BAB III TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi Infeksi dengue merupakan penyakit sistemik dan dinamik. Penyakit tersebut memiliki spectrum klinis yang luas yang termasuk manifestasi klinis berat dan tidak berat. Setelah periode inkubasi, pernyakit pun dimulai secara tiba-tiba dan diikuti oleh 3 fase yaitu demam, kritis, penyembuhan.5
2.2 Epidemiologi Demam berdarah dengue tersebar di wilayah Asia Tenggara, Pasifik Barat dan Karibia. Indonesia merupakan wilayah endemis dengan sebaran di seluruh wilayah tanah air. Insiden DBD di Indonesia antara 6 hingga 15 per 100.000 penduduk (1989 hingga 1995); dan pernah meningkat tajam saat kejadian luar biasa hingga 35 per 100.000 penduduk pada tahun 1998, sedangkan mortalitas DBD cenderung menurun hingga mencapai 2% pada tahun 1999. Gambar 1. Epidemiologi infeksi dengue di kawasan Asia Tenggara
Dikutip dari : WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7
Penularan infeksi virus dengue terjadi melalui vektor nyamuk genus Aedes (terutama A. aegypti dan A. albopictus). Peningkatan kasus setiap tahunnya berkaitan 1
dengan sanitasi lingkungan dan tersedianya tempat perindukan bagi nyamuk betina yaitu bejana yang berisi air jernih (bak mandi, kaleng bekas dan tempat penampungan air lainnya). Beberapa faktor diketahui berkaitan dengan peningkatan transmisi virus dengue yaitu 1) Vektor: perkembangbiakan vektor, kebiasaan menggigit, kepadatan vektor di lingkungan, transportasi vektor di lingkungan, transportasi vektor dari satu tempat ke tempat lain; 2) Pejamu: terdapatnya penderita di lingkungan/keluarga, mobilisasi dan paparan terhadap nyamuk, usia dan jenis kelamin; 3) Lingkungan : curah hujan, suhu, sanitasi dan kepadatan penduduk.
2.3 Etiologi Etiologi penyakit demam berdarah dangue adalah virus dangue termasuk family flaviviridae genus Flavivirus yang terdiri dari 4 serotipe, yakni DEN-1, DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Ke empat serotip ini ada di Indonesia. Virus DEN termasuk dalam kelompok virus yang relative labil terhadap suhu dan faktor kimiawai lain serta masa viremia yang pendek. Virus DEN virionnya tersusun oleh genom RNA dikelilingi oleh nukleokapsid, ditutupi oleh suatu selubung dari lipid yang mengandung 2 protein yaitu selubung protein E dan protein membrane M. Jika seseorang terinfeksi dengan satu serotipe akan mendapatkan kekebalan seumur hidup terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya 2-3 bulan kekebalan untuk serotipe lain. Apabila terinfeksi dengan serotipe lain atau beberapa serotipe akan mengakibatkan DHF / DSS.3 2.4 Patofisiologi/patogenesis3 Hipotesis infeksi heterolog sekunder (the secondary heterologous Infection hyphotesis atau the sequential infection hypothesis) sampai saat ini masih dianut sebagai konsep patogenesis terjadinya DHF. Berdasarkan hipotesis ini seseorang akan menderita DHF apabila mendapatkan infeksi berulang oleh serotipe virus dengue yang berbeda dalam jangka waktu tertentu, yang berkisar antara 6 bulan sampai 5 tahun. Hipotesis lain yang menentangnya adalah hipotesis virulensi virus, menurut hipotesis ini perbedaan virulensi serotipe virus dengue adalah penyebab terjadinya DHF.
2
Patogenesis terjadinya syok berdasarkan hipotesis the secondary heterologous infection yang dirumuskan oleh Suvatte, tahun 1977. Sebagai akibat infeksi sekunder oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang pasien, respons antibodi anamnestik yang akan terjadi dalam waktu beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit dengan menghasilkan titer tinggi antibodi IgG anti dengue. Disamping itu, replikasi virus dengue terjadi juga dalam limfosit yang bertransformasi dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah banyak. Hal ini akan mengakibatkan terbentuknya virus kompleks antigen-antibodi (virus antibody complex) yang selanjutnya akan mengakibatkan aktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat aktivasi C3 dan C5 menyebabkan peningkatan permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya plasma dari ruang intravaskular ke ruang ekstravaskular.Pada pasien dengan syok berat, volume plasma dapat berkurang sampai lebih dari 30 % dan berlangsung selama 24-48 jam. Perembesan plasma ini terbukti dengan adanya, peningkatan kadar hematokrit, penurunan kadar natrium, dan terdapatnya cairan di dalam rongga serosa (efusi pleura, asites). Syok yang tidak ditanggulangi secara adekuat, akan menyebabkan asidosis dan anoksia, yang dapat berakhir fatal; oleh karena itu, pengobatan syok sangat penting guna mencegah kematian.
