Referat_ikterus_pbun.docx

  • Uploaded by: satriyandi
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat_ikterus_pbun.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,496
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN I. Latar Belakang Ikterus adalah perubahan warna dari sklera, membran mukosa dan kulit menjadi kuning diakibatkan akumulasi bilirubin di dalam jaringan atau cairan interstitial. Ikterus terjadi apabila kadar bilirubin dalam serum meningkat menjadi 2 - 3 mg / dl. Ikterus merupakan gejala dari berbagai macam kelainan, mulai dari penyakit hepar dan traktus biliaris yang membahayakan jiwa maupun gangguan transport bilirubin yang ringan. Kebanyakan, ikterus menunjukkan adanya kolestasis. Kolestasis adalah gangguan ekskresi oleh hepar atau gangguan aliran empedu. Keadaan tersebut dapat disebabkan oleh penyakit hepatoseluler ataupun obstruksi traktus biliaris. Manifestasi laboratoris berupa peningkatan serum alkaline phosphatase dan akumulasi substansi - substansi didalam aliran darah, seperti bilirubin, asam empedu dan kolesterol, yang normalnya disekresikan ke traktus biliaris. Disini, ikterus terjadi akibat hiperbilirubinemia terkonjugasi. Sebagian kecil, ikterus disebabkan oleh produksi bilirubin yang berlebihan, gangguan pengambilan bilirubin oleh sel hati, gangguan konjugasi bilirubin. Keadaan ini dapat disebabkan oleh anemia hemolitik, resorbsi darah dari perdarahan yang luas, obat - obatan, eritropoisis yang tidak efektif, ikterus neonatorum

(ikterus

fisiologis),

juga

beberapa

kelainan

herediter

dari

metabolisme bilirubin seperti sindroma GiIbert, sindroma Crigler-Najjar tipe 1 dan tipe 2. Disini ikterus terjadi akibat hiperbilirubinemia tak terkonjugasi. Terdapat pcrbedaan sifat antara bilirubin tak terkonjugasi dan bilirubin terkonjugasi. Hal ini penting dalam diagnosa klinis. Bilirubin tak terkonjugasi larut dalam lemak. toksik. tidak larut dalam air dan terikat erat dengan albumin, sehingga tidak dapat diekskresi melalui urine walaupun kadar dalam darah tinggi. Sebaliknya, bilirubin terkonj ugasi larut dalam air, non toksik dan berikatan lemah dengan albumin, sehingga bilirubin jenis ini dapat diekskresi melalui urine.

1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI Ikterus adalah perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah (Sulaiman, 2014). Kata ikterus (jaundice) berasal dari kata Perancis jaune yang berarti kuning. Ikterus sebaiknya diperiksa dibawah cahaya terang siang hari, dengan melihat sklera mata. Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sclera mata dan jika ini terjadi konsentrasi bilirubin sekitar 2-3 mg/dL. Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata maka bilirubin mungkin sebenarnya sudah mencapai angka 7mg/dL (Sulaiman, 2014). II. PATOFISIOLOGI Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung dalam 3 fase; prehepatik, intrahepatik, dan pascahepatik masih relevan, walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin. Pembagian yang baru menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu: (Sulaiman, 2014). 1. Pembentukan bilirubin 2. Transport plasma 3. Liver uptake 4. Konjugasi 5. Ekskresi bilier Fase Prahepatik 1. Pembentukan bilirubin Sekitar 250-300mg bilirubin atau sekitar 4 mg/kgBB terbentuk setiap harinya; 70-80% berasal dari pemecahan sel

