Makalah Ushul Fiqh: Mazhab (Qaul al-sahabi) Fatwa sahabat
I. A.
PENDAHULUAN
Latar belakang Berdasarkan telah ditetapkan bahwa dalil syar’i yang dijadikan dasar pengambilan hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia itu ada empat: al-Qur’an, al-Sunnah, al-Ijma’, dan al-Qiyas, jumhur ulama telah sepakat bahwa empat hal itu dapat digunakan sebagai dalil, juga sepakat bahwa urutan penggunaan dalil tersebut adalah sebagai berikut: pertama al-Qur’an, kedua al-Sunnah, ketiga al-Ijma’ dan keempat alQiyas.[1] Akan tetapi, ada dalil lain selain dari yang empat di atas, yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil tersebut. Sebagian di antara mereka ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan penetapan hukum syara’dan sebagian yang lain mengingkarinya.
Dalil-dalil
yang
diperselisihkan
penggunaannya
sebagai hujjah dalam menetapkan suatu hukum salah satunya adalah mazhab (qaul) al-Shahabi. Sehingga, dalam makalah ini kami akan membahas tentang fatwa sahabat ini. B. .
II. PEMBAHASAN
A.
Pengertian mazhab (qaul) al-Shahabi Hampir semua kitab ushul fiqh membahas tentang madzhab shahabi, meskipun mereka berbeda dalam keluasan beritanya, juga berbeda dalam penamaannya. Ada yang menamakannya dengan qaul shahabi, ada juga yang menamakannya denganfatwa shahabi. Hampir semua literatur yang membahas madzhab shahabimenempatkan pada pembahasan tentang dalil syara’ yang diperselisihkan. Bahkan ada yang menempatkannya pada pembahasan tentang dalil syara’ yang ditolak seperti yang dilakukan Asnawi dalam kitabnya Syarh Minbaj al-Ushul. Hal
ini
menunjuukkan
bahwa madzhab
shahabi itu
berbeda
dengan ijma’ shahabi yang menempati kedudukan yang tinggi dalam dalil syara’ karena kehujjahannya diterima semua pihak, meskipun di kalangan
sebagian
kecil
ulama
ada
yang
menolak
kehujjahan ijma’ secara umum.[2] Yang dimaksud dengan madzhab shahabi ialah pendapat sahabat Rasulullah SAW tentang suatu kasus dimana hukumnya tidak dijelaskan secara tegas dalam Alquran dan sunnah Rasulullah. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat Rasulullah, seperti dikemukakan oleh Muhammad Ajjaj al-Khatib ahli hadis berkebangsaan Syiria, dalam karyanya Ushul al-Hadist mengatakan bahwa yang
dimaksud dengan sahabat adalah setiap orang muslim yang hidup bergaul dengan Rasulullah dalam waktu yang cukup lama serta menimba ilmu dari Rasulullah. Seperti Umar ibn Khattab, ‘Abdullah bin Mas’ud, Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Umar bin Khattab, Aisyah, dan ‘Ali bin Abi Thalib. Mereka ini adalah di antara para sahabat yang banyak berfatwa tentang hukum islam.[3] B.
Macam-macam mazhab (qaul) al-Shahabi Para ulama membagi qaul al-Shahabi ke dalam beberapa macam, di antaranya:[4]
1.
Perkataan sahabat terhadap hal-hal yang tidak termasuk objek ijtihad. Dalam hal ini para ulama semuanya sepakat bahwa perkataan sahabat bisa dijadikan hujjah. Karena kemungkinan sima’ dari Nabi SAW sangat besar, sehingga perkataan sahabat dalam hal ini bisa termasuk dalam kategori al-Sunnah, meskipun perkataan ini adalah haditsmauquf. Pendapat ini dikuatkan oleh Imam as-Sarkhasi dan beliau memberikan contoh perkataan sahabat dalam hal-hal yang tidak bisa dijadikan objek ijtihad seperti, perkataan Ali bahwa jumlah mahar yang terkecil adalah sepuluh dirham, perkataan Anas bahwa paling sedikit haid seorang wanita adalah tiga hari sedangkan paling banyak adalah sepuluh hari. Namun contoh-contoh tesebut ditolak oleh beberapa ulama Syafi’iyah, bahwa hal-hal tersebut adalah permasalahan-permasalahan yang bisa
dijadikan objek ijtihad. Dan pada kenyataannya baik jumlah mahar dan haid wanita berbeda-beda dikembalikan kepada kebiasaan masingmasing. 2.
Perkataan sahabat yang disepakati oleh sahabat yang lain. Dalam hal ini perkataan sahabat adalah hujjah karena masuk dalam kategori ijma’.
3.