2.5 Klasifikasi Dalam kriteria WHO tahun 1997 klasifikasi dengue dibagi menjadi 3 besar yaitu demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue dan demam berdarah dengue dimana demam berdarah dengue di bagi lagi menjadi 4 derajat menurut keparahan penyakitnya, derajat 3 dan 4 merupakan dengue shock syndrome
3
Tabel 1. Derajat penyakit (WHO,1997)
Dikutip dari: World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997
Adanya kesulitan dalam pengklasifikasian dengue menurut WHO 1997 yang ditandai dengan semakin meningkatnya kasus dengue berat diklinis yang tidak sesuai dengan kriteria WHO 1997 seperti ensefalopati. Hal ini disebabkan karena klasifikasi ini terlalu luas sehingga menurut WHO, perlu diadakannya pembaharuan, agar memudahkan diagnosis dan identifikasi penggolongan tingkat derajat dengue untuk triase dan penanganan awal di rumah sakit, sehingga penanganan pasien menjadi lebih cepat dan terarah. Gambar dibawah ini merupakan kriteria WHO 2009.
4
Gambar 2. Pembagian klasifikasi kasus infeksi dengue menurut WHO 2009
Dengue, guidelines for diagnosis, treatment, prevention and control. Geneva, Switzerland: World Health Organization, 2009
Pada tahun 2011 SEARO menambahkan adanya kriteria expand karena pada beberapa penyakit tidak dapat diklasifikasikan ke dalam kriteria WHO 2009, SEARO juga memperbaharui dalam mengklasifikasikan infeksi dengue, klasifikasi tersebut berupa demam yang tidak terklasifikasikan, demam dengue tanpa manifestasi perdarahan, demam dengue dengan manifestasi perdarahan, demam berdarah dengue dengan kebocoran plasma, demam berdarah dengue tanpa adanya tanda-tanda syok, demam berdarah dengue diikuti syok, demam dengue dengan perluasan dari sindroma dengue.
5
Tabel 2. Pembagian klasifikasi infeksi dengue berdasarkan WHO-SEARO dibandingkan dengan WHO 2009
6
Dikutip dari: WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7
Pada Guidelines Departemen kesehatan mengenai Revised Dengue Clinical Case Management 2011, dengue diklasifikasi sebagai Dengue tanpa tanda peringatan (Dengue without warning signs) , Dengue dengan tanda peringatan (Dengue with warning signs), dan Dengue berat (Severe Dengue). Berdasarkan klasifikasi dengue di WHO 2009, dengue berat termasuk kedalam bagian dengan gejala kebocoran plasma berat, perdarahan berat atau kegagalan organ yang berat. Definisi dan kriteria klasifikasi diatas didapatkan berdasarkan hasil diskusi selama rapat pada Workshop Nasional Dengue pada tahun 2010.6
Pada klasifikasi kasus dengue terbaru dan derajat keparahannya dari departemen kesehatan dilakukan perbadingan dengan klasifikasi kasus pada WHO 1997/2011.6
7
8
Dikutip dari : World Health Organization. Revised Guidelines on Fluid Management of Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever, 2012.
9
2.6 Manifestasi Klinik Infeksi virus dengue dapat bersifat asimtomatis. Pada umumnya pasien mengalami fase demam selama 2-7 hari, yang diikuti fase kritis selama 2-3 hari. pada fase ini pasien sudah tidak demam, akan tetapi memiliki risiko untuk terjadi syok jika tidak mendapatkan terapi yang adekuat.3 Secara garis besar infeksi dengue dibagi menjadi 3 fase 1. Fase febris Pasien tiba-tiba mengalami demam tinggi, dalam fase demam akut biasanya sekitar 2-7 hari dengan diikuti wajah kemerahan, eritema pada kulit, pegal pada seluruh tubuh, nyeri otot, nyeri sendi, nyeri retro orbital, fotofobia, ruam makulopapular yang timbul pada 1-2 hari dan kemudian menghilang tanpa bekas, serta
nyeri
kepala.
Pada
beberapa
pasien
terdapat
nyeri
tenggorokan, faringitis, injeksi konjungtiva. Diikuti dengan anoreksia mual serta muntah yang umumnya selalu diderita pasien. Pada fase ini bila didapatkan tes torniquet (+) meningkatkan kemungkinan infeksi dengue. 2. Fase kritis Terjadi ketika terjadi penurunan suhu badan sampai normal, biasanya hari ke 37 penyakit, akan terjadi peningkatan permeabilitas kapiler bersamaan dengan peningkaya kadar hematokrit, hal ini merupakan tanda awal dari fase kritis, periode kebocoran plasma biasanya berlangsung 24-48 jam yang ditandai dengan peningkatan hematokrit, diikuti dengan leukopenia, dapat pula terjadi efusi pleura dan asites. Syok terjadi ketika terjadi kehilangan banyak plasma, nantinya dapat menyebabkan asidosis metabolik, DIC. 3. Fase penyembuhan Apabila pasien bertahan dalam 24-48 jam di dalam fase kritis, akan terjadi perbaikan bertahap dari cairan ekstravaskular.
