TUKAK PEPTIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 1/4 Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kerusakan atau hilangnya jaringan dari mukosa, submukosa, sampai ke muskularis mukosa di daerah saluran makanan bagian atas, berbatas tegas, dan ada hubungannya dengan cairan asam
PATOFISIOLOGI
lambung serta pepsin. Tukak peptik timbul akibat gangguan keseimbangan antara asam lambung – pepsin dan daya tahan mukosa. Dibedakan dua bentuk tukak petik, yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Tukak duodenum :Pada umumnya terdapat hipersekresi asam dan pepsin karena jumlah sel parietal lebih banyak. Tukak lambung
:biasanya sekresi asam normal atau hiperkhlor – hidria; faktor utama adalah turunnya daya tahan mukosa.
GEJALA KLINIS
DIAGNOSA
Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya tukak adalah adanya riwayat keluarga mengidap tukak peptik, atau penderita dengan penyakit paru kronis, sirosis hati, penyakit ginjal kronis, merokok, minum alkohol, dan obat – obatan terutama anti – inflamasi konsteroid serta analgesik. Faktor resiko lainnya untuk tukak duodenum ialah golongan darah O. Nyeri perut di daerah epigastrium yang sifatnya khas, berlangsung kronis, periodik dengan masa remisi dan eksaserbasi silih berganti, ritmik (hunger pain, food relief) kualitas seperti ditusuk atau rasa panas. Nyeri biasanya berkurang dengan pemberian antasida; dapat disertai dengan anoreksia, mual, muntah. Anamnesia tentang keluhan dan gejala yang dialami penderita sangat penting, pada pemeriksaan fisik mungkin hanya didapatkan nyeri tekan epigastrum. Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan ialah endoskopi saluran makanan bagian atas. Bila fasilitas peralatan tidak 1
memungkinkan dapat dilakukan foto barium saluran makanan bagian atas, sensitifitas diagnosis berkisar antara 75 – 90 %. Pemeriksaan endoskopi penting untuk membedakan tukak jinak atau ganas, dan DIAGNOSA BANDING
sekaligus dapat melakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi. Dispepsia fungsional Pankreatiti Kanker lambung s akut Gastritis Kolesistitis Kolangitis
[[
2
TUKAK PEPTIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tujuan terapi pada tukak peptik adalah meredakan keluhan, menyembuhkan tukak yang aktif, mencegah kekambuhan dan komplikasi, meminimalkan dampak sosial ekonomi akibat sakit. 1. Merubah cara hidup Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol, serta obat – obatan yang dapat mengganggu saluran makanan terutama aspirin dan golongan nonsteroid anti inflamasi lainnya. 2. Terapi dengan obat 2.1 Pengobatan awal Tahap awal pengobatan mengupayakan pH lambung sekitar 5 tingkat keasaman optimal untuk penyembuhan tukak. Obat yang digunakan meliputi antasida, antagonis reseptor H2, inhibitor K – H – ATPase, antikolinergik. Obat lainnya yang dapat diberikan ialah obat yang memperbaiki ketahanan mukosa, sedativa atau antidepresi. Pada tukak lambung lama pengobatan awal 12 minggu, dan tukak duodenum 8 minggu. Setelah itu dilanjutkan dengan pengobatan pemeliharaan. 2.2 Pengobatan pemeliharaan Diberikan obat dengan dosis separoh dari dosis awal selama 6 sampai 12 bulan. Contoh obat: 1) Tablet Antasida DOEN (Aluminium Hidroksida 200 mg atau Magnesium Hidroksida 200 mg), diberikan sehari 6 - 7 kali 2 tablet yakni 1 jam dan 3 jam setelah makan, dan sebelum tidur malam hari. 2) Antagonis reseptor H2 a. Tabet Simetidin 3 – 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg per hari atau 800 mg malam hari. b. Tablet Ranitidin 2 x 150 mg atau 300 mg malam hari. c. Tablet Famotidin 2x20 mg atau 10 mg malam hari.
3
3) Inhibitor K – H – ATPase Diberikan Omeprazol 1 kapsul 20 mg tiap pagi, terutama digunakan untuk tukak. Duodenum: khasiat menekan sekresi asam lambung sangat kuat, dapat memberi kesembuhan lebih dini; pengobatan tahap awal hanya diberikan selama 4 minggu; sementara ini tidak digunakan untuk terapi pemeliharaan. 4) Antikolinergik Tablet Pirenzepin dengan dosis 2 x 50 mg, efek menekan sekresi asam lemah. 5) Memperbaiki ketahanan mukosa. Obat yang dapat digunakan : Sukralfat, Bismut subsitrat, dan Karbenoksolon. Di Indonesia Karbenoksolon tidak diedarkan, dan karena banyaknya efek samping jarang digunakan lagi. 6) Derivat Prostagladin Di Indonesia belum beredar. 3. Pembedahan Bila terjadi komplikasi atau pada tukak yang “intractable”
4
TUKAK PEPTIK No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
KOMPLIKASI
Perdarahan Perforasi Obstruksi/ stenosis pilorik.
5
DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominalis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISIOLOGI
GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi akut dengan demam, yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi. Salmonella typhi kuman Gram negatif, dapat hidup lama dalam air kotor, makanan yang tercemar dan alas tidur yang kotor. Setelah penularan per oral, S. typhi berkembang biak di usus halus dan kolon, menyebabkan radang plaque Peyer, dan menjalar melalui saluran limfe ke aliran darah. Setelah bakteriemi Pertama, S. typhi berkembang biak di sistem retikuloendotelial menyebabkan bakteriemi kedua dan menimbulkan gejala – gejala penyakit. Pada dinding ileum terjadi ulkus, yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal. Monosit memfagositosis S typhi dan membebaskan pirogen endogen, yang menyebabkan demam. S. typhi mengandung 3 jenis antigen: antigen O dalam dinding sel kuman, antigen H dalam flagelum, dan antigen Vi dalam lapisan luar, yang meliputi dinding sel kuman. Antigen O, H dan Vi menyebabkan sel retikuloendotelial memproduksi antibodi (Aglutinin) O, H dan Vi. Masa tunas rata – rata 14 hari. Gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik Demam, bradikardi relatif, nyeri kepala, nyeri perut, obstipasi Nyeri tekan perut kanan bawah, hapatomegali, splenomegali, meteorismus. Akhir minggu pertama timbul roseola (rose spots) pada kulit dada atau perut (jarang ditemukan pada kulit yang berwarna gelap). Pada tingkat yang lebih lanjut/ berat, kesadaran menurun atau terdapat delirium. Waktu penyembuhan demam turun dan gejala – gejala menghilang.
6
DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominlis) No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
Tanggal terbit
DIAGNOSA BANDING
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Jumlah leukosit normal/ leukopenia/ leukositosis Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfatase alkali meningkat. Dalam minggu pertama biakan darah S. typhi positif 75 – 85 %, dalam minggu – minggu berikutnya biakan darah positif berkurang. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga. Biakan sumsum tulang seringkali positif, walaupun biakan darah negatif. Pada reaksi Widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua dan tetap positif selama beberapa bulan/ tahun. Satu diantara tiga penderita demam tifoid tidak menunjukkan kenaikan titer reaksi Widal. Kenaikan titer reaksi Widal empat kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosa. Titer reaksi Widal di atas 1 : 200 menyokong diagnosa. Penyakit infeksi Malaria, infeksi saluran kemih, meningitis, pneumonia, tb paru, pleuritis Penyakit keganasan Leukemia, karsinoma Penyakit kolagen Demam rematik, eritematosus lupus sistemik.
7
DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominlis) No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENATALAKSANAAN
KOMPLIKASI
Tirah baring Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayuran dan buah – buahan), kecuali pada komplikasi intestinal. Obat – obat 1. Antimikroba Kloramfenikol 4 x 500 mg sehari oral/ intravena Tiamfenikol 4 x 500 mg sehari oral Kotrimoksazol 2 x 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama intravena, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus. Ampisilin atau Amoksisilin 100 mg/ kg BB sehari oral/ intravena, dibagi dalam 3 atau 4 dosis. Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam. 2. Antipiretika seperlunya, misalnya Parasetamol 3 x 500 mg 3. Vitamin B kompleks dan vitamin C 4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam. Perdarahan intestinal Perforasi intestinal Ileus paralitik Renjatan septik Pielonefritis Kolesistitis Pneumonia Miokarditis
8
[
ENSELFALOPATI HEPATIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN
PATOFISIOLOGI
No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu sindrom neuropsikiatrik sekunder karena: 1. Penyakit hati akut Hepatitis Fulminan Akut Hepatitis Toksik Perlemakan hati pada kehamilan 2. Penyakit hati menahun Sirosis hati Faktor yang mempengaruhi timbulnya Ensefalopati Hepatik: 1. Faktor Endogen = primer 2. Faktor Eksogen = sekunder Faktor endogen : menjeleknya fungsi hati misalnya pada hepatitis fulminan akut. Faktor eksogen: 1. Kelebihan protein dalam usus 2. Perdarahan masif/ shock hipovolemik 3. Sindrom alkalosis hipokalemik Akibat diuretik Akibat parasentesis yang cepat 4. Pengaruh obat – obatan Penenang Anestetik/ narkotik 5. Adanya katabolisme jaringan yang berlebihan Infeksi yang berat 6. Konstipasi Belum jelas terungkapkan Diduga banyak faktor yang ikut berperan Retensi dari metabolik toksik, misalnya amonia, merkaptan, fenol, asam lemak, oktopamin, feniletanolamin masih diragukan peranannya. Akhir – akhir ini dihubungkan dengan GABA (Gamma Amino Butiric Acid) sebagai Neuro Transmitter palsu yang ikut berperan dalam patogenesa ensefalopati hepatik.
9
ENSELFALOPATI HEPATIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS GEJALA KLINIS
Sindroma ini terdiri atas Kelainana neurologik Kelainan mental Kelainan rekaman EEG Terdiri atas 4 derajat Derajat 1: Euforia/ kadang – kadang depresi Kebingungan ringan dan berfluktuasi Gangguan pembicaraan Gangguan irama tidur Derajat 2: Lambat bereaksi Mengantuk Disorientasi Amnesia Gangguan kepribadian Asteriksis Refleks hipoaktif Ataksia Derajat 3: Tidur yang dalam Sangat pusing Refleks hiperaktif Flapping tremor Derajat 4: Tidak bereaksi pada rangsangan apapun Refleks okuler yang lemah Kekakuan otot Kejang menyeluruh
10
[
ENSELFALOPATI HEPATIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENATALAKSANAAN
Akut: 1. Atasi faktor – faktor pencetus Perdarahan Tranfusi darah Infeksi Antibiotika Alkohol Hentikan Gangguan keseimbangan elektrolit Koreksi 2. Pengosongan usus dari bahan – bahan yang mengandung Nitrogen. Stop obat – obatan yang mengandung Nitrogen Enema 3. Diit tanpa protein 4. Sterilisasi usus dengan Neomisin/ Kanamisin oral 5. Stop Diuretik/ pemeriksaan elektrolit serum 6. Pertahankan keseimbangan kalori, cairan, elektrolit Menahun: 1. Hindari obat – obat yang mengandung Nitrogen 2. Diit miskin protein (50 gram/ 24 jam) 3. Laktulosa 10 – 30 ml 3 kali sehari 4. Dapat dicoba dengan Bromokriptin.
11
SINDROMA NEFROTIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi Halaman 0 1/6 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan sembab. Kadang – kadang disertai hematuria, hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi
ETIOLOGI
glomerulus (GFR). Terdapat dua jenis sindroma nefrotik: 1. Sindroma nefrotik primer: Sindroma nefrotik jenis ini timbul sebagai akibat dari kelainan primer pada glomerulus
Sindroma nefrotik kongenital
Sindroma nefrotik idiopatik: Sindroma nefrotik kelainan minimal Sindroma nefrotik dengan kelainan PA yang lain
2. Sindroma nefrotik sekunder Sekunder nefrotik jenis ini timbul sebagai akibat penyakit sistemik
Penyakit keturunan/ metabolik Diabetes Amiloidosis Miksedema Sindroma Alport
Infeksi Virus hepatitis B Malaria Lepra Sifilis Pasca streptokokus 12
Toksin/ allergi
Air raksa Serangga Bisa ular Penyakit sistemik/ immune mediated:
Lupus eritematosus sistemik Purpura henoch – schonlein Sarkoidosis Keganasan
Tumor paru Penyakit Hodgkin Tumor saluran pencernaan SINDROMA NEFROTIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
PATOFISIOLOGI
No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 2/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sindroma nefrotik primer biasanya menyerang pertama kali pada usia <= 6 tahun. Permeabilitas glomerulus meningkat ----- protenuria masif ----hipoproteinemia----- tekanan onketik plasma menurun ----- Pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstitial. Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang ----- retensi natrium. Penurunan volume plasma merangsang aldosteron ----- resorbsi natrium dan air di tubuli meningkat. Sembab timbul karena bocornya cairan melalui membran kapiler dan retensi cairan. Penurunan volume intravaskuler dapat menimbulkan renjatan. 13
Kadang-kadang terjadi hipertensi. Sesak dapat timbul karena adanya cairan dalam rongga pleura. Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui air kemih, berkurangnya sintesa protein, katabolisme, dan pelepasan protein ekstra renal. Kadar albumin plasma yang rendah merangsang sintesa protein di GEJALA KLINIS
hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan trigliserida. - Sembab ringan : Kelopak mata bengkak. -
Sembab berat : anasarka, ascites, pembengkakan skrotum
atau labia, hidrotoraks sembab Paru -
Kadang sesak karena hidrotoraks atau diafragma letak tinggi
(ascites ). -
Kadang – kadang hipertensi
14
SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 3/6
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA
Diagnosa di buat berdasar :
Gejala klinis, pemeriksaan fisik, thorax foto
Laboratorium : Proteinuria Hasil pemeriksaan dianggap mempunyai nilai diagnostik apabila ekskresi protein melalui air kemih > 50 mg/kg BB/24 jam. Jenis protein yang keluar terutama albumin. Ada 2 cara pengukuran proteinuira : Reaksi Esbach
: kuantitatif ( gram/liter/24 jam )
Uji Rebus
: kualitatif (albumin )
Seangin
: +/- 10mg/dl
+1
: +/- 30mg/dl
+2
: +/- 100mg/dl
+3
: +/- 300mg/dl
+4
: +/- 1000mg/dl
Hipoalbuminemia Dikatakan hipoalbuminemia apabila kadar albumin plasma <2,5 g/dl. Hiperkolesterolemia Kadar kolesterol meningkat Kadar lipoprotein densitas sangat rendah ( VLDL ) meningkat. Kadar lipoprotein densitas rendah (LDL ) meningkat.
Biopsi Ginjal : 15
Biopsi ginjal diperlukan untuk menentukan jenis kelainan PA secara pasti apabila secara klinis tipe “ Kelainan minimal “ tidak dapat ditegakkan. Indikasi biopsi : Umur <2 tahun atau >6 tahun Tidak remisi dengan induksi prednisone Sering relaps Hipertensi Hermaturia Fungsi ginjal menurun
16
SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 4/6
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA BANDING
PENATALAKSANAAN
Glomerulonefritis Akut
Malnutrisi
Sembab karena alergi
Payah jantung kongestif Umum Diet Tinggi protein Rendah garam ( pada stadium sembab dan selama diberi steroid ) Cairan terbatas ( pada stadium sembab dan hipernatremia ) Vitamin D dan Calsium Aktifitas Tirah baring : Pada stadium sembab Bila ada hipertensi Bila ada bahaya trombosis Bila relaps Lingkungan sosial harus normal, hindarkan stres psikologis Rawat inap untuk mengatasi penyakit Setelah pulang perlu kontrol teratur Deuretika Deuretika diberikan apabila ada sembab yang hebat untuk menghindarkan retensi natrium ----- furosemida : 1 – 2 mg/kg BB/dosis 2 - x/24 jam 17
Khusus Prednisone Dosis induksi : 2 mg/kg BB/24 jam atau 60 mg/M2//24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu maksimum 80 mg/24 jam Bila terjadi remisi : 2 mg/kg BB/24 jam dosis tunggal pagi hari setiap 48 jam sekali selama 4 minggu Tappering off : Dosis dikurangi 0,5 mg/ kg BB/ setiap 2 minggu Lama tappering off 2 – 4 bulan Bila terjadi relaps : Diberikan dosis induksi ( dosis awal ) sampai 7 hari air kemih bebas protein, dilanjutkan seperti protokol pengobatan diatas. Sitostatika : Indikasi pemberian sitostatika adalah resistensi terhadap prednisone atau adanya efek samping obat Agent alkilating
: Siklofosfamid 2 mg/kg BB / 24 jam dibagi 3 dosis selama 6 – 8 minggu
Antimetabolit
: Asatriopin 2 mg/kg BB /24 jam di bagi 3 dosis selama 6 – 8 minggu
18
SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP KOMPLIKASI
No. Revisi 0 Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Halaman 6/6
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Renjatan karena sepsis, emboli, atau hipovalemia karena ascites yang timbul mendadak
PROGNOSA
Trombosis karena hiperkoagulitas
Infeksi
Hambatan pertumbuhan Sindroma nefrotik primer jenis kelainan minimal : baik
Glomerulosklerosis
segmental
fokal
dan
glomerulonefritis
membranoproliferatif : kurang baik.
19
GAGAL GINJAL KRONIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007
PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/5
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis yang dikaitkan dengan mundurnya faal ginjal (unit nefron) yang sifatnya progresif atau menetap, dengan akibat menumpuknya sisa metabolit (toksin uremik).
PATOFISILOGI
Toksin uremik adalah bahan yang dituduh sebagai biang keladi sindrom klinis uremia. Toksin uremik yang telah diterima : H2O, Na, K, H, P anorganik, PTH, renin. Yang belum diterima : BUN, kreatinin, asam urat, guanidin, iniddle molecule, dan sebagainya. Menurutnya fungsi nefron (GFR) yang sifatnya menetap atau progresif akan diikuti mekanisme kompensasi dan adaptasi. Mula – mula asimptomatik, GGK tanpa keluhan dan gejala, hanya kebetulan waktu pemeriksaan laboratorium BUN dan kreatinin telah meninggi. Berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun (Kliren > 20 %). Keadaan lanjut (Kliren 5 – 20 %) toksin uremik makin menumpuk sehingga timbul GGK simptomatik dengan keluhan gangguan fungsi berbagai organ antara lain : keluhan gastrointestinal, susunan saraf pusat,
neurologik,
kardiovaskuler,
paru,
hematologik,
endokrin/metabolik, dermatologi. Pada saat kliren < 5 % GGK sudah stadium terminal
(GGT) sehingga penderita harus dilakukan
hemodialisis (HD) untuk kelangsungan hidupnya.
20
GAGAL GINJAL KRONIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007 Tanggal terbit - Gastro intestinal - SSP / neurologik
- Kardiovaskuler - Hematologik - Endokrin/metabolik - Dermatologik
No. Revisi 0
Halaman 2/5
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS : anoreksia, nausea, muntah, hematemesis, melena. : lelah, malas, insomnia, sakit kepala, kejang-kejang, koma, fasikulasi otot, mioklonus, neuropati perifer, perubahan perilaku. : Hipertensi, payah jantung kongestif, perikarditis/miokarditis uremik. : anemia, diatesis hemoragik. : hiper/hipoglikemia, hiperlipidemia, tipe IV, hiperparatiroidis-me, disfungsi seks/ menstruasi, retardasi pertumbuhan badan. : kulit kering, gatal.
21
GAGAL GINJAL KRONIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA
DIAGNOSA BANDING
No. Revisi 0
Halaman 3/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Buktikan bahwa kelainan tersebut kronis : A. Anamnesa : Riwayat keluarga yang positif, misalnya : DM, pirai, batu ginjal, hipertensi. Obat nefrotoksik jangka lama (analgesik, anti reumatik, antibiotik). Keluhan –keluhan umum yang tidak spesifik. B. Diagnosa Fisik : tergantung penyakit dasar (DM, hipertensi, ginjal polikistik, SLE). C. Laboratorium : Pemeriksaan urine lengkap, proteinuria, hematuria, leukosituria, silinderuria. Faal ginjal : BUN, Kreatinin, asam urat, K, Na, Cl, HCO3, Kliren Kreatinin, Ca/P. D. Kronisitas GGK : dapat dilihat dari anemia normokrom normositer, trombositopenia, Ca turun, P. naik, hiperurisemia, radiologik ukuran ginjal mengecil. E. Radiologi IV P : menilai ukuran ginjal, adanya batu, adanya obstruksi, hipertrofi prostat, kelainan anatomi. Bila kreatinin > 6 mg %, BUN > 60 %, IV P dengan teknik infus. USG lebih aman dan tidak invasif Minimal dilakukan foto polos abdomen. Koma uremik harus di DD dengan kelainan SSP yang lain (ensefalitis, CVA, dan sebagainya). Edema anasarka harus di DD dengan akibat payah jantung atau payah hati kronis (sirosis). Masalahnya ialah mencari penyakit dasar. -
22
GAGAL GINJAL KRONIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tujuan : Pengobatan konservatif GGK ialah menunda saat dialisis atau transplantasi dengan memperlama periode asimptomatik. Cara : Memperbaiki faktor-faktor yang reversibel, treatable, dan mencegah menumpuknya toksin uremik dengan diit dan obat-obatan, memperbaiki penyakit dasar, mengatasi keluhan dan gejala dengan obat-obatan, mencegah/menghindari tindakan-tindakan yang menambah kerusakan ginjal lebih lanjut. Mencegah timbulnya penyulit yang memperjelek GGK. 1. Hati-hati terhadap obat nefrotoksik : NSAID jangka lama, kombinasi aminoglikosida sefalosporin dengan furosemid. 2. Hindari dehidrasi, hipovolemia, hipotensi, anti hipertensi yang terlalu kuat, diuretik yang berlebihan, pantang air dan garam yang terlalu ketat, keseimbangan cairan yang baik. 3. Hindari gangguan elektrolit. 4. Hindari undernutrition akibat diit yang terlalu ketat, rendah protein yang berlebihan. 5. Hindari kehamilan 6. Hindari kateterisasi urine yang tidak perlu, (bahaya ISK dan urosepsis), hindari kontras urografin pada penderita DM, MM, dehidrasi, hiperurisemia. 7. Obati dekompensasi jantung, agar CO membaik. Memperlambat Progresivitas GGK. 1. Kendalikan tekanan darah, hipertensi maligna 2. Obati ISK dengan antibiotik non-nefrotoksik yang sesuai. 3. Obat nefrotoksik diberikan dengan dosis interval berdasarkan kliren kreatinin. 4. Obati hiperfosfatemia, mencegah hiperparatiroidisme. Cara : diit rendah fosfat, obat pengikat fosfat (phosphate binder’s) 5. Hiperurisemia dengan keluhan sendi harus diobati. Hiperuresimia berat pada GGK dapat menyebabkan pembuntuan tubulus, inflamasi interstitial sehingga menjadi jaringan ikat. Diit rendah purin, obat alopurinol. 6. Asidosis metabolik diobati dengan Na-HCO3 tablet/intravena, air 23
soda. Mengurangi gejala Uremia Semua keluhan dan gejala dapat diobati secara simptomatik. 1. Diit rendah protein GFR 5-10 % : 40-50 gram/hari, GFR 4-5 % : 20-30 gram/hari. Kalori harus > 2500 kal/hari. 2. Asam amine esensial. 3. Gatal (pruritus) : TKRP, radiasi UV, difenhidramin, paratiroidektomi, transplantasi ginjal. 4. Keluhan GI : anoreksia, mual, muntah, kadang-kadang membaik dengan diit TKRP, memperbaiki asidosis dengan NaHCO3, obat anti muntah. 5. Keluhan neuromuskuler : lelah, parastesia, kram, diberi vitamin B1, B 6, B12 dosis tinggi, diazepam. 6. Anemia : preparat Fe, asam folat, nandrolon dekanoat, hormon anabolik untuk stimulasi eritropoetin. 7. Osteodistrofi Renal : Koreksi asidosis, obat pengikat fosfat, suplementasi kalsium, vitamin D3. Penyakit GGK yang Reversibel Nefropati obstruktif, nefropati analgesik, nefropati toksik, sindrom nefrotik dengan perubahan minimal & nefropati membranous, nefropati hipertensif, nefritis pasca infeksi, nefritis lupus, nefropati sekunder oleh karena hiperkalsemia, hiperurisemia, dan hipokalemia, angiitis & vaskulitis oleh karena hipersensitivitas, penyakit ginjal sekunder oleh karena trombosis vena renalis dan atau vena kava inferior. Kelainan Akut yang dapat mencetuskan GGK yang sudah ada. 1. Gangguan keseimbangan H2O dan elektrolit : dehidrasi, defisit Na, Hiponatremia, Hipokalemia. 2. Gangguan hemodinamik: payah jantung kongestif, hipotensi, shock. 3. Infeksi sistemik atau renal (bakterial atau viral). 4. Bahan nefrotoksik : obat-obatan, bahan kimia, aminoglikosida, sefalosporin, amfoterisin B, bahan-bahan kontras radiologi, dan sebagainya. 5. Hipertensi Maligna. 6. Gangguan metabolik : Hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperoksaluria. 7. Nefropati abstruktif & nefrolitiasis.