Perkataan sahabat yang tersebar di antara para sahabat yang lainnya dan tidak diketahui ada sahabat yang mengingkarinya atau menolaknya. Dalam hal inipun bisa dijadikan hujjah, karena ini merupakan ijma’ sukuti, bagi
mereka yang berpandapat bahwa ijma’ sukuti bisa
dijadikan hujjah. 4.
Perkataan sahabat yang berasal dari pendapatnya atau ijtihadnya sendiri. Qaul al-Shahabi yang seperti inilah yang menjadi perselisihan di antara para ulama mengenai keabsahannya sebagai hujjah dalam fiqh Islam. Adapun
Dr.
Muhammad
Sulaiman
Abdullah
al-Asyqar
menambahkan beberapa poin mengenai macam-macam qaul alShahabi ini, di antaranya: 1.
Perkataan Khulafa ar-Rasyidin dalam sebuah permasalahan. Dalam hal ini para ulama sepakat untuk menjadikannya hujjah. Sebagaimana diterangkan dalam sebuah hadits, ”Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah para Khulafa ar-Rasyidin setelahku”
2.
Perkataan seorang sahabat yang berlandaskan pemikirannya dan ditentang oleh sahabat yang lainnya. Dalam hal ini sebagian ulama
berpendapat bahwa perkataan sahabat ini tidak bisa dijadikan hujjah. Akan
tetapi
sebagian
ulama
kalangan Ushuliyyin dan fuqaha mengharuskan
lainnya untuk
dari
mengambil
perkataan satu sahabat. C.
Kehujjahan mazhab (qaul) al-Shahabi Pendapat sahabat tidak menjadi hujjah atas sahabat lainnya. Hal ini telah disepakati. Namun yang masih diperselisihkan ialah, apakah pendapat
sahabat
bisa
menjadi hujjah atas tabi’n dan
orang-orng
setelah tabi’in. Ulama ushul memiliki tiga pendapat, di antaranya adalah:[5] 1.
Satu pendapat mengatakan bahwa mazhab Sahabat (qaulussshahabi) dapat menjadi hujjah. Pendapat ini berasal dari Imam Maliki, Abu bakar ar-Razi, Abu Said shahabat Imam Abu Hanifah, begitu juga Imam Syafi’i dalam madzhabqadimnya, termasuk juga Imam Ahmad Bin Hanbal dalam satu riwayat. Alasan pendapat ini adalah firman Allah SWT. öNçGZä. uŽöyz >p¨Bé& ôMy_Ì÷zé& Ĩ$¨Y=Ï9 tbrâßDù's? . . . Å$rã÷èyJø9$$Î/ šcöqyg÷Ys?ur Ç`tã Ìx6ZßJø9$# Artinya: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar”. (QS. Ali-Imran: 110)
Ayat ini merupakan kitab dari Allah untuk sahabat-sahabat agar mereka
menganjurkan ma’ruf,
sedangkan
perbuatan ma’ruf adalah
wajib, karena itu pendapat para sahabat wajib diterima. Alasan yang kedua adalah hadis Rasul: “Sahabatku bagaikan bintang-bintang siapa saja di antara mereka yang kamu ikuti pasti engkau mendapat petunjuk”. Hadis ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW menjadikan ikutan kepada siapa saja dari sahabatnya sebagai dasar memperoleh petunjuk (hidayah). Hal ini menunjukkan bahwa tiap-tiap pendapat dari mereka itu adalah hujjah dan wajib kita terima/amalkan. 2.
Satu
pendapat
mengatakan
(qaulussshahabi) secara mutlak
bahwa
tidak dapat
mazhab
sahabat
menjadi hujjah/dasar
hukum. Pendapat ini berasal dari jumhurAsya’iyah dan Mu’tazilah, Imam Syafi’i dalam mazhabnya yang jadid (baru) juga Abu Hasan alKharha dari golongan Hanafiyah.[6] Alasan mereka antara lain adalah firma Allah: #$}ubr&((#rçŽÉ9tFôã$$sù ’Í<'ré'¯»tƒ Ì‘$|Áö/F Artinya: “. . . Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orangorang yang mempunyai pandangan”. (QS. al-Hasyr: 2) Maksud ayat tersebut adalah bahwa Allah SWT menganjurkan kepada orang-orang
yang
mempunyai
pandangan/pikiran
untuk
mengambil i’tibar (pelajaran). Yang dimaksud i’tibar dalam ayat tersebut ialah qiyas dan ijtihad,
sedangkan
dalam
halmujtahid sama
saja
apakah mujtahid itu sahabat atau bukan sahabat. 3.
