Protap Penyakit Dalam Sdh ~ Ctk Jd .rtf

  • Uploaded by: mey
  • 0
  • 0
  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Protap Penyakit Dalam Sdh ~ Ctk Jd .rtf as PDF for free.

More details

  • Words: 28,393
  • Pages: 206
TUKAK PEPTIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 1/4 Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kerusakan atau hilangnya jaringan dari mukosa, submukosa, sampai ke muskularis mukosa di daerah saluran makanan bagian atas, berbatas tegas, dan ada hubungannya dengan cairan asam

PATOFISIOLOGI

lambung serta pepsin. Tukak peptik timbul akibat gangguan keseimbangan antara asam lambung – pepsin dan daya tahan mukosa. Dibedakan dua bentuk tukak petik, yaitu tukak duodenum dan tukak lambung. Tukak duodenum :Pada umumnya terdapat hipersekresi asam dan pepsin karena jumlah sel parietal lebih banyak. Tukak lambung

:biasanya sekresi asam normal atau hiperkhlor – hidria; faktor utama adalah turunnya daya tahan mukosa.

GEJALA KLINIS

DIAGNOSA

Beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya tukak adalah adanya riwayat keluarga mengidap tukak peptik, atau penderita dengan penyakit paru kronis, sirosis hati, penyakit ginjal kronis, merokok, minum alkohol, dan obat – obatan terutama anti – inflamasi konsteroid serta analgesik. Faktor resiko lainnya untuk tukak duodenum ialah golongan darah O. Nyeri perut di daerah epigastrium yang sifatnya khas, berlangsung kronis, periodik dengan masa remisi dan eksaserbasi silih berganti, ritmik (hunger pain, food relief) kualitas seperti ditusuk atau rasa panas. Nyeri biasanya berkurang dengan pemberian antasida; dapat disertai dengan anoreksia, mual, muntah. Anamnesia tentang keluhan dan gejala yang dialami penderita sangat penting, pada pemeriksaan fisik mungkin hanya didapatkan nyeri tekan epigastrum. Pemeriksaan diagnostik yang diperlukan ialah endoskopi saluran makanan bagian atas. Bila fasilitas peralatan tidak 1

memungkinkan dapat dilakukan foto barium saluran makanan bagian atas, sensitifitas diagnosis berkisar antara 75 – 90 %. Pemeriksaan endoskopi penting untuk membedakan tukak jinak atau ganas, dan DIAGNOSA BANDING

sekaligus dapat melakukan biopsi untuk pemeriksaan histopatologi.  Dispepsia fungsional  Pankreatiti  Kanker lambung s akut  Gastritis  Kolesistitis  Kolangitis

[[

2

TUKAK PEPTIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tujuan terapi pada tukak peptik adalah meredakan keluhan, menyembuhkan tukak yang aktif, mencegah kekambuhan dan komplikasi, meminimalkan dampak sosial ekonomi akibat sakit. 1. Merubah cara hidup Menghentikan kebiasaan merokok, minum alkohol, serta obat – obatan yang dapat mengganggu saluran makanan terutama aspirin dan golongan nonsteroid anti inflamasi lainnya. 2. Terapi dengan obat 2.1 Pengobatan awal Tahap awal pengobatan mengupayakan pH lambung sekitar 5 tingkat keasaman optimal untuk penyembuhan tukak. Obat yang digunakan meliputi antasida, antagonis reseptor H2, inhibitor K – H – ATPase, antikolinergik. Obat lainnya yang dapat diberikan ialah obat yang memperbaiki ketahanan mukosa, sedativa atau antidepresi. Pada tukak lambung lama pengobatan awal 12 minggu, dan tukak duodenum 8 minggu. Setelah itu dilanjutkan dengan pengobatan pemeliharaan. 2.2 Pengobatan pemeliharaan Diberikan obat dengan dosis separoh dari dosis awal selama 6 sampai 12 bulan. Contoh obat: 1) Tablet Antasida DOEN (Aluminium Hidroksida 200 mg atau Magnesium Hidroksida 200 mg), diberikan sehari 6 - 7 kali 2 tablet yakni 1 jam dan 3 jam setelah makan, dan sebelum tidur malam hari. 2) Antagonis reseptor H2 a. Tabet Simetidin 3 – 4 x 200 mg atau 2 x 400 mg per hari atau 800 mg malam hari. b. Tablet Ranitidin 2 x 150 mg atau 300 mg malam hari. c. Tablet Famotidin 2x20 mg atau 10 mg malam hari.

3

3) Inhibitor K – H – ATPase Diberikan Omeprazol 1 kapsul 20 mg tiap pagi, terutama digunakan untuk tukak. Duodenum: khasiat menekan sekresi asam lambung sangat kuat, dapat memberi kesembuhan lebih dini; pengobatan tahap awal hanya diberikan selama 4 minggu; sementara ini tidak digunakan untuk terapi pemeliharaan. 4) Antikolinergik Tablet Pirenzepin dengan dosis 2 x 50 mg, efek menekan sekresi asam lemah. 5) Memperbaiki ketahanan mukosa. Obat yang dapat digunakan : Sukralfat, Bismut subsitrat, dan Karbenoksolon. Di Indonesia Karbenoksolon tidak diedarkan, dan karena banyaknya efek samping jarang digunakan lagi. 6) Derivat Prostagladin Di Indonesia belum beredar. 3. Pembedahan Bila terjadi komplikasi atau pada tukak yang “intractable”

4

TUKAK PEPTIK No. Dokumen RSU.A.j.279.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

KOMPLIKASI

  

Perdarahan Perforasi Obstruksi/ stenosis pilorik.

5

DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominalis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISIOLOGI

GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi akut dengan demam, yang disebabkan oleh kuman Salmonella typhi.  Salmonella typhi kuman Gram negatif, dapat hidup lama dalam air kotor, makanan yang tercemar dan alas tidur yang kotor.  Setelah penularan per oral, S. typhi berkembang biak di usus halus dan kolon, menyebabkan radang plaque Peyer, dan menjalar melalui saluran limfe ke aliran darah.  Setelah bakteriemi Pertama, S. typhi berkembang biak di sistem retikuloendotelial menyebabkan bakteriemi kedua dan menimbulkan gejala – gejala penyakit.  Pada dinding ileum terjadi ulkus, yang dapat menyebabkan perdarahan atau perforasi intestinal.  Monosit memfagositosis S typhi dan membebaskan pirogen endogen, yang menyebabkan demam.  S. typhi mengandung 3 jenis antigen: antigen O dalam dinding sel kuman, antigen H dalam flagelum, dan antigen Vi dalam lapisan luar, yang meliputi dinding sel kuman.  Antigen O, H dan Vi menyebabkan sel retikuloendotelial memproduksi antibodi (Aglutinin) O, H dan Vi.  Masa tunas rata – rata 14 hari.  Gejala klinis sangat bervariasi dan tidak spesifik  Demam, bradikardi relatif, nyeri kepala, nyeri perut, obstipasi  Nyeri tekan perut kanan bawah, hapatomegali, splenomegali, meteorismus.  Akhir minggu pertama timbul roseola (rose spots) pada kulit dada atau perut (jarang ditemukan pada kulit yang berwarna gelap).  Pada tingkat yang lebih lanjut/ berat, kesadaran menurun atau terdapat delirium. Waktu penyembuhan demam turun dan gejala – gejala menghilang.

6

DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominlis) No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA

Tanggal terbit

        

DIAGNOSA BANDING



 

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Jumlah leukosit normal/ leukopenia/ leukositosis Anemia ringan, LED meningkat, SGOT, SGPT dan fosfatase alkali meningkat. Dalam minggu pertama biakan darah S. typhi positif 75 – 85 %, dalam minggu – minggu berikutnya biakan darah positif berkurang. Biakan tinja positif dalam minggu kedua dan ketiga. Biakan sumsum tulang seringkali positif, walaupun biakan darah negatif. Pada reaksi Widal titer aglutinin O dan H meningkat sejak minggu kedua dan tetap positif selama beberapa bulan/ tahun. Satu diantara tiga penderita demam tifoid tidak menunjukkan kenaikan titer reaksi Widal. Kenaikan titer reaksi Widal empat kali lipat pada pemeriksaan ulang memastikan diagnosa. Titer reaksi Widal di atas 1 : 200 menyokong diagnosa. Penyakit infeksi Malaria, infeksi saluran kemih, meningitis, pneumonia, tb paru, pleuritis Penyakit keganasan Leukemia, karsinoma Penyakit kolagen Demam rematik, eritematosus lupus sistemik.

7

DEMAM TIFOID ( Typhoid, Typhus Abdominlis) No. Dokumen RSU.A.j.280.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENATALAKSANAAN

  

KOMPLIKASI

       

Tirah baring Diit lunak atau diit padat rendah selulosa (pantang sayuran dan buah – buahan), kecuali pada komplikasi intestinal. Obat – obat 1. Antimikroba  Kloramfenikol 4 x 500 mg sehari oral/ intravena  Tiamfenikol 4 x 500 mg sehari oral  Kotrimoksazol 2 x 2 tablet sehari oral (1 tablet = sulfametoksazol 400 mg + trimetoprim 80 mg) atau dosis yang sama intravena, dilarutkan dalam 250 ml cairan infus.  Ampisilin atau Amoksisilin 100 mg/ kg BB sehari oral/ intravena, dibagi dalam 3 atau 4 dosis.  Antimikroba diberikan selama 14 hari atau sampai 7 hari bebas demam. 2. Antipiretika seperlunya, misalnya Parasetamol 3 x 500 mg 3. Vitamin B kompleks dan vitamin C 4. Mobilisasi bertahap setelah 7 hari bebas demam. Perdarahan intestinal Perforasi intestinal Ileus paralitik Renjatan septik Pielonefritis Kolesistitis Pneumonia Miokarditis

8

[

ENSELFALOPATI HEPATIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN

PATOFISIOLOGI

No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu sindrom neuropsikiatrik sekunder karena: 1. Penyakit hati akut  Hepatitis Fulminan Akut  Hepatitis Toksik  Perlemakan hati pada kehamilan 2. Penyakit hati menahun  Sirosis hati Faktor yang mempengaruhi timbulnya Ensefalopati Hepatik: 1. Faktor Endogen = primer 2. Faktor Eksogen = sekunder Faktor endogen : menjeleknya fungsi hati misalnya pada hepatitis fulminan akut. Faktor eksogen: 1. Kelebihan protein dalam usus 2. Perdarahan masif/ shock hipovolemik 3. Sindrom alkalosis hipokalemik  Akibat diuretik  Akibat parasentesis yang cepat 4. Pengaruh obat – obatan  Penenang  Anestetik/ narkotik 5. Adanya katabolisme jaringan yang berlebihan  Infeksi yang berat 6. Konstipasi  Belum jelas terungkapkan  Diduga banyak faktor yang ikut berperan  Retensi dari metabolik toksik, misalnya amonia, merkaptan, fenol, asam lemak, oktopamin, feniletanolamin masih diragukan peranannya.  Akhir – akhir ini dihubungkan dengan GABA (Gamma Amino Butiric Acid) sebagai Neuro Transmitter palsu yang ikut berperan dalam patogenesa ensefalopati hepatik.

9

ENSELFALOPATI HEPATIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS GEJALA KLINIS

Sindroma ini terdiri atas  Kelainana neurologik  Kelainan mental  Kelainan rekaman EEG Terdiri atas 4 derajat Derajat 1:  Euforia/ kadang – kadang depresi  Kebingungan ringan dan berfluktuasi  Gangguan pembicaraan  Gangguan irama tidur Derajat 2:  Lambat bereaksi  Mengantuk  Disorientasi  Amnesia  Gangguan kepribadian  Asteriksis  Refleks hipoaktif  Ataksia Derajat 3:  Tidur yang dalam  Sangat pusing  Refleks hiperaktif  Flapping tremor Derajat 4:  Tidak bereaksi pada rangsangan apapun  Refleks okuler yang lemah  Kekakuan otot  Kejang menyeluruh

10

[

ENSELFALOPATI HEPATIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.281.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENATALAKSANAAN

Akut: 1. Atasi faktor – faktor pencetus  Perdarahan Tranfusi darah  Infeksi Antibiotika  Alkohol Hentikan  Gangguan keseimbangan elektrolit Koreksi 2. Pengosongan usus dari bahan – bahan yang mengandung Nitrogen.  Stop obat – obatan yang mengandung Nitrogen  Enema 3. Diit tanpa protein 4. Sterilisasi usus dengan Neomisin/ Kanamisin oral 5. Stop Diuretik/ pemeriksaan elektrolit serum 6. Pertahankan keseimbangan kalori, cairan, elektrolit Menahun: 1. Hindari obat – obat yang mengandung Nitrogen 2. Diit miskin protein (50 gram/ 24 jam) 3. Laktulosa 10 – 30 ml 3 kali sehari 4. Dapat dicoba dengan Bromokriptin.

11

SINDROMA NEFROTIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi Halaman 0 1/6 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis yang ditandai oleh proteinuria, hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia, dan sembab. Kadang – kadang disertai hematuria, hipertensi dan menurunnya kecepatan filtrasi

ETIOLOGI

glomerulus (GFR). Terdapat dua jenis sindroma nefrotik: 1. Sindroma nefrotik primer: Sindroma nefrotik jenis ini timbul sebagai akibat dari kelainan primer pada glomerulus 

Sindroma nefrotik kongenital



Sindroma nefrotik idiopatik:  Sindroma nefrotik kelainan minimal  Sindroma nefrotik dengan kelainan PA yang lain

2. Sindroma nefrotik sekunder Sekunder nefrotik jenis ini timbul sebagai akibat penyakit sistemik 

Penyakit keturunan/ metabolik  Diabetes  Amiloidosis  Miksedema  Sindroma Alport



Infeksi  Virus hepatitis B  Malaria  Lepra  Sifilis  Pasca streptokokus 12

Toksin/ allergi



 Air raksa  Serangga  Bisa ular Penyakit sistemik/ immune mediated:



 Lupus eritematosus sistemik  Purpura henoch – schonlein  Sarkoidosis Keganasan



 Tumor paru  Penyakit Hodgkin  Tumor saluran pencernaan SINDROMA NEFROTIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

PATOFISIOLOGI

No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 2/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sindroma nefrotik primer biasanya menyerang pertama kali pada usia <= 6 tahun. Permeabilitas glomerulus meningkat ----- protenuria masif ----hipoproteinemia----- tekanan onketik plasma menurun ----- Pergeseran cairan dari intravaskuler ke interstitial. Volume plasma, curah jantung dan kecepatan filtrasi glomerulus berkurang ----- retensi natrium. Penurunan volume plasma merangsang aldosteron ----- resorbsi natrium dan air di tubuli meningkat. Sembab timbul karena bocornya cairan melalui membran kapiler dan retensi cairan. Penurunan volume intravaskuler dapat menimbulkan renjatan. 13

Kadang-kadang terjadi hipertensi. Sesak dapat timbul karena adanya cairan dalam rongga pleura. Hipoalbuminemia disebabkan oleh hilangnya albumin melalui air kemih, berkurangnya sintesa protein, katabolisme, dan pelepasan protein ekstra renal. Kadar albumin plasma yang rendah merangsang sintesa protein di GEJALA KLINIS

hati, disertai peningkatan sintesa lipid, lipoprotein dan trigliserida. - Sembab ringan : Kelopak mata bengkak. -

Sembab berat : anasarka, ascites, pembengkakan skrotum

atau labia, hidrotoraks sembab Paru -

Kadang sesak karena hidrotoraks atau diafragma letak tinggi

(ascites ). -

Kadang – kadang hipertensi

14

SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 3/6

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA

Diagnosa di buat berdasar : 

Gejala klinis, pemeriksaan fisik, thorax foto



Laboratorium :  Proteinuria Hasil pemeriksaan dianggap mempunyai nilai diagnostik apabila ekskresi protein melalui air kemih > 50 mg/kg BB/24 jam. Jenis protein yang keluar terutama albumin. Ada 2 cara pengukuran proteinuira : Reaksi Esbach

: kuantitatif ( gram/liter/24 jam )

Uji Rebus

: kualitatif (albumin )

Seangin

: +/- 10mg/dl

+1

: +/- 30mg/dl

+2

: +/- 100mg/dl

+3

: +/- 300mg/dl

+4

: +/- 1000mg/dl

 Hipoalbuminemia Dikatakan hipoalbuminemia apabila kadar albumin plasma <2,5 g/dl.  Hiperkolesterolemia Kadar kolesterol meningkat Kadar lipoprotein densitas sangat rendah ( VLDL ) meningkat. Kadar lipoprotein densitas rendah (LDL ) meningkat. 

Biopsi Ginjal : 15

Biopsi ginjal diperlukan untuk menentukan jenis kelainan PA secara pasti apabila secara klinis tipe “ Kelainan minimal “ tidak dapat ditegakkan. Indikasi biopsi :  Umur <2 tahun atau >6 tahun  Tidak remisi dengan induksi prednisone  Sering relaps  Hipertensi  Hermaturia  Fungsi ginjal menurun

16

SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 4/6

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA BANDING

PENATALAKSANAAN



Glomerulonefritis Akut



Malnutrisi



Sembab karena alergi

 

Payah jantung kongestif Umum  Diet Tinggi protein Rendah garam ( pada stadium sembab dan selama diberi steroid ) Cairan terbatas ( pada stadium sembab dan hipernatremia ) Vitamin D dan Calsium  Aktifitas Tirah baring : Pada stadium sembab Bila ada hipertensi Bila ada bahaya trombosis Bila relaps Lingkungan sosial harus normal, hindarkan stres psikologis Rawat inap untuk mengatasi penyakit Setelah pulang perlu kontrol teratur  Deuretika Deuretika diberikan apabila ada sembab yang hebat untuk menghindarkan retensi natrium ----- furosemida : 1 – 2 mg/kg BB/dosis 2 - x/24 jam 17



Khusus  Prednisone Dosis induksi : 2 mg/kg BB/24 jam atau 60 mg/M2//24 jam dibagi 3 dosis selama 4 minggu maksimum 80 mg/24 jam Bila terjadi remisi : 2 mg/kg BB/24 jam dosis tunggal pagi hari setiap 48 jam sekali selama 4 minggu Tappering off : Dosis dikurangi 0,5 mg/ kg BB/ setiap 2 minggu Lama tappering off 2 – 4 bulan Bila terjadi relaps : Diberikan dosis induksi ( dosis awal ) sampai 7 hari air kemih bebas protein, dilanjutkan seperti protokol pengobatan diatas.  Sitostatika : Indikasi pemberian sitostatika adalah resistensi terhadap prednisone atau adanya efek samping obat  Agent alkilating

: Siklofosfamid 2 mg/kg BB / 24 jam dibagi 3 dosis selama 6 – 8 minggu

 Antimetabolit

: Asatriopin 2 mg/kg BB /24 jam di bagi 3 dosis selama 6 – 8 minggu

18

SINDROMA NEFROTIK No. Dokumen RSU.A.j.282.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP KOMPLIKASI

No. Revisi 0 Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit 

Halaman 6/6

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Renjatan karena sepsis, emboli, atau hipovalemia karena ascites yang timbul mendadak

PROGNOSA



Trombosis karena hiperkoagulitas



Infeksi

 

Hambatan pertumbuhan Sindroma nefrotik primer jenis kelainan minimal : baik



Glomerulosklerosis

segmental

fokal

dan

glomerulonefritis

membranoproliferatif : kurang baik.

