Reformasi Sistem Pendidikan Nasional

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Reformasi Sistem Pendidikan Nasional as PDF for free.

More details

  • Words: 6,577
  • Pages: 25
Reformasi Sistem Pendidikan Nasional MAKALAH

Disusun Oleh :

KELOMPOK 3 Epi Erpina S.Si Erik Nurdiana Nurkholik, S.E Evi Nurfiriyanti, S.P Gita Hanum Purnamasari, S.Pi Hasbullah, S.SosI Imas Masriyah, S.Si

UNIVERSITAS IBNU KHOLDUN BOGOR 2009 BAB I PENDAHULUAN Kualitas sumber daya manusia bangsa Indonesia saat ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan negara lain bahkan dengan sesama anggota ASEAN. Pendidikan adalah kata kunci untuk meningkatkan kesejahteraan dan martabat bangsa. Tak salah jika kita sebut pendidikan sebagai pilar pokok dalam pembangunan bangsa. Tinggi-rendah derajat suatu bangsa bisa dilihat dari mutu pendidikan yang diterapkannya.

Pendidikan yang tepat dan efektif akan melahirkan anak-anak bangsa yang cerdas, bermoral, memiliki etos kerja dan inovasi yang tinggi. Negara-negara yang telah berhasil mencapai kemajuan dan menguasai teknologi-peradaban mengawali kesuksesannya dengan memberi perhatian yang besar terhadap sektor pendidikan nasionalnya. Sektor pendidikan mendapat dukungan penuh dan secara terus menerus sistemnya diperbaiki agar sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan daya akses seluruh lapis masyarakat mereka. Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Sebagaimana diketahui, Undang-Undang adalah wujud dari harapan rakyat yang dimanifestasikan oleh DPR. Dalam hal ini harapan dan tantangan di masa depan, pendidikan merupakan sesuatu yang sangat berharga dan dibutuhkan. Pendidikan di masa depan diharapkan memainkan peranan yang sangat fundamental di mana cita-cita suatu bangsa dan negara dapat diraih. Bagi masyarakat suatu bangsa, pendidikan merupakan suatu kebutuhan yang akan menentukan masa depannya. Menghadapi masa depan yang sudah pasti diisi dengan arus globalisasi dan keterbukaan serta kemajuan dunia informasi dan komunikasi, pendidikan akan semakin dihadapkan terhadap berbagai tantangan dan permasalahan yang lebih rumit dari pada masa sekarang atau sebelumnya. Untuk itu, pembangunan di sektor pendidikan di masa depan perlu dirancang sedini mungkin agar berbagai tantangan dan permasalahan tersebut dapat diatasi. Dunia pendidikan nasional perlu dirancang agar mampu melahirkan generasi atau sumber daya manusia yang memiliki keunggulan pada era globalisasi dan keterbukaan arus informasi dan kemajuan alat komunikasi yang luar biasa. Harus kita diakui, pelaksanaan pendidikan di Indoensia masih jauh dari yang diharapankan. Begitu juga dengan mutu yang dihasilkannya. Padahal, amanat Undang-Undang Dasar 1945 mematok tujuan pendidikan nasional begitu tinggi: bisa mencerdaskan bangsa Indonesia. Cerdas dalam artian mayoritas rakyat Indonesia memiliki budaya belajar dan mengajar dalam aktivitas kesehariannya Program pendidikan nasional yang dirancang diyakini belum berhasil menjawab harapan dan tantangan masa kini maupun di masa depan. Globalisasi seharusnya menghadirkan peluang ‘positif’ untuk hidup nyaman, murah, indah dan maju, bukan menghadirkan peluang ‘negatif’ yang menimbulkan keresahan, penderitaan dan penyesatan. Dalam situasi ini, tugas sivitas akademika mengembangkan dan menciptakan sistem pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang ‘mampu memilih’ tanpa kehilangan peluang serta jati diri.

Dalam membangun pendidikan di masa depan perlu dirancang sistem pendidikan yang dapat menjawab harapan dan tantangan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi. Sistem pendidikan yang dibangun tersebut perlu berkesinambungan dari pendidikan prasekolah, pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan utuh.

BAB II REFORMASI SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL A. Latarbelakang Reformasi Sistem Pendidikan Nasional Dalam proses perjalanan UU No.2/l989 tentang Sisdiknas sekitar l3 tahun Sisdiknas dirasakan menunjukkan gejala-gejala sebagai berikut: 1. Sisdiknas telah menjadi alat politik pemerintah untuk memperkuat kekuasaannya. 2. Pendidikan terlalu diatur secara sentralistik oleh pemerintah, dan masyarakat kurang diberi peran dalam penyelenggaraan pendidikan; inisiatif, kreativitas dan inovasi masyarakat kurang mendapat kesempatan berkembang. 3. Pendidikan tidak dapat menjadi pranata sosial untuk pembudayaan dan transformasi masyarakat 4. Pendidikan

tidak

mampu

menjawab

tantangan

lingkungan

strategis,

yaitu

perkembangan politik-ekonomi-sosial-budaya, baik di daerah, nasional, maupun internasional yang berubah secara cepat. 5. Sisdiknas belum menerapkan prinsip-prinsip pendidikan: Pendidikan Untuk Semua, Pendidikan Seumur Hidup, dan Pendidikan Terbuka.

Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni 2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru yaitu UndangUndang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, sebagai pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989.

Adapun perbedaan dan Persamaan dari Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989 dengan UndangUndang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003, antara lain: a. Persamaan Keduanya masih menempatkan Pendidikan sebagai kerja “non akademik”,dan pendidikan diselenggarakan dibawah otorita kekuasaan administratif-birokratis, dan belum menempatkan pendidikan sebagai kerja “akademik”, dan penyelenggaraannya dibawah otorita keilmuan (Gambar 1 dan Gambar 2 di lampiran) Kerja Non Akademik: Loyalitas, “Yudical Hierarchy” , Esselonisasi, dan Senioritas didasarkan masa kerja dan kepatuhan. Kerja Akademik: Reputasi Akademik, bersaing dalam Kreativitas & Inovasi, tidak mengenal “Yudical Hierarchy”, hanya mengenal perbedaan bobot Mutu Akademik, dan tidak mengenal esselonisasi. b. Perbedaan 1. Sentralisasi – Desentralisasi 2. Pemerintah Pusat / Daerah: BertanggungJawab pada pelayanan, Dana, Rambu-rambu

Nasional dan Standard Mutu Nasional. 3. Masyarakat: Bertanggungjawab pada Unit Pendidikan [Sekolah-Madrasah] dan Mutu

Pendidikan. 4. Sisiknas (No.20/2003) lebih demokratis, terbuka,memberikan otonomitas &

tanggungjawab pada masyarakat dalam menyelenggarakan pendidikan bermutu. Paradigma Keberagaman Pendidikan memiliki banyak wajah, sifat, jenis dan jenjang (pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, madrasah, program diploma, sekolah tinggi, institusi,

universitas, dsb). Namun hakikatnya satu, yaitu memanusiakan manusia. Hakikatnya pendidikan mengembangkan : Human Dignity

1. 2.

