya 14 hari setelah permintaan banding itu diterima dan kedua belah pihak diberi kesempatan untuk memeriksa berkasnya di Pengadilan Negeri selama 14 hari (Pasal 11 ayat (1) UU No. 20 tahun 1947, pasal 202 RBg, kedua belah pihak boleh memasukkan bukti-bukti baru sebagai bagian dari alasan permohonan banding kepada panitera Pengadilan Negeri atau Pengadilan 6
Mertokusumo, Op.Cit,.196 Sugeng, Bambang. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi.(Jakarta:Prenadamedia Grup, 2012), hal. 92 8 Rasyid, M. Laila.Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.(Aceh:Unimal Press,2015), hal.124 7
Tinggi yang bersangkutan, sedang terbanding dapat menjawab memori itu dengan kontra memori banding. Kemudian salinan putusan serta surat-surat pemeriksaan harus dikirim kepada panitera pengadilan tinggi yang bersangkutan selambatlambatnya satu bulan setelah menerima permohonan banding9 Pembuatan atau pengiriman memori banding tidak merupakan kewajiban. Undang-undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan risalah banding. Hal ini berbeda degan kasasi10 . Walaupun tidak dibuat memori Banding oleh pembanding hal tersebut tetap dibenarkan, dan jugatidak ada batas waktu kapan memori banding harus diserahkan kepada Pengadilan, selama putusan belum diambil oleh pengadilan Tinggi memori banding masih bisa diserahkan.11
3. Kasasi Kasasi adalah tindakan Mahkamah Agung untuk menegakan dn membetulkan hukum, jika hukum ditentang oleh putusan-putusan hakim pada tingkat tertinggi12. Dasar hukum bagi Pengadilan kasasi yang dilakukan oleh Pengadilan kasasi yang dilakukan Mahkamah Agung diatur dalam pasal 10 (3) Undang – Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman No.14 tahun 1970 yang berbunyi “ Terhadap putusan – putusan yang diberikan tingkat terakhir oleh Pengadilan – pengadilan lain daripada Mahkamah Agung, kasasi dapat dimint kepada Mahkamah Agung”. Untuk mengajukan Kasasi bagi seorang kuasa diperlukan surat kuasa khusus, permohonan kasasi harus diajukan kepada Panitera Pengadilan tempat pertama sekali putusan itu dijatuhkan, permohonan kasasi dapat diajukan baik secara lisan maupun tertulis, namun dalam praktek sekarang ini permohonan kasasi selalu diajukan secara tertulis.13 Memori Kasasi adalah merupakan kewajiban bagi Pemohon Kasasi untuk diserahkan, artinya apabila memori kasasi tersebut tidak dibuat maka permohonan kasasi akan ditolak, terhadap Memori Kasasi Termohon Kasasi dapat menyampaikan Kontra Memori Kasasi dalam tenggang waktu 14 hari sejak memori kasasi disampaikan kepadanya. Kontra Memori kasasi yang disampaikan melebihi tenggang waktu 9
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Lima(Yogyakarta:Liberty Yogyakarta), hal. 198 10 Ibid. 11 Rasyid, M. Laila.Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.(Aceh:Unimal Press,2015) hal. 125 12 Supomo. Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri (Jakarta:Fasco Jakarta,1958) hal. 168-169 13 Rasyid, Op.Cit.125-126
tersebut tidak dapat di pertimbangkan lagi. Untuk melakukan kasasi harus ada alasanalasan yang digunakan sebagai dasar dalam melakukan kasasi, alasan-alasan tersebut adalah : 1. Tidak berwenang atau melampaui batas wewenang. 2. Salah menerapkan atau melanggar hukum yang berlaku. 3. Lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu dengan batalnya putusan yang bersangkutan.
UPAYA HUKUM LUAR BIASA / ISTIMEWA Suatu Putusan yang sudah mempunyai kekuatan Hukum yang tetap (Ingkrach) maka tidak bisa lagi ditempuh upaya hukum biasa, maka dengan diperolehnya kekuatan hukum yang pasti sebuah putusan tidak dapat lagi di robah. Suatu putusan akan memperoleh kekuatan hukum yang pasti apabila tidak tersedia lagi upaya hukum biasa. Untuk putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum yang pasti ini, tersedia upaya hukum istimewa. 1. Peninjauan Kembali Putusan yang dijatuhkan dalam tingkat terakhir dan putusan yang dijatuhkan di luar hadir tergugat (verstek) dan tidak lagi terbuka akemungkinan untuk mengajukan perlawanan dapat ditinjau kembali atas permohonan orang uang pernah menjadi salah satu pihak di dalam perkara yang telah diputus dan dimintakan peninjauan kembali14. Peninjauan kembali
adalah suatu upaya untuk memeriksa dan mementahkan kembali suatu putusan Pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, guna membatalkannya. permohonan Peninjauan Kembali tidak menghalangi jalannya eksekusi atas putusan yang telah berkekuatan hukum tetap.15 Peninjauan kembali ini disebut request civiel16. Istilah peninjauan kembali juga dijumpai dalam UU No.14 Tahun 1970 (pasal 21) Peninjauan kembali diatur dalam UU No14 Tahun 1985 psal 66 sampai dengan pasal 77.
