Rasionalitas Syariat Islam

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Rasionalitas Syariat Islam as PDF for free.

More details

  • Words: 4,063
  • Pages: 11
RASIONALITAS SYARIAT ISLAM (Bagian Pertama) Oleh: Muchtar Luthfi “Tsamarotul 'aqli luzûmul haqq(i)”; hasil (mengikuti) akal adalah komitmen pada kebenaran. (Ali bin Abi Thalib as) “Science without religion is lame, raligion without science is blind”; ilmu pengetahuan tanpa agama niscaya lumpuh, agama tanpa ilmu pengetahuan akan buta. (Albert Einstein) Salah satu isu penting dalam diskursus filsafat agama adalah relasi agama dan rasio. Jika kita mengurut kronologi isu ini, akan kita dapati betapa peliknya para rohaniawan Kristen pada abad pertengahan dalam mempertahankan dogma-dogma agama yang banyak tidak sesuai dengan interpretasi akal dan ilmu pengetahuan[1]. Dari situ, muncullah beberapa pemikiran para intelektual yang ingin mengkritisi dogma-dogma tersebut, ataupun usahausaha meng-ishlah-kan ajaran agama dengan rasio. Tersusunlah apa yang disebut dengan “Teologi Baru” (new theology) sebagai satu usaha dalam rangka niatan tersebut. Isu relasi agama dan rasio pada akhirnya menyebabkan seorang Kristian, Fulton J. Sheen, dalam karyanya “God and Intelligence in Modern Philosophy”, mengatakan, “Pengingkaran terhadap akal adalah pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaanNya tak terbatas, sebagaimana pengingkaran terhadap Tuhan yang kesempurnaan-Nya tak terbatas adalah pengingkaran terhadap akal; kedua hal tersebut tak mungkin terpisahkan”. Reaksi para teolog dan pemuka rohaniawan Kristen—dalam mempertahankan keyakinan mereka menghadapi tantangan tersebut—cukup beragam. Saat itu muncullah tiga bentuk reaksi[2]: a. Strong Rasionalism; reaksi ini meyakini bahwa rasio dan argumentasi pasti mampu menjelaskan segala ajaran agama secara benar. Willian K. Clifford, Thomas Aquinas, dan John Looke seringkali tampil sebagai tokoh-tokoh utama pemikiran ini. b. Fideism; reaksi ini berkeyakinan bahwa ajaran agama adalah doktrin yang tidak bisa disentuh oleh rasio manusia. Hal itu mengingat ajaran agama berada di luar daya dan kapasitas rasio. Paul Tillich, Martin Luther, dan Sir. Anselm termasuk yang meyakini hal tersebut. c. Critical Rasionalism; sikap ini menegaskan bahwa rasio mampu menjelaskan ajaranajaran agama, hanya saja kebenarannya tidak dapat ditetapkan secara pasti. Thomas Morris, George Mavrodes, dan penulis buku itu sendiri cenderung kepada pendapat ketiga ini.

Dari sini kita tahu, bahwa dalam tradisi Kristen seakan argumentasi rasional lebih ditekankan dalam rangka pembelaan atas ajaran agama (apologetic). Dengan kata lain, rasio dipergunakan untuk mencari pembenaran, bukan untuk mencari kebenaran. Di kalangan umat Islam pun sudah ada tantangan dalam upaya mengkompromikan agama dan rasio, yang terkadang digelindingkan oleh beberapa pemikir yang selalu kritis dalam memperlakukan teks-teks agama yang dianggap tidak sesuai dengan alam pikiran mereka. Islam sebagai agama pamungkas dan syariat terakhir yang diturunkan oleh Allah SWT, serta Al-Quran sebagai kitab suci terakhir dituntut mampu dalam menjawab semua tantangan yang ada. Adakah ajaran Islam selaras dengan apa yang diserukan oleh akal budi manusia? Apakah Islam dengan berbagai teks agama yang dimilikinya mampu menjawab semua tantangan rasionalitas pemikiran? Jika jawabannya adalah negatif, niscaya Islam akan kehilangan predikatnya sebagai agama terakhir yang idealnya mampu menjawab tantangan segala zaman. Akan tetapi, jika jawabannya adalah positif, maka akan banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan permasalahan tersebut sebagai konsekuensi dari jawaban positif tadi. Dari