24
[
GAGAL GINJAL AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis di mana faal ginjal (GFR) turun secara mendadak oleh sebab-sebab pre-renal, renal, pasca renal.
PATOFISIOLOGI
Klinis ditandai dengan turunnya produksi urine secara mendadak ( <= 400 ml/24 jam) disertai tanda – tanda uremia yang lain, selalu didapat kenaikan kreatinin serum. Dapat juga terjadi uremia non – oliguria. Empat faktor utama ialah : 1. Iskemia korteks ginjal 2. Obstruksi tubulus 3. Back leak dari filtrat 4. Penurunan koefisien ultrafiltrasi glomeralus ( Kf ) Adalah dasar potofisiologi dari GGA tergantung penyebabnya pre – renal, renal, atau pasca renal. GGA Pre – Renal A. Penurunan Volume intravaskuler : kehilangan darah atau plasma ( perdarahan, akut, luka bakar, dan sebagainya ). B. Kenaikan permeabilitas vaskuler : sepsis, anafilaksis. C. Penurunan curah jantung ( CO ) : Payah jantung kongestif, infark jantung, emboli paru. GGA Renal A. Akibat penyakit ginjal primer : GNA, nefrosklerosis, hipertensi maligna. B. Nefritis interstitialis akut karena alergi obat : Ampisilin, Furosemid, NSAID, dan sebagainya. C. Nekrosis Tubuler Akut ( NTA ) / Nefropati Vasomotor Akut. Etiologi NTA : Tipe iskemik, merupakan kelanjutan GGA Pre – Renal Tipe toksik akibat bahan nefrotoksik, aminoglikosid, merkuri, dan sebagainnya. Kombinasi iskemik – toksik, akibat mioglobinuria, hemolisis, intravaskuler pigmen, malaria, sepsis pada abortus. GGA Pasca – Renal Umumnya akibat obstruksi aliran urine karena batu, hipertrofi prostat, karsinoma fibrosis retroperitoneal, sehingga tekanan intratubuler 25
meningkat dan timbul vasokonstriksi ginjal dengan akibat GFR menurun. GAGAL GINJAL AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP GEJALA KLINIS PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tergantung penyebab dari penyakit dasar ditambah tanda-tanda klinis uremia yang lain, hanya saja terjadinya secara akut. Diarahkan kepada penyebab pre – renal, renal, pasca – renal. A. Anamnesa, terhadap etiologi obat nefrotoksik, anamnesa batu injal, pirai, gangguan miksi pria usia lanjut ( BPH ). B. Dianoksa fisik : tensi, nadi, turgor, tekanan vena sentral, irama gallop suara jantung, kesadaran menurun. Serta tanda – tanda klinis penyakit dasar yang lain. C. Laboraorium : pemeriksaan urine lengkap, BJ urine. Darah : BUN, Kreatinin, K, Na CL, HCO3, Bj Plasma. DD Albuminuria Oliguria BJ Urine Sedimen Osmolaritas (mOsm/L) U Osm/p Osm Urin Na (Meq/L) U kreatinin/ P kreatinin
Pre – renal +++ >1.020 Normal > 400 > 1.5 < 20 > 30/L
Renal ( NTA ) + +++ 1.010 – 1.012 Sel epitel silinder Isosmotik 1 – 1.5 > 40 < 20/L
26
GAGAL GINJAL AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit 1. 2.
3. 4. 5. 6.
7. 8. 9.
KOMPLIKASI
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pengobatan di tujukan pada penyebab dari penyakit dasar pre – renal, renal, pasca renal. Memperbaiki keadaan umum, pemberian balans cairan yang baik Monitor CVP, BJ plasma, produksi urin 24 jam, CO/hemodinamik. Atasi infeksi dengan obat non – nefrotoksik. Kalori tinggi >2500 kal/hari, rendah protein 0,3 – 0,5 gram/kg BB/hari. Infus asam amino esensial Furosemid dosis tinggi tidak merubah perjalanan GGA, tetapi memudahkan pengaturan keseimbangan cairan. Furosemid baru diberikan bila bukan GGA pasca – renal. Dapat pula digunakan Mannitol ( awas edema paru akut pada penderita yang sudah dengan payah jantung kiri. Memperbaiki asam basa dengan Na – HCO3 per oral/intravena Memperbaiki keseimbangan elektrolit K/Na, terutama pada fase poliuria. Hemodialisis dini atas indikasi : Hiperkalemia, asidosis berat, uremia yang berat, overhidrasi, perikarditis, uremia, BUN > 100 mg%, kreatinin >10 mg %, K> 7 mEq/ liter, HCO3 < 12 mEq/liter. Datang terlambat sehingga kelainan ireversibel Kelainan metabolik yang lanjut Overload syndrome Hiperkalemia, cardiac arrest Infeksi nosokomial.
27
SIROSIS HATI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu fase lanjut dari penyakit hati dimana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan–bentukan regenerasi
KLASIFIKASI
nodul. 1. Klasifikasi Marfologik. a. Sirosis mikronoduler b. Sirosis makronoduler c. Sirosis makro dan mikronoduler d. Sirosis multilobuler 2. Klasifikasi Etiologik. a. Sirosis karena infeksi virus B, Non A Non B b. Sirosis karena alkohol c. Sirosis karena gangguan nutrisi d. Sirosis bilier primer dan sekunder e. Sirosis karena penyakit genetik f. Sirosis kongestif g. Sirosis kriptogenik h. Sirosis Indian Childhood i. Sirosis granulomatosis j. Sirosis karena obat-obatan.
28
SIROSIS HATI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gambaran klinis sirosis hati dibagi dalam dua stadium : 1. Sirosis kompensata dengan gejala klinis yang belum tampak. 2. Sirosis dekompensata dengan gejala klinis yang jelas. Manifestasi klinis dari sirosis bersumber dari dua kegagalan fundamental yakni : - Kegagalan parenkim hati. - Hipertensi portal - Pada stadium kompensata diagnosa sirosis ditegakkan secara kebetulan pada saat mengevaluasi faal hati pada penderita hepatitis kronis. Keluhan subyektif baru timbul bila sudah ada kerusakan sel – sel hati, umumnya berupa penurunan nafsu makan, mual, kembung, sebah, kelemahan, dan malaise. Kelemahan otot dan cepat lelah sering dijumpai pada sirosis dekompensata akibat kekurangan protein dan adanya cairan dalam otot penderita. - Kegagalan parenkim hati ditandai dengan produksi yang rendah, gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal ( eritema, palmaris, spider nevi, ginekomasti , atrofi testis, gangguan siklus haid). - Kekuningan tubuh atau ikterus biasanya meningkat pada proses yang aktif, yang sewaktu – waktu dapat menghebat dan terjun pada fase prekoma dan koma hepatikum ( ensefalopati hepatik ) bila penderita tidak mendapat perawatan yang intensif. - Hipertensi portal umumnya timbul bila tekanan sistem portal melebihi 10 mm Hg. Ditandai dengan splenomegali, asites dan kolateral. Umumnya penderita sirosis dirawat karena timbul penyulit berupa perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises esofagus, asites yang hebat, dan ikterus yang dalam. Laboratorium : Pada sirosis kompensata perubahan dari tes faal hati hanya minimal , terkadang hanya didapatkan peningkatan dari tes retensi BSP. Pada sirosis dekompensata ( aktif ) sering dijumpai peningkatan bilirubin serum, albumin darah yang rendah, globulin-gamma yang meningkat, waktu protombin yang memanjang, dan gangguan kompleks protombin. Bila timbul hipersplenisme maka dijumpai anemia normokrom 29
normositer, trombositopenia dan lekopenia. Terkadang jenis anemia lainnya seperti anemia hipokrom mikrositer karena perdarahan kronis dan anemia makrositer karena defisiensi asam folat dapat dijumpai pada penderita sirosis hati.
30
SIROSIS HATI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa sirosis hati di tegakkan atas dasar : Anamnesa Pemeriksaan fisik Kelainan laboratorium Sarana diagnostik penunjang lainya adalah : Foto saluran makan bagian atas untuk mendeteksi varises esofagus dan kelainan pada lambung Endoskopi serat optik untuk pembuktian adanya varises Peritoneoskopi Diagnosa pasti di tegakkan dengan biopsi hati : Membuta Tuntunan USG/peritoneoskopi
31
SIROSIS HATI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 5/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Umum : Sekali diagnosa sirosis hati ditegakkan,prosesnya akan berjalan terus tanpa dapat dibendung. Usaha – usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk mencegah timbulnya penyulit – penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum alkhohol, dan menghindari obat – obatan dan bahan – bahan hepatotoksik merupakan suatu keharusan. Diit yang kaya kalori dan kaya protein ( kecuali bila ada penyulit ansefalopati hepatik ). Bila ada edema dan asites : 1. Istirahat, mengurangi aktivitas fisik 2. Diit kaya kalori kaya protein, miskin garam ( 300 – 500 mg/hari ) 3. Pembatasan cairan ( 1 liter/hari) terutama bila ada hipernatremia. Bila dengan usaha tersebut tidak memberi hasil dapat di tambah dengan obat – obat diuretik misalnya Furosemid dengan dosis awal 40 mg/hari. Kalau perlu dapat dikombinasi dengan spironolakton 2 x 25 mg/hari. Awasi elektrolit serum terutama K + selama pemakaian diuretik. Berat baan penderita dan lingkaran perut harus diawasi secara cermat. Penggunaan albumin serum manusia dapat dipertimbangkan bila dengan terapi konvesional tidak memberikan hasil. Tindakan yang lain berupa parasintesis baru dapat dikerjakan bila dijumpai asites cukup besar yang dapat menimbulkan kesulitan pernapasan. Spesifik : Pengelolaan spesifik disesuaikan dengan penyebab yang menimbulkan sirosis.
32
SIROSIS HATI No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 6/6
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMPLIKASI
Hematemesis melena Ensefalopati hepatik Infeksi Saluran nafas Saluran cerna Trombosis vena porta Keganasan kanker hati primer.
33
34
HEPATITIS KRONIS AKTIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
ETIOLOGI
A. HEPATITIS KRONIS AKTIF B
DIAGNOSA
Dapat disebabkan oleh : Virus – virus hepatitis B, C, Delta Obat, alkohol, auto-imun ( lupoid ), penyakit wilson, dan defisiersi. Alfa-l antitripsin. PATOFISIOLOGI : Virus B tidak langsung berefek sitopatik; terjadinya lisis dari hepatosit yang terinfeksi, dan progresif menjadi hepatitis kronis, erat kaitannya dengan proses interaksi antara lain : Pihal I : replikasi virus B dalam hepatosit dan respon autoimun yang berkaitan dengan ini Pihak II : daya respon imun dari hospes terhadap replikasi virus. Gambaran Klinis : Hepatitis kronis B terutama didapatkan pada laki – laki; mula – mula penderita tak begitu kentara keluhan/gejalannya, hanya lekas capai, lemah, sebah, kembung, anoreksia ringan; walaupun gambaran klinis variabel, umumnya ditemukan transaminase serum tinggi, sedang bilirubin dan globulin – gamma naiknya sedang saja ; HbsAg dan anti –HBc positif, titer HbsAg berbanding terbalik dengan tingkat keparahan hepatitis kronis. Patologi : Nekrosis, inflamasi aktif, fibrosis portal, periportal, meluas intralobuler;erosi limiting plate ( batas portal-lobulum ), piece meal necrosis ( FMN), hepatosit ground-glass ( mengandung HbsAg ).
35
HEPATITIS KRONIS AKTIF No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
PROGNOSA
B. HEPATITIS KRONIS NON – A NON – B ( C,E)
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Penderita dan keluarga diberi penjelasan / penyuluhan tentang infeksiositas penderita sebagai pengidap HbsAg, apalagi jika HbsAg positif, keluarga serumah dan yang menjalin hubungan intim/seksual perlu divaksinasi terhadap HB ( Perlu Uji saring pra vaksinasi HbsAg dan anti HBs ). Aktivitas pekerjaan sehari – hari seperti biasa, disesuaikan dengan keluhan / altivitas hepatitis, jangan sampai terlalu meletihkan, demikian juga dengan latihan – latihan / olah raga memelihara kesegaran jasmani. Diit khusus tidak diperlukan Terapi spesifik hingga sekarang masih taraf eksperimental dan pola pemberian bermacam – macam. Hepatitis Kronis A dengan HBV – DNA dan HbeAg Positif : Pengobatan anti virus : adenin Arabinoside / monofosfat ( AraA/AMP), interferon ( IFN ); Asiklovir. Pengobatan imunomodulasi : kortikosteroid;azatioprin;levamisol. Pengobatan gabungan dari keduannya diatas. Hepatitis kronis B dengan anti Hbe positif : Yang simptomatik dengan gambaran histologi progresif ditandai dengan peningkatan transaminase serum, IgM anti HBc dan HBVDNA serum yang positif. Keadaan ini disebabkan oleh HbeAg defective HBV ( = pre core mutant). Interferon Alfa dapat diberikan pada kasus ini, sekalipun hasilnya lebih baik disbanding dengan Hepatitis Kronis HBeAg positif (70%) tapi angka kekambuhannya cukup tinggi (90%). Perjalanan klinis sangat bervariasi, sebagian besar cepat atau lambat ( 10 – 30 %/ tahun ) akan mengalami serokonversi HbeAg positif anti Hbe (+), demikian juga HBV DNA / DNAp dalam serum menjadi negatif. Prognosa ditentukan oleh tingkat kelainan histologi yang terjadi selama perjalanan penyakit. Penelitian epidemiologi menunjukkan angka pengidap, angka kronisitas dan insiden sirosis pada infeksi virus NANB / VHC lebih besar dari pada infeksi dengan virus B.
36
37
HEPATITIS KRONIS AKTIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
PATOLOGI PROGNOSIS
No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gambaran Klinis : Umumnya keluhan ringan berupa malaise, anikterik atau sering asimptomatik. Yang menarik perhatian fluktuasi transaminase serum selama berbulan – bulan, diselingi periode remisi ; tak dapatkan auto – antibodi serum ( ANA, AMA) terutama untuk hepatitis virus C. Hepatitis Pasca Tranfusi 90 % disebabkan oleh virus hapatitis C ( VHC). Diagnosa Hapatitis Virus C ditegakkan atas dasar : SGPT/ALT yang meningkat Ditemukannya anti –HCV (IgM atau total ) dan HCV RNA dalam darah. Hepatitis Virus E, gejala klinis mirip dengan Hepatitis Virus A, yang dapat bersifat epidemik maupun sporadik. Pada wanita hamil, Hepatitis Virus E memberikan gejala yang lebih berat dengan angka mortalitas tinggi mencapai 20 %. Diagnosa Hepatitis Virus E dengan ditemukannya IgM anti HVE. Umumnya yang dijumpai : gambaran HKP atau HKA jenis ringan, kadang juga gambaran HKL dan sirosis. Perjalanan klinis menunjukkan masa remisi dan eksaserbrasi, fluktuasi dari transaminase serum : 5 – 10 % penerima transfusi darah / produk – produk darah mengalami hepatitis akut NANE / Hepatitis C. 90 % hepatits pasca transfusi adalah hepatitis akut NANB/C. 50 % hepatitis akut NANB pasca tranfusi menjadi kronis 10 – 20 % hepatitis kronis NANB menjadi siroris Hepatitis NANB kemungkinan besar secara etiopatogenik berkaitan dengan kanker hati.
38
HEPATITIS KRONIS AKTIF No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Hingga saat ini virus – virus penyebab hepatitis NANB termasuk satu kelompok besar. Kortikosteroid untuk virus hapatitis C belum menunjukkan manfaat. Interferon untuk virus hepatitis C masih dalam taraf eksperimental sekalipun dengan angka kekambuhan yang tinggi. Perawatan untuk hipatitis virus E sama dengan hepatitis virus A.
39
HEPATITIS KRONIS LOBULER ( prolanged acute hepatitis; unressolved acute hepatitis ) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.287.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/1
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
ETIOLOGI DIAGNOSA
PATOLOGI
Virus B; virus NANB Gambaran Klinis : Keluhan dan gejala hepatitis akut kadang – kadang masih ada sampai 4 – 6 bulan sejak awal penyakit ; sering pada laki – laki; manifestasi klinis dapat menunjukkan masa remisi, masa kambuh silih berganti, selama beberapa tahun, disertai fluktuasi transaminase; kadang -kadang ada hiperglobulinemia; dalam perjalanan hepatitis kronis B, manifestasi HKL dapat dijumpai selama masa eksaserbrasi akut yang menyertai proses serokonversi dari HbeAg positif HbeAg negatif anti Hbe positif. Sebagian besar mirip histologi hepatitis akut, yang menonjol inflamasi san nekronis fokal tersebar intralobuler, tidak ditemukan piece meal
DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN
necrosis. Dengan HK jenis lainnya : Gambar histopatologi Seperti halnya HKP, sebagian besar tak membutuhkan terapi spesifik ; hanya kasus – kasus tertentu mungkin menunjukkan respon klinis dan
PROGNOSA
biokimiawi yang baik dengan kortikosteroid. HKL dapat berlangsung bertahun – tahun, akhirnya sembuh juga tanpa terjadi sirosis ataupun HKA.
40
HEPATITIS KRONIS PERSISTEN ( HKP )
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP ETIOLOGI
PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.288.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/1
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Virus : virus hepatitis B; virus hepatitis Non-B (virus hepatitis C) Alkohol Penyakit radang usus : Kolitis ulserosa; penyakit Crohn, infeksi E, histolitika, Salmonella. Gambaran Klinis : Umumnya keluhan ringan: lemah, lekas capai, sebah, perasaan tak enak di daerah hati. Hati sering hanya teraba tepi, spider nevi dan splenomegali tidak didapatkan.
DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN
Laboratorium : Bilirubin serum normal atau sedikit naik; transaminase dapat naik 4 –5 kali normal; globulin – gamma normal; pemeriksaan petanda – petanda serologik virus B. Patologi : Infiltrasi sel radang dan fibrosis ringan, pelebaran daerah portal : limiting –plate ( batas portal –lobulus ) masih utuh, tidak ditemukan piece meal necrosis. Hepatitis Kronis Aktif ( HKA ) Penjelasan penyuluhan mengenai perjalanan prognosa yang baik; diit khusus tak diperlukan pengobatan kortikosteroid / imunosupresi tidak perlu. Penyakit dapat berlangsung bertahun – tahun namun akhirnya sembuh dan tidak terjadi sirosis.
41
HEPATITIS VIRUS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/6
Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit radang hati akut karena infeksi oleh virus hepatotropik.
ETIOLOGI
Virus A, Virus B, Virus Non – A, Non – B, dan Virus Delta yang sering;
PATOFISIOLOGI
virus lain yang jarang : Virus Epstein –Barr, Virus Cytomegalo. Cara penularan tergantung pada jenis virus, melalui jalan fekal-oral, dapat pula secara perenteral atau parenteral inapparant.
PATOLOGI
Diseluruh hati terjadi nekrosis fokal, inflamasi dengan monosit di lobus dan zona portal, serta proliferasi sel Kupfer.
42
HEPATITIS VIRUS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Umumnya hepatitis virus akut A,B,NANB menunjukkan gambaran klinis yang sama melalui 4 tahap : Masa tunas (inkubasi) tergantung dari macam virus. Masa prodromal / Preikterik : 3 – 10 hari, rasa lesu / lemah badan, panas, mual sampai muntah, anoreksia, perut kanan nyeri. Masa Ikterik : didahului urine berwarna coklat, sklera kuning , kemudian seluruh badan, puncak ikterus dalam 1 – 2 minggu, hepatomegali ringan yang nyeri tekan. Masa penyembuhan : ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2 – 6 minggu, demikian pula anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali. Penyembuhan Sempurna sebagian besar terjadi dalam 3-4 bulan. Beberapa variasi perjalanan klinis hepatitis virus akut antara lain : ~ Subklinis / Asimptomatik ~ Anikterik / Simptomatik : virus A,B, NANB lebih sering menimbulkan infeksi subklinis (anikterik asimptomatik) atau infeksi anikterik (anikterik simptomatik) terutama pada anak. Rasio anikterik : ikterik untuk hepatitis akut virus A : 1 : 1 (anak kecil 12 : 1), Virus B2 : 1 dan NANB 4 : 1. ~ Kolestatik dimana masa ikterusnya lama beberapa minggu/bulan dengan gejala ikterus obstruksif (kolestasis intrahepatik). Prognosa baik, penyembuhan sempurna, lebih sering terjadi pada hepatitis A. ~ Fulminan (Fulminant hepatitis, fulminant Hepatic Failure) : 1 : 3 % penderita menjurus menjadi fulminan, dari hepatitis A 5 %, B 60 % (pada 30 – 40 % hepatitis B fulminan didapatkan koinfeksi dengan virus Delta), NANB 20-35 %. Prognosa jelek, biasanya berakhir fatal, lama penyakit 1 – 8 minggu.
43
HEPATITIS VIRUS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007
PROSEDUR TETAP LABORATORIUM
PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
DIAGNOSA BANDING
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Masa Prodromal : Lekosit sering menurun, transaminase serum meningkat 10-100 kali harga normal sebelum timbul ikterus, ini penting untuk diagnosa hepatitis yang anikterik. Pada akhir masa ini baru timbul bilirubinuria yang mendahului timbulnya ikterus. ~ Masa ikterik (atau masa penyembuhan) : ikterus pada sklera mata baru terlihat bila bilirubin serum melebihi 2,5 mg/dl, hiperbilirubinemia biasanya mencapai puncak sampai sekitar 10 mg/dl dalam 2 minggu, kemudian berangsur turun dalam masa penyembuhan (fraksi bilirubin terkonjugasi biasanya lebih tinggi sedikit daripada fraksi tak terkonjugasi); transaminase serum biasanya lebih cepat mencapai puncaknya daripada bilirubin, tetapi lebih lambat menjadi normal, fosfatase alkali meningkat sedikit (3 kali normal). ~ Diagnosa hepatitis akut berdasarkan keluhan/gejala dan gambaran laboratorium seperti diuraikan di atas. ~ Diagnosa virologik sebagai penyebabnya : dengan petanda serologik hepatitis virus : Hepatitis A : lg M anti HAV Hepatitis B : Hbs Ag + Ig M anti HBc Hepatitis NANB : tidak ditemukannya petanda serologik virus A dan B serta penyebab virus atau bakteri lain, seperti virus Cytomegalo, virus Epstein Barr, Virus Herpes Simpleks, dan bahan hepatotoksik, obat, alkohol. Hepatitis D lg M anti HD. Penyakit lain yang dapat memberi gambaran klinis yang mirip dengan hepatitis virus akut ialah : Penyakit virus lain : mononukleosus infeksiosa, cytomegalo, herpes simpleks. ~ Toksoplasmosis, leptospirosis, kolesistitis akut, kolelitiasis, obat hepatitis, alkoholik akut, hepatitis iskemik. ~
44
HEPATITIS VIRUS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit
~
~
~
No. Revisi 0
Halaman 4/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istirahat baring pada masa masih banyak keluhan, mobilisasi berangsur dimulai jika keluhan/gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum menurun, aktivitas normal sehari-hari dimulai setelah keluhan hilang dan data laboratorium normal. Diit khusus tidak ada, yang penting adalah jumlah kalori dan protein adekuat, disesuaikan dengan selera penderita, terkadang pemasukan nutrisi dan cairan kurang akibat mual dan muntah, sehingga perlu ditunjang oleh nutrisi parenteral : infus Dekstrose 10-20 %, 1500 kalori / hari. Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis virus akut. Tidak ada indikasi terapi koltikosteroid untuk hepatitis virus akut, penambahan vitamin dengan makanan tinggi kalori/protein diberikan pada penderita yang mengalami penurunan berat badan atau malnutrisi.
