1. 1. Pendahuluan Pembicaraan mengenai perempuan telah mengalahkan pergeseran yang cukup mendasar pada saat konsep “gender” digunakan sebagai perspektif. Gender lebih menunjuk kepada relasi laki-laki dan perempuan dalam berinteraksi. Dengan cara ini, fokus kajian tidak hanya tertuju pada perempuan tetapi juga pada laki-laki. Pendekatan semacam ini telah memberikan nuansa baru, terutama dalam menjelaskan dominasi dan subordinasi atau hubungan-hubungan kekuasaan secara umum yang ternyata memberi pengaruh sangat penting dalam kehidupan perempuan secara luas. Di dalam kehidupan manusia, terdapat proses kehidupan yang semakin lama semakin meningkat. Dengan kata lain, kehidupan manusia mengalami perubahan. Di dalam novel Namaku Hiroko, terdapat proses kehidupan wanita Jepang yang bernama Hiroko. Pada awalnya Hiroko adalah seorang yang sangat mematuhi adat istidat Jepang pada umumnya. Namun, watak Hiroko mengalami perkembangan, sejalan dengan proses kehidupannya. Hal ini sangat menarik untuk dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis akan membahas proses kehidupan Hiroko dalam perspektif gender. Dengan demikian, penulis akan mencoba memaparkan proses kehidupan Hiroko berdasarkan kedudukannya sebagai seorang perempuan.
1. 2. Proses Kehidupan Manusia dalam Perspektif Gender Proses kehidupan manusia dalam perspektif gender meliputi intensifying, decomposing, recomposing, deconstruction, dan reconstruction. 1. Intensifying, jika dianalogikan dengan rumah, intersifying adalah rumah yang berbentuk normal. Bentuknya biasa saja, monoton, terdiri dari jendela dan pintu yang standar, seperti rumah kebanyakan. Oleh karena itu, tahapan seseorang di dalam intensifying adalah masa penguatan diri, belum ada pemberontakan di dalam dirinya atas keadaan yang terjadi pada dirinya maupun pada sekitarnya. 2. Decomposing, rumah tersebut komposisinya berubah meskipun rumah tersebut masih terlihat rumah. Misalnya, hanya terdiri dari pintu saja atau bahkan dengan jendela yang banyak tetapi dengan posisi yang masih pada tempatnya. 3. Recomposing, terdapat komposisi baru yaitu jendela berada di atas atap, yang tidak lazim seperti rumah kebanyakan. 4. Deconstruction, konstruksinya bersubah, dari bentuk rumah yang standar, kini bentuknya bisa beraneka ragam tetapi masih tahap wajar. 5. Reconstruction merupakan kontruksi baru dari sebuah rumah. Masih dianggap sebuah rumah, tetapi bentuknya bukan lagi sebuah rumah. Bahkan terlihat tidak seperti rumah.
Dari penjelasan tersebut, penulis akan mencoba mencari tahu, apakah di dalam novel Namaku Hiroko ini terdapat hal-hal tersebut. Setelah itu, penulis akan menguraikan proses kehidupan apa saja yang telah Hiroko alami. Namun, sebelum kepenjelasan yang lebih lanjut. Penulis akan memberikan sinopsis novel Namaku Hiroko. Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang gadis Jepang bernama Hiroko yang sangat menyukai namanya sehingga dia selalu menyebut nama Hiroko di depan nama keluarganya. Di desa tempat tinggalnya, dia tinggal bersama Ayah, Ibu tiri, dan adik-adiknya. Ayah Hiroko menanggung beban pekerjaan di ladang sendirian. Ibu tirinya bahkan jauh lebih baik dan perhatian daripada ibu kandungnya yang telah tiada, sedangkan kedua adik lelakinya merupakan dua orang yang cerewet dan hanya memikirkan diri sendiri. Hiroko tidak melanjutkan sekolah setelah SMA karena keputusan ayahnya yang sebagai kepala keluarga yang kata-katanya tidak bisa dilanggar. Hiroko menjalani kehidupan di desa dan mematuhi segala adat karena merasa itulah yang harus dilakukannya. Suatu ketika, seorang tengkulak menawari sang ayah untuk mempekerjakan Hiroko sebagai pembantu rumah tangga di kota. Ayahnya pun menyetujui. Sejak itu hidup Hiroko berubah. Ia melihat kebiasaan wanita-wanita di kota, perbincangan para pembantu, sampai kemudian harus kembali membantu ayahnya di desa. Tomiko, teman Hiroko yang pandai bergaul dan tampil memesona, berhasil meyakinkan ayah Hiroko untuk mengizinkan Hiroko ke kota dan bekerja lagi di sana. Akhirnya, ayah Hiroko menyetujuinya. Di kota, mulanya Hiroko bekerja pada sepasang suami istri yang belum mempunyai anak. Di sanalah, untuk pertama kalinya dia merasakan sentuhan seorang pria yang tak lain adalah adik dari majikan wanitanya sendiri. Namun Sanao, nama adik majikannya, pergi dan kemudian tak kembali lagi. Hiroko tetap bekerja di sana, tetapi kali ini Hiroko menjadi incaran nafsu tuannya. Hiroko mengundurkan diri dari majikan lamanya kemudian mencari pekerjaan lain sebagai pegawai toko, sampai menjadi model sekaligus penari telanjang di kabaret. Dari sana, Hiroko mulai banyak mengenal jenis pria dan berhubungan intim dengan pria yang sesuai dengan tipenya. Novel ini diakhiri dengan perkataan Hiroko yang tak pernah menyesal dengan jalan hidupnya yang pada saat itu menempati posisi sebagai simpanan dari suami sahabatnya sendiri.