sekian banyak pertanyaan yang muncul dari isu tersebut ialah, apakah yang dimaksud dengan rasio? Adakah rasio bisa menjadi tolok ukur kebenaran ajaran suatu agama? Bagaimana Islam menerima argumentasi rasional? Adakah ia sebatas sebagai apologetic sebagaimana yang digunakan dalam tradisi Kristen, atau memang sudah menjadi keseutuhan Islam? Sampai batas manakah rasio bisa menjadi dalil kebenaran? Bagaimanakah rasio manusia yang relatif ini bisa menjadi tolok ukur kebenaran? Bagaimana metode ishlâh dan penyelarasan antara rasio dan agama? Bagaimana jika ternyata terjadi ketimpangan antara rasio dan teks agama? Dan masih banyak lagi pertanyaan yang muncul dari isu itu. Kami di sini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan yang menjadi dasar pemikiran Rasionalitas Agama itu secara ringkas. Sebelum kita masuk pada inti pembahasan, terlebih dahulu kita kaji beberapa hal di bawah ini secara singkat yang sekaligus sebagai prolog pembahasan kita kali ini: Pertama, dalam kehidupan kita sehari-hari bisa dipastikan, bahwa apa pun yang biasa dicerna oleh pikiran kita—terlepas dari benar atau salahnya—tidak akan keluar dari tiga kategori berikut ini: 1. Rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita—dengan arti umum—dan sesuai dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat.[3] 2. Irasional; segala sesuatu yang tidak sesuai dengan realita dan tidak sesuai pula dengan prinsip-prinsip logika manusia sehat. 3. Supra-rasional; segala sesuatu yang sesuai dengan realita, akan tetapi penerapan logika manusia dalam menetapkannya masih belum didapat. Dengan kata lain, hal tersebut bukan berarti termasuk kategori tidak masuk akal (irrasional), akan tetapi—

dikarenakan keterbatasan akal—ia belum mampu—atau bahkan tidak mampu karena halhal yang akan kita jelaskan nanti—untuk menjangkaunya secara argumentatif, dan tidak menutup kemungkinan suatu saat kelak akal akan mampu menganalisanya dengan argumentasi yang logis sesuai dengan prinsip-prinsip dasar logika. Kedua, sudah menjadi kesepakatan semua kelompok muslimin bahwa ajaran syariat Islam[4] bertumpu pada dua[5] pilar: 1. Ushuluddin; dari segi leksikal, ushul kata jamak dari ashl yang berarti asas, sedangkan dîn berarti agama. Dengan demikian, ushuluddin berarti asas-asas agama. Ajaran agamaagama samawi (Yahudi, Kristen, dan Islam) sepakat bahwa ada tiga asas pokok yang dimiliki oleh agama Allah yang mencakup Ketuhanan, Kenabian, dan Hari Kebangkitan. 2. Furu’uddin; dari sisi leksikal, furû’ adalahbentuk plural dari far’ yang berarti cabang. Dengan demikian, furu’uddin berarti cabang-cabang agama. Cabang-cabang agama ini mencakup urutan tata cara ibadah yang biasa disebut dengan syariat.[6] Syariat dalam makna ini mencakup ritualitas ('ibâdah), transaksi (mu'âmalah), dan hukum pidana (jinâyah). Ketiga, ajaran-ajaran agama Islam yang tercantum dalam Al-Qur’an dan hadis-hadis sahih tidak lepas dari dua bentuk penyampaian: 1. Penyampaian deskriptif; ajaran yang disampaikan dengan bentuk ini berpotensi untuk dilakukan pembuktian akan benar-salahnya. Karena ajaran melalui proses penyampaian deskriptif (jumlah-ikhbariah) merupakan usaha untuk membangun kerangka pengetahuan sehingga dalam pembuktiannya bisa melalui argumentasi-argumentasi logika. 