14
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi Lima(Yogyakarta:Liberty Yogyakarta), hal. 206 15 Rasyid, M. Laila.Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.(Aceh:Unimal Press,2015) hal. 128 16 Rv. pasal 385-401
Permohonan peninjauan kembali dapat diajukan baik secara tertulisa maupun lisan (ps.71) oleh para pihak sendiri (pasal 68 ayat 1) kepada MA melalui Ketua pengadilan negri yang memutus perkara dalam tingkat pertama (pas.70) Tenggang waktu untuk mengajukan permohonan kembali adalah 180 (seratus delapan puluh) hari untuk : a. yang disebut pada angka 1 sejak diketahui kebohongan atau tipu muslihat, atau sejak putusan hakim pidana memperoleh kekuatan hukum yang tetap, dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. b. Yang disebut pada angka 2 sejak ditemukan surat-surat bukti, yang hari serta tanggal ditemukannya harus dinyatakan dibawah sumpah dan disahkan oleh pejabat yang berwenang. c. Yang disebut pada angka 3, 4 dan 5 sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada para pihak yang berperkara. d. Yang tersebut pada angka 6 sejak putusan yang terakhir dan bertentangan itu memperoleh kekuatan hukum tetap dan telah diberitahukan kepada pihak yang berperkara. Permohonan Peninjauan Kembali diajukan oleh pemohon secara tertulis dengan menyebutkan secara jelas alasan-alasan yang dijadikan dasar Permohonan itu dan dimasukkan ke paniteraan Pengadilan Tenggang waktu bagi pihak lawan untuk mengajukan jawabannya adalah 30 hari setelah tanggal diterimanya salinan permohonan Peninjauan Kembali tersebut. Dalam hal mahkamah agung mengabulkan Permohonan kembali tersebut, maka Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimohonkan Peninjauan Kembali tersebut dan selanjutnya memeriksa dan memutus sendiri perkaranya Apabila permohanan Peninjauan kembali itu tidak beralasan maka Mahkamah Agung akan menolak permohonan tersebut.17 2. Perlawanan Pihak Ketiga (derdenverzet) Perlawanan Pihak Ketiga atau derdenverzet adalah suatu Perlawanan yang dilakukan oleh Pihak Ketiga yang tadinya tidak ada sangkut paut nya dengan perkara akan tetapi putusan itu telah merugikan pihak ketiga tersebut, berdasarkan pasal 207 17
Rasyid, M. Laila.Modul Pengantar Hukum Acara Perdata.(Aceh:Unimal Press,2015) hal. 130
HIR, maka pihak ketiga yang melakukan perlawanan atau bantahan harus mengajukan perlawanan tersebut secara tertulis atau secara lisan.18 Pada asasnya suatu putusan itu hanyalah mengikat para pihak yang berperkara dan tidak mengikat pihak ketiga (pasal 1917 B.W). Akan tetapi, apabila pihak ketiga hak-haknya dirugikan oleh suatu putusan, maka ia dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan ini (pasal 378 Rv)19 Dalam Praktek terdapat 2 (dua) macam perlawanan pihak ketiga yaitu : 1. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita Eksekusi, yaitu : perlawanan pihak ketiga terhadap suatu penyitaan terhadap suatu benda atau barang karena putusan sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. 2. Perlawanan Pihak Ketiga terhadap sita Jaminan yaitu : Perlawanan yang dilakukan oleh pihak ketiga terhadap putusan Pengadilan yang belum mempunyai keputusan Hukum yang tetap. Perlawanan diajukan kepada Hakim yang menjatuhkan putusan yang dilawan itu dengan menggugat para pihak yang bersangkutan dengan cara biasa. Pihak ketiga yang hendakmengajukan perlawanan terhadap suatu putusan tidak cukup hanya mempunyai kepentingan saja akan tetapi harus nyata-nyata telah dirugikan hak-hak nya. Apabila Perlawanan itu dikabulkan maka putusan yang dilawan itu akan diperbaiki sepanjang merugikan pihak ketiga.
18
Ibid Sugeng, Bambang. Pengantar Hukum Acara Perdata dan Contoh Dokumen Litigasi.(Jakarta:Prenadamedia Grup, 2012), hal. 99 19