1. 3. Proses Kehidupan Hiroko di dalam Novel Namaku Hiroko Penulis menemukan beberapa proses perubahan tokoh Hiroko yang berhubungan dengan kekuasaan, pekerjaan, dan seksualitas. Di Jepang (abad ke-19) dalam masalah pendidikan antara perempuan dan laki-laki dibedakan. Selama masa pendidikan wajib 6 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara bersamaan; tidak ada diskriminasi dalam pelajran-pelajaran yang diberikan. Perbedaan timbul pada tingkatan yang kedua: anak
laki-laki melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah (5 tahun) atau pendidikan keterampilan, sedangkan anak-anak perempuan memasuki Sekolah Menengah Khusus bagi mereka (4 atau 5 tahun) (Okamura, 1983: 53-54). Sistem diskriminasi ini berlandaskan sebuah sikap yang terungkapkan dalam pepatah feodal “pendidikan tak perlu bagi kaum wanita”. Gagasan ini merupakan pendukung dari stereotip perempuan dipersiapkan agar dia dapat baik dan mampu sebagai ibu rumah tangga sedangkan laki-laki diyakini sebagai pencari naskah. Dengan keterangan tersebut, Hiroko sebagai perempuan Jepang pada masanya tidak mendapatkan hak berpendidikan. Hiroko dengan kepolosannya, ketidakmengertiannya, pada awal cerita, diceritakan bahwa dia sangat intensifying dengan peraturan yang ada di sekelilingnya. Termasuk dalam hal pendidikan dan pekerjaan, seperti pada kutipan berikut ini.
Empat hari kemudian aku duduk di samping sopir truk yang membawa hasil panen desa ke kota. Waktu itu umurku hampir enam belas tahun. Sudah dua tahun aku tidak bersekolah. Keputusan yang diambil ayahku merupakan peraturan yang harus dituruti tanpa dirunding pihak yang bersangkutan. Pada waktu itu aku menerimanya dengan kewajaran abadi penuh ketaatan. Ayahku seorang yang menentukan dalam kehidupan kami. Dan aku yang dibesarkan dengan lingkungan adat kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orangtua, tidak melihat alasan apa pun buat membantahnya. Padahal waktu itu aku khawatir. (NH:15)
Dalam kutipan tersebut, jelas otoritas sang ayah di dalam keluarganya sangat dipatuhi oleh Hiroko. Hiroko tidak berani membantah ataupun membela diri. Menurutnya, hal tersebut wajar karena di Jepang memang ada Undang-Undang yang menuliskan bahwa seorang perempuan selayaknya tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-laki nya yang menduduki posisi kepala keluarga (Okamura, 1983:6). Hal ini berarti sama seperti yang ada di artikel “The Subordination of Woman and the International of Factory Production” yang ditulis oleh Diane Elson and Ruth Pearson yang menyebutkan contoh kasus intensifying adalah mencoba untuk memelihara bentuk tradisional dari kekuatan partiarki. Dengan demikian, otoritas ayah di atas segalanya. Motif ayah untuk mengontrol anak perempuan bekerja di suatu tempat meskipun anaknya tersebut tidak menyukai pekerjaan itu. Yang paling diutamakan adalah anak perempuan tersebut menghasilkan uang, motif ekonomi. Perkembangan kapitalisme Jepang mendorong banyak wanita untuk meninggalkan rumah dan memasuki pasaran tenaga kerja, akan tetapi mereka melakukan hal demikian bukanlah sebagai kebanggaan dan kegembiraan akan kehidupan yang bebas sebagai buruh perseorangan, melainkan sebagai akibat kebutuhan untuk membantu anggaran rumah tangga.
Hal tersebut juga dirasakan oleh Hiroko, ketika ayahnya menyuruhnya bekerja sebagai pembantu rumah tangga di sebuah kota. Meskipun dia merasa khawatir tetapi dia tidak membantah demi kepatuhan pada orangtua dan demi keluarganya. Belum lagi perbedaan dirinya dengan adik-adiknya yang semuanya laki-laki. Jelas berbeda kedudukannya di dalam keluarga. Ketika berada di rumah, perlakuan ayah dan ibunya kepada adik-adiknya sangat berbeda dengan dirinya. Di rumah, Hiroko diharuskan membantu pekerjaan ibunya, sedangkan adik-adiknya hanya melakukan kesenangan saja.
Kedua adikku tidak banyak menolong di rumah. Kalau mereka tidak di sekolah mungkin di ladang, atau di rumah tetangga melihat televisi atau bermain dengan anakanak lain. aku tidak pernah mendengar ibu menyuruh mereka mengerjakan sesuatu pun di ladang. Sedangkan ayahku hanya sekali aku pernah mendengarnya menyuruh adikku agar menengok ke jalan raya, kalau-kalau truk kelihatan mendatang guna mengangkut hasil panen ke tempa pengumpulan. (NH: 15).
Pada tahap ini Hiroko masih dalam tahap intersifying yaitu bertahan pada keadaan dan perbedaan tersebut. Begitu pun ketika nenek dari ibunya meninggal dunia, ayah Hiroko menyuruhnya kembali ke desa untuk menyembahyangkan neneknya. Dengan segala kepatuhannya, Hiroko segera pulang. Tersurat pada kutipan pembicaraan antara Hiroko dengan majikannya ketika dia akan pulang berikut ini:
“Kau akan segera kembali?” “Saya kira begitulah. Ayah yang akan menentukan.” Memang pada waktu itu semua tergantung kepada ayahku. (NH: 22).
Ketika Hiroko bekerja sebagai pembantu di kota. Dia mendapatkan pekerjaan pada majikan perempuan yang rewel. Dengan sifatnya yang intensifying, Hiroko berusaha bertahan dengan pekerjaannya tersebut karena dia belum mendapatkan pekerjaan yang lebih baik. Hiroko berusaha mematuhi peraturan dari majikannya tersebut, termasuk hanya boleh cuti sebanyak satu hari selama sebulan. Belum lagi, perempuan, sebagai kelompok atau golongan, tidak terbebas dari sikap diskriminatif. Apalagi perempuan memiliki keunggulan (kekurangan?) yang tidak dipunyai lawan jenisnya (Adhitama, 2000: 7) sehingga ada beberapa perlakuan yang tidak senonoh yang dilakukan oleh suami majikannya tersebut kepada Hiroko karena keunggulan (kekurangan?) yang ada ditubuhnya itu.