19

GAGAL GINJAL KRONIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007

PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/5

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis yang dikaitkan dengan mundurnya faal ginjal (unit nefron) yang sifatnya progresif atau menetap, dengan akibat menumpuknya sisa metabolit (toksin uremik).

PATOFISILOGI

Toksin uremik adalah bahan yang dituduh sebagai biang keladi sindrom klinis uremia. Toksin uremik yang telah diterima : H2O, Na, K, H, P anorganik, PTH, renin. Yang belum diterima : BUN, kreatinin, asam urat, guanidin, iniddle molecule, dan sebagainya. Menurutnya fungsi nefron (GFR) yang sifatnya menetap atau progresif akan diikuti mekanisme kompensasi dan adaptasi. Mula – mula asimptomatik, GGK tanpa keluhan dan gejala, hanya kebetulan waktu pemeriksaan laboratorium BUN dan kreatinin telah meninggi. Berlangsung berbulan-bulan sampai beberapa tahun (Kliren > 20 %). Keadaan lanjut (Kliren 5 – 20 %) toksin uremik makin menumpuk sehingga timbul GGK simptomatik dengan keluhan gangguan fungsi berbagai organ antara lain : keluhan gastrointestinal, susunan saraf pusat,

neurologik,

kardiovaskuler,

paru,

hematologik,

endokrin/metabolik, dermatologi. Pada saat kliren < 5 % GGK sudah stadium terminal

(GGT) sehingga penderita harus dilakukan

hemodialisis (HD) untuk kelangsungan hidupnya.

20

GAGAL GINJAL KRONIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007 Tanggal terbit - Gastro intestinal - SSP / neurologik

- Kardiovaskuler - Hematologik - Endokrin/metabolik - Dermatologik

No. Revisi 0

Halaman 2/5

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS : anoreksia, nausea, muntah, hematemesis, melena. : lelah, malas, insomnia, sakit kepala, kejang-kejang, koma, fasikulasi otot, mioklonus, neuropati perifer, perubahan perilaku. : Hipertensi, payah jantung kongestif, perikarditis/miokarditis uremik. : anemia, diatesis hemoragik. : hiper/hipoglikemia, hiperlipidemia, tipe IV, hiperparatiroidis-me, disfungsi seks/ menstruasi, retardasi pertumbuhan badan. : kulit kering, gatal.

21

GAGAL GINJAL KRONIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PEMERIKSAAN DAN DIAGNOSA

DIAGNOSA BANDING

No. Revisi 0

Halaman 3/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Buktikan bahwa kelainan tersebut kronis : A. Anamnesa : Riwayat keluarga yang positif, misalnya : DM, pirai, batu ginjal, hipertensi. Obat nefrotoksik jangka lama (analgesik, anti reumatik, antibiotik). Keluhan –keluhan umum yang tidak spesifik. B. Diagnosa Fisik : tergantung penyakit dasar (DM, hipertensi, ginjal polikistik, SLE). C. Laboratorium : Pemeriksaan urine lengkap, proteinuria, hematuria, leukosituria, silinderuria. Faal ginjal : BUN, Kreatinin, asam urat, K, Na, Cl, HCO3, Kliren Kreatinin, Ca/P. D. Kronisitas GGK : dapat dilihat dari anemia normokrom normositer, trombositopenia, Ca turun, P. naik, hiperurisemia, radiologik ukuran ginjal mengecil. E. Radiologi IV P : menilai ukuran ginjal, adanya batu, adanya obstruksi, hipertrofi prostat, kelainan anatomi. Bila kreatinin > 6 mg %, BUN > 60 %, IV P dengan teknik infus. USG lebih aman dan tidak invasif Minimal dilakukan foto polos abdomen. Koma uremik harus di DD dengan kelainan SSP yang lain (ensefalitis, CVA, dan sebagainya). Edema anasarka harus di DD dengan akibat payah jantung atau payah hati kronis (sirosis). Masalahnya ialah mencari penyakit dasar. -

22

GAGAL GINJAL KRONIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.283.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tujuan : Pengobatan konservatif GGK ialah menunda saat dialisis atau transplantasi dengan memperlama periode asimptomatik. Cara : Memperbaiki faktor-faktor yang reversibel, treatable, dan mencegah menumpuknya toksin uremik dengan diit dan obat-obatan, memperbaiki penyakit dasar, mengatasi keluhan dan gejala dengan obat-obatan, mencegah/menghindari tindakan-tindakan yang menambah kerusakan ginjal lebih lanjut. Mencegah timbulnya penyulit yang memperjelek GGK. 1. Hati-hati terhadap obat nefrotoksik : NSAID jangka lama, kombinasi aminoglikosida sefalosporin dengan furosemid. 2. Hindari dehidrasi, hipovolemia, hipotensi, anti hipertensi yang terlalu kuat, diuretik yang berlebihan, pantang air dan garam yang terlalu ketat, keseimbangan cairan yang baik. 3. Hindari gangguan elektrolit. 4. Hindari undernutrition akibat diit yang terlalu ketat, rendah protein yang berlebihan. 5. Hindari kehamilan 6. Hindari kateterisasi urine yang tidak perlu, (bahaya ISK dan urosepsis), hindari kontras urografin pada penderita DM, MM, dehidrasi, hiperurisemia. 7. Obati dekompensasi jantung, agar CO membaik. Memperlambat Progresivitas GGK. 1. Kendalikan tekanan darah, hipertensi maligna 2. Obati ISK dengan antibiotik non-nefrotoksik yang sesuai. 3. Obat nefrotoksik diberikan dengan dosis interval berdasarkan kliren kreatinin. 4. Obati hiperfosfatemia, mencegah hiperparatiroidisme. Cara : diit rendah fosfat, obat pengikat fosfat (phosphate binder’s) 5. Hiperurisemia dengan keluhan sendi harus diobati. Hiperuresimia berat pada GGK dapat menyebabkan pembuntuan tubulus, inflamasi interstitial sehingga menjadi jaringan ikat. Diit rendah purin, obat alopurinol. 6. Asidosis metabolik diobati dengan Na-HCO3 tablet/intravena, air 23

soda. Mengurangi gejala Uremia Semua keluhan dan gejala dapat diobati secara simptomatik. 1. Diit rendah protein GFR 5-10 % : 40-50 gram/hari, GFR 4-5 % : 20-30 gram/hari. Kalori harus > 2500 kal/hari. 2. Asam amine esensial. 3. Gatal (pruritus) : TKRP, radiasi UV, difenhidramin, paratiroidektomi, transplantasi ginjal. 4. Keluhan GI : anoreksia, mual, muntah, kadang-kadang membaik dengan diit TKRP, memperbaiki asidosis dengan NaHCO3, obat anti muntah. 5. Keluhan neuromuskuler : lelah, parastesia, kram, diberi vitamin B1, B 6, B12 dosis tinggi, diazepam. 6. Anemia : preparat Fe, asam folat, nandrolon dekanoat, hormon anabolik untuk stimulasi eritropoetin. 7. Osteodistrofi Renal : Koreksi asidosis, obat pengikat fosfat, suplementasi kalsium, vitamin D3. Penyakit GGK yang Reversibel Nefropati obstruktif, nefropati analgesik, nefropati toksik, sindrom nefrotik dengan perubahan minimal & nefropati membranous, nefropati hipertensif, nefritis pasca infeksi, nefritis lupus, nefropati sekunder oleh karena hiperkalsemia, hiperurisemia, dan hipokalemia, angiitis & vaskulitis oleh karena hipersensitivitas, penyakit ginjal sekunder oleh karena trombosis vena renalis dan atau vena kava inferior. Kelainan Akut yang dapat mencetuskan GGK yang sudah ada. 1. Gangguan keseimbangan H2O dan elektrolit : dehidrasi, defisit Na, Hiponatremia, Hipokalemia. 2. Gangguan hemodinamik: payah jantung kongestif, hipotensi, shock. 3. Infeksi sistemik atau renal (bakterial atau viral). 4. Bahan nefrotoksik : obat-obatan, bahan kimia, aminoglikosida, sefalosporin, amfoterisin B, bahan-bahan kontras radiologi, dan sebagainya. 5. Hipertensi Maligna. 6. Gangguan metabolik : Hiperkalsemia, hiperurisemia, hiperoksaluria. 7. Nefropati abstruktif & nefrolitiasis.

24

[

GAGAL GINJAL AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu keadaan klinis di mana faal ginjal (GFR) turun secara mendadak oleh sebab-sebab pre-renal, renal, pasca renal.

PATOFISIOLOGI

Klinis ditandai dengan turunnya produksi urine secara mendadak ( <= 400 ml/24 jam) disertai tanda – tanda uremia yang lain, selalu didapat kenaikan kreatinin serum. Dapat juga terjadi uremia non – oliguria. Empat faktor utama ialah : 1. Iskemia korteks ginjal 2. Obstruksi tubulus 3. Back leak dari filtrat 4. Penurunan koefisien ultrafiltrasi glomeralus ( Kf ) Adalah dasar potofisiologi dari GGA tergantung penyebabnya pre – renal, renal, atau pasca renal. GGA Pre – Renal A. Penurunan Volume intravaskuler : kehilangan darah atau plasma ( perdarahan, akut, luka bakar, dan sebagainya ). B. Kenaikan permeabilitas vaskuler : sepsis, anafilaksis. C. Penurunan curah jantung ( CO ) : Payah jantung kongestif, infark jantung, emboli paru. GGA Renal A. Akibat penyakit ginjal primer : GNA, nefrosklerosis, hipertensi maligna. B. Nefritis interstitialis akut karena alergi obat : Ampisilin, Furosemid, NSAID, dan sebagainya. C. Nekrosis Tubuler Akut ( NTA ) / Nefropati Vasomotor Akut. Etiologi NTA :  Tipe iskemik, merupakan kelanjutan GGA Pre – Renal  Tipe toksik akibat bahan nefrotoksik, aminoglikosid, merkuri, dan sebagainnya.  Kombinasi iskemik – toksik, akibat mioglobinuria, hemolisis, intravaskuler pigmen, malaria, sepsis pada abortus. GGA Pasca – Renal Umumnya akibat obstruksi aliran urine karena batu, hipertrofi prostat, karsinoma fibrosis retroperitoneal, sehingga tekanan intratubuler 25

meningkat dan timbul vasokonstriksi ginjal dengan akibat GFR menurun. GAGAL GINJAL AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP GEJALA KLINIS PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tergantung penyebab dari penyakit dasar ditambah tanda-tanda klinis uremia yang lain, hanya saja terjadinya secara akut. Diarahkan kepada penyebab pre – renal, renal, pasca – renal. A. Anamnesa, terhadap etiologi obat nefrotoksik, anamnesa batu injal, pirai, gangguan miksi pria usia lanjut ( BPH ). B. Dianoksa fisik : tensi, nadi, turgor, tekanan vena sentral, irama gallop suara jantung, kesadaran menurun. Serta tanda – tanda klinis penyakit dasar yang lain. C. Laboraorium : pemeriksaan urine lengkap, BJ urine. Darah : BUN, Kreatinin, K, Na CL, HCO3, Bj Plasma. DD Albuminuria Oliguria BJ Urine Sedimen Osmolaritas (mOsm/L) U Osm/p Osm Urin Na (Meq/L) U kreatinin/ P kreatinin

Pre – renal +++ >1.020 Normal > 400 > 1.5 < 20 > 30/L

Renal ( NTA ) + +++ 1.010 – 1.012 Sel epitel silinder Isosmotik 1 – 1.5 > 40 < 20/L

26

GAGAL GINJAL AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.284.11.2007

PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit 1. 2.

3. 4. 5. 6.

7. 8. 9.

KOMPLIKASI

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pengobatan di tujukan pada penyebab dari penyakit dasar pre – renal, renal, pasca renal. Memperbaiki keadaan umum, pemberian balans cairan yang baik Monitor CVP, BJ plasma, produksi urin 24 jam, CO/hemodinamik. Atasi infeksi dengan obat non – nefrotoksik. Kalori tinggi >2500 kal/hari, rendah protein 0,3 – 0,5 gram/kg BB/hari. Infus asam amino esensial Furosemid dosis tinggi tidak merubah perjalanan GGA, tetapi memudahkan pengaturan keseimbangan cairan. Furosemid baru diberikan bila bukan GGA pasca – renal. Dapat pula digunakan Mannitol ( awas edema paru akut pada penderita yang sudah dengan payah jantung kiri. Memperbaiki asam basa dengan Na – HCO3 per oral/intravena Memperbaiki keseimbangan elektrolit K/Na, terutama pada fase poliuria. Hemodialisis dini atas indikasi : Hiperkalemia, asidosis berat, uremia yang berat, overhidrasi, perikarditis, uremia, BUN > 100 mg%, kreatinin >10 mg %, K> 7 mEq/ liter, HCO3 < 12 mEq/liter.  Datang terlambat sehingga kelainan ireversibel  Kelainan metabolik yang lanjut  Overload syndrome  Hiperkalemia, cardiac arrest  Infeksi nosokomial.

27

SIROSIS HATI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu fase lanjut dari penyakit hati dimana seluruh kerangka hati menjadi rusak disertai dengan bentukan–bentukan regenerasi

KLASIFIKASI

nodul. 1. Klasifikasi Marfologik. a. Sirosis mikronoduler b. Sirosis makronoduler c. Sirosis makro dan mikronoduler d. Sirosis multilobuler 2. Klasifikasi Etiologik. a. Sirosis karena infeksi virus B, Non A Non B b. Sirosis karena alkohol c. Sirosis karena gangguan nutrisi d. Sirosis bilier primer dan sekunder e. Sirosis karena penyakit genetik f. Sirosis kongestif g. Sirosis kriptogenik h. Sirosis Indian Childhood i. Sirosis granulomatosis j. Sirosis karena obat-obatan.

28

SIROSIS HATI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gambaran klinis sirosis hati dibagi dalam dua stadium : 1. Sirosis kompensata dengan gejala klinis yang belum tampak. 2. Sirosis dekompensata dengan gejala klinis yang jelas. Manifestasi klinis dari sirosis bersumber dari dua kegagalan fundamental yakni : - Kegagalan parenkim hati. - Hipertensi portal - Pada stadium kompensata diagnosa sirosis ditegakkan secara kebetulan pada saat mengevaluasi faal hati pada penderita hepatitis kronis. Keluhan subyektif baru timbul bila sudah ada kerusakan sel – sel hati, umumnya berupa penurunan nafsu makan, mual, kembung, sebah, kelemahan, dan malaise. Kelemahan otot dan cepat lelah sering dijumpai pada sirosis dekompensata akibat kekurangan protein dan adanya cairan dalam otot penderita. - Kegagalan parenkim hati ditandai dengan produksi yang rendah, gangguan mekanisme pembekuan darah, gangguan keseimbangan hormonal ( eritema, palmaris, spider nevi, ginekomasti , atrofi testis, gangguan siklus haid). - Kekuningan tubuh atau ikterus biasanya meningkat pada proses yang aktif, yang sewaktu – waktu dapat menghebat dan terjun pada fase prekoma dan koma hepatikum ( ensefalopati hepatik ) bila penderita tidak mendapat perawatan yang intensif. - Hipertensi portal umumnya timbul bila tekanan sistem portal melebihi 10 mm Hg. Ditandai dengan splenomegali, asites dan kolateral. Umumnya penderita sirosis dirawat karena timbul penyulit berupa perdarahan saluran makan bagian atas akibat pecahnya varises esofagus, asites yang hebat, dan ikterus yang dalam. Laboratorium : Pada sirosis kompensata perubahan dari tes faal hati hanya minimal , terkadang hanya didapatkan peningkatan dari tes retensi BSP. Pada sirosis dekompensata ( aktif ) sering dijumpai peningkatan bilirubin serum, albumin darah yang rendah, globulin-gamma yang meningkat, waktu protombin yang memanjang, dan gangguan kompleks protombin. Bila timbul hipersplenisme maka dijumpai anemia normokrom 29

normositer, trombositopenia dan lekopenia. Terkadang jenis anemia lainnya seperti anemia hipokrom mikrositer karena perdarahan kronis dan anemia makrositer karena defisiensi asam folat dapat dijumpai pada penderita sirosis hati.

30

SIROSIS HATI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa sirosis hati di tegakkan atas dasar :  Anamnesa  Pemeriksaan fisik  Kelainan laboratorium Sarana diagnostik penunjang lainya adalah :  Foto saluran makan bagian atas untuk mendeteksi varises esofagus dan kelainan pada lambung  Endoskopi serat optik untuk pembuktian adanya varises  Peritoneoskopi Diagnosa pasti di tegakkan dengan biopsi hati :  Membuta  Tuntunan USG/peritoneoskopi

31

SIROSIS HATI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 5/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Umum :  Sekali diagnosa sirosis hati ditegakkan,prosesnya akan berjalan terus tanpa dapat dibendung. Usaha – usaha yang dapat dilakukan hanya bertujuan untuk mencegah timbulnya penyulit – penyulit. Membatasi kerja fisik, tidak minum alkhohol, dan menghindari obat – obatan dan bahan – bahan hepatotoksik merupakan suatu keharusan.  Diit yang kaya kalori dan kaya protein ( kecuali bila ada penyulit ansefalopati hepatik ).  Bila ada edema dan asites : 1. Istirahat, mengurangi aktivitas fisik 2. Diit kaya kalori kaya protein, miskin garam ( 300 – 500 mg/hari ) 3. Pembatasan cairan ( 1 liter/hari) terutama bila ada hipernatremia.  Bila dengan usaha tersebut tidak memberi hasil dapat di tambah dengan obat – obat diuretik misalnya Furosemid dengan dosis awal 40 mg/hari. Kalau perlu dapat dikombinasi dengan spironolakton 2 x 25 mg/hari. Awasi elektrolit serum terutama K + selama pemakaian diuretik. Berat baan penderita dan lingkaran perut harus diawasi secara cermat.  Penggunaan albumin serum manusia dapat dipertimbangkan bila dengan terapi konvesional tidak memberikan hasil.  Tindakan yang lain berupa parasintesis baru dapat dikerjakan bila dijumpai asites cukup besar yang dapat menimbulkan kesulitan pernapasan. Spesifik : Pengelolaan spesifik disesuaikan dengan penyebab yang menimbulkan sirosis.