45
HEPATITIS VIRUS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENCEGAHAN
Tanggal terbit
~
~ ~ ~
No. Revisi 0
Halaman 5/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Isolasi ketat untuk penderita tidak mutlak diperlukan, asal penderita, perawat, dan penghuni serumah atau tamu dapat secara ketat mengikuti atau melaksanakan enteric & blood precaution, antara lain pemakaian sarung tangan pada kontak darah /tinja. Donor darah : Uji saring untuk virus B : Hba Ag Uji saring untuk virus NANB : SGPT, anti – HBe. Pemakaian jarum/alat suntik yang disposable. Imunoprofilaksis : 1. Hepatitis A - Pra paparan pariwisata ke daerah endemik : Globulin serum imun atau imunisasi pasif 3 bulan 0,02 ml/kg (1kali ) 3 bulan 0,06 ml /kg (setiap 4-6 bulan). - Pasca paparan : Penghuni serumah dan kontak seksual dengan hepatits A, 0,02 ml/kg (1 kali selambatnya 2 minggu setelah kontak). Vaksinasi hepatitis A (imunisasi aktif) masih dalam taraf uji coba klinis. 2. Hepatitis B - Pra Paparan : Vaksin Hepatitis B (imunisasi aktif) Dewasa 20 ug (1 ml) intramuskular, bulan 0,1, 6 Anak 10 ug (0,5 ml) intramuskular, bulan 0, 1, 6 Vaksin institut Pasteur : Dewasa 5ug (1 ml) subcutan/intramuskular, bulan 0,1,2,12 Anak 5 ug ( 1ml) sebcutan / intramuskular, bulan 0, 2, 12. - Pasca Paparan : Imunisasi pasif dengan Hepatitis B Hyperimmune Globulin (HBIG) Dewasa / anak : 0,06 ml/kg inyramuskular, diberikan kurang dari 24 jam. Neonatus : 0,5 ml intramuskular waktu lahir, kemudian diikuti dengan protokol vaksinasi selambatnya 7 hari pasca paparan, sedangkan untuk dewasa/anak 7 – 14 hari pasca paparan. 46
47
HEPATITIS VIRUS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA
BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 6/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinis/perjalanan penyakit bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit lain yang menyertai. ~ Hepatits B : 90 % sembuh sempurna 5 – 10 % menjadi kronis, jangka panjang menjadi sirosis atau kanker hati primer. ~ Hepatitis NANB : 50 % sembuh dan 50 % menjadi kronis 60 –90 % kasus Hepatitis pasca transfusi adalah NANB. Adalah penyakit hati yang histologis bercorak sebagai nekrosis, inflamasi, dan fibrosis dari hepatosit dalam berbagai tingkat berat, ringan, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Klasifikasi : 1. Hepatitis Kronis Persisten (HKP) 2. Hepatitis Kronis Lobuler (HKL) 3. Hepatitis Kronis Aktif (HKA).
48
[
SINDROM KOLON IRITATIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.290.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sindroma kolon iritatif atau irritable bowel syndrome adalah gangguan
PATOFISIOLOGI
motilitas kolon tanpa gangguan struktur atau organik. Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun didapatkan adanya respon yang berlebihan dari sistem neuromuskuler kolon akibat rangsangan beberapa faktor antara lain : faktor fisiologik berupa rangsangan humoral dari bahan kolesistokinin; faktor bahan iritan
GEJALA KLINIS
eksogen; emosi; konstitusi ; dan lain – lain. Trias gejala klasik adalah nyeri perut, diare dan konstipasi. Nyeri perut bersifat difus; diare biasanya hanya satu atau beberapa kali setelah sarapan pagi, dengan tinja lunak dan mengandung banyak mukus; konstipasi dapat timbul satu dua kali per minggu, dengan tinja berbentuk pensil ( pencil stool ) oleh karena kontraksi sfingter ani.
DIAGNOSA
Seringkali disertai nyeri kepala dan keluhan seperti mengidap kelainan kardiovaskuler yang sesuai dengan suatu sindrom psikosomatik. Anamnesa perlu cermat dan teliti Tiga tanda khas pada pemeriksaan fisik adalah : 1. Penderita tidak dapat menunjukkan lokasi nyeri yang tepat, 2. Daerah kolon tampak tegang, karena kolon desenden penuh tinja sedangkan sekum penuh dengan gas, 3. Nyeri perut menghilang bila ditekan, berada dengan kolitis lain yang organik. Beberapa pemeriksaan yang penting untuk menyingkirkan bentuk kolitis yang organik adalah : pemeriksaan tinja, tes toleransi laktosa, pemeriksaan kadar karoten serum pemeriksaan kadar T3 dan T4, pemeriksaan radiologi, dan proktosigmoidoskopi.
49
[
SINDROM KOLON IRITATIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.290.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/2
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN
KOMPLIKASI
Bentuk kolitis lain yang organik Pengaturan jumlah dan kualitas diit Simptomatik Psikoterapi Contoh Obat : Antidiare difenoksilat HCI 4 x 2,5 – 5 mg atau kodein 3 – 4 x 15 mg perhari Antispasmodik atropin 4 x 0,4 – 0,6 mg atau analgesik non narkotik Komplikasi serius jarang, biasanya hanya menimbulkan rasa cemas dan gangguan psikologik pada penderita.
50
KOLITIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.291.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 1/1
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KLASIFIKASI
A. Kolitis Infeksi : Amebiasis Kolon Shigellosis Kolitis Tuberkulosa Kolitis Pseudomembranosa Kolitis oleh parasit / bakteri lain. B. Kolitis Non Infeksi : Kolitis Ulserosa Penyakit Crohn Kolitis Radiasi Kolitis Iskemia Kolitis Non Spesifik ( Simple Colitis ) C. Sindroma Kolen Iritatif ( Irritable Bowel Syndrome )
51
KARSINOMA KOLOREKTAL
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
BATASAN PATOFISIOLOGI
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses keganasan dari mukosa kolon-rektum. Penyebab yang pasti belum diketahui.
GEJALA KLINIS
Beberapa faktor predisposisi adalah usia diatas 40 tahun dengan riwayat kanker atau poliposis dalam keluarga, adenoma kolorektal, pada wanita yang mengidap kanker genetalia atau payudara, kolitis ulserosa, penyakit Crohn, kebiasaan makan makanan tinggi lemak rendah serat. Keluhan utama penderita dapat berupa dispepsia, anemia, penurunan berat badan, anoreksia, melaise, nyeri perut, benjolan perut, atau karena keadaan darurat seperti obstruksi, intususepsi, atau
DIAGNOSA
perdarahan. ~ Diperlukan anamnesa yang teliti. Pada penderita dengan perubahan pola buang air besar atau berak darah segar (hematochezia) harus selalu dipikirkan kemungkinan mengidap keganasan kolorektal, terutama bila usianya diatas 40 tahun. Pemeriksaan sederhana rectal toucher sangat penting, karena keganasan ini tersering pada daerah rectosigmoid. ~ Pemeriksaan radiologi kolon dengan kontras barium didapatkan “filling deffect” irregular atau lesi berbentuk “apple core”. Pemeriksaan lanjutan rektosigmoidoskopi atau kolonoskopi dan biopsi memastikan diagnosa. ~ Pemeriksaan untuk melihat metastase meliputi X foto dada, USG abdomen atau CT-scan. ~ Peningkatan alkali fostafase mencurigakan terjadinya metastase ke hepar. Kadar CEA (Carcinoembryonic antigen) dalam darah mungkin meningkat, pemeriksaan ini tidak spesifik dan tidak sensitif, namun dapat dipakai untuk memantau hasil pengobatan. ~
52
KARSINOMA KOLOREKTAL
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KLASIFIKASI Klasifikasi yang biasanya digunakan dalam menentukan stadium kanker kolorektal ialah klasifikasi Duke.
Klasifikasi Duke A B1 B2 C1 C2 D
Deskripsi Kanker terbatas di mukosa submukosa Sampai ke kuskularis mukosa Sampai ke muskularis propria atau serosa B1 + metastase kelenjar regional B2 + metastase kelenjar regional Terdapat metastase jauh
Survival 5 tahun (3 ysr) 90 % 80 % 70 % 50 % 50 % < 30 %
53
KARSINOMA KOLOREKTAL
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007
PROSEDUR TETAP DIAGNOSA BANDING
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Semua kelainan dengan keluhan perubahan kebiasaan buang air besar dan perdarahan rektal, seperti kolitis, tumor jinak usus besar,
PENATALAKSANAAN
hemoroid, atau tumor abdomen lain. ~ Mengacu pada prinsip terapi onkologi, pembedahan sebagai terapi utama pada kanker dini, radiasi pada kanker dengan metastase kelenjar limfe regional, dan sitostatika pada kanker stadium lanjut (telah mengalami metastase jauh). Pembedahan dianjurkan pada kanker kolorektal klasifikasi Duke A, B, dan C. Pembedahan pada klasifikasi Duke D bersifat paliatif, misalnya untuk mengatasi perdarahan, mencegah atau mengatasi terjadinya obstruksi. ~ Sitostatika yang bisa digunakan ialah 5 – flurourasil. ~ Perforasi ~ Perotonitis ~ Perdarahan ~ Obstruksi ~ Intususepsi ~ Abses ~ Fistula ~ Metastase ke organ lain ~
KOMPLIKASI
54
[
PANKREATITIS KRONIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISILOGI
No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses radang kronis pada kelenjar pankreas. Yang mempunyai hubungan etiologik dengan pankreatitis kronis ialah alkoholisme kronis biasanya terjadi setelah tahun kesepuluh. Faktor lain yang berperan ialah keturunan, trauma, hipertrigliseridemia, hiperkalsemia, defisiensi protein dan kalori, obstruksi jinak atau karena proses keganasan dari saluran pankreas, dan sebagian kasus bersifat idiopatik.
GEJALA KLINIS
Akibat minum banyak alkohol, pankreas mengeluarkan sekresi yang mudah mengalami presipitasi karena kandungan proteinnya tinggi. Kemudian tercampur kalsium karbonat membentuk batu kecil dan membuntu saluran pankreas. Akibat lanjut terjadi fibrosis periduktural dan intralobular, merusak parenkhim dan pulau-pulau langerhans. ~ Nyeri perut terus menerus atau intermitten, kadang tanpa nyeri. Nyeri tidak menghilang dengan pemberian antisida, bertambah bila minum alkohol atau makan menu berlemak. Kemungkinan sebagai penyebab nyeri adalah : Iritasi parineural Dilatasi duktus pankreatikus Psedokista, atau Kombinasi beberapa faktor tersebut. ~ Mungkin pula penderita datang karena akibat insufisiensi fungsi eksokrin atau endokrin dari pankreas, seperti steatorrhea, penurunan berat badan atau diabetes mellitus. Turunnya berat badan antara lain karena rasa takut makan sebagai akibat timbulnya rasa nyeri pasca makan.
55
[[
PANKREATITIS KRONIS No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2008
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
DIAGNOSA
Tanggal terbit
~ ~
~
~ ~
~
DIAGNOSA BANDING
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Klasifikasi pankreas pada foto polos abdomen diagnostik untuk pankreatitis kronis. USG dan CT-scan lebih sensitif menentukan adanya kalsifikasi pankreas, juga berguna untuk deteksi psedokista, dilatasi duktus pankreas dan tumor. Informasi diagnostik mungkin diperlukan dari pemeriksaan lain. Dengan angiografi pertumbuhan tumor dapat ditentukan dari adanya neovaskularisasi. Pemeriksaan keadaan anatomi duktus pankreas terbaik dengan ERCP. Perubahan anatomi pada pankreatitis kronis bersifat menyeluruh, sedangkan pada tumor terjadi perubahan lokal. Profil kimia serum pada pankreatitis kronis tidak spesifik. Insufisiensi fungsi eksokrin pankreas dapat dinilai berdasarkan : Turunnya kadar tripsinogen serum ; Tes PABA urine untuk mengukur besarnya komponen khin otripsin ; Analisa langsung cairan pankreas yang diaspirasi dari duodenum setelah dirangsang dengan sekretin atau kholesistokinin ; Analisa kwalitatif dan kwantitatif lemak tinja. Penentuan kwalitatif lemak tinja, merupakan konfirmasi terbaik adanya steatorrhea. Dikerjakan dengan mengkonsumsi lemak 100 gram per hari dan selama 72 jam tinja ditampung, terdapat steatorrhea bila ekskresi lemak sehari melebihi 10 gram. ~ Kista pankreas ~ Karsinoma pankreas
56
[[[
PANKREATITIS KRONIS No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Pengobatan ditujukan terhadap nyeri dan malabsorbsi. Upaya meredakan nyeri ditempuh dengan menghentikan minum alkohol, makan sedikit-sedikit, pemberian analgetika. ~
~
KOMPLIKASI
Beberapa pasien memerlukan narkotik oral, penyuntikan alkohol langsung untuk merusak ganglion coeliacus atau dengan tindakan pembedahan, dan kalau perlu dilakukan reseksi pankreas. Nyeri atau malabsorbsi mungkin dapat diatasi dengan preparat enzim dosis tinggi, antasida yang mengandung aluminium, dan penyekat H2. Contoh preparat enzim yang “non-enteric coated “ ialah Cotazyme diberikan 5 sampai 8 tablet waktu makan. ~ Malabsorbsi, gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus. ~ Kadang-kadang terdapat komplikasi lokal berupa : Psedokista, abses, asites, obstruksi “common bile duct “ atau duodenum, trombosis vena porta atau vena lienalis.
57
PANKREATITIS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISIOLOGI
GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah radang akut pankreas karena proses otodigestif. Secara histopatologi ada 2 bentuk yaitu edematus dan hemoragik. Mekanisme yang mendorong timbulnya proses otodigestif secara pasti belum diketahui. Beberapa faktor yang mungkin berperan ialah obstruksi duktus pankreas yang bersifat sementara, refluks isi duodenum ke duktus pankreas, iskemia, perubahan permeabilitas duktus pankreas, dan bergabungnya granule zymogen dengan enzim lisosom yang menyebabkan aktifasi tripsin intraseluler. Akibat aktifasi enzim ini membran sel robek dan menyebabkan terjadinya edema intrapankreatik, nekrosis perlemakan peripankreatik, perdarahan parenkhim, dan nekrosis sel asinar. Enzim aktif tersebut dapat masuk ke sirkulasi sistemik dan rongga peritoneum menyebabkan proses kerusakan organ tubuh lain. Terjadinya pankreatitis akut ini mempunyai hubungan etiologik dengan kebiasaan minum alkohol, batu empedu, trauma, toksin, obat, infeksi, kelainan, vaskular, serta metabolik seperti hipertrigliseridemi atau hiperkalsemia. Namun cukup banyak kasus yang sifatnya idiopatik. Nyeri perut hebat, timbul mendadak, di daerah epigastrium, kwadrant, kiri atas dan periumbilikal, menjalar ke punggung, disertai mual dan muntah. Rasa nyeri menetap sampai beberapa hari, bahkan bisa sampai satu minggu, dan berkurang bila duduk agak membungkuk. Pada pemeriksaan fisik ditemukan penderita yang tampak gelisah, demam, tachycardia, tachypnea, hipertensi atau hipotensi sampai shock. Mungkin terjadi distensi perut sebagai akibat ileus, pseudokista, atau phlegmon. Pada pankratitis hemoragik, dapat timbul ecchymoses yang terlihat berwarna biru agak keunguan di daerah pinggang ( Grey Turner Sign) dan sekitar umbilikus (Cullen sign ). Kelainan lain yang mungkin di temukan ialah efusi pleura (trauma sisi kiri), pneumonitis, atelektasis, ARDS, dan nekrosis perlemakan subkutan yang mempunyai eritema nodosum. Walaupun jarang, dapat terjadi tetani karena hipokalsemia. 58
59
PANKREATITIS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dasar diagnosa adalah adanya riwayat nyeri perut hebat dan mendadak khas pankreatitis akut, ditambah temuan pada pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium utama yang membantu dalam menegakkan diagnosa adalah peningkatan amilase dan atau lipase serum, terjadi pada 80 – 85% kasus. Pada pankreatitis akut amiase urine juga meningkat, dan tetap tinggi 7 – 10 hari setelah kadar serum kembali normal. Pemeriksaan lain yang bisa ditemukan ialah lekositosis, peningkatan hematokrit, hiperglikemia, hipokalsemia, peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase, SGOT, SGPT, dan hipoksemia arterial. Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan meliputi foto polos abdomen, thoraks, USG, CT-scan abdomen. Foto polos abdomen digunakan untuk menyingkirkan penyakit – penyakit lain, misalnya perforasi usus atau obstruksi usus akut. USG terutama sangat bermanfaat untuk menentukan kondisi serta ada tidaknya batu disaluran empedu. Visualisasi pankreas bisa kurang baik karena tertutup gas dalam usus. Dengan CT-scan abdomen akurasi penentuan keadaan pankreas dan peripankreas lebih tinggi, serta sangat membantu dalam menetapkan adanya phlegmonous pankreatitis, abses, tumpukan – tumpukan cairan, dan daerah yang mengalami nekrsosis.
60
PANKREATITIS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA
DIAGNOSA BANDING
No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Prognosa jelek menurut kriteria Glasgow ( modified ) yang ditetapkan dalam 48 jam pertama perawatan, ialah bila : Usia penderita > 55 tahun Lekositosis > 15.000/mm3 Glukosa darah > 180 mg/dl BUN > 96 mg/dl LDH > 600 IU/dl Albumin > 3,3 gm/dl Kalsium > 8 mg/dl PO2 > 60 mm Hg Nyeri perut akut karena penyebab lain, seperti tukak peptik dengan perforasi, kolesistitis akut dan kolik bilier, obstruksi usus akut, oklusi pembuluh darah mesenterik ,kolik ginjal, infark miokard akut, robeknya aneurisme aorta, penyakit kolagen dengan vaskulitis, pneumonia,dan ketoasidosis diabetik.
61
PANKREATITIS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sebagian besar kasus ( 85 – 90 % ) pankreatitis akut sifatnya ringan serta dapat sembuh sendiri ( self – limiting ), biasanya hanya memerlukan rawat tinggal kurang dari 1 minggu. Perawatan terhadap penderita bersifat “suppottive”dengan pemberian analgetika yang sesuai, mempertahankan stabilitas volume, elektrolit dan asam basa cairan tubuh, cepat tanggap terhadap perubahan tanda – tanda vital dan timbulnya komplikasi. Penderita pankraetitis akut berat dengan 3 atau lebih faktor prognostik jelek, perlu perawatan intensif di unit emergensi. Analgetika, Meperidine 50 – 100 mg intramuskular atau intravena diberikan tiap 4 atau 6 jam. Morfin kurang baik, karena dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi. Nutrisi diberikan per enteral, per oral sementara dihentikan untuk mengurangi rangsang sekresi pankreas sehingga aktifitas keradangan menurun. Dilakukan dekompresi saluran makanan bagian atas dengan maksud yang sama. Pemberian nutrisi berbentuk menu biasa atau elementel per oral intragastrik ataupun intrayeyunal tetap merangsang sekresi pankreas, sedangkan pan enteral tidak. Setelah keadaan klinis membaik dilakukan pemberian makan per oral secara bertahap, dimulai dengan diet tinggi hidrat arang rendah lemak dan protein yang diberikan sedikit – sedikit. Bila timbul keluhan dihentikan, kembali ke nutrisi pan enteral. Sekwestrasi cairan ke rongga peritoneum atau retroperitoneal perlu diperhitungkan dalam mempertahankan stabilitas volume cairan tubuh. Antibiotika hanya diberikan bila jelas ada infeksi, tidak diberikan untuk profilaksis. Indikasi Pembedahan 1. Bila sangat mencurigakan adanya perforasi usus; 2. Pada pankreatitis karena batu empedu, dilakukan pembedahan elektif segera setelah pankreatitisnya membaik. 3. Untuk drainage tumpukan cairan terinfeksi.
62
[[[[[[
PANKREATITIS AKUT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP KOMPLIKASI
No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 5/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Komplikasi yang dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit ialah instabilitas hemodinamik sampai shock, komplikasi pada paru, gagal ginjal akut, hiperglikemia, asidosis, hipokalsemia, hipomagnesemia, psedokista, nekrosis terinfeksi, obstruksi, kolon disertai nekrosis, perdarahan pankreas, DIC, fat nekrosis metastatik ke kulit, tulang dan otak, psikosis, dan buta mendadak karena oklusi arteri retina. Pada perjalanan lebih lanjut dapat terjadi abses atau psedokista.
63
64
KANKER LAMBUNG
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007
PROSEDUR TETAP BATASAN
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah pertumbuhan ganas lambung, sebagian besar dalam bentuk adenokarsinoma, sebagian kecil berupa limfoma, leimiosarkoma, dan
PATOFISIOLOGI
liposarkoma. Penyebab yang pasti belum jelas, diduga terdapat beberapa faktor yang turut berperan, yaitu:
EPIDEMIOLOGI
Faktor lingkungan/ eksternal: iklim dingin, tingkat sosial ekonomi rendah, paparan dengan abses, konsumsi nitrat yang tinggi, dan bahan makanan yang mengandung senyawa nitrosamin seperti ikan asin, daging asap. ~ Faktor internal, riwayat keluarga positif, anemia pernisiosa, golongan darah A, akhlorhidria, gastritis atrofik, tukak lambung, metaplasia intestinal gastrik, polip adenomatous, dan tindakan bedah lambung sebelumnya terutama Billroth II gastro – yeyunostomi. Pria lebih banyak dari pada wanita. Insidens puncak pada dekade
GEJALA KLINIS
keenam. Insidens yang tinggi di Jepang, Chilli, dan China. ~ Keluhan abdominal yang biasa diderita berupa rasa tidak enak
~
epigastrium, nyeri, penuh, kembung setelah makan. Tumor yang lokasinya di fundus atau kardia menyebabkan disfagia. Sering muntah bila terjadi obstruksi “gastric outlet”. Mungkin penderita mengalami melena, namun hematemesis jarang terjadi. Keluhan umum yang sering dialami ialah anoreksia, cepat lelah, dan berat badan menurun. ~ Pemeriksaan fisik pada kasus yang lebih lanjut, mungkin teraba tumor dan nyeri tekan di epigastrium, terdapat asites, hepatomegali, dan pembesaran kelenjar limfe supraklavikular kiri (Virchow’s node) atau aksiler kiri (Irish’s node). 65
~ Gejala paraneoplastik yang mungkin ditemukan ialah acanthosis nigrieans, dermatomiosis, hernolitik anemia (Coombs – negative), DIC, TTP, sindroma Trousseau (migratory thrombophlebitis), atau vegetasi valvular trombotik nonbakterial.
66
KANKER LAMBUNG
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA
Dasar diagnosa : 1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik. 2. Foto kontras ganda saluran makanan bagian atas sensitifitasnya 90 %, kelainan yang mencurigakan proses keganasan ialah : Lipatan mukosa abnormal Masa eksofitik. Masa dengan ulserasi sentral. Dinding lambung tampak kaku Lambung tidak bisa mengembang Ulserasi dengan lipatan rugae sekitar yang irreguler dan gerigis 3. Untuk kepastian diagnosis perlu endoskopi diikuti biopsi untuk pemeriksaan histopatologi serta sitologi dengan cara “brushing”, distribusi kanker lambung dengan diantrum 50 % , korpus 20% kardia 10 % kurvatura minor 15 %, dan kurvatura mayor 5 % bentuk tumor ulseratif 75%, polipoid 10 %, difus ( linitis plastica ) 10 % dan membentang superfisial ( superficial spreading ) 5%, 4. Untuk penentuan stadium ( lihat tabel sistem TNM ), pemeriksaan yang diperlukan X foto dada PA dan lateral, tes faal hati, dan kalu diperlukan CT scan abdomen atau daerah tulang tertentu yang di
DIAGNOSA BANDING
curigai terkena metastase. Gastritis Tukak peptik lambung Tumor jinak lambung 67
68
[
KANKER LAMBUNG
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007
PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMPLIKASI : Dari kankernya sendiri dapat timbul perdarahan, obtruksi atau perforasi. Dapat terjadi metastase ke peritoneum, hati, saluran empedu, pankreas, paru, ovarium, tulang, dan otak. Penentuan Stadium Kanker Lambung Sistem TNM Stadium Stadium I
Deskripsi
Survival 5 tahun
TINOMO
Kanker lambung dini terbatas dimukosa
85 % - 90%
(A) sampai ke submukosa (B) Stadium II T2-3NOMO
T2 sampai ke muskularis mukosa tidak
52 – 55%
mengenai serosa T3 sampai ke surosa tetapi belum ke
45 – 47 %
jaringan sekitar Stadium III T1 – 3NI – 3 MO
NI mengenai kelenjar limfe perigastrik sampai 3 cm sekitar tumor
17 –20 %
N2 mengenai kelenjar limfe regional lebih 3 cm dari tumor & masih bisa diangkat N3 mengenai kelenjar limfe intra abdominal
lainnya
atau
tak
5 – 10 %
bisa
diangkat.