10
Gambar 3. Perjalanan Penyakit Infeksi Dengue
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
2.7 Pendekatan Diagnostik1 Pendekatan diagnosis pada pasien dengan febris kurang dari 6 hari, dapat mendiagnosis infeksi dengue, berupa 1. Isolasi virus 2. Deteksi asam nukleus virus dengan menggunakan RT-PCR 3. Deteksi antigen virus Sedangkan apabila datang dengan febris > 6hari pilihan metode diagnosis dengan imunoserologi, yaitu : a. Hemaglutinasi Inhibisi ( HI) b. Fiksasi komplemen ( CF) c. Neutralization Test (NT)
11
d. MAC-ELISA e. Indirect IgG ELISA
Tabel 3. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue
Dikutip dari : WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
Tiga aspek utama yang harus dipertimbangkan untuk diagnosis dengue secara adekuat : 1. Virologi dan serologi yang berhubungan dengan waktu infeksi dengue masa inkubasi adalah 4-10 hari setelah digit oleh nyamuk, pada infeksi primer viremia terjadi 1-2 hari sebelum mulainya demam sampai hari ke 4-5. Antibodi spesifik Anti-dengue IgM dapat ditemukan saat hari ke 3-6, kemudian akan menetap dengan kadar yang rendah sampai 3 bulan setelah demam. IgG akan meningkat pada hari ke 9-10 yang kemudian akan bertahan dengan kadar rendah sampai 1 dekade dan hal ini dapat mengetahui kemungkinan seseorang pernah terinfeksi dengue sebelumnya. 2. Jenis metode diagnostik dalam kaitannya dengan manifestasi klinis klinis pada saat fase demam menunjukan sedang terjadinya viremia, beberapa 12
komponen virus terdapat dalam darah sehingga pilihan yang tepat adalah RTPCR, NS-1 Ag. Saat fase kritis dan penyembuhan dapat kita lihat IgM spesifik bisa dengan menggunakan rapid Test, ELISA maupun haemagglutination inhibition assay (HIA). 3. Karakteristik sampel klinis Virus dengue yang labil mudah dinonaktifkan pada suhu di atas 30 ° C, sehingga harus berhati-hati selama transportasi dan penyimpanan sampel. Sampel serum yang dikumpulkan selama 4 hari pertama demam berguna untuk virus, genom dan deteksi antigen dengue. Sampel harus cepat diangkut pada suhu 4 ° C ke laboratorium dan diproses secepat mungkin. Serum steril tanpa antikoagulan berguna. Jika spesimen pengiriman tidak dapat dilakukan dalam 24-48 jam pertama, pembekuan pada -70 ° C dianjurkan. Tabel 4. Pemilihan metode diagnostik infeksi dengue disesuaikan dengan sarana kesehatan
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
2.8 Diagnosis Banding1 Beberapa panyakit infeksi maupun non-infeksi memiliki gejala mirip demam dengue maupun severe dengue. 1. Influenza
13
2. Cikungunya 3. Infeksi primer HIV 4. SARS 5. Malaria 6. Demam tiroid 7. Hepatitis 8. Leptospirosis 2.9 Penatalaksanaan1 Diagnosis yang tepat harus dapat ditegakkan oleh tenaga kesehatan yang bekerja pada fasilitas kesehatan primer. Protokol WHO untuk manajemen infeksi dengue dapat dilihat dari tabel dibawah ini Tabel 5. Manajemen infeksi dengue
Step I − Overall assessmen
1.1
History, including symptoms, past medical and family history
1.2
Physical examination, including full physical and mental assessment
1.3
Investigation, including routine laboratory tests and dengue-specific laboratory Test
Step II − Diagnosis, assessment of disease phase and severity Step III – Management III.1
Disease notification
III.2
Management decisions. Depending on the clinical manifestations and other circumstances, patients may (1): - be sent home (Group A) - be referred for in-hospital management (Group B) - require emergency treatment and urgent referral (Group C) Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
14
Dalam menanyakan riwayat penyakit sekarang harus terkandung : a. Onset dari demam/ penyakit b. Banyaknya cairan yang diminum c. Diare d. Urine output ( frekuensi, volume, BAK terakhir) e. Gejala-gejala dari warning sign f. Perubahan status mental/ adanya kejang/ g. Riwayat perjalanan ke daerah endemik dengue, riwayat keluarga/ tetangga yang menderita dengue, kondisi kesehatan ataupun penyakit yang dimiliki pasien (ibu menyusui, ibu hamil, obesitas, diabetes melitus, hipertensi, HIV) Pemeriksaan fisik yang dilakukan : a. Status mental b. Status hidrasi c. Tanda-tanda vital d. Pemeriksaan adanya takipneu/ pernapasan kusmaul/ efusi pleura e. Pemeriksaan abdomen