32

SIROSIS HATI No. Dokumen RSU.A.j.285.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 6/6

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMPLIKASI

      

Hematemesis melena Ensefalopati hepatik Infeksi Saluran nafas Saluran cerna Trombosis vena porta Keganasan kanker hati primer.

33

34

HEPATITIS KRONIS AKTIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

ETIOLOGI

A. HEPATITIS KRONIS AKTIF B

DIAGNOSA

Dapat disebabkan oleh :  Virus – virus hepatitis B, C, Delta  Obat, alkohol, auto-imun ( lupoid ), penyakit wilson, dan defisiersi. Alfa-l antitripsin. PATOFISIOLOGI : Virus B tidak langsung berefek sitopatik; terjadinya lisis dari hepatosit yang terinfeksi, dan progresif menjadi hepatitis kronis, erat kaitannya dengan proses interaksi antara lain : Pihal I : replikasi virus B dalam hepatosit dan respon autoimun yang berkaitan dengan ini Pihak II : daya respon imun dari hospes terhadap replikasi virus. Gambaran Klinis : Hepatitis kronis B terutama didapatkan pada laki – laki; mula – mula penderita tak begitu kentara keluhan/gejalannya, hanya lekas capai, lemah, sebah, kembung, anoreksia ringan; walaupun gambaran klinis variabel, umumnya ditemukan transaminase serum tinggi, sedang bilirubin dan globulin – gamma naiknya sedang saja ; HbsAg dan anti –HBc positif, titer HbsAg berbanding terbalik dengan tingkat keparahan hepatitis kronis. Patologi : Nekrosis, inflamasi aktif, fibrosis portal, periportal, meluas intralobuler;erosi limiting plate ( batas portal-lobulum ), piece meal necrosis ( FMN), hepatosit ground-glass ( mengandung HbsAg ).

35

HEPATITIS KRONIS AKTIF No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

PROGNOSA

B. HEPATITIS KRONIS NON – A NON – B ( C,E)

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Penderita dan keluarga diberi penjelasan / penyuluhan tentang infeksiositas penderita sebagai pengidap HbsAg, apalagi jika HbsAg positif, keluarga serumah dan yang menjalin hubungan intim/seksual perlu divaksinasi terhadap HB ( Perlu Uji saring pra vaksinasi HbsAg dan anti HBs ).  Aktivitas pekerjaan sehari – hari seperti biasa, disesuaikan dengan keluhan / altivitas hepatitis, jangan sampai terlalu meletihkan, demikian juga dengan latihan – latihan / olah raga memelihara kesegaran jasmani.  Diit khusus tidak diperlukan  Terapi spesifik hingga sekarang masih taraf eksperimental dan pola pemberian bermacam – macam. Hepatitis Kronis A dengan HBV – DNA dan HbeAg Positif :  Pengobatan anti virus : adenin Arabinoside / monofosfat ( AraA/AMP), interferon ( IFN ); Asiklovir.  Pengobatan imunomodulasi : kortikosteroid;azatioprin;levamisol.  Pengobatan gabungan dari keduannya diatas. Hepatitis kronis B dengan anti Hbe positif :  Yang simptomatik dengan gambaran histologi progresif ditandai dengan peningkatan transaminase serum, IgM anti HBc dan HBVDNA serum yang positif. Keadaan ini disebabkan oleh HbeAg defective HBV ( = pre core mutant). Interferon Alfa dapat diberikan pada kasus ini, sekalipun hasilnya lebih baik disbanding dengan Hepatitis Kronis HBeAg positif (70%) tapi angka kekambuhannya cukup tinggi (90%).  Perjalanan klinis sangat bervariasi, sebagian besar cepat atau lambat ( 10 – 30 %/ tahun ) akan mengalami serokonversi HbeAg positif anti Hbe (+), demikian juga HBV DNA / DNAp dalam serum menjadi negatif.  Prognosa ditentukan oleh tingkat kelainan histologi yang terjadi selama perjalanan penyakit. Penelitian epidemiologi menunjukkan angka pengidap, angka kronisitas dan insiden sirosis pada infeksi virus NANB / VHC lebih besar dari pada infeksi dengan virus B. 

36

37

HEPATITIS KRONIS AKTIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

PATOLOGI PROGNOSIS

No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gambaran Klinis :  Umumnya keluhan ringan berupa malaise, anikterik atau sering asimptomatik. Yang menarik perhatian fluktuasi transaminase serum selama berbulan – bulan, diselingi periode remisi ; tak dapatkan auto – antibodi serum ( ANA, AMA) terutama untuk hepatitis virus C.  Hepatitis Pasca Tranfusi 90 % disebabkan oleh virus hapatitis C ( VHC).  Diagnosa Hapatitis Virus C ditegakkan atas dasar :  SGPT/ALT yang meningkat  Ditemukannya anti –HCV (IgM atau total ) dan HCV RNA dalam darah.  Hepatitis Virus E, gejala klinis mirip dengan Hepatitis Virus A, yang dapat bersifat epidemik maupun sporadik.  Pada wanita hamil, Hepatitis Virus E memberikan gejala yang lebih berat dengan angka mortalitas tinggi mencapai 20 %.  Diagnosa Hepatitis Virus E dengan ditemukannya IgM anti HVE. Umumnya yang dijumpai : gambaran HKP atau HKA jenis ringan, kadang juga gambaran HKL dan sirosis. Perjalanan klinis menunjukkan masa remisi dan eksaserbrasi, fluktuasi dari transaminase serum :  5 – 10 % penerima transfusi darah / produk – produk darah mengalami hepatitis akut NANE / Hepatitis C.  90 % hepatits pasca transfusi adalah hepatitis akut NANB/C.  50 % hepatitis akut NANB pasca tranfusi menjadi kronis  10 – 20 % hepatitis kronis NANB menjadi siroris  Hepatitis NANB kemungkinan besar secara etiopatogenik berkaitan dengan kanker hati.

38

HEPATITIS KRONIS AKTIF No. Dokumen RSU.A.j.286.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit

   

No. Revisi 0

Halaman 4/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Hingga saat ini virus – virus penyebab hepatitis NANB termasuk satu kelompok besar. Kortikosteroid untuk virus hapatitis C belum menunjukkan manfaat. Interferon untuk virus hepatitis C masih dalam taraf eksperimental sekalipun dengan angka kekambuhan yang tinggi. Perawatan untuk hipatitis virus E sama dengan hepatitis virus A.

39

HEPATITIS KRONIS LOBULER ( prolanged acute hepatitis; unressolved acute hepatitis ) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.287.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/1

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

ETIOLOGI DIAGNOSA

PATOLOGI

Virus B; virus NANB Gambaran Klinis : Keluhan dan gejala hepatitis akut kadang – kadang masih ada sampai 4 – 6 bulan sejak awal penyakit ; sering pada laki – laki; manifestasi klinis dapat menunjukkan masa remisi, masa kambuh silih berganti, selama beberapa tahun, disertai fluktuasi transaminase; kadang -kadang ada hiperglobulinemia; dalam perjalanan hepatitis kronis B, manifestasi HKL dapat dijumpai selama masa eksaserbrasi akut yang menyertai proses serokonversi dari HbeAg positif HbeAg negatif anti Hbe positif. Sebagian besar mirip histologi hepatitis akut, yang menonjol inflamasi san nekronis fokal tersebar intralobuler, tidak ditemukan piece meal

DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN

necrosis. Dengan HK jenis lainnya : Gambar histopatologi Seperti halnya HKP, sebagian besar tak membutuhkan terapi spesifik ; hanya kasus – kasus tertentu mungkin menunjukkan respon klinis dan

PROGNOSA

biokimiawi yang baik dengan kortikosteroid. HKL dapat berlangsung bertahun – tahun, akhirnya sembuh juga tanpa terjadi sirosis ataupun HKA.

40

HEPATITIS KRONIS PERSISTEN ( HKP )

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP ETIOLOGI

PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.288.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/1

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Virus : virus hepatitis B; virus hepatitis Non-B (virus hepatitis C) Alkohol Penyakit radang usus : Kolitis ulserosa; penyakit Crohn, infeksi E, histolitika, Salmonella. Gambaran Klinis : Umumnya keluhan ringan: lemah, lekas capai, sebah, perasaan tak enak di daerah hati. Hati sering hanya teraba tepi, spider nevi dan splenomegali tidak didapatkan.

DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN

Laboratorium : Bilirubin serum normal atau sedikit naik; transaminase dapat naik 4 –5 kali normal; globulin – gamma normal; pemeriksaan petanda – petanda serologik virus B. Patologi : Infiltrasi sel radang dan fibrosis ringan, pelebaran daerah portal : limiting –plate ( batas portal –lobulus ) masih utuh, tidak ditemukan piece meal necrosis. Hepatitis Kronis Aktif ( HKA )  Penjelasan penyuluhan mengenai perjalanan prognosa yang baik; diit khusus tak diperlukan pengobatan kortikosteroid / imunosupresi tidak perlu.  Penyakit dapat berlangsung bertahun – tahun namun akhirnya sembuh dan tidak terjadi sirosis.

41

HEPATITIS VIRUS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/6

Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit radang hati akut karena infeksi oleh virus hepatotropik.

ETIOLOGI

Virus A, Virus B, Virus Non – A, Non – B, dan Virus Delta yang sering;

PATOFISIOLOGI

virus lain yang jarang : Virus Epstein –Barr, Virus Cytomegalo. Cara penularan tergantung pada jenis virus, melalui jalan fekal-oral, dapat pula secara perenteral atau parenteral inapparant.

PATOLOGI

Diseluruh hati terjadi nekrosis fokal, inflamasi dengan monosit di lobus dan zona portal, serta proliferasi sel Kupfer.

42

HEPATITIS VIRUS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Umumnya hepatitis virus akut A,B,NANB menunjukkan gambaran klinis yang sama melalui 4 tahap :  Masa tunas (inkubasi) tergantung dari macam virus.  Masa prodromal / Preikterik : 3 – 10 hari, rasa lesu / lemah badan, panas, mual sampai muntah, anoreksia, perut kanan nyeri.  Masa Ikterik : didahului urine berwarna coklat, sklera kuning , kemudian seluruh badan, puncak ikterus dalam 1 – 2 minggu, hepatomegali ringan yang nyeri tekan.  Masa penyembuhan : ikterus berangsur kurang dan hilang dalam 2 – 6 minggu, demikian pula anoreksia, lemah badan, dan hepatomegali. Penyembuhan Sempurna sebagian besar terjadi dalam 3-4 bulan. Beberapa variasi perjalanan klinis hepatitis virus akut antara lain : ~ Subklinis / Asimptomatik ~ Anikterik / Simptomatik : virus A,B, NANB lebih sering menimbulkan infeksi subklinis (anikterik asimptomatik) atau infeksi anikterik (anikterik simptomatik) terutama pada anak. Rasio anikterik : ikterik untuk hepatitis akut virus A : 1 : 1 (anak kecil 12 : 1), Virus B2 : 1 dan NANB 4 : 1. ~ Kolestatik dimana masa ikterusnya lama beberapa minggu/bulan dengan gejala ikterus obstruksif (kolestasis intrahepatik). Prognosa baik, penyembuhan sempurna, lebih sering terjadi pada hepatitis A. ~ Fulminan (Fulminant hepatitis, fulminant Hepatic Failure) : 1 : 3 % penderita menjurus menjadi fulminan, dari hepatitis A 5 %, B 60 % (pada 30 – 40 % hepatitis B fulminan didapatkan koinfeksi dengan virus Delta), NANB 20-35 %. Prognosa jelek, biasanya berakhir fatal, lama penyakit 1 – 8 minggu.

43

HEPATITIS VIRUS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007

PROSEDUR TETAP LABORATORIUM

PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

DIAGNOSA BANDING

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Masa Prodromal : Lekosit sering menurun, transaminase serum meningkat 10-100 kali harga normal sebelum timbul ikterus, ini penting untuk diagnosa hepatitis yang anikterik. Pada akhir masa ini baru timbul bilirubinuria yang mendahului timbulnya ikterus. ~ Masa ikterik (atau masa penyembuhan) : ikterus pada sklera mata baru terlihat bila bilirubin serum melebihi 2,5 mg/dl, hiperbilirubinemia biasanya mencapai puncak sampai sekitar 10 mg/dl dalam 2 minggu, kemudian berangsur turun dalam masa penyembuhan (fraksi bilirubin terkonjugasi biasanya lebih tinggi sedikit daripada fraksi tak terkonjugasi); transaminase serum biasanya lebih cepat mencapai puncaknya daripada bilirubin, tetapi lebih lambat menjadi normal, fosfatase alkali meningkat sedikit (3 kali normal). ~ Diagnosa hepatitis akut berdasarkan keluhan/gejala dan gambaran laboratorium seperti diuraikan di atas. ~ Diagnosa virologik sebagai penyebabnya : dengan petanda serologik hepatitis virus :  Hepatitis A : lg M anti HAV  Hepatitis B : Hbs Ag + Ig M anti HBc  Hepatitis NANB : tidak ditemukannya petanda serologik virus A dan B serta penyebab virus atau bakteri lain, seperti virus Cytomegalo, virus Epstein Barr, Virus Herpes Simpleks, dan bahan hepatotoksik, obat, alkohol.  Hepatitis D lg M anti HD. Penyakit lain yang dapat memberi gambaran klinis yang mirip dengan hepatitis virus akut ialah : Penyakit virus lain : mononukleosus infeksiosa, cytomegalo, herpes simpleks. ~ Toksoplasmosis, leptospirosis, kolesistitis akut, kolelitiasis, obat hepatitis, alkoholik akut, hepatitis iskemik. ~

44

HEPATITIS VIRUS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit

~

~

~

No. Revisi 0

Halaman 4/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istirahat baring pada masa masih banyak keluhan, mobilisasi berangsur dimulai jika keluhan/gejala berkurang, bilirubin dan transaminase serum menurun, aktivitas normal sehari-hari dimulai setelah keluhan hilang dan data laboratorium normal. Diit khusus tidak ada, yang penting adalah jumlah kalori dan protein adekuat, disesuaikan dengan selera penderita, terkadang pemasukan nutrisi dan cairan kurang akibat mual dan muntah, sehingga perlu ditunjang oleh nutrisi parenteral : infus Dekstrose 10-20 %, 1500 kalori / hari. Hingga sekarang belum ada pengobatan spesifik bagi hepatitis virus akut. Tidak ada indikasi terapi koltikosteroid untuk hepatitis virus akut, penambahan vitamin dengan makanan tinggi kalori/protein diberikan pada penderita yang mengalami penurunan berat badan atau malnutrisi.

45

HEPATITIS VIRUS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENCEGAHAN

Tanggal terbit

~

~ ~ ~

No. Revisi 0

Halaman 5/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Isolasi ketat untuk penderita tidak mutlak diperlukan, asal penderita, perawat, dan penghuni serumah atau tamu dapat secara ketat mengikuti atau melaksanakan enteric & blood precaution, antara lain pemakaian sarung tangan pada kontak darah /tinja. Donor darah : Uji saring untuk virus B : Hba Ag Uji saring untuk virus NANB : SGPT, anti – HBe. Pemakaian jarum/alat suntik yang disposable. Imunoprofilaksis : 1. Hepatitis A - Pra paparan pariwisata ke daerah endemik : Globulin serum imun atau imunisasi pasif 3 bulan 0,02 ml/kg (1kali ) 3 bulan 0,06 ml /kg (setiap 4-6 bulan). - Pasca paparan : Penghuni serumah dan kontak seksual dengan hepatits A, 0,02 ml/kg (1 kali selambatnya 2 minggu setelah kontak). Vaksinasi hepatitis A (imunisasi aktif) masih dalam taraf uji coba klinis. 2. Hepatitis B - Pra Paparan : Vaksin Hepatitis B (imunisasi aktif) Dewasa 20 ug (1 ml) intramuskular, bulan 0,1, 6 Anak 10 ug (0,5 ml) intramuskular, bulan 0, 1, 6 Vaksin institut Pasteur : Dewasa 5ug (1 ml) subcutan/intramuskular, bulan 0,1,2,12 Anak 5 ug ( 1ml) sebcutan / intramuskular, bulan 0, 2, 12. - Pasca Paparan : Imunisasi pasif dengan Hepatitis B Hyperimmune Globulin (HBIG) Dewasa / anak : 0,06 ml/kg inyramuskular, diberikan kurang dari 24 jam. Neonatus : 0,5 ml intramuskular waktu lahir, kemudian diikuti dengan protokol vaksinasi selambatnya 7 hari pasca paparan, sedangkan untuk dewasa/anak 7 – 14 hari pasca paparan. 46

47

HEPATITIS VIRUS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA

BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.289.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 6/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Sebagian besar sembuh sempurna, manifestasi klinis/perjalanan penyakit bervariasi tergantung umur, virus, gizi dan penyakit lain yang menyertai. ~ Hepatits B : 90 % sembuh sempurna 5 – 10 % menjadi kronis, jangka panjang menjadi sirosis atau kanker hati primer. ~ Hepatitis NANB : 50 % sembuh dan 50 % menjadi kronis 60 –90 % kasus Hepatitis pasca transfusi adalah NANB. Adalah penyakit hati yang histologis bercorak sebagai nekrosis, inflamasi, dan fibrosis dari hepatosit dalam berbagai tingkat berat, ringan, yang berlangsung lebih dari 6 bulan. Klasifikasi : 1. Hepatitis Kronis Persisten (HKP) 2. Hepatitis Kronis Lobuler (HKL) 3. Hepatitis Kronis Aktif (HKA).

48

[

SINDROM KOLON IRITATIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.290.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sindroma kolon iritatif atau irritable bowel syndrome adalah gangguan

PATOFISIOLOGI

motilitas kolon tanpa gangguan struktur atau organik. Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun didapatkan adanya respon yang berlebihan dari sistem neuromuskuler kolon akibat rangsangan beberapa faktor antara lain : faktor fisiologik berupa rangsangan humoral dari bahan kolesistokinin; faktor bahan iritan

GEJALA KLINIS

eksogen; emosi; konstitusi ; dan lain – lain. Trias gejala klasik adalah nyeri perut, diare dan konstipasi. Nyeri perut bersifat difus; diare biasanya hanya satu atau beberapa kali setelah sarapan pagi, dengan tinja lunak dan mengandung banyak mukus; konstipasi dapat timbul satu dua kali per minggu, dengan tinja berbentuk pensil ( pencil stool ) oleh karena kontraksi sfingter ani.

