Referat Steven Johnson

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Referat Steven Johnson as PDF for free.

More details

  • Words: 3,374
  • Pages: 18
BAB I PENDAHULUAN

Sindrom Stevens-Johnson (SJS) (ektodermosis erosiva pluriorifisialis, sindrom mukokutaneaokular, eritema multiformis tipe Hebra, eritema multiforme mayor, eritema bulosa maligna) adalah sindrom kelainan kulit berupa eritema, vesikel/bula, dapat disertai purpura yang mengenai kulit, selaput lendir orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari baik sampai buruk.(Hamzah,2002) SJS merupakan kumpulan gejala (sindrom) berupa kelainan dengan ciri eritema, vesikel, bula, purpura pada kulit pada muara rongga tubuh yang mempunyai selaput lendir serta mukosa kelopak mata. Penyebab pasti dari SJS saat ini belum diketahui namun ditemukan beberapa hal yang memicu timbulnya SJS seperti obat-obatan atau infeksi virus. mekanisme terjadinya sindroma pada SJS adalah reaksi hipersensitif terhadap zat yang memicunya. Seperti pada kasus kematian pasien di RS St Carolus dan terakhir yang di laporkan dari Jawa Timur , secara sepintas tampak sebagai SJS. SJS muncul biasanya tidak lama setelah obat disuntik atau diminum, dan besarnya kerusakan yang ditimbulkan kadang tak berhubungan lansung dengan dosis, namun sangat ditentukan oleh reaksi tubuh pasien. Reaksi hipersensitif sangat sukar diramal, paling diketahui jika ada riwayat penyakit sebelumnya dan itu kadang tak disadari pasien, jika tipe alergi tipe cepat yang seperti syok anafilaktik jika cepat ditangani pasien akan selamat dan tak bergejala sisa, namun jika SJS akan membutuhkan waktu pemulihan yang lama dan tidak segera menyebabkan kematian seperti syok anafilaktik. Tujuan penulisan referat ini adalah untuk mengetahui manifestasi SJS pada mata dan tata laksananya. 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

II.1Anatomi Konjungtiva Konjungtiva adalah membran mukosa yang tipis dan transparan yang membungkus permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola mata. Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian yaitu (1) konjungtiva palpebra, menutupi permukaan belakang palpebra (2) konjungtiva bulbi, menutupi permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di limbus (3) konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi.(Wijana,1993) Konjungtiva palpebra Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dari gl. Meibom yang ada di dalamnya tampak membayang sebagai garis sejajar berwarna putih. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat kelenjar Henle. Histologis : terdiri dari sel epitel silindris. Di bawahnya, stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak pembuluh getah bening. Konjungtiva forniks Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra. Tetapi hubungan dengan jaringan yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan-lekukan dan juga mengandung banyak pembuluh darah. Oleh karena itu, pembengkakan pada tempat ini mudah terjadi bila terdapat peradangan mata. Dengan berkelok-keloknya konjungtiva ini, pergerakan mata menjadi lebih mudah. Di bawah konjungtiva forniks superior terdapat gl. lakrimal dari Krause. Melalui konjungtiva forniks superior juga terdapat muara saluran air mata.

2

Konjungtiva bulbi Tipis dan tembus pandang, meliputi bagian anterior bulbus okuli. Dibawah konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon. Strukturnya sama dengan konjungtiva palpebra, tetapi tak mempunyai kelenjar. Dari limbus, epitel konjungtiva meneruskan diri sebagai epitel kornea. Di dekat kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut dan kelenjar yang disebut karunkula. Perdarahan : Berasal dari A.konjungtiva posterior dan A.siliaris anterior. Yang berasal dari A.siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m.rektus menembus sklera dekat limbus untuk mancapai bagian dalam mata. Juga memberi cabang-cabang yang mengelilingi kornea dan memberi makanan kepada kornea. Antara kedua arteri ini terdapat anastomose. Persarafan : Berasal dari N.V (I), yang berakhir sebagai ujung-ujung yang lepas terutama dibagian palpebra. (Wijana,1993)

(www.google.com)