berupa adanya nyeri tekan/ hepatomegali/ asites f. Periksa adakah kemerahan atau manifestasi perdarahan g. Periksa Rumplee Leed Pemeriksaan darah lengkap dapat normal pada pemeriksaan pertama kali datang ke tenaga kesehatan, sehingga harus dilakukan pemeriksaan darah lengkap tiap hari sampai melewati fase kritis. Apabila tidak tersedia pemeriksaan darah lengkap atau dalam keadaan epidemi, pemeriksaan darah lengkap dapat diperiksa 3 hari kemudian. Beberapa tes tambahan perlu diperiksa pada pasien yang memili faktor risiko, berupa tes fungsi hati, GDS, elektrolit, ureum, kreatinin, AGD, urinalisis serta EKG. Manajemen dari infeksi dengue dapat dilihat pada gambar dibawah ini,
15
Gambar 4. Algoritma Penatalaksanaan Dengue menurut WHO 2012
Dikutip dari :WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
16
Dari gambar diatas, pasien dibagi menjadi 3 kriteria: Kriteria A Pasien dapat dipulangkan, dengan catatan mendapatkan cairan yang adekuat dan BAK minimal 1x/6 jam, dan tidak ada tanda-tanda dari warning sign. Pasien diharuskan bed rest, pasien yang datang pada demam >3 hari diharuskan setiap hari ke sarana kesehatan untuk diperiksa darah lengkap dan monitoring adanya gejala-gejala dari warning sign, hal ini dilakukan sampai fase kritis terlewati. Berikan pasien paracetamol untuk demamnya, dengan dosis 10 mg/kgbb/x, kompres air hangat apibila demam tidak turun, dilarang memberikan aspirin, ibuprufen atau NSAID lainnya maupun injeksi intramuskular, hal ini dapat menyebabkan gastritis atau perdarahan. Apabila tidak ada perbaikan maupun timbul gejala tambahan seperti nyeri perut, muntah-muntah, ekstremitas dingin, sesak napas, tidak BAK dalam 6 jam, maupun perdarahan segera ke fasilitas kesehatan terdekat. Indikasi rawat inap pada pasien dengan manifestasi demam bila tidak mendapatkan rehidrasi oral yang Ida adekuat, adanya anak kecil dirumah, serta pasien dengan co-morbid. Kriteria B Pasien yang diharuskan untuk rawat inap untuk observasi lebih lanjut. Dalam kriteria ini pasien dengan warning sign, pasien risiko tinggi, pasien yang menunjukan gejala komplikasi, pasien yang tinggal sendiri, serta pasien yang tempat tinggalnya jauh dari fasilitas kesehatan. Terapi yang diberikan Cek hematokrit sebelum diberikan cairan infus. Cairan infus yang digunakan hanya yang bersifat isotonik seperti NaCl 0,9%, Ringer laktat atau cairan Hartmann’s. Mulai dengan 5-7 ml/kgbb/jam untuk 1-2 jam pertama, kemudian kurangi menjadi 3-5ml/kgbb/jam untuk 2-4 jam selanjutnya, kemudian kurangi lagi menjadi 2 ml/kgbb/jam atau maintenan cairan sesuai manifestasi klinis yang didapat. Periksa kembali hematrokit, jika tidak ada perbaikan atau terjadi peningkatan sedikit, ulangi pemberian cairan 2-3 ml/kgbb/jam selama 2-4 jam. Jika tanda vital menurun dan terjadi peningkatan hematrokrit yang cepat, segera naikan cairan 5-10ml/kgbb/jam selam 1-2 jam. Apabila perfusi jaringan dan urine
17
output baik ( 0,5ml/kg/jam) berikan cairan maintenance untuk 24-48 jam. Monitor vital sign, balance cairan, hematrokit sebelum dan sesudah pemberian cairan infus, atau setiap 6-12 jam sekali. Cek GDS, profil ginjal, profil liver, profil koagulasi sesuai indikasi. Kriteria C Pasien dengan dengue berat, pasien dalam kriteria ini harus mendapat pengobatan segera karena berada dalam fase kritis, berupa Kebocoran plasma yang berat, mulai masuk ke dalam keadaan syok dengan adanya ARDS Perdarahan hebat Multi organ failure Pasien harus segera dipindahkan ke fasilitas kesehatan yang memiliki fasilitas transfusi darah. Segera ganti cairan isotonik dengan cairan kristaloid, pada keadaan hipotensi syok boleh diberikan cairan koloid. Transfusi darah hanya diberikan apabila adanya perdarahan hebat. Penatalaksanaan syok Gambar 6. Algoritma Penatalaksanaan Syok pada infeksi Dengue
Dikutip dari:WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012
18
Tujuan dari resusitasi cairan meliputi:
meningkatkan sirkulasi pusat dan perifer - yaitu penurunan takikardia, meningkatkan TD dan denyut nadi, ekstremitas hangat dan merah muda, waktu pengisian kapiler <2 detik
meningkatkan perfusi end-organ yaitu mencapai tingkat kesadaran stabil dan output urine ≥ 0,5 ml / kg / jam atau penurunan asidosis metabolik.