69
Stadium IV T4NI – 3 MO
3% T4 mengenai jaringan sekitar tumor tak bisa di reseksi
TI-4NO-3MI
MI terdapat metastase jauh
70
KANKER LAMBUNG
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 4/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Mengacu pada prinsip onkologi : tetapi utama kanker stadium dini pembedahan, stadium regional radiasi dan stadium lanjut / metastase sitostatika. Anjuran UICC adalah sebagai berikut : 1. Kanker lokal, terapi pilihan pembedahan; 2. Kanker lokal”unresectable” atau kekambuhan dan sifatnya lokal dilakukan radiasi dikombinasi dengan pemberian 5-FU; 3. Kanker dengan metastase jauh, pemberian sitostatika kombinasi FAM ( 5-FU, Adriamycin, dan Mitomycin –C ) atau yang setara. Tindakan pembedahan pada kasus yang belum mengalami metastase jauh dan kelenjar regional negatif, survival 5 tahunnya bisa mencapai 50% atau lebih. Namun bila kelenjar regional positif, survival 5 tahunnya menjadi 10 % atau kurang ( lihat tabel sistem TNM ) Hambatan penggunaan radiasi ialah toleransi dari organ atau jaringan andomen atas. Regimen FAM terdiri dari : 5-FU
600mg/m2 diberikan pada minggu ke 1,2,5,6, dan 9;
Adriamycin
30mg/m2 diberikan pada minggu ke 1,5, dan 9;
Mitomycin
10mg/m2
diberikan pada minggu ke 1, dan 9. 71
Toleransi terhadap regimen ini baik, dan diperoleh respon sebesar 40 – 55% .
72
[[[
DISPEPSIA NON ULKUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.296.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dispepsia adalah tiap bentuk rasa tidak enak, baik episodik atau persisten yang berkaitan dengan saluran cerna, khususnya bagian atas. Keluhan tersebut meliputi rasa pedih, panas, atau nyeri epigastrium, rasa penuh, cepat kenyang, bersendawa, kembung mual, dan kadang – kadang muntah. Disebut dispepsia non ulkus bila pada pemeriksaan lanjutan terbukti tidak mengidap kelainan organik atau fungsional gastrointestinal tertentu seperti penyakit refluks gastro – esofageal, tukak peptik, karsinoma lambung, penyakit hepatobiler, pankreatitis, penyakit mukosa usus halus, aerofagia atau “ iriitable
KLASIFIKASI
bowel syndrome”. Berdasarkan kemiripan gejala dengan suatu kelainan gastrointestinal tertentu, Collin Jones dkk, membagi 5 jenis dispepsia non ulkus : 1. Tipe Refluks Keluhan yang khas ialah rasa tidak enak atau terbakar di daerah abdomen atas. 2. Tipe Dismotilitas Keluhannya berupa penumpukan gas, kembung, rasa penuh, cepat kenyang, mual terutama pagi hari, kadang – kadang sampai muntah. 3. Tipe Ulkus Gejalanya menyerupai tukak peptik, misalnya terbangun malam hari karena nyeri, nyeri berkurang setelah makan atau minum, antasida, serangan nyeri hilang timbul, lokasi rasa tidak enak epigastrium dapat di tunjukkan dengan satu atau dua jari. 73
Pada evaluasi lanjutan tidak ditemukan tukak peptik. 4. Tipe Aerofagia Keluhannya sering kembung, bersendawa, dan penderita tampak sering melakukan gerakan menelan dan meneguk udara. Timbulnya keluhan paling sering setelah makan. Keadaan ini mungkin erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan. 5. Tipe Idiopatik Gambarannya tidak khas seperti keempat tipe diatas
74
[[[
DISPEPSIA NON ULKUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.296.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
DIAGNOSA
No. Revisi 0
Halaman 2/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sangat penting anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk menghindari prosedur pemeriksaan yang berlebihan. Pemeriksaan endoskopi dan laboratorium mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit refluks gastro-esofageal tukak peptik, karsinoma lambung, penyakit hepatobilier, pankreatitis dan penyakit
PENATALAKSANAAN
mukosa usus halus. Perlu pendekatan holistik untuk menghindari kecemasan penderita. Sebelum diperlukan pemeriksaan lanjutan boleh diberikan pengobatan konvensional tukak peptik, seperti pemberian Simetidin dan Antasida. Untuk yang tipe dismotilitas bisa diberikan metoklopramid.
75
76
[[[[[
PENYAKIT REFLUKS GASTRO – ESOFAGEAL
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
BATASAN DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.297.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kelainan esofagus akibat refluks gastro-esofageal berulang dalam waktu lama. Diagnosa Dugaan : Penderita dengan keluhan rasa panas terbakar di dada (Heart Burn), mungkin disertai regurgitasi asam, odinofagi, disfagia, dan penyebab nyeri dada lain telah disingkirkan; keluhan lain yang mungkin ialah rasa mulut penuh cairan akibat sekresi ludah berlebihan (waterbrash), perdarahan saluran cerna artas, atau mungkin keluhan saluran napas seperti batuk lama, asma, suara serak, hemoptisis, dan pneumonia aspirasi berulang. Diagnosa untuk menunjukkan kemungkinan penyakit refluks gastro – esofageal : Tes perfusi asam bernstein dapat menetapkan asal nyeri dari esofagus pada 80 – 90% kasus. Esofagitis atau tukak esofagus ditetapkan dengan endoskopi saluran makanan bagian atas disertai dengan biopsi mukosa. Nilai diagnostik radiologi rendah. Diagnosa Pasti : dengan pH – meter memantau selama 24 jam perubahan pH esofagus distal ; diagnosa pasti bila pH turun di bawah
KOMPLIKASI
4 pada lokasi 5 cm proksimal sfingter esofagus bawah. Striktura esofagus Perdarahan Esofagus Barret; yakni perubahan epitel skuamosa ke epitel kolumnar metaplastik ( mengalami degenerasi maligna sebesar 10 % ) 77
78
[[[
PENYAKIT REFLUK GASTRO – ESOFAGEAL RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.297.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENATALAKSANAAN
Tindakan Umum : Bila gemuk berat badan di turunkan Tidur dengan lambung tidak terisi penuh, dan dada ditinggikan Hindari rokok, alkohol, kopi, coklat, makan terlalu kenyang, makanan berlemak, atau yang dibumbui banyak rempah – rempah. Hindari pakaian ketat, terutama di daerah pinggang. Hindari mengangkat barang berat. Hindari obat – obatan yang menurunkan tonus sfingter esophagus bawah, seperti Teofilin, kafein, prostaglandin (E2,E12), morfin, meperidin, dopamin, diazepam, barbiturat, antagonis kalsium, agonis beta–adrenergik, antagonis alfa –adrenergik, antikolinergik. Terapi Medikamentosa : Obat prokinetik seperti : Metoklopramid, betanekol, domperidon, Cisaprid. Antasida cukup efektif untuk kasus ringan Antagonis reseptor N2 seperti simetidin, Ranitidin, Famotidin Roxatidin ; diberikan dalam dosis tinggi. Omeprazol Sukralfat, berkasiat sebagai pelindung mukosa Terapi Bedah dilakukan bila : Terapi medikamentosa dinilai gagal. Terjadi perdarahan berulang dan tiap kali perlu perawatan di 79
rumah sakit Terjadi striktura esofagus dan bouginage dinilai tidak berhasil.
80
[[[
GASTRITIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.298.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN PATOFISIOLOGI
No. Revisi 0
Halaman 1/1
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses radang akut maupun kronis dari mukosa lambung Gastritis Erosiva Akut terjadi akibat penggunaan obat – obatan antara lain aspirin/anti inflamasi, alkohol, stres berat misalnya pada luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal ginjal atau gagal hati, atau pada infeksi berat. Mengakibatkan perdarahan saluran makan bagian atas. Grastritis Kronis terjadi akibat adanya bile refluk, seringkali bersamaan dengan tukak lambung atau tukak duodenum. Gastritis superfisial adalah proses radang pada mukosa superfisial, tanpa kerusakan kelenjar lambung. Biasanya terjadi pada perokok berat, peminum alkohol, atau karena minuman panas. Gastritis Atrofi adalah proses radang sampai mengenai lamina propria dan kelenjar lambung. Kadang – kadang terjadi bersama
GEJALA KLINIS
dengan anemia pernisiosa. Keluhan biasanya minimal dan tidak khas, antara lain dispepsi, rasa
DIAGNOSA
sebah, dan nyeri episgastrium, kadang – kadang timbul perdarahan. Anamnesa perlu dilakukan dengan cermat Pemeriksaan radiologi kurang berguna karena lesi terlalu dangkal, pemeriksaan endoskopi berguna terutama bila dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah perdarahan; analisis cairan lambung dan pemeriksaan
DIAGNOSA BANDING
kadar gastrin serum dapat membantu. Penyakit – penyakit yang menyebabkan dispepsia, termasuk tukak peptik dan karsinoma lambung.
81
PENATALAKSANAAN
Mencegah atau menghindari faktor – faktor iritasi. Pemberian Antasida dan obat simptomatik, misalnya: Tablet Antasida DOEN (Aluminium Hidroksida 200 mg atau Magnesium Hidroksida 200 mg) 3 x 1 – 2 tablet per hari. Tablet Antispasmodik (Ekstrak Beladon 10 mg) 3 x 10 – 20 mg per hari.
KOMPLIKASI
Pembedahan dilakukan terhadap komplikasi yang timbul. Perdarahan Perforasi.
82
[
HIPERTIROIDI (TIROTOKSIKOSIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.299.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Keadaan yang ditandai dengan peningkatan metabolisme tubuh oleh karena adanya hormon tiroid yang berlebihan dalam sirkulasi darah.
PATOFISIOLOGI
Penyakit Graves: tirotoksikosis dengan struma difus yang disebabkan karena adanya proses autoimun terhadap kelenjar gondok, lebih sering pada wanita muda. Penyakit Plummer (Toxic Nodular Goiter): tirotosikosis yang disebabkan karena adanya benjolan autonom dalam kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid berlebihan. Tirotoksikosis sementara (Transient thyrotoxicosis) : biasanya menyertai tiroiditis Hashimoto atau de Quervain’s Tirotoksikosis faktisa sebagai akibat dari adanya pemberian yang berlebihan hormon tiroid dari luar. Tirotoksikosis pada Mola hidatidosa dan koriokarsinoma: ini
GEJALA KLINIS
disebabkan adanya peningkatan CGH yang berlebihan. Tachycardia (palpitasi) Struma difus/ nodosa dengan atau tanpa bruit di atasnya Penurunan berat badan walaupun banyak makan. Tidak tahan panas, keringat berlebihan Lekas lelah, kulit panas (hangat) dan basah Sering buang air besar (diare) Tremor halus pada tangan, nervous Gejala pada mata: eksophthalmus, edema periorbital, lidlag, Fibrilasi atrial, miokardiopati. 83
84
[[[[[[[[[[[[
HIPERTIROIDI (TIROTOKSIKOSIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.299.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gejala klinis dicocokkan dengan indeks Wayne/ New Castle T3 dan T4 total serum meningkat, TBK turun atau normal, FT41 meningkat. Pada tirotoksikosis T3, hanya T3 yang meningkat. Kolesterol rendah. H31 up take meningkat tinggi tapi cepat turun
DIAGNOSA BANDING
Sidikan H31: hot nodule (Penyakit Plummer) Keadaan gaduh gelisah Goiter Eutiroid
PENATALAKSANAAN
Feokromositoma Istirahat (ini harus diperhatikan betul) Diit TKTP, vitamin dan mineral PTU 3 x 100 – 200 mg sehari atau Karbimasol (Neomerkazol) dosis 3 x 10 – 20 mg per hari. Bila perlu diberi penyekat beta (Karteolol atau Propanolol) dan penenang ringan. Bila telah euthyroid, boleh dilakukan tindakan operasi
KOMPLIKASI
(Tiroidektomi subtotal) Krisis tiroid Fibrilasi atrial, Miokardiopati, dekompensasi kordis
PROGNOSA
Paralisis periodik tiroid Relaps antara 49 – 91 % dalam 5 tahun pengobatan konservatif Remisi antara 30 – 75 % pengobatan konservatif 85
Hipertiroidi, terutama setelah tindakan bedah atau pemberian yodium radioaktif.
86
[[
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/8
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Komplikasi DM adalah semua penyulit baik sistemik ataupun tidak, pada organ ataupun jaringan tubuh yang lain, sebagai akibat dari DM.
KOMPLIKASI
HIPOGLIKEMIA
Komplikasi Akut:
Hipoglikemia
Koma Lakto – Asidosis
Keto Asidosis Diabetik – Koma Diabetik
Koma Hiperostnoler Non Ketotik (K – HONK)
Komplikasi Kronis Batasan 1. Hipoglikemia = Hipoglikemia Murni = True Hypoglycemia: gejala hipoglikemia apabila kadar glukosa darah < 60 mg/ dl. 2. Reaksi
Hipoglikemia
=
Hypoglycemic
Reaction:
gejala
hipoglikemia apabila kadar glukosa darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/ dl 150 mg/ dl. 3. Koma Hipoglikemik: koma akibat kadar glukosa darah < 30 mg/ dl. 4. Hipoglikemia
Reaktif
=
Reactive
Hypoglycemia:
gejala
hipoglikemia yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan. Biasanya pada anggota keluarga DM atau orang yang mempunyai bakat DM. Gejala Lapar, gemetar Keringat dingin, berdebar Pusing, gelisah, akhirnya koma Gejala tersebut akibat dari hiperkatekolaminemia 87
Diagnosa Gejala seperti tersebut diatas dan kadar glukosa darah kurang dari 30 – 60 mg/ dl. Terapi Pisang/ roti/ kompleks karbohidrat lain, bila gagal. Teh gula, bila gagal. Injeksi glukosa 40 % intravena 25 ml (encerkan dua kali) Infus glukosa 10 % bila belum sadar dapat diulang 25 cc glukosa 40 % setiap ½ jam (sampai sadar), bila gagal: Injeksi Ephedrin 25 – 50 mg atau injeksi Glukagon 1 mg intramuskular
88
[[[ [[[[[[
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 2/8
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMA LAKTO – ASIDOSIS
Patogenesa ; Asam laktat + H2O + O2 Bikarbonat Adanya hipolsia jaringan, laktat tidak dapat dirubah menjadi bikarbonat, maka timbul hiperlaktatemia dan kemudian koma lakto – Asidosis Faktor predisposisi: Infeksi Shock Gangguan faal hati dan atau ginjal DM + Phenformin Gejala Stupor atau koma, biasanya hiperglikemia ringan (tetapi kadar glukosa darah dapat juga normal atau sedikit turun). Bikarbonat < 15 mEq/ l. asam laktat > 7 mMol/ I. Anion gap > 20 mEq, atau 15 mEq (bila K tidak dapat diukur) (K + Na) – (Cl + CO2) > 20 mEq atau (Na) – (Cl + CO2) > 15 mEq Diagnosa Stupor/ koma, glukosa darah sekitar 250 mg/ dl, anion gap > 15 – 20 mEq/l Terapi 1. Atasi penyebabnya (infeksi, shock atau hipoksia jaringan, phenformin, dll) 89
2. Infus Glukosa 5 % dan dapat diberikan Bikarbonat 3. Bila perlu RI + A4 U/ jam 4. Injeksi Methylen Blue intravena
90
[[[[[[[[[[[[[
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/8
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
KETO ASIDOSIS DIABETIK
Kriteria Diagnosa
(KAD) – Koma Diabetik
1. Klinis: peliuria, polidipsia, mual dan atau muntah, pernapasan Kussmaul (dalam dan frekuen), lemah, dehidrasi, hipotensi sampai shock, kesadaran terganggu sampai koma 2. Darah: hiperglikemia > 300 mg/ dl (biasanya melebihi 500 mg/ dl) 3. Urin: Glukosuria dan Ketonuria Diagnosa Banding Koma Hipoglikemia Koma Hiperosmoler Non Ketotil (K. HONK) Koma Lakto Asidosis (KLA) Klasifikasi Bikarbonat Stadia KAD
Macam KAD
pH Darah
Darah
I Ringan
KAD Ringan
7,30 – 7,35
(BIK) 15 – 20 mEq/ I
II Sedang
Prekomia Diabetik
7,20 – 7,30
12 – 15 mEq/ I
III Berat
Koma
IV
(KD) Sangat KD Berat
Diabetik 3,90 – 7,70 < 6,90
8 – 12 mEq/ I < 8 mEq/I
Berat Patogenesa KAD: Patogenesa KAD pada dasarnya melalui 2 proses yang penting, yaitu A. Hiperglikemia B. Hiperketogenesis 91
Kedua proses ini juga diikuti oleh perubahan – perubahan metabolik lain. Terapi Perbedaan derajat terapi KAD tergantung pada stadiumnya Protokol terapi KAD terdiri dari 2 fase, yaitu Fase I (fase gawat) Fase II (fase rehabilitasi) Dengan batas kadar glukosa darah antara kedua fase tersebut sekitar 250 mg/ dl Protokol Terapi KAD 1. Rehidrasi …… NaCl 0,9 % atau RL, 2 liter/ 2 jam pertama lalu 80 tts/ men selama 4 jam, lalu 30 – 50 tts/ men selama 18 jam (4 – 6 liter/ 24 jam) 1. IDRIV ……….. 4 – 8 Unit/ jam i.v sampai Fase II Fase I
2. Infus K + ……
75 mEq (bila K + < 3 mEq/ l) 50mEq (bila K + = 3,5 – 4,0 mEq/ l)per 24 jam.**)
3. Infus BIK ……
Bila pH < 7,20 atau BIK < 12mEq/ l: 44 – 132 mEq dalam 500 ml NaCl 0,9 %, 30 – 80 tts/ men (jaringan bolus)
4. Antibiotika ….. Kombinasi*)
92
[[[[[[[
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 5/8
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS BATAS GLUKOSA DARAH SEKITAR 250 mg/ dl ATAU REDUKSI +/1. Maintenance NaCl 0,9 % dan Dextrose 5 % Maltosa 10 % bergantian : 30 - 50 tetes/ menit RI 4 IU sc sebelum Maltosa FASE II
2. Kalium : par enteral (bila K + < 4 mEq/ l) atau per os (air tomat/ kaldu 1 – 2 gelas tiap 12 jam) 3. RI : 3 – 6 IU 4 – 6 kali sc atau IDRIV setiap 2 jam ditambah RI sc 4. Makanan lunak karbohidrat kompleks per oral.
Keterangan: 1. RL = Ringer Lactate; IR = Insulin Reguler IDRIV = Insulin Dosis Rendah Intra Vena 2. Maltosa 10 % (R/ Martos 10) 3. *) Jumlah cairan yang diberikan 24 jam disesuaikan dengan klasifikasi KAD (Stadium I – IV) **) Satu botol KCl 25 ml berisi 25 mEq infus dapat dimasukkan dalam
NaCl 0,9 %.
***) atau RL atau Maltosa 4. Infus Bikarbonat (jangan bolus intravena): 44 – 88 mEq/ 2 jam (50 ml/ 2 jam); 1 ampul Meylon 50 ml = 44 mEq bikarbonat dalam 500 ml NaCl 0,9 % 30 – 80 tts/ menit. Defisit Cairan = (Berat Jenis Plasma – 1,025) x BB x 4 liter BB = Berat badan dalam kg Pedoman Defisit dalam mEq per kg BB (rumus 6, 5, 4, 3, 2, 1) 93
Na = 6, K = 5, Cl = 4, PO4 = 3, Bik = 2, Mg ++ = 1
Rumus Defisit Bikarbonat : (25 – Bik) x BB/ 5 Bik: kadar bikarbonat penderita, BB: berat badan Biasanya infus Bik (bila ada indikasi) hanya diberikan 50 % dari defisit tersebut diatas Prognosa KAD Prognosa baik selama terapi adekuat pada fase I dan II, dan selama tidak ada penyakit lain yang fatal (sepsis, shock septik, infark miokard akut, trombosis serebral, dll)
94
[[
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 6/8
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
KOMA HIPEROSMOLER
Diagnosa Dugaan:
NON KETOTIK (K – KONK)
1. Dehidrasi berat, hipotensi shock, Kussmaul (-) Neurologi (+), reduksi +++ Aseton (-) 2. Sakar darah > 600 mg %, biasanya +/- 1000 mg%, bikarbonat > 15 mEq/l, pH darah normal, tidak ada ketonemia Diagnosa pasti: Diagnosa dugaan (1 + 2) plus OSM darah > 350 mOSM/ l OSM darah = 2 (Na+ K)+ {glukosa (mg/dl)/ 18} + {ureum (mg/dl)/ 6} Diagnosa banding KAD Koma Lakto Asidosis Terapi Hampir sama dengan terapi KAD: Fase I – Fase II, tanpa infus Bikarbonat 1. NaCl 0,45 % 2. RL seperti pada terapi KAD 3. Antibiotika menurut Indikasi Prognosa K – HONK Jelek, mortalitas +/- 50 %
95
KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
KOMPLIKASI KRONIK
No. Revisi 0
Halaman 7/8
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Infeksi (furunkel, karbunkel, tuberkulosis paru, ISK, mikosis) 2. Mata: N III, N IV, N II, dan nervi sentralis lain Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (miopia reversibel, katarak ireversibel), keadaan ini biasanya masih reversibel Retinopati DM (Non Proliferative Retinopathy dan Proliferative Retinopathy) Glaukoma Perdarahan Korpus Vitreum 3. Mulut Ludah (kental, mulut kering = serostomia) Gingiva (edema, merah tua, gingivitis) Periodontium
(rusak
biasanya
karena
mikroangiopati,
periodontitis DM, semuanya menyebabkan gigi mudah goyah lepas) Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa akibat daru neuropati) 4. Jantung: Mudah mengidap PJK atau infark Silent infarction +/ - 40 % Adanya neuropati autonom menyebabkan kenaikan denyut jantung per menit tidak sesuai sewaktu latihan. 5. Traktus Uropoetik Nefropati diabetik – sindrom Kiemmelstiel Wilson, pielonefritis, necrotizing papilitis, ISK, DNVD = Diabetic Neurogenic Vesical 96
Dysfunction = Diabetic Bladder (dapat menyebabkan retensi/ inkontinensia) 6. Saraf Perifer (parestesia, anestesia, gloves neuropathy, stocking neuropathy, kram, noctural pain) Autonom Gastrointestinalis
(neuropati
esofagus,
gastroparesis
diabetikorum, gastroatropi, diare diabetik) UG (DNVD, retensi urin, ISK, impotensi, vulvitis) Kelenjar keringat (menyebabkan distribusi keringat tidak merata, ada yang kering ada yang basah). 7. Kulit Gatal. Shinspot (dermopati diabetik), nekrobiosis llipoidika diabetik, kekuningan (hiperkarotenemia bukan ikterus), selulitis – gangren. Shinspot berupa bercak – bercak hitam di kulit daerah tulang kering. Nekrobiosis lipoidika diabetik berupa luka oval, kronis,
tepi
keputihan
(biasanya
merupakan
manifestasi
mikroangiopati).
97
[
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tandatanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif di dalam tubuh ; gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat, yang biasanya
disertai juga gangguan
metabolisme lemak dan protein.
98
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
KLASIFIKASI
No. Revisi 0
Halaman 2/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Klasifikasi DM dibuat atas dasar Konsesus PERKENI 1998 yang mengacu pada keputusan American Diabetes Association (ADA) 1997. Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus (ADA 1997) : 1. Diabetes Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Autoimun, idiopatik. 2. Diabetes Tipe 2 Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. 3. Diabetes Tipe Lain : A. Defek genetik fungsi sel beta : - Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3 - DNA mitokondria B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pancreas : - Pankreatitis. - Tumor / pankreatekromi - Pankreatopati fibrokalkulus D. Endokrinopati : - Akromegali - Sindrom Cushing - Feokromositoma - Hipertiroidisme E. Karena obat / zat kimia : - Vacor, pentamidin, asam nikotinat - Glukokortikoid, hormon tiroid - Tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain – lain. F. Infeksi - Rubella kongenital, Cyto Megalo Virus (CMV) G. Sebab imunologi yang jarang - Antibodi anti insulin H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM - Sindrom Down,sindrom klinefelter, sindrom turner dan lain-lain 99
4. Diabetes Mellitus Gestational (DMG)
100
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
GEJALA KLINIS
No. Revisi 0
Halaman 3/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gejala klinis DM yang klasik ; mula – mula polifagia, polidipsia, poliuria, dan berat badan naik, kemudian polidipsia, poliuria dan berat badan turun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, bahkan dapat disusul dengan mual, muntah dan koma diabetik. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah badan, kesemutan, mata kabur yang berubah-ubah, gatal, mialgia, atralgia, impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.