Pandang matanya menyelidik sudut bilikku sekilas, kasur yang tergelar, bahu dan dadaku. Perlahan aku menenggelamkan diri, mencari lapisan kasur, menyelimuti seluruh badan hingga leher. Amat asing rasanya aku berbaring di depannya. (NH: 39)
Pada akhirnya, perbuatan tak senonoh dari majikannya itu sampai pada puncaknya yaitu memaksa Hiroko untuk melayaninya. Hal ini merupakan ketimpangan di dalam praktik seksual yaitu pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan oleh majikannya terhadap dirinya.
Selama delapan hari aku menanggung kerewelan tuan. Selama itu kualami kejadian yang sebelumnya tidak pernah kubayangkan. Dengan sikap kelaki-lakiannya yang memerintah ia menyuurh aku mengerjakan segala khayal yang dikehendakinya. ….. Dengan sikap pasip yang mendendam bercampur rasa ingin tahu, aku menurutinya. Kemudian jika perbuatan itu telah berlalu, aku berkata keras-keras dalam hati memberanikan diri, esok aku akan menolaknya, akan berkata terus terang kepadanya bahwa aku tidak mencintainya sedikit pun, dan aku membencinya. (NH: 77)
Dari kutipan tersebut terlihat jelas bahwa sebenarnya Hiroko tidak menyukai kedudukannya itu. Namun, karena ada faktor lain, Hiroko masih dapat bertahan. Bahkan untuk terus bertahan, Hiroko malah berniat meminta bayaran kepada tuannya atas pelayanannya yang terpaksa itu agar sama-sama mendapat keuntungan. Dalam hal ini, Hiroko menggunakan hak atas dirinya sendiri. Meskipun hal itu tidak dituruti oleh majikannya.
Setelah beberapa waktu berlalu, aku semakin menyadari bahwa tidur dengan dia tidak lagi merupakan kenikmatan, melainkan siksaan yang mengesalkan. Dua kali aku mencoba mengatakan kepadanya bahwa seharusnya dia memberiku sedikit uang saku. (NH: 77)
Dalam tahap ini, Hiroko masih tetap dalam ruang lingkup intensifying. Tidak bisa berbuat apa-apa, belum mampu berontak karena dari dalam dirinya, keinginan atas perubahan tersebut belum begitu besar. Namun, ada sedikit pemberontakan dengan meminta bayaran terebut. Akhirnya, semakin lama, di dalam dirinya pemberontakanpemberontakan tersebut semakin membesar dan mencapai batasnya. Hal inilah yang memicu terjadinya proses decomposing.
Kupikir segala sesuatu harus ada batasnya. Karena aku tidak tidak dapat menolak paksaan majikanku, aku akan keluar sebelum nyonya berangkat hendak melahirkan. (NH: 78)
Atas bantuan temannya pun, dia mengundurkan diri secara tiba-tiba sehingga membuat majikan perempuannya kelimpungan dan terheran-heran. Sedangkan suami majikannya tersebut, tidak mengetahui pengunduran diri tersebut. Dalam tahap ini, Hiroko telah berhasil keluar dari suatu kungkungan atas dasar pemikirannya. Dia berusaha melawan egonya (kenikmatan berhubungan seksual), dengan ego lain yang menurutnya lebih masuk akal. Hiroko telah keluar dari intensifying dan menuju decomposing. Berikut ini pembuktian dari keberhasilannya.
Di dalam taksi kami berdua tertawa terkikih tak henti. Aku merasa bahagia dapat meninggalkan rumah tersebut, sedangkan Tomiko kegelian melihat wajah nyonya yang kebingungan. (NH: 80)
Di dalam novel Namaku Hiroko perkembangan watak dari tokoh utama sangat jelas terlihat. Baik dari pemikiran tokoh utama maupun perbuatan-perbuatan yang dilakukannya. Salah satu pemikirannya yang berubah yaitu
Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga aku menerima kebanyakan hal lainnya. Keluar dari rengkuhan keluarga, bekerja dari satu kota ke kota lain, bertambah luasnya lingkungan pergaulan, aku baru melihat kepincangan-kepincangan yang semula tidak kuperhatikan. (NH: 169)
Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat pemberontakan pemikiran oleh Hiroko. Pemikiran tersebut, menjadikan Hiroko lebih kuat dalam menjalani hidup dan tidak lagi lemah terhadap laki-laki. Bahkan untuk berhubungan seks, Hiroko termasuk tipe pemilih. Hal ini membuktikan bahwa tokoh Hirokolah yang memilih seorang laki-laki bukan laki-laki yang memilihnya. Jelaslah hal ini merupakan proses perubahan decomposing tokoh Hiroko. Dari seseorang yang mau saja tidur dengan suami majikannya yang tidak ia sukai menjadi seorang pemilih dan dapat menguasai hasratnya sendiri. Penjelasan tersebut juga didasarkan oleh kutipan-kutipan berikut ini.
Jika aku hidup bersama seorang laki-laki, mauku laki-laki itu bagus wajah dan tubuhnya. Karena bagiku, cinta serta perasaan keeratan terhadap seseorang amat di pengaruhi oleh rupa jasmaniah. Watak budi bahasa terletak di belakangnya. (NH: 171)
Aku tidur hanya dengan laki-laki yang menarik hatiku, yang cocok dengan selera dan rangsang kehendakku. (NH: 205)
Aku telah mengalami dua kali berhubungan dengan laki-laki yang tidak kusukai. Itu sudah lebih dari cukup bagiku. Aku tidak terlalu memerlukan uang. Kalau aku ke hotel bersama seorang laki-laki, aku harus telah mendapat kepastian bahwa aku juga akan merasakan kenikmatan sejenak seperti pasanganku. Dan itu hanya kuperoleh sepenuhnya jika aku tertarik oleh laki-laki tersebut. (NH: 205)
Hal-hal tersebut juga memecahkan stereorip bahwa hanya laki-laki yang melihat pasangannya dari fisik. Ternyata perempuan pun ada yang berpikir seperti itu. Bahkan, dia ingin merasakan kenikmatan sejenak dalam hubungan intim yang singakat. Hal ini sangatlah jarang diucapkan oleh perempuan. Namun, Hiroko telah berani mengakui hal tersebut. Paling tidak, dia telah jujur terhadap dirinya sendiri. Mengenai pandangannya terhadap desa pun telah berubah. Hiroko sudah tidak peduli dengan aturan yang dulu terdapat di desanya. Bahkan, niat untuk mengunjungi desanya pun tidak ada. Ayahnya yang dulu memegang kekuasaan penuh, sudah tidak begitu di mata Hiroko. Ayahnya sudah tidak pernah lagi memerintah Hiroko karena kiriman uang tiap bulan yang diberikan Hiroko. Dengan demikian, Hiroko memegang kendali atas ayahnya. Hal ini menandakan adanya proses perubahan decontruction, di mana struktur gender menjadi lebih imbang dari sebelumnya. Selain masalah tersebut, deconstruction sepertinya terdapat dalam kasus pengambilan keputusan yang akhirnya dilakukan oleh Hiroko ketika dia memutuskan menjadi wanita simpanan dari suami temannya sendiri. Awalnya Hiroko adalah seorang yang meskipun mempunyai hak sepenuhnya atas tubuhnya, dia bukanlah seorang yang mudah begitu saja dekat dengan seorang laki-laki. Begitu pun ketika dia dekat dengan Yoshida, suami temannya, dia menyadari bahwa sebenarnya hubungan tersebut tidak lazim dilakukan. Selain belum menikah, Yoshida sudah beristri. Namun, karena rasa cinta yang semakin besar dan penghidupan yang layak yang diberikan oleh Yoshida membuatnya bersedia menjalani kehidupan tersebut.