= harkat dan martabat manusia

Manizing Human = memanusiakan manusia benar-benar mampu menjadi khalifah. Manusia mampu memilih, menetapkan dan membangun model kehidupannya dalam hidup bersama; bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dalam hal ini ada 3 jenis manusia: 1. Sepenuhnya pasrah apa kata Hukum Alam dan Sosial.

2. Sepenuhnya berontak mematahkan belenggu Hukum Alam dan Sosial. 3. Kombinasi keduanya, memiliki kecerdasan, kata hati dan keahlian serta kesadaran bahwa

tidak akan mampu melampaui Hukum Alam. Paradigma Pemikiran Keilmuan Ilmu merupakan bagian essensial isi ajaran agama (Islam).

Ilmu terus mengalir &

bergulir,tanpa dapat dicegah. Tidak ada monopoli dlm mengasuh dan mengklaim kebenaran ilmu.Tidak ada lagi pohon ilmu, telah berubah menjadi jaringan ilmu. Hubungan antara agama dan ilmu adalah sebagai berikut: 1. Agama adalah Puncak Pencapaian, sedangkan Ilmu adalah Alat Pencapaian. 2. Agama adalah Kebenarannya Mutlak, sedangkan Ilmu Kebenarannya Relatif. 3. Ketika agama bertemu ilmu terjadi 4 model: Konflik, Inter Independensi, Dialog,

Integrasi. Paradigma Baru Pendidikan Nasional Paradigma Pendidikan Nasional dapat dilihat dari visi, misi, tujuan, orientasi dan strategi sistem pendidikan. Visi : Menjadi Sistem Pendidikan yang unik/khas Indonesia dalam rangka mengembangkan kecerdasan kehidupan nasional berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh, agar bangsa ini menjadi bangsa yang bermartabat dan terhormat dalam tata kehidupan internal modern “ Menjadi modern dengan tetap pada jati dirinya”. Misi : 1. Menemukan, Mengamalkan dan Mengembangkan IPTEK dalam bingkai nilai-nilai /

ajaran agama. 2. Menjadi IPTEK sebagai alat untuk mencapai puncak kebenaran agama.

3. Memberantas “kebodohan bangsa”.

4. Kebodohan:Sumber Segala Malapetaka,meskipun Kebodohan bukan Dosa 5. Mengembangkan Pendidikan Multikultural. Tujuan: 1. Mengembangkan Potensi kemampuan peserta didik dalam menguasai IPTEK untuk

kemaslahatan kehidupan bersama dan memelihara lingkungan kehidupan. 2. Mengembangkan budaya belajar:

“Sekolah boleh selesai, belajar tidak

kenal

berhenti” Orientasi Pendidikan : •

Pendidikan untuk semua, secara merata dan adil



Kebutuhan, kenyataan dan “life skill” dalam tata kehidupan bersama.



Kebutuhan “duniawiyah” tanpa melepaskan diri dari bayang-bayang kehidupan surgawi-ukrowiyah.

Strategi penyelenggaraan pendidikan nasional (sekolah) : Berfokus pada mutu, untuk itu diperlukan: otonomi, akreditasi, evaluasi dan

akuntabilitas.

Bersaing mutu, kemandirian, keterbukaan, disiplin dan profesional, serta

dalam meningkatkan pelayanan terhadap peserta didik melalui peningkatan SDM dan Manajemen atau Pengelolaan Sekolah Pendidikan adalah kerja akademik Dosen, Guru, Pustakawan, Laboran, Peneliti, adalah Tenaga Akademik, & bukan Tenaga

Administrasi Birokrasi. Para pakar akademisi berdiri paling depan dalam pemberdayaan mutu akademik unit pendidikan (sekolah); Tenaga Non Akademik “mem-Back Up” & menfasilitasi kerja akademik. Diperlukan “Academic Bill of Right” dalam dunia pendidikan. Materi Ajar/Kurikulum Kurikulum bertolak dari kebutuhan, IPTEK, pasar, nilai luhut budaya/tradisi/agama. Metodologi Pembelajaran 1. Learning to Know

2. Learning to Do 3. Learning to Be 4. Learning to Live Together 5. Learning throughout Life 6. Learn How to Learn Belajar “Menjadi” bukan sekedar “Memiliki”. Menguasai “Metodologi” bukan sekedar “Materi”. Tidak ada “Keterpisahan”antara ilmuan dan ilmunya atau keahliannya.

Dana dan Sistem Pendanaan Dana pendidikan harus memperhatikan jumlah dan sumber dana supaya dana tersebut benar-benar menjadi penopang dalam dunia pendidikan. Dalam hal ini ada istilah “Funding System” dalam system pendanaan. “Funding System” adalah sesuai dengan kebutuhan, kemampuan dan peluang. Konsepnya adalah sebagai berikut : Kucuran Dana terlalu Kecil:α= Manja & Mubazir Kucuran Dana = a = sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan menggunakan;makin tinggi kemajuan, makin tinggi kebutuhan,makin tinggi kemampuan, makin besar α (dana) yang dapat dikucurkan. B. Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi, kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik. Demokratisasi dan Desentralisasi (Otonomi Daerah) Tuntutan reformasi yang sangat penting adalah demokratisasi, yang mengarah pada dua hal yakni pemberdayaan masyarakat dan pemberdayaan pemerintah daerah (otda). Hal ini berarti peranan pemerintah akan dikurangi dan memperbesar partisipasi masyarakat. Demikian juga perana pemerintah pusat yang bersifat sentralistis dan yang telah berlangsung selama 50 tahun lebih, akan diperkecil dengan memberikan peranan yang lebih besar kepada pemerintah daerah