101
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
DIAGNOSA
No. Revisi Halaman 0 4/10 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk diagnosa DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemeriksaan Penyaring : Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT (toleransi glukosa terganggu) dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu). Pemeriksaan ini sangat dianjurkan pada mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general chek up). Kriteria diagnosa Diabetes Mellitus : Kadar glukosa darah sewaktu = GDS (plasma vena) > = 200 mg/dl atau Kadar glukosa Darah puasa = GDP (plasma vena) > = 126 mg/dl Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir, atau Kadar glukosa plasma > = 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO. Kriteria diagnosa tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis berat badan yang menurun cepat. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1985) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan puasa semalam, selama 10 – 12 jam. Kadar glukosa darah puasa diperiksa Diberikan glokusa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kg BB anak, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama / dalam waktu 5 menit. Diperiksa kadar glukosa darah 1 (satu) jam atau 2 (dua) jam sesudah beban glukosa, selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. 102
Dibawah ini adalah keterangan dari Protap Diabetes Militus Dengan No.RSU.A.j.301.11.2007 LANGKAH – LANGKAH DIAGNOSA DM (KONSESUS PERKENI 1998) Keluhan klinis Diabetes
Keluhan Klasik (+)
GDP atau GDS
>126 >200
Keluhan Klasik (-)
<126 <200
GDP atau GDS
>126 >200
110–199
Ulang GDS atau GDP
GDP atau GDS
>126 >200
<110
110 < 126
TTGO GD 2 jam
<126 <200
> 200
140-199
< 140
DIABETES MELLITUS Normal TGT
Evaluasi status gizi Evaluasi penyulit DM Evaluasi dan perencanaan makan Sesuai kebutuhan
Keterangan : GDP : Kadar Gula Darah Puasa GDS : Kadar Gula Darah Sewaktu GDPT : Kadar Gula Darah Puasa Terganggu
GDPT
Nasehat umum Perencanaan makanan Latihan jasmani Berat ideal Belum perlu obat penurun glukosa
103
TGT
: Toleransi Glukosa Terganggu.
[[[[[
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
DIAGNOSA BANDING
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 6/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Untuk kasus –kasus dengan hiperglikemia sesudah makan : a. Penyakit hepar (sirosis, hepatitis kronis). b. Gagal Ginjal kronis (GGK) c. Hipertiroid 2. Untuk kasus-kasus dengan reduksi urin positif : a. Glukosuria renal (karena nilai ambang ginjal rendah) b. Galaktosuria pada kehamilan c. Obat-obat : vitamin C dosis tinggi dan lain –lain Tetapi kesemuanya ini (2a,2b,2c) tidak disertai dengan hiperglikemia.
104
[[
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 7/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dasar - dasar terapi diabetes mellitus = Pentalogi Terapi DM Terapi primer : I. Diit II. Latihan Fisik III. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM) Terapi Sekunder : IV. Obat Hiperglikemik (OAD dan Insulin) V. Cangkok Pankreas (belum dilaksanakan di Indonesia) Macam – macam diit diabetes di Surabaya : Dalam melaksanakan diit ikuti 3 J J 1 : Jumlah kalori yang diberikan harus dihabiskan J2 : Jadwal makanan harus diikuti J3 : Jenis gula dan yang manis harus dipantang. Indikasi Diit B ( 68 % kal, Kbh, 20 % kal, lemak 12 % kal. Protein) Diit – B pada umumnya diberikan kepada semua penderita DM yang kurang mampu atau penderita DM lainnya yang : 1. Kurang tahan lapar dengan diitnya. 2. Mempunyai hiperkolesterolemia. 3. Mempunyai penyulit makro-angiopati (misalnya : pernah mengalami GPDO, PKJ, gangguan pembuluh darah parifer). 4. Mempunyai penyulit mikro-angiopati (misalnya retinopati, diabetik, nefropati, Diabetik tipe B ; Stadium I ) 5. Telah menderita DM lebih dari 15 tahun. GPDO : Gangguan Pembuluh Darah Otak, misalnya trombosis serebri PJK : Penyulit Jantung Koroner. Indikasi Diit – B1 (60 % kal, Kbh 20 % kal. Lemak 20 % kal. Protein) Diit – B1 diberikan kepada penderita DM yang memerlukan diit protein tinggi, misalnya penderita DM yang : 1. Mampu, atau mempunyai kebiasaan makan protein tinggi, tetapi memiliki kadar lemak yang normal. 2. Kurus (underweight ) (RBW kurang dari 90 %) 3. Masih muda (perlu pertumbuhan) 4. Mengalami patah tulang 5. Hamil atau menyusui 105
6. 7. 8. 9. 10. 11.
Menderita hepatitis kronis atau sirosis hati. Menderita tuberkulosis paru. Menderita selulitis atau gangren. Dalam keadaan pasca bedah Menderita penyakit Graves + Morbus Basedow. Menderita kanker ( Ca Cervix, Ca Mamma, Hepatoma, dan lain – lain ). 12. Mengidap infeksi cukup lama ( demam tifoid, ISK, meningistis, dan lain – lain ). Indikasi Diit – B2 Untuk DM dengan Nefropati tipe B2 ( stadium II ) Indikasi Diit – B3 Untuk DM dengan nefropati tipe B3 ( stadium III ) Indikasi Diit – Be Boleh gula dan yang manis (termasuk es krim) asal tetap mengikuti 3J Untuk DM dengan Nefropati tipe Be ( stadium IV = Terminal ). Latihan Fisik : Secara teratur Tiap hari Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ( PKM ): Tentang DM Obat Hipoglikemik ( OHO dan insulin ) Tablet OHO Indikasi : DM tipe 2, DM – M ( MRDM ) Klasifikasi klinis OHO secara rasional : Harus diketahui indikasi : A. Apabila perlu hipoglikemik kuat, gunakan golongan Glibenklamid (Euglucon dan Daonil) dosis maksimal 2 – 3 tablet per hari, atau Klorpropamid ( Diabenese, dosis maksimal 2 tablet per hari ). B. Untuk DM plus kelainan faal hepar dan atau ginjal, gunakan golongan Gliquidon (Glurenorm, dosis maksimal 4 tablet per hari). C. Untuk DM plus angiopati, gunakan golongan Gliklazid ( Diamieron, dosis maksimal 4 tablet per hari ). D. Untuk DM ringan atau sedang, atau gangguan pasca – receptor, gunakan golonagan Glipizid ( Minidiab, dosis maksimal 6 tablet per hari ). Yang harus diketahui : agar angiopati diabetik tidak mudah timbul, hindarkan terjadinya NSH ( Nocturnal Symptomless Hypoglicemia ). NSH dapat timbul OAD diberikan pada sore atau malam hari, sehingga pada malamnya timbul NSH. NSH ini akan merangsang sekresi katekolamin, kortisol, growth hormon, dan glukogan yang semuannya mempercepat terjadinya angiopati diabetik. Karena itu apabila memberikan OHO, misalnya golongan Glibenklamid, maka berikan pada pagi dan siang hari, jangan pagi dan sore hari. Beberapa OHO baru yang terbukti memberikan hasil klinis yang baik : Acarbose, dosis : diawali 3 x 50 mg dikunyah pada saat mulai makan, kemudian secara bertahap dinaikkan menjadi 3x100 mg sampai 3 x 200 mg setiap satu bulan sampai tercapai dosis 106
optimal. Melformin, dosis : 1 – 3 gram / hari dibagi 2 – 3 kali pemberian. Troglitazone, dosis 200 – 600 mg / hari, rata – rata 400 mg / hari diberikan sekali sehari pada waktu pagi.
107
[
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 9/10
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
TERAPI KOMBINASI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL
1. Acarbose dan Sulfonilurea Pada penderita DMTTI dengan berat badan normal atau kurus dengan dugaan insulin tubuh yang kurang, bila diet, olah raga dan Acarbose gagal mengendalikan glukosa darah dapat ditambahkan sulfonilurea ( Diet + OR + A + SU ) Bila cara ini gagal dapat ditambahkan Traglitazone (Diet + OR + A + SU + T) 2. Acarbose dan Metformin Pada penderita DMTTI dengan obesitas dimana umumnya insulin tubuh masih cukup banyak bahkan mungkin berlebih bila diet, dan olah raga belum berhasil mengendalikan glukosa darah dapat ditambahkan Acarbose. Bila dosis Acarbose sudah optimal dan glokosa darah tetap belum terkendali dapat diberikan Metformin ( Diet + OR + A + M ) Bila kombinasi ini gagal ukur kadar insulin tubuh Bila insulin tubuh masih cukup dapat dicoba ditambahkan Troglitazone atau Sulfonilurea ( Diet + OR + A + M + T/ SU ) Bila insulin tubuh rendah disarankan untuk terapi kombinasi dengan insulin INSULIN Idikasi : 1. DM tipe I DM – M ( MRDM 2. Koma Diabetik 3. DM tipe 2 dan keadaan tertentu DM dengan secondary failure dari OHO, DM + kehamilan, DM. Sellulitis/ gangren/ infeksi lainnya, DM kurus, DM + fraktur , DM + Hepatitis kronis/ sirosis, DM + operasi, DM + TBC Paru, DM + Graves disease, DM + kanker. Macam Insulin Insulin Konvensional Insulin Monokomponen BHI ( Biosynthetic Human Insulin ) Cangkok Pankreas : Belum dilaksanakan di Indonesia, tetapi sudah di AS dan beberapa 108
negara di Eropah.
109
[[[[[[
DIABETES MELLITUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PROGNOSIS
No. Revisi 0
Halaman 10/10
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Prognosa tergantung pada keadaan regulasi DM Regulasi teratur dan baik akan memberi prognosa baik Prognosa Nefropati Diabetik tipe B3 dan Be kurang baik.
110
[[[[
ANAFILAKSIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN
FOTOFISIOLOGI
ETIOLOGI
No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Respon klinis terhadap reaksi imunologi bentuk segera ( tipe I ) anatara antigen spesifik dengan suatu antibodi pada jaringan ( tissue fixing antibody = Hemositotoksis = IgE ). Dan terdiri 3 tahap : Aktivasi sel sasaran ( target cell ) : antigen akan terikat dengan IgE pada permukaan sel – sel mast dan sel basofil. Pelepasan zat – zat mediator oleh sel – sel yang telah diaktivasi Pengaruh zat – zat mediator pada organ sasaran. Jenis zat – zat mediator yang dihasilkan : 1. Histamin Menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan relaksasi otot polos pembuluh darah. Kontraksi otot polos bronkus dan edema larynx. Merangsang otot polos saluran cerna, sehingga menyebabkan kemerahan urtika dan angioedema. Shock 2. Eosinophil Chemotactic factor of Anaphylaxis ( ECF – A ) menarik eosinofil ke tempat reaksi dan melepaskan zat mediator sekunder. 3. Zat – zat mediator lain yang kerjanya menyerupai atau meningkatkan efek bistamin, seperti Slow – Reacting Substance of Anaphylaxis ( SRS – A ),kallikrein basofil ( kinin ) dan Platelet Activating Factor of Anaphylaxis ( PAF ) Paling sering disebabkan oleh obat - obatan, gigitan serangga, dan beberapa jenis makanan.
111
[
ANAFILAKSIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
GEJALA KLINIS
A. Bentuk reaksi Reaksi lokal : urtika dan angioedema Reaksi sistemik : terjadi pada organ sasaran B. Tanda – tanda dan gejala – gejala utama : 1. Reaki sistematik ringan : rasa panas, perasaan penuh dalam mulut dan dada, kongesti cavum nasi, pembengkakan periorbital, rasa gatal pada kulit dan mata berair.
DIAGNOSA BANDING
2. Reaksi sistemik sedang : reaksi sistemik ringan disertai dengan spasme bronkus dan edema larynx 3. Reaksi sistemik berat : Segera timbul tanpa gejala – gejala prodromal Bronkospasme dan edema larynx Edema dan hipermotilitas saluran cerna Kolaps kardiovaskuler Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas Reaksi ringan : Dermatitis kontak yang luas Reaksi berat Reaksi anavilaktoid : reaksi ini menyerupai anafilaksis, tapi bukan disebakan oleh reaksi antigen – antibodi, melainkan pelepasan secara langsung zat – zat mediator oleh sel mast pada jaringan karena pengaruh suatu zat seperti zat media kontras radiologi ( Lipiodol). Bromsulfoptalen, dan makanan. Vasovagal, sinkop, infark miokard, dan rekasi histeri.
112
[[
ANAFILAKSIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENATALAKSANAAN
1. Resusitasi kardiopulmoner 2. Epinefrin 0,30 – 0,50 ml larutan 1 : 1000 subkutan dan 0,10 – 0,30 ml pada tempat suntikan atau tempat sengatan serangga, dapat diulangi setiap 15 – 20 menit. 3. Pasang torniquet, dilepaskan setiap 10 menit selama 1 – 2 menit. 4. Oksigen 5 p- 10 1/menit. 5. Difenhidramin : 50 mg intravena perlahan – lahan ( 5 – 10 menit ) diulangi tiap 6 jam selama 48 jam. 6. Infus cairan : Bila tekanan darah kurang dari 100 mmHg pada orang dewasa dan kurang dari 50 mmHg pada anak. Campuran glukosa 5 % dengan larutan garam faali dalam jumlah yang sama sebanyak 2000 – 3000 ml / m2 luas permukaan tubuh / 24 jam 7. Aminofilin : Diberikan bila ada bronkospasme yang menetap dengan dosis 4 – 7 mg/kg BB intravena selama 10 – 20 menit 8. Vasopressor : Diberikan bila dengan pemberian cairan tidak dapat menaikkan tekanan darah. Aramin : anak 0,01 mg / kg BB, dewasa 2 – 5 mg bolus intravena perlahan Levarterenol bitartrat : 4 – 8 mg / lt Dekstrose 5 % dengan kecepatan 2 ml / menit. Dopamin : 0,3 – 1,2 mg/ kg BB / jam secara infuse dengan Dekstrose 5 %. 9. Intubasi dan tracheostomi : Bila ada obstruksi saluran nafas bagian atas oleh karena edema 10. Kortikosteroid : Tidak banyak membantu untuk mengatasi anafilaksis akut yang hebat, hanya untuk mencegah terjadinya reaksi berulang. Dosis 7 – 10 mg/kg BB. Hidrokortison intravena dilanjutkan dengan 5 mg/kg BB / 6 jam . 113
11. Terapi suportif dipertahankan bila keadaan penderita sudah stabil. Pencegahan : Anamnesa yang teliti tentang riwayat alergi terhadap obat – obatan atau antigen lain sebelumnya. Pemberian obat – obatan sebaiknya per oral bila tidak sangat dibutuhkan. Bila obat – obatan tersebut sangat dibutuhkan tetapi bersifat antigenik, maka harus dilakukan tes kulit . Misalnya obat golongan penicillin, toksoid, antisera, ACTH, dan insulin.
114
INTOKSIKASI OBAT KUAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENDAHULUAN
No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 1/7
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Intoksikasi obat dapat timbul akibat akut atau kronis. Dapat terjadi akibat usaha bunuh diri (“tentamen suicide”), pembunuhan (“homicide”), maupun kecelakaan tidak sengaja (“acidental”). Pada orang dewasa keracunan obat umumnya akibat usaha bunuh diri, kebanyakan dilakukan oleh wanita muda (usia 10 – 30 tahun). Sedang
ETIOLOGI
pada anak – anak kebanyakan karena kecelakaan. Penyebab terbanyak adalah insektisida fosfat organik (IFO), sedativa – hipnotika dan analgetika, minyak tanah, bahan korosif, dan pestisida lain (hidrokarbon klorin dan racun tikus).
115
[[
INTOKSIKASI OBAT KUAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/7
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa tidak selamanya mudah. Harus selalu dipikirkan pada setiap penderita yang sebelumnya tampak sehat, mendadak timbul gejala – gejala koma, kejang – kejang, shock, sianosis, psikosis akut, gagal ginjal akut atau gagal hati akut, tanpa diketahui penyebabnya. 1. Anamnesa Biasanya heteroanamnesa (karena penderita dalam keadaan tidak sadar atau malu berterus terang). Usahakan mendapatkan nama, jumlah bahan, serta saat penderita meminum obat. Carikan bekas – bekas bungkus, tempat, atau botol obat, resep terakhir, serta surat – surat yang mungkin baru saja ditulis. Tanyakan adanya riwayat perselisihan dengan keluarga, teman dekat, teman sekantor, atau ada tidaknya masalah ekonomi yang berat 2. Pemeriksaan Jasmani Ukur tekanan darah, nadi, suhu dan frekwensi pernapasan. Tentukan tingkat kesadaran serta sifat – sifat gangguan kesadaran penderita. Koma yang tenang (kalem) biasanya akibat golongan sedativa – hipnotika, bila disertai gelisah sampai kejang – kejang, dapat disebabkan oleh alkohol, INH maupun insektisida hidrokarbon klorin. Perlu dicatat pula adanya luka – luka etsa sekitar mulut, bau napas yang khas, adanya hipersalivasi, hiperhidrosis, pupil yang miosis, dan lain – lain. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin biasanya tidak banyak membantu. Pemeriksaan kadar kholinesterase plasma sangat membantu diagnosa keracunan IFO (kadarnya menurun sampai dibawah 50 %). 4. Pemeriksaan toksiologi Penting untuk kepastian diagnosa, terutama untuk keperluan visum et repertum. Bahan diambil dari muntahan penderita atau dari bahan kumbah lambung yang pertama (sekitar 100 ml). Juga dari urine sebanyak 100 ml dan darah tanpa antikoagulan sebanyak 10 ml. Di samping itu, sisa obat atau bahan kimia lain yang diduga menjadi penyebab keracunan. 116
5. Pemeriksan patologi Penting untuk membantu kepastian diagnosa bila dengan ke 4 cara diatas diagnosa masih sulit untuk ditegakkan. Pemeriksaan patologi sering dibutuhkan untuk menyingkap penyebab keracunan karena pembunuhan (“homicide”).
117
INTOKSIKASI OBAT KUAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/7
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS A. PERTOLONGAN PERTAMA (“FIRST AID”) B. PENATALAKSANAAN DARURAT (UMUM/ KHUSUS) C. PERAWATAN JIWA A. PERTOLONGAN PERTAMA (“FIRST AID”) Sangat tergantung pada racun masuk ke dalam tubuh penderita : 1. Racun yang tertelan Segera baringkan penderita di tempat datar, secepatnya usahakan untuk memuntahkan racun dengan cara: merangsang faring dengan ujung telunjuk, pangkal sendok, atau dengan memberi minum 15 – 30 ml sirup ipecac diikuti setengah gelas air minum, diulang setelah 15 menit bila perlu. Selanjutnya berikan karbon aktif (norit) sebanyak 25 – 40 gram. Kontraindikasi: kejang – kejang atau koma, tertelan bahan korosif (asam atau basa kuat) atau bahan minyak (minyak tanah, bensin, minyak cat atau thinner). 2. Racun yang terhirup Bawa penderita segera ke udara bebas, berikan oksigen secepatnya, kalau perlu dengan mouth - to - mouth breathing atau dengan ambu bag 3. Keracunan melalui kulit Bersihkan kulit yang terkena secepatnya dengan air mengalir (air keran) atau air pancuran (shower). Selama melepas pakaian penderita, tubuh penderita tetap diguyur dengan air. Kulit yang terkena disabuni sebersih mungkin, jangan lupa mengeramasi rambut penderita. 4. Keracunan melalui mata Lipat kelopak mata keluar, selanjutnya segera bersihkan mata dengan air mengalir sekitar 15 menit, dengan semprotan atau tetes mata.
118
B. PENATALAKSANAAN DARURAT UMUM Dikerjakan bersama – sama dengan tindakan diagnostik, biasanya setelah pertolongan pertama selesai dikerjakan. Tujuan penatalaksanaan umum ini adalah untuk mempertahankan vitalitas atau kehidupan penderita, serta mencegah penyerapan racun dengan cara menghambat absorbsi dan menghilangkan racun dari dalam tubuh. 1. Resusitasi (ABCD) A. (airway = jalan napas), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan, lendir, gigi palsu, pangkal lidah, dll, kalau perlu dengan “oropharyngeal” airway” (pipa Mayo), dan alat penghisap lendir B. (breathing = pernapasan), jaga agar pernapasan tetap dapat berlangsung dengan baik, kalau perlu dengan mouth – to – mouth breathing, atau respirator C. (circulation = peredaran darah), tekanan darah dan nadi dipertahankan dengan infus D – 5, PZ atau RL 15 – 20 tetes per menit, kalau perlu dengan kecepatan tinggi, pemberian cairan koloid (Expafusin dan Dextran) sebanyak 500 – 1000 ml dalam 24 jam dapat dikerjakan bila perlu. Bila terjadi “cardiac arrest” dilakukan pijat jantung eksterna atau RKP (resusitasi kardio pulmoner) D. (drugs = obat) kalau terjadi shock anafilaktik diberi adrenalin subkutan. 2. Eliminasi Tujuannya untuk menghambat penyerapan lebih lanjut, kalau dapat menghilangkan bahan racun atau hasil metabolismenya dari tubuh penderita. Tindakan ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut: a) Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar, atau dengan pemberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil. Karbon aktif (norit) baru boleh diberikan setelah emesis terjadi. Bila emesis berhasil dikerjakan dalam waktu 1 jam setelah keracunan, 30 – 60 % racun biasanya dapat dievakuasi dari tubuh penderita. Bila tindakan ini dikerjakan setelah lebih dari 1 jam, efektivitasnya menjadi < 20 %. Kontraindikasi: kesadaran yang menurun, keracunan bahan korosif, minyak tanah (pada anak kecil) dan obat – obatan yang dapat menimbulkan konvulsi. b) Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans, terutama untuk racun yang tidak dapat diserap melalui saluran cerna atau bila diduga racun telah sampai di usus halus dan usus tebal. Kontraindikasi: keracunan bahan 119
korosif atau ada dugaan kelainan elektrolit. Bahan laksans yang berbahaya untuk dipakai secara rutin: laksans ringan (aloes, cascara), cairan hipertonik (pada kelainan ginjal), MgSO4 (pada kelainan ginjal atau keracunan bahan nefrotoksis/ myoglobinuria/ hemoglobinuria). Beberapa laksans yang dapat dipakai dengan aman per oral sekali minum: Na – sulfat 30 gram dalam 200 – 250 ml air (1 gelas) Na – fosfat (Fleet’s Phospho – soda) 15 – 60 ml diencerkan sampai seperempatnya Sorbito / manitol (20 – 40 %) 100 – 200 ml Castor oil (kontraindikasi pada keracunan “chlorinated insecticides”) 15 – 30 ml. c) Kumbang lambung (KL atau “gastric lavage”), pada penderita yang kesadarannya telah menurun atau pada mereka yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan. Pada keracunan bahan tertentu, terutama yang dapat menimbulkan koma dan shock, penyerapan racun biasanya berlangsung lebih lama, hingga KL kadang – kadang masih bermanfaat meskipun dikerjakan > 4 jam. Kontraindikasi: bahan korosif, minyak tanah, bahan konvulsan, dan gangguan elektrolit. KL dilakukan dengan menggunakan pipa lambung besar no. 22, 32 atau pipa Levine no. 12. Pemberian cairan untuk KL tidak boleh terlalu banyak, karena dapat menambah kecepatan penyerapan obat yang telah masuk. Komplikasi KL: aspirasi pneumonia, perforasi, perdarahan, trauma psikis, “gagging”, cardiac arrest”. d) Diuresis paksa (“forced diuresis” = F.D), pada dugaan racun telah berada dalam darah dan dapat dikeluarkan melalui ginjal: ada 2 macam diuresis paksa: diuresis paksa alkali (FDA) khusus untuk keracunan asam salisilat dan fenobarbital, dan diuresis paksa netral pada keracunan bahan lain. e) Dialisis (“hemodialisis/ peritoneal dialisis”), terutama untuk keracunan bahan – bahan yang dapat didialisis. f) Mandi dan Keramas, dilakukan pada keracunan bahan yang dapat masuk tubuh lewat kulit (mis. Insektisida fosfat organik) Emesis, katarsis dan KL di atas sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam. Pada koma derajat sedang sampai berat (tingkat III – IV), juga pada keracunan minyak tanah atau bensin, tindakan KL hendaknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa Endotrakheal berbalon, untuk mencegah pneumonia aspirasi. Terapi Penyangga (“Supportive treatment”) Tindakan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi alat – alat vital 120
tubuh, sementara menunggu eliminasi seluruh obat, hasil metabolik, maupun
efeknya
dari
tubuh
penderita.