Ulama Hanafiyah, Imam Malik, qaul qadim Imam Syafi’i dan pendapat terkuat dari Imam Ahmad bin Hanbal, menyatakan bahwa pendapat sahabat itu menjadihujjah dan apabila pendapat sahabat bertentangan dengan qiyas maka pendapat sahabat didahulukan. Alasan yang mereka kemukakan antara lain adalah firman Allah dalam surat at-Taubah ayat 100: šcqà)Î6»¡¡9$#ur tbqä9¨rF{$# z`ÏB tûïÌÉf»ygßJø9$# Í‘$|ÁRF{$#urtûïÏ %©!$#ur Nèdqãèt7¨?$# 9`»|¡ômÎ*Î/ š†Å̧‘ ª!$# öNåk÷]tã Artinya: “Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka” (QS. at-Taubah: 100) Dalam ayat ini menurut mereka, Allah secara jelas memuji para sahabat karena merekalah yang pertama kali masuk Islam.[7] Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dari Imran bin Hushain yangberbunyi: “sebaik-baik kamu (adalah yang hidup pada) masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya”. [8]
Dari segi alasan logika, pendapat sahabat dijadikan hujjah karena terdapat kemungkinan bahwa pendapat meraka itu berasal dari Rasulullah. Disamping itu karena mereka sangat dekat dengan Rasulullah dalam rentang waktu yang lama, hal ini memberikan pengalaman yang sangat luas kepada mereka dalam memahami ruhsyari’at dan tujuan-tujuan persyari’atan hukum syara’. Dengan bergaul dengan Rasulullah berarti mereka merupakan murid-murid langsung dari beliau dalam menetapkan hukum, sehingga diyakini pendapat mereka lebih mendekati kebenaran. Oleh karena itu, jika pendapat mereka bertentangan dengan al-Qiyas, maka sangat mungkin ada landasan hadis yang mereka gunakan untuk itu. Sebagaimana diketahui, mereka adalah generasi terbaik (memiliki sifat al-‘Adalah), yang sangat sulit diterima menurut kebiasaan jika melahirkan pendapat syara’ tanpa alasan, sebab hal itu terlarang menurut syara’.[9] Kemudian
Imam
Muwaqqi’in berkata
Ibnu bahwa
Qayyim fatwa
di
dalam sahabat
kitabnya I’lamul tidak
keluar
dari enam bentuk:[10] 1)
Fatwa yang didengar sahabat dari Nabi
2)
Fatwa yang didasarkan dari orang yang mendengar dari Nabi
3)
Fatwa yang didasarkan atas pemahamannya terhadap Alquran yang agak kabur pemahaman ayatnya bagi kita.
4)
Fatwa yang disepakati oleh tokoh sahabat sampai kepada kita melalui salah seorang sahabat.
5)
Fatwa yang didasarkan kepada kesempurnaan ilmunya baik bahasa maupun tingkah lakunya, kesempurnaan ilmunya tentang keadaan Nabi dan maksud-maksudnya. Kelima hal inilah hujjah yang wajib diikuti
6)
Fatwa yang berdasarkan pemahaman yang tidak datang dari Nabi dan ternyata pemahamannya salah. Maka hal ini tidak jadi hujjah.
D.
Penggunaan mazhab (qaul) al-Shahabi oleh para Imam mazhab. Para Imam mazhab yang empat sepakat menjadikan qaul alShahabi sebagai rujukan terhadap masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad. Sebabdalam masalah-masalah yang bukan merupakan wilayah ijtihad, qaul al-Shahabidipandang berkedudukan sebagai al khabar at-tawqifi (informasi keagamaan yang diterima tanpa reserve) yang bersumber dari Rasulullah.[11] Imam Abu Hanifah Adapun sumber hukum ijtihad yang pokok Abu Hanifah yaitu apabila tidak terdapat dalam Alquran, ia merujuk pada sunnah Rasul dan atsar yang shahih yang diriwayatkan oleh orang orang yang tsiqah. Dan bila tidak mendapatkan pada keduanya, maka ia akan merujuk pada qaul sahabat, dan
apabila
sahabat ikhtilaf,
maka
ia
akan
mengambil pendapat dari sahabat manapun yang ia kehendaki. Dalam hal ini, Abu Hanifah telah berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasardasar hukum dari al-Qur’an dan hadist, maka kami mempergunakan fatwa-fatwa sahabat. Pendapat para sahabat tersebut, ada yang
diambil, ada pula yang kami tinggalkan. Akan tetapi kami tidak akan beralih dari pendapat mereka kepada selain mereka.” Imam Syafi’i Diriwayatkan oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Risalahnya sebagai berikut: “Suatu ketika kami menjumpai para ulama mengambil pendapat seorang