yang dikenal dengan sistem desentralisasi. Kedua hal ini harus berjalan secara simultan; inilah yang merupakan paradigma baru, yang menggantikan paradigma lama yang sentralistis. Konsep demokratisasi dalam pengelolaan pendidikan yang dituangkan dalam UU Sisdiknas 2003 bab III tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan (pasal 4) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan, serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan , nilai kultural, dan kemajemukan bangsa (ayat 1). Karena pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat (ayat 3), serta dengan memberdayakan semua komponen masyarakat, melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan pendidikan. Pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan bermutu bagi warga negara tanpa diskriminasi (pasal 11 ayat 1). Konsekwensinya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7- 15 tahun (pasal 11 ayat 2). Itulah sebabnya pemerintah (pusat) dan pemerintah daerahmenjamin terselenggaranya wajib belajar, minimal pada jenjang pendidikan dasar tanpa dipungut biaya, karena wajib belajar adalah tanggung jawab negara yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 34 ayat 2). Dengan adanya desentralisai penyelenggaraan pendidikan dan pemberdayaan masyarakat, maka pendanaan pendidikan menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah (pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat (pasal 46 ayat 1). Bahkan, pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah bertanggungjawab menyediakan anggaran pendidikan sebagaimana diatur dalam pasal 31 ayat (4) Undang Undang Dasar Negara RI tahun 1945 - (”Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurangkurangnya duapuluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional”) - (pasal 46 ayat 2). Itulah sebabnya dana pendidikan, selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan, harus dialokasikan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan, dan minimal 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja daerah (APBD) (pasal 49 ayat 1). Khusus gaji guru dan dosen yang diangkat oleh pemerintah (pusat) dialokasikan dalam APBN (pasal 49 ayat 2). Sumber pendanaan pendidikan ditentukan berdasarkan prinsip keadilan, kecukupan, dan keberlanjutan (pasal 47 ayat 1). Dalam memenuhi tuntutan-tuntutan tersebut maka pemerintah

(pusat), pemerintah daerah, dan masyarakat mengerahkan sumber daya yang ada sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (pasal 47 ayat 2). Oleh karena itu maka pengelolaan dan pendidikan harus berdasarkan prinsip keadilan, efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas publik (pasal 48 ayat 2). Meskipun terjadi desentralisasi pengelolaan pendidikan, namun tanggungjawab pengelolaan sistem pendidikan nasional tetap berada di tangan menteri yang diberi tugas oleh presiden (pasal 50 ayat 1), yaitu menteri pendidikan nasional. Dalam hal ini pemerintah (pusat) menentukan kebijakan nasional dan standard nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional (pasal 50 ayat 2). Sedangka pemerintah provinsi melakukan koordinasi atas penyelenggaraan pendidikan, pengembangan tenaga kependidikan, dan penyediaan fasilitas penyelenggaraan pendidikan lintas daerah kabupaten/kota untuk tingkat pendidikan dasar dan menengah. Khusus untuk pemerintah kabupaten/kota diberi tugas untuk mengelola pendidikan dasar dan menengah, serta satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal. Satuan pendidikan yang berbasis keunggulan lokal, merupakan paradigma baru pendidikan, untuk mendorong percepatan pembangunan di daerah berdasarkan potensi yang dimiliki oleh masyarakat lokal. Dalam hal ini pewilayahan komoditas harus dibarengi dengan lokalisasi pendidikan dengan basis keunggulan lokal. Hak ini bukan saja berkaitan dengan kurikulum yang memperhatikan juga muatan lokal (pasal 37 ayat 1 huruf j), melainkan lebih memperjelas spesialisasi peserta didik, untuk segera memasuki dunia kerja di lingkungan terdekatnya, dan juga untuk menjadi ahli dalam bidang tersebut. Dengan demikian persoalan penyediaan tenaga kerja dengan mudah teratasi dan bahkan dapat tercipta secara otomatis. Selain itu pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib menyelenggarakan sekurangkurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikanm yang bertaraf internasional (pasal 50 ayat 3). Hal ini dimaksudkan agar selain mengembangkan keunggulan lokal melalui penyediaan tenagatenaga terdidik, juga menyikapi perlunya tersedia satuan pendidikan yang dapat menghasilkan lulusan kaliber dunia di Indonesia. Untuk menjamin terselenggaranya pendidikan yang berkualitas, maka pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib memfasilitasi satuan pendidikan dengan pendidik dan tenaga kependidikan yang diperlukan (pasal 42 ayat 2). Dalam hal ini termasuk memfasilitasi dan/atau menyediakan pendidik dan/atau guru yang seagama dengan peserta didik dan pendidik dan/atau guru untuk mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik (pasa 12 ayat 1 huruf a

dan b). Pendidik dan tenaga kependidikan dapat bekerja secara lintas daerah, yang pengangkatan, penempatan dan penyebarannya diatur oleh lembaga yang mengangkatnya berdasarkan kebutuhan satuan pendidikan formal (pasal 41 ayat 1 dan 2)). Selain itu pemerintah (pusat) atau pemerintah daerah memiliki kewenangan mengeluarkan dan mencabut izin bagi semua satuan pendidikan formal maupun non formal (pasal 62 ayat 1), sesuai dengan lingkup tugas masingmasing. Dengan adanya desentralisasi perizinan akan semakin mendekatkan pelayanan klepada rakyat, sesuai dengan tujuan otonomi pemerintahan daerah. Peran Serta Masyarakat Demokratisasi penyelenggaraan pendidikan, harus mendorong pemberdayaan masyarakat dengan memperluas partisipasi masyarakat dalam pendidikan yang meliputi peran serta perorangan, kelompok, keluarga, organisasi profesi, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan (pasal 54 ayat 1). Masyarakat tersebut dapat berperanan sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan (pasal 54 ayat 2). Oleh karena itu masyarakat berhak menyelenggarakan pendidikan yang berbasis masyarakat, dengan mengembangkan dan melaksanakan kurikulum dan evaluasi pendidikan, serta manajemen dan pendanaannya sesuai dengan standard nasional pendidikan (pasal 55 ayat 1 dan 2). Dana pendidikan yang berbasis masyarakat dapat bersumber dari penyelenggara, masyarakat, pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan/atau sumber lain (pasal 55 ayat 3). Demikian juga lembaga pendidikan yang berbasis masyarakat dapat memperoleh bantuan teknis, subsidi dana, dan sumber daya lain secara adil dan merata dari pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah. Partisipasi masyarakat tersebut kemudian dilembagakan dalam bentuk dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah. Dewan pendidikan adalah lembaga mandiri yang beranggotakan berbagai

unsur

masyarakat

yang

peduli

terhadap

pendidikan.

Sedangkan

komite

sekolah/madrasah adalah lembaga mandiri yang terdiri dari unsur orang tua/wali peserta didik, komunitas sekolah, serta tokoh masyarakat yang peduli pendidikan (pasal 1 butir 24 dan 25). Dewan pendidikan berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan, dengan memberikan pertimbangan, arahan, dan dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan pada tingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mempunyai hubungan hirarkis (pasal 56 ayat 2). Sedangkan peningkatan mutu pelayanan di tingkat satuan pendidikan peran-peran tersebut menjadi tanggungjawab komite sekolah/madrasah (pasal 56 ayat 3).