2

darah merah yang matang, sedangkan sisanya 20-30% berasal dari protein hem lainnya yang terutama berada di dalam sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein hem dipecah menjadi besi dan produk antara biliverdin dengan perantara enzim hemeoksigenase. Enzim lain, biliverdin reduktase, mengubah biliverdin menjadi bilirubin. Tahapan ini terutama terjadi

dalam

sistem

retikuloendotelial

(mononuklir

fagositosis). Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan penyebab

utama

peningkatan

pembentukan

bilirubin

(Sulaiman, 2014). 2. Transport plasma Bilirubin

tidak

larut

air,

karenanya

bilirubin

tak

terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis dan beberapa bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan albumin (Sulaiman, 2014). Fase Intrahepatik 1. Liver Uptake Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin (Sulaiman, 2014). 2. Konjugasi Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami konjugasi dengan asam glukoronidase membentuk bilirubin diglukoronida atau bilirubin konjugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi oleh enzim microsomal glukoroniltransferase menghasilkan bilirubin yang larut air. Dalam beberapan keadaan reaksi ini hanya menghasilkan

3

bilirubin monoglukoronida, dengan bagian asam glukoronik kedua ditambahkan dalam saluran empedu melalui system enzim yang berbeda, namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik (Sulaiman, 2014).

Fase Pascahepatik 1. Ekskresi Bilirubin Bilirubin terkonjugasi dikeluarkan ke dalam kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi proses yang kompleks ini. Dalam usus, flora bakteri mendekonjugasi dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagaian besar ke dalam tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan bilirubin diglukoronida tetapi tidak bilirubin unkonjugasi. Hal ini menerangkan warna air seni gelap yang khas pada gangguan hepatoseluler atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak, karenanya dapat melewati barrier darahotak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonjugasi mengalai proses konjugasi dengan gula melalui enzim glukoroniltranseferase dan larut dalam empedu cair (Sulaiman, 2014).

III. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus adalah mengenali (1) apakah hiperbilirubinemia dominan tidak terkonjugasi atau terkonjugasi dan (2) adakah tes biokimiawi hati yang abnormal (Pratt & Kaplan, 2017) 1. Isolated elevation of the bilirubin

4

a. Unconjugated hyperbilirubinemia Penyakit hemolitik yang mengakibatkan penbentukan hem yang berlebihan dapat merupakan kelainan didapat maupun keturunan. Penyakit hemolitik yang diturunkan contohnya sferositosis, talasemia, anemia sel sabit, dan defisiensi G6PD. Walaupun

hati

yang

normal

dapat

memetabolisme

kelebihan bilirubin, namun peningkatan konsentrasi bilirubin pada keadaan hemolisis dapat melampaui kemampuannya. Pada keadaan hemolisis yang berat konsentrasi bilirubin jarang lebih dari 3-5 mg/dL, kecuali jika diikuti kerusakan hati. Namun demikian kombinasi hemolisis yang sedang dan penyakit hati yang ringan dapat mengakibatkan keadaan ikterus yang lebih berat; dalam keadaan ini hiperbilirubinemia bercampur, karena ekskresi empedu kanalikular terganggu (Pratt & Kaplan, 2017). Penyakit hemolitik

hemolitik

yang

mikroangiopati

didapat

termasuk

(hemolytic-uremic

anemia

syndrome),

paroxysmal nocturnal hemoglobinuria, spur cell anemia, dan hemolysis imun dan infeksi parasit yaitu malaria dan babesiosis. Eritropoesis yang tidak efektif terjadi pada defisiensi kobalamin, folat, dan besi (Pratt & Kaplan, 2017). Dalam keadaan tidak adanya hemolisis, harus dipikirkan adanya masalah pada ambilan atau konjugasi bilirubin. Beberapa obat seperti rifarmpisin dan probenesid dapat menyebabkan hiperbilirubinemia tak terkonjugasi dengan berkurangnya ambilan bilirubin oleh hepar (Pratt & Kaplan, 2017). Gangguan pada konjugasi bilirubin terjadi pada 3 kondisi genetik: (1) Crigler-Najjar Syndrome types I (2) Crigler-Najjar Syndrome types II (3) Gilbert’s Syndrome. Crigler-Najjar Syndrome types I adalah kondisi yang jarang dan biasanya didapatkan pada neonatus dengan karakteristik icterus yang