Kapan harus menghentikan infus Observasi tanda-tanda berhentinya kebocoran plasma yang dilihat dari :
TD, nadi dan perfusi perifer stabil
hematokrit menurun dengan denyut nadi yang baik
apyrexia (tanpa menggunakan antipiretik) selama lebih dari 24-48 jam;
gejala usus / gejala yang berhubungan dengan abdomen teratasi
peningkatan produksi urine.
Melanjutkan terapi cairan intravena melewati 48 jam dari fase kritis akan menyebabkan pasien berisiko edema paru dan komplikasi lain seperti tromboflebitis.
2.10
Penatalaksanaan cairan pada kasus dengue6
Tatalaksana cairan pada pasien dengan DF/DHF ( Dengue tanpa tanda peringatan) yang tidak dirawat o Memperoleh hasil dari pemeriksaan hitung darah lengkap. Leukopenia (Leukosit ≤ 5000 sel/mm3) sangat membantu dalam penegakan diagnosis awal dari infeksi dengue dan berlangsung selama periode demam. Peningkatan hematokrit secara tiba-tiba biasanya observasi simultan atau awal sejak penurunan dari trombosit.
Hemokonsentrasi
atau
peningkatan
hematocrit
merupakan bukti objektif terjadinya kebocoran plasma. o Pada pasien dengan DF/DHF derajat 1 yang tidak diakui, pemberian rehidrasi oral dihitung berdasarkan berat badan, dimana saat ini direkomendasikan sebagai terapi rehidrasi oral :
19
o Penurunan osmolaritasi dari terapi cairan oral yang mengandung sodium 50-75 mmol/liter o Minuman olahraga yang mengandung Na <20 mEqs tidak dianjurkan untuk diberikan
Tatalaksana cairan pada pasien yang dirawat, tanpa syok (DF/DHF Derajat I-II atau dengue tanpa tanda peringatan) o Memperoleh hasil perhitungan darah lengkap o Pemberian cairan isotonik (D5 LRS, D5 Ringer Asetat D5 NSS/D5 0,9 NaCl) sesuai untuk pasien DHF yang diakui tanpa syok o Berikan hanya cairan isotonik seperti 0.9% NaCl (saline) atau Ringer Laktat dengan atau tanpa glukosa o Untuk bayi di usia < 6 bulan, D5 0.45 Nacl lebih baik digunakan (D5 0.45 NaCl di siapkan dari mencampur D5 0.9 NaCl dan D5W
dengan
jumlah
volume
yang
sama).
Dilarang
menggunakan cairan hipotonik (D5 0.3 NaCl) o Pemeliharaan IVF di hitung menggunakan metode caloricexpenditure (Holliday and Segar Method) atau perhitungan berdasarkan berat badan (Ludan Method) Tabel 3. Calculation of Maintenance Intravenous Fluid Infusions (Holliday and Segar Method)
20
o Jika pasien menunjukan tanda dari dehidrasi ringan tetapi tidak dalam keadaan syok, kebutuhan volume untuk dehidrasi ringan masuk kedalam pemberian cairan pemeliharaan untuk mempertahankan kebutuhan cairan total / Total Fluid Requirement (TFR) o Berikut adalah rumus yang dapat digunakan untuk menghitung kebutuhan cairan dari cairan intravenous ke infus
TFR = Maintenance IVF + Fluid as for Mild dehydration o Berikut perhitungan volume cairan untuk dehidrasi ringan : (Usia ≤ 12 bulan)
50 ml/kg
Anak/Dewasa (Usia > 12 bulan)
30 ml/kg
Bayi
o Perhitungan cairan diberikan untuk waktu > 24 jam o Contoh perhitungan untuk pasien dengan berat badan 10 kg dengan dengue dan dehidrasi ringan Step 1 : Perhitungan untuk Kebutuhan cairan total TFR = Cairan pemeliharaan + Cairan untuk dehidrasi ringan = (100 x 10 Kg) + (50 x 10 Kg) = 1000 + 500 = 1500 ml Step 2 : Perhitungan volume yang diberikan untuk lebih dari 24 jam TFR = 1500 ml = 62 ml/jam (6 ml/kg/jam) 24 jam
DILAKUKAN PERIODIK.
PENILAIAN KADAR
/
REASSESMENT
PEMBERIAN
SECARA
CAIRAN
HARUS
DISESUAIKAN DENGAN KONDISI KLINIS, TANDA VITAL, PENGELUARAN URINE, DAN KADAR HEMATOKRIT.