Tantangan Globalisasi Dalam menghadapi tantangan globalisasi yang sedang melanda dunia, maka sebagaimana dijelaskan di muka, harus ada minimal satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan yang dapat dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf internasional, baik oleh pemerintah (pusat) maupun pemerintah daerah (pasal 50 ayat 3). Untuk itu perlu dibentuk suatu badan hukum pendidikan, sehingga semua penyelenggara pendidikan dan/atau satuan pendidikan formal, baik yang didirikan oleh pemerintah maupun masyarakat, harus berbentuk badan hukum pendidikan (pasal 53 ayat 1). Badan hukum pendidikan yang dimaksud akan berfungsi memberikan pelayanan kepada peserta didik (pasal 53 ayat 2). Badan hukum pendidikan yang akan diatur dengan undang-undang tersendiri (pasal 53 ayat 4) itu, harus berprinsip nirlaba dan dapat mengelola dana secara mandiri untuk memajukan satuan pendidikan (pasal 53 ayat 3). Dengan adanya badan hukum pendidikan itu, maka dana dari masyarakat dan bantuan asing dapat diserap dan dikelola secara profesional, transparan dan akuntabilitas publiknya dapat dijamin. Dengan demikian badan hukum pendidikan akan memberikan landasan hukum yang kuat kepada penyelenggaraan pendidikan dan/atau satuan pendidikan nasional yang bertaraf internasional dalam menghadapi persaingan global. Selain itu diperlukan pula lembaga akreditasi dan sertifikasi. Akreditasi dilakukan untuk menentukan kelayakan program dan satuan pendidikan pada jalur pendidikan formal dan non formal pada setiap jenjang dan jenis pendidikan (pasal 60 ayat 1), yang dilakukan oleh pemerintah (pusat) dan/atau lembaga mandiri yang berwenang sebagai bentuk akuntabilitas publik (pasal 60 ayat 2). Akreditasi dilakukan atas kriteria yang bersifat terbuka (pasal 60 ayat 3), sehingga semua pihak, terutama penyelenggara dapat mengetahui posisi satuan pendidikannya secara transparan. Dalam menghadapi globalisasi, maka penyerapan tenaga kerja akan ditentukan oleh kompetensi yang dibuktikan oleh sertifikat kompetensi, yang diberikan oleh penyelenggara satuan pendidikan yang terakreditasi atau lembaga sertifikasi kepada peserta didik dan masyarakat yang dinyatakan lulus setelah mengikuti uji kompetensi tertentu (pasal 61 ayat 3). Dalam mengantisipasi perkembangan global dan kemajuan teknologi komunikasi, maka pendidikan jarak jauh diakomodasikan dalam sisdiknas, sebagai paradigma baru pendidikan. Pendidikan jarak jauh tersebut dapat diselenggarakan pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan, yang berfungsi untuk memberi layanan pendidikan kepada kelompok masyarakat yang tidak dapat mengikuti pendidikan secara tatap muka atau reguler (pasal 31 ayat 1 dan 2). Kesetaraan dan Keseimbangan

Paradigma baru lainnya yang dituangkan dalam UU Sisdiknas yang baru adalah konsep kesetaraan, antara satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah dan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat. Tidak ada lagi istilah satuan pendidikan “plat merah” atau “plat kuning”; semuanya berhak memperoleh dana dari negara dalam suatu sistem yang terpadu. Demikian juga adanya kesetaraan antara satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Pendidikan Nasional dengan satuan pendidikan yang dikelola oleh Departemen Agama yang memiliki ciri khas tertentu. Itulah sebabnya dalam semua jenjang pendidikan disebutkan mengenai nama pendidikan yang diselenggarakan oleh Departemen Agama (madrasah, dst.). Dengan demikian UU Sisdiknas telah menempatkan pendidikan sebagai satu kesatuan yang sistemik (pasal 4 ayat 2). Selain itu UU Sisdiknas yang dijabarkan dari UUD 45, telah memberikan keseimbangan antara peningkatan iman dan takwa serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Hal ini tergambar dalam fungsi dan tujuan pendidikan nasional, yaitu bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan YME, serta berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggungjawab (pasal 3). Dengan demikian UU Sisdiknas yang baru telah memberikan keseimbangan antara iman, ilmu dan amal (shaleh). Hal itu selain tercermin dari fungsi dan tujuan pendidikan nasional, juga dalam penyusunan kurikulum (pasal 36 ayat 3) , dimana peningkatan iman dan takwa, akhlak mulia, kecerdasan, ilmu pengetahuan, teknologi, seni dan sebagainya dipadukan menjadi satu. Jalur Pendidikan Perubahan jalur pendidikan dari 2 jalur : sekolah dan luar sekolah menjadi 3 jalur: formal, nonformal, dan informal – (pasal 13) juga merupakan perubahan mendasar dalam Sisdiknas. Dalam Sisdiknas yang lama pendidikan informal (keluarga) tersebut sebenarnya juga telah diberlakukan, namun termasuk dalam jalur pendidikan luar sekolah, dan ketentuan penyelenggaraannyapun tidak konkrit. Jalur formal terdiri dari pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi (pasal 14), dengan jenis pendidikan: umum, kejuruan, akademik, profesi, vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Pendidikan formal dapat diwujudkan dalam bentuk satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah (pusat), pemerintah daerah dan masyarakat (pasal 16).

Pendidikan dasar yang merupakan jenjang pendidikan yang melandasi jenjang pendidikan menengah berbentuk sekolah dasar (SD) dan madrasah ibtidaiyah (MI) atau bentuk lain yang sederajat, serta sekolah menengah pertama (SMP) dan madrasah tsanawiyah (Mts) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 17 ayat 1 dan 2). Dengan demikian istilah SLTP harus berganti kembali menjadi SMP. Sebelum memasuki jenjang pendidikan dasar, bagi anak usia 0-6 tahun diselenggarakan pendidikan anak usia dini, tetapi bukan merupakan prasyarat untuk mengikuti pendidikan dasar (pasal 28 dan penjelasannya). Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur formal (TK, raudatul athfal, dan bentuk lain yang sejenis), nonformal (kelompok bermain, taman/panti penitipan anak) dan/atau informal (pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan). Pendidikan menengah yang merupakan kelanjutan pendidikan dasar terdiri atas pendidikan umum dan pendidikan kejuruan, serta berbentuk sekolah menengah atas (SMA) , madrasah aliyah (MA), sekolah menengah kejuruan (SMK), dan madrasah aliyah kejuruan (MAK) atau bentuk lain yang sederajad (pasal 18). Sebagaimana istilah SLTP, maka sebutan SLTA berganti lagi menjadi SMA. Pendidikan tinggi yang merupakan jenjang pendidikan setelah pendidikan menengah, mencakup program pendidikan diploma, sarjana, magister, dan doktor, yang diselenggarakan dengan sistem terbuka (pasal 19 ayat 1-3). Perguruan tinggi dapat berbentuk akademi, politeknik, sekolah tinggi, institut atau universitas, yang berkewajiban menyelenggarakan pendidikan, penelitian dan pengabdian pada masyarakat, dan dapat menyelenggarakan program akademik, profesi dan/atau vokasi (pasal 20 ayat 1- 3). Perguruan tinggi juga dapat memberikan gelar akademik, profesi atau vokasi sesuai dengan program pendidikan yang diselenggarakan (pasal 21 ayat 1). Bagi perguruan tinggi yang memiliki program doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasa yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, kemasyarakatan, keagamaan, kebudayaan, atau seni (pasal 22). Selain itu masalah yang cukup aktual dan meresahkan masyarakat, seperti pemberian gelar-gelar instan, pembuatan skripsi atau tesis palsu, ijazah palsu dan lain-lain, telah diatur dan diancam sebagai tindak pidana dengan sanksi yang juga telah ditetapkan dalam UU Sisdiknas yang baru (Bab XX Ketentuan Pidana, pasal 67-71). Pendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masyarakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsi sebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat, dan berfungsi mengembangkan potensi