Dikerjakan
dengan
memperhitungkan keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan kalori setiap harinya. Terutama dalam tindakan ini, pengobatan terhadap komplikasi Antidotum Hanya kurang dari 10 % bahan kimia yang mempunyai antidotum. Pemberian antidotum tidak dapat dipakai sebagai pengganti ketiga cara pengobatan lainnya. Juga tidak dapat dibenarkan pemberian obat ini sebagai profilakis keracunan obat. Beberapa contoh antidotum (dosis dapat dilihat dalam keracunan bahan kimia maisng – masing). Nallorphine untuk keracunan morphine Atropin sulfat untuk keracunan insektisida fosfat organik Biru metilen untuk keracunan nitrit.
121
INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istilah pestisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk pestisida ini antara lain: insektisida yang digunakan khusus untuk serangga, dan rodentisida yang dipakai untuk membasmi tikus. Dua macam insektisida yang waktu ini paling banyak digunakan dalam pertanian adalah: 1. Insektisida hidrokarbon klrorin (IHK = chlorinated hydrocarbon”) 2. Insektisida fosfat organik (IFO = “organo phosphat insecticide”) Selama beberapa tahun terakhir, pemakaian IFO terus meningkat di mana – mana, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian, sedangkan IHK mulai dilarang di beberapa negara. 1. Sifat – sifat Nama
lain
dari
IFO:
insektisida
organo
fosfat,
atau
“Cholinesterase inhibitor” IFO merupakan insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian, dengan toksitosis yang tinggi. Salah satu derivatnya, Tabun dan Sarin, pernah diapakai dalam Perang Dunia II dan dikenal sebagai gas saraf atau gas perang. Bahan ini dapat menembus kulit yang normal (“intact”), juga dapat diserap lewat paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK. 2. Macam – macamnya Malathion (Tolly), Parathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon, Phosdrin, Raid, Systox, TEPP (Tetraethyl Phyrophosphate) dll. IFO atau “cholinesterase inhibitor insecticide” sebenarnya dibagi 2 122
macam, yaitu : IFO yang murni dan golongan carbamate. Keduanya mempunyai sifat – sifat fisik serta gambaran klinis keracunan yang sama, karena itu selanjutnya dianggap sama. Salah satu contoh insektisida golongan carbamate ini adalah Baygon.
123
[[
INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PATOGENESA
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) ensim asetil – Kholin - esterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal, ensim KhE bekerja untuk menghidrolisis AKh dengan jalan mengadakan ikatan AKh – KhE yang bersifat Inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi, ikatan IFO – KhE lebih banyak terjadi, akibatnya akan terjadi pemupukan AKh ditempat – tempat tertentu, hingga timbul gejala – gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muskarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP). Pada keracunan IFO, ikatan IFO – KhE bersifat menetap (“irreversible”), sedang pada keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (“reversible”), Secara farmakologik efek Akh dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu : a) Muskarinik, terutama pada saluran makanan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus, dan jantung. b) Nikotinik, terutama pada otot – otot skelet, bola mata, lidah, kelopak mata, dan otot pernapasan. c) SSP, menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang ( Konvulsi ) sampai koma.
124
INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA
Gambaran Klinis
Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah / keringat / saluran makanan, dan kesukaran bernafas.
Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah, tremor kelopak mata, pupil miosis.
Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang / kram perut, hipersalivasi, hiperhidrosis, fasikulasi otot, bradikardi.
Keracunan berat : diare, pupil “pin – point”, reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema paru, inkontinensia urin dan feses, konvulsi, koma, blokade, jantung, akhirnya meninggal.
Pemeriksaan laboratorik Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong. Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosa keracunan IFO akut maupun kronis ( menurun sekian % dari harga normal ). Keracunan Akut : Ringan
40 – 70 % N
Sedang
20 – 40 % N
Berat
< 20 % N
Keracunan kronis : bila kadar KhE menurun sampai 25 – 50 %, setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan, dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N. 125
Pemeriksaan PA Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, dan hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.
126
INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENGOBATAN
1. Resisutasi Infus dekstrosa 5 % kecepatan 15 – 20 tetes/menit, napas buatan dan oksigen. Hisap lendir dalam saluran napas, hindari obat – obatan depresan saluran napas, kalau perlu digunakan respirator pada kegagalan nafas yang berat. 2. Eliminasi. Emesis, katarsis, KL, keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun. 3. Antidotum. Antropin sulfat (SA), bekerja dengan menghambat efek muskarinik AKh pada tempat – tempat penumpukannya. a. Mula – mula diberikan intravena 1 – 2,5 mg. b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala atropinisasi ( muka merah, mulut kering, takhikardia, midriasis, febris, psikosis ). c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 dan 12 jam. d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian SA yang mendadak dapat menimbulkan “rebound effect” berupa edema paru dan kegagalan
PROGNOSA
pernapasan akut, yang sering fatal. Pada umumnya baik, bila pengobatan belum terlambat. Beberapa kesalahan pengobatan yang sering terjadi :
Resusitasi kurang baik dikerjakan ; 127
Eliminasi racun kurang baik;
Dosis atropin kurang adekwat, atau terlalu cepat dihentikan.
INTOKSIKASI INSEKTISIDA HIDROKARBON KLORIN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.305.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
BATASAN
1. Sifat – sifat Mudah larut dalam minyak, tidak larut dalam air, dapat tetap stabil selama berminggu – minggu sampai berbulan – bulan. Keracunan dapat disebabkan oleh bahan pelarut maupun insektisida sendiri. Karena dapat bertahan selama berbulan – bulan setelah dibubuhkan di alam, maka banyak Negara mulai melarang penggunaan bahan ini secara luas. 2. Macam – Macam DDT ( dichloro – diphenyl – trichlorethane ), merupakan IHK yang paling banyak digunakan dan paling toksik. Aldrin, dieldrin, endrin,
PATOGENESA
chlordane, lindane, thiodane, dll. Mekanisme kerja kurang jelas, terutama menyerang SSP ( serebelum dan korteks serebri ), dapat menimbulkan tremor, hiperaktivitas,
DIAGNOSA
kelemahan otot, kejang – kejang ( konvulsi ) dan aritmia jantung. Gambaran Klinis Gambaran klinis yang paling menonjol adalah muntah – muntah, tremor serta konvulsi. Keracunan ringan : muntah – muntah ( ½ jam – 1 jam setelah keracunan ), rasa lemah, lumpuh, diare dan agitasi. 128
Keracunan sedang sampai berat : “ twitching “ kelopak mata ( dalam 8 – 12 jam ) diikuti tremor otot mulai dari kepala dan leher, ke daerah distal hingga terjadi konvulsi klonik yang berat seperti keracunan striknin; nadi normal, pernapasan cepat kemudian melambat. Bahan pelarut insektisida pada umumnya dapat mengurangi efek konvulsi IHK, namun dapat memperberat efek depresi pada SSP. Pemeriksaan lobarotorik / toksikologi Pemeriksaan urine tidak ada yang khas. Pemeriksaan toksikologi adanya bahan ini dalam urine, serum, maupun biopsi jaringan lemak, sering dapat membantu menegakkan diagnosa.
129
[[[
INTOKSIKASI INSEKTISIDA HIDROKARBON KLORIN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENGOBATAN
No. Dokumen RSU.A.j.305.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 2/2
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Resusitasi : napas buatan + oksigen dan infus bila hipotensi. 2. Eliminasi : KL dengan 2 – 4 liter air, emesis dan katarsis 3. Terapi penunjang / penyangga : antikonvulsan ( valium 5 – 10 mg intravena, luminal 50 – 100 mg intravena, bila perlu dengan sodium pentotal 500 mg intravena perlahan – lahan ). Obat – obat stimulan
PROGNOSA
seperti
adrenalin
/
non
adrenalin
merupakan
kontraindikasi karena dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. 1. Ringan ( hanya sampai tremor), pulih asal dalam 24 jam. 2. Sedang ( sampai konvulsi ), dapat pulih asal setelah 24 jam 3. Berat ( konvulasi yang sulit diatasi), biasanya sulit untuk pulih asal, apalagi bila bahan pelarut bahan organik.
130
KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
BATASAN
1. Sifat – Sifat Banyak obat – obat yang menimbulkan sedasi dan hipnosis dengan cara menekan susunan saraf pusat (SSP). Overdosis obat – obat ini menimbulkan koma dengan kegagalan pernapasan. Dosis fatal sebagian besar obat depresan nonbarbiturat berkisar antara 100 – 500 mg/kg BB (kecuali choral hydrat). Untuk chloralhydrat dosis fatal sekitar 30 mg/kg BB, sedang barbiturat berkisar 1 – 2 gram. 2. Macam – macam a. Golongan barbiturat : fenobarbital (luminal), amobarbital (Amytal), pentotal (Nembutal), tiopental (Pentotal). b. Nonbarbiturat : meprobamat, methaqualon, gluthetimide (Doriden). c. Antiepilepsi : phenitoin (Dilantin), carbamazepin (Tegretol) d. Anthistamin: antazoline, diphenhydramine (Benadryl), dll. e. Phenothiazine dan derivat – derivatnya: chlorpromazine (Largaeti), chlordiazepoxide (librium), diazepam (Valium, Stezolid), lorazepam (ativan), haloperidol (Haidol), dll. f.
Bromidum: NaBr, KBr, NH4Br
g. Analgetika:
asam
salisilat
(Aspirin),
acetaminophen
(Paracetamol), metampiron (antalgin, Novalgin). h. Analgetika narkotika: morphine, codeine, heroin, meperidine 131
(Pethidine), PATOGENESA
opium
(Papaver
somniferum),
loperamide
(Imodium), dll. Obat – obat golongan sedativa – hipnotika dan analgetika ini menyebabkan depresi progresif dari susunan saraf pusat (SSP), menurun dari korteks ke arah medulla. Pusat respirasi akan ditekan, dan pergerakan napas akan mengurang, menimbulkan anoksia jaringan.
132
[
KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA
Gambaran Klinis Keluhan pertama adalah rasa ngantuk, bingung dan menurunnya keseimbangan. Dengan cepat kemudian diikuti dengan, koma, dan pernapasan yang pelan dan dangkal. Selanjutnya otot – otot melemah atau “flaccid”, hipotensi, sianosis, hipotermi atau hipertemi, dan refleks – refleks menghilang. Lama koma sangat bervariasi, tergantung dosis dan jenis obat, dapat 1 – 7 hari. Kematian, biasanya akibat komplikasi pneumoni aspirasi, edema paru atau hipotensi yang refrakter. Pemeriksaan laboratorik Pada koma yang lama dapat timbul hipokalemia. PCO2 darah dapat meningkat. Khusus barbiturat, tinggi kadar dalam darah berhubungan erat dengan lama koma serta jenis dan dosis barbiturat yang dipakai. Untuk fenobarbital dan barbital, kadar 5 – 8 mg/ 100 ml dalam darah, menunjukkan keracunan yang berat.
133
[[[
KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 3/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
PENGOBATAN
1. Resusitasi Pertahankan jalan napas yang baik, bila perlu dengan “oropharyngeal airway” atau intubasi endotrakheal. Hisap lendir dalam saluran napas. Bila timbul depresi pernapasan, berikan O2 lewat kateter hidung (4 – 6 liter/ menit) atau masker oksigen (2 – 4 liter/ menit). Bila perlu gunakan respirator. 2. Eliminasi Eliminasi sangat tergantung pada tingkat kesadaran penderita, jenis dan dosis obat yang dipakai. Pada penderita sadar: cukup emesis, pemberian norit dan laksans MgSO4. Kalau pasti dosis rendah, langsung dipulangkan. Bila ragu – ragu observasi selama beberapa jam. Koma derajat ringan – sedang. Kumbah lambung dengan pipa nasogastrik tanpa endotrakheal, diikuti dengan diuresis paksa selama 12 jam bila ragu – ragu tentang penyebab keracunan. Caranya: mulai dengan 1 ampul kalsium glukonas intravena, selanjutnya infus Dekstrosa 5 – 10 % ditambah 10 ml KCl 15 % (=1,50 mg KCl) untuk setiap 500 ml Dekstrose, kecepatan 3 liter dalam 12 jam; setiap 6 jam diberi 40 mg furosemide intravena. Diuresis paksa dapat diulang setiap 12 jam bila perlu, sampai penderita sadar. Untuk keracunan salisilat dan fenobarbital dapat ditambahkan 10 mEq Na – bikarbonat untuk setiap 500 ml Desktrosa (diuresis paksa alkali).
134
Koma derajat berat: KL dengan pipa endotrakheal berbalon, untuk mencegah aspirasi ke dalam paru. Selanjutnya diuresis paksa netral/ alkali, atau dialisis (peritoneai/ hemodialisis) sampai penderita sadar. 3. Antidotum Tidak ada antidotum yang spesifik. Obat – obat analeptik semuanya merupakan kontra indikasi. Selain tidak efektif, obat – obat ini dapat menimbulkan bermacam – macam komplikasi (aritmia jantung, konvulsi, gangguan faal ginjal, dll).
135
KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 4/4 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tergantung keadaan klinis dan derajat gangguan kesadaran penderita Ringan: mudah dibangunkan, tidak perlu pengobatan khusus. Sedang: sulit dibangunkan, pernapasan normal dan teratur, tidak ada sianosis maupun edema paru, tekanan darah normal. Dapat pulih asal dalam 24 – 48 jam dengan perawatan yang baik dan pemberian cairan yang adekwat. Berat: koma dengan pernapasan yang pelan, dangkal, tidak teratur, sianosis, semua refleks menghilang, hipotensi, hipotermi, pupil midriasis, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri. Dalam keadaan demikian, angka kematian masih tetap dibawah 5 %. Penderita dapat pulih asal dalam 3 – 5 hari.
136
INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS BATASAN
1. Sifat – sifat Ada 2 bentuk yang perlu dikenal: a. Asam kuat, dan b. Basa kuat alkali kuat. Asam kuat banyak dipakai sebagai bahan pemutih pakaian (“bleaches”), atau bahan pembersih logam (“metal cleaner”), juga sebagai bahan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sedang basa kuat sering dipakai untuk bahan pembuat sabun dan bahan pembersih lantai atau kloset (“cleaner”). Kepala bateri (“battery button”) juga mengandung bahan alkali kuat. 2. Macam – macam a. Asam kuat: asam oksalat, asa asetat glasial, asam sulfat (H2SO4 atau air acu), HCl (air keras), asam format, asam laktat, dll b. Basa kuat: KOH, NaOH (Soda kaustik atau “lye”), ammonium hidroksida (NH4OH), CaOH, K atau Na Karbonat, Na fosfat,
PATOGENESA
dll. Bila bahan ini mengenai jaringan akan timbul nekrosis dan penetrasi ke dalam jaringan. Karena mudah larut, penetrasi jaringan dapat berlangsung terus selama beberapa hari hingga dapat menimbulkan 137
perforasi pada esofagus maupun lambung.
138
INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA
Gambaran Klinis Segera setelah terjadi kontak, timbul rasa nyeri yang hebat seperti terbakar di sekitar mulut, faring dan abdomen. Kemudian diikuti dengan muntah – muntah, diare dan kolaps. Bahan muntahan sering disertai darah segar. Pada pemeriksaan fisik di sekitar mulut dapat ditemukan luka – luka etsa (luka bakar) yang berwarna coklat kekuningan. Dapat timbul gejala – gejala asfiksia akibat edema glottis. Adanya demam yang tinggi dapat disebabkan timbulnya mediastinitis atau peritonitis, akibat perforasi esofagus atau lambung. Pemeriksaan laboratorik Hb perlu diperiksa bila timbul hematemesis – melena, atau shock. Kelainan PA Pada ginjal penderita dengan keracunan asam oksalat dapat ditemukan “cloudy swelling”, degenerasi hyalin dan sklerosis tubulus. Di daerah tempat kontak dengan bahan korosif akan dijumpai nekrosis, terutama sekitar mulut, esofagus dan lambung.
139
INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENGOBATAN
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS a. KL, emesis, dan katarsis merupakan kontraindikasi b. Segera penderita disuruh minum air atau air susu sebanyak mungkin, untuk pengenceran bahan (perbandingan 1: 10 – 100 x). pengenceran terus dikerjakan walaupun penderita muntah – muntah. c. Infus Dekstrosa 5% 15 – 20 tetes/ menit, kalau perlu cairan koloid (expafusin) 500 – 1000 ml/ 24 jam, atau transfusi darah. d. Kortikosteroid intravena (Dexamethason 5 mg tiap 6 jam) selama 4 – 7 hari pertama, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai 10 – 20 hari. e. Antibiotika (Ampicilin 500 – 1000 mg tiap 6 – 8 jam, selama 5 – 7 hari) untuk pencegahan infeksi sekunder. f.
Pemberian diit atau obat – obatan oral ditunda sampai dapat dilakukan pemeriksaan laringoskopi direkta atau esofagoskopi. Kalau perlu penderita dirujuk.
g. Pengobatan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan di atas. Bila lesi ringan: diit oral dapat segera dimulai dengan makanan cair, dan pemberian steroid – antibiotika dapat dipercepat penghentiannya (dalam 5 – 7 hari). Bila lesi cukup luas: perlu pemasangan sonde lambung lewat tuntunan esofagoskop, atau penderita dipuasakan dan diberi nutrisi parenteral total selama 5 – 7 hari, atau konsultasi dengan Bagian bedah untuk pemasangan sonde lewat gastrostomi. 140
PROGNOSA
Sekitar 25 % penderita meninggal akibat efek langsung dari bahan korosif ini. Bila penderita dapat terhindar dari efek langsung ini, sekitar 95 % akan mengalami striktur esofagus yang persimen.
OSTEOARTRITIS
No. Dokumen RSU.A.j.308.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kelainan degeneratif, dimana terjadi penipisan, penyerpihan tulang rawan sendi, terjadi sklerosis tulang subkondral dan pembentukan osteofit pada tepi sendi yang dapat menyebabkan
PATOFISIOLOGI
gangguan fungsi sendi. * Sebabnya belum diketahui, dan diduga karena gangguan metabolisme tulang rawan. *
Perubahan awal dari tulang rawan adalah penyerpihan, penipisan, dan terjadinya fisur.
*
Perubahan selanjutnya adalah osteofit, pseudo – kista, sklerosis tulang subkondral.
*
Pada akhirnya yang terjadi adalah destruksi dan hilangnya tulang rawan sendi yang pada gilirannya adalah destruksi dan hilangnya tulang rawan sendi yang pada gilirannya adalah destruksi permukaan sendi yang berakhir dengan gangguan fungsi sendi.
*
Faktor – faktor predisposisi adalah tiap keadaan yang dapat menyebabkan
destruksi
permukaan
sendi
seperti
faktor 141
biomekanik, umur, penyakit tertentu seperti penyakit inflamasi, jenis kelamin, faktor keturunan.
DIAGNOSA
Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,
GEJALA KLINIS
pemeriksaan laboratorium. Keluhan utama adalah sakit atau linu sendi dimana pada fase awal terjadi sesudah aktivitas yang berlebihan.
Kaku sendi dapat dirasakan terutama sesudah istirahat lama, biasanya pagi hari sesudah bangun tidur.
PEMERIKSAAN KHUSUS
DIAGNOSA BANDING
Gejalanya tidak khas, kadang – kadang ditemukan tanda – tanda
inflamasi ringan. Heberden’s node pada sendi interfalang distal. Pemeriksaan laboratorium biasanya normal
Foto sendi mulai dari penyempitan ruang sendi, osteofit, sklerosis,
eburnasi tulang subkondral. Permulaan artitis reumatoid
Artritis pirai ringan
142
[[
OSTEOARTRITIS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.308.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 2/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Lindungi sendi dari beban yang berlebihan seperti kurangi berat badan untuk mengurangi beban sendi penyangga berat badan.
Obat – obatan a) Analgesik antara lain Parasetamol, dosis biasa adalah 3 x 500 mg. b) Anti inflamasi non steroid antara lain Asam asetil salisilat
2 – 4 gram/ hari, dosis terbagi pc
Ibuprofen
3 – 4 x 400 – 600 mg/ hari pc
Ketoprofen
3 x 50 mg/ hari pc
Naproksen
2 x 250 – 500 mg/ hari pc
Na – Diklofenak
3 x 25 – 50 mg/ hari pc
Piroksikam
1 x 10 – 20 mg/ hari pc
Karena sifat OAINS “ cocok – cocokan” (reaksi masing – masing penderita berbeda) maka satu obat diberikan selama 2 minggu, kemudian dievaluasi efektivitas dan efek samping obat yang mungkin terjadi. Apabila efektivitas rendah (<50% perbaikan) atau terjadi efek samping, maka obat tersebut diganti OAINS yang lain. Obat yang cocok tersebut diberikan sampai keluhan menghilang, obat tersebut diberikan kembali, bila ada keluhan lagi. c) Injeksi
Kortikosteroid
intraartikuler
kadang
– kadang
diperlukan meskipun tidak dianjurkan sebagai prosedur rutin. Kortikosteroid
intraartikuler
misalnya
Triamcinolone
intraartikuler. Dosis: sendi besar (genu) 5 – 10 mg 143
sendi kecil (interfalang) 1 – 2 mg
Fisioterapi untuk mengembalikan fungsi sendi, mempertahankan tonus dan kekuatan otot sekitar sendi
PROGNOSA
Pembedahan kalau diperlukan. Biasanya baik.
144
ARTRITIS REMATOID
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.309.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit sistemik yang ditandai oleh poliartritis, dimulai pada jaringan sinovia, sendi – sendi kecil (interfalang proksimal).
PATOFISIOLOGI
Simetris, mempunyai kecenderungan kronis, progresif, erosive. Sebab belum diketahui
Dimulai dari radang sinovia
Dapat dijumpai adanya vaskulitis dan amyloidosis pada keadaan yang lanjut.
DIAGNOSA
Lebih banyak menyerang wanita usia subur. Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,
GEJALA KLINIS
pemeriksaan laboratorium. Timbul mendadak atau perlahan – perlahan
Nyeri sendi dan kaku sendi pada pagi hari adalah keluhan utama
Pada permulaan, sendi yang terkena adalah sendi interfalang proksimal, metakarpal, metetarsal, dan pergelangan tangan.
Kadang – kadang ditemukan nodul subkutan pada daerah ekstensor, terutama pada siku.
PEMERIKSAAN KHUSUS
DIAGNOSA BANDING
Dapat terjadi remisi
Dapat terjadi destruksi sendi, subluksasi, dan ankilosis Faktor Rematoid (Tes Rose Waaler)
LED dan C – reactive protein
Foto sendi yang terkena Artritis psoriatik
Penyakit Reiter
Osteroartritis generalisasi tahap awal
SLE 145
146
ARTRITIS REMATOID
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.309.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 2/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istirahat terutama pada sendi yang terkena
Obat – obatan a) Simptomatik 1. Analgesik, antara lain Parasetamol 3 x 500 mg 2. Anti inflamasi non steroid, antara lain: Asam asetil salisilat 2 – 4 gram/ hari, dosis terbagi pc Ibuprofen
3 – 4 x 400 – 600 mg/ hari
pc
Ketoprofen
3 x 50 mg/ hari
pc
Naproksen
2 x 250 – 500 mg/ hari
pc
Na – Diklofenak
3 x 25 – 50 mg/ hari
pc
Piroksikam
1 x 10 – 20 mg/ hari
pc
b) Remitif - preparat emas, penisilamin, klorokuin, siklofosfamid (obat – obat ini sangat toksis dan indikasi serta pemberiannya sangat spesialistis) c) Kadang–kadang diperlukan injeksi kortikosteroid intraartikuler atau kortikosteroid oral pada keadaan yang berat. Kortikosteroid
intraartikuler
misalnya
Triamcinolone
intraartikuler Dosis: sendi besar (genu) 5 – 10 mg sendi kecil (interfalang) 1 – 2 mg Kortikosteroid per oral, antara lain Prednison Dosis: awal 60 mg, bila keluhan berkurang, tapering off sampai dosis pemeliharaan : sekecil mungkin
Fisioterapi yang dimulai sedini mungkin kalau tanda – tanda 147
inflamasi mulai berkurang.
Bedah ortopedi, kadang – kadang diperlukan tindakan bedah yang meliputi tindakan reparasi, rekonstruksi dan penggantian sendi
PROGNOSA
dengan prostesis (replacement). Sangat bervariasi
Sebagian besar penderita mengalami perbaikan dengan pengobatan standar
Sebagian kecil dapat menjadi invalid
REMATIK NON ARTIKULER (RNA)
(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/3 Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinis yang sama,
PATOFISIOLOGI
yaitu nyeri dan kekakuan pada jaringan lunak, tulang dan otot. Penyebab tidak / belum di ketahui, tetapi ada :
Faktor – faktor pencetus, misalnya : trauma, beban kerja yang berlebihan ( olah raga ), kelainan postur, degenerasi senilis dari jaringan lunak, dan stress psikologik, misalnya ketegangan jiwa, depresi, frustasi.
