LANDASAN NEUROLOGIS PADA BAHASA Oleh : Candra Pirngadi
1. Apakah itu Bahasa dan berbahasa ? Bahasa adalah salah satu fenomena penting dalam hidup kita, kebanyakan kita hanya menganggap bahwa kemampuan berbahasa itu adalah sebuah kemampuan yang biasa saja, hanya sekedar kemampuan asasi manusia tanpa mempertanyakan apakah hal ini muncul begitu saja atau dipelajari atau bahkan dipengaruhi oleh beberapa faktor. Sebenarnya kemampaun berbahasa itu adalah sebuah keanehan, berbeda dengan kemampuan berjalan. Manusia memerlukan sebuah masyarakat untuk dapat bertutur dan berbahasa. (Arbak Othman dan Ahmad Mahmood Musanif, Pengantar Linguisti AM). Bahasa dan berbahasa adalah dua hal yang berbeda, bahasa adalah alat Verbal yang digunakan untuk berkomunikasi, sedangkan berbahasa adalah proses penyampaian informasi dalam berkomunikasi itu sendiri. Bahasa adalah bahan kajian Linguistik sedangkan berbahasa adalah bahan kajian psikologi. (Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik 2003). 2. Landasan Neurologis Bahasa. Disini akan dibahasa kaitan antara otak manusia dengan bahasa. Betapa besar peranan otak kita dalam pemerolehan, pemahama dan pemakaian bahasa. Proses bahasa itu dimulai dari enkode Semantik, enkode Gramatikan, dan enkode Fonologi, lalu dilanjutkan dengan dekode Fonologi, dekode Gramatikal, dan diakhiri dengan dekode Semantik. Semua proses ini dikendalikan oleh otak yang merupakan alat pengatur dan pengendali gerak semua aktifitas manusia (Chaer, Psikolinguistik Kajian Teoritik 2003). a. Hipotese Umur Kritis Menurut Lenneberg dengan teorinya Hipotese Umur Kritis (Crytical Age Hypotesis), dikatakan bahwa seorang anak yang berumur dibawah belasan tahun, minimum 12 tahun akan dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan seorang penutur asli (Lenneberg, 1967). Otak manusia mempunyai Hemisfer 2 buah, Hemisfer kiri dan kanan, kedua-duanya di kendalikan oleh Korpus Kalosum. Pada umur dibawah belasan proses literalisasi belum terjadi (lenneberg,
1967) namun Krashen menyanggahnya dan mengatakan bahwa pada umur 4-5 tahun proses literalisasi ini sudah terjadi. b. Kekidalan (left-handed) dam kekinanan (right-handed) Ada orang yang kidal dan ada juga yang kinan, bahkan ada pula yang dapat menggunakan kedua tangannya secara berimbang (ambidextrous) disebut ambidektrus. Disebutkan bahwa Hemisfer kiri adalah sebagai Hemisfer dominan bagi bahasa, sedangkan Hemisfer kanan untuk emosi, lagu, isyarat baik yang emosional maupun yang verbal. Berdasarkan penelitian bahwasanya bagian depan dari otak kita tidak mempengaruhi seseorang untuk berbicara dengan baik dan benar, namun bagian kepala yang disebut dengan Medan Broce (Broca)-lah yang memiliki peranan penting dalam berbahasa. Yang terjadi dalam masyarakat kita adalah sesuatu yang buruk itu berasal dari kiri. Hal ini sudah menjadi budaya. Namun masalah kekidalan adalah semata-mata masalah genetik, namun belum ada penelitian yang menyatakan bahwa terdapat dampak dari pemaksaan memakai tangan kanan. Adakah hubungannya antara kekidalan dan keinanan dengan kemampuan intelektual?hal ini masih menjadi perdebatan. c. Otak Pria dan Otak Wanita. Benarkah otak wanita dan otak pria berbeda? Adakah korelasinya antara wanita dengan pria dengan kemampuan berbahasanya? Menurut penelitian Steiberg, menyebutkan bahwa Hemisfir wanita lebih besar sebelah kiri dari pada pria. Namun Phillip dkk mengutarakan bahwa perbedaan ini hanya mengarah pada pengaruh budaya daripada Genetik. Bila seorang wanita terkena Stroke, kemungkinannya akan lebih besar dari pada pria untuk dapat sembuh dari Afasia Stoke-nya, karena itu pula disebutkan bahwa pria lebih cenderung terkena afasia daripada wanita saat mereka stroke, namun sekali lagi hal ini masih dapat terbantahkan. d. Bahasa Sinyal. Bahasa sinyal adalah pengganti bahasa verbal. Bahasa inilah yang sering digunakan oleh para tuna rungu dan tuna wicara. Ketika seorang tuna rungu ingin berkomunikasi dengan kita, maka seharusnya hemafisir kananya yang akan memegang peranan penting, namun berdasarkan bukti dari penelitian terhadap
tuna rungu yang juga mengalami kerusakan hemafisir kirinya seperti halnya penderita Afasia Broca atau Wernicke, ia tidak dapat menyampaikan bahasa sinyalnya dengan baik. Dalam hal ini kalimat yang diproduksi jadi tidak karuan dan fungsi gramatikalnya kacau. Maka dengan ini dapat diperoleh kesimpulan bahwa Hemafisir kiri juga mempengaruhi bahasa Sinyal. Jika seseorang mengalami kerusakan hemafisir kanannya maka ia akan tetap dapat menghasilkan sinyal yang benar dengan susunan kalimat serta gramatikalnya juga baik dan benar. e. Metode Penelitian Otak. Dalam hal ini banyak sekali peneliti yang kemudian menyelidiki peranan otak dalam memproduksi ujaran atau juga bagian-bagian manakah yang menghasilkan ujaran secara verbal, kemudian bahasa sinyal, dan juga hal-hal yang lainnya. Disebutkan bahwa otak manusia itu bila diberi tekanan pada bagian-bagian tertentu dapat mempengaruhi ujaran seseorang. Disini juga dapat kita ketahui bahwa bila inputnya adalah visual maka prosesnya akan berbeda dengan inputnya bunyi (suara) sebelum akhirnya outputnya secara verbal diujarkan. Seiring dengan adanya kemajuan teknologi, manusia dapat meneliti otak manusia untuk mengetahui khususnya dalam hal ini faktor-faktor yang berperan dan mempengaruhi seseorang dalam berbahasa. Namun dari segi permasalahan sebenarnya kita baru melihat ujungnya saja. Karena masih banyak yang harus kita teliti. Bahan bacaan : Psikolinguistik pengantar pemahaman bahasa manusia, Soenjono Dardjowidjodjo, Unika Atma Jaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta 2005 Psikolinguistik kajian teoritis, Abdul Chaer, Rineka Cipta, Jakarta, 2003
* hatur_nuhun *