SYARIAT ISLAM MENGAKOMODASI KERAGAMAN DAN KEBHINEKAAN Penerapan syariat Islam dalam koridor Negara seringkali dibenturkan dengan keragaman agama, budaya, dan keyakinan (pluralitas). Meskipun ini bertentangan dengan realitas masyarakat Islam dan nash-nash syariat, akan tetapi isu penyeragaman agama (Islam) jika syariat Islam diterapkan justru telah menduduki pembahasan utama. Akibatnya, formalisasi syariat Islam dianggap sebagai ancaman bagi keragaman, keberagamaan, dan kebhinekaan. Padahal, isu ini disebarluaskan dan dipropagandakan secara tidak bertanggungjawab, disandarkan pada alasan yang rapuh, mengesampingkan bukti sejarah, dan ditengarai sarat dengan agenda politik ; yakni mencegah tegaknya syariat Islam dalam sebuah negara. Tatkala Rasulullah saw menegakkan Daulah Islam (Negara Islam) di Madinah, struktur masyarakat Islam saat itu tidaklah seragam. Masyarakat Madinah dihuni oleh kaum Muslim, Yahudi, Nashrani, dan juga kaum Musyrik. Namun, mereka bisa hidup bersama dalam naungan Daulah Islamiyyah dan di bawah otoritas hukum Islam. Mereka tidak dipaksa masuk ke dalam agama Islam, atau diusir dari Madinah. Mereka mendapatkan perlindungan dan hak yang sama seperti kaum Muslim. Mereka hidup berdampingan satu dengan yang lain tanpa ada intimidasi dan gangguan. Bahkan Islam telah melindungi "kebebasan mereka" dalam hal ibadah, keyakinan, dan urusan-urusan privat mereka. Mereka dibiarkan beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka. Setelah Nabi Muhammad saw wafat, tugas kenegaraan dan pengaturan urusan rakyat dilanjutkan oleh para khalifah. Kekuasaan Islam pun meluas hingga mencakup hampir 2/3 dunia. Kekuasaan Islam yang membentang mulai itu, tidak mendorong para Khalifah untuk melakukan uniformisasi warga Negara, maupun upaya-upaya untuk memberangus pluralitas. Padahal, dengan wilayah seluas itu, Daulah Islam memiliki keragaman budaya, keyakinan, dan agama yang sangat besar, dan sewaktu-waktu bisa memunculkan "konflik agama". Akan tetapi, hingga kekhilafahan terakhir Islam, tak ada satupun pemerintahan Islam yang mewacanakan adanya uniformisasi (keseragaman), atau berusaha menghapuskan pluralitas agama, budaya, dan keyakinan dengan alasan untuk mencegah adanya konflik. Pada dasarnya, agama Islam tidak hanya diperuntukkan bagi kaum Muslim belaka, akan tetapi ia adalah agama universal yang ditujukan untuk seluruh umat manusia. Al-Quran telah menyatakan hal ini di beberapa tempat. “Dan kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada Mengetahui”.(Saba’ [34]:28) “Katakanlah: "Hai manusia Sesungguhnya Aku adalah utusan Allah kepadamu semua” (TQS Al A’raaf [7] : 158) Nash-nash di atas menunjukkan, bahwa syariat Islam tidak hanya diberlakukan kaum Muslim saja, akan tetapi, ia berlaku universal bagi seluruh umat manusia, tanpa memandang lagi keragaman suku, ras, kebudayaan, agama, dan lain sebagainya. Dengan kata lain, syariat Islam bukan hanya ditujukan bagi kaum Muslim saja, akan tetapi ia juga ditujukan bagi non Muslm. Hanya saja, keuniversalan syariat Islam ini tidak boleh diartikan, bahwa non Muslim dipaksa "menerapkan syariat Islam pada seluruh aspek kehidupannya." Hanya pada aspek-aspek tertentu saja, mereka wajib terikat dengan syariat Islam. Adapun rinciannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Seperti yang telah dijelaskan di atas; syariat Islam juga diterapkan bagi non Muslim. Sebab, mukallaf (orang yang dibebani) menjalankan syariat bukan hanya kaum Muslim belaka, akan tetapi seluruh manusia, baik Muslim maupun non Muslim. Hanya saja, Islam telah merinci pelaksanaan syariat Islam oleh Non Muslim. Pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim dirinci berdasarkan dua tinjauan berikut ini. Pertama, pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim berdasarkan inisiatif dan kesadarannya sendiri, tanpa ada paksaan dari Daulah Islam. Pada dasarnya, jika pelaksanaan syariat tersebut mensyaratkan adanya keislaman dan keimanan terlebih dahulu, maka orang kafir tidak diperkenankan