5

parah (>20 mg/dL) dan terjadi kelainan neurologis akibat kernicterus. Penyakit ini disebabkan karena tidak adanya uridine diphosphate-glucuronosyl transferase (UDPGT) yang berfungsi mengkatalis konjugasi asam glukoronik menjadi bilirubin. Crigler-Najjar Syndrome types II lebi sering terjadi daripada tipe I, pasien dapat hidup hingga dewasa dengan bilirubin 25mg/dL. Pada pasien ini aktivitas UDGPT berkurang bukan tidak ada aktivitas sama sekali. Pada Gilbert’s Syndrome gangguan yang bermakna adalah hiperbilirubinemia indirek (tak terkonjugasi), yang menjadi penting secara klinis karena keadaan ini sering disalahartikan sebagai penyakit hepatitis kronik. Penyakit ini menetap, sepanjang hidup, dan mengenai sejumlah 3-5% penduduk, serta ditemukan pada kelompok umur dewasa muda dengan keluhan tidak spesifik secara tidak sengaja. Beberapa anggota keluarga sering terkena tetapi bentuk genetik yang pasti belum dapat ditentukan. Adanya gangguan yang kompleks dalam proses pengambilan bilirubin dari plasma yang berfluktuasi antara 2-5 mg/dL yang cenderung naik dengan berpuasa dan keadaan stress lainnya. Keaktifan enzim glukonil transferase rendah; karena mungkin didapatkan hubungannya dengan sindrom Crigler-Najjar tipe II. Banyak pasien juga mempunyai masa hidup sel darah merah yang berkurang, namun demikian tidak cukup menjelaskan keadaan hiperbilirubinemia. Sindrom ini dapat dengan mudah dibedakan dengan hepatitis dengan tes faal hati yang normal, tidak terdapatnya empedu dalam urin, dan fraksi bilirubin indirek yang dominan (Pratt & Kaplan, 2017) b. Conjugated hyperbilitubinemia Sindrom Dubin-Johnson adalah penyakit autosom resesif ditandai dengan ikterus yang ringan dan tanpa keluhan. Kerusakan dasar terjadinya pada mutasi gen multiple drug resistance protein 2 pada pasien ini terjadi gangguan ekskresi

6

berbagai anion organik seperti juga bilirubin, namun ekskresi garam empedu tidak terganggu. Berbeda dengan Sindrom Gilbert, hiperbilirubinemia yang terjadi adalah bilirubin konjugasi dan empedu terdapat dalam urin. Hati mengandung pigmen sebagai akibat bahan seperti melanin, namun gambaran histologi normal. Penyebab deposisi pigmen belum diketahui. Nilai aminotransferase dan fosfatase alkali normal. Oleh karena sebab yang belum jelas, gangguan ekskresi korpoforpirin urin dengan rasio reversal isomer I dan III menyertai gangguan ini. Rotor’s Syndrome terjadi gangguan pada penyimpanan bilirubin di hati (Pratt & Kaplan, 2017). 2. Hyperbilirubinemia with other liver test abnormalities a. Hepatocellular pattern Terdiri dari hepatitis virus, toksisitas obat dan lingkungan, alcohol, dan sirosis stadium akhir dari berbagai penyebab. Penyakit Wilson perlu dicurigai jika ikterus terjadi pada usia muda dan tidak ditemukan penyebab lain dari ikterus. Autoimun hepatitis terutama terjadi pada umur dewasa muda, wanita namun dapat mengenai pria dan wanita pada berbagai usia. Alkoholik hepatitis dapat dibedakan dengan hepatitis virus dan toksin dari aminotransferase. Pasien dengan hepatitis alkoholik umumnya memiliki rasio AST:ALT minimal 2:1. AST jarang melebihi 300U/L. Pasien dengan hepatitis virus dan toksin cukup parah menyebabkan kuning dengan aminotransferase > 500 U/L, dengan ALT ≥ AST. Tingkat kenaikan dari aminotransferase dapat membantu dalam membedakan proses hepatoselular dan kolestasis. Nilai ALT dan AST kurang dari 8 kali normal dapat menunjukkan baik proses hepatoselular maupun kolestasis, namun nilai lebih dari 25 kali normal secara primer merupakan panyakit hepatoselular akut. Pasien dengan kuning karena sirosis dapat memiliki