Pada usia muda biasanya : trauma, beban kerja yang berlebihan, stres psikologik.
DIAGNOSA
Pada usia tua sering : degenerasi senilis, kelainan postur. Diagnosa ditegakkan berdasarkan : gejala klinik, rontgenologik,
GEJALA KLINIS
pemeriksaan laboratorium. Keluhan umum ialah nyeri , kekakuan, kepekaan ( tenderness ) dan seringkali gerakan yang terbatas.
Fisik : tidak ada kelainan 148
Angka kejadian : wanita : Pria = 2 : 1 Laboratorium : tidak ada kelainan
PEMERIKSAAN
LABORATORIUM KLASIFIKASI
Radiologi : tidak ada kelainan Klasifikasi dari RNA dihubungkan dengan jaringan lunak yang diserang, misalnya :
Fibrositis ( Jaringan ikat )
Tendinitis, peritendinitis, tenosinovitis ( jaringan tendon dan jaringan sekitarnya ) : trigger finger, tennis elbow dan : golfer’s elbow, sindroma “ carpal tunnel”, sindroma “ Frozen shoulder”.
DIAGNOSA BANDING
Bursitis ( jaringan bursa)
Kapsulitis (jaringan kapsul sendi)
Miositis (jaringan otot)
Fasiitis (jaringan aponeurosis dan fasia)
Panikulitis (jaringan lemak) Artritis
Kelainan sistemik (Misalnya SLE)
Penyakit tulang (Osteokondritis disekans, nekrosis aseptik)
Tumor (osteoma)
149
REMATIK NON ARTIKULER (RNA)
(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/3 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS a) Keterangan yang jelas pada penderita tentang sifat penyakitnya, tidak berbahaya, sehingga rasa takut, gelisah, depresi hilang, dan reflek spasme otot yang merupakan bagian dari siklus “nyeri – spasme – nyeri” hilang juga. b) Istirahat secara fisik dan mental
Fisik. Pada stadium akut digunakan splint atau mitela
Mental: keadaan yang tegang dapat memperberat gejala
c) Obat – obat 1. Analgesik, misalnya Asam asetil salisilat 3 x 500 mg Parasetamol 3 x 500 mg Metampiron (Antalgin) 3 x 500 mg 2. Anti inflamasi non steroid, misalnya Indometasin 3 x 25 mg Na – Diklofenak 3 x 50 mg 3. Relaksasi otot, misalnya: Diazepam 3 x 2 – 5 mg 4. Sedatif, penenang, misalnya Diazepam 3 x 2 – 5 mg d) Fisioterapi Indikasi dari beberapa cara tersebut dibawah, tergantung pada stadium, derajat penyakit, dan kesukaan penderita. 1. Panas Untuk kasus – kasus ringan: kompres hangat, krim – krim 150
hangat, sinar matahari atau lampu infra merah. Untuk kasus – kasus berat: diatermi gelombang pendek, gelombang mikro, atau terapi ultrasound. 2. Dingin Kompres es, efektif untuk stadium akut 3. Hidroterapi Indikasi: kasus – kasus refrakter 4. Latihan Pasif dan aktif, sesuai anjuran bagian fisioterapi Perhatikan postur yang baik dan waktu duduk dan berdiri
151
REMATIK NON ARTIKULER (RNA)
(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007
PROSEDUR TETAP KELAINAN POSTUR
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 3/3 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pada keadaan statik maupun kinetik yang normal (postur yang baik), kolumna vertebralis tidak akan menimbulkan perasaan nyeri. Adanya perasaan nyeri di kolumna vertebralis menunjukkan adanya rangsangan nyeri di daerah yang akan mengganggu fungsi kolumna vertebralis. Ada 2 keadaan yang sering menyebabkan nyeri di kolumna vertebralis yaitu: I
: pada keadaan statik: kelainan sudut lumbosakral
II
: pada keadaan kinetik: skoliosis
152
153
KELAINAN SUDUT LUMBOSAKRAL
(UNSTABLE PELVIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.311.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sudut lumbosakral (sudut Fergusson) lebih kecil atau lebih besar dari
PATOFISIOLOGI
30 derajat Sudut lumbosakral > 30 derajat disebabkan oleh beberapa keadaan: obesitas, kehamilan trimester akhir, bersepatu dengan tumit tinggi.
DIAGNOSA
Sudut lombosakral < 30 derajat biasanya idiopatik atau adiology . Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,
GEJALA KLINIS
pemeriksaan laboratorium. Nyeri pinggang bawah, terutama setelah bekerja atau duduk lama tanpa perubahan posisi. Daerah lumbosakral hiperlordosis atau
CARA PEMERIKSAAN
sangat lurus. Pemeriksaan fisik: daerah lumbosakral hiperlordosis atau sangat lurus
Pemeriksaan laboratorium: tidak ada kelainan
Pemeriksaan
adiology: sudut lumbosakral (Fergusson) lebih
besar atau lebih kecil dari 30 derajat.
154
KELAINAN SUDUT LUMBOSAKRAL
(UNSTABLE PELVIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.311.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Hilangkan penyebab hiperlordosis bila mungkin. A. Fase Akut: 1. Tirah baring, bila perlu kedua lutut dan sendi koksa dalam posisi fleksi. a. Alas tempat tidur harus keras atau padat b. Tirah baring sampai nyeri berkurang atau hilang 2. Terapi fisik Kompres hangat 3. Obat – obat Relaksasi otot, misalnya: Diazepam 3 x 2 – 5 mg Analgesik, misalnya: Asam asetil salisilat 3 x 500 mg, Parasetamol 3 x 500 mg, Metampiron 3 x 500 mg Obat – obat anti inflamasi non steroid, misalnya : Indometasin 3 x 25 mg. Na – Diklofenak 3x50 mg. B. Fase Penyembuhan: 1. Bila nyeri mereda: coba mobilisasi sekuat penderita. 2. Latihan: fisioterapi 3. Penerapan tentang perubahan kebiasaan: Dilarang angkat – angkat barang berat ( > 10 kg ) dengan membungkuk. Hindarkan duduk terlalu lama, tanpa merubah posisi. Perhatikan postur yang baik pada waktu duduk dan berdiri
155
DIFTERI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN
No. Revisi 0
Halaman 1/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit menular akut, disebabkan oleh Corynebacterium
diphtheriae, khas ditandai dengan lesi radang lokal yang biasa terdapat di saluran napas bagian atas dan efek toksinnya terutama mengenai PATOFISIOLOGI
otot jantung dan saraf perifer. Corynebacterium dyphtheriae adalah kuman batang Gram negatif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan pleomorfik. Ada 3 strain: gravis, mitis, dan intermedius, berdasarkan morfologi koloni pada media tellurite, reaksi fermentasi dan kemampuan hemolisis. Ketiganya membentuk eksotoksin dan memberikan gambaran klinis yang sama. Penyakit ditularkan melalui Droplet
inflection dari penderita atau carrier, kontak kulit pada difteri sulit. Kuman biasanya berkembang biak di saluran napas bagian atas mengakibatkan nekrosis lokal dan pembentukan pseudomembran berwarna abu – abu, melekat erat di dasar selaput lendir saluran napas, mengeluarkan eksotoksin. Manifestasi toksik terutama mengenai otot jantung, saraf perifer, kadang – kadang ginjal. Infeksi dapat pula terjadi di kulit, mukosa pipi, vagina, konjungtiva, berupa GEJALA KLINIS
ulkus. Masa tunas 1 – 7 hari
Gambaran klinis tergantung pada lokasi lesi dan beratnya
proses toksik
Lemah badan, demam ringan, nyeri tenggorok, nampak
“pseudomembran” di tonsil atau nasofaring, muka pucat, bull neck, kesulitan bernapas, nadi cepat, napas berbunyi (stridor respirator),
156
PEMERIKSAAN dan
sianosis dan koma/ renjatan. Klinis : “pseudomembran” terutama di faring
DIAGNOSA
Laboratorik
DIAGNOSA BANDING
: sediaan langsung dan biakan hapus tenggorok dan
hidung atas kuman C.diphtheriae. Tonsilo – faringitis streptokokus
Tonsilo faringitis adenovirus
Mononukleosis infeksiosa
Laringitis obstruktif akut (virus/ alergi)
157
DIFTERI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 2/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Isolasi penderita di rumah sakit
Serum Anti Difteri (ADS), setelah dilakukan tes kepekaan kulit terhadap serum kuda.
Dosis empirik ADS: ringan 10.000 – 20.000 U; sedang 20.000 – 40.000 U; berat 50.000 – 100.000 U; sebaiknya diberikan dosis tunggal intramuskular/ intravena.
Penisilin prokain – G 600.000 U intramuskular/ 12 jam selama 10 hari; Eritromisin 4 x 250 mg/ hari selama 7 hari; Klindamisin 4 x 150 mg/ hari selama 7 hari; Rifampisin 600 mg dosis tunggal selama 7 hari.
Trakeostomi bila ada obstruksi laring; alat pacu jantung bila ada block hantaran total, neurotropik bila ada kelainan saraf
KOMPLIKASI
Imunisasi sebagai tindakan pencegahan. Penyebaran “pseudomembran” ke seluruh saluran napas, sumbatan jalan napas; pneumonia; masuk saluran cerna ke esofagus dan lambung; ke kelenjar getah bening leher (bull –
neck)
Toksin difteri dapat mengakibatkan miokarditis; kelainan
katup, kelainan hantaran, kelainan irama jantung, payah jantung; neuritis perifer, paralisis palatum molle dan dinding faring posterior, gangguan N III, N VI, N VII, N IX, dan N X, landry –
Guillain – Barre Syndrome; ensefalitis.
Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian 158
gejala menggigil - demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi.
Pada P: vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga
(malaria tertiana), P. falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/ subtertiana) dan P. malariae tiap 72 jam (malaria kuartana)
Gejala – gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali,
splenomegali, hipotensi postural, urobilinuria, dan kadang – kadang diare.
159
DIFTERI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
DIAGNOSA
No. Revisi Halaman 0 3/6 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Diagnosa per eksklusionum Anamnesa:
Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria
Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat banyak, disusul stadia sembuh, gejala tersebut bersifat serangan berulang (paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri kepala dan otot (terutama otot punggung),nafsu makan menurun.
Fisik:
pucat,
anemia,
ikterus,
hipotensi,
postural,
antimalaria
penderita
sembuh
hepatomegali, splenomegali. Dengan
pengobatan
(pengobatan eksjuvan - tibus) 2. Diagnosa laboratorik Air seni berwarna merah seperti teh karena mengandung urobilin; anemia hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya parasit malaria di dalam eritrosit (pengecatan
Giemsa atau Wright) P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit yang mengandung parasit membesar, terdapat titik
Schoffner dan sitoplasmanya berbentuk ameboid. P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit berbentuk oval. P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita
(band), skizon berbentuk bunga mawar (rosette):
pada 160
sediaan darah tebal, skizon berbentuk bunga mawar dan trofozoit bulat kecil – kecil nampak kompak dengan tumpukan pigmen yang kadang – kadang menutupi sitoplasma/ inti atau keduanya. P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk pisang, terdapat bintik Maurer. Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecil – kecil tanpa bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat bentukan balon merah di sisi luar gametosit.
161
DIFTERI
No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 4/6
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA BANDING
Influenza
Gastroenteritis
Salmonellosis
Leptospirosis
162
DIFTERI
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 5/6
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS A. Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal) 1. Malaria falsiparum yang rentan Kloroquin Kloroquin: hari ke-1 dan ke-2 masing – masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah Primaquin dosis tunggal 15 mg/ hari pada hari ke-1 sampai dengan ke-3. 2. Malaria falsiparum yang kebal Kloroquin a. Sulfadoksin – primetamin (Fansidar) dosis tunggal 3 tablet, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg pada hari ke 1. b. Kina: 3 x 400 mg/ hari selama 7 hari, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg pada hari ke 1. 3. Malaria vivax, ovale dan malariae Kloroquin: hari ke 1 dan ke 2 masing – masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah Primaquin dosis tunggal 15 mg/ hari pada hari ke 1 sampai dengan ke 5 4. Malaria dengan penyulit (malaria pernisiosa), misalnya malaria serebralis: a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml faali diberikan secara infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. b. Kloroquin sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan secara infus intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam. Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan 163
per oral sesuai dengan pengobatan radikal. Pengelolaan malaria falsiparum berat: 1. Kloroquin atau kina parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut diatas. 2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretika dan kompres. 3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over – hydration, yang merupakan resiko edema paru). 4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang – kejang. 5. Pertimbangkan Deksametason pada malaria serebralis 6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal 7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat 8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid
malaria) 9. Pertimbangkan exchange transfusion pada penderita koma dengan parasitemia berat. 10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus dekstrosa. B. Pengobatan supresif atau presumtif: Ditetapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria. 1. Untuk malaria falsiparum, vivax, dan malariae: kloroquin dosis tunggal 600 mg satu kali 2. Malaria falsiparum kebal Kloroquin : Kloroquin dosis tunggal 600 mg satu kali, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg satu kali. Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Kloroquin: 1. Amodiaquin: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400 mg, hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan eritromisin 3 x 500 mg/ hari selama 5 hari. 164
2. Kombinasi Kina dengan Tetrasiklin. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari dikombinasi dengan tetrasiklin 3 x 500 mg selama 5 hari.
DISENTRI BASILER
(Shigellosis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.313.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi akut kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella
PATOFISIOLOGI
Dikenal 4 spesies shigella: S. dysenteriae (Shiga), S. flexneri, S.
Boydii, dan S. sonnei. S. dysenteriae dapat menimbulkan gejala klinis yang terberat
Manusia merupakan satu – satunya sumber penularan 165
Penularan terjadi secara kontak langsung atau melalui cara fekal – oral
Setelah losos di ileum distal dan kolon, dihasilkan eksotoksin yang menyebabkan sekresi cairan oleh dinding sel. Selanjutnya bakteri menginvasi sel epitel dan berkembang biak di dalamnya, menyebabkan nekrosis dan pembentukan mikroabses di villi.
GEJALA KLINIS
Tinja mengandung eritrosit dan leukosit
Karena keradangan superfisial, jarang terjadi bakteriema. Masa tunas 1 – 2 hari
Fase permulaan: mialga, nyeri perut, diare berupa air disertai demam sampai 40 derajat Celcius.
Fase lanjut: diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, nafsu makan menurun.
PEMERIKSAAN dan
Pada anak – anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau
tanpa kejang, delirium nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pemeriksaan tinja mikroskopis menunjukkan adanya eritrosit dan
DIAGNOSA DIAGNOSA BANDING
leukosit
Isolasi shigella dengan biakan tinja yang segar atau hapus rektal. Salmonellosis
Sindrom diare karena enterotoksin E. coli
Kolera
Kolitis ulserosa
166
DISENTRI BASILER
(Shigellosis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.313.11.2007
PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Perbaikan gangguan keseimbangan air dan elektrolit
Antibiotika: Ampisilin 4 x 500 mg/ hari selama 5 hari atau
Kotrimoksazol (Trimetoprim sulfametoksazol) 2 x 2 tablet/ hari selama 5 hari atau Tetrasiklin 4 x 500 mg/ hari selama 5 hari.
Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri.
KOMPLIKASI
Pengobatan simptomatik dengan analgesik Dehidrasi dan renjatan hipovolemik
Sindrom uremik hemolitik
Sindrom Reiter (trias: artritis, uretritis, iritis)
Neuropati perifer
Megakolon toksik
167
DISENTRI AMEBA ( Amebiasis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.314.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi kolon oleh Entamoeba histolytica
PATOFISIOLOGI
Penularan melalui makanan atau minuman yang tercemar kista, lalat, dan kecoak dapat sebagai vektor.
Kista melewati lambung dan pecah di ileum, keluar trofozoit.
Pada keadaan biasa E, histolytica hidup di kolon sebagai organisme komensal. Berkembang biak dengan pembelahan dan pembentukan kista.
Pada keadaan memungkinkan, trofozoit berubah menjadi patogen, mengadakan invasi ke dinding kolon, menyebabkan ulkus.
Ulkus paling sering dijumpai di sekum dan rektosigmoid; mukosa kolon di antara ulkus normal.
Kadang – kadang terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis
Dapat terjadi penyebaran trofozoit ke hati, melalui aliran darah vena porta, terjadi abses hati karena nekrosis jaringan.
Abses hati biasanya tunggal, dan umumnya timbul lama setelah ulkus di kolon.
GEJALA KLINIS
Juga dapat terjadi abses paru dan otak. Masa tunas 1 – 6 bulan
Sebagian besar penderita asimptomatik tetapi dapat menjadi 168
sumber penularan (carrier)
Gejala klinis bervariasi tergantung dari berat dan luasnya lesi dinding kolon.
Ringan: gejala umum ringan, sering flatus, nyeri perut di daerah fosa illiaka, diare sedikit mengandung darah dan lendir.
Berat: gejala disentri lebih nyata: diare lebih sering, mengandung lebih banyak darah, demam, kolik, tenesmus, berat badan turun, hati membesar, nyeri perut pada palpasi.
Kadang – kadang dijumpai ameboma, dapat terjadi obstruksi parsial bila lesi berbentuk anuier.
PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA
Apendiks dapat terkena dengan gejala mirip apendistis. Pemeriksaan tinja mikroskopis menunjukkan adanya leukosit, eritrosit, trofozoit dan kista
169
DISENTRI AMEBA ( Amebiasis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.314.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA BANDING
PENATALAKSANAAN
Shigellosis
Kolitis ulserosa
Keganasan Diperlukan kombinasi beberapa macam obat
Amebiasis asimptomatik perlu diobati, karena sewaktu – waktu dapat berubah menjadi simptomatik
Obat amebisida: Metronidazol 3 x 750 mg selama 5 – 10 hari Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 5 hari Klorokuin di fosfat 1 gram sehari selama 1 – 2 hari, dilanjutkan dengan 500 mg sehari selama 4 minggu. Emetin 1 mg/ kg BB/ hari intramuskular maksimal 60 mg sehari selama 3 – 5 hari Dehidroemetin 1,5 mg/ kg BB/ hari intramuskular, maksimal 90 mg sehari selama 3 – 5 hari.
Pemberian emetin/ dehidroemetin dapat menyebabkan gangguan jantung,
KOMPLIKASI
perlu
observasi
elektrokardiogram Kolitis ameba fulminan
Ameboma
Apendisitis ameba
Abses hati, paru dan otak.
tekanan
darah,
denyut
nadi,
170
171
KOLERA
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.315.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
BATASAN PATOFISIOLOGI
No. Revisi 0
Halaman 1/2
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit diare akut yang disebabkan oleh Vibrio cholerae V. cholerae kuman Gram negatif, berupa batang yang pendek agak bengkok, aerob, dengan satu flagellum pada ujungnya
2 biotipe: V. cholerae klasik dan vibrio El Tor
2 Serotipe: Inaba dan Ogawa
penularan dengan air atau makanan yang tercemar
setelah penularan oral V. cholerae berkembang biak di usus
halus dan mengeluarkan eksotoksin.
Eksotoksin
bekerja
pada
mukosa
usus
halus
dan
menyebabkan ekskresi air dan elektrolit
Jumlah cairan elektrolit ini melampaui kemampuan absorbsi
kolon dan keluar sebagai tinja yang cair.
Tinja isotonis dengan plasma, tetapi konsentrasi bikarbonat
dan kalium lebih tinggi daripada plasma.
Akibatnya terjadi dehidrasi, hipovolemia, asidosis, dan
hipokalemia GEJALA KLINIS
Tidak terjadi kelainan morfologis pada mukosa usus halus. Masa tunas 12 jam sampai 6 hari
Permulaan akut dengan diare yang cair
Muntah
Tanda – tanda dehidrasi: turgor kulit berkurang, kulit jari – jari mengkerut, mata dan pipi cekung, mulut dan lidah kering, haus, suara parau, kejang otot – otot tungkai dan dinding perut.
Tanda – tanda renjatan: tekanan darah turun, nadi cepat dan 172
lemah, pernapasan cepat, penderita gelisah, berkeringat dingin, sianosis, oliguria sampai anuria. PEMERIKSAAN dan
Diare berhenti sendiri setelah beberapa hari. Biakan tinja atas V. cholerae positif
DIAGNOSA
Berat jenis plasma meningkat.
Kratinin serum, nitrogen urea darah meningkat
DIAGNOSA BANDING
Diare
akut
yang
cair
karena
non-agglutinable
vibrio,
V.
parahemolyticus, E. coli patogen, Salmonella, Shigella dysenteriae, Clostridium perfringens, Enterovirus.
173
KOLERA No. Dokumen RSU.A.j.315.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0 Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Halaman 2/2
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Indikasi perawatan di rumah sakit: diare dan muntah – muntah yang berat dan tanda – tanda renjatan
Penggantian air dan elektrolit per os atau intravena
Per os dengan oralit, yang mengandung natrium klorida 3,5 g, kalium klorida 1,5 g, natrium bikarbonat 2,5 g, glukosa 20 g untuk 1000 ml air.
Pada penderita kolera ringan atau sedang, rehidrasi sebanyak 750 ml tiap jam selama 4 jam.
Pemberian selanjutnya disesuaikan dengan volume tinja
Intravena dengan larutan Ringer laktat
Pada penderita kolera berat, rehidrasi Berdasarkan gejala klinis sebanyak (liter) Dehidrasi ringan
: 2 % berat badan
Dehidrasi sedang
: 5 % berat badan
Dehidrasi berat
: 8 % berat badan
Berdasarkan berat jenis plasma, sebanyak (ml): Berat jenis plasma penderita – 1,025 x berat badan x 4 0,001
KOMPLIKASI
Antibiotika : tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 3 hari. Akibat kekurangan cairan/ elektrolit: Renjatan dan dehidrasi tidak teratasi Nekrosis tubuli ginjal akibat hipovolemia dan hipokalemia 174
Ileus paralitik karena hipokalemia Aritmia jantung karena hipokalemia Edema paru karena asidosis
Akibat kelebihan cairan / elektrolit : Payah jantung kongestif akut
Abortus spontan pada wanita hamil
175
ALERGI OBAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/5
Ditetapkan Direktur,
BATASAN
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Alergi obat merupakan suatu reaksi abnormal yang timbul setelah
PATOFISIOLOGI
pemberian obat tertentu yang berlandaskan suatu reaksi imunologik. Reaksi tipe I, berupa reaksi segera. Obat sebagai antigen merangsang pembentukan IgE spesifik pada badan. Reaksi antigen dengan IgE pada dinding sel mast dan sel basofil menimbulkan pelepasan zat medator aktif terutama histamin. Akibatnya timbul gejala – gejala klinis seperti urtikaria, angioedema, brokospasme. Gejala yang berat dapat terjadi shock anafilaktik. Reaksi timbul segera, kira – kira 30 menit setelah pemberian terapi. Skema: Alergi Tipe 1
Dapat juga timbul reaksi menyerupai reaksi tipe I tetapi tidak jelas landasan mekanisme imunologik dari reaksi tersebut. Sebagai contoh reaksi bentuk segera yang timbul setelah pemberian bahan kontras, polimiksin, aspirin, anestesi lokal kodein dan jenis obat opiat lainnya. Reaksi tipe II, antibodi spesifik berikatann dengan antigen ( pada dinding sel ), sehingga timbul reaksi sitotoksik dengan akibat lisis dari sel. Sebagai contoh anemia hemolitik karena obat, trombositopenia, agranulosis. Reaksi yang serupa dapat terjadi pada jaringan interstitial 176
ginjal sehingga timbul nefritis intersititial.
177
Skema: Reaksi tipe II
Contoh : reaksi terhadap Metisilin, Dilantin. Reaksi tipe III, sering juga disebut reaksi kompleks imun. Terbentuk ikatan antara antibodi dengan antigen ( obat ). Reaksi ini timbul selain pemberian terapi dengan serum heterologus. Gejala klinis timbul setelah 1 – 3 minggu. Klinis disebut Serum
sickness syndrome dengan gejala urtikaria, demam, artralgia, limfadenopati, neuropati, glomerulonefritis, vaskulitis pada banyak organ. Juga timbul SLE, terutama setelah pemberian Hidralazin, dan Prokainamid. Skema: Reaksi tipe III
Kompleks Ag/Ab Mikro tromoi Agregasi Trombosit
Aktivasi Komplemen
Menarik Sel Polimorf Pengeluaran Amin vaso aktif
Pelepasan Enzim proteolitik
Anafilaktosin
Pelepasan Histamin
Gejala Klinis Gejala Klinis
Gejala klinis
Reaksi tipe IV, disebut reaksi seluler atau reaksi tipe lambat. Karena eksposisi oleh obat, limfosit menjadi sensitif dan bereaksi dengan obat 178
tersebut. Biasanya terjadi pada pemberian obat topikal. Gejala klinik berupa dermatitis kontak.