peserta didik dengan penekanan pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta pengembangan sikap dan kepribadian profesional (pasal 26 ayat 1 dan 2). Pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup, pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pendidikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksaraan, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidikan kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untuk mengembangkan kemampuan peserta didik (pasal 26 ayat 3). Satuan pendidikan nonformal meliputi lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar masyarakat (PKBM), dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setara dengan hasil program pendidikan formal setelah melalui proses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjuk oleh pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah dengan mengacu pada standard nasional pendidikan (pasal 26 ayat 6). Sedangkan pendidikan informal adalah kegiatan pendidikan yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri, yang hasilnya diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan (pasal 27). C. Potret Pendidikan pada Era Reformasi UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) telah berusia lima tahun. Di tengah hiruk-pikuk pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) di berbagai penjuru nusantara, tidak banyak kalangan yang mengingatkan publik bahwa UU Sisdiknas telah berusia lima tahun. Padahal, lebih dari lima tahun lalu, proses pembahasan (rancangan) UU itu sempat diwarnai perdebatan cukup sengit dan menguras emosi massa. Di tengah polemik dan kontroversi, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) -minus Fraksi PDIP- akhirnya menyetujui (rancangan) UU ini pada 11 Juni 2003. Tidak sampai sebulan kemudian, Presiden Megawati pun menandatanganinya pada 8 Juli 2003. Ironisnya, perdebatan sengit yang mewarnai pembahasan UU tersebut tidak sebanding dengan kesadaran masyarakat untuk mengontrol implementasinya. Akibatnya, tidak jarang implementasi UU Sisdiknas justru melenceng jauh dari semangat reformasi pendidikan nasional. Kini, setelah lima tahun usia UU Sisdiknas, pemerintah ternyata baru berhasil menambahkan pengesahan satu UU dan tiga PP lagi. Yaitu, UU No 14/2005 tentang Guru dan Dosen (30 Desember 2005), PP No 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan (5 Oktober 2007), PP No 47/2008 tentang Wajib Belajar dan PP No 48/2008 tentang Pendanaan Pendidikan (4 Juli 2008).

Kelemahan paling menonjol dari implementasi UU Sisdiknas adalah kelambanan pemerintah menyiapkan peraturan pelaksanaannya. Dalam catatan JPIP, pada pertengahan Juli 2003, pemerintah melalui A. Malik Fadjar yang waktu itu menjabat Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) menyatakan telah menyiapkan 13 rancangan peraturan pemerintah (RPP) turunan UU Sidiknas. Ke-13 RPP tersebut merupakan rangkuman dari 37 pasal UU Sidiknas yang harus dijabarkan ke dalam peraturan pemerintah (PP). Malik menambahkan, tujuh di antara 13 RPP tersebut terkait pendidikan dasar dan menengah. Waktu itu Malik juga menjanjikan hasil penyusunan PP tersebut diumumkan kepada masyarakat pada semester kedua 2004. Faktanya, hingga dua tahun pasca berlakunya UU Sisdiknas, pemerintah baru menerbitkan satu PP. Yaitu, PP No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP). Ironisnya, sejarah juga mencatat bahwa PP “kejar tayang” itu pun terbit setelah DPR mengancam akan membatalkan kebijakan ujian nasional jika tidak ada payung hukum dalam bentuk PP. Padahal, pasal 75 UU Sisdiknas mengamanatkan dengan tegas, semua peraturan perundang-undangan yang diperlukan untuk melaksanakan UU ini harus diselesaikan paling lambat dua tahun terhitung sejak berlakunya UU ini (baca: sejak 8 Juli 2003). Keprihatinan akan semakin terasa tatkala kita membandingkan UU Sisdiknas dengan UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional (SKN). Pasalnya, hanya dalam tempo 15 bulan setelah terbitnya UU SKN (23 September 2005), pemerintah telah menerbitkan tiga PP sekaligus. Yaitu, PP No 16/2007 tentang Penyelenggaraan Keolahragaan, PP No 17/2007 tentang Penyelenggaraan Pekan dan Kejuaraan Olahraga, dan PP No 18/2007 tentang Pendanaan Keolahragaan (5 Februari 2007). Di sisi lain, Mendiknas justru sangat produktif menerbitkan peraturan menteri (permen) turunan PP SNP yang mengatur “hal-hal parsial”. Misalnya, Permendiknas No 12/2007 tentang Standar Pengawas Sekolah/Madrasah, Permendiknas No 13/2007 tentang Standar Kepala Sekolah/Madrasah, atau Permendiknas No 14/2007 tentang Standar Isi untuk Program Paket A, B, dan C. Atau, Permendiknas No 27/2007 tentang Penetapan Buku Teks Pelajaran yang Memenuhi Syarat Kelayakan untuk Digunakan dalam Proses Pembelajaran. Permendiknas No 27/2007 bahkan tidak hanya menyebut spesifikasi buku, tapi juga nama dan alamat penerbit. Mendiknas banyak mengurusi persoalan seperti itu, sehingga pada saat mandat besar menyiapkan PP turunan Sisdiknas pun terbengkalai. Merujuk pernyataan