7

peningkatan maupun normal dari aminotransferase (Pratt & Kaplan, 2017). Kerusakan

hepatoseluler

diinduksi

obat

dapat

diklasifikasikan sebagai terduga maupun tak terduga. Reaksi obat yang terduga berkaitan dengan dosis dan mengenai semua pasien yang menerima dosis toksik tersebut. Contoh klasiknya dalah hepatotoksisitas asetaminofen. Reaksi obat yang tidak terduga adalah tidak bergantung dosis dan terjadi pada minoritas pasien (Pratt & Kaplan, 2017). b. Cholestatic pattern Istilah kolestasis lebih disukai untuk pengertian icterus obstruktif sebab obstruksi yang bersifat mekanis tidak perlu selalua ada. Aliran empedu dapat terganggu pada tingkat mana saja dari mulai sel hati (kanalikulus), sampai ampula vater. Secara klinis, membedakan kolestasis intrahepatik dan ekstrahepatik sangat penting. Penyebab paling sering kolestasis intrahepatic adalah hepatitis, keracunan obat, penyakit hati akibat alcohol, dan penyakt hati autoimun. Penyebab yang kurang sering adalah sirosis hati bilier primer, kolestasis pada kehamilan, karsinoma metastatik, dan penyakit-penyakit lain yang jarang (Sulaiman, 2014). Virus hepatitis, keracunan obat (drug induced), alcohol, dan kelainan autoimun merupakan penyebab yang tersering. Peradangan intrahepatik mengganggu transport bilirubin konjugasi dan menyebabkan ikterus. Hepatitis A merupakan penyakit self limited dan dimanifestasikan dengan icterus yang timbul secara akut. Hepatitis B dan C akut sering tidak menimbulkan ikterus pada tahap awal (akut), tetapi bisa berjalan kronik dan menahun, mengakibatkan gejala hepatitis menahun atau bahkan sampai sirosis hati. Tidak jarang penyakit hati menahun juga disertai gejala kuning, sehingga

8

kadang-kadang didiagnosis salah sebagai hepatitis akut (Roche & Kobos, 2016). Alkohol

bisa

mempengaruhi

gangguan

pengambilan

empedu dan sekresinya sehingga terjadi kolestasis. Pemakaian alkohol secara terus menerus bisa menimbulkan perlemakan hati (steatosis), hepatitis, dan sirosis dengan berbagai tingkat ikterus. Perlemakan hati merupakan penemuan yang sering, biasanya dengan manifestasi yang ringan tanpa ikterus, tetapi kadang-kadang menjurus ke sirosis. Hepatitis karena alcohol biasanya memberi gejala ikterus yang akut dengan keluhan dan gejala yang berat. Jika ada nekrosis sel hati ditandai dengan peningkatan transaminase yang tinggi (Sulaiman, 2014). Hepatitis autoimun biasanya mengenai kelompok muda terutama perempuan. Data terakhir menyebutkan juga bahwa kelompok tua juga dapat terkena. Dua penyakit autoimun yang berpengaruh pada sistem bilier tanpa terlalu menyebabkan reaksi hepatitis adalah sirosis bilier primer dan kolangitis sklerosing. Sirosis bilier primer merupakan penyakit hati bersifat progresif dan terutama mengenai perempuan paruh baya. Gejala yang mencolok adalah rasa lelah dan gatal yang sering merupakan gejala awal, sedangkan ikterus adalah gejala yang timbul kemudian. Kolangitis sclerosis primer lebih sering dijumpai pada laki-laki dan sekitar 70% menderita penyakit peradangan

usus.