2. Penyampaian normatif; ajaran yang disampaikan melalui bentuk normatif (jumlahinsyâ’iah) ini tidak memiliki potensi untuk diadakannya suatu pembuktian salahbenarnya. Karena ajaran melalui proses tersebut tidak berfungsi untuk membangun suatu kerangka pengetahuan, maka argumentasi dalam menetapkan benar-salah tidak berfungsi dalam hal ini. Kalaulah akan diadakan suatu penelitian, maka hanya berkisar tentang sebab (baca: hikmah[7]) di balik perintah atau larangan tersebut. Setelah kita mengetahui sekilas prolog di atas, marilah kita tengok pendapat kelompokkelompok Islam dalam menghukumi peranan argumentasi rasional dalam ajaran agama. Mazhab-mazhab Islam dan Argumentasi Rasional Dalam sejarah perkembangan Islam, kemunculan beberapa mazhab merupakan fonomena tersendiri yang tidak bisa dipungkiri. Perbedaan-perbedaan pendapat, baik yang berkaitan dengan ushuluddin maupun furu’uddin adalah salah satu penyebab utama munculnya mazhab-mazhab tersebut. Bukan hanya dari sisi muatan ajaran saja mereka berbeda pendapat, akan tetapi dari sisi metode penetapan kebenaran (berargumentasi) ajaran pun terjadi perbedaan pendapat. Salah satu sarana dalam menetapkan kebenaran ajaran agama yang menjadi pemicu perbedaan pendapat antar mazhab-mazhab Islam adalah tentang

peranan argumentasi rasional dalam menetapkan kebenaran ajaran agama. Di sini kita akan sebutkan tiga pendapat dari kelompok-kelompok Islam perihal argumentasi rasional: 1. Mazhab Zhâhirî (kontekstualisme); mereka hanya mengambil tekstual (zhâhir) suatu teks agama tanpa memperdulikan makna yang ingin disampaikan oleh pembicara[8] (mutakallim) di balik itu. Mereka menolak segala macam takwil atau pun argumentasi akal dengan tegas. Mereka pun berusaha untuk menjaga kebermunculan masalah dan pemikiran baru yang masuk dalam ajaran agama. Oleh karena itu, mereka menolak berbagai pertanyaan yang menimbulkan munculnya permasalahan baru itu. Anas bin Malik adalah contoh dari tokoh pemikiran di atas. Ia pernah ditanya tentang ayat,“Allah bersemayam di atas singgasana ('Arsy)” (QS. Thaha [20]:5). Ia menjawab dengan tegas, “Makna istiwâ’ (bersemayam) bisa dipahami, bentuk (kualitas) istiwâ’ tidak dapat diketahui, dan mengimani hal tersebut adalah suatu kewajiban, sedang bertanya tentang hal tersebut merupakan bid’ah.”[9] 2. Mazhab 'Aqlî (rasionalisme); mereka meyakini bahwa segala macam ajaran agama, seperti halal dan haramnya bisa dideteksi melalui rasio manusia. Semua itu bertumpu pada landasan kaidah “wujûb syukril-mun’im” (kewajiban berterima kasih pada pemberi nikmat), sedang kaidah itu bertumpu pada rasionalitas baik dan buruk. 3. Mazhab Insijâm (komplementerisme); mereka meyakini adanya relasi antara rasio dengan syariat (agama). Mereka meyakini bahwa sebagaimana wahyu dan syariat— dengan arti umum—merupakan sumber pengetahuan manusia, maka rasio dan akal pun demikian; sebagaimana wahyu (agama) merekomendasikan banyak hal yang bersifat obyektif, begitu pula dengan akal (rasio). Dikarenakan disini kita bukan dalam rangka menjustifikasi manakah dari ketiga kelompok diatas yang sesuai dengan ajaran Islam maka disela-sela pembahasan akan kita singgung sedikit tentang argumentasi kelompok yang mengatakan adanya relasi antara akal dan teks agama yang sesuai dengan topik kita. Beberapa Kesalahan Ada beberapa kesalahan fatal yang sering disalahpahami oleh sebagian kaum muslimin tentang peranan argumentasi rasio (baca: akal) dalam penetapan akan kebenaran hal-hal yang berkaitan dengan agama. Mereka beranggapan bahwa hanya melalui perantara AlQur’an dan hadis saja kebenaran ajaran agama Islam bisa ditetapkan. Oleh karena itu, akal sama sekali tidak dapat dijadikan sebagai sumber hukum kebenaran satu ajaran pun. Mereka beranggapan bahwa hanya Al-Qur’an adalah satu-satunya kebenaran mutlak yang harus diterima tanpa riserve; kita tidak boleh mempertanyakan segala apa yang dimuat oleh Al-Qur’an. Dengan mempertanyakan apa pun yang tertera dalam Al-Qur’an, berarti kita—tanpa disadari—akan mempermasalahkan pula segala hal yang berkaitan dengan katauhidan, wahyu, keberadaan hari akhir, atau risalah Ilahi secara umum.