179
Skema: Reaksi tipe IV
Beberapa zat pengawet dan vehikulum dari obat ( preservative ) dapat memberikan reaksi serupa misalnya reaksi terhadap parabens. Reaksi tipe IV juga dapat memberikan reaksi pulmonal akut dengan gejala panas, sesak nafas, batuk, eosinofilia, infiltrat paru, dan pleuritis eksudativa. Obat yang dapat memberikan reaksi ini misalnya nitrofurantoin, obat antineoplastik seperti bleomisin. Prevalensi alergi obat termasuk efek samping yang tidak diinginkan 15 – 30 %.
180
ALERGI OBAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA
No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 4/5
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa di tegakkan berdasarkan anamnesa dan gejala klinis. Anamnesa: Dinyatakan semua obat yang di pergunakan penderita pada saat terjadinya gejala klinis. Kapan saat minum obatnya karena reaksi anafilaksis dapat timbul segera, sedang reaksi tipe yang lain dapat terjadi selang waktu 7 – 10 hari kemudian. Juga dinyatakan cara pemakaian obat tersebut. Ada hubungan antara pemakaian obat dengan timbulnya gejala klinis. Apabila obat tersebut kita suntikkan
DIAGNOSA BANDING
maka gejalanya akan hilang. Over dosis: gejala berhubungan dengan dosis, terjadi pada semua orang, misalnya sedativa memberikan gejala distress pernapasan. Efek samping : gejala yang timbul dengan dosis normal, tidak dapat di hindari, terjadi pada semua orang hanya berbeda kuantitatif. Efek sekunder : timbul secara tidak langsung, misalnya pelepasan endotoksin dariu bakteri setelah pemberian antibiotika. Interaksi : misalnya enzim yang diinduksi oleh satu obat dapat mengganggu metabolisme obat lain. Intoleransi : dapat timbul pada orang tidak alergi disebabkan karena efek farmakologik yang telah diketahui sebelumnya. Indiosinkrasi : reaksi abnormal yang tidak mempunyai landasan imunologik. Terjadi pada orang yang rentan. Contoh pemberian primakuin yang menimbulkan anemia hemolitik pada 181
penderita defisiensi G6PD.
182
ALERGI OBAT
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 5/5
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
GEJALA KLINIS :
Dapat berupa : Shock anafilaktik Urtikaria Dermatitis atopik Asma bronkial Angioedema Tes Kulit : Sering tidak relevan. Misalnya pada tes kulit yang dibaca setelah 20 menit hanya mempunyai arti pada obat dengan molekul besar dan mempunyai lebih dari satu determinan antigen. Tujuan tes ini untuk menentukan adanya reaksi IgE spesifik dengan obat sebagai antigen. Tetapi walaupun demikian tes ini masih dapat dicoba untuk kecurigaan alergi terhadap obat penicilin, toksoid, antisera, ACTH, vaksin putih telur. Kesukaran lain adalah adanya obat – obatan yang merangsang pengeluaran histamin tanpa melalui reaksi imunologik seperti kodein, morfin dan bahan kontras. Ada juga tes kulit yang lain yaitu : tes tempel ( patch test ) biasanya untuk mengetahui adanya alergi terhadap obat – obat yang dipakai
PENATALAKSANAAN
secara topikal. Yang paling baik menghentikan obat tersangka. Pada orang yang memakai obat ganda, hentikan obat yang dicurigai. Simptomatik : ditunjukan pada gejala klinik yang timbul. Antihistamin : Chlorpheniramin 3x4 mg (Chlortrimetan 3 x 1 183
tablet/hari ). Kortikosteroid : frednison 3 x ( 5 – 10 mg ) dengan dosis diturunkan secara bertahap 3 x 3 tablet ( a.0,5 mg/tablet ).
ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007
PROSEDUR TETAP
BATASAN
Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah reaksi imunologik yang disebabkan karena interaksi antara antibodi / sel limfosit yang spesitik terhadap alergen yang masuk melalui sistem pernapasan.
PATOFISIOLOGI
Bahan – bahan yang dapat bereaksi sebagai alergen inhalan adalah : berbagai tepung sari (pollen), jamur maupun sporanya, debu rumah, tungau, serpihan kulit, binatang. Penderita yang alergi terhadap alergen inhalan dapat menimbulkan berbagai reaksi alergi, antara lain : Tipe I
: Merupakan reaksi yang tersering dengan manifestasi klinis berupa rinitis alergik, asma bronkial, urtikaria : (jarang)
Tipe II
Allergic bronchopulmonary aspergillosis, Farmer’s lung, Bagassosis, dan sebagainya.
Tipe III : Extrinsic allergic alveolitis. Manifestasi klinis yang timbul sering merupakan kombinasi dari reaksi tipe I, III, Iv tersebut. 184
Gejala – gejala tergantung dari macam manifestasi yang terjadi, yang dapat berupa : pilek, hidung tersumbat, sesak napas, panas badan dan batuk yang kadang – kadang disertai himoptisis.
185
ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007 Tanggal terbit
No. Revisi 0
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS
DIAGNOSA
Anamnesa : Anamnesa tentang adanya riwayat penyakit alergi dalam keluarga Anamnesa tentang alergen hirup yang dicurigai berhubungan dengan penyakitnya, riwayat pekerjaan dan musim ketika mendapat penyakit tersebut. Pemeriksaan Fisik : Sekret hidung yang meningkat dan bersifat encer Edema mukosa hidung dan dapat ditemukan polip hidung. Allergic shiners, warna kebiruan pada kelopak mata. Allergic salute, kemerahan pada daerah lobang hidung dan sekitarnya akibat selalu digosok karena rasa gatal. Pada paru didapatkan wheezing pada kedua lapangan paru. Pemeriksaan Laboratorium : Biasanya terdapat peningkatan dari eosinofil dalam serum ataupun lokal pada tempat terjadinya gejala, misalnya pada sekret hidung rinitis alergi, eosinofil sama atau lebih dari 250 /ml dalam serum dapat dikatakan terjadi peningkatan dari eosinofil serum. Peningkatan kadar IgE, dapat pula disertai peningkatan IgG dan IgM. Pemeriksaan dari sekret hidung atau sputum penderita terhadap eosinofil dan pemeriksaan terhadap jamur dalam sputum. X foto dada dan sinus untuk mengetahui adanya perubahan anatomi seperti corak bronkovaskuler dari sinus paranasalis.
186
ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Menghindari kontak dengan alergen 2. Pengobatan simptomatis bila timbul gejala klinis 3. Usaha pencegahan dengan obat – obatan. 4. Imunoterapi : bermaksud menekan reaksi imunologik yang merugikan
dan
menimbulkan
reaksi
imunologik
yang
menguntungkan. Simptomatik : untuk asma diberikan Aminofilin 3 x 150 mg/hari atau agonis B2 ( Terbutalin ) 3 x 2.5 mg/hari. Untuk rinitis dapat diberikan Chlotrimetan ( CTM ) 3x4 mg/hari. Imunoterapi biasanya dilakukan pada seseorang yang tidak dapat menghindari kontak dengan alergen penyebab, misalnya imunoterapi dengan ekstrak alergen debu rumah. Dilarutkan 1x 0.00010 diberikan dosis awal 0,1 cc pada lengan atas, 2 kali seminggu. Dosis ditingkatkan 2 kali pada pemberian berikutnya sampai tercapai jadwal pemberian sebagai berikut : suntikan alergen I/II/III berturut – turut dengan kadar 1 x 0,00010. 1 x 0,0010, 1 x 0,010 Dengan dosis : Tanggal
Dosis
Timbul reaksi / tidak
………
0,1 cc
………
………
0,2 cc
………
………
0,3 cc
……… 187
………
0,5 cc
………
………
0,7 cc
………
………
0,1 cc
………
Keterangan : Suntikan 1. Subkutan dalam, dengan semprit disposable ( plastik ) 1 cc 2. Waktu : 1 – 2 kali setiap minggu 3. Sehabis disuntik tunggu 5 - 10 menit, untuk melihat kadang – kadang adanya reaksi suntikan. Reaksi berupa : gatal – gatal ringan, pusing – pusing sedikit. Bila terjadi reaksi perlu diberikan suntikan Delladryl 1 cc intramuskular.
188
189
ALERGI MAKANAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
BATASAN
No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007
No. Revisi 0
Halaman 1/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah gejala klinis yang timbul setelah makan setelah makan sesuatu makanan karena reaksi badan yang abnormal terhadap makanan atau
PATOFISIOLOGI
terhadap bahan tambahan dari makanan tersebut. Ada 4 faktor yang berperan : 1. Faktor mukosa saluran cerna belum dewasa, penyerapan alergen bertambah, hal ini dapat disebabkan karena :
Kekurangan IgA sekretorik
Barier mukosa tidak efesien, misalnya akibat infeksi,
inflamasi, perubahan pH, dari lumen. 2. Faktor imunologik pembentukan IgE spesifik terhadap alergen makanan Timbul reaksi tipe segera. Terbentuk pula IgG, IgM spesifik, dapat terjadi reaksi tipe III atau dapat terjadi reaksi tipe lambat bila sel limfosit sensitif. 3. Faktor non imunologik reaksi terhadap zat toksin yang terdapat dalam makanan reaksi terhadap bahan warna 4. Faktor genetik seseorang dengan HLA B8, DW3, cenderung mendapat alergi makanan. 5. Faktor lain : ETIOLOGI
Pemberian makanan padat terlalu awal pada bayi
Pemberian susu buatan Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya : Ikan 15,4 %
Apel 4,7 % 190
Telur 12,7 %
Kentang 2,6 %
Susu 12,2 %
Coklat 2,1 %
Kacang 5,3 %
Babi 1,5 %
Gandum 4,7 %
Sapi 3,1 %
Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi. Int 1 (Alergi) ALERGI MAKANAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
GEJALA KLINIS
No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 2/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pada umumnya manifestasi klinis alergi makanan terdapat di: 1. Oropharynx dan gastrointestinal yaitu: edema dan gatal, di bibir dan mukosa mulut, mual, muntah, kejang perut dan diare. 2. Kulit: urtikaria akut, angioedema, pruritus, eritema, karena peningkatan histamin plasma. 3. Saluran napas: asma bronkial, rinitis biasanya menunjukkan alergi terhadap aeroalergen/ inhalan tetapi hasil penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan alergi makanan dengan asma bronkial, rinitis dan lain – lain, terutama pada anak seperti: susu, telur, coklat, kacang, ikan, udang. 4. Manifestasi vaskuler: pusing, migren dapat disebabkan oleh: keju, anggur, kerang, tomat, kopi kacang, susu, coklat, kenari, natrium sitrat atau makanan yang mengandung pressoramin yang lain. 5. Manifestasi muskuloskeletal: adanya hubungan erat antara alergi makanan dan penyakit reumatik yaitu: kenari, tembakau, kacang, 191
ekstrak makanan, natrium sitrat, bahan petrokimia, susu, tartrazine, debu rumah, dan lain – lain. 6. Manifestasi psikologik: reaksi ansietas dan skizofrenia ada hubungannya dengan susu cereal, kacang – kacangan, penyebabnya belum jelas.
192
ALERGI MAKANAN No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 3/4
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA
Anemnesa:
Dasar diagnosa yang terpenting adalah anamnesa yang cermat meliputi jenis makanan yang dimakan, selang waktu timbulnya gejala, jumlah makanan yang dimakan, riwayat penyakit atopi/ riwayat keluarga dengan penyakitnya.
Macam makanan, pada umumnya makanan yang dimasak, kurang alergenitas dibanding dengan yang mentah, dan sering terjadi reaksi silang antara makanan sejenis.
Dicari apakah ada bahan pengawet yang dipakai dalam makanan tersebut. Gejala dapat timbul ½ - 48 jam sesudah makan.
Pemeriksaan fisik Mencari tanda – tanda alergi, adanya urtikaria, asma, tanda – tanda shock
analfilaktik
dan
gejala
gastrointestinal,
vaskuler,
muskuloskeletal dan lain – lain. Pemeriksaan laboratorium
Adanya peningkatan kadar eosinofil dan IgE spesifik dalam darah menunjukkan adanya alergi.
Tes kulit: tes gores untuk mencari alergen penyebab. Ada korelasi yang baik antara tes kulit dengan alergen makanan seperti: susu, telor, coklat, ikan, kacang, udang, dan lain – lain apabila diameter bintul +/- 3 mm.
Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.
Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.
Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan 193
food chalenge didapatkan inflamasi/ atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE (dengan mikroskop imunofluoresen)
Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.
Diit coba buta ganda (Dauble blind food chalenge) untuk diagnosa pasti.
194
ALERGI MAKANAN
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA BANDING
No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 4/4
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gastrointestinal refluks, ulkus peptikum, sindrom malabsorbsi, gangguan psikologik, pankreatitis, keracunan obat (teofilin) Intoleransi makanan: reaksi non imunologik yang abnormal, namun masih merupakan reaksi fisiologik. Idiesinkrasi makanan: reaksi terhadap makanan tidak berlandaskan reaksi imunologik. Biasanya terhadap bahan pengawet atau bahan warna yang terkandung dalam makanan. Keracunan makanan: reaksi timbul dan mengenai semua yang makan makanan tersebut, karena makanan mengandung bahan toksik atau
PENATALAKSANAAN
terkontaminasi oleh bakteri yang membuat toksin. Diit Eliminasi Berdasarkan riwayat penyakit dan tes buta ganda, harus dievaluasi sesudah beberapa lama, kalau perlu konsultasi dengan ahli diit. Setelah diit selama 6 bulan dapat dirangsang dengan makanan diit coba (chalenge) lagi. Makanan yang boleh dimakan: nasi, pepaya, kambing, ayam, daging sapi, wortel, sayur, ubi, singkong, jagung, minyak, garam, gula, madu, dan cuka. Makanan yang tidak boleh dimakan : semua makanan yang dicurigai dapat menyebabkan reaksi alergi: merica, bumbu – bumbu dapur, kopi, teh, permen, udang, ikan laut, telor, coklat, dan sebagainya. Obat – obatan Antihistamin dapat dipakai Chlortrimetan 2 – 4 mg/ hari atau antihistamin lain, obat – obatan golongan adrenergik/ epinephrin 195
1/1000 0,3 cc/ subkutan: bila timbul reaksi anafilatik. Dapat diberi Kortikosteroid, Prednison 5 mg 3 x 1 – 2 tablet/ hari, kemudian dosis diturunkan.
196
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.319 .11.2007
PROSEDUR TETAP BATASAN
Tanggal terbit
No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu proses radang non supuratif yang mengenai glomeruli sebagai akibat infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A di tempat lain .
PATOFIOLOGI
Penyakit ini sering mengenai anak – anak dan dewasa muda. Sebagian besar ( +/- 75 % ) GNA pasca Streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1,2,4,12,18,25,49,55,56,57, dan 60. Sisanya timbul setelah infeksi kulit. 8 – 14 hari setelah infeksi
GEJALA KLINIS
Streptokokus timbul gejala – gejala klinis. Sembab preorbita pada pagi hari ( 75 % )
Malaise, sakit kepala, muntah, panas, dan anoreksia
Asites ( kadang – kadang )
Takikardia, takipneu, rales paru, adanya cairan dalam rongga pleura
Hipertensi ( T > 95 persentile menurut umur ) pada > 50% pendeirta
Air kemih merah seperti air daging, oligouria, kadang – kadang anuria
Pada pemeriksaan radiologis didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura dan kardiomegali
Laboratorium
Air Kemih : Proteinuria ringan ( pemeriksaan urine rebus ) 197
Hematuria makroskopis /mikroskopis Torak granular, torak eritrosit
Darah BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali ASTO > 100 satuan Todd Komplemer C3 < 50 mg/dl pada 4 minggu pertama Hipergamaglobulinemia, terutama IgG Anti DNA – ase beta dan properdin meningkat
[
198
GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.319.11.2007
PROSEDUR TETAP
Tanggal terbit
DIAGNOSA
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa GNA P – S dibuat berdasarkan :
Gejala klinis
Laboratorium Air kemih
DIAGNOSA BANDING
No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,
: harus lengkap Darah
: ASTO > 100 satuan Todd
dan C3 < 50 mg/dl Hematuria berulang dengan glomerulonefritis fokal (Ig A nefropati) yang ditandai dengan hematuria berulang asimptomatis tanpa penurunan fungsi ginjal dan adanya timbunan Ig A di glomeruli.
PENATALAKSANAAN
Hematuria berulang ringan
Purpura Henoch – schonlein
Glomerulonefritis progresif Tidak ada pengobatan spesifik
Penicilin procain 600.000 IU im selama 10 hari untuk memberantas infeksi Streptokokus beta hemolitikus group A
Istirahat total selama fase akut guna menghindari penyulit.
Hipertensi dan kelebihan cairan diatasi dengan obat – obatan anti hipertensi dan diit rendah garam
KOMPLIKASI
Penanganan payah jantung
Penanganan gagal ginjal akut Hipertensi ringan sampai berat ( Ensefalopati hipertensi )
Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume over load)
Gagal ginjal.
199
INFEKSI SALURAN KEMIH
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24
No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007
PROSEDUR TETAP BATASAN
No. Revisi 0
Tanggal terbit
Halaman 1/3
Ditetapkan Direktur,
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari urethra, buli – buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. Infeksi ini dapat berupa :
Pielonefritis akut
Pielonefritis kronis
Infeksi saluran air kemih berulang
Bakteriuria bermakna
PATOFISIOLOGI dan
Bakteriuria asimptomatis Infeksi dapat terjadi melalui penyebaran hematogen ( neonatus ) atau
ETIOLOGI
secara ascending ( anak – anak )
Faktor terjadinya infeksi adalah : fimosis, alir balik vesikoureter, uropati obstruktif, kelainan kongenital buli – buli atau ginjal dan diaper rash. Kuman penyebab infeksi saluran air kemih :
Kuman gram negatif : E. Coli, Klebsiella, Enterobacter,
Proteus dan Pseudomonas.
Staphylococcus, kuman anaerob, TBC, jamur, virus dan 200
bentuk L bakteri protoplas. GEJALA KLINIS
Gejala tergantung dari umur penderita :
0 – 1 : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan bulan
diare, kejang, koma, panas tanpa diketahui : sebabnya, ikterus (sepsis )
1 – 2
Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya,
bulan
gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), : air kemih berbau / berubah warna, kadang disertai nyeri perut/pinggang.
2 – 6 bulan
Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak : dapat menahan kencing, polakiuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta
6 – 18
anoreksia.
tahun
Nyeri perut / pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, enuresis, polakisuria, disuria, air kemih berbau dan berubah warna.
201
INFEKSI SALURAN KEMIH No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP
No. Revisi 0
Halaman 2/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS PEMERIKSAAN dan
Biakan air kemih :
DIAGNOSA
Dikatakan infeksi positif apabila : Air kemih tampung porsi tengah, biakan kuman positif dengan jumlah kuman > 10 /ml, 2 kali berturut – turut. Air kemih tampung dengan pungsi buli – buli supra publik, setiap kuman pathogen yang tumbuh pasti infeksi
Dugaan Infeksi
Pemeriksaan air kemih : adanya kuman, piuria, torak lekosit
DIAGNOSA BANDING
Uji kimia
: TTC,
Kataslase, glukoseria Yang penting adalah membedakan antara pielonephritis dan sistitis.
Pada pielonefritis predisposisi konsentrasi ginjal menurun, respon terhadap adanya faktor predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun, respon terhadap antibiotika kurang baik.
202
INFEKSI SALURAN KEMIH No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007
RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN
No. Revisi 0
Halaman 3/3
Ditetapkan Direktur,
Tanggal terbit
Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 3 prinsip penatalaksanaan infeksi saluran kemih :
Memberantas infeksi
Menghilangkan faktor predisposisi
Memberantas penyulit
Antibiotika
Neonalus
Ampicilin : 50 – 100 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 3 – 4 dosis
Gentamisin : 5 – 7 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 2 – 3 dosis
Tobramisin : 5 – 7 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 2 – 3 dosis
Anak
Cotrimaxazole : 4 – 8 mg TMP/kg BB/ 24 jam di bagi 2 dosis
Ampicillin
: 50 – 100 mg TMP/kg BB/
24 jam di bagi 3 – 4 dosis
Amoxicillin
: 50 – 100 mg TMP/kg BB/
24 jam di bagi 3 – 4 dosis
Cefalexin
: 50 – 100 mg TMP/kg BB/
24 jam di bagi 3 – 4 dosis
Asam nalidiksat
: 50 mg TMP/kg BB/
24 jam di bagi 3 dosis
Nitrofurantion
: 3 – 5 mg TMP/kg BB/ 24 203
jam di bagi 3 dosis KOMPLIKASI
Pieonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal, dan gagal ginjal ( Pielonefritis berulang timbul karena adanya faktor predisposisi ).
204
DAFTAR ISI Hal. COVER VISI, MISI DAN MOTTO RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO ……………………. KATA SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO …………….
I II
SK PEMBERLAKUAN PROSEDUR TETAP PENYAKIT DALAM ………………………………...
III
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………..
IV
Protap Tukak Peptik ……………………………………………………………………………………
1
Protap Demam Tifoid ( Typhoid, Typhus Abdominalis ) ……………………………………………
5
Protap Enselfalopati Hepatik …………………………………………………………………………..
8
Protap Sindroma Nefrotik ……………………………………………………………………………...
11
Protap Gagal Ginjal Kronis …………………………………………………………………………….
17
Protap Gagal Ginjal Akut ………………………………………………………………………………
22
Protap Sirosis Hati ……………………………………………………………………………………...
25
Protap Hepatitis Kronis Aktif …………………………………………………………………………..
31
Protap Hepatitis Kronis Lobuler ……………………………………………………………………….
35
Protap Hepatitis Kronis Persisten ( HKP ) …………………………………………………………...
36
Protap Hepatitis Virus Akut ……………………………………………………………………………
37
Protap Sindrom Kolon Iritatif …………………………………………………………………………..
43
Protap Kolitis …………………………………………………………………………………………….
45
Protap Karsinoma Kolorektal ………………………………………………………………………….
46
Protap Pankreatitis Kronis …………………………………………………………………………….
49
Protap Pankreatitis Akut ……………………………………………………………………………….
52
Protap Kanker Lambung ……………………………………………………………………………….
57
Protap Dispepsia Non Ulkus …………………………………………………………………………..
61
Protap Penyakit Refluks Gastro-Esopageal …………………………………………………………
63
Protap Gastritis ………………………………………………………………………………………….
65
Protap Hipertiroidi ( Tirotoksikosis ) …………………………………………………………………..
66
Protap Komplikasi Diabetes Mellitus …………………………………………………………………
68
Protap Diabetes Mellitus ……………………………………………………………………………….
76
Protap Anafilaksis ………………………………………………………………………………………
86 205
Protap Intoksikasi Obat Kuat ………………………………………………………………………….
90
Protap Intoksikasi Insektisida Fosfat organic ………………………………………………………..
97
Protap Intoksikasi Insektisida Hidrokarbon Klorin …………………………………………………..
101
Protap Keracunan Bahan Hipnotika-Sedativa Dan Analgetika ……………………………………
103
Protap Intoksikasi Bahan Korosif ……………………………………………………………………..
107
Protap Osteoartritis ……………………………………………………………………………………..
110
Protap Artritis Rematoid ………………………………………………………………………………..
112
Protap Rematik Non Artikuler ( RNA ) ………………………………………………………………..
114
Protap Kelainan Sudut Lumbosakral ( Unstable Pelvis ) …………………………………………..
117
Protap Difteri …………………………………………………………………………………………….
119
Protap Disentri Basiler ( Shigellosis ) ………………………………………………………………...
125
Protap Disentri Ameba ( Amebiasis ) ………………………………………………………………...
127
Protap Kolera …………………………………………………………………………………………...
129
Protap Alergi Obat ……………………………………………………………………………………...
131
Protap Alergi Terhadap Alergen Inhalan ……………………………………………………………..
136
Protap Alergi Makanan …………………………………………………………………………………
140
Protap Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus ………………………………………………...
144
Protap Infeksi Saluran Kemih ………………………………………………………………………....
146
206