Republika Online - Berani Memilih Bercerai
Page 1 of 2
Minggu, 22 Maret 2009 pukul 23:29:00
Berani Memilih Bercerai Tak memiliki penghasilan, membuat perempuan takut bercerai kendati mendapat kekerasan dari suami. Tery Vanya (30 tahun) menerima keputusan suaminya, Aryanto (34), yang mengembalikan dirinya ke orangtuanya di Surabaya. Sejak awal pernikahan Ary sangat posesif dan pecemburu. Tiada hari tanpa kata-kata kotor, pelecehan, dan kekerasan yang membuat Tery sakit hati. Ary selalu menuduh istrinya berselingkuh. ''Padahal tidak pernah sekali pun perbuatan itu aku lakukan,'' ujar aku Tery. Mendapat tudugan itu, ia hanya bisa menangis. Sebelum dikembalikan ke orangtua, Ary seringkali mengancam akan mengusir dari rumah. Padahal, rumah itu dibeli patungan. Sampai akhirnya kata 'pergi kamu dari rumah' benar-benar terucap dari mulut Ary. Selama ini Tery dikenal pendiam, tidak mau ribut, dan selalu mengalah. Ary menganggap ancaman itu membuat Tery takut dan tak berdaya. Tapi, tidak bagi Tery. ''Mungkin saya sudah lelah. Saat itu saya melawan. Baik, pulangkan saya ke orangtua. Saat itu suami saya kaget, tapi telanjur gengsi. Buktinya saat di rumah orangtua, dia minta maaf ingin kembali lagi,'' ujar dia. Orang tua Tery tersinggung dengan pengembalian anaknya. Mereka meminta Tery segera cerai. ''Sempat bimbang juga,'' ujar Tery. Dia berharap pernikahan ini bisa diselamatkan. Jika bercerai, ia khawatir tentang kehidupannya nanti. ''Tidak mungkin meminta uang sama orangtua. Lagipula saya tidak siap mendapat gelar janda,'' ujar Tery yang memilih mengundurkan diri dari pekerjaannya itu. Tapi, ingat kekerasan yang dilakukan suaminya, ia memutuskan bercerai. ''Saya parno kalau mendengar ada orang teriak-teriak,'' ujar dia. Tery kemudian mengajukan permohonan cerai setelah tiga bulan berada di Surabaya. Selama persidangan Ary tidak pernah mau hadir. Demikian juga ketika pembagian harta gono-gini, dia selalu menghalangi. Sedikit pun tidak ada pembagian yang diterima Tery. Suatu ketika, Tery menemui Ary di rumahnya. Ie memergoki Tery sedang bermesraan dengan perempuan lain. ''Ternyata selama ini kamu yang selingkuh. Tidak salah saya mengajukan cerai,'' kata Tery. Kini Tery menata hidup baru mulai dari nol lagi. Tery kini melanjutkan kuliah di S2. ''Kami belum ada anak, sehingga tidak terlalu berat memutuskan perceraian. Tapi, kalau ada anak harus berpikir seribu kali menempuh perceraian. Saya rela berkorban demi anak-anak walaupun saya menderita atas perlakuan suami,'' ujar dia. Memilih rela berkorban demi anak dilakukan Kusumawati (31) yang memilih mempertahankan perkawinannya. Sejak kelahiran anak keduanya empat tahun lalu, suami mencampakkannya. Ia mengaku
http://www.republika.co.id/koran/14/39118/Berani_Memilih_Bercerai
3/31/2009
Republika Online - Berani Memilih Bercerai
Page 2 of 2
tidak tahu apa alasannya. Selama itu pula, ia tak pernah dimanjakan oleh suaminya. ''Sudah empat tahun saya tidak pernah disentuh suami. Menyakitkan.'' kata dia. Kalau di rumah, suaminya hanya mau bermain dengan anak-anak. Dia memperlihatkan sifat tak senang dengan istrinya. Wati pernah berkonsultasi dengan psikolog perkawinan. Dari suaminya, psikolog itu tahu bahwa suami Wati senang perempuan yang menjaga penampilan. Sedangkan Wati jauh dari khayalan suaminya. Psikolog menyarankan agar Wati mengajukan perceraian, daripada tersiksa batin. Tapi, ibu dua anak ini tetap tidak mau bercerai. ''Saya akan bertahan walaupun tidak pernah mendapat lagi nafkah batin. Kasihan anak-anak. Mereka masih kecil-kecil,'' ujar dia. Hanya itukah alasannya? Wati ternyata tak bekerja. ''Makanya, kalau bercerai bagaimana kelangsungan hidup ke depan? Lebih baik bertahan saja,'' ujar dia. Karena tak memiliki penghasilan, juga menjadi alasan Erna (48) untuk tidak bercerai kendati selama 25 tahun kekerasan kerap ia terima dari suaminya. Dorongan anak-anaknya agar ia bercerai juga tak dituruti. ''Anak saya nanti punya keluarga sendiri, saya tidak ingin menyusahkan dia untuk menghidupi saya,'' ungkap warga Bandung itu. Tenang Bagi Elda --bukan nama sebenarnya-- cerai adalah pilihan terbaik untuk keselamatan dirinya. Elda mulai khawatir nyawanya terancam sejak kekerasan yang dialaminya meningkat. ''Kepala saya ditendang, rambut saya dibotaki, dan tubuh saya disundut rokok,'' ujar perempuan berusia 42 tahun ini lirih. Setelah berkonsultasi dengan psikolog, Elda mengajukan gugatan cerai. ''Begitu bercerai akhir tahun lalu, saya manfaatkan kemahiran merancang dan menjahit busana Muslim. Disokong keluarga besar, saya mendapatkan modal untuk membuka butik sederhana,'' ujar dia. Luka batinnya masih menganga. Namun, Elda bertahan dan perlahan pulih. ''Hidup saya dan anak-anak sekarang lebih tenang,'' kata Elda. Mendapat perlakuan kasar daris uami, santi juag memilih bercerai. Semula ia tak berani bercerai karena merasa tak mampu membiayai hidup empat anaknya. Tetapi, anak-anaknya terus mendorongnya untuk bercerai. Harta gono-gini ia sisihkan untuk anak-anaknya. Kembali ke Bangka, kemudian ia membuka usaha bisnis kue. Di luar dugaan, kuenya laku, malah banyak pelanggan yang memuji. Uang hasil penjualan kue pun mampu menutupi kebutuhan sehari-hari termasuk biaya sekolah anak-anaknya. vie/rei/ren
http://www.republika.co.id/koran/14/39118/Berani_Memilih_Bercerai
3/31/2009