21
Parameter klinis harus selalu di monitor secara ketat dan dikorelasikan dengan hematokrit. Sehinga untuk memastikan hidrasi yang adekuat, mencegah kurangnya / kelebihan hidrasi. o Jika pasien menunjukan tanda perburukan, lihat tatalaksana kompensasi atau hipotensi syok dan disesuaikan. o Untuk menghitung kebutuhan cairan pada pasien berat badan lebih gunakan BERAT BADAN IDEAL. o Untuk cairan pemeliharaan tidak boleh lebih dari 3 liter/hari
Tatalaksana cairan pada pasien yang diakui dengan tanda peringatan tetapi tanpa syok o Memperoleh hasil perhitungan darah lengkap dan pemerikaan glukosa darah sebelum terapi cairan o Berikan hanya cairan isotonic seperti 0.9% NaCl (saline) atau Ringer Laktat dengan atau tanpa glukosa o Untuk bayi di usia < 6 bulan, D5 0.45 Nacl lebih baik digunakan (D5 0.45 NaCl di siapkan dari mencampur D5 0.9 NaCl dan D5W
dengan
jumlah
volume
yang
sama).
Dilarang
menggunakan cairan hipotonik (D5 0.3 NaCl) o Dapat diberikan IVF glukosa (D5) jika dalam kondisi berikut :
Test Glukosa darah <80 mg/dL
Jika Test glukosa darah tidak tersedia dan pasien tidak dapat makan dan terlihat lemah.
o Kecepatan dari infusan yaitu :
Dimulai
dengan 5-7
ml/kg/jam
untuk
1-2 jam,
selanjutnya
Diturunkan menjadi 3-5 ml/kg/jam untuk 2-4 jam, dan selanjutnya
Diturunkan menjadi ≤2-3 ml/kg/jam disesuaikan dengan respon klinis
o Kaji ulang status klinis dan cek ulang hitung darah lengkap o Jika hematokrit nilainya sama atau meningkat sedikit, lanjutkan
22
dengan kecepatan yang sama (2-3 ml/kg/jam) untuk 2-4 jam berikutnya o Jika terjadi perburukan dari tanda vital dan peningkatan pesat dari hematokrit, maka naikan kecepatan menjadi 5-10 ml/kg/jam untuk 1-2 jam
Kaji ulang status klinis, cek ulang hematokrit dan kaji kecepatan cairan infus
Berikan volume cairan intravena yang minimum ditujukan untuk memelihara perfusi yang baik dan pengeluaran
urine
sebanyak
0.5ml/kg/jam.
Cairan
intravena biasanya diberikan selama 24-48 jam
Turunkan cairan intravena secara bertahap ketika kecepatan dari kebocoran plasma berkurang menuju akhir dari fase kritis. Dan diindikasi kan oleh: o Pengeluaran urine dan/atau asupan cairan peroral yang adekuat, atau o Penurunan hematokrit dibawah nilai dasar pada pasien stabil
o Investigasi laboratorium (ABCS) harus dilakukan pada kasus syok maupun non-syok ketika tidak ada perbaikan meskipun sudah dilakukan pergantian cairan yang adekuat
23
Tatalaksana cairan pada pasein yang diakui di rumah sakit dengan syok kompensasi (DHF Grade III)
24
Tatalaksana cairan pada pasien yang diakui di rumah sakit dengan syok hipotensi (DHF grade IV/DSS)
25
Tatalaksana cairan pada kasus kelebihan cairan, ensepalopati, dan disfungsi miokardial o Kelebihan cairan
Pengkajian total dari pemberian IVF. Berhentikan pemberian semua cairan hipotonik
Cek dan koreksi ABCS
Pemasangan urine kateter untuk memonitor pengeluaran urine
Pada derajat awal dari kelebihan cairan :
Ganti cairan dari kristaloid menjadi koloid diberikan secara infus bolus 10ml/kg, tidak melebihi dari total dosis harian yang dapat diterima
(Dextran
40
total
dosis
harian
30ml/kg/hari atau Voluven total dosis harian 50ml/kg/hari)
26
Pada derajat akhir dari kelebihan cairan :
Jika pada tanda vital yang stabil : berikan Furosemid 0.5 – 1 mg/kg/dosis secara IV; monitor tanda vital setiap 15 menit selama 1 jam setelah furosemide memberikan respon
Jika dalam keadaan syok tanpa memperhatikan tanda klinis dan gejala kelebihan cairan : berikan koloid 10ml/kg/jam
Dapat diulang dosis furosemide jika tidak ada pengeluaran urine
Cek
status
volume
intravaskuler,
dan
pertimbangkan pemasangan CVP
Cek status ginjal untuk menyingkirkan gagal ginjal akut. Jika gagal ginjal oliguria dibuktikan, segera rujuk ke nefrologi untuk dilakukan dialisis
o Ensepalopati
Dicurigai pada pasien DF/DHF yang terdapat konvulsi dan/atau koma