Dengan kata lain, mereka ingin mengatakan bahwa akal sama sekali tidak memiliki peran dalam menilai kebenaran ajaran agama Islam. Mereka yang beranggapan semacam itu berargumentasi dengan ayat yang berbunyi, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan dipertanyakan“ (QS. al-Anbiyaa’ [21]:23). Atas dasar ayat ini, kita dilarang untuk bertanya atas segala ketentuan Ilahi. Dalam ayat lain Allah berfirman, “Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah." (QS. al-An’am [6]:57). Artinya, segala peraturan dan perintah hanyalah milik Allah secara mutlak. Berdasarkan dua ayat diatas, mereka berkesimpulan bahwa bertanya—yang merupakan pekerjaan akal—tentang segala hal yang telah menjadi kebijakan Allah secara mutlak adalah haram. Hal itu berarti secara mutlak jalan untuk argumentasi akal tertutup dan hanya argumentasi tekstual agama saja yang dianggap benar. Sebelum kita mengkritisi pandangan di atas, terlebih dahulu harus kita ketahui bahwa apakah gerangan tujuan yang akan dicapai melalui tanya-jawab berkaitan dengan berbagai hal-hal agama? Harus disadari bahwa relasi antara pertanyaan dan jawaban sebagaimana relasi antara positif dan negatif pada aliran listrik guna memunculkan suatu tenaga. Jika terdapat aliran negatif sedang aliran positif tidak ada atau tidak adanya keseimbangan antar keduanya, maka lampu tidak akan menyala sesuai dengan yang dinginkan. Begitu pula dengan pertanyaan. Jika jawaban yang ada tidak didapat atau tidak memuaskan, maka cahaya (penerangan) pada pikiran masyarakat tidak akan pernah kita dapati. Dalam ayat Al-Qur’an disebutkan,“Semua yang ada di langit dan di bumi selalu meminta (bertanya) kepada-Nya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan." (QS ar-Rahman [55]:29) Ayat ini menunjukkan bahwa kelangsungan pancaran Ilahi (divine emanation) pada sisi penciptaan manusia dan bagian alam materi lainnya tersimpan dalam bentuk pertanyaan dan jawaban. Kita ketahui bahwa segala sesuatu selain Allah memerlukan selain dirinya. Hanya Dzat Allah sajalah Yang Maha Kaya. Maka segala makhluk ciptaan Allah selalu menanyakan (baca: meminta) segala kebutuhannya, sedang Allah selalu menjawab pertanyaan itu dengan pengabulan. Tentu pertanyan yang bertujuan untuk menguji, bukan bermuatan mencari keilmuan. Oleh karena itu ia dikategorikan ibarat aliran negatif yang tidak memiliki aliran positif. Hukum yang sama akan kita katakan pada pertanyaan yang tidak terjawab atau jawabannya tidak memuaskan. Berbeda halnya dengan pertanyaan yang bertujuan untuk mencari ilmu—yang didasari atas ketidaktahuan, maka di saat itu dengan merujuk pada ahlinya kita pasti akan mendapat jawaban yang memuaskan dan masuk kategori adanya relasi antara positif dan negatif sehingga menghasilkan kekuatan menerangi pada lampu. Allah berfirman,“Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahludz-dzikr) jika kamu tidak mengetahui." (QS. an-Nahl [16]:43) Dari sini dapat kita simpulkan bahwa tanya-jawab memiliki beberapa bagian: 1. Pertanyaan dengan bentuk permohonan yang ditujukan kepada Allah atau para “manusia Ilahi” dengan izin Allah. Permohonan kepada Allah ini yang juga masuk dalam