Penyakit

ini

dapat

mengarah

ke

kolangiokarsinoma. Banyak obat mempunyai efek dalam kejadian ikterus kolestatik, seperti asetaminofen, penisilin, obat estrogenik atau anabolik (Sulaiman, 2014). Kolestasis Ekstrahepatik penyebab tersering adalah batu duktus koledokus dan kanker pankreas. Penyebab lainnya yang relative lebih jarang adalah striktur jinak (pada operasi terdahulu)

pada

duktus

koledokus,

karsinoma

duktus

koledokus, pankreatitis atau pseudokista pankreas dan

9

kolangitis sklerosing. Kolestasis mencerminkan kegagalan sekresi empedu. Mekanismenya sangat kompleks, bahkan juga terdapat obstruksi mekanis empedu (Sulaiman, 2014). Patofisiooginya mencerminkan efek backup konstituen empedu (yang terpending bilirubin, garam empedu, dan lipid) ke dalam sirkulasi sistemik dan kegagalannya untuk masuk usus

halus

pada

proses

ekskresi.

Retensi

bilirubin

menghasilkan campuran hiperbilirubinemia dengan kelebihan bilirubin konjugasi masuk ke dalam urin. Tinja sering berwarna pucat karena lebih sedikit yang bisa mencapai saluran cerna usus halus. Peningkatan garam empedu dalam sirkulasi selalu diperikirakan sebagai penyebab keluhan gatal (pruritus), walaupun sebenarnya hubungannya belum jelas, sehingga patogenesis terjadinya gatal belum bisa diketahui dengan pasti (Sulaiman, 2014). Garam empedu dibutuhkan untuk penyerapan lemak dan vitamin K, gangguan ekskresi garam empedu dapat berakibat steatorrhea dan hipoprotrombinemia. Pada keadaan kolestasi yang berlangsung lama (Primary Biliary Cirrhosis), gangguan penyerapan kalsium, vitamin D, dan vitamin lain yang larut lemak dapat terjadi dan mengakibatkan osteoporosis atau osteomalasia. Retensi kolesterol dan fosfolipid mengakibatkan hyperlipidemia, walaupun sintesis kolesterol di hati dan esterifkasi yang berkurang dalam darah turut berperan; konsentrasi trigliserida tidak terpengaruh. Lemak beredar dalam darah sebagai lipoprotein densistas rendah tang unik dan abnormal yang disebut lipoprotein X (Sulaiman, 2014).

10

Gambar 2.1. Mekanisme terjadinya ikterus

Ikterus dapat dibedakan menjadi beberapa bentuk : 1. Ikterus Prahepatik terjadi akibat peningkatan pembentukan bilirubin, misal, pada hemolisis ( anemia hemolitik, toksin) eritropoisis yang tidak adekuat (misalnya anemia megalosblastik), tranfusi masif (eritrosit yang ditransfusikan mempunyai masa hidup singkat), atau penyerapan hematoma yang besar. Pada semua kondisi ini, bilirubin tidak terkonjugasi didalam plasma akan meningkat. 2. Ikterus Intrahepatik disebabkan oleh defek spesifik pada ambilan bilirubin di sel hati (sindrom Gilbert Meulengracht), Konjugasi (ikterus neonatorum, sindrom Crigler-Najar), atau sekresi bilirubin dikanalikuli bilaris. Pada kedua jenis kelainan yang pertama, terutama terjadi peningkatan

pada

bilirubin

plasma

yang

tidak

terkonjugasi

,

sedangkanpada tipe sekresi, bilirubin terkonjugasi yang akan meningkat. Ketiga langkah tersebut dapat dipengaruhi pada penyakit dan gangguan hati, misal, hepatitis virus, penyalahgunaan alkohol efek samping obat, kongesti hati, sepsis, atau keracunan jamur Amanita.