Merupakan hasil dari perdarahan intracranial, oklusi yang dilanjut dengan DIC, abnormalitas metabolic (hiponatremia), atau Hepatic encephalopathy
Tatalaksana dari hepatic encephalopathy
Kurangi IVF; Total cairan intravena tidak melebihi 80% dari cairan pemeliharaan
Jika disertai kasus kebocoran plasma, gunakan koloid jika hematokrit terus meningkat
Tambahkan furosemide jika disertai kelebihan cairan
Jaga posisi kepala di 30 derajat
Berikan terapi oksigen untuk mempertahankan jalan napas teroksigenasi 27
Lakukan intubasi untuk mencegah hiperkabia dan menjaga jalan napas
Penurunan produksi ammonia : berikan laktulosa 5-10ml setiap 6 jam, dan antibiotic sistemik untuk menurukan flora usus
Pertahankan kadar glukosa darah di 80-100 mg/dl
Koreksi kadar asam dan ketidakseimbangan elektrolit
(koreksi
hipo/hypernatremia,
hipo/hyperkalemia, hipokalsemia, asidosis)
Tambahkan Vitamin K secara IV : 3 mg untuk < 1 tahun, 5 mg untuk < 5 tahun dan 10 mg untuk > 5 tahun dan dewasa
Trasnfusi darah, disarankan sel darah merah segar jika terdapat indikasi. Hindari transfuse trombosit dan plasma beku karena dapat terjadi kelebihan cairan dan peningkatan ICP
Antikonvulsan
harus
diberikan
untuk
mengkontrol kejang: phenobarbital, Dilantin, dan diazepam IV jika terdapat indikasi
Terapi antibiotik empirik untuk yang di curigai infeksi bakteri superimposed
H2 blockers atau PPI dapat diberikan untuk menekan perdarahan gastrointestinal
Hindari obat yang tidak diperlukan, terumata obat yang berkerja oleh liver
Pertimbangkan plasmapheresis atau hemodialisa atau terapi pergantian renal pada kasus dengan kemunduran klinis
28
o Keterlibatan jantung
Keterlibatan jantung pada DF dan DHF dapat terlihat ketika periode syok dan periode konvalesens. Gejala yang beragam dapat terlihat dari aritmia sampai disfungsi sistolik / diastolik menunjukan terjadi gagal jantung dan/atau syok.
Ketika anak dengan DHF menunjukan syok tanpa melihat penggatian cairan yang adekuat, terutama jika hematokrit normal dan CVP normal/meningkat, maka dibutuhkan
evaluasi
jantung
dan
dirujuk
kepada
kardiologi pediatric. Pemeriksaan laboratorium harus termasuk echocardiogram, EKG, Rongten Thorax dan CPKMB.
Echocardiogram
akan
membuka
sistolik/diastolik selagi terjadi pemuatan kondisi jantung
Tatalaksana dari disfungsi miokardial
Disfungsi miokardial harus di obati dengan inotropin seperti dopamine, dobutamin, atau kombinasi untuk disfungsi dan milrinoneu untuk disfungsi diastolik
Penggantian cairan dibutuhkan juga pemeriksaan regular dari status hemodinamuk secara konstan untuk mencegah terjadi kelebihan cairan dan komplikasi. Pada pasien dengan gagal jantung, cairan harus dihitung 50-75% dari pemeliharaan berkaitan dengan derajat gagal jantung.
Jika DF atau DHF komplikasi miokarditis terjadi pada fase konvalesens, direkomendasikan tirah baring. Dengan tambahan, dilarang melakukan aktivitas fisik pasca rawat selama 2 minggu – 6 bulan bergantung dari keparahan miokarditisnya.
29
Tatalaksana dari Aritimia jantung
Selama periode konvalesens, variable dari aritmia diobservasi dalam kisaran dari disfungsi nodus sinus (sinus bradikardi, junctional rhythm), abnormalitas konduksi seperti AV block derajat 1, Wencheback, PAC atau PVC
Dokumentasi EKG dari gejala aritmia tersebut. Tambahan pemeriksaan laboratorium yaitu enzim jantung (CPKMB) dan rongten thorax
Jika terlihat ada PVC, disarankan penetapan serum elektrolit dan jika ada hypokalemia dapat dikoreksi
Pasien dengan aritmia jantung tetapi tidak ada tanda gagal jantung, tidak ada kebutuhan cairan spesifik
dan
di
rekomendasikan
terapi
penggantian cairan harus diikuti oleh observasi dari status hemodinamiknya mencegah kelebihan cairan dan komplikasi
Biasnaya tidak ada pengobatan yang diperlukan pada
benign
arrhythimia
tetapi
jika
ada,
kardiologipediatri yang dapat memberikannya.
