Republika_16mrt09_l_25_politik Terkikisnya Wakil Perempuan Di Parlemen

  • Uploaded by: lp3y.org
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Republika_16mrt09_l_25_politik Terkikisnya Wakil Perempuan Di Parlemen as PDF for free.

More details

  • Words: 1,281
  • Pages: 3
Republika Online - Terkikisnya Wakil Perempuan di Parlemen

Page 1 of 3

Senin, 16 Maret 2009 pukul 21:27:00

Terkikisnya Wakil Perempuan di Parlemen Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) membatalkan Pasal 214 UU Pemilu Legislatif yang meng ubah sistem pemilu dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak ternyata menuai banyak masalah. Salah satunya adalah upaya peningkatan jumlah perempuan di lembaga legislatif melalui afirmasi politik. Padahal, regulasi mengenai keterwakilan 30 persen perempuan di parlemen memang memiliki tujuan baik berupa afirmasi politik positif. Kebijakan itu ditetapkan karena selama ini meski jumlah perempuan seimbang dengan pria, tingkat keterwakilan mereka di lembaga legislatif masih sangat minim. Pengamat politik, Yudi Latif, menilai bahwa lahirnya keputus an MK itu memang berdampak negatif terhadap upaya afirmasi politik perempuan di parlemen. Hal itu karena perempuan harus bersaing langsung dengan pria yang telah lebih dulu dan lebih banyak berkiprah di parlemen. Namun, kebijakan MK itu harus diterima sebagai sistem pemilu baru. Terlebih, perjuangan afirmasi aspirasi perempuan bertujuan perbaikan politik dan harus disalurkan dengan cara yang baik pula. Jadi, gerakan perempuan harus mencari cara memperjuangkan afirmasi dengan konteks sistem pemilu baru. Tidak boleh juga mencari peluang dengan melakukan pelanggaran, katanya. Menurut Yudi, dengan sistem pemilu baru, afirmasi politik perempuan tetap bisa diperjuangkan. Salah satunya adalah menerbitkan kebijakan pemberian suara masyarakat yang tidak memilih nama, tapi hanya tanda gambar partai. Kesepakatan ini penting karena didorong KPU dan berbagai partai sebagai bentuk konkret komitmen mendukung pening katan keterlibatan perempuan di parlemen. Dalam mengalokasikan suara gambar partai ini, Yudi menyebutkan bisa dilakukan secara radikal atau moderat. Cara radikal adalah memprioritaskan seluruh suara gambar partai bagi caleg perempuan hingga mencapai kuota 30 persen. Bila masih tersisa, suara gambar partai baru bisa diberikan kepada caleg pria. Sedangkan, cara moderat adalah minimal 30 persen dari suara gambar partai dialokasikan bagi caleg perempuan. Jadi, afirmasi politik perempuan bisa diakomodasi melalui cara ini. Saya kira cukup fair dan tidak melanggar apa-apa, ujarnya. Pengajar Fisip Universitas Indonesia (UI), Ani Soetjipto, menilai, keputusan MK membatalkan Pasal 214 UU Pemilu legislatif tidak bijak. Hal itu karena keputusan yang memutuskan pemilu dilakukan dengan mekanisme suara terbanyak berdampak negatif pada berbagai regulasi lain. MK hanya melihat satu dua pasal tanpa melihat keseluruhan isi UU. Saya kira, jantung UU Pemilu luput menjadi pertimbangan katanya. Salah satu regulasi yang terkena dampak negatif penetap an suara terbanyak adalah keterwakilan perempuan di parlemen sebesar 30 persen. Dengan menggunakan UU lama dan sistem nomor urut saja, jumlah caleg perempuan yang terpilih pada Pemilu 2004 hanya sekitar 11 persen. Padahal, sistem nomor urut memungkinkan adanya afirmasi politik pasti untuk meningkatkan jumlah perempuan di parlemen. Di banyak negara, afirmasi politik positif bagi perempuan wajar dilakukan. Hal itu untuk membantu peningkatan keterlibatan perempuan di parlemen. Terlebih, keterlibatan perempuan itu berkorelasi

http://www.republika.co.id/koran/138/37537/Terkikisnya_Wakil_Perempuan_di_Parlemen