DIAGNOSA

Seringkali disertai nyeri kepala dan keluhan seperti mengidap kelainan kardiovaskuler yang sesuai dengan suatu sindrom psikosomatik.  Anamnesa perlu cermat dan teliti  Tiga tanda khas pada pemeriksaan fisik adalah : 1. Penderita tidak dapat menunjukkan lokasi nyeri yang tepat, 2. Daerah kolon tampak tegang, karena kolon desenden penuh tinja sedangkan sekum penuh dengan gas, 3. Nyeri perut menghilang bila ditekan, berada dengan kolitis lain yang organik.  Beberapa pemeriksaan yang penting untuk menyingkirkan bentuk kolitis yang organik adalah : pemeriksaan tinja, tes toleransi laktosa, pemeriksaan kadar karoten serum pemeriksaan kadar T3 dan T4, pemeriksaan radiologi, dan proktosigmoidoskopi.

49

[

SINDROM KOLON IRITATIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.290.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/2

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA BANDING PENATALAKSANAAN

KOMPLIKASI

Bentuk kolitis lain yang organik Pengaturan jumlah dan kualitas diit Simptomatik Psikoterapi Contoh Obat :  Antidiare difenoksilat HCI 4 x 2,5 – 5 mg atau kodein 3 – 4 x 15 mg perhari  Antispasmodik atropin 4 x 0,4 – 0,6 mg atau analgesik non narkotik Komplikasi serius jarang, biasanya hanya menimbulkan rasa cemas dan gangguan psikologik pada penderita.   

50

KOLITIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.291.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 1/1

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KLASIFIKASI

A. Kolitis Infeksi :  Amebiasis Kolon  Shigellosis  Kolitis Tuberkulosa  Kolitis Pseudomembranosa  Kolitis oleh parasit / bakteri lain. B. Kolitis Non Infeksi :  Kolitis Ulserosa  Penyakit Crohn  Kolitis Radiasi  Kolitis Iskemia  Kolitis Non Spesifik ( Simple Colitis ) C. Sindroma Kolen Iritatif ( Irritable Bowel Syndrome )

51

KARSINOMA KOLOREKTAL

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

BATASAN PATOFISIOLOGI

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses keganasan dari mukosa kolon-rektum. Penyebab yang pasti belum diketahui.

GEJALA KLINIS

Beberapa faktor predisposisi adalah usia diatas 40 tahun dengan riwayat kanker atau poliposis dalam keluarga, adenoma kolorektal, pada wanita yang mengidap kanker genetalia atau payudara, kolitis ulserosa, penyakit Crohn, kebiasaan makan makanan tinggi lemak rendah serat. Keluhan utama penderita dapat berupa dispepsia, anemia, penurunan berat badan, anoreksia, melaise, nyeri perut, benjolan perut, atau karena keadaan darurat seperti obstruksi, intususepsi, atau

DIAGNOSA

perdarahan. ~ Diperlukan anamnesa yang teliti. Pada penderita dengan perubahan pola buang air besar atau berak darah segar (hematochezia) harus selalu dipikirkan kemungkinan mengidap keganasan kolorektal, terutama bila usianya diatas 40 tahun. Pemeriksaan sederhana rectal toucher sangat penting, karena keganasan ini tersering pada daerah rectosigmoid. ~ Pemeriksaan radiologi kolon dengan kontras barium didapatkan “filling deffect” irregular atau lesi berbentuk “apple core”. Pemeriksaan lanjutan rektosigmoidoskopi atau kolonoskopi dan biopsi memastikan diagnosa. ~ Pemeriksaan untuk melihat metastase meliputi X foto dada, USG abdomen atau CT-scan. ~ Peningkatan alkali fostafase mencurigakan terjadinya metastase ke hepar. Kadar CEA (Carcinoembryonic antigen) dalam darah mungkin meningkat, pemeriksaan ini tidak spesifik dan tidak sensitif, namun dapat dipakai untuk memantau hasil pengobatan. ~

52

KARSINOMA KOLOREKTAL

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KLASIFIKASI Klasifikasi yang biasanya digunakan dalam menentukan stadium kanker kolorektal ialah klasifikasi Duke.

Klasifikasi Duke A B1 B2 C1 C2 D

Deskripsi Kanker terbatas di mukosa submukosa Sampai ke kuskularis mukosa Sampai ke muskularis propria atau serosa B1 + metastase kelenjar regional B2 + metastase kelenjar regional Terdapat metastase jauh

Survival 5 tahun (3 ysr) 90 % 80 % 70 % 50 % 50 % < 30 %

53

KARSINOMA KOLOREKTAL

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.292.11.2007

PROSEDUR TETAP DIAGNOSA BANDING

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Semua kelainan dengan keluhan perubahan kebiasaan buang air besar dan perdarahan rektal, seperti kolitis, tumor jinak usus besar,

PENATALAKSANAAN

hemoroid, atau tumor abdomen lain. ~ Mengacu pada prinsip terapi onkologi, pembedahan sebagai terapi utama pada kanker dini, radiasi pada kanker dengan metastase kelenjar limfe regional, dan sitostatika pada kanker stadium lanjut (telah mengalami metastase jauh). Pembedahan dianjurkan pada kanker kolorektal klasifikasi Duke A, B, dan C. Pembedahan pada klasifikasi Duke D bersifat paliatif, misalnya untuk mengatasi perdarahan, mencegah atau mengatasi terjadinya obstruksi. ~ Sitostatika yang bisa digunakan ialah 5 – flurourasil. ~ Perforasi ~ Perotonitis ~ Perdarahan ~ Obstruksi ~ Intususepsi ~ Abses ~ Fistula ~ Metastase ke organ lain ~

KOMPLIKASI

54

[

PANKREATITIS KRONIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISILOGI

No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses radang kronis pada kelenjar pankreas. Yang mempunyai hubungan etiologik dengan pankreatitis kronis ialah alkoholisme kronis biasanya terjadi setelah tahun kesepuluh. Faktor lain yang berperan ialah keturunan, trauma, hipertrigliseridemia, hiperkalsemia, defisiensi protein dan kalori, obstruksi jinak atau karena proses keganasan dari saluran pankreas, dan sebagian kasus bersifat idiopatik.

GEJALA KLINIS

Akibat minum banyak alkohol, pankreas mengeluarkan sekresi yang mudah mengalami presipitasi karena kandungan proteinnya tinggi. Kemudian tercampur kalsium karbonat membentuk batu kecil dan membuntu saluran pankreas. Akibat lanjut terjadi fibrosis periduktural dan intralobular, merusak parenkhim dan pulau-pulau langerhans. ~ Nyeri perut terus menerus atau intermitten, kadang tanpa nyeri. Nyeri tidak menghilang dengan pemberian antisida, bertambah bila minum alkohol atau makan menu berlemak. Kemungkinan sebagai penyebab nyeri adalah : Iritasi parineural Dilatasi duktus pankreatikus Psedokista, atau Kombinasi beberapa faktor tersebut. ~ Mungkin pula penderita datang karena akibat insufisiensi fungsi eksokrin atau endokrin dari pankreas, seperti steatorrhea, penurunan berat badan atau diabetes mellitus. Turunnya berat badan antara lain karena rasa takut makan sebagai akibat timbulnya rasa nyeri pasca makan.    

55

[[

PANKREATITIS KRONIS No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2008

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

DIAGNOSA

Tanggal terbit

~ ~

~

~ ~

~

DIAGNOSA BANDING

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Klasifikasi pankreas pada foto polos abdomen diagnostik untuk pankreatitis kronis. USG dan CT-scan lebih sensitif menentukan adanya kalsifikasi pankreas, juga berguna untuk deteksi psedokista, dilatasi duktus pankreas dan tumor. Informasi diagnostik mungkin diperlukan dari pemeriksaan lain. Dengan angiografi pertumbuhan tumor dapat ditentukan dari adanya neovaskularisasi. Pemeriksaan keadaan anatomi duktus pankreas terbaik dengan ERCP. Perubahan anatomi pada pankreatitis kronis bersifat menyeluruh, sedangkan pada tumor terjadi perubahan lokal. Profil kimia serum pada pankreatitis kronis tidak spesifik. Insufisiensi fungsi eksokrin pankreas dapat dinilai berdasarkan :  Turunnya kadar tripsinogen serum ;  Tes PABA urine untuk mengukur besarnya komponen khin otripsin ;  Analisa langsung cairan pankreas yang diaspirasi dari duodenum setelah dirangsang dengan sekretin atau kholesistokinin ;  Analisa kwalitatif dan kwantitatif lemak tinja. Penentuan kwalitatif lemak tinja, merupakan konfirmasi terbaik adanya steatorrhea. Dikerjakan dengan mengkonsumsi lemak 100 gram per hari dan selama 72 jam tinja ditampung, terdapat steatorrhea bila ekskresi lemak sehari melebihi 10 gram. ~ Kista pankreas ~ Karsinoma pankreas

56

[[[

PANKREATITIS KRONIS No. Dokumen RSU.A.j.293.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS ~ Pengobatan ditujukan terhadap nyeri dan malabsorbsi. Upaya meredakan nyeri ditempuh dengan menghentikan minum alkohol, makan sedikit-sedikit, pemberian analgetika. ~

~

KOMPLIKASI

Beberapa pasien memerlukan narkotik oral, penyuntikan alkohol langsung untuk merusak ganglion coeliacus atau dengan tindakan pembedahan, dan kalau perlu dilakukan reseksi pankreas. Nyeri atau malabsorbsi mungkin dapat diatasi dengan preparat enzim dosis tinggi, antasida yang mengandung aluminium, dan penyekat H2. Contoh preparat enzim yang “non-enteric coated “ ialah Cotazyme diberikan 5 sampai 8 tablet waktu makan. ~ Malabsorbsi, gangguan toleransi glukosa atau diabetes mellitus. ~ Kadang-kadang terdapat komplikasi lokal berupa : Psedokista, abses, asites, obstruksi “common bile duct “ atau duodenum, trombosis vena porta atau vena lienalis.

57

PANKREATITIS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN PATOFISIOLOGI

GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah radang akut pankreas karena proses otodigestif. Secara histopatologi ada 2 bentuk yaitu edematus dan hemoragik. Mekanisme yang mendorong timbulnya proses otodigestif secara pasti belum diketahui. Beberapa faktor yang mungkin berperan ialah obstruksi duktus pankreas yang bersifat sementara, refluks isi duodenum ke duktus pankreas, iskemia, perubahan permeabilitas duktus pankreas, dan bergabungnya granule zymogen dengan enzim lisosom yang menyebabkan aktifasi tripsin intraseluler. Akibat aktifasi enzim ini membran sel robek dan menyebabkan terjadinya edema intrapankreatik, nekrosis perlemakan peripankreatik, perdarahan parenkhim, dan nekrosis sel asinar. Enzim aktif tersebut dapat masuk ke sirkulasi sistemik dan rongga peritoneum menyebabkan proses kerusakan organ tubuh lain. Terjadinya pankreatitis akut ini mempunyai hubungan etiologik dengan kebiasaan minum alkohol, batu empedu, trauma, toksin, obat, infeksi, kelainan, vaskular, serta metabolik seperti hipertrigliseridemi atau hiperkalsemia. Namun cukup banyak kasus yang sifatnya idiopatik.  Nyeri perut hebat, timbul mendadak, di daerah epigastrium, kwadrant, kiri atas dan periumbilikal, menjalar ke punggung, disertai mual dan muntah. Rasa nyeri menetap sampai beberapa hari, bahkan bisa sampai satu minggu, dan berkurang bila duduk agak membungkuk.  Pada pemeriksaan fisik ditemukan penderita yang tampak gelisah, demam, tachycardia, tachypnea, hipertensi atau hipotensi sampai shock. Mungkin terjadi distensi perut sebagai akibat ileus, pseudokista, atau phlegmon.  Pada pankratitis hemoragik, dapat timbul ecchymoses yang terlihat berwarna biru agak keunguan di daerah pinggang ( Grey Turner Sign) dan sekitar umbilikus (Cullen sign ).  Kelainan lain yang mungkin di temukan ialah efusi pleura (trauma sisi kiri), pneumonitis, atelektasis, ARDS, dan nekrosis perlemakan subkutan yang mempunyai eritema nodosum. Walaupun jarang, dapat terjadi tetani karena hipokalsemia. 58

59

PANKREATITIS AKUT No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA

Tanggal terbit







No. Revisi 0

Halaman 2/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dasar diagnosa adalah adanya riwayat nyeri perut hebat dan mendadak khas pankreatitis akut, ditambah temuan pada pemeriksaan fisik, laboratorium, dan pemeriksaan radiologi. Pemeriksaan laboratorium utama yang membantu dalam menegakkan diagnosa adalah peningkatan amilase dan atau lipase serum, terjadi pada 80 – 85% kasus. Pada pankreatitis akut amiase urine juga meningkat, dan tetap tinggi 7 – 10 hari setelah kadar serum kembali normal. Pemeriksaan lain yang bisa ditemukan ialah lekositosis, peningkatan hematokrit, hiperglikemia, hipokalsemia, peningkatan bilirubin serum, alkali fosfatase, SGOT, SGPT, dan hipoksemia arterial. Pemeriksaan radiologi yang sering digunakan meliputi foto polos abdomen, thoraks, USG, CT-scan abdomen. Foto polos abdomen digunakan untuk menyingkirkan penyakit – penyakit lain, misalnya perforasi usus atau obstruksi usus akut. USG terutama sangat bermanfaat untuk menentukan kondisi serta ada tidaknya batu disaluran empedu. Visualisasi pankreas bisa kurang baik karena tertutup gas dalam usus. Dengan CT-scan abdomen akurasi penentuan keadaan pankreas dan peripankreas lebih tinggi, serta sangat membantu dalam menetapkan adanya phlegmonous pankreatitis, abses, tumpukan – tumpukan cairan, dan daerah yang mengalami nekrsosis.

60

PANKREATITIS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA

DIAGNOSA BANDING

No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Prognosa jelek menurut kriteria Glasgow ( modified ) yang ditetapkan dalam 48 jam pertama perawatan, ialah bila : Usia penderita > 55 tahun Lekositosis > 15.000/mm3 Glukosa darah > 180 mg/dl BUN > 96 mg/dl LDH > 600 IU/dl Albumin > 3,3 gm/dl Kalsium > 8 mg/dl PO2 > 60 mm Hg Nyeri perut akut karena penyebab lain, seperti tukak peptik dengan perforasi, kolesistitis akut dan kolik bilier, obstruksi usus akut, oklusi pembuluh darah mesenterik ,kolik ginjal, infark miokard akut, robeknya aneurisme aorta, penyakit kolagen dengan vaskulitis, pneumonia,dan ketoasidosis diabetik.

61

PANKREATITIS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS  Sebagian besar kasus ( 85 – 90 % ) pankreatitis akut sifatnya ringan serta dapat sembuh sendiri ( self – limiting ), biasanya hanya memerlukan rawat tinggal kurang dari 1 minggu. Perawatan terhadap penderita bersifat “suppottive”dengan pemberian analgetika yang sesuai, mempertahankan stabilitas volume, elektrolit dan asam basa cairan tubuh, cepat tanggap terhadap perubahan tanda – tanda vital dan timbulnya komplikasi. Penderita pankraetitis akut berat dengan 3 atau lebih faktor prognostik jelek, perlu perawatan intensif di unit emergensi.  Analgetika, Meperidine 50 – 100 mg intramuskular atau intravena diberikan tiap 4 atau 6 jam. Morfin kurang baik, karena dapat menyebabkan spasme sfingter Oddi.  Nutrisi diberikan per enteral, per oral sementara dihentikan untuk mengurangi rangsang sekresi pankreas sehingga aktifitas keradangan menurun. Dilakukan dekompresi saluran makanan bagian atas dengan maksud yang sama. Pemberian nutrisi berbentuk menu biasa atau elementel per oral intragastrik ataupun intrayeyunal tetap merangsang sekresi pankreas, sedangkan pan enteral tidak. Setelah keadaan klinis membaik dilakukan pemberian makan per oral secara bertahap, dimulai dengan diet tinggi hidrat arang rendah lemak dan protein yang diberikan sedikit – sedikit. Bila timbul keluhan dihentikan, kembali ke nutrisi pan enteral.  Sekwestrasi cairan ke rongga peritoneum atau retroperitoneal perlu diperhitungkan dalam mempertahankan stabilitas volume cairan tubuh.  Antibiotika hanya diberikan bila jelas ada infeksi, tidak diberikan untuk profilaksis. Indikasi Pembedahan 1. Bila sangat mencurigakan adanya perforasi usus; 2. Pada pankreatitis karena batu empedu, dilakukan pembedahan elektif segera setelah pankreatitisnya membaik. 3. Untuk drainage tumpukan cairan terinfeksi.

62

[[[[[[

PANKREATITIS AKUT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP KOMPLIKASI

No. Dokumen RSU.A.j.294.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 5/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Komplikasi yang dapat terjadi pada awal perjalanan penyakit ialah instabilitas hemodinamik sampai shock, komplikasi pada paru, gagal ginjal akut, hiperglikemia, asidosis, hipokalsemia, hipomagnesemia, psedokista, nekrosis terinfeksi, obstruksi, kolon disertai nekrosis, perdarahan pankreas, DIC, fat nekrosis metastatik ke kulit, tulang dan otak, psikosis, dan buta mendadak karena oklusi arteri retina. Pada perjalanan lebih lanjut dapat terjadi abses atau psedokista.

63

64

KANKER LAMBUNG

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007

PROSEDUR TETAP BATASAN

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah pertumbuhan ganas lambung, sebagian besar dalam bentuk adenokarsinoma, sebagian kecil berupa limfoma, leimiosarkoma, dan

PATOFISIOLOGI

liposarkoma. Penyebab yang pasti belum jelas, diduga terdapat beberapa faktor yang turut berperan, yaitu:

EPIDEMIOLOGI

Faktor lingkungan/ eksternal: iklim dingin, tingkat sosial ekonomi rendah, paparan dengan abses, konsumsi nitrat yang tinggi, dan bahan makanan yang mengandung senyawa nitrosamin seperti ikan asin, daging asap. ~ Faktor internal, riwayat keluarga positif, anemia pernisiosa, golongan darah A, akhlorhidria, gastritis atrofik, tukak lambung, metaplasia intestinal gastrik, polip adenomatous, dan tindakan bedah lambung sebelumnya terutama Billroth II gastro – yeyunostomi. Pria lebih banyak dari pada wanita. Insidens puncak pada dekade

GEJALA KLINIS

keenam. Insidens yang tinggi di Jepang, Chilli, dan China. ~ Keluhan abdominal yang biasa diderita berupa rasa tidak enak

~

epigastrium, nyeri, penuh, kembung setelah makan. Tumor yang lokasinya di fundus atau kardia menyebabkan disfagia. Sering muntah bila terjadi obstruksi “gastric outlet”. Mungkin penderita mengalami melena, namun hematemesis jarang terjadi. Keluhan umum yang sering dialami ialah anoreksia, cepat lelah, dan berat badan menurun. ~ Pemeriksaan fisik pada kasus yang lebih lanjut, mungkin teraba tumor dan nyeri tekan di epigastrium, terdapat asites, hepatomegali, dan pembesaran kelenjar limfe supraklavikular kiri (Virchow’s node) atau aksiler kiri (Irish’s node). 65

~ Gejala paraneoplastik yang mungkin ditemukan ialah acanthosis nigrieans, dermatomiosis, hernolitik anemia (Coombs – negative), DIC, TTP, sindroma Trousseau (migratory thrombophlebitis), atau vegetasi valvular trombotik nonbakterial.