sahabat,
sementara
pada
waktu
yang
lain
mereka
meninggalkannya. Mereka berselisih terhadap sebagian pendapat yang diambil dari para sahabat.” Kemudian seorang teman diskusinya bertanya: “Bagaimanakah sikap anda terhadap hal ini?”. Dia menjawab: “Jika kami tidak menemukan dasar-dasar hukum dari alQur’an, sunah, ijma’, dan sesamanya, maka kami mengikuti pendapat salah seorang sahabat”. Diriwayatkan juga oleh ar-Rabi’, bahwa Imam Syafi’i di dalam kitab al-Umm (kitab yang baru) berkata: “Jika kami tidak menjumpai dasardasar hukum dalam al-Qur’an dan sunnah, maka kami kembali kepada pendapat para sahabat atau salah seorang dari mereka. Kemudian jika kami harus bertaqlid, maka kami lebih senang kembali (mengikuti) pendapat Abu Bakar, Umar atau Usman. Karena jika kami tidak menjumpai dilalah dalam ikhtilaf yang menunjukan pada ikhtilaf yang lebih dekat kepada al-Qur’an dan sunnah, niscaya kami mengikuti pendapat yang mempunyai dilalah”.(al-Umm, juz 7, hal. 247 ) [12]
Keterangan di atas menunjukkan, bahwa dalam menetapkan hukum, pertama-tama Imam Syafi’i mengambil dasar dari Alquran dan Sunnah, kemudian pendapat yang telah disepakati oleh para sahabat. Setelah itu, pendapat-pendapat yang diperselisihkan tersebut tidak mempunyai hubungan yang kuat dengan Alquran dan Hadist, maka dia mengikuti apa yang dikerjakan oleh al-Khulafa ar-Rasyidin, karena pendapat mereka telah masyhur, dan pada umumnya sangat teliti. Demikian
juga
Imam
Malik
RA
dalam
kitabnya al-
Muwaththa’ banyak sekali hukum-hukum yang didasarkan pada fatwafatwa sahabat. Imam Ahmad bin Hanbal Imam Ahmad bin Hanbal menggunakan metode al-hadits dalam beristinbath. Adapun sumber hukum yang dijadikannya sebagai landasan yaitu
Alquran, sunnah,qaul
shahabi yang
tidak
bertentangan,
hadis mursal, hadis dhaif, qiyas dan sadz al dzar’i. Imam
Hanbal
lebih
hadis dhaif daripada qiyas.Sebab,
mengutamakan beliau
hadis mursal atau tidak
akan
menggunakan qiyas kecuali dalam keadaan sangat terpaksa. Demikian juga halnya dengan qaul shahabi, beliau tidak menyukai fatwa bila tanpa didasarkan pada atsar. Apabila dalam Alquran dan sunnah tidak didapati dalil yang dicari maka beliau menggunakan fatwa para sahabat Nabi yang tidak ada perselisihan di antara mereka. Namun jika tidak ditemui dalam fatwa
tersebut, maka beliau mengunakan hadismursal dan dhaif. Bila masih tidak ditemukan juga, maka barulah beliau mengqiyaskannya. III.
A.
PENETUP
Kesimpulan Mazhab
Sahabat
yang
lazimnya
juga
disebut qaul
al-
Shahabi maksudnya adalah pendapat-pendapat sahabat dalam masalahmasalah ijtihad. Dengan kata lain qaul al-Shahabi adalah pendapat para sahabat tentang suatu kasus yang dinukil oleh para ulama, baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum, yang tidak dijelaskan dalam ayat atau hadits. Tidak semua qaul al-Shahabi yang diperselisihkan keabsahannya sebagai hujjahdi antara para ulama. Tetapi qaul al-Shahabi yang diperselisihkan adalah berupa perkataan sahabat tentang suatu permasalahan ijtihad yang tidak tersebar di kalangan para sahabat yang lainnya dan tidak ada nash sharih yang menjelaskan permasalahan tersebut. Tidak semua ulama sepakat untuk mengambil dan mengikkuti mazhab sahabat sebagi hujjah dalam menetapkan suatu hukum. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan oleh Syeikh Muhammad Abu Zahrah jumhur
ulama
mengikuti
dan
mengambil
madzhab
Sahabat
sebagi hujjah dalam istimbath hukum, terutama Imam mazhab yang empat (Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafi’i, dan Imam Hanbali). B.
Saran Dalam penulisan makalah ini penulis merasa masih jauh dari kesempurnaan, sehingga penulis mengharapkan adanya kritikan dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini. Diharapkan penulis selanjutnya lebih kreatif dan inovatif dalam mengembangkan daya pikirnya kedepan untuk memajukan syari’at Islam.