3/31/2009

Republika Online - Terkikisnya Wakil Perempuan di Parlemen

Page 2 of 3

positif terhadap perkembangan politik. Hal itu terutama terkait dengan keseimbangan keterwakilan pria dan perempuan. Selain itu, keterlibatan perempuan dalam parlemen penting agar kebijakan lembaga legislatif tidak selalu agresif, tapi damai. Di Amerika Latin, terdapat cukup banyak ilustrasi positif, seperti penurunan angka korupsi, peningkatan transparansi, dan kualitas pelayanan publik. Ini berkorelasi positif dengan meningkatnya keterwakilan perempuan di parlemen,ujarnya. Menurut Ani, tidak bijaknya keputusan MK juga terletak pada waktu penetapan dan pelaksanaan. Saat MK memutuskan suara terbanyak, keputusan itu terjadi hanya beberapa saat menjelang pemilu legislatif. Selain itu, keputusan itu diambil setelah daftar caleg telah ditetapkan oleh KPU. Dengan demikian, partai tidak memiliki peluang untuk menyiasati sistem pemilu baru agar keterwakilan perempuan di parlemen bisa mengalami peningkatan berarti. Ani menyebutkan, MK seharusnya tidak langsung memberlakukan keputusan suara terbanyak, tapi ditunda hingga pemilu legislatif periode mendatang. Hal itu untuk memberikan peluang bagi berbagai partai untuk menyesuaikan diri sehingga pelaksanaan keputusan MK berjalan secara optimal. Selain itu, penundaan keputusan MK juga bertujuan sambil menunggu kebijakan pendukung lain. MK seharusnya tidak langsung menerapkan kebijakan itu pada pemilu kali ini, tapi pemilu mendatang. Hal ini agar memberikan peluang bagi partai untuk menyesuaikan diri. Ini namanya prakondisi, katanya. Isu keterwakilan perempuan di parlemen juga menarik perhatian Lembaga Survei Indonesia (LSI). Hal itu karena berbagai pihak berasumsi bahwa jumlah caleg perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif pada pemilu kali ini akan lebih rendah dibandingkan pemilu sebelumnya. Meski cukup banyak pihak yang pesimis meningkatnya keterwakilan perempuan di DPR, tidak banyak penelitian yang membuktikannya. Metodologi yang digunakan dalam survei adalah wawancara tatap muka. Karena itu, LSI pada 12-22 Januari lalu mengadakan survei mengenai preferensi masyarakat dalam memilih caleg pria dan perempuan. Survei melibatkan 2.189 sampel dengan jenis kelamin acak yang tersebar di 33 provinsi dengan tingkat kesalahan (margin of error) sekitar 2,1 persen. Menurut peneliti LSI, Burhanuddin Muhtadi, terdapat sejumlah fakta menarik yang berhasil diungkap melalui survei. Salah satunya ditunjukkan ketika LSI mengajukan pertanyaan kepada responden mengenai dukungan atas pe ningkatan keterwakilan perempuan di DPR. Dari jawaban responden, sekitar 74 persen menyatakan mendukung dan bahkan mereka mendukung sistem selang-seling di mana setiap tiga caleg, ada satu perempuan, katanya. Namun, menurut Burhanuddin, saat responden ditanya akan mendukung caleg pria atau perempuan, jawaban kontradiktif mencuat. Hanya 12 persen responden yang menyatakan akan memilih caleg perempuan pada Pemilu 2009. Sedangkan, sebanyak 44 persen menyatakan bakal memilih caleg pria. Sementara itu, sebanyak 39 dan enam persen menyatakan sama saja dan tidak menjawab. fFakta ini menunjukkan jawaban inkonsistensi bahwa mereka cenderung memilih caleg pria meski mereka menjawab mendukung keterwakilan perempuan pada pertanyaan awal, katanya. Burhanuddin berpendapat, keputusan MK menghapus Pasal 214 dalam UU No 14 Tahun 2008 secara tidak langsung menghapuskan aksi afirmasi terhadap caleg perempuan. Padahal, afirmasi sengaja didesain untuk membantu meningkatkan jumlah caleg perempuan terpilih di parlemen. Hal itu karena berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS) yang menunjukkan jumlah pria dan perempuan cenderung seimbang dengan komposisi 48:52.