Aku mendapat sebutan perempuan simpanan dari mulut masyarakat. Tetapi itu tidak menyinggung perasaanku. Aku dan Yoshida saling membutuhkan. Dia memberiku semua yang kuminta. (NH: 242)
Ya. Aku puas dengan kehidupanku. Hidup di tengah kota yang beragam. Dan aku tidak menyesali pengalaman-pengalamanku. (NH: 242)
Dari pengakuan Hiroko tersebut, terlihat persamaan gender antara laki-laki dan perempuan. Hiroko tidak menempatkan dirinya di sisi yang tertindas karena menjadi simpanan adalah keputusannya sendiri, guna memenuhi kebutuhan jasmani dan rohani. Dia menggunakan hak atas dirinya, tidak peduli dengan pendapat masyarakat sekitarnya. Hal ini merupakan proses deconstruction yang memancing proses reconstruction. Namun proses kehidupan Hiroko belumlah samapai pada recomposing dan reconstruction.
1. 4. Penutup Perempuan di Jepang pada zaman dahulu memang dianggap kotor. Mereka menduduki posisi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki. Hal tersebut merupakan hal yang wajar bahkan pernah ada undang-undang yang menyebutkan bahwa seorang perempuan selayaknya tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak laki-lakinya yang menduduki posisi kepala keluarga. Awalnya Hiroko memang seperti itu, menuruti segala aturan yang ada termasuk mematuhi tanpa komentar setiap perintah ayahnya. Dia tidak pernah mempermasalahkan kepada ayah dan ibunya tentang perbedaan sikap terhadap anak laki-laki dan perempuan di dalam keluarganya. Hiroko mengalami pengalaman hidup yang membuat pemikirannya berkembang. Meskipun pendidikannya rendah tetapi diceritakan bahwa Hiroko mampu mendapat pekerjaan yang lebih dari sekedar pembantu, yaitu menjadi pelayan toko pada pagi hari serta pada malam hari sebagai penari kabaret. Hal itu menjadikannya seorang pemilik toko tersebut dan juga sebagai pemilik bar tempatnya bekerja sebagai penari kabaret. Dia pun menjadi seorang perempuan yang sangat pemilih dalam menentukan lawan jenis untuk berhubungan intim. Kini kehidupannya sudah meningkat, dari seorang gadis desa yang tidak mempunyai apa-apa menjadi seorang wanita kaya yang meskipun juga seorang simpanan suami temannya sendiri. Dari perubahan-perubahan tersebut, penulis dapat menemukan proses intensifying, decomposing, dan decontruction di dalam kehidupan Hiroko. Untuk proses recomposing dan recontruction, tidak penulis temukan. Kemungkinan atas dasar ketidaktelitian dari penulis atau bahkan karena sedikitnya pengetahuan yang dimiliki oleh penulis atas proses kehidupan manusia dalam perspektif gender. Kesimpulan yang penulis dapatkan adalah sebenarnya pada akhirnya kaum perempuan sendiri atau kesadaran kaum wanita sendiri, yang amat menentukan kemungkinan peningkatan status mereka, meskipun tentu perlu diperkuat dengan sistem hukum dan keterbukaan struktur sosial untuk perubahan-perubahan yang mendasar.
1.