66

KANKER LAMBUNG

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA

Dasar diagnosa : 1. Anamnesa dan pemeriksaan fisik. 2. Foto kontras ganda saluran makanan bagian atas sensitifitasnya 90 %, kelainan yang mencurigakan proses keganasan ialah :  Lipatan mukosa abnormal  Masa eksofitik.  Masa dengan ulserasi sentral.  Dinding lambung tampak kaku  Lambung tidak bisa mengembang  Ulserasi dengan lipatan rugae sekitar yang irreguler dan gerigis 3. Untuk kepastian diagnosis perlu endoskopi diikuti biopsi untuk pemeriksaan histopatologi serta sitologi dengan cara “brushing”, distribusi kanker lambung dengan diantrum 50 % , korpus 20% kardia 10 % kurvatura minor 15 %, dan kurvatura mayor 5 % bentuk tumor ulseratif 75%, polipoid 10 %, difus ( linitis plastica ) 10 % dan membentang superfisial ( superficial spreading ) 5%, 4. Untuk penentuan stadium ( lihat tabel sistem TNM ), pemeriksaan yang diperlukan X foto dada PA dan lateral, tes faal hati, dan kalu diperlukan CT scan abdomen atau daerah tulang tertentu yang di

DIAGNOSA BANDING

curigai terkena metastase.  Gastritis  Tukak peptik lambung  Tumor jinak lambung 67

68

[

KANKER LAMBUNG

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007

PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMPLIKASI : Dari kankernya sendiri dapat timbul perdarahan, obtruksi atau perforasi. Dapat terjadi metastase ke peritoneum, hati, saluran empedu, pankreas, paru, ovarium, tulang, dan otak. Penentuan Stadium Kanker Lambung Sistem TNM Stadium Stadium I

Deskripsi

Survival 5 tahun

TINOMO

Kanker lambung dini terbatas dimukosa

85 % - 90%

(A) sampai ke submukosa (B) Stadium II T2-3NOMO

T2 sampai ke muskularis mukosa tidak

52 – 55%

mengenai serosa T3 sampai ke surosa tetapi belum ke

45 – 47 %

jaringan sekitar Stadium III T1 – 3NI – 3 MO

NI mengenai kelenjar limfe perigastrik sampai 3 cm sekitar tumor

17 –20 %

N2 mengenai kelenjar limfe regional lebih 3 cm dari tumor & masih bisa diangkat N3 mengenai kelenjar limfe intra abdominal

lainnya

atau

tak

5 – 10 %

bisa

diangkat.

69

Stadium IV T4NI – 3 MO

3% T4 mengenai jaringan sekitar tumor tak bisa di reseksi

TI-4NO-3MI

MI terdapat metastase jauh

70

KANKER LAMBUNG

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.295.11.2007

PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 4/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS  Mengacu pada prinsip onkologi : tetapi utama kanker stadium dini pembedahan, stadium regional radiasi dan stadium lanjut / metastase sitostatika.  Anjuran UICC adalah sebagai berikut : 1. Kanker lokal, terapi pilihan pembedahan; 2. Kanker lokal”unresectable” atau kekambuhan dan sifatnya lokal dilakukan radiasi dikombinasi dengan pemberian 5-FU; 3. Kanker dengan metastase jauh, pemberian sitostatika kombinasi FAM ( 5-FU, Adriamycin, dan Mitomycin –C ) atau yang setara.  Tindakan pembedahan pada kasus yang belum mengalami metastase jauh dan kelenjar regional negatif, survival 5 tahunnya bisa mencapai 50% atau lebih. Namun bila kelenjar regional positif, survival 5 tahunnya menjadi 10 % atau kurang ( lihat tabel sistem TNM )  Hambatan penggunaan radiasi ialah toleransi dari organ atau jaringan andomen atas.  Regimen FAM terdiri dari :  5-FU

600mg/m2 diberikan pada minggu ke 1,2,5,6, dan 9;

 Adriamycin

30mg/m2 diberikan pada minggu ke 1,5, dan 9;



Mitomycin

10mg/m2

diberikan pada minggu ke 1, dan 9. 71

Toleransi terhadap regimen ini baik, dan diperoleh respon sebesar 40 – 55% .

72

[[[

DISPEPSIA NON ULKUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.296.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dispepsia adalah tiap bentuk rasa tidak enak, baik episodik atau persisten yang berkaitan dengan saluran cerna, khususnya bagian atas. Keluhan tersebut meliputi rasa pedih, panas, atau nyeri epigastrium, rasa penuh, cepat kenyang, bersendawa, kembung mual, dan kadang – kadang muntah. Disebut dispepsia non ulkus bila pada pemeriksaan lanjutan terbukti tidak mengidap kelainan organik atau fungsional gastrointestinal tertentu seperti penyakit refluks gastro – esofageal, tukak peptik, karsinoma lambung, penyakit hepatobiler, pankreatitis, penyakit mukosa usus halus, aerofagia atau “ iriitable

KLASIFIKASI

bowel syndrome”. Berdasarkan kemiripan gejala dengan suatu kelainan gastrointestinal tertentu, Collin Jones dkk, membagi 5 jenis dispepsia non ulkus : 1. Tipe Refluks Keluhan yang khas ialah rasa tidak enak atau terbakar di daerah abdomen atas. 2. Tipe Dismotilitas Keluhannya berupa penumpukan gas, kembung, rasa penuh, cepat kenyang, mual terutama pagi hari, kadang – kadang sampai muntah. 3. Tipe Ulkus Gejalanya menyerupai tukak peptik, misalnya terbangun malam hari karena nyeri, nyeri berkurang setelah makan atau minum, antasida, serangan nyeri hilang timbul, lokasi rasa tidak enak epigastrium dapat di tunjukkan dengan satu atau dua jari. 73

Pada evaluasi lanjutan tidak ditemukan tukak peptik. 4. Tipe Aerofagia Keluhannya sering kembung, bersendawa, dan penderita tampak sering melakukan gerakan menelan dan meneguk udara. Timbulnya keluhan paling sering setelah makan. Keadaan ini mungkin erat kaitannya dengan kondisi kejiwaan. 5. Tipe Idiopatik Gambarannya tidak khas seperti keempat tipe diatas

74

[[[

DISPEPSIA NON ULKUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.296.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

DIAGNOSA

No. Revisi 0

Halaman 2/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sangat penting anamnesa dan pemeriksaan fisik yang cermat untuk menghindari prosedur pemeriksaan yang berlebihan. Pemeriksaan endoskopi dan laboratorium mungkin diperlukan untuk menyingkirkan penyakit refluks gastro-esofageal tukak peptik, karsinoma lambung, penyakit hepatobilier, pankreatitis dan penyakit

PENATALAKSANAAN

mukosa usus halus. Perlu pendekatan holistik untuk menghindari kecemasan penderita. Sebelum diperlukan pemeriksaan lanjutan boleh diberikan pengobatan konvensional tukak peptik, seperti pemberian Simetidin dan Antasida. Untuk yang tipe dismotilitas bisa diberikan metoklopramid.

75

76

[[[[[

PENYAKIT REFLUKS GASTRO – ESOFAGEAL

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

BATASAN DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.297.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kelainan esofagus akibat refluks gastro-esofageal berulang dalam waktu lama. Diagnosa Dugaan : Penderita dengan keluhan rasa panas terbakar di dada (Heart Burn), mungkin disertai regurgitasi asam, odinofagi, disfagia, dan penyebab nyeri dada lain telah disingkirkan; keluhan lain yang mungkin ialah rasa mulut penuh cairan akibat sekresi ludah berlebihan (waterbrash), perdarahan saluran cerna artas, atau mungkin keluhan saluran napas seperti batuk lama, asma, suara serak, hemoptisis, dan pneumonia aspirasi berulang. Diagnosa untuk menunjukkan kemungkinan penyakit refluks gastro – esofageal :  Tes perfusi asam bernstein dapat menetapkan asal nyeri dari esofagus pada 80 – 90% kasus.  Esofagitis atau tukak esofagus ditetapkan dengan endoskopi saluran makanan bagian atas disertai dengan biopsi mukosa.  Nilai diagnostik radiologi rendah. Diagnosa Pasti : dengan pH – meter memantau selama 24 jam perubahan pH esofagus distal ; diagnosa pasti bila pH turun di bawah

KOMPLIKASI

4 pada lokasi 5 cm proksimal sfingter esofagus bawah.  Striktura esofagus  Perdarahan  Esofagus Barret; yakni perubahan epitel skuamosa ke epitel kolumnar metaplastik ( mengalami degenerasi maligna sebesar 10 % ) 77

78

[[[

PENYAKIT REFLUK GASTRO – ESOFAGEAL RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.297.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENATALAKSANAAN

Tindakan Umum :  Bila gemuk berat badan di turunkan  Tidur dengan lambung tidak terisi penuh, dan dada ditinggikan  Hindari rokok, alkohol, kopi, coklat, makan terlalu kenyang, makanan berlemak, atau yang dibumbui banyak rempah – rempah.  Hindari pakaian ketat, terutama di daerah pinggang.  Hindari mengangkat barang berat.  Hindari obat – obatan yang menurunkan tonus sfingter esophagus bawah, seperti Teofilin, kafein, prostaglandin (E2,E12), morfin, meperidin, dopamin, diazepam, barbiturat, antagonis kalsium, agonis beta–adrenergik, antagonis alfa –adrenergik, antikolinergik. Terapi Medikamentosa :  Obat prokinetik seperti : Metoklopramid, betanekol, domperidon, Cisaprid.  Antasida cukup efektif untuk kasus ringan  Antagonis reseptor N2 seperti simetidin, Ranitidin, Famotidin Roxatidin ; diberikan dalam dosis tinggi.  Omeprazol  Sukralfat, berkasiat sebagai pelindung mukosa Terapi Bedah dilakukan bila :  Terapi medikamentosa dinilai gagal.  Terjadi perdarahan berulang dan tiap kali perlu perawatan di 79

rumah sakit  Terjadi striktura esofagus dan bouginage dinilai tidak berhasil.

80

[[[

GASTRITIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.298.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN PATOFISIOLOGI

No. Revisi 0

Halaman 1/1

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah proses radang akut maupun kronis dari mukosa lambung  Gastritis Erosiva Akut terjadi akibat penggunaan obat – obatan antara lain aspirin/anti inflamasi, alkohol, stres berat misalnya pada luka bakar, sepsis, trauma, pembedahan, gagal ginjal atau gagal hati, atau pada infeksi berat. Mengakibatkan perdarahan saluran makan bagian atas.  Grastritis Kronis terjadi akibat adanya bile refluk, seringkali bersamaan dengan tukak lambung atau tukak duodenum.  Gastritis superfisial adalah proses radang pada mukosa superfisial, tanpa kerusakan kelenjar lambung. Biasanya terjadi pada perokok berat, peminum alkohol, atau karena minuman panas.  Gastritis Atrofi adalah proses radang sampai mengenai lamina propria dan kelenjar lambung. Kadang – kadang terjadi bersama

GEJALA KLINIS

dengan anemia pernisiosa. Keluhan biasanya minimal dan tidak khas, antara lain dispepsi, rasa

DIAGNOSA

sebah, dan nyeri episgastrium, kadang – kadang timbul perdarahan. Anamnesa perlu dilakukan dengan cermat Pemeriksaan radiologi kurang berguna karena lesi terlalu dangkal, pemeriksaan endoskopi berguna terutama bila dilakukan dalam 24 – 48 jam setelah perdarahan; analisis cairan lambung dan pemeriksaan

DIAGNOSA BANDING

kadar gastrin serum dapat membantu. Penyakit – penyakit yang menyebabkan dispepsia, termasuk tukak peptik dan karsinoma lambung.

81

PENATALAKSANAAN

 Mencegah atau menghindari faktor – faktor iritasi.  Pemberian Antasida dan obat simptomatik, misalnya:  Tablet Antasida DOEN (Aluminium Hidroksida 200 mg atau Magnesium Hidroksida 200 mg) 3 x 1 – 2 tablet per hari.  Tablet Antispasmodik (Ekstrak Beladon 10 mg) 3 x 10 – 20 mg per hari.

KOMPLIKASI

 Pembedahan dilakukan terhadap komplikasi yang timbul.  Perdarahan  Perforasi.

82

[

HIPERTIROIDI (TIROTOKSIKOSIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.299.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Keadaan yang ditandai dengan peningkatan metabolisme tubuh oleh karena adanya hormon tiroid yang berlebihan dalam sirkulasi darah.

PATOFISIOLOGI

 Penyakit Graves: tirotoksikosis dengan struma difus yang disebabkan karena adanya proses autoimun terhadap kelenjar gondok, lebih sering pada wanita muda.  Penyakit Plummer (Toxic Nodular Goiter): tirotosikosis yang disebabkan karena adanya benjolan autonom dalam kelenjar gondok yang menghasilkan hormon tiroid berlebihan.  Tirotoksikosis sementara (Transient thyrotoxicosis) : biasanya menyertai tiroiditis Hashimoto atau de Quervain’s  Tirotoksikosis faktisa sebagai akibat dari adanya pemberian yang berlebihan hormon tiroid dari luar.  Tirotoksikosis pada Mola hidatidosa dan koriokarsinoma: ini

GEJALA KLINIS

disebabkan adanya peningkatan CGH yang berlebihan.  Tachycardia (palpitasi)  Struma difus/ nodosa dengan atau tanpa bruit di atasnya  Penurunan berat badan walaupun banyak makan.  Tidak tahan panas, keringat berlebihan  Lekas lelah, kulit panas (hangat) dan basah  Sering buang air besar (diare)  Tremor halus pada tangan, nervous  Gejala pada mata: eksophthalmus, edema periorbital, lidlag,  Fibrilasi atrial, miokardiopati. 83

84

[[[[[[[[[[[[

HIPERTIROIDI (TIROTOKSIKOSIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.299.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS  Gejala klinis dicocokkan dengan indeks Wayne/ New Castle  T3 dan T4 total serum meningkat, TBK turun atau normal, FT41 meningkat.  Pada tirotoksikosis T3, hanya T3 yang meningkat.  Kolesterol rendah.  H31 up take meningkat tinggi tapi cepat turun

DIAGNOSA BANDING

 Sidikan H31: hot nodule (Penyakit Plummer)  Keadaan gaduh gelisah  Goiter Eutiroid

PENATALAKSANAAN

 Feokromositoma  Istirahat (ini harus diperhatikan betul)  Diit TKTP, vitamin dan mineral  PTU 3 x 100 – 200 mg sehari atau Karbimasol (Neomerkazol) dosis 3 x 10 – 20 mg per hari.  Bila perlu diberi penyekat beta (Karteolol atau Propanolol) dan penenang ringan.  Bila telah euthyroid, boleh dilakukan tindakan operasi

KOMPLIKASI

(Tiroidektomi subtotal)  Krisis tiroid  Fibrilasi atrial, Miokardiopati, dekompensasi kordis

PROGNOSA

 Paralisis periodik tiroid  Relaps antara 49 – 91 % dalam 5 tahun pengobatan konservatif  Remisi antara 30 – 75 % pengobatan konservatif 85

 Hipertiroidi, terutama setelah tindakan bedah atau pemberian yodium radioaktif.

86

[[

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/8

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Komplikasi DM adalah semua penyulit baik sistemik ataupun tidak, pada organ ataupun jaringan tubuh yang lain, sebagai akibat dari DM.

KOMPLIKASI

HIPOGLIKEMIA

 Komplikasi Akut: 

Hipoglikemia



Koma Lakto – Asidosis



Keto Asidosis Diabetik – Koma Diabetik



Koma Hiperostnoler Non Ketotik (K – HONK)

 Komplikasi Kronis Batasan 1. Hipoglikemia = Hipoglikemia Murni = True Hypoglycemia: gejala hipoglikemia apabila kadar glukosa darah < 60 mg/ dl. 2. Reaksi

Hipoglikemia

=

Hypoglycemic

Reaction:

gejala

hipoglikemia apabila kadar glukosa darah turun mendadak, misalnya dari 400 mg/ dl 150 mg/ dl. 3. Koma Hipoglikemik: koma akibat kadar glukosa darah < 30 mg/ dl. 4. Hipoglikemia

Reaktif

=

Reactive

Hypoglycemia:

gejala

hipoglikemia yang terjadi 3 – 5 jam sesudah makan. Biasanya pada anggota keluarga DM atau orang yang mempunyai bakat DM. Gejala  Lapar, gemetar  Keringat dingin, berdebar  Pusing, gelisah, akhirnya koma  Gejala tersebut akibat dari hiperkatekolaminemia 87

Diagnosa Gejala seperti tersebut diatas dan kadar glukosa darah kurang dari 30 – 60 mg/ dl. Terapi  Pisang/ roti/ kompleks karbohidrat lain, bila gagal.  Teh gula, bila gagal.  Injeksi glukosa 40 % intravena 25 ml (encerkan dua kali)  Infus glukosa 10 % bila belum sadar dapat diulang 25 cc glukosa 40 % setiap ½ jam (sampai sadar), bila gagal:  Injeksi Ephedrin 25 – 50 mg atau injeksi Glukagon 1 mg intramuskular

88

[[[ [[[[[[

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 2/8

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS KOMA LAKTO – ASIDOSIS

Patogenesa ; Asam laktat + H2O + O2 Bikarbonat Adanya hipolsia jaringan, laktat tidak dapat dirubah menjadi bikarbonat, maka timbul hiperlaktatemia dan kemudian koma lakto – Asidosis Faktor predisposisi:  Infeksi  Shock  Gangguan faal hati dan atau ginjal  DM + Phenformin Gejala Stupor atau koma, biasanya hiperglikemia ringan (tetapi kadar glukosa darah dapat juga normal atau sedikit turun). Bikarbonat < 15 mEq/ l. asam laktat > 7 mMol/ I. Anion gap > 20 mEq, atau 15 mEq (bila K tidak dapat diukur) (K + Na) – (Cl + CO2) > 20 mEq atau (Na) – (Cl + CO2) > 15 mEq Diagnosa Stupor/ koma, glukosa darah sekitar 250 mg/ dl, anion gap > 15 – 20 mEq/l Terapi 1. Atasi penyebabnya (infeksi, shock atau hipoksia jaringan, phenformin, dll) 89