2.11
Penatalaksanaan dengue pada kelompok risiko 1. Dengue pada lansia Sebuah penelitian surveilans menunjukan bahwa manifestasi klinis dari dengue pada lansia mirip dengan dewasa muda, namun gejala yang lebih sering timbul adalah perdarahan saluran cerna dan mikrohematuri. Insiden demam, atralgia serta ruam lebih rendah pada orang tua. Gagal ginjal akut, perdarahan gastrointestinal, efusi pleura, serta CHF dan edema pulmonal lebih sering terjadi pada orang tua. kadar hemoglobin juga lebih rendah dibandingkan dewasa. 30
2. Dengue dengan co-morbid Pasien dengan penyakit diabetes melitus, hipertensi dan renal insufisiensi berhubungan erat dengan angka kejadian severe dengue. Pada pasien hipertensi terkadang tidak menunjukan adanya hipotensi jika mengalami syok sehingga yang perlu diperhatikan adalah angka MAP, Jika terjadi penurunan MAP 40% dari baseline perlu dicurigai adanya tanda-tanda syok, jika pasien mengalami takikardia dapat diberikan β- bloker, sedangkan bila pasien mengalami takikardia perlu ditanyakan riwayat pemberian Ca chanel bloker, karena efek sampingnya bera takitardia, jangan salah mengangap sebagai satu respons dari keadaan syok hipovelemik, harus diawasi secara ketat pemberian antihipertensi terutama bila terdapat kebocoran plasma,juga perlu monitoring urine output. Pasien dengan DM, infeksi dengue dapat mencetuskan KAD atau hiperglikemik hiperosmolar, dimana manifestasi KAD mirip dengan warning sign pada demam dengue yang berat, sehingga dapat terjadi kesalahan diagnostik, pemberian ADO harus dihentikan terutama obat golongan metformin, karena dapat memperburuk asidosis laktat dan syok dengue sehingga perlu dipertimbangkan pemakain Short-acting insulin, monitor gula darah setiap 1-2 jam sampai mencapai target gula darah < 150 mg/dl kemudian dilanjutkan setiap 4jam. Pasien yang memiliki penyakit CKD tetap dilakukan terapi cairan yang adekuat sekaligus menstabilkan hemodinamik setelah itu perlu dilakukan dialisis segera untuk mencegah terjadinya asidosis metabolik dan elektrolit imbalance. Pada pasien yang memiliki riwayat anemia hemolitik perlu dilakukan transfusi PRC atau whole blood.
31
2.12
Kriteria pemulangan pasien6 Klinis 1. Bebas demam dalam 48 jam 2. Peningkatan keadaan klinis (baik secara keseluruhan, nafsu makan membaik, status hemodinamik, urine output, dan tidak ada distress pernapasan) 3. Minimal dari 2-3 hari terdapat elapse setelah perbaikan dari syok
Laboratorium 1. Peningkatan trombosit 2. Hematokrit stabil tanpa IVF
2.13
Komplikasi3 Penyebab komplikasi pada infeksi dengue adalah : Kesalahan diagnosis pada primary Care sebagai pengobatan lini pertama a. Ketidaktepatan monitoring dan misinterpretasi tanda-tanda vital b. Kesalahan dalam monitoring terapi carang dan urine yang keluar c. Keterlambatan dalam pengenalan tanda-tanda syok sehingga jatuh dalam keadaan syok atau memperpanjang syok yang sudah terjadi d. Keterlambatan dalam mengenal adanya perdarahan hebat e. Terlalu sedikit atau terlalu banyak terapi cairan infus f. Ketidakpedulian dalam tehnik aseptic dalam menangani pasien Komplikasi dari infeksi dengue berupa : a. Asidosis metabolik b. Imbalance elektrolit c. Efusi pleura dan asites d. Edema pulmonal e. ARDS f. Ko-infeksi dan infeksi nasokomial g. Sindrom hemofagositik
32
2.14
Prognosis Prognosis DBD ditentukan oleh derajat penyakitnya, cepat tidaknya penanganan diberikan, umur, jenis kelamin, dan keadaan nutrisi penderita. Prognosis DBD derajat I dan II umumnya baik. DBD derajat III dan IV bila dapat dideteksi secara cepat maka pasien dapat ditolong. Angka kematian pada syok yang tidak terkontrol sekitar 40-50%. Tanda- tanda prognosis yang baik pada DSS adalah pengeluaran urine yang cukup serta kembalinya nafsu makan.
33
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO-SEAR. Dengue In South-East Asia: An Appraisal Of Chase Management And Vector Control. Dengue Buletin Volume 36. Desember 2012: 6-7. 2. World health Organization. Dengue hemorrhagic fever: diagnosis, treatment, Prevention and control. 2nd ed. Geneva: WHO, 1997 3. WHO-TDR. Handbook for clinical management of dengue. Geneva: WHO, 2012 4. World Health Organization, Regional Office for South-East Asia. Comprehensive guidelines for prevention and control of dengue and dengue haemorrhagic fever. Revised and expanded edition. New Delhi: WHO-SEARO, 2011. SEARO Technical Publication Series No. 60 5. World Health Organization. Dengue Guidelines For Diagnosis, Treatment, Prevention and Control. New Edtion. 2009. 6. World Health Organization. Revised Guidelines on Fluid Management of Dengue Fever and Dengue Hemorrhagic Fever, 2012.
34