Pendahuluan
Karya sastra menggunakan bahasa sebagai medianya. Bahasa itu sendiri merupakan penggambaran ekspresi sosial. Melalui bahasa, sastra mendeskripsikan kehidupan manusia yang mencakup hubungan antarmasyarakat dan antarperistiwa, khususnya yang terjadi di dalam batin seseorang. Aspek yang menjadi bahan sastra ini merupakan ide yang mendasari pembentukan unsur-unsur yang menyusun suatu karya sastra menjadi kesatuan yang utuh. Unsur-unsur dalam karya sastra dapat digolongkan ke dalam dua bentuk, yaitu unsur intrinsik dan unsur ekstrinsik. Pengarang dapat menampilkan kedua unsur tersebut secara langsung dengan tersurat atau tidak langsung dengan tersirat. Unsur intrinsik yang dikandung karya sastra di antaranya adalah tokoh dan penokohan, alur, latar, tema, dan amanat yang membangun karya sastra menjadi kesatuan yang utuh dan berisi. Unsur ekstrinsik merupakan hal-hal di luar unsur intrinsik yang mempengaruhi suatu karya sastra, seperti keadaan politik dan latar belakang pengarang. Sastra memiliki hubungan yang erat dengan masyarakat sehingga harus diteliti dalam kaitannya dengan masyarakat. Pertimbangan-pertimbangan yang mendasari hal tersebut adalah: a) karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh pencerita, disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat, b) karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, c) medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui kompetensi masyarakat, d) karya sastra mengandung estetika, etika, dan logika yang jelas merupakan kepentingan masyarakat, e) masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya sastra. Pertimbangan-pertimbangan tersebutlah yang mendorong kemunculan sosiologi sastra. Unsur ekstrinsik yang dibahas dalam makalah ini adalah sosiologi, yaitu kehidupan manusia yang digambarkan dalam latar sosial. Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya, adat kebiasaan, cara hidup, bahasa, dan lain-lain yang melatari peristiwa. Sosiologi merupakan pendekatan terhadap karya sastra yang menganggap karya sastra adalah milik masyarakat. Pendekatan sosiologis memiliki dasar filosofis berupa hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakat. Hubungan-hubungan yang dimaksudkan disebabkan oleh: a) karya sastra dihasilkan oleh pengarang, b) pengarang itu sendiri adalah anggota masyarakat, c) pengarang memanfaatkan kekayaan yang ada dalam masyarakat, dan d) hasil karya sastra itu dimanfaatkan kembali oleh masyarakat. Dalam memaknai karya sastra, pembaca tidak terbatasi oleh pemikiran pengarang. Mereka bebas mencari apa yang diungkapkan dalam karya sastra tersebut sesuai dengan pengetahuan dan sudut pandang mereka terhadap suatu fenomena kehidupan. Karya sastra bersifat multiinterpretasi, bebas tafsir, dan subjektif. Dengan demikian, perbedaan pemikiran antara pembaca dan pengarang menjadi hal yang tidak dapat dielakkan. Namun, pembaca adalah bagian dari masyarakat. Begitu halnya dengan pengarang. Pengarang mengambil hal-hal yang terjadi di dalam masyarakat untuk diungkapkan atau memperkaya karya sastra yang ditulisnya. Karya sastra dimanfaatkan oleh pembaca sebagai referensi untuk mengembangkan pola pikir dalam menjalani
kehidupan bermasyarakat. Hal ini menunjukkan adanya keterikatan pemikiran antara pengarang dan pembaca dalam menyikapi suatu karya sastra. Kehadiran pengarang sebagai konseptor ide dalam karya sastra pun tidak dapat dipungkiri. Oleh karena itu, dalam menganalisis suatu karya sastra, latar belakang pengarang perlu diketahui. Nh. Dini bernama lengkap Nurhayati Suhardini, lahir pada tanggal 29 Februari 1936 di Semarang. Berpendidikan SMS (1956), kemudian kursus pramugari dan menjadi pramugari di GIA (1957-1960) dan terakhir mengikuti kursus B-1 Jurusan Sejarah (1957). Nh. Dini mulai menulis sejak tahun 1951. Pada tahun 1953 cerpen-cerpennya mulai dimuat di majalah Kisah, Mimbar Indonesia, dan Siasat. Selain menulis cerpen, Dini juga menulis sajak dan sandiwara radio, serta novel. Pernah bermukim di Jepang, Perancis, dan Amerika Serikat. NH. Dini merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dan dilahirkan oleh pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah. Ayahnya, Saljowidjojo telah wafat ketika Dini duduk di bangku SMP sedangkan ibunya adalah seorang pembatik. Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang dan Pierre Louis Padang. Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis. Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh, Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya pada tahun 1967. Dini berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta. Karya-karya NH Dini antara lain, Dua Dunia (1956), Hati yang Damai (1956), Pada Sebuah Kapal (1973), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977), Keberangkatan (1977), Sebuah Lorong di Kotaku (1978), Padang Ilalang di Belakang Rumah (1978), Langit dan Bumi Sahabat Kami (1979), Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1984), Polyboth (1984), Pertemuan Dua Hati (1986), dan Dari Parangakik ke Kampuchea (2003). Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku Dari biografi singkat NH. Dini di atas, terlihat adanya hubungan yang erat antara dirinya dengan karya sastra yang dibuatnya. Salah satunya yaitu Jepang sebagai latar tempat dalam novel Namaku Hiroko. Di dalam biografi di atas, kita mengetahui bahwa NH. Dini sempat bermukim di Jepang selama 3 tahun. Oleh karena itu, tentunya NH. Dini menyinggung kondisi sosial masyarakat Jepang melalui ceritaceritanya. Hal ini menjadi sangat menarik ketika kita dapat menganalisis kondisi sosial apa saja yang kita temui dalam novel tersebut.
1. Ringkasan Novel Namaku Hiroko Novel ini bercerita tentang perjalanan hidup seorang gadis Jepang bernama Hiroko. Hiroko adalah seorang gadis desa yang miskin dan tidak berpendidikan. Dia yang
sangat menyukai namanya sehingga dia selalu menyebut nama Hiroko di depan nama keluarganya. Di desa tempat tinggalnya, dia tinggal bersama Ayah, Ibu tiri, dan adikadiknya. Harapannya untuk hidup secara layak di desa tidak memungkinkan lagi. Ayah Hiroko menanggung beban pekerjaan di ladang sendirian. Ibu tirinya membantu ayahnya di ladang dan juga mengurusi rumah, sedangkan kedua adik lelakinya cerewet dan hanya memikirkan diri sendiri. Suatu ketika seorang tengkulak menawari sang ayah mempekerjakan Hiroko sebagai pembantu rumah tangga di kota. Dengan keadaan rumah yang demikian, Hiroko pun menerima pekerjaan tersebut. Akhirnya Hiroko dikirim ke kota untuk menjadi pembantu rumah tangga. Di kota, ia bekerja pada pasangan suami isteri yang belum beranak. Menurut Hiroko majikan prianya merupakan pria yang tidak bisa dikatakan tampan dengan gigi yang mendesak. Hiroko merupakan gadis remaja yang memiliki daya tarik kuat yang tersimpan di tubuhnya. Inilah sebabnya ia menjadi incaran iseng nafsu tuannya. Namun, yang pertama kali mengenalkan kelezatan asmara pada Hiroko bukan masjikannya sendiri, tetapi ipar majikannya yang mempunyai wajah tampan dan terpelajar. Dari kejadian tersebut, beruntunlah kejadian yang serupa. Setelah ia beberapa kali digauli oleh Sanao, ipar majikannya, akhirnya ia jatuh juga menjadi sasaran majikannya sendiri yang tidak berwajah tampan. Pada peristiwa-peristiwa inilah rupanya tumbuh kesadaran terhadap Hiroko atas kelebihan yang tersimpan di dalam tubuhnya. Hiroko mengundurkan diri dari majikan lamanya. Setelah berpindah-pindah kerja sebagai pembantu rumah tangga di kota yang lebih besar, akhirnya ia mendapatkan kerja di sebuah toko pakaian yang dimiliki oleh seorang wanita misterius yang ternyata kelak diketahui juga bernama Hiroko yang juga dulunya berasal dari desa. Sejak nasib baiknya ini, hidup Hiroko memasuki masa terang. Saat itu, ada dua pekerjaan yang dia lakukan, pada siang hari dia bekerja di toko, malam harinya menjadi hostes dan akhirnya menjadi seorang penari telanjang. Sebagai penari telanjang inilah, rezekinya semakin bertambah, pengalaman hidupnya semakin banyak, kecerdasannya semakin tumbuh, dan semangat materialipada akhirnya, Hiroko menemukan kekasih hatinya, seorang pria yang tampan dan kaya. Hiroko sangat mencintai kekasihnya itu sehingga ia rela menjadi simpanannya. Akhirnya, mereka hidup bersama dan mempunyai dua orang anak. Novel ini diakhiri dengan perkataan Hiroko yang mengatakan bahwa dia tidak pernah menyesal dengan jalan hidupnya yang pada saat itu menempati posisi sebagai simpanan dari suami sahabatnya sendiri.