Malik Fadjar, berarti pemerintah kini masih punya tanggungan sembilan PP yang belum diterbitkan. Era reformasi melahirkan keterkejutan budaya, bagaikan orang yang terkurung dalam penjara selama puluhan tahun kemudian melihat tembok penjara runttuh. Mereka semua keluar mendapati pemandangan yang sangat berbeda, kebebasan dan keterbukaan yang nyaris tak terbatas. Suasana psikologis eforia itu membuat masyarakat tidak bisa berfikir jernih, menuntut hak tapi lupa kewajiban, mengkritik tetapi tidak mampu menawarkan solusi. Masyarakat pendidikan tersadar bahwa SDM produk dari sistem pendidikan nasional kita tidak bisa bersaing dalam persaingan global sehingga kita hanya mampu mengekspor tenaga kerja PRT, sebaliknya tenaga skill pun di dalam negeri harus bersaing dengan tenaga skill dari luar. Problemnya, output pendidikan yang bermutu itu baru dapat dinikmati 20-25 tahun kemudian. SDM kita yag tidak kompetetif hari ini adalah juga produkdari sistem pendidikan sejak 20-30 tahun yang lalu. Untuk mengubah sistem pendidikan secara radikal juga punya problem, yaitu tenaga guru yang kita miliki adalah produk dari sistem pendidikan yang tidak tidak tepat. Dalam konsep IKIP guru adalah instrument pendidikan, bukan tokoh yang bisa mentransfer kebudayaan kepada anak didiknya. Lingkaran setan inilah yang sulit diputus. Dibutuhkan keputusan politik dan kemauan politik yang sungguh-sungguh untuk mengubah sistem pendidikan di Indonesia menjadi pembangun budaya bangsa. Sayang ahli-ahli pendidikan kita lebih berorientasi kepada teksbook dibanding melakukan ujicoba sistem di lapangan. Guru-guru SD tetap saja hanya tenaga pengajar, bukan guru yang digugu dan ditiru seperti dalam filsafat pendidikan nasional kita sejak dulu. Mestinya Doktor dan Profesor bidang pendidikan tetap mengajar di SD-SLP sehingga mampu melahirkan sistem pendidikan berbasis budaya, menemukan realita-realita yang bisa dikembangkan menjadi teori, bukan kemudian berkumpul di birokrasi untuk kemudian mengatur pendidikan dari balik meja berpedoman kepada teori-teori Barat. Selagi pendidikan di SD dilaksanakan oleh tukang pengajar, maka sulit mengembangkan mereka pada jenjang pendidikan berikutnya. Pendidikan bermutu memang mahal, tetapi kenaikan anggaran pendidikan di APBN menjadi 20 % pun tidak banyak membantu jika kreatifitas Depdiknas, hanya pada proyek-proyek pendidikan bukan pada pengembangan pendidikan. Swasta mempunyai peluang untuk melakukan inovasi pendidikan tanpa terikat aturan birokrasi, tetapi menjadi sangat menyedihkan ketika dijumpai banyak lembaga pendidikan swasta yang orientasinya pada bisnis pendidikan.

Sekolah international diperlukan sebagai respon terhadap globalisasi, tetapi pembukaan sekolah international oleh asing sangat riskan dari segi budaya bangsa karena filsafat pendidikannya berbeda. Saat ini fokus kerja Pemerintah masih bertumpu pada sektor pendidikan formal. Untuk kinerja itupun Pemerintah Indonesia oleh UNDP (United Nations Development Programs) – dalam “Human Development Report 2006” untuk kualitas pembangunan manusia– diganjar peringkat 108 dari 177 negara di dunia. Potret UNDP itu sebangun dengan data BPS (Biro Pusat Statistik) tahun 2005 tentang angka pengangguran menurut pendidikan dan wilayah desa-kota: persentase pengangguran tamatan SMA ke atas lebih besar dibanding tamatan SMP ke bawah. Artinya, sistem Pendidikan Nasional belum berhasil mengantarkan anak bangsa untuk survive mandiri dan terampil berwirausaha untuk kelangsungan hidupnya sendiri. Untuk mempercepat dan memperluas budaya belajar sebaiknya anggaran pendidikan negara bukan hanya diperuntukkan bagi sekolah formal, tetapi juga untuk sekolah informal dan sekolah non formal. Pada satu titik nanti pasar tenaga kerja tidak lagi melihat ijazah sekolah formal tetapi melihat skill tenaga kerja, dan ini bisa dikermbangkan di sekolah informal dan non formal. Pada satu titik nanti, gelar-gelar akademik juga tidak lagi relefan. Sekolah adalah tempat menumbuhkansuburkan nilai-nilai luhur dalam diri anak bangsa yang menjadi peserta didik. Tentu saja aspek moral tidak boleh dilupakan. Tawuran dan perilaku asusila sebagian oknum pelajar/mahasiswa adalah cermin belum terimplementasikannya amanat UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional tentang nilai-nilai agama. Kegiatan sekolah lebih besar porsinya untuk pengajaran. Padahal pengajaran tanpa bingkai pendidikan moral hanya menciptakan orang pintar yang kehilangan arah dari hakikat kemuliaan eksistensinya sebagai makhluk mulia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Tahun 2003, pasal 17 menyiratkan bahwa Madrasah Ibtidaiyah (MI) merupakan jenjang pendidikan yang setara dengan sekolah dasar (SD), madrasah Tsanawiyah (MTs) setara dengan sekolah menengah pertama (SMP). Pasal 18 mengungkapkan bahwa madrasah aliyah (MA) setara dengan sekolah menengah atas (SMA) serta madrasah aliyah kejuruan (MAK) setara dengan sekolah menengah kejuruan (SMK). Namun legal formal kesetaraan belum mampu mengangkat kualitas pendidikan sains madrasah untuk menyejajarakan diri dengan sekolah umum. Permasalahan yang ada sebetulnya adalah masalah klise, seperti sarana dan prasarana, guru, dan kurikulum. Kenyataan, banyak murid

madrasah belajar di bawah ancaman runtuhnya bangunan. Banyak madrasah tidak memiliki sarana dan prasarana yang memenuhi standar minimal. Masalah klise lain adalah pendidik. Minimnya tenaga pendidik, tidak memiliki kualifikasi edukasi, dan salah kamar (mismatch) dari pendidik, paling banyak ditemui di madrasah. Kurikulum madrasah sebagai hasil adopsi dari kurikulum sekolah umum, terlalu padat dan berat, karena sarat dengan muatan kognitif. Selain itu juga, kurikulum tidak mengembangkan potensi anak secara maksimal. Dalam keadaan kurikulum sulit "dicerna" anak, pembebanan makin bertambah dengan muatan lokal madrasah yang juga membutuhkan kemampuan pemahaman yang baik. Kenyataan-kenyataan yang menjadi faktor penghambat dalam meningkatkan kualitas madrasah harus segera ditata ulang. Harus ada usaha dan keinginan yang kuat untuk merevitalisasi madrasah, sehingga tidak ada kesan seolah madrasah menjadi sekolah kelas dua. Dewasa ini hampir setiap individu telah menempatkan materi dan kekuasan menjadi tujuan hidup. Suatu fakta yang sulit ditepis, bahwa dengan kekayaan materi dan atau kekuasaan, membuat orang menjadi terhormat. Untuk memberikan perlawanan terhadap hal ini, dibutuhkan pendidikan yang memberikan keseimbangan dalam mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan spiritual. Prof. Dr. Mastuhu, M. Ed., dalam bukunya Menata Ulang Pemikiran Sistem Pendidikan Nasional Abad 21 mengatakan bahwa pendidikan nasional yang dibutuhkan dalam abad mendatang adalah sistem pendidikan yang tidak hanya mampu mengembangkan kecerdasan akal semata, tetapi juga mampu mengembangkan kecerdasan emosi, spiritual, dan agama sekaligus sebagai satu kesatuan utuh. Model pendidikan yang sesuai dengan harapan itu adalah madrasah. Madrasah telah memiliki landasan dalam mengembangkan potensi manusia secara utuh di mana pendidikan yang mengembangkan kecerdasan akal dan kecerdasan ilmu agama yang di dalamnya sudah tercakup kecerdasan emosi dan moral sudah diterapkan. Pendidikan yang bernuansa Islam yang semakin kondusif berhasil diadopsi oleh sekolah-sekolah swasta Islam. Sekolah-sekolah itu telah menyinergikan secara apik antara pendididikan sains dan pendidikan agama. Kecermatan pengelolaan telah membuahkan output yang mampu bersaing, sehingga mendapat tempat di masyarakat. Model pendidikan Madrasah jika dianalisis (SWOT) memiliki :