kategori pertanyaan, bukan hanya tidak dilarang, akan tetapi justru ditekankan dalam ajaran agama. Sebagaimana yang tercantum dalam ayat,“Dan memohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya.” (QS. an-Nisa’ [4]:32) 2. Pertanyaan untuk meningkatkan keilmuan. Al-Qur’an pun dengan jelas—sebagaimana yang telah disinggung dalam ayat diatas an-Nahl:43—menekankan, “Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan (ahludz-dzikr) jika kamu tidak mengetahui.” 3. Pertanyaan yang dilontarkan dalam rangka protes kepada Allah. Tentu saja pertanyaan jenis ini dilarang oleh agama sebagaimana yang tercantum dalam ayat 23, surat alAnbiya’, “Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan dipertanyakan", karena bukan hanya manusia biasa yang akan ditanya oleh Allah di akhirat kelak, namun para nabi dan rasul pun akan ditanya oleh Dzat Penguasa alam semesta. “Maka sesungguhnya Kami akan menanyakan umat-umat yang telah diutus rasul-rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyakan [pula] rasul-rasul [Kami]." (QS. al-A’raf [7]:6). Dari sini jelas bagi kita manakah pertanyaan yang diperbolehkan oleh agama dan manakah pertanyaan yang dilarang oleh agama. Tentu pelarangan secara mutlak segala jenis pertanyaan berkaitan dengan hal-hal yang tersembunyi di balik ajaran agama akan mengakibatkan stagnansi dan yang berakhir pada ketidakberkembangnya keilmuan umat akan agamanya sehingga agama hanya sekedar gudang ajaran yang bersifat dogmatis belaka. Jika hal itu terjadi, sementara fitrah selalu bergejolak untuk mempertanyakan sesuatu yang masih belum ia pahami, maka agama beserta doktin-doktrinnya akan sekedar menjadi hiasan pada KTP belaka dan menjadi sekedar warisan nenek moyang. Dengan demikian agama akan menyimpang dari tujuan aslinya, yaitu mengantarkan umat manusia kepada kemuliaan dunia-akhirat yang semua itu mustahil terwujud tanpa didukung dengan keilmuan. Selain itu, peningkatan kualitas ibadah—yang sangat mendapatkan penekanan oleh Allah—tidak akan bisa terwujud, karena kualitas ibadah didasari oleh keilmuan akan makna ibadah itu sendiri dan juga dipengaruhi oleh niat yang baik, serta niat yang baik harus dilandasi pula dengan pengetahuan. Oleh karena itu, jika pintu tanya-jawab ditutup, maka ilmu yang masih belum didapat tidak akan pernah didapat sehingga kualitas ibadah yang baik pun tidak akan pernah bisa dicapai. Rasionalitas Baik dan Buruk Pembahasan tentang rasionalitas syariat Islam bertumpu pada satu pembahasan prinsip, yaitu tentang penerimaan konsep rasionalitas baik dan buruk. Sebagaimana berkenaan dengan penerimaan argumentasi rasio telah mengundang perbedaan pendapat antar kelompok kaum muslimin, fungsi rasio pun juga tidak luput dari perbedaan pendapat di kalangan mereka. Karena hal tersebut adalah cabang dari pemikiran tentang penerimaan argumentasi rasio. Dalam pembahasan ini, kita akan menyinggung sedikit[10] tentang rasionalitas baik dan buruk dengan beranjak dari beberapa pertanyaan yang menjadi pacuan dari pembahasan ini: 1. Apakah baik dan buruk merupakan suatu yang substansial bagi segala sesuatu?

2. Apabila telah ditetapkan bahwa baik dan buruk merupakan substansial bagi segala sesuatu, maka apakah bisa didapat cara untuk mengetahui dan menentukannya? 3. Jika ternyata bisa ditetapkan bahwa baik dan buruk mampu ditentukan oleh akal, maka apakah baik dan buruk yang dihasilkan oleh akal tadi hanya mengakibatkan ganjaran duniawi saja atau mencakup balasan ukhrawi juga? Sebelum kita memasuki pembahasan ini, perlu dijelaskan tentang baik dan buruk yang kita akan bahas dan yang menjadi silang pendapat antara beberapa kelompok muslimin. Ada tiga kemungkinan dari makna baik dan buruk di sini: a. Baik adalah sesuatu yang diidentikkan dengan segala yang sesuai dengan kehendak manusia, dan buruk adalah sesuatu yang tidak sesuai dengan kehendaknya. Pemandangan indah dikatakan baik karena sesuai dengan kehendak manusia, dan sebaliknya, pemandangan jelek dianggap buruk. Dalam makna baik dan buruk ini tidak terjadi perbedaan antar kelompok muslimin. b. Baik adalah sesuatu yang identik dengan kesempurnaan, dan buruk adalah sesuatu yang identik dengan kekurangan. Kecerdasan disebut baik karena termasuk kategori sesuatu yang sempurna, sedangkan kebodohan disebut jelek karena termasuk kategori sesuatu yang kurang. Dalam makna baik dan buruk ini pun tidak ada perbedaan pendapat antar kelompok muslimin. c. Baik adalah segala perbuatan yang sesuai dengan tinjauan akal, dan buruk adalah perbuatan yang tidak sesuai dengan tinjauan akal; apakah akal mampu menentukan kebaikan dan keburukan perbuatan manusia dalam arti layak atau tidaknya perbuatan manusia? Di sini terjadi perbedaan pendapat antara beberapa kelompok dalam Islam. Secara ringkas, kita bisa menyebutkan sumber perbedaan pendapat antar para teolog muslim berkenaan denganhal ini. Para teolog Asy’ariah[11] meyakini bahwa akal (rasio) manusia tidak memiliki kapasitas dalam menentukannya. Hanya Allah yang memiliki otoritas dalam menentukan hal tersebut. Penjelasan Jika Allah menyuruh manusia untuk melakukan suatu perbuatan, maka perintah-Nya itu mengindikasikan bahwa hal tersebut adalah baik, dan sebaliknya, jika Dia melarang suatu perbuatan, maka larangan-Nya itu mengandung arti bahwa hal itu adalah buruk. Kelompok ini termasuk kelompok yang mengkategorikan akal sebagai salah satu bagian dari susunan teks aturan agama (sunnah) yang ada, karena mereka menganggap bahwa akal berfungsi sebagai penyingkap perintah dan larangan yang dilakukan Allah, bukan sebagai penentu. Karena mengingkari rasionalitas baik dan buruk berkonsekuensi menutup jalan untuk menjelaskan hukum, etika, dan perundang-undangan, dengan demikian para penganut aliran Asy’riah tidak menolak konsep ini secara mutlak. Mereka

menerima makna pertama dan kedua dari makna baik dan buruk yang telah disebutkan di atas, meskipun mereka megingkari makna ketiga darinya. Para pendukung rasionalitas baik dan buruk (mayoritas Syi’ah Imamiah) meyakini bahwa dengan mengingkari rasionalitas baik dan buruk—walaupun secara terbatas— berarti menghilangkan fungsi agama sebagai penjelas hal yang berkenaan dengan keilmuan, pembentukan program kerja, leadership, dan lain sebagainya sehingga agama hanya berfungsi sebatas sarana untuk menjelaskan hal-hal yang bersifat normatif saja. Para pendukung pemikiran ini meyakini bahwa Allah—selain telah menurunkan penjelas hukum yang bisa diindera langsung oleh manusia berupa pengutusan para “manusia Ilahi” dan wahyu (baca: kitab suci), Ia juga menganugerahkan kepada manusia yang fitrahnya masih berfungsi dengan baik sebuah penjelas lain yang tersimpan di dalam lubuk manusia yang bernama akal. Jika manusia tidak memanfaatkannya, maka ia akan tertutup debu yang hal itu akan mengakibatkan ia tidak akan tersinari dengan cahaya tersebut. “Maka Allah mengilhamkan pada jiwa itu [jalan] kefasikan dan ketakwaan. Sesungguhnya beruntunglah orang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya." (QS. as-Syams [91]:9-11). Rasio argumentatif inilah yang mampu menentukan baik dan buruk suatu perbuatan. Kita perhatikan pada realita yang ada bahwa secara global perbuatan manusia bisa dibagi menjadi tiga bagian: 1. Perbuatan yang menjadi penyebab utama (prima causa) dari baik dan buruk, yang secara substansial menjadi penyebab predikat baik dan buruk suatu perbuatan, sebagaimana adil merupakan hal baik dan zalim merupakan hal buruk. 2. Perbuatan yang jika sesuai dengan situasi dan kondisinya memiliki muatan baik atau buruk, sedangkan akal juga menghukuminya sesuai dengan situasi dan kondisi tersebut dari sisi baik atau buruk pula. Jujur tidak selamanya baik, sebagaimana bohong juga tidak selamanya buruk. Semua itu disesuaikan dengan maslahat situasi dan kondisi yang ada. Kita bisa katakan bahwa jujur adalah baik, tapi kebaikan di sini bukan dilihat dari sisi bahwa jujur adalah penyebab utama (prima causa) kebaikan tersebut, begitu pula dengan bohong. 3. Perbuatan biasa yang tidak ada hubungan dengan situsi dan kondisi—seperti pada bagian kedua—yang biasa dalam syariat disebut dengan mubah, seperti duduk atau berdiri. Hukum hal semacam ini tidak berhubungan dengan situasi dan kondisi—dari sisi perubahannya—kecuali jika ia menjadi obyek sesuatu yang lain. Seperti duduk adalah suatu hal yang boleh saja, kecuali jika kita dipaksa untuk duduk dan jika tidak, kita akan dibunuh, maka hal itu masuk pembahasan lain. Mayoritas pengikut Syi’ah Imamiah meyakini bahwa berkenaan dengan ketiga bentuk pekerjaan di atas, rasio manusia dapat menentukan hukum sendiri—dari sisi baik dan buruknya—secara independen, walaupun tanpa bantuan wahyu dari Allah. Mereka tidak mengatakan bahwa akal sebagai bagian dari sederetan teks agama (sunnah)[12]— sebagaimana yang diyakini oleh mayoritas pengikut Asy’ariah, tapi akal sejajar dengan

teks agama. Kalau pun ada teks agama yang sesuai dengan fatwa akal, maka hal itu berfungsi sebagai penguat dan pendukung belaka. Para pengikut aliran Asy’ariah dalam mengkritisi pendapat Syi’ah mengatakan bahwa kalaupun rasio manusia dapat melakukan hal-hal yang telah disebutkan di atas, sementara kita tahu bahwa rasio manusia dalam menilai banyak hal terjadi perbedaan, hal ini menjadi bukti bahwa secara substansial rasio manusia tidak bisa menjadi tolok ukur baik dan buruk. Dalam menanggapi kritikan tersebut, bisa dikatakan bahwa kita dapati dalam banyak hal yang berkaitan dengan berbagai masalah kontemplatif (nazharî) terjadi banyak pertentangan, baik itu yang berkaitan dengan ketuhanan, kenabian, maupun hari akhir, apalagi problem ilmiah seperti pembahasan kita kali ini. Hanya problem yang dikembalikan pada necessary preponderances (badîhiyât-awwaliyât) saja yang dijamin kebenarannya. Jadi, kalaupun apa yang diungkapkan oleh sebagian kaum Asy’arih tadi benar, maka hal itu hanyalah tertuju pada problem-problem non-necessary preponderances saja, sedangkan yang kita maksudkan dalam hal ini adalah necessary (badîhî). Oleh karena itu, rasio tidak hanya bisa mendeteksi hal-hal yang berkaitan dengan segala permasalahan yang jelas dari hikmah teoritis saja, akan tetapi ia juga mencakup hikmah praktis. Kelompok yang meyakini rasionalitas baik dan buruk mengatakan bahwa ada beberapa konsekuensi logis yang harus kita terima jika kita menolak rasionalitas baik dan buruk tersebut, antara lain: a. Penentangan atas naluri kemanusiaan; dengan merujuk kepada naluri kemanusian kita akan dapati bahwa kita pun dapat menghukumi antara baik dan buruk atas beberapa perbuatan. Banyak perbuatan, seperti kejelekan khianat atau zalim, dengan merujuk manusia pada naluri kemanusiaannya mampu menghukumi bahwa hal seperti itu jelek, sebagaimana menghukumi baik atas belaku adil dan berbuat kebaikan. Semua itu bisa dihukumi oleh manusia—baik kaum ateis sekalipun—tanpa bantuan syariat atau teks agama. b. Pengingkaran atas syariat; jika baik dan buruk suatu perbuatan hanya bisa diketahui melalui syariat, niscaya kita tidak akan mampu menghukumi baik dan buruk segala perbuatan. Dengan kata lain, jika manusia tidak bisa menghukumi baik dan buruk dengan rasionya, maka segala baik dan buruk—walaupun dengan hukum syariat—akan ternafikan. Bagaimana mungkin sewaktu Rasul memberitahukan tentang kejelekan berbohong dan kebaikan berlaku jujur, sedang dari sisi lain—jika rasio kita tidak mengenal baik dan buruk—lantas kita memberikan kemungkinan bahwa beliau— na'ûzubillah min dzâlik—sewaktu menjelaskan hal tersebut pun ada kemungkinan berbohong pula. Jika itu terjadi (munculnya kemungkinan-kemungkinan Rasul berbohong), maka kita pun tidak akan bisa menerima baik dan buruk hasil tuntunan syariat, karena keraguan pada syariat akan selalu muncul.

c. Lemah dalam menetapkan masalah kenabian; sewaktu rasio manusia mengetahui bahwa berbohong adalah buruk dan harus dijauhkan dari Dzat Suci Ilahi, maka dari situ kita pun akan bisa menghukumi bahwa Allah SWT mustahil memberikan mukjizat— sebagai bukti kenabian—kepada nabi palsu (baca: pembohong). Rasio manusia mampu menghukumi bahwa kesaksian nabi sejati utusan Allah bisa dilacak kebenarannya melalui kemampuan mengeluarkan mukjizat. Jika rasio manusia tidak mampu mendeteksi baik dan buruk secara rasional, niscaya muncullah kemungkinan-kemungkinan seperti pemberian mukjizat kepada seorang pembohong. Inilah sekilas tentang permasalahan rasionalitas baik dan buruk yang menjadi tumpuan utama pembahasan rasionalitas syariat. Sekali lagi, yang perlu diingat dalam pembahasan ini adalah, bahwa teori tentang rasionalitas syariat hanya bisa dicerna oleh individu yang menerima teori rasionalitas baik dan buruk saja. Dengan kata lain, teori rasionalitas baik dan buruk adalah basic utama pembahasan tentang rasionalitas syariat. Tanpa menerima teori rasionalitas baik dan buruk, maka teori rasionalitas syariat akan sulit untuk dicerna. [1]Lihat kembali kisah pengingkaran gereja atas teori Copernicus yang dianggap bertentangan dengan al-Kitab, begitu pula pengalaman Newton, dan banyak ilmuwan lainnya. [2]Untuk penjelasan secara terinci, silakan Anda merujuk buku “Reason And Religious Belief” An Introduction to The Philosophy of Religion, Oxford University Press, 1991, karya Michael L. Peterson. [3]Segala prinsip logika untuk menjadi kebenaran pasti harus kembali kepada tata cara penerapan silogisme (qiyâs) dengan bentuk demonstratif (burhân), sedangkan premis-premis (mayor-minor) silogisme demonstratif itu sendiri harus dari sesuatu yang bersifat necessary (badîhiyât) sehingga hal tersebut bisa dijamin kebenarannya dimana premis necessary ini bertumpu pada kemustahilan bertemunya dua hal paradoks (ijtima’ an-naqidzain) yang masuk kategori necessary preponderances (badîhiyât-awwaliyât). Semua itu telah dibahas secara rinci dalam buku-buku logika. Bagi Anda yang berminat menelaah secara terperinci, silakan merujuk buku-buku logika. [4]Dalam pembahasan keislaman, kata "syariat" dipakai pada dua terminologi yang berlainan; pertama, syariat yang berarti segala apa yang diturunkan oleh Allah yang mencakup ushuluddin dan furu’uddin sekaligus, dan kedua, syariat yang berarti susunan aturan-aturan praktis yang mengatur gaya hidup sehari-hari manusia (furu’uddin) yang biasa disebut dengan fiqih, walaupun etika bisa juga masuk dalam definisi tersebut, tapi dengan arti yang lebih luas. [5]Sebenarnya, terdapat bagian ketiga dari tumpuan Islam tersebut, yaitu etika. Akan tetapi, dikarenakan pembagian kita atas dasar dua titik pokok, yaitu pondasi dan bangunan agama, etika kita masukkan segabai bagian dari furu’uddin,walau pada hakikatnya etika memiliki basic tersendiri. [6]Yang kita maksud syariat di sini bermakna syariat dalam arti kedua, sebagaimana yang telah kami singgung dalam catatan kaki no. 4. [7]Harus kita bedakan antara istilah sebab yang berarti "kausa" dan sebab yang berarti "hikmah". Kausa berhubungan dengan kausalitas yang berarti tanpa adanya causa, mustahil adanya efek.

Sedangkan hikmah tidak semacam itu. Dengan kata lain, dalam hukum kausalitas, kausa harus ada terlebih dahulu baru efek akan muncul, sedangkan dalam masalah hikmah, tidak ada hukum semacam itu. Hikmah boleh terwujud pada banyak hal, sedang kausa terbatas pada hal-hal tertentu saja. [8]Yang kita maksud pembicara di sini adalah Allah, jika berkaitan dengan ayat, dan Rasulullah, jika hal tersebut berupa hadis. [9]Al-Milal wa an-Nihal, jilid 1, hal. 105. [10]Karena begitu luasnya pembahasan ini, maka kami ringkas saja sebagai bahan pelengkap dalam artikel ini. Bagi yang berminat untuk mendapat informasi lebih lengkap, silakan merujuk buku-buku teologi atau Ushul Fiqih komparatif. [11]Pengikut Abul Hasan al-Asy’ari, sebagaimana yang tercantum dalam buku Syarah alMawâqif, jilid 8, hal. 181 dan Syarah al-Maqâshid, jilid 4, hal. 282. [12]Perlu dicatat disini—agar tidak terjadi kesimpang-siuran informasi—bahwa harus dibedakan antara akal sebagai penyingkap maksud ungkapan para ma'shum dan akal sebagai penyingkap hukum Allah. Akal yang berfungsi sebagai penyingkap ungkapan para ma'shum termasuk kategori salah satu bagian dari sunah, sedangkan akal yang berfungsi sebagai penyingkap hukum Allah memiliki kedudukan sejajar dengan ayat dan riwayat. Artinya, ia memiliki independensi dalam penyingkapannya.

Related Documents