1. Kondisi Sosial Masyarakat Jepang di dalam Novel Namaku Hiroko Novel-novel NH. Dini memiliki beberapa ciri yang tetap. Seluruh kejadian datang secara berurutan bersama tokoh utama. Orang-orang datang dan pergi dalam kehidupan tokoh utama. Tokoh utama itu selalu seorang wanita, yang meskipun tidak cantik benar, dia memiliki daya tarik tersendiri bagi kaum laki-laki, dalam novel ini
Hiroko mempunyai tubuh yang sintal, buah dada besar dan pantat yang menonjol, sehingga protagonis ini selalu mempunyai kekasih atau pengagum yang cukup banyak. Pengagum-pengagum tersebut biasanya dari berbagai bangsa. Akibatnya, tokoh utama ini menjadi seorang yang pemilih. Ia menjadi seorang pemilih laki-laki yang ahli. Faktor ini ditambah dengan gaya penceritaan orang pertama yang berupa uraian kenangan masa lampaunya atau sebuah catatan harian, sehingga kita mengenal benar watak dan kepribadian si pencerita ini. Tokoh wanita ini menceritakan riwayatnya sendiri, seluruh kejadian dia nilai berdasarkan nilai-nilai yang dia anut. Seperti hal yang menyangkut dengan hubungan intim dengan lawan jenis secara bebas tanpa memperdulikan norma umum masyarakat dan penilaiannya terhadap laki-laki yang disukai dan tidak disukainya. Tema cerita pada setiap karya Dini tidak pernah berubah sejak dasawarsa 1050-an. Dini selalu menempatkan protagonisnya sebagai seorang wanita muda yang berada dalam kondisi sulit dan terdesak oleh lingkungannya tetapi selalu berjuang untuk lepas dan memperoleh kebahagiannya. Kadang-kadang perjuangan tokoh tidak berhasil, tetapi beberapa dari hasil karyanya digambarkan tokoh yang berhasil. Di dalam novel Namaku Hiroko ini menceritakan perjuangan tokoh wanita yang berhasil. Dalam penelitian sosiologi sastra, karya sastra dinilai sebagai sebuah cermin masyarakat. Menurut Laurenson dan Swingewood (1971) terdapat tiga perspektif berkaitan dengan sosiologi sastra, yaitu (1) penelitian yang memandang karya sastra sebagai dokumen sosial yang di dalamnya merupakan refleksi situasi pada masa sastra tersebut diciptakan, (2) penelitian yang mengungkap sastra sebagai cermin situasi sosial penulisnya, dan (3) penelitian yang menangkap sastra sebagai manifestasi peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya1. Di dalam novel Namaku Hiroko, kita mengetahui bahwa unsur lokalitas Jepang sangat kental membangun keutuhan isi cerita. Dengan membaca novel ini, kita pun mengetahui segala persoalan perempuan Jepang, salah satunya kedudukan sosial, selain itu di dalam novel ini juga terlihat bentrokan yang terjadi antara tradisi dan modernitas yang ada di dalam novel Namaku Hiroko.
1. Persoalan Perempuan Untuk memperoleh gambaran mengenai perempuan Jepang dalam karya sastra Namaku Hiroko ini, akan dilihat penggambaran tokoh perempuan yang disampaikan oleh pengarangnya. Gambaran tersebut diharapkan akan berbentuk deskripsi bagaimana mereka hidup dalam masyarakatnya.
1. Posisi dan Kedudukan Perempuan
Kedudukan perempuan Jepang dalam masyarakatnya secara umum dapat terlihat dari tokoh-tokoh perempuan di dalam novel Namaku Hiroko. Kedudukan perempuan tersebut terbagi di dalam lingkungan rumah tangga, pekerjaan, dan lingkungan pendidikan. Di dalam lingkungan rumah tangga, kedudukan perempuan dalam tokoh tersebut dapat terlihat dengan jelas dari kedudukan istri terhadap suaminya dan anak perempuan dengan ayahnya. Hubungan antara istri dan suaminya, dapat terlihat pada kutipan berikut ini.