11

3. Ikterus Posthepatik, duktus bilaris eksrahepatik tersumbat, terutama oleh batu empedu, tumor, atau kolangitis dan pangkreatitis. Pada kondisi ini bilirubin terkonjugasi terutama meningkat.

IV. PENDEKATAN DIAGNOSIS KLINIS 1. Riwayat Penyakit Sebuah riwayat medis lengkap adalah bagian terpenting dari evaluasi pasien dengan penyakit kuning yang tidak dapat dijelaskan. Pertimbangan penting termasuk penggunaan obat atau paparan bahan kimia, baik yang dokter resepkan maupun over-thecounter, obat komplementer atau alternatif seperti herbal dan sedian vitamin, atau obat-obatan lain seperti steroid anabolik. Pasien harus hati-hati ditanyakan tentang kemungkinan paparan parenteral, termasuk transfusi, penggunaan obat intravena dan intranasal, tato, dan aktivitas seksual. Pertanyaan penting lainnya termasuk riwayat perjalanan terakhir; paparan orang dengan penyakit kuning; paparan makanan yang terkontaminasi; pajanan hepatotoxins; konsumsi alkohol; durasi penyakit kuning; dan adanya gejala yang menyertai seperti arthralgia, mialgia, ruam, anoreksia, penurunan berat badan, sakit perut, demam, pruritus, dan perubahan dalam urin dan feses. Sementara tidak satupun dari gejala terakhir adalah spesifik untuk setiap satu syarat, mereka dapat menyarankan diagnosis tertentu. Adanya artralgia dan mialgia mendahului penyakit kuning menunjukkan hepatitis, baik virus atau terkait obat. Penyakit kuning dengan nyeri yang parah pada kuadran kanan dan menggigil menunjukkan koledokolitiasis dan ascending cholangitis (Pratt & Kaplan, 2017). 2. Pemeriksaan Fisik Penilaian umum harus mencakup penilaian status gizi pasien. Pengecilan otot temporal dan proksimal menunjukkan penyakit lama seperti kanker pankreas atau sirosis. Stigmata penyakit hati kronis, termasuk Spider Nevi, eritema palmaris, ginekomastia,

12

caput medusa, kontraktur Dupuytren, pembesaran kelenjar parotis, dan atrofi testis yang biasa terlihat dalam alkohol sirosis tahap lanjut (Laennec’s) dan kadang-kadang dalam jenis lain dari sirosis (Roche & Kobos, 2016). Pembesaran kelenjar supraklavikula kiri (Virchow’s node) atau nodul periumbilikalis (Sister Mary Joseph’s nodule) menunjukkan keganasan perut. Distensi vena jugularis, tanda gagal jantung sisi kanan, menunjukkan kongesti hati. Efusi pleura kanan, dengan tidak adanya asites yang jelas, dapat dilihat pada sirosis tahap lanjut (Pratt & Kaplan, 2017). Pemeriksaan

abdomen

harus

fokus

pada

ukuran

dan

konsistensi hati, apakah limpa teraba dan karenanya membesar, dan apakah terdapat asites. Pasien dengan sirosis mungkin memiliki lobus kiri yang membesar dan teraba di bawah xifoideus, dan pembesaran limpa. Sebuah nodul hati nodular atau massa abdomen yang jelas menunjukkan keganasan. Pembesaran hati yang lunak dapat disebabkan hepatitis virus atau alkoholik; proses infiltratif seperti amiloid; atau lebih jarang, kongest hati yang akut sekunder dari gagal jantung sisi kanan. Nyeri hebat pada kuadran kanan atas dengan pernapasan terhenti saat inspirasi (tanda Murphy) menunjukkan kolesistitis atau terkadang ascending cholangitis. Asites dengan adanya penyakit kuning menunjukkan baik sirosis atau keganasan dengan penyebaran peritoneal (Pratt & Kaplan, 2017). 3. Pemeriksaan Laboratorium 1. Analisis Laboratorium Analisis laboratorium membedakan dua macam bilirubin dalam serum, yakni bentuk bebas yang tak larut dan bentuk konjugat. Bilirubin yang larut dalam air disebut bilirubin direk karena dapat langsung diukur tanpa mengubah bentuknya sedangkan yang belum mengalami konjugasi atau bilirubin indirek harus terlebih dahulu dijadikan larut dalam air sebelum ditentukan jumlahnya.