Strength (Kekuatan) : > 80 % Swasta, percaya dan hormat pada Kiai/Ulama dan percaya bahwa Kiai atau Guru

mengajarkan sesuatu yang benar, panggilan Agama,

Murah dan Merakyat. Weakness

(Kelemahan)

:

Lemah

dan

tidak

Profesional

hampir

disemua

komponennya, STRESS:Terombang-ambing antara “Jati Diri”dan “Ikut Model Sekolah Umum”. antaraikut “DIKNAS dan DEPAG”, belum ada sistem yang mantap dalam

pengembangan model “Pendidikan Agama” dan “Pendidikan

Keagamaan”. Opportunity (Peluang) : UU No.20 Th 2003 memberi kesempatan atau momentum pengembangan madrasah (Pendidikan Agama dan Keagamaan), Lembaga Pendidikan Tinggi berkesempatan membuat RPP untuk UU no. 20 Th 2003, dan menawarkan konsep pemberdayaan madrasah secara sistemik dan menyeluruh atau utuh. Threatment (Ancaman): Madrasah akan kehilangan jati dirinya, kalau demikian halnya Madrasah akan

selalu menjadi “Warga Kelas Dua” dan tercabut dari akar

budaya komunitas muslimnya. Menata ulang sistem pendidikan madrasah akan lebih efisien dibandingkan dengan menggabungkan diri ke sekolah umum. Semoga madrasah menjadi sekolah unggulan pada masa yang akan datang. Karena itu, seluruh komponen bangsa harus bersatu-padu dan meningkatkan komitmen untuk merumuskan dan merealisasikan kebijakan peningkatan mutu pendidikan. Sebab, pembangunan dan penyelenggaraan Pendidikan Nasional yang benar dan efektif merupakan amanat konstitusi sekaligus tuntutan zaman yang tak bisa dielakan. Tanpa itu, bangsa besar ini akan masuk dalam daftar sejarah sebagai bangsa yang kalah dan musnah. D. Evaluasi Sistem Pendidikan Nasional Jika kita sering mendengar sesama kita memperolok-olok manusia Indonesia, sesungguhnya kualitas manusia ditentukan oleh dua hal: 1. Faktor hereditas, faktor keturunan.

Manusia Indonesia dewasa ini adalah keturunan langsung manusia Indonesia generasi 45 dan cucu dari generasi 1928, cicit dari generasi 1912. Menurut bapak sosiologi Ibnu Khaldun, jatuh bangunnya suatu bangsa ditandai oleh lahirnya tiga generasi. Pertama generasi Pendobrak, kedua generasi Pembangun dan ketiga generasi penikmat. Jika pada

bangsa itu sudah banyak kelompok generasi penikmat, yakni generasi yang hanya asyik menikmati hasil pembangunan tanpa berfikir harus membangun, maka itu satu tanda bahwa bangsa itu akan mengalami kemunduran. Proses datang perginya tiga generasi itu menurut Ibnu Khaldun berlangsung dalam kurun satu abad. Yang menyedihkan pada bangsa kita dewasa ini ialah bahwa baru setengah abad lebih, ketika generasi pendobrak masih ada satu dua yang hidup, ketika generasi pembangun masih belum selesai bongkar pasang dalam membangun, sudah muncul sangat banyak generasi penikmat, dan mereka bukan hanya kelompok yang kurang terpelajar, tetapi justru kebanyakan dari kelompok yang terpelajar. 2. Faktor pendidikan. Pendidikanlah yang bisa membangun jiwa bangsa Indonesia. Sekurang-kurangnya ada sembilan point kekeliruan pendidikan nasional kita selama ini, meliputi: [1] Pengelolaan pendidikan di masa lampau terlalu berlebihan penekanannya pada aspek kognitip, mengabaikan dimensi-dimensi lainnya sehingga buahnya melahirkan generasi yang mengidap split personality, kepribadian yang pecah. [2] Pendidikan terlalu sentralistik sehingga melahirkan generasi yang hanya bisa memandang Jakarta (ibu kota) sebagai satu-satunya tumpuan harapan tanpa mampu melihat peluang dan potensi besar yang tersedia di daerah masing-masing. [3] Pendidikan gagal meletakkan sendi-sendi dasar pembangunan masyarakat yang berdisiplin. [4] Gagal melahirkan lulusan (SDM) yang siap berkompetisi di dunia global [5] Pengelolaan pendidikan selama ini mengabaikan demokratisasi dan hak-hak azasi manusia. Sebagai contoh, pada masa orde Baru, Guru negeri di sekolah lingkungan Dikbud mencapai 1 guru untuk 14 siswa, tetapi di madrasah (Depag) hanya 1 guru negeri untuk 2000 siswa. Anggaran pendidikan dari Pemerintah misalnya di SMU negeri mencapai Rp.400.000,-/siswa/tahun, sementara untuk Madrasah Aliah hanya Rp.4.000,-/anak/tahun.

[6] Pemberdayaan masyarakat dalam pengembangan pendidikan dan SDM dikalahkan oleh uniformitas yang sangat sentralistik. Kreatifitas masyarakat dalam pengembangan pendidikan menjadi tidak tumbuh. [7] Sentralisasi pendidikan nasional mengakibatkan tumpulnya gagasan-gagasan otonomi daerah. [8] Pendidikan nasional kurang menghargai kemajemukan budaya, bertentangan dengan semangat bhinneka Tunggal Ika. [9] Muatan indoktrinasi nasionalisme dan patriotisme yang dipaksakan –yakni melalui P4 dan PMP, terlalu kering sehingga kontraproduktif. Sembilan kesalahan dalam pengelolaan pendidikan nasional ini sekarang telah mengakibatkan: •

Generasi muda yang tidak memiliki kemampuan imajinasi idealistik.