Tuan sering pulang malam bersama pemuda itu. Mereka pulang mendekati pagi. Jika mereka pergi nyonya tidak tidur semalaman menunggunya. Segera setelah terdengar suaranya di lorong samping, nyonya melompat lalu menunggunya di depan pintu, bersimpuh menurut cara negeri kami2. Wanita setengah umur itu membiarkan si pemuda asing masuk ke dalam rumah. Kemudian nyonya membuka tali sepatu tuan sambil mengucapkan pertanyaan-pertanyaan yang beruntun seraya mendengarkan jawabannya. …. Dan selama itu nyonya tetap bersimpuh di depan pintu sehingga suaminya habis menceritakan kejadian malam itu. Barulah nyonya berdiri memberi jalan kepada suaminya masuk ke kamar dan tidur. (NH: 17–18)
Dari kutipan di atas, jelas terlihat bahwa di dalam rumah tangga, perempuan Jepang berkedudukan di bawah suaminya. Stereotip yang tercipta adalah sebagai seorang istri, perempuan harus setia menunggu suaminya pulang. Sebagai istri yang baik, perempuan harus melayani suami dengan segenap hati seperti yang terlihat pada kutipan di atas, majikan Hiroko menunggu suaminya pulang dan dengan ketaatan sebagai istri, dia bersimpuh dan melayani suaminya dengan membukakan tali sepatunya. Namun, dari cerita selanjutnya, tokoh Hiroko berkata bahwa dia baru sekali ini melihat kejadian seperti itu. Di desa tempatnya tinggal, dia tidak pernah melihat ibunya menunggu ayahnya sampai pulang dari minum-minum, bahkan ketika ayahnya pulang, ibunya malah menyingkir karena melihat ayahnya mabuk. Dengan demikian, ada perbedaan kedudukan perempuan sebagai istri di kota dan di desa. Di kota, seorang istri begitu melayani suaminya sedangkan di desa, hal tersebut biasa saja. Namun, dalam hal tunduk pada perintah suami, istri di kota dan di desa sama saja. Mereka cenderung melaksanakan perintah suaminya tanpa membantah. Hal ini juga berlaku kepada anak perempuan dari keluarga itu. Perintah orangtua, khususnya ayahnya, tidak pernah ia bantah.
Empat hari kemudian aku duduk di samping sopir truk yang membawa hasil panen desa ke kota. Waktu itu umurku hampir enam belas tahun. Sudah dua tahun aku tidak bersekolah. Keputusan yang diambil ayahku merupakan peraturan yang harus dituruti tanpa dirunding pihak yang bersangkutan. Pada waktu itu aku menerimanya dengan kewajaran abadi penuh ketaatan. Ayahku seorang yang menentukan dalam kehidupan
kami. Dan aku yang dibesarkan dengan lingkungan adat kepala tunduk untuk mengiyakan semua perintah orangtua, tidak melihat alasan apa pun buat membantahnya. Padahal waktu itu aku khawatir. (NH:15)
Dalam kutipan tersebut, jelas otoritas sang ayah di dalam keluarganya sangat dipatuhi oleh Hiroko. Hiroko tidak berani membantah ataupun membela diri. Menurutnya, hal tersebut merupakan hal yang wajar. Hal ini kemungkinan disebabkan pernah adanya hukum yang berlaku di masyarakat bahwa seorang perempuan selayaknya tunduk kepada ayahnya, kemudian kepada suaminya, dan pada hari tuanya kepada anak lakilaki nya yang menduduki posisi kepala keluarga (Okamura, 1983:6). Hal ini berlaku setelah perang dunia ketiga. Menurut Okamura, pada saat ini hukum tersebut telah dihapuskan tetapi pada kenyataan, seorang perempuan atau pun seorang istri masih menganut hukum tersebut. Kemungkinan karena memang sulit untuk menghapuskan sesuatu yang sudah turun temurun. Dalam bidang pekerjaan, di dalam novel Namaku Hiroko, terlihat jelas perbedaan kedudukan perempuan dan laki-laki. Di dalam novel tersebut hanya sedikit perempuan yang diceritakan mempunyai jabatan pekerjaan yang tinggi. Kebanyakan diceritakan seperti stereorip yang ada bahwa perempuan adalah ibu rumah tangga, istri yang hanya bekerja mengurus rumah, suami, dan anak, bahkan diceritakan kebanyakan perempuan desa di Jepang bekerja sebagai pembantu. Kalaupun ada, yang diceritakan adalah kesuksesan perempuan dengan pekerjaan yang tidak layak, seperti pemilik bar dan toko tetapi hal itu merupakan pemberian dari suami orang lain, ada juga diceritakan seorang perempuan yang sukses ketika menjadi penari telanjang sehingga mempunyai uang yang banyak. Sebaliknya, di dalam novel ini diceritakan kesuksesan laki-laki atau para suami yang mempunyai pekerjaan yang bagus dengan gaji yang besar. Memang ada satu bagian yang menceritakan kesuksesan seorang perempuan yang berhasil dalam pengelolaan toko tetapi rumah tangganya diceritakan hancur. Hal ini membuktikan bahwa peranan laki-laki di dalam rumah tangga lebih besar dibandingkan perempuan. Dengan kata lain, jika perempuan di Jepang ingin sukses, dia harus rela tidak memiliki hubungan yang baik di dalam rumah tangganya. Kedudukan dalam pendidikan di Jepang (abad ke-19) antara perempuan dan laki-laki ternyata dibedakan. Selama masa pendidikan wajib 6 tahun, baik anak laki-laki maupun anak perempuan memperoleh pengajaran secara bersamaan; tidak ada diskriminasi dalam pelajaran-pelajaran yang diberikan. Perbedaan timbul pada tingkatan yang kedua: anak laki-laki melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah (5 tahun) atau pendidikan keterampilan, sedangkan anak-anak perempuan memasuki Sekolah Menengah Khusus bagi mereka (4 atau 5 tahun) (Okamura, 1983: 53-54). Sistem diskriminasi ini berlandaskan sebuah sikap yang terungkapkan dalam pepatah feodal “pendidikan tak perlu bagi kaum wanita”. Gagasan ini merupakan pendukung dari stereotip perempuan dipersiapkan agar dia dapat baik dan mampu sebagai ibu rumah tangga sedangkan laki-laki diyakini sebagai pencari naskah. Dengan keterangan tersebut, Hiroko sebagai perempuan Jepang pada masanya tidak mendapatkan hak berpendidikan. Bahkan ayahnya, menyuruhnya berhenti bersekolah.
Hal ini semakin memperjelas kedudukan perempuan di dalam rumah tangga, pekerjaan, dan pendidikan.