13

2. Metode Pengukuran Bilirubin Total Pemeriksaan bilirubin dilaboratorium mengunakan metode Jendrasik dan Grof. Bahan pewarna yang digunakan adalah reagent diazo. Reagen Diazo akan membentuk senyawa komplek yang berwarna merah jika direaksikan dengan bilirubin. Untuk pemeriksaan bilirubin total ditambahkan zat aselerator yang berfungsi untuk membebaskan bilirubin satu dari albumin yang mengikatnya. (Pratt & Kaplan, 2017).

Gambar 2.2 contoh hasil pemeriksaan kadar Bilirubin

3.Pemeriksaan bilirubin urin Pemeriksaan bilirubin dalam urin berdasarkan reaksi antara garam diazonium dengan bilirubin dalam suasana asam, yang menimbulkan warna biru atau ungu tua. Garam diazonium terdiri dari p-nitrobenzene diazonium dan p-toluene sulfonate, sedangkan asam yang dipakai adalah asam sulfo salisilat. Adanya bilirubin 0,05-1 mg/dl urin akan memberikan basil positif dan keadaan ini menunjukkan kelainan hati atau saluran empedu. Hasil positif palsu dapat terjadi bila dalam urin terdapat mefenamic acid, chlorpromazine dengan kadar yang tinggi sedangkan negatif palsu dapat terjadi bila urin mengandung metabolit pyridium atau serenium.

14

Gambar 2.3. Hasil Pemeriksaan Bilirubin di urin

4. Pengobatan Pengobatan ikterus sangat bergantung pada penyakit dasarnya. Beberapa gejala yang cukup menggangu misalnya gatal atau pruritus pada keadaan kolestasis intrahepatik, pengobatan penyakit dasarnya sudah mencukupi. Pruritus pada keadaan irreversible (pada sirosis bilier primer) biasanya responsif dengan kolestiramin 4-16 g/hari PO dalam dosis terbagi dua yang akan mengikat garam empedu diusus. Jika terjadi kerusakan hatu hipoprotrombinemia

biasanya

membaik

setelah

yang berat, pemberian

fitonadion (vitamin K1) 5-10mg/hari subkutan untuk 2-3 hari (Sulaiman, 2014). Suplemen vitamin A dapat mencegah kekurangan vitamin yang larut lemak dan steatorhea yang berat dapat dikurangi dengan pemberian sebagian lemak dalam diet dengan trigliserida randa menengah (Sulaiman, 2014). Sumbatan bilier ekstra hepatik biasanya membutuhkan tindakan pembedahan, ekstrasi batu empedu di duktus, atau insersi stent dan darinasi via kateter untuk striktur (sering kegananasan)

15

atau daerah penyempitan sebagian. Sumbatan maligna yang nonoperabel, drainase bilier paliatif dapat dilakukan melalui stent endoskopik. Papilotomi endoskopik dengan pengeluaran batu telah menggantikan laparotomi pada pasien dengan batu di duktus koledokus. Pemecahan

batu

di

saluran

empedu mungkin

diperlukan untuk membantu pengeluaran batu di saluran empedu (Sulaiman, 2014).