Angkatan kerja yang tidak bisa berkompetisi dalam lapangan kerja pasar global.



Birokrasi yang lamban, korup dan tidak kreatif.



Pelaku ekonomi yang tidak siap bermain fair



Masyarakat luas yang mudah bertindak anarkis



Sumberdaya alam (terutama hutan) yang rusak parah



Cendekiawan yang hipokrit,



Hutang Luar Negeri yang tak tertanggungkan



Merajalelanya tokoh-tokoh pemimpin yang rendah moralnya.



Pemimpin-pemimpin daerah yang kurang bijak dalam peggunaan dana daerah.

E. Agenda Reformasi Sistem Pendidikan Nasional 1. Melakukan pembangunan Sistem Pendidikan Nasional yang konprehensif, integratif, dan aplikatif. Makna konprehensif adalah menjamin perbaikan yang berkelanjutan, integratif tak memisahkan aspek moral dan nilai-nilai luhur dari pembelajaran dan pengajaran, dan aplikatif menunjuk pada mutu dan meningkatnya daya saing bangsa. 2. Meningkatkan wajib belajar dari Sembilan tahun menjadi dua belas tahun. 3. Meningkatkan kopetensi, kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan terhadap profesi guru tanpa membeda-bedakan status kepegawaian, PNS atau swasta.

4.

Mengawal realisasi anggaran pendidikan yang besarnya 20% dari total APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) sebagaimana amanah Pasal 31 ayat 4 Amandemen IV UUD 1945.

5.

Melakukan monitoring dan evaluasi sistematis terhadap berbagai aspek konsep dan operasional Sistem Pendidikan Nasional di semua jenis, jenjang, dan jalur pendidikan.

6.

Memastikan terlaksananya proses pendidikan yang menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, kewirausahaan, dan meningkatkan keterampilan hidup dan daya juang kepada anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik.

7. Menerapkan desentralisasi penyelenggaraan pendidikan dan meningkatkan partisipasi masyarakat baik dalam penyelenggaraan pendidikan formal, nonformal, dan informal. 8. Meningkatkan kualitas pengelolaan manajemen sekolah dan metode pembelajaran serta menjadikan sekolah tidak lagi sebagai menara gading yang steril dari analisis kebutuhan lingkungan sekitarnya. Sekolah bukan hanya tempat penyelenggaraan pendidikan, tapi juga bisa menjadi pusat latihan, seminar, workshop, dan studi banding. Sekolah adalah pusat belajar masyarakat di wilayahnya berada. 9. Terselenggaranya pendidikan yang murah, bermutu, dan berwawasan global yang memiliki daya saing nasional di percaturan global. 10. Memberi perhatian serius pada pendidikan khusus bagi anak bangsa yang disebabkan oleh cacat atau kecerdasan luar biasa peserta didik. 11. Menjadikan sekolah sebagai tempat kaderisasi kepemimpinan nasional dan memasukkan program wajib militer untuk menumbuhkan rasa nasionalisme. 12. Menumbuhkan kepedulian masyarakat terhadap pendidikan. Kesadaran masyarakat untuk ambil bagian dalam pendidikan adalah bentuk dari ketahanan sosial atas perubahan tantangan lingkungan yang terjadi. Pendidikan tidak lagi menjadi tanggung jawab orang tua secara individu per individu, tetapi itu tanggung jawab komunitas secara bersama. 13. Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk meningkatkan mutu pendidikan. Itulah tiga belas agenda reformasi Pendidikan yang urgen dilaksanakan untuk mewujudkan kesejahteraan dan ketinggian martabat bangsa yang kita harapkan. Pelaksanaan proses pendidikan harus efektif untuk menanamkan jiwa kebebasan, kemandirian, dan kewirausahaan. Dengan begitu anak-anak bangsa yang menjadi peserta didik bisa eksis dalam persaingan di masa datang berbekal keterampilan hidup (life skill) dan daya

juang (adversity quotient) yang mumpuni. Kurikulum diarahkan untuk memberi pengalaman belajar yang seimbang yang meliputi aspek intektual (IQ), emosional (EQ), dan spiritual (SQ). Dan titik tekannya adalah membentuk karakter pembelajar agar anak bangsa yang menjadi peserta didik memiliki keinginan untuk belajar di sepanjang hayatnya. Tipe bangsa pembelajarlah yang bisa survive menghadapi persaingan global yang rivalitasnya bukan lagi di tataran negara vs negara atau kota vs kota. Tetapi, sudah di level individu vs individu.

BAB III KESIMPULAN Upaya memperbaiki Pendidikan Nasional tidak hanya menyangkut masalah fisik dan dana saja. Tapi, harus lebih mendasar dan strategis. Sistem Pendidikan Nasional perlu direformasi dengan memadukan wahyu Tuhan dan ilmu pengetahuan sebagai arena utama aktivitas pendidikan. Sekolah bukan hanya menjadi tempat pembekalan pengetahuan kepada anak bangsa, tapi juga lembaga penanaman nilai dan pembentuk sikap dan karakter. Anak-anak bangsa dikembangkan bakatnya, dilatih kemampuan dan keterampilannya. Sekolah tempat menumbuhkembangkan potensi akal, jasmani, dan rohani secara maksimal, seimbang, dan sesuai tuntutan zaman. Output keseluruhan proses pendidikan adalah menyiapkan peserta didik untuk bisa merealisasikan fungsi penciptaannya sebagai hamba Tuhan dan kemampuan mengemban amanah mengelola bumi untuk dihuni secara aman, nyaman, damai, dan sejahtera.

DAFTAR PUSTAKA http:///erik12127.wordpress.com. PARADIGMA BARU PENDIDIKAN NASIONAL DALAM UNDANG-UNDANG SISDIKNAS NO 20 TAHUN 2003. http:///fkip-unpas.com Latar Belakang Terbitnya UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional http:///imamsamroni.wordpress.com[2008/12/01] . Bedah buku msi uii : Menata Ulang Pemikiran Sisdiknas Abad XXI. http:///pnfi.depdiknas.go.id/test/uu_20_2003.pdf UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2003 TENTANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL. http:///sanaky.com . [ 29 Juli 2005] MENATA ULANG PEMIKIRAN SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL DALAM ABAD 21 http://www.mirifica.net. MENYONGSONG HADIRNYA UNDANG-UNDANG SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL 2003. www.unindra.ac.id [5Maret 2008]. Problem Pendidikan di Era Reformasi

LAMPIRAN

Related Documents