1. Perempuan sebagai Penggoda Ketika zaman pendudukan Jepang, umumnya diketahui bahwa sejumlah wanita Jepang didatangkan untuk menempati rumah-rumah penghibur tentara Jepang. Akan tetapi, karena biasanya rumah-rumah tersebut dilingkari tembok yang tinggi, masyarakat di luar tidak dapat mengenal mereka. Kemudian, sesudah Jepang ditaklukan dan diduduki oleh tentara Amerika, berbagai film yang bersifat romantis dibuat oleh pefilm-pefilm Amerika yang pada umumnya menggambarkan wanita Jepang sebagai makhluk-makhluk yang lemah lembut yang kehadirannya di dunia ini semata-mata untuk mengabdikan dirinya kepada kaum laki-laki (Tan, 1979: vii). Penjelasan tersebut membuat stereotip bahwa kebanyakan perempuan di Jepang adalah wanita penghibur. Hal ini juga diangkat oleh NH. Dini sebagai pekerjaan dari tokoh utama, Hiroko, yaitu penari telanjang sekaligus kadang-kadang menjual tubuhnya. Dari sudut pandang seorang istri, tentulah Hiroko dianggap wanita penggoda. Apalagi ketika dia masih menjadi seorang pembantu, dia tidur dengan majikannya dan tidak dapat menolaknya kemudian. Ketika dia bekerja sebagai pelayan toko ada seorang laki-laki yang menyukainya dan ketika Hiroko mengetahui bahwa laki-laki itu kaya dan sudah beristri, Hiroko menunjukkan sikap jinak-jinak merpati yang membuat laki-laki itu malah semakin penasaran walaupun pada akhirnya Hiroko menghindari laki-laki itu. Di akhir cerita, NH. Dini menceritakan bahwa Hiroko menjadi kekasih seorang lakilaki yang sudah beristri. Jelaslah dari itu semua NH. Dini menyetujui bahwa perempuan sebagai penggoda laki-laki meskipun NH. Dini juga menceritakan di dalam novelnya bahwa hal itu bukan sepenuhnya kesalahan perempuan.
1. Tradisi versus Modernitas Di dalam novel ini ada beberapa bentrokan yang terjadi antara tradisi dan modernitas. Bentrokan ini terjadi ketika sebuah tradisi dihadapkan kepada modernisasi kehidupan. Seperti halnya adat-adat yang dulunya masih berlaku tetapi ketika adat-adat tersebut sudah bertemu dengan zaman modern, adat-adat tersebut akan menjadi berkurang atau hilang sama sekali. Ketika pertama kali Hiroko datang ke kota, dia sangat mengagumi kehidupan kota. Entah cara berpakaian orang-orang di sana, cara berdandan seorang perempuan, hubungan antara laki-laki dan perempuan yang di luar batas, serta pembicaraanpembicaraan antar pembantu. Hal-hal tersebut merupakan sesuatu yang baginya. Pertemuan dua tradisi atau kebiasaan antara tradisi lama dan tradisi baru (modern)
membuat Hiroko mengalami perkembangan dalam hal pemikiran maupun dalam hal fisik. Dulunya, Hiroko seorang yang sederhana dan jalan pikirannya pun demikian. Masih banyak hal-hal yang dianggapnya tidak wajar. Akan tetapi, kemudian Hiroko mulai terbiasa dengan hal itu, dia mulai berpakaian seperti layaknya seorang kota dengan membeli baju-baju mahal dan berdandan untuk mempercantik diri. Hubungan dengan lawan jenis pun telah dia anggap sebagai hal yang wajar. Dulunya dia menghindar dari topik-topik tabu dalam pembicaraan antar pembantu, akhirnya dia mulai terbiasa, bahkan bercerita tentang kehidupan pribadinya. Bahkan yang lebih ekstrim, dia mengalami perubahan dalam pemikiran. Seperti yang terlihat pada kutipan di bawah ini.
Di negeriku, waktu itu kedudukan wanita jauh di bawah laki-laki. Baik dalam tata cara adat maupun undang-undang. Sejauh ingatanku, selama di desa aku tidak memandang hal itu sebagai sesuatu yang aneh atau menimpang dari kebiasaan. Aku menerimanya seperti juga aku menerima kebanyakan hal lainnya. Keluar dari rengkuhan keluarga, bekerja dari satu kota ke kota lain, bertambah luasnya lingkungan pergaulan, aku baru melihat kepincangan-kepincangan yang semula tidak kuperhatikan. (NH: 169)
Dari kutipan tersebut, jelaslah terlihat pemberontakan pemikiran oleh Hiroko. Pemikiran Hiroko mulai berkembang berdasarkan pengalamannya di kota besar. Dia dapat memikirkan hal tersebut karena pertemuan antara tradisi dengan modernisasi.
1. Kesimpulan Isi dari novel Namaku Hiroko merupakan tanggapan dari pengarang novel itu sendiri tentang masyarakat Jepang. NH. Dini yang sempat bermukim di Jepang selama tiga tahun karena ikut serta suaminya yang bertugas, jelas mengetahui seperti apa kehidupan masyarakat Jepang. Dari sudut pandangnya, NH. Dini memaparkan semuanya ke dalam tulisan secara apik. Untuk mengetahui adat istiadat, kebiasaan, penduduk Jepang, tentunya NH. Dini terjun langsung dengan memperhatikan kesekitarnya. Hal tersebut membuat pembaca karya-karyanya dapat mengetahui seperti apa keadaan yang terjadi di sana. Di mulai dengan persoalan perempuan Jepang yang digambarkan masih dalam posisi yang kurang menguntungkan karena mereka masih terkungkung oleh adat dan pendidikan yang rendah. Dalam cerita ataupun kehidupan nyata, mereka muncul sebagai pembantu rumah tangga atau perempuan penggoda yang moralitasnya rendah. Dalam kedudukan sosial pun, masih terlihat adanya ketidakseimbangan antara lakilaki dan perempuan. Perempuan menduduki posisi yang lebih rendah bila dibandingkan dengan laki-laki.
Pertemuan tradisi dan modernisasi ternyata membuat karakter seseorang berubah seperti yang terjadi dengan Hiroko. Awalnya Hiroko merupakan seorang gadis desa yang sederhana, setelah pindah ke kota, dia pun menjadi seorang yang modern, baik secara fisik maupun secara pemikiran. NH. Dini menggambarkan hal-hal tersebut secara tersirat dalam novel ini.