16

BAB III KESIMPULAN

Ikterus merupakan perubahan warna kulit, sklera mata, atau jaringan lainnya (membran mukosa) yang menjadi kuning karena pewarnaan oleh bilirubin yang meningkat konsentrasinya dalam sirkulasi darah. Langkah awal dalam mengevaluasi pasien dengan ikterus

adalah

mengenali

hiperbilirubinemia

dominan

tidak

terkonjugasi atau terkonjugasi dan tes biokimiawi hati yang abnormal Pendekatan diagnosis klinis ditinjau dengan melihat riwayat penyakit meliputi gaya hidup pasien, lama menderita penyakit, dan pengobatan yang dilakukan pasien. Yang kedua dapat ditinjau dengan melihat hasil pemeriksaan fisik dimana pada pemeriksaan abdomen harus fokus pada ukuran dan konsistensi hati, apakah limpa teraba dan karenanya membesar, dan apakah terdapat asites. Selanjutnya ditinjau dengan pemeriksaan laboratorium meliputi tes serum bilirubin total dan langsung dengan fraksinasi, aminotransferase, alkali fosfatase, albumin, dan tes waktu protrombin. Selain tes enzim, semua pasien kuning harus memiliki tes darah tambahan, khususnya tingkat albumin dan waktu protrombin untuk menilai fungsi hati. Terakhir pendekatan diagnosis ditinjau dengan pengobatan dimana pengobatan ikterus sangat bergantung pada penyakit dasarnya.

17

DAFTAR PUSTAKA

1.

2.

3.

4. 5.

6.

7.

Pratt & Kaplan. 2017. Jaundice. Dalam Longo, Fauci, Kasper, Jameson, Loscalzo (Ed.). Harrison’s Principle of Internal Medicine 18th Ed (volume I), 324-29. United States of America: The McGrawHill Companies. Roche & Kobos. 2016. Jaundice in Adult Patient. Am Fam Physician (69), 299-304. Retrieved on Maret 26, 2019, from http://www.aafp.org/afp/2016/0115/p299.html Sulaiman. 2014. Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam Sri Setiati, Idrus Alwi, Aru W.S., Marcellus S.K., Bambang setiyohadi, Ari Fahrial Syam (Ed.). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam (jilid 2, edisi IV), 1935-40. Jakarta: Internal Publishing. Rosida, A. (2016). Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Hati. Berkala Kedokteran, 12(1), 123-131. Yuliana Sherly, M., Widita, H., Ardita, I. G., Soemohardjo, S., UNUD, B. I. P. D. F., & Mataram, S. P. D. R. PERAN BIOPSI HEPAR DALAM MENEGAKKAN DIAGNOSIS IKTERUS OBSTRUKTIF EKSTRA HEPATIK. Al Hijjah, F., Yaswir, R., & Syah, N. A. (2018). Gambaran Jumlah Trombosit Berdasarkan Berat Ringannya Penyakit pada Pasien Sirosis Hati dengan Perdarahan di RSUP Dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas, 6(3), 609-614. Rusli, B. (2018). EVALUASI AKTIVITAS TRANSAMINASE, DAN KADAR BILIRUBIN PADA PENDERITA VIRUS HEPATITIS B DAN C. INDONESIAN JOURNAL OF CLINICAL PATHOLOGY AND MEDICAL LABORATORY, 16(1), 22-25.

18

DAFTAR ISI BAB I ...................................................................................................................... 1 PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 I. Latar Belakang ..................................................................................................... 1 BAB II ..................................................................................................................... 2 TINJAUAN PUSTAKA ......................................................................................... 2 I. DEFINISI ............................................................................................................. 2 II. PATOFISIOLOGI .............................................................................................. 2 III. PENYAKIT GANGGUAN METABOLISME BILIRUBIN ........................... 4 IV. PENDEKATAN DIAGNOSIS KLINIS ......................................................... 12 BAB III ................................................................................................................. 17 KESIMPULAN ..................................................................................................... 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18

iv

More Documents from "satriyandi"