melaksanakan atau mengerjakan syariat-syariat seperti itu. Misalnya, syariat Islam tentang zakat, puasa, haji, sholat, menduduki jabatan hakim dan pemerintahan, kesaksian dalam hal hak-hak harta, dan sebagainya. Adapun, jika pelaksanaan syariat tersebut tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, maka non Muslim tidak dilarang melaksanakan syariat tersebut. Misalnya, berperangnya seorang non Muslim bersama pasukan kaum Muslim; kesaksian non Muslim dalam masalah jual beli, dan semua perkara yang tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu. Oleh karena itu, non Muslim diperbolehkan berkecimpung dalam bidang kedokteran, industri, pertanian, perkebunan, dan lain sebagainya. Kedua, pemberlakuan dan penerapan syariat Islam atas non Muslim. jika ada nash-nash umum yang pelaksanaannya tidak dibatasi oleh syarat keimanan dan keislaman, maka hal ini perlu diteliti terlebih dahulu. Jika pelaksanaan hukum syariat tersebut hanya dikhususkan bagi kaum Muslim karena ada syarat keimanan dan keislaman di dalamnya; atau ada ketetapan dari Rasulullah saw bahwa mereka (non Muslim) tidak dipaksa untuk melaksanakan syariat-syariat tersebut; maka pada dua kondisi semacam ini, hukum syariat tersebut tidak akan dibebankan atau diberlakukan kepada mereka (non Muslim). Dan khalifah tidak boleh memberi sanksi kepada mereka, jika mereka tidak melaksanakan syariat-syariat tersebut. Namun, jika ada hukum-hukum yang pelaksanaannya tidak mensyaratkan adanya keimanan dan keislaman terlebih dahulu, dan tidak ada nash umum yang mengecualikan pelaksanaannya bagi non Muslim; maka hukum-hukum itu akan diberlakukan dan diterapkan kepada non Muslim. Misalnya, hukum-hukum yang menyangkut masalah muamala, pidana, dan sebagainya. Inilah ketentuan pokok yang berhubungan dengan pelaksanaan syariat Islam oleh non Muslim. Kenyataan ini menunjukkan kepada kita, bahwa tidak ada penyeragaman dan pemaksaan atas orangorang kafir, dalam hal ibadah, keyakinan, dan lain sebagainya; sesuai dengan ketentuan di atas. Al-Quran telah menyatakan hal ini "Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari laki-laki dan perempuan, dan Kami menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kalian adalah orang yang paling bertaqwa di sisi Allah. “[alHujurat:13]. “Tiap umat mempunyai cara peribadatan sendiri, janganlah kiranya mereka membantahmu dalam hal ini. Ajaklah mereka ke jalan Rabbmu. Engkau berada di atas jalan yang benar.” Kalau mereka membantahmu juga, katakanlah, Allah tahu apa yang kalian kerjakan.”[al-Hajj:67-68]. Ayat-ayat di atas menunjukkan, bahwa Islam mengakui adanya pluralitas agama, kebudayaan, dan pemikiran. Islam tidak menafikan adanya keragaman agama, budaya, dan pemikiran yang ada di tengahtengah masyarakat Islam. ”Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. (TQS. Al Baqarah [2]:256) Dengan kata lain, solusi Islam terhadap keragaman budaya, agama, dan keyakinan bukan dengan cara menghapuskan truth claim(klaim kebenaran), atau menghancurkan identitas agama-agama selain Islam. Akan tetapi, Islam mengakui adanya pluralitas, dan memberikan perlindungan atas keragaman tersebut. Oleh karena itu, Islam tidak menerima paham pluralisme yang hendak menghapuskan truth claim, atau yang berkehendak mencairkan identitas agama-agama selain Islam. Dalam pandangan Islam, orang Yahudi tidak dipaksa atau diajak untuk menyakini sebuah pandangan, bahwa semua agama adalah sama-sama benarnya; atau untuk menyakini bahwa semua agama menyembah kepada Tuhan yang sama meskipun dengan cara yang berbeda-beda. Islam juga tidak memaksakan atau menjajakan ide bahwa semua agama harus meninggalkan identitas agamanya masing-masing dan berduyun-duyun memeluk agama universal (global religion). Islam tidak menghendaki agar orang Yahudi dan Kristen menanggalkan identitas agama mereka, dan diajak untuk memeluk agama universal seperti anjuran
kaum pluralis. Islam juga membiarkan pemeluk-pemeluk agama lain menyakini kebenaran agama dan keyakinannya sendiri. Islam juga tidak berkehendak untuk menghapuskan klaim kebenaran mereka. Islam hanya mengajak mereka untuk masuk ke dalam Islam. Jika mereka menolak, mereka dibiarkan tetap dalam agama dan keyakinannya. Pandangan Islam seperti ini justru lebih adil dan inclusive, dibandingkan dengan gagasan kaum pluralis yang hendak menghapuskan truth claim dengan gagasan unity of transenden-nya maupun gagasan global religionnya. Mereka tidak sadar, keinginan mereka untuk menghapus truth claim pada masing-masing agama, seraya memaksakan ide pluralisme-nya kepada semua pemeluk agama dan keyakinan, sama artinya dengan menambah truth claim baru dan memunculkan agama baru. Bukankah ini sama saja dengan uniformisasi keyakinan dan gagasan? Sesungguhnya, mereka tidak sedang menghapuskan truth claim (yang fithrahnya tidak mungkin bisa dihapus), akan tetapi justru membuat truth claim baru dan identitas baru, yang ujung-ujungnya juga sectarian, eksklusive, dan uniformisasi dengan kedok pluralisasi.