http://www.republika.co.id/koran/138/37537/Terkikisnya_Wakil_Perempuan_di_Parlemen

3/31/2009

Republika Online - Terkikisnya Wakil Perempuan di Parlemen

Page 3 of 3

Namun, Ani Soetjipto membantah kecenderungan masyarakat memilih caleg pria ketimbang perempuan. Pada Pemilu 2004, cukup banyak masyarakat yang memilih wakil mereka dari perempuan untuk duduk di parlemen. Bahkan, saat itu tercatat sebagai momen pemilihan caleg perempuan tertinggi. Hal itu ditunjukkan banyaknya caleg perempuan terpilih sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Pemilihan itu tergantung sikap pemilih dan mereka umumnya melihat kualitas caleg, tidak membedakan jenis kelamin, ujarnya. Untuk mendorong perlunya afirmasi politik bagi perempuan, Ani berpendapat, dukungan berbagai pihak sangat diperlukan. Selain itu, kampanye di berbagai media dan pendidikan bagi pemilih juga perlu dilaksanakan. Sementara itu, Wakil Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU), Ramlan Surbakti, juga berpendapat perubahan sistem pemilu dari sistem nomor urut menjadi suara terbanyak secara tidak langsung menggagalkan tujuan ketentuan lain yang menginginkan pening kat an jumlah perempuan di parlemen. Saat ini, bila ingin ter pilih, caleg perempuan harus berjuang sendiri, bersaing langsung dan ketat dengan caleg pria. Persaingan pemilu saat ini menjadi lebih ketat diban dingkan pemilu lalu, ujarnya. m bahrul ilmi/one Data International Parliament Union (2008) tentang ‘’Perempuan dalam Parlemen Nasional’’ 1. Rwanda (kursi 80, perempuan (pr) 45 atau 56.3 persen) 2. Swedia (kursi 349, pr 164 atau 47 persen) 3. Kuba (kursi 614, pr 265 atau 43 persen) 4. Finlandia (kursi 200, pr 83 atau 41.5 persen) 5. Belanda (kursi 150, pr 62 atau 41.3 persen) 6. Argentina (kursi 255, pr 102 atau 40 persen) 7. Denmark (kursi 179, pr 68 atau 38 persen) 8. Angola (kursi 220, pr 82 atau 37.3 persen) 9. Kosta Rika (kursi 57, pr 21 atau 36.8 persen) 10. Spanyol (kursi 350, pr 127 atau 36 persen). dst.... 25. Timtim (kursi 65, pr 19 atau 29,2 persen) 33. Vietnam (kursi 493, pr 127 atau 25,8 persen) 38. Singapura (kursi 94, pr 23 atau 24,5 persen) 55. Filipina (kursi 239, pr 49 atau 20,5 persen) 96. Thailand (kursi 480, pr 56 atau 11,7 persen) 97. Indonesia (kursi 550, pr 64 atau 11.6 persen) 101. Malaysia (kursi (222, pr 24 atau 10,8 persen)

http://www.republika.co.id/koran/138/37537/Terkikisnya_Wakil_Perempuan_di_Parlemen

3/31/2009

Related Documents