3

II.2.Definisi SJS Sindrom Stevens-Johnson, biasanya disingkatkan sebagai SJS, adalah reaksi buruk yang sangat gawat terhadap obat. Efek samping obat ini mempengaruhi kulit, terutama selaput mukosa. Juga ada versi efek samping ini yang lebih buruk, yang disebut sebagai nekrolisis epidermis toksik (toxik epidermal necrolysis/TEN). Ada juga versi yang lebih ringan, disebut sebagai eritema multiforme (EM) (Adithan,2006). Sindrom Steven-Johnson (SSJ) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Sinonimnya antara lain : sindrom de FriessingerRendu, eritema eksudativum multiform mayor, eritema poliform bulosa, sindrom mukokutaneo-okular, dermatostomatitis, dll. Sindrom Stevens-Johnson pertama diketahui pada 1922 oleh dua dokter, dr. Stevens dan dr. Johnson, pada dua pasien anak laki-laki. Namun dokter tersebut tidak dapat menentukan penyebabnya (Adithan,2006). II.3.Etiologi SJS Hampir semua kasus SJS dan TEN disebabkan oleh reaksi toksik terhadap obat, terutama antibiotik (mis. obat sulfa dan penisilin), antikejang (mis. fenitoin) dan obat nyeri, termasuk yang dijual tanpa resep (mis. ibuprofen). Terkait HIV, alasan SJS yang paling umum adalah nevirapine (hingga 1,5 persen penggunanya) dan kotrimoksazol (jarang). Reaksi ini dialami segera setelah mulai obat, biasanya dalam 2-3 minggu (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Etiologi SSJ sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Beberapa

4

faktor penyebab timbulnya SSJ diantaranya : infeksi (virus, jamur, bakteri, parasit), obat (salisilat, sulfa, penisilin, etambutol, tegretol, tetrasiklin, digitalis, kontraseptif), makanan (coklat), fisik (udara dingin, sinar matahari, sinar X), lain-lain (penyakit polagen, keganasan, kehamilan) (Mansjoer, 2002; Siregar, 2004). II.4.Faktor predisposisi SJS Berdasarkan kasus yang terdaftar dan diobservasi kejadian SJS terjadi 1-3 kasus per satu juta penduduk setiap tahunnya. SSJ juga telah dilaporkan lebih sering terjadi pada ras Kaukasia. Walaupun SJS dapat mempengaruhi orang dari semua umur, tampaknya anak lebih rentan. Tampaknya juga perempuan sedikit lebih rentan daripada laki-laki (Siregar, 2004). II.5.Patofisiologi SJS Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) yang disebabkan oleh kompleks soluble dari antigen atau metabolitnya dengan antibodi IgM dan IgG dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV) adalah reaksi yang dimediasi oleh limfosit T yang spesifik. Oleh karena proses hipersensitivitas, maka terjadi kerusakan kulit sehingga terjadi (Carroll, 2001) : 1. Kegagalan fungsi kulit yang menyebabkan kehilangan cairan 2. Stres hormonal diikuti peningkatan resisitensi terhadap insulin, hiperglikemia dan glukosuriat 3. Kegagalan termoregulasi 4. Kegagalan fungsi imun 5. Infeksi

5

Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan yang dapat berupa didahului panas tinggi, dan nyeri kontinyu. Erupsi timbul mendadak, gejala bermula di mukosa mulut berupa lesi bulosa atau erosi, eritema, disusul mukosa mata, genitalia sehingga terbentuk trias (stomatitis, konjunctivitis, dan uretritis). Gejala prodormal tidak spesifik, dapat berlangsung hingga 2 minggu. Keadaan ini dapat menyembuh dalam 3-4 minggu tanpa sisa, beberapa penderita mengalami kerusakan mata permanen. Kelainan pada selaput lendir, mulut dan bibir selalu ditemukan. Dapat meluas ke faring sehingga pada kasus yang berat penderita tak dapat makan dan minum. Pada bibir sering dijumpai krusta hemoragik (Ilyas, 2004). II.6.Manifestasi klinis SJS SJS dan TEN biasanya mulai dengan gejala prodromal berkisar antara 1-14 hari berupa demam, malaise, batuk, korizal, sakit menelan, nyeri dada, muntah, pegal otot dan atralgia yang sangat bervariasi dalam derajat berat dan kombinasi gejala tersebut. Kemudian pasien mengalami ruam datar berwarna merah pada muka dan batang tubuh, sering kali kemudian meluas ke seluruh tubuh dengan pola yang tidak rata. Daerah ruam membesar dan meluas, sering membentuk lepuh pada tengahnya. Kulit lepuh sangat longgar, dan mudah dilepas bila digosok. Pada TEN, bagian kulit yang luas mengelupas, sering hanya dengan sentuhan halus. Pada banyak orang, 30 persen atau lebih permukaan tubuh hilang. Daerah kulit yang terpengaruh sangat nyeri dan pasien merasa sangat sakit dengan panas-dingin dan demam. Pada beberapa orang, kuku dan rambut rontok (Adithan, 2006).

6

Pada SJS dan TEN, pasien mendapat lepuh pada selaput mukosa yang melapisi mulut, tenggorokan, dubur, kelamin, dan mata. Kehilangan kulit dalam TEN serupa dengan luka bakar yang gawat dan sama-sama berbahaya. Cairan dan elektrolit dalam jumlah yang sangat besar dapat merembes dari daerah kulit yang rusak. Daerah tersebut sangat rentan terhadap infeksi, yang menjadi penyebab kematian utama akibat TEN. Mengenal gejala awal SJS dan segera periksa ke dokter adalah cara terbaik untuk mengurangi efek jangka panjang yang dapat sangat mempengaruhi orang yang mengalaminya. Gejala awal termasuk (Mansjoer, 2002) :  Ruam  Lepuh dalam mulut, mata, kuping, hidung atau alat kelamin  Kulit berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir seluruh

tubuh.  Mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta berwarna

merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.  Bengkak di kelopak mata, atau mata merah.  Pada mata terjadi: konjungtivitis (radang selaput yang melapisi permukaan dalam

kelopak mata dan bola mata), konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Cedera

7

mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31 tahun. Bila kita mengalami dua atau lebih gejala ini, terutama bila kita baru mulai memakai obat baru, segera periksa ke dokter.

Sindrom Steven Johnson II.7.Manifestasi SJS pada mata Konjungtivitis Konjungtivitis pada sindrom Steven Johnson merupakan konjungtivitis yang disebabkan karena proses alergi akibat reaksi terhadap non infeksi, dapat berupa reaksi cepat seperti alergi biasa dan reaksi terlambat sesudah beberapa hari kontak seperti pada reaksi terhadap obat, bakteri, dan toksik. Merupakan reaksi hiper sensitivitas tipe cepat atau lambat, atau reaksi antibody humoral terhadap allergen. Pada keadaan yang berat merupakan bagian dari sindrom Steven Johnson, suatu penyakit eritema multiforme berat akibat reaksi alergi pada orang dengan prediposisi alergi obat-obatan. Pada pemakaian mata palsu atau lensa 8

kontak juga dapat terjadi reaksi alergi. Dengan gambaran klinis berupa mata merah, sakit, bengkak, panas, berair, gatal, dan silau. Sering berulang dan menahun, bersamaan dengan rinitis alergi. Biasanya terdapat riwayat atopi sendiri atau dalam keluarga. Pada pemeriksaan ditemukan injeksi ringan pada konjungtiva palbebra dan bulbi serta papil besar pada konjungtiva tarsal yang dapat menimbulkan komplikasi pada konjungtiva. Pada keadaan akut dapat terjadi kemosis berat. Terapi pada konjungtivitis akibat reaksi alergi biasanya akan sembuh sendiri. Pengobatan ditujukan untuk menghindarkan penyebab dan menghilangkan gejala. Terapi yang dapat diberikan misalnya vasokonstriktor local pada keadaan akut (epinefrin 1:1.000), astringen, steroid topical dosis rendah dan kompres dingin untuk menghilangkan edemanya. Untuk pencegahan diberikan Natrium kromoglikat 2% topical 4 kali sehari untuk mencegah degranulasi sel mast. Pada kasus yang berat dapat diberikan antihistamin dan steroid sistemik. Penggunaan steroid sistemik berkepanjangan hrus dihindari karena bisa terjadi infeksi virus, katarak, hingga ulkus kornea oportunistik. Antihistamin sistemik hanya sedikit bemanfaat. Pada sindrom Steven Johnson, pengobatan bersifat sistomatik dengan pengobatan umum. Pada mata dilakukan pembersihan sekret, mediatrik, steroid topical dan pencegahan simblefaron (Ilyas, 2004).

Konjungtivitis (www.google.com)

9

Simblefaron Simblefaron adalah perlengketan antara konjungtiva palpebra, konjungtiva bulbi, dan konjungtiva forniks. Jenis simblefaron :  Simblefaron partialis anterior : perlengketan antara konjungtiva palpebra dan

konjungtiva bulbi atau kornea.  Simblefaron partialis posterior : perlengketan antara konjungtiva forniks  Simblefaron totalis : perlengketan antara konjungtiva palpebra, bulbi dan forniks.

Dapat disebabkan akibat trauma kecelakaan, operasi, luka bakar oleh zat kimia, dan peradangan. Dengan gejala gerak mata terganggu, diplopia, lagoftalmus, sehingga kornea dan penglihatan terganggu. Terapi yang dapat diberikan jika terjadi simblefaron, jika ringan dapat dilepaskan dan diberi salep, pada keadaan yang hebat dilakukan operasi plastik, setelah simblefaron dilepaskan pada tempat lepasnya ditutup dengan membran mukosa mulut atau bibir (Wijana, 1993).

Simblefaron (www.google.com)

10

II.8.Diagnosa SJS Diagnosa ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit, mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam. Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi, pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi, serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik (Siregar, 2004; Adithan, 2006). II.9.Diagnosis Banding SJS Ada 2 penyakit yang sangat mirip dengan sindroma Steven Johnson : 1. Toxic Epidermolysis Necroticans. Sindroma steven johnson sangat dekat dengan

TEN. SJS dengan bula lebih dari 30% disebut TEN. 2. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease). Pada penyakit ini lesi kulit

ditandai dengan krusta yang mengelupas pada kulit. Biasanya mukosa terkena (Siregar, 2004). 3. Konjungtivitis membranosa, ditandai dengan adanya massa putih atau kekuningan

yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan sampai konjungtiva bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Wijana, 1993).

11

II.10.Pemeriksaan penunjang SJS 1. Pemeriksaan laboratorium : a) Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang dapat membantu dokter dalam diagnose selain pemeriksaan biopsy. b) Pemeriksaan darah lengkap dapat menunjukkan kadar sel darah putih yang normal atau leukositosis non spesifik, penurunan tajam kadar sel darah putih dapat mengindikasikan kemungkinan infeksi bacterial berat. c) Imunofluoresensi banyak membantu membedakan sindrom Steven Johnson dengan panyakit kulit dengan lepuh subepidermal lainnya. d) Menentukan fungsi ginjal dan mengevaluasi adanya darah dalam urin. e) Pemeriksaan elektrolit. f)

Kultur darah, urine, dan luka, diindikasikan ketika dicurigai terjadi infeksi.

g) Pemeriksaan bronchoscopy, esophagogastro duodenoscopy

(EGD), dan

kolonoskopi dapat dilakukan. 2. Imaging studies : a. Chest radiography untuk mengindikasikan adanya pneumonitis. 3. Pemeriksaan histopatologi dan imunohistokimia dapat mendukung ditegakkannya diagnose (Adithan, 2006). II.11.Prognosis SJS SJS dan TEN adalah reaksi yang gawat. Bila tidak diobati dengan baik, reaksi ini dapat menyebabkan kematian, umumnya sampai 35 persen orang yang mengalami TEN dan 5-15 persen orang dengan SJS, walaupun angka ini dapat dikurangi dengan pengobatan yang

12

baik sebelum gejala menjadi terlalu gawat. Reaksi ini juga dapat menyebabkan kebutaan total, kerusakan pada paru, dan beberapa masalah lain yang tidak dapat disembuhkan. Pada kasus yang tidak berat, prognosisnya baik, dan penyembuhan terjadi dalam waktu 2-3 minggu. Kematian berkisar antara 5-15% pada kasus berat dengan berbagai komplikasi atau pengobatan terlambat dan tidak memadai. Prognosis lebih berat bila terjadi purpura yang lebih luas. Kematian biasanya disebabkan oleh gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit, bronkopneumonia, serta sepsis (Adithan, 2006; Siregar, 2004). II.12.Komplikasi SJS Sindrom Steven Johnson sering menimbulkan komplikasi, antara lain sebagai berikut: o Oftalmologi – ulserasi kornea, uveitis anterior, panophthalmitis, kebutaan o

Gastroenterologi - Esophageal strictures

o

Genitourinaria – nekrosis tubular ginjal, gagal ginjal, penile scarring, stenosis vagina

o Pulmonari – pneumonia o Kutaneus – timbulnya jaringan parut dan kerusakan kulit permanen, infeksi kulit sekunder o Infeksi sitemik, sepsis o Kehilangan cairan tubuh, shock (Mansjoer, 2002). Komplikasi awal yang mengenai mata dapat timbul dalam hitungan jam sampai hari, dengan ditandai timbulnya konjungtivitis yang bersamaan pada kedua mata. Akibat adanya perlukaan di konjungtiva dapat menyebabkan pseudomembran atau konjungtivitis membranosa, yang dapat mengakibatkan sikatrik konjungtivitis. Pada komplilasi yang lebih lanjut dapat menimbulkan perlukaan pada palpebra yang mendorong terjadinya ektropion, entropion, trikriasis dan lagoftalmus. Penyembuhan konjungtiva meninggalkan perlukaan 13

yang dapat berakibat simblefaron dan ankyloblefaron. Defisiensi air mata sering menyebabkan masalah dan hal tersebut sebagai tanda menuju ke fase komplikasi yang terakhir. Yang mana komplikasi tersebut beralih dari komplikasi pada konjungtiva ke komplikasi pada kornea dengan kelainan pada permukaan bola mata. Fase terakhir pada komplikasi kornea meningkat dari hanya berupa pemaparan kornea sampai terjadinya keratitis epitelial pungtata, defek epitelial yang rekuren, hingga timbulnya pembuluh darah baru (neovaskularisasi pada kornea) yang dapat berujung pada kebutaan. Akhirnya bila daya tahan tubuh penderita menurun ditambah dengan adanya kelainan akibat komplikasikomplikasi di atas akan menimbulkan komplikasi yang lebih serius seperti peradangan pada kornea dan sklera. Peradangan atau infeksi yang tak terkontrol akan mengakibatkan terjadinya perforasi kornea, endoftalmitis dan panoftalmitis yang pada akhirnya harus dilakukan eviserasi dan enukleasi bola mata (Viswanadh, 2002) II.13.Penatalaksanaan SJS Pertama, dan paling penting, kita harus segera berhenti memakai obat yang dicurigai penyebab reaksi. Dengan tindakan ini, kita dapat mencegah keburukan. Orang dengan SJS/TEN biasanya dirawat inap. Bila mungkin, pasien TEN dirawat dalam unit rawat luka bakar, dan kewaspadaan dilakukan secara ketat untuk menghindari infeksi. Pasien SJS biasanya dirawat di ICU. Perawatan membutuhkan pendekatan tim, yang melibatkan spesialis luka bakar, penyakit dalam, mata, dan kulit. Cairan elektrolit dan makanan cairan dengan kalori tinggi harus diberi melalui infus untuk mendorong kepulihan. Antibiotik diberikan bila dibutuhkan untuk mencegah infeksi sekunder seperti sepsis. Obat nyeri, misalnya morfin, juga diberikan agar pasien merasa lebih nyaman (Adithan, 2006; Siregar, 2004).

14

Ada keraguan mengenai penggunaan kortikosteroid untuk mengobati SJS/TEN. Beberapa dokter berpendapat bahwa kortikosteroid dosis tinggi dalam beberapa hari pertama memberi manfaat; yang lain beranggap bahwa obat ini sebaiknya tidak dipakai. Obat ini menekankan sistem kekebalan tubuh, yang meningkatkan risiko infeksi gawat, apa lagi pada Odha dengan sistem kekebalan yang sudah lemah. Pada umumnya penderita SJS datang dengan keadaan umum berat sehingga terapi yang diberikan biasanya adalah : 

Terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral.



Antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah.



Kotikosteroid parenteral: deksamentason dosis awal 1mg/kg BB bolus, kemudian selama 3 hari 0,2-0,5 mg/kg BB tiap 6 jam. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.



Antihistamin bila perlu. Terutama bila ada rasa gatal. Feniramin hidrogen maleat (Avil) dapat diberikan dengan dosis untuk usia 1-3 tahun 7,5 mg/dosis, untuk usia 312 tahun 15 mg/dosis, diberikan 3 kali/hari. Sedangkan untuk setirizin dapat diberikan dosis untuk usia anak 2-5 tahun : 2.5 mg/dosis,1 kali/hari; > 6 tahun : 5-10 mg/dosis, 1 kali/hari. Perawatan kulit dan mata serta pemberian antibiotik topikal.



Bula di kulit dirawat dengan kompres basah larutan Burowi.



Tidak diperbolehkan menggunakan steroid topikal pada lesi kulit.

15



Lesi mulut diberi kenalog in orabase.



Terapi infeksi sekunder dengan antibiotika yang jarang menimbulkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal dan tidak bersifat nefrotoksik, misalnya klindamisin intravena 8-16 mg/kg/hari intravena, diberikan 2 kali/hari.



Intravena Imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB pada hari 1, 2, 3, 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang dimediasi FAS (Adithan, 2006; Siregar, 2004). Sedangkan terapi sindrom Steven Johnson pada mata dapat diberikan dengan :

o Pemberian obat tetes mata baik antibiotik maupun yang bersifat garam fisiologis setiap 2 jam, untuk mencegah timbulnya infeksi sekunder dan terjadinya kekeringan pada bola mata. o

Pemberian obat salep dapat diberikan pada malam hari untuk mencegah terjadinya perlekatan konjungtiva (Sharma, 2006).

16

BAB III KESIMPULAN Sindrom Steven-Johnson (SJS) merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus yang ditandai oleh trias kelainan pada kulit vesikulobulosa, mukosa orifisium serta mata disertai gejala umum berat. Etiologi SJS sukar ditentukan dengan pasti, karena penyebabnya berbagai faktor, walaupun pada umumnya sering berkaitan dengan respon imun terhadap obat. Patogenesis SSJ sampai saat ini belum jelas walaupun sering dihubungkan dengan reaksi hipersensitivitas tipe III (reaksi kompleks imun) dan reaksi hipersensitivitas lambat (delayed-type hypersensitivity reactions, tipe IV). Manifestasi SJS pada mata dapat berupa konjungtivitis, konjungtivitas kataralis , blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, simblefaron, kelopak mata edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat menyebabkan kebutaan. Diagnosis banding dari Sindrom Steven Johnson ada 2 yaitu Toxic Epidermolysis Necroticans, Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (Ritter disease) dan konjungtivitis membranosa atau pseudomembranosa. Penanganan Sindrom Steven Johnson dapat dilakukan dengan memberi terapi cairan dan elektrolit, serta kalori dan protein secara parenteral pada penderita dengan keadaan umum berat. Pemberian antibiotik spektrum luas, selanjutnya berdasarkan hasil biakan dan uji resistensi kuman dari sediaan lesi kulit dan darah. Penggunaan steroid sistemik masih kontroversi, ada yang mengganggap bahwa penggunaan steroid sistemik pada anak bisa menyebabkan penyembuhan yang lambat dan efek samping yang signifikan, namun ada juga yang menganggap steroid menguntungkan dan menyelamatkan nyawa.

17

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah M. Erupsi Obat Alergik. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 3rd edition. Bagian Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2002. p:139-142 Wijana, N. Konjungtiva. In Ilmu Penyakit Mata.1993. hal 40-41. Adithan C. Stevens-Johnson Syndrome. In: Drug Alert. Volume 2. Issue 1. Departement of Pharmacology. JIPMER. India. 2006. Access on: June 3, 2007. Available at: www.jipmer.edu Mansjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Erupsi Alergi Obat. In: Kapita Selekta Kedokteran. Volume 2. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Media Aesculapius. Jakarta. 2002. p:133-139 Ilyas, S. Sindrom Steven Johnson. In Ilmu Penyakit Mata. 3rd edition. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. 2004. Hal 135-136. Siregar, R.S. Sindrom Stevens Johnson. In : Saripati Penyakit Kulit. 2nd edition. EGC. Jakarta. 2004. hal 141-142. Carroll MC, Yueng-Yue KA, Esterly NB. Drug-induced hypersensitivity syndrome in pediatric patients. Pediatrics 2001; 108 : 485-92. Sharma, V.K. : Proposed IADVL Consensus Guidelines 2006: Management of StevensJohnson Syndrome ( SJS) and Toxic Epidermal Necrolysis ( TEN). IADVL.2006 Viswanadh, B. : Ophthalmic complications and management of Steven Johnson syndrome at a tertiary eye vare centre in South India. L V Prasad Eye Institute. 2002. Access on : June 22, 2008. Available at : www.indianjournalofophthalmology.com

18

Related Documents

Johnson
June 2020 34
Johnson
April 2020 46
Johnson
October 2019 44