2. Infus Glukosa 5 % dan dapat diberikan Bikarbonat 3. Bila perlu RI + A4 U/ jam 4. Injeksi Methylen Blue intravena

90

[[[[[[[[[[[[[

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/8

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

KETO ASIDOSIS DIABETIK

Kriteria Diagnosa

(KAD) – Koma Diabetik

1. Klinis: peliuria, polidipsia, mual dan atau muntah, pernapasan Kussmaul (dalam dan frekuen), lemah, dehidrasi, hipotensi sampai shock, kesadaran terganggu sampai koma 2. Darah: hiperglikemia > 300 mg/ dl (biasanya melebihi 500 mg/ dl) 3. Urin: Glukosuria dan Ketonuria Diagnosa Banding  Koma Hipoglikemia  Koma Hiperosmoler Non Ketotil (K. HONK)  Koma Lakto Asidosis (KLA) Klasifikasi Bikarbonat Stadia KAD

Macam KAD

pH Darah

Darah

I Ringan

KAD Ringan

7,30 – 7,35

(BIK) 15 – 20 mEq/ I

II Sedang

Prekomia Diabetik

7,20 – 7,30

12 – 15 mEq/ I

III Berat

Koma

IV

(KD) Sangat KD Berat

Diabetik 3,90 – 7,70 < 6,90

8 – 12 mEq/ I < 8 mEq/I

Berat Patogenesa KAD: Patogenesa KAD pada dasarnya melalui 2 proses yang penting, yaitu A. Hiperglikemia B. Hiperketogenesis 91

Kedua proses ini juga diikuti oleh perubahan – perubahan metabolik lain. Terapi Perbedaan derajat terapi KAD tergantung pada stadiumnya Protokol terapi KAD terdiri dari 2 fase, yaitu  Fase I (fase gawat)  Fase II (fase rehabilitasi) Dengan batas kadar glukosa darah antara kedua fase tersebut sekitar 250 mg/ dl Protokol Terapi KAD 1. Rehidrasi …… NaCl 0,9 % atau RL, 2 liter/ 2 jam pertama lalu 80 tts/ men selama 4 jam, lalu 30 – 50 tts/ men selama 18 jam (4 – 6 liter/ 24 jam) 1. IDRIV ……….. 4 – 8 Unit/ jam i.v sampai Fase II Fase I

2. Infus K + ……

75 mEq (bila K + < 3 mEq/ l) 50mEq (bila K + = 3,5 – 4,0 mEq/ l)per 24 jam.**)

3. Infus BIK ……

Bila pH < 7,20 atau BIK < 12mEq/ l: 44 – 132 mEq dalam 500 ml NaCl 0,9 %, 30 – 80 tts/ men (jaringan bolus)

4. Antibiotika ….. Kombinasi*)

92

[[[[[[[

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 5/8

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS BATAS GLUKOSA DARAH SEKITAR 250 mg/ dl ATAU REDUKSI +/1. Maintenance NaCl 0,9 % dan Dextrose 5 % Maltosa 10 % bergantian : 30 - 50 tetes/ menit RI 4 IU sc sebelum Maltosa FASE II

2. Kalium : par enteral (bila K + < 4 mEq/ l) atau per os (air tomat/ kaldu 1 – 2 gelas tiap 12 jam) 3. RI : 3 – 6 IU 4 – 6 kali sc atau IDRIV setiap 2 jam ditambah RI sc 4. Makanan lunak karbohidrat kompleks per oral.

Keterangan: 1. RL = Ringer Lactate; IR = Insulin Reguler IDRIV = Insulin Dosis Rendah Intra Vena 2. Maltosa 10 % (R/ Martos 10) 3. *) Jumlah cairan yang diberikan 24 jam disesuaikan dengan klasifikasi KAD (Stadium I – IV) **) Satu botol KCl 25 ml berisi 25 mEq infus dapat dimasukkan dalam

NaCl 0,9 %.

***) atau RL atau Maltosa 4. Infus Bikarbonat (jangan bolus intravena): 44 – 88 mEq/ 2 jam (50 ml/ 2 jam); 1 ampul Meylon 50 ml = 44 mEq bikarbonat dalam 500 ml NaCl 0,9 % 30 – 80 tts/ menit. Defisit Cairan = (Berat Jenis Plasma – 1,025) x BB x 4 liter BB = Berat badan dalam kg Pedoman Defisit dalam mEq per kg BB (rumus 6, 5, 4, 3, 2, 1) 93

Na = 6, K = 5, Cl = 4, PO4 = 3, Bik = 2, Mg ++ = 1

Rumus Defisit Bikarbonat : (25 – Bik) x BB/ 5 Bik: kadar bikarbonat penderita, BB: berat badan Biasanya infus Bik (bila ada indikasi) hanya diberikan 50 % dari defisit tersebut diatas Prognosa KAD Prognosa baik selama terapi adekuat pada fase I dan II, dan selama tidak ada penyakit lain yang fatal (sepsis, shock septik, infark miokard akut, trombosis serebral, dll)

94

[[

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 6/8

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

KOMA HIPEROSMOLER

Diagnosa Dugaan:

NON KETOTIK (K – KONK)

1. Dehidrasi berat, hipotensi shock, Kussmaul (-) Neurologi (+), reduksi +++ Aseton (-) 2. Sakar darah > 600 mg %, biasanya +/- 1000 mg%, bikarbonat > 15 mEq/l, pH darah normal, tidak ada ketonemia Diagnosa pasti: Diagnosa dugaan (1 + 2) plus OSM darah > 350 mOSM/ l OSM darah = 2 (Na+ K)+ {glukosa (mg/dl)/ 18} + {ureum (mg/dl)/ 6} Diagnosa banding  KAD  Koma Lakto Asidosis Terapi Hampir sama dengan terapi KAD: Fase I – Fase II, tanpa infus Bikarbonat 1. NaCl 0,45 % 2. RL seperti pada terapi KAD 3. Antibiotika menurut Indikasi Prognosa K – HONK Jelek, mortalitas +/- 50 %

95

KOMPLIKASI DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.300.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

KOMPLIKASI KRONIK

No. Revisi 0

Halaman 7/8

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Infeksi (furunkel, karbunkel, tuberkulosis paru, ISK, mikosis) 2. Mata:  N III, N IV, N II, dan nervi sentralis lain  Lensa cembung sewaktu hiperglikemia (miopia reversibel, katarak ireversibel), keadaan ini biasanya masih reversibel  Retinopati DM (Non Proliferative Retinopathy dan Proliferative Retinopathy)  Glaukoma  Perdarahan Korpus Vitreum 3. Mulut  Ludah (kental, mulut kering = serostomia)  Gingiva (edema, merah tua, gingivitis)  Periodontium

(rusak

biasanya

karena

mikroangiopati,

periodontitis DM, semuanya menyebabkan gigi mudah goyah lepas)  Lidah (tebal, rugae, gangguan rasa akibat daru neuropati) 4. Jantung:  Mudah mengidap PJK atau infark  Silent infarction +/ - 40 %  Adanya neuropati autonom menyebabkan kenaikan denyut jantung per menit tidak sesuai sewaktu latihan. 5. Traktus Uropoetik Nefropati diabetik – sindrom Kiemmelstiel Wilson, pielonefritis, necrotizing papilitis, ISK, DNVD = Diabetic Neurogenic Vesical 96

Dysfunction = Diabetic Bladder (dapat menyebabkan retensi/ inkontinensia) 6. Saraf  Perifer (parestesia, anestesia, gloves neuropathy, stocking neuropathy, kram, noctural pain)  Autonom Gastrointestinalis

(neuropati

esofagus,

gastroparesis

diabetikorum, gastroatropi, diare diabetik) UG (DNVD, retensi urin, ISK, impotensi, vulvitis) Kelenjar keringat (menyebabkan distribusi keringat tidak merata, ada yang kering ada yang basah). 7. Kulit Gatal. Shinspot (dermopati diabetik), nekrobiosis llipoidika diabetik, kekuningan (hiperkarotenemia bukan ikterus), selulitis – gangren. Shinspot berupa bercak – bercak hitam di kulit daerah tulang kering. Nekrobiosis lipoidika diabetik berupa luka oval, kronis,

tepi

keputihan

(biasanya

merupakan

manifestasi

mikroangiopati).

97

[

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit metabolik yang kebanyakan herediter, dengan tandatanda hiperglikemia dan glukosuria, disertai dengan atau tidak adanya gejala klinik akut ataupun kronik, sebagai akibat dari kurangnya insulin efektif di dalam tubuh ; gangguan primer terletak pada metabolisme karbohidrat, yang biasanya

disertai juga gangguan

metabolisme lemak dan protein.

98

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

KLASIFIKASI

No. Revisi 0

Halaman 2/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Klasifikasi DM dibuat atas dasar Konsesus PERKENI 1998 yang mengacu pada keputusan American Diabetes Association (ADA) 1997. Klasifikasi Etiologis Diabetes Mellitus (ADA 1997) : 1. Diabetes Tipe 1 Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut. Autoimun, idiopatik. 2. Diabetes Tipe 2 Bervariasi mulai yang terutama dominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang terutama defek sekresi insulin disertai resistensi insulin. 3. Diabetes Tipe Lain : A. Defek genetik fungsi sel beta : - Maturity Onset Diabetes of the Young (MODY) 1,2,3 - DNA mitokondria B. Defek genetik kerja insulin C. Penyakit eksokrin pancreas : - Pankreatitis. - Tumor / pankreatekromi - Pankreatopati fibrokalkulus D. Endokrinopati : - Akromegali - Sindrom Cushing - Feokromositoma - Hipertiroidisme E. Karena obat / zat kimia : - Vacor, pentamidin, asam nikotinat - Glukokortikoid, hormon tiroid - Tiazid, dilantin, interferon alfa dan lain – lain. F. Infeksi - Rubella kongenital, Cyto Megalo Virus (CMV) G. Sebab imunologi yang jarang - Antibodi anti insulin H. Sindrom genetik lain yang berkaitan dengan DM - Sindrom Down,sindrom klinefelter, sindrom turner dan lain-lain 99

4. Diabetes Mellitus Gestational (DMG)

100

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

GEJALA KLINIS

No. Revisi 0

Halaman 3/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gejala klinis DM yang klasik ; mula – mula polifagia, polidipsia, poliuria, dan berat badan naik, kemudian polidipsia, poliuria dan berat badan turun yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, bahkan dapat disusul dengan mual, muntah dan koma diabetik. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah badan, kesemutan, mata kabur yang berubah-ubah, gatal, mialgia, atralgia, impotensia pada pasien pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita.

101

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

DIAGNOSA

No. Revisi Halaman 0 4/10 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa DM harus didasarkan atas pemeriksaan kadar glukosa darah, tidak dapat ditegakkan hanya atas dasar adanya glukosuria saja. Untuk diagnosa DM, pemeriksaan yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah plasma vena. Pemeriksaan Penyaring : Pemeriksaan penyaring berguna untuk menjaring pasien DM, TGT (toleransi glukosa terganggu) dan GDPT (glukosa darah puasa terganggu). Pemeriksaan ini sangat dianjurkan pada mereka yang mendapat kesempatan untuk pemeriksaan penyaring bersama penyakit lain (general chek up). Kriteria diagnosa Diabetes Mellitus : Kadar glukosa darah sewaktu = GDS (plasma vena) > = 200 mg/dl atau Kadar glukosa Darah puasa = GDP (plasma vena) > = 126 mg/dl Puasa berarti tidak ada masukan kalori sejak 10 jam terakhir, atau Kadar glukosa plasma > = 200 mg/dl pada 2 jam sesudah beban glukosa 75 gram pada TTGO. Kriteria diagnosa tersebut harus dikonfirmasi ulang pada hari yang lain, kecuali untuk keadaan khas hiperglikemia dengan dekompensasi metabolik akut, seperti ketoasidosis berat badan yang menurun cepat. Cara pelaksanaan TTGO (WHO, 1985) 3 (tiga) hari sebelumnya makan seperti biasa kegiatan jasmani secukupnya, seperti yang biasa dilakukan puasa semalam, selama 10 – 12 jam. Kadar glukosa darah puasa diperiksa Diberikan glokusa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kg BB anak, dilarutkan dalam air 250 ml, dan diminum selama / dalam waktu 5 menit. Diperiksa kadar glukosa darah 1 (satu) jam atau 2 (dua) jam sesudah beban glukosa, selama pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan tidak merokok. 102

Dibawah ini adalah keterangan dari Protap Diabetes Militus Dengan No.RSU.A.j.301.11.2007 LANGKAH – LANGKAH DIAGNOSA DM (KONSESUS PERKENI 1998) Keluhan klinis Diabetes

Keluhan Klasik (+)

GDP atau GDS

>126 >200

Keluhan Klasik (-)

<126 <200

GDP atau GDS

>126 >200

110–199

Ulang GDS atau GDP

GDP atau GDS

>126 >200

<110

110 < 126

TTGO GD 2 jam

<126 <200

> 200

140-199

< 140

DIABETES MELLITUS Normal TGT

Evaluasi status gizi Evaluasi penyulit DM Evaluasi dan perencanaan makan Sesuai kebutuhan

Keterangan : GDP : Kadar Gula Darah Puasa GDS : Kadar Gula Darah Sewaktu GDPT : Kadar Gula Darah Puasa Terganggu

GDPT

Nasehat umum Perencanaan makanan Latihan jasmani Berat ideal Belum perlu obat penurun glukosa

103

TGT

: Toleransi Glukosa Terganggu.

[[[[[

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

DIAGNOSA BANDING

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 6/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Untuk kasus –kasus dengan hiperglikemia sesudah makan : a. Penyakit hepar (sirosis, hepatitis kronis). b. Gagal Ginjal kronis (GGK) c. Hipertiroid 2. Untuk kasus-kasus dengan reduksi urin positif : a. Glukosuria renal (karena nilai ambang ginjal rendah) b. Galaktosuria pada kehamilan c. Obat-obat : vitamin C dosis tinggi dan lain –lain Tetapi kesemuanya ini (2a,2b,2c) tidak disertai dengan hiperglikemia.

104

[[

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 7/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Dasar - dasar terapi diabetes mellitus = Pentalogi Terapi DM Terapi primer : I. Diit II. Latihan Fisik III. Penyuluhan Kesehatan Masyarakat (PKM) Terapi Sekunder : IV. Obat Hiperglikemik (OAD dan Insulin) V. Cangkok Pankreas (belum dilaksanakan di Indonesia) Macam – macam diit diabetes di Surabaya : Dalam melaksanakan diit ikuti 3 J J 1 : Jumlah kalori yang diberikan harus dihabiskan J2 : Jadwal makanan harus diikuti J3 : Jenis gula dan yang manis harus dipantang. Indikasi Diit B ( 68 % kal, Kbh, 20 % kal, lemak 12 % kal. Protein) Diit – B pada umumnya diberikan kepada semua penderita DM yang kurang mampu atau penderita DM lainnya yang : 1. Kurang tahan lapar dengan diitnya. 2. Mempunyai hiperkolesterolemia. 3. Mempunyai penyulit makro-angiopati (misalnya : pernah mengalami GPDO, PKJ, gangguan pembuluh darah parifer). 4. Mempunyai penyulit mikro-angiopati (misalnya retinopati, diabetik, nefropati, Diabetik tipe B ; Stadium I ) 5. Telah menderita DM lebih dari 15 tahun. GPDO : Gangguan Pembuluh Darah Otak, misalnya trombosis serebri PJK : Penyulit Jantung Koroner. Indikasi Diit – B1 (60 % kal, Kbh 20 % kal. Lemak 20 % kal. Protein) Diit – B1 diberikan kepada penderita DM yang memerlukan diit protein tinggi, misalnya penderita DM yang : 1. Mampu, atau mempunyai kebiasaan makan protein tinggi, tetapi memiliki kadar lemak yang normal. 2. Kurus (underweight ) (RBW kurang dari 90 %) 3. Masih muda (perlu pertumbuhan) 4. Mengalami patah tulang 5. Hamil atau menyusui 105

6. 7. 8. 9. 10. 11.

Menderita hepatitis kronis atau sirosis hati. Menderita tuberkulosis paru. Menderita selulitis atau gangren. Dalam keadaan pasca bedah Menderita penyakit Graves + Morbus Basedow. Menderita kanker ( Ca Cervix, Ca Mamma, Hepatoma, dan lain – lain ). 12. Mengidap infeksi cukup lama ( demam tifoid, ISK, meningistis, dan lain – lain ). Indikasi Diit – B2 Untuk DM dengan Nefropati tipe B2 ( stadium II ) Indikasi Diit – B3 Untuk DM dengan nefropati tipe B3 ( stadium III ) Indikasi Diit – Be Boleh gula dan yang manis (termasuk es krim) asal tetap mengikuti 3J Untuk DM dengan Nefropati tipe Be ( stadium IV = Terminal ). Latihan Fisik : Secara teratur Tiap hari Penyuluhan Kesehatan Masyarakat ( PKM ): Tentang DM Obat Hipoglikemik ( OHO dan insulin ) Tablet OHO Indikasi : DM tipe 2, DM – M ( MRDM ) Klasifikasi klinis OHO secara rasional : Harus diketahui indikasi : A. Apabila perlu hipoglikemik kuat, gunakan golongan Glibenklamid (Euglucon dan Daonil) dosis maksimal 2 – 3 tablet per hari, atau Klorpropamid ( Diabenese, dosis maksimal 2 tablet per hari ). B. Untuk DM plus kelainan faal hepar dan atau ginjal, gunakan golongan Gliquidon (Glurenorm, dosis maksimal 4 tablet per hari). C. Untuk DM plus angiopati, gunakan golongan Gliklazid ( Diamieron, dosis maksimal 4 tablet per hari ). D. Untuk DM ringan atau sedang, atau gangguan pasca – receptor, gunakan golonagan Glipizid ( Minidiab, dosis maksimal 6 tablet per hari ). Yang harus diketahui : agar angiopati diabetik tidak mudah timbul, hindarkan terjadinya NSH ( Nocturnal Symptomless Hypoglicemia ). NSH dapat timbul OAD diberikan pada sore atau malam hari, sehingga pada malamnya timbul NSH. NSH ini akan merangsang sekresi katekolamin, kortisol, growth hormon, dan glukogan yang semuannya mempercepat terjadinya angiopati diabetik. Karena itu apabila memberikan OHO, misalnya golongan Glibenklamid, maka berikan pada pagi dan siang hari, jangan pagi dan sore hari. Beberapa OHO baru yang terbukti memberikan hasil klinis yang baik :  Acarbose, dosis : diawali 3 x 50 mg dikunyah pada saat mulai makan, kemudian secara bertahap dinaikkan menjadi 3x100 mg sampai 3 x 200 mg setiap satu bulan sampai tercapai dosis 106

 

optimal. Melformin, dosis : 1 – 3 gram / hari dibagi 2 – 3 kali pemberian. Troglitazone, dosis 200 – 600 mg / hari, rata – rata 400 mg / hari diberikan sekali sehari pada waktu pagi.

107

[

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 9/10

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

TERAPI KOMBINASI OBAT HIPOGLIKEMIK ORAL

1. Acarbose dan Sulfonilurea Pada penderita DMTTI dengan berat badan normal atau kurus dengan dugaan insulin tubuh yang kurang, bila diet, olah raga dan Acarbose gagal mengendalikan glukosa darah dapat ditambahkan sulfonilurea ( Diet + OR + A + SU ) Bila cara ini gagal dapat ditambahkan Traglitazone (Diet + OR + A + SU + T) 2. Acarbose dan Metformin Pada penderita DMTTI dengan obesitas dimana umumnya insulin tubuh masih cukup banyak bahkan mungkin berlebih bila diet, dan olah raga belum berhasil mengendalikan glukosa darah dapat ditambahkan Acarbose. Bila dosis Acarbose sudah optimal dan glokosa darah tetap belum terkendali dapat diberikan Metformin ( Diet + OR + A + M ) Bila kombinasi ini gagal ukur kadar insulin tubuh Bila insulin tubuh masih cukup dapat dicoba ditambahkan Troglitazone atau Sulfonilurea ( Diet + OR + A + M + T/ SU ) Bila insulin tubuh rendah disarankan untuk terapi kombinasi dengan insulin INSULIN Idikasi : 1. DM tipe I DM – M ( MRDM 2. Koma Diabetik 3. DM tipe 2 dan keadaan tertentu DM dengan secondary failure dari OHO, DM + kehamilan, DM. Sellulitis/ gangren/ infeksi lainnya, DM kurus, DM + fraktur , DM + Hepatitis kronis/ sirosis, DM + operasi, DM + TBC Paru, DM + Graves disease, DM + kanker. Macam Insulin  Insulin Konvensional  Insulin Monokomponen  BHI ( Biosynthetic Human Insulin ) Cangkok Pankreas : Belum dilaksanakan di Indonesia, tetapi sudah di AS dan beberapa 108

negara di Eropah.

109

[[[[[[

DIABETES MELLITUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.301.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PROGNOSIS

No. Revisi 0

Halaman 10/10

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Prognosa tergantung pada keadaan regulasi DM Regulasi teratur dan baik akan memberi prognosa baik Prognosa Nefropati Diabetik tipe B3 dan Be kurang baik.

110

[[[[

ANAFILAKSIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN

FOTOFISIOLOGI

ETIOLOGI

No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Respon klinis terhadap reaksi imunologi bentuk segera ( tipe I ) anatara antigen spesifik dengan suatu antibodi pada jaringan ( tissue fixing antibody = Hemositotoksis = IgE ). Dan terdiri 3 tahap :  Aktivasi sel sasaran ( target cell ) : antigen akan terikat dengan IgE pada permukaan sel – sel mast dan sel basofil.  Pelepasan zat – zat mediator oleh sel – sel yang telah diaktivasi  Pengaruh zat – zat mediator pada organ sasaran. Jenis zat – zat mediator yang dihasilkan : 1. Histamin  Menyebabkan peningkatan permeabilitas pembuluh darah dan relaksasi otot polos pembuluh darah.  Kontraksi otot polos bronkus dan edema larynx.  Merangsang otot polos saluran cerna, sehingga menyebabkan kemerahan urtika dan angioedema.  Shock 2. Eosinophil Chemotactic factor of Anaphylaxis ( ECF – A ) menarik eosinofil ke tempat reaksi dan melepaskan zat mediator sekunder. 3. Zat – zat mediator lain yang kerjanya menyerupai atau meningkatkan efek bistamin, seperti Slow – Reacting Substance of Anaphylaxis ( SRS – A ),kallikrein basofil ( kinin ) dan Platelet Activating Factor of Anaphylaxis ( PAF ) Paling sering disebabkan oleh obat - obatan, gigitan serangga, dan beberapa jenis makanan.

111

[

ANAFILAKSIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

GEJALA KLINIS

A. Bentuk reaksi  Reaksi lokal : urtika dan angioedema  Reaksi sistemik : terjadi pada organ sasaran B. Tanda – tanda dan gejala – gejala utama : 1. Reaki sistematik ringan : rasa panas, perasaan penuh dalam mulut dan dada, kongesti cavum nasi, pembengkakan periorbital, rasa gatal pada kulit dan mata berair.

DIAGNOSA BANDING

2. Reaksi sistemik sedang : reaksi sistemik ringan disertai dengan spasme bronkus dan edema larynx 3. Reaksi sistemik berat :  Segera timbul tanpa gejala – gejala prodromal  Bronkospasme dan edema larynx  Edema dan hipermotilitas saluran cerna  Kolaps kardiovaskuler Pemeriksaan Laboratorium : Tidak ada pemeriksaan laboratorium yang khas  Reaksi ringan : Dermatitis kontak yang luas  Reaksi berat  Reaksi anavilaktoid : reaksi ini menyerupai anafilaksis, tapi bukan disebakan oleh reaksi antigen – antibodi, melainkan pelepasan secara langsung zat – zat mediator oleh sel mast pada jaringan karena pengaruh suatu zat seperti zat media kontras radiologi ( Lipiodol). Bromsulfoptalen, dan makanan.  Vasovagal, sinkop, infark miokard, dan rekasi histeri.

112

[[

ANAFILAKSIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.302.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENATALAKSANAAN

1. Resusitasi kardiopulmoner 2. Epinefrin 0,30 – 0,50 ml larutan 1 : 1000 subkutan dan 0,10 – 0,30 ml pada tempat suntikan atau tempat sengatan serangga, dapat diulangi setiap 15 – 20 menit. 3. Pasang torniquet, dilepaskan setiap 10 menit selama 1 – 2 menit. 4. Oksigen 5 p- 10 1/menit. 5. Difenhidramin : 50 mg intravena perlahan – lahan ( 5 – 10 menit ) diulangi tiap 6 jam selama 48 jam. 6. Infus cairan : Bila tekanan darah kurang dari 100 mmHg pada orang dewasa dan kurang dari 50 mmHg pada anak. Campuran glukosa 5 % dengan larutan garam faali dalam jumlah yang sama sebanyak 2000 – 3000 ml / m2 luas permukaan tubuh / 24 jam 7. Aminofilin : Diberikan bila ada bronkospasme yang menetap dengan dosis 4 – 7 mg/kg BB intravena selama 10 – 20 menit 8. Vasopressor : Diberikan bila dengan pemberian cairan tidak dapat menaikkan tekanan darah.  Aramin : anak 0,01 mg / kg BB, dewasa 2 – 5 mg bolus intravena perlahan  Levarterenol bitartrat : 4 – 8 mg / lt Dekstrose 5 % dengan kecepatan 2 ml / menit.  Dopamin : 0,3 – 1,2 mg/ kg BB / jam secara infuse dengan Dekstrose 5 %. 9. Intubasi dan tracheostomi : Bila ada obstruksi saluran nafas bagian atas oleh karena edema 10. Kortikosteroid : Tidak banyak membantu untuk mengatasi anafilaksis akut yang hebat, hanya untuk mencegah terjadinya reaksi berulang. Dosis 7 – 10 mg/kg BB. Hidrokortison intravena dilanjutkan dengan 5 mg/kg BB / 6 jam . 113

11. Terapi suportif dipertahankan bila keadaan penderita sudah stabil. Pencegahan :  Anamnesa yang teliti tentang riwayat alergi terhadap obat – obatan atau antigen lain sebelumnya.  Pemberian obat – obatan sebaiknya per oral bila tidak sangat dibutuhkan.  Bila obat – obatan tersebut sangat dibutuhkan tetapi bersifat antigenik, maka harus dilakukan tes kulit . Misalnya obat golongan penicillin, toksoid, antisera, ACTH, dan insulin.

114

INTOKSIKASI OBAT KUAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENDAHULUAN

No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 1/7

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Intoksikasi obat dapat timbul akibat akut atau kronis. Dapat terjadi akibat usaha bunuh diri (“tentamen suicide”), pembunuhan (“homicide”), maupun kecelakaan tidak sengaja (“acidental”). Pada orang dewasa keracunan obat umumnya akibat usaha bunuh diri, kebanyakan dilakukan oleh wanita muda (usia 10 – 30 tahun). Sedang

ETIOLOGI

pada anak – anak kebanyakan karena kecelakaan. Penyebab terbanyak adalah insektisida fosfat organik (IFO), sedativa – hipnotika dan analgetika, minyak tanah, bahan korosif, dan pestisida lain (hidrokarbon klorin dan racun tikus).

115

[[

INTOKSIKASI OBAT KUAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/7

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa tidak selamanya mudah. Harus selalu dipikirkan pada setiap penderita yang sebelumnya tampak sehat, mendadak timbul gejala – gejala koma, kejang – kejang, shock, sianosis, psikosis akut, gagal ginjal akut atau gagal hati akut, tanpa diketahui penyebabnya. 1. Anamnesa Biasanya heteroanamnesa (karena penderita dalam keadaan tidak sadar atau malu berterus terang). Usahakan mendapatkan nama, jumlah bahan, serta saat penderita meminum obat. Carikan bekas – bekas bungkus, tempat, atau botol obat, resep terakhir, serta surat – surat yang mungkin baru saja ditulis. Tanyakan adanya riwayat perselisihan dengan keluarga, teman dekat, teman sekantor, atau ada tidaknya masalah ekonomi yang berat 2. Pemeriksaan Jasmani Ukur tekanan darah, nadi, suhu dan frekwensi pernapasan. Tentukan tingkat kesadaran serta sifat – sifat gangguan kesadaran penderita. Koma yang tenang (kalem) biasanya akibat golongan sedativa – hipnotika, bila disertai gelisah sampai kejang – kejang, dapat disebabkan oleh alkohol, INH maupun insektisida hidrokarbon klorin. Perlu dicatat pula adanya luka – luka etsa sekitar mulut, bau napas yang khas, adanya hipersalivasi, hiperhidrosis, pupil yang miosis, dan lain – lain. 3. Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan laboratorium rutin biasanya tidak banyak membantu. Pemeriksaan kadar kholinesterase plasma sangat membantu diagnosa keracunan IFO (kadarnya menurun sampai dibawah 50 %). 4. Pemeriksaan toksiologi Penting untuk kepastian diagnosa, terutama untuk keperluan visum et repertum. Bahan diambil dari muntahan penderita atau dari bahan kumbah lambung yang pertama (sekitar 100 ml). Juga dari urine sebanyak 100 ml dan darah tanpa antikoagulan sebanyak 10 ml. Di samping itu, sisa obat atau bahan kimia lain yang diduga menjadi penyebab keracunan. 116

5. Pemeriksan patologi Penting untuk membantu kepastian diagnosa bila dengan ke 4 cara diatas diagnosa masih sulit untuk ditegakkan. Pemeriksaan patologi sering dibutuhkan untuk menyingkap penyebab keracunan karena pembunuhan (“homicide”).

117

INTOKSIKASI OBAT KUAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.303.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/7

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS A. PERTOLONGAN PERTAMA (“FIRST AID”) B. PENATALAKSANAAN DARURAT (UMUM/ KHUSUS) C. PERAWATAN JIWA A. PERTOLONGAN PERTAMA (“FIRST AID”) Sangat tergantung pada racun masuk ke dalam tubuh penderita : 1. Racun yang tertelan Segera baringkan penderita di tempat datar, secepatnya usahakan untuk memuntahkan racun dengan cara: merangsang faring dengan ujung telunjuk, pangkal sendok, atau dengan memberi minum 15 – 30 ml sirup ipecac diikuti setengah gelas air minum, diulang setelah 15 menit bila perlu. Selanjutnya berikan karbon aktif (norit) sebanyak 25 – 40 gram. Kontraindikasi: kejang – kejang atau koma, tertelan bahan korosif (asam atau basa kuat) atau bahan minyak (minyak tanah, bensin, minyak cat atau thinner). 2. Racun yang terhirup Bawa penderita segera ke udara bebas, berikan oksigen secepatnya, kalau perlu dengan mouth - to - mouth breathing atau dengan ambu bag 3. Keracunan melalui kulit Bersihkan kulit yang terkena secepatnya dengan air mengalir (air keran) atau air pancuran (shower). Selama melepas pakaian penderita, tubuh penderita tetap diguyur dengan air. Kulit yang terkena disabuni sebersih mungkin, jangan lupa mengeramasi rambut penderita. 4. Keracunan melalui mata Lipat kelopak mata keluar, selanjutnya segera bersihkan mata dengan air mengalir sekitar 15 menit, dengan semprotan atau tetes mata.

118

B. PENATALAKSANAAN DARURAT UMUM Dikerjakan bersama – sama dengan tindakan diagnostik, biasanya setelah pertolongan pertama selesai dikerjakan. Tujuan penatalaksanaan umum ini adalah untuk mempertahankan vitalitas atau kehidupan penderita, serta mencegah penyerapan racun dengan cara menghambat absorbsi dan menghilangkan racun dari dalam tubuh. 1. Resusitasi (ABCD) A. (airway = jalan napas), bebaskan jalan napas dari sumbatan bahan muntahan, lendir, gigi palsu, pangkal lidah, dll, kalau perlu dengan “oropharyngeal” airway” (pipa Mayo), dan alat penghisap lendir B. (breathing = pernapasan), jaga agar pernapasan tetap dapat berlangsung dengan baik, kalau perlu dengan mouth – to – mouth breathing, atau respirator C. (circulation = peredaran darah), tekanan darah dan nadi dipertahankan dengan infus D – 5, PZ atau RL 15 – 20 tetes per menit, kalau perlu dengan kecepatan tinggi, pemberian cairan koloid (Expafusin dan Dextran) sebanyak 500 – 1000 ml dalam 24 jam dapat dikerjakan bila perlu. Bila terjadi “cardiac arrest” dilakukan pijat jantung eksterna atau RKP (resusitasi kardio pulmoner) D. (drugs = obat) kalau terjadi shock anafilaktik diberi adrenalin subkutan. 2. Eliminasi Tujuannya untuk menghambat penyerapan lebih lanjut, kalau dapat menghilangkan bahan racun atau hasil metabolismenya dari tubuh penderita. Tindakan ini dikerjakan dengan cara sebagai berikut: a) Emesis, merangsang penderita supaya muntah pada penderita yang sadar, atau dengan pemberian sirup ipecac 15 – 30 ml. Dapat diulang setelah 20 menit bila tidak berhasil. Karbon aktif (norit) baru boleh diberikan setelah emesis terjadi. Bila emesis berhasil dikerjakan dalam waktu 1 jam setelah keracunan, 30 – 60 % racun biasanya dapat dievakuasi dari tubuh penderita. Bila tindakan ini dikerjakan setelah lebih dari 1 jam, efektivitasnya menjadi < 20 %. Kontraindikasi: kesadaran yang menurun, keracunan bahan korosif, minyak tanah (pada anak kecil) dan obat – obatan yang dapat menimbulkan konvulsi. b) Katarsis (intestinal lavage), dengan pemberian laksans, terutama untuk racun yang tidak dapat diserap melalui saluran cerna atau bila diduga racun telah sampai di usus halus dan usus tebal. Kontraindikasi: keracunan bahan 119

korosif atau ada dugaan kelainan elektrolit. Bahan laksans yang berbahaya untuk dipakai secara rutin: laksans ringan (aloes, cascara), cairan hipertonik (pada kelainan ginjal), MgSO4 (pada kelainan ginjal atau keracunan bahan nefrotoksis/ myoglobinuria/ hemoglobinuria). Beberapa laksans yang dapat dipakai dengan aman per oral sekali minum:  Na – sulfat 30 gram dalam 200 – 250 ml air (1 gelas)  Na – fosfat (Fleet’s Phospho – soda) 15 – 60 ml diencerkan sampai seperempatnya  Sorbito / manitol (20 – 40 %) 100 – 200 ml  Castor oil (kontraindikasi pada keracunan “chlorinated insecticides”) 15 – 30 ml. c) Kumbang lambung (KL atau “gastric lavage”), pada penderita yang kesadarannya telah menurun atau pada mereka yang tidak kooperatif. Hasil paling efektif bila KL dikerjakan dalam 4 jam setelah keracunan. Pada keracunan bahan tertentu, terutama yang dapat menimbulkan koma dan shock, penyerapan racun biasanya berlangsung lebih lama, hingga KL kadang – kadang masih bermanfaat meskipun dikerjakan > 4 jam. Kontraindikasi: bahan korosif, minyak tanah, bahan konvulsan, dan gangguan elektrolit. KL dilakukan dengan menggunakan pipa lambung besar no. 22, 32 atau pipa Levine no. 12. Pemberian cairan untuk KL tidak boleh terlalu banyak, karena dapat menambah kecepatan penyerapan obat yang telah masuk. Komplikasi KL: aspirasi pneumonia, perforasi, perdarahan, trauma psikis, “gagging”, cardiac arrest”. d) Diuresis paksa (“forced diuresis” = F.D), pada dugaan racun telah berada dalam darah dan dapat dikeluarkan melalui ginjal: ada 2 macam diuresis paksa: diuresis paksa alkali (FDA) khusus untuk keracunan asam salisilat dan fenobarbital, dan diuresis paksa netral pada keracunan bahan lain. e) Dialisis (“hemodialisis/ peritoneal dialisis”), terutama untuk keracunan bahan – bahan yang dapat didialisis. f) Mandi dan Keramas, dilakukan pada keracunan bahan yang dapat masuk tubuh lewat kulit (mis. Insektisida fosfat organik) Emesis, katarsis dan KL di atas sebaiknya hanya dilakukan bila keracunan terjadi kurang dari 4 – 6 jam. Pada koma derajat sedang sampai berat (tingkat III – IV), juga pada keracunan minyak tanah atau bensin, tindakan KL hendaknya dikerjakan dengan bantuan pemasangan pipa Endotrakheal berbalon, untuk mencegah pneumonia aspirasi. Terapi Penyangga (“Supportive treatment”) Tindakan ini bertujuan untuk mempertahankan fungsi alat – alat vital 120

tubuh, sementara menunggu eliminasi seluruh obat, hasil metabolik, maupun

efeknya

dari

tubuh

penderita.

Dikerjakan

dengan

memperhitungkan keseimbangan cairan, elektrolit, asam basa, dan kalori setiap harinya. Terutama dalam tindakan ini, pengobatan terhadap komplikasi Antidotum Hanya kurang dari 10 % bahan kimia yang mempunyai antidotum. Pemberian antidotum tidak dapat dipakai sebagai pengganti ketiga cara pengobatan lainnya. Juga tidak dapat dibenarkan pemberian obat ini sebagai profilakis keracunan obat. Beberapa contoh antidotum (dosis dapat dilihat dalam keracunan bahan kimia maisng – masing).  Nallorphine untuk keracunan morphine  Atropin sulfat untuk keracunan insektisida fosfat organik  Biru metilen untuk keracunan nitrit.

121

INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istilah pestisida pada umumnya dipakai untuk semua bahan yang dipakai manusia untuk membasmi hama yang merugikan manusia. Termasuk pestisida ini antara lain: insektisida yang digunakan khusus untuk serangga, dan rodentisida yang dipakai untuk membasmi tikus. Dua macam insektisida yang waktu ini paling banyak digunakan dalam pertanian adalah: 1. Insektisida hidrokarbon klrorin (IHK = chlorinated hydrocarbon”) 2. Insektisida fosfat organik (IFO = “organo phosphat insecticide”) Selama beberapa tahun terakhir, pemakaian IFO terus meningkat di mana – mana, baik untuk keperluan rumah tangga maupun pertanian, sedangkan IHK mulai dilarang di beberapa negara. 1. Sifat – sifat Nama

lain

dari

IFO:

insektisida

organo

fosfat,

atau

“Cholinesterase inhibitor” IFO merupakan insektisida poten yang paling banyak digunakan dalam pertanian, dengan toksitosis yang tinggi. Salah satu derivatnya, Tabun dan Sarin, pernah diapakai dalam Perang Dunia II dan dikenal sebagai gas saraf atau gas perang. Bahan ini dapat menembus kulit yang normal (“intact”), juga dapat diserap lewat paru dan saluran makanan, namun tidak berakumulasi dalam jaringan tubuh seperti halnya golongan IHK. 2. Macam – macamnya Malathion (Tolly), Parathion, Diazinon, Basudin, Paraoxon, Phosdrin, Raid, Systox, TEPP (Tetraethyl Phyrophosphate) dll. IFO atau “cholinesterase inhibitor insecticide” sebenarnya dibagi 2 122

macam, yaitu : IFO yang murni dan golongan carbamate. Keduanya mempunyai sifat – sifat fisik serta gambaran klinis keracunan yang sama, karena itu selanjutnya dianggap sama. Salah satu contoh insektisida golongan carbamate ini adalah Baygon.

123

[[

INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PATOGENESA

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) ensim asetil – Kholin - esterase tubuh (KhE). Dalam keadaan normal, ensim KhE bekerja untuk menghidrolisis AKh dengan jalan mengadakan ikatan AKh – KhE yang bersifat Inaktif. Bila konsentrasi racun lebih tinggi, ikatan IFO – KhE lebih banyak terjadi, akibatnya akan terjadi pemupukan AKh ditempat – tempat tertentu, hingga timbul gejala – gejala rangsangan AKh yang berlebihan, yang akan menimbulkan efek muskarinik, nikotinik dan SSP (menimbulkan stimulasi kemudian depresi SSP). Pada keracunan IFO, ikatan IFO – KhE bersifat menetap (“irreversible”), sedang pada keracunan carbamate ikatan ini bersifat sementara (“reversible”), Secara farmakologik efek Akh dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu : a) Muskarinik, terutama pada saluran makanan, kelenjar ludah dan keringat, pupil, bronkus, dan jantung. b) Nikotinik, terutama pada otot – otot skelet, bola mata, lidah, kelopak mata, dan otot pernapasan. c) SSP, menimbulkan rasa nyeri kepala, perubahan emosi, kejang – kejang ( Konvulsi ) sampai koma.

124

INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA

Gambaran Klinis 

Yang paling menonjol adalah kelainan visus, hiperaktivitas kelenjar ludah / keringat / saluran makanan, dan kesukaran bernafas.



Keracunan ringan : anoreksia, nyeri kepala, rasa lemah, rasa takut, tremor lidah, tremor kelopak mata, pupil miosis.



Keracunan sedang : nausea, muntah – muntah, kejang / kram perut, hipersalivasi, hiperhidrosis, fasikulasi otot, bradikardi.



Keracunan berat : diare, pupil “pin – point”, reaksi cahaya negatif, sesak napas, sianosis, edema paru, inkontinensia urin dan feses, konvulsi, koma, blokade, jantung, akhirnya meninggal.

Pemeriksaan laboratorik Pemeriksaan rutin tidak banyak menolong. Pengukuran kadar KhE dalam sel darah merah dan plasma, penting untuk memastikan diagnosa keracunan IFO akut maupun kronis ( menurun sekian % dari harga normal ). Keracunan Akut : Ringan

40 – 70 % N

Sedang

20 – 40 % N

Berat

< 20 % N

Keracunan kronis : bila kadar KhE menurun sampai 25 – 50 %, setiap individu yang berhubungan dengan insektisida ini harus segera disingkirkan, dan baru diizinkan bekerja kembali bila kadar KhE telah meningkat > 75 % N. 125

Pemeriksaan PA Pada keracunan akut, hasil pemeriksaan patologi biasanya tidak khas. Sering hanya ditemukan edema paru, dilatasi kapiler, dan hiperemi paru, otak dan organ – organ lain.

126

INTOKSIKASI INSEKTISIDA FOSFAT ORGANIK

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.304.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENGOBATAN

1. Resisutasi Infus dekstrosa 5 % kecepatan 15 – 20 tetes/menit, napas buatan dan oksigen. Hisap lendir dalam saluran napas, hindari obat – obatan depresan saluran napas, kalau perlu digunakan respirator pada kegagalan nafas yang berat. 2. Eliminasi. Emesis, katarsis, KL, keramas rambut dan mandikan seluruh tubuh dengan sabun. 3. Antidotum. Antropin sulfat (SA), bekerja dengan menghambat efek muskarinik AKh pada tempat – tempat penumpukannya. a. Mula – mula diberikan intravena 1 – 2,5 mg. b. Dilanjutkan dengan 0,5 – 1 mg setiap 5 – 10 – 15 menit sampai timbul gejala – gejala atropinisasi ( muka merah, mulut kering, takhikardia, midriasis, febris, psikosis ). c. Kemudian interval diperpanjang setiap 15 – 30 – 60 menit, selanjutnya setiap 2 – 4 – 6 dan 12 jam. d. Pemberian SA dihentikan minimal setelah 2 x 24 jam. Penghentian SA yang mendadak dapat menimbulkan “rebound effect” berupa edema paru dan kegagalan

PROGNOSA

pernapasan akut, yang sering fatal. Pada umumnya baik, bila pengobatan belum terlambat. Beberapa kesalahan pengobatan yang sering terjadi : 

Resusitasi kurang baik dikerjakan ; 127



Eliminasi racun kurang baik;



Dosis atropin kurang adekwat, atau terlalu cepat dihentikan.

INTOKSIKASI INSEKTISIDA HIDROKARBON KLORIN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.305.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

BATASAN

1. Sifat – sifat Mudah larut dalam minyak, tidak larut dalam air, dapat tetap stabil selama berminggu – minggu sampai berbulan – bulan. Keracunan dapat disebabkan oleh bahan pelarut maupun insektisida sendiri. Karena dapat bertahan selama berbulan – bulan setelah dibubuhkan di alam, maka banyak Negara mulai melarang penggunaan bahan ini secara luas. 2. Macam – Macam DDT ( dichloro – diphenyl – trichlorethane ), merupakan IHK yang paling banyak digunakan dan paling toksik. Aldrin, dieldrin, endrin,

PATOGENESA

chlordane, lindane, thiodane, dll. Mekanisme kerja kurang jelas, terutama menyerang SSP ( serebelum dan korteks serebri ), dapat menimbulkan tremor, hiperaktivitas,

DIAGNOSA

kelemahan otot, kejang – kejang ( konvulsi ) dan aritmia jantung. Gambaran Klinis Gambaran klinis yang paling menonjol adalah muntah – muntah, tremor serta konvulsi. Keracunan ringan : muntah – muntah ( ½ jam – 1 jam setelah keracunan ), rasa lemah, lumpuh, diare dan agitasi. 128

Keracunan sedang sampai berat : “ twitching “ kelopak mata ( dalam 8 – 12 jam ) diikuti tremor otot mulai dari kepala dan leher, ke daerah distal hingga terjadi konvulsi klonik yang berat seperti keracunan striknin; nadi normal, pernapasan cepat kemudian melambat. Bahan pelarut insektisida pada umumnya dapat mengurangi efek konvulsi IHK, namun dapat memperberat efek depresi pada SSP. Pemeriksaan lobarotorik / toksikologi Pemeriksaan urine tidak ada yang khas. Pemeriksaan toksikologi adanya bahan ini dalam urine, serum, maupun biopsi jaringan lemak, sering dapat membantu menegakkan diagnosa.

129

[[[

INTOKSIKASI INSEKTISIDA HIDROKARBON KLORIN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENGOBATAN

No. Dokumen RSU.A.j.305.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 2/2

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Resusitasi : napas buatan + oksigen dan infus bila hipotensi. 2. Eliminasi : KL dengan 2 – 4 liter air, emesis dan katarsis 3. Terapi penunjang / penyangga : antikonvulsan ( valium 5 – 10 mg intravena, luminal 50 – 100 mg intravena, bila perlu dengan sodium pentotal 500 mg intravena perlahan – lahan ). Obat – obat stimulan

PROGNOSA

seperti

adrenalin

/

non

adrenalin

merupakan

kontraindikasi karena dapat menimbulkan fibrilasi ventrikel. 1. Ringan ( hanya sampai tremor), pulih asal dalam 24 jam. 2. Sedang ( sampai konvulsi ), dapat pulih asal setelah 24 jam 3. Berat ( konvulasi yang sulit diatasi), biasanya sulit untuk pulih asal, apalagi bila bahan pelarut bahan organik.

130

KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

BATASAN

1. Sifat – Sifat Banyak obat – obat yang menimbulkan sedasi dan hipnosis dengan cara menekan susunan saraf pusat (SSP). Overdosis obat – obat ini menimbulkan koma dengan kegagalan pernapasan. Dosis fatal sebagian besar obat depresan nonbarbiturat berkisar antara 100 – 500 mg/kg BB (kecuali choral hydrat). Untuk chloralhydrat dosis fatal sekitar 30 mg/kg BB, sedang barbiturat berkisar 1 – 2 gram. 2. Macam – macam a. Golongan barbiturat : fenobarbital (luminal), amobarbital (Amytal), pentotal (Nembutal), tiopental (Pentotal). b. Nonbarbiturat : meprobamat, methaqualon, gluthetimide (Doriden). c. Antiepilepsi : phenitoin (Dilantin), carbamazepin (Tegretol) d. Anthistamin: antazoline, diphenhydramine (Benadryl), dll. e. Phenothiazine dan derivat – derivatnya: chlorpromazine (Largaeti), chlordiazepoxide (librium), diazepam (Valium, Stezolid), lorazepam (ativan), haloperidol (Haidol), dll. f.

Bromidum: NaBr, KBr, NH4Br

g. Analgetika:

asam

salisilat

(Aspirin),

acetaminophen

(Paracetamol), metampiron (antalgin, Novalgin). h. Analgetika narkotika: morphine, codeine, heroin, meperidine 131

(Pethidine), PATOGENESA

opium

(Papaver

somniferum),

loperamide

(Imodium), dll. Obat – obat golongan sedativa – hipnotika dan analgetika ini menyebabkan depresi progresif dari susunan saraf pusat (SSP), menurun dari korteks ke arah medulla. Pusat respirasi akan ditekan, dan pergerakan napas akan mengurang, menimbulkan anoksia jaringan.

132

[

KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA

Gambaran Klinis Keluhan pertama adalah rasa ngantuk, bingung dan menurunnya keseimbangan. Dengan cepat kemudian diikuti dengan, koma, dan pernapasan yang pelan dan dangkal. Selanjutnya otot – otot melemah atau “flaccid”, hipotensi, sianosis, hipotermi atau hipertemi, dan refleks – refleks menghilang. Lama koma sangat bervariasi, tergantung dosis dan jenis obat, dapat 1 – 7 hari. Kematian, biasanya akibat komplikasi pneumoni aspirasi, edema paru atau hipotensi yang refrakter. Pemeriksaan laboratorik Pada koma yang lama dapat timbul hipokalemia. PCO2 darah dapat meningkat. Khusus barbiturat, tinggi kadar dalam darah berhubungan erat dengan lama koma serta jenis dan dosis barbiturat yang dipakai. Untuk fenobarbital dan barbital, kadar 5 – 8 mg/ 100 ml dalam darah, menunjukkan keracunan yang berat.

133

[[[

KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 3/4 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

PENGOBATAN

1. Resusitasi Pertahankan jalan napas yang baik, bila perlu dengan “oropharyngeal airway” atau intubasi endotrakheal. Hisap lendir dalam saluran napas. Bila timbul depresi pernapasan, berikan O2 lewat kateter hidung (4 – 6 liter/ menit) atau masker oksigen (2 – 4 liter/ menit). Bila perlu gunakan respirator. 2. Eliminasi Eliminasi sangat tergantung pada tingkat kesadaran penderita, jenis dan dosis obat yang dipakai. Pada penderita sadar: cukup emesis, pemberian norit dan laksans MgSO4. Kalau pasti dosis rendah, langsung dipulangkan. Bila ragu – ragu observasi selama beberapa jam. Koma derajat ringan – sedang. Kumbah lambung dengan pipa nasogastrik tanpa endotrakheal, diikuti dengan diuresis paksa selama 12 jam bila ragu – ragu tentang penyebab keracunan. Caranya: mulai dengan 1 ampul kalsium glukonas intravena, selanjutnya infus Dekstrosa 5 – 10 % ditambah 10 ml KCl 15 % (=1,50 mg KCl) untuk setiap 500 ml Dekstrose, kecepatan 3 liter dalam 12 jam; setiap 6 jam diberi 40 mg furosemide intravena. Diuresis paksa dapat diulang setiap 12 jam bila perlu, sampai penderita sadar. Untuk keracunan salisilat dan fenobarbital dapat ditambahkan 10 mEq Na – bikarbonat untuk setiap 500 ml Desktrosa (diuresis paksa alkali).

134

Koma derajat berat: KL dengan pipa endotrakheal berbalon, untuk mencegah aspirasi ke dalam paru. Selanjutnya diuresis paksa netral/ alkali, atau dialisis (peritoneai/ hemodialisis) sampai penderita sadar. 3. Antidotum Tidak ada antidotum yang spesifik. Obat – obat analeptik semuanya merupakan kontra indikasi. Selain tidak efektif, obat – obat ini dapat menimbulkan bermacam – macam komplikasi (aritmia jantung, konvulsi, gangguan faal ginjal, dll).

135

KERACUNAN BAHAN HIPNOTIKA-SEDATIVA DAN ANALGETIKA RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PROGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.306.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 4/4 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Tergantung keadaan klinis dan derajat gangguan kesadaran penderita Ringan: mudah dibangunkan, tidak perlu pengobatan khusus. Sedang: sulit dibangunkan, pernapasan normal dan teratur, tidak ada sianosis maupun edema paru, tekanan darah normal. Dapat pulih asal dalam 24 – 48 jam dengan perawatan yang baik dan pemberian cairan yang adekwat. Berat: koma dengan pernapasan yang pelan, dangkal, tidak teratur, sianosis, semua refleks menghilang, hipotensi, hipotermi, pupil midriasis, dan tidak ada reaksi terhadap rangsangan nyeri. Dalam keadaan demikian, angka kematian masih tetap dibawah 5 %. Penderita dapat pulih asal dalam 3 – 5 hari.

136

INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS BATASAN

1. Sifat – sifat Ada 2 bentuk yang perlu dikenal: a. Asam kuat, dan b. Basa kuat alkali kuat. Asam kuat banyak dipakai sebagai bahan pemutih pakaian (“bleaches”), atau bahan pembersih logam (“metal cleaner”), juga sebagai bahan kebutuhan rumah tangga lainnya. Sedang basa kuat sering dipakai untuk bahan pembuat sabun dan bahan pembersih lantai atau kloset (“cleaner”). Kepala bateri (“battery button”) juga mengandung bahan alkali kuat. 2. Macam – macam a. Asam kuat: asam oksalat, asa asetat glasial, asam sulfat (H2SO4 atau air acu), HCl (air keras), asam format, asam laktat, dll b. Basa kuat: KOH, NaOH (Soda kaustik atau “lye”), ammonium hidroksida (NH4OH), CaOH, K atau Na Karbonat, Na fosfat,

PATOGENESA

dll. Bila bahan ini mengenai jaringan akan timbul nekrosis dan penetrasi ke dalam jaringan. Karena mudah larut, penetrasi jaringan dapat berlangsung terus selama beberapa hari hingga dapat menimbulkan 137

perforasi pada esofagus maupun lambung.

138

INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA

Gambaran Klinis Segera setelah terjadi kontak, timbul rasa nyeri yang hebat seperti terbakar di sekitar mulut, faring dan abdomen. Kemudian diikuti dengan muntah – muntah, diare dan kolaps. Bahan muntahan sering disertai darah segar. Pada pemeriksaan fisik di sekitar mulut dapat ditemukan luka – luka etsa (luka bakar) yang berwarna coklat kekuningan. Dapat timbul gejala – gejala asfiksia akibat edema glottis. Adanya demam yang tinggi dapat disebabkan timbulnya mediastinitis atau peritonitis, akibat perforasi esofagus atau lambung. Pemeriksaan laboratorik Hb perlu diperiksa bila timbul hematemesis – melena, atau shock. Kelainan PA Pada ginjal penderita dengan keracunan asam oksalat dapat ditemukan “cloudy swelling”, degenerasi hyalin dan sklerosis tubulus. Di daerah tempat kontak dengan bahan korosif akan dijumpai nekrosis, terutama sekitar mulut, esofagus dan lambung.

139

INTOKSIKASI BAHAN KOROSIF

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.307.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENGOBATAN

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS a. KL, emesis, dan katarsis merupakan kontraindikasi b. Segera penderita disuruh minum air atau air susu sebanyak mungkin, untuk pengenceran bahan (perbandingan 1: 10 – 100 x). pengenceran terus dikerjakan walaupun penderita muntah – muntah. c. Infus Dekstrosa 5% 15 – 20 tetes/ menit, kalau perlu cairan koloid (expafusin) 500 – 1000 ml/ 24 jam, atau transfusi darah. d. Kortikosteroid intravena (Dexamethason 5 mg tiap 6 jam) selama 4 – 7 hari pertama, kemudian dosis diturunkan secara bertahap sampai 10 – 20 hari. e. Antibiotika (Ampicilin 500 – 1000 mg tiap 6 – 8 jam, selama 5 – 7 hari) untuk pencegahan infeksi sekunder. f.

Pemberian diit atau obat – obatan oral ditunda sampai dapat dilakukan pemeriksaan laringoskopi direkta atau esofagoskopi. Kalau perlu penderita dirujuk.

g. Pengobatan selanjutnya tergantung hasil pemeriksaan di atas. Bila lesi ringan: diit oral dapat segera dimulai dengan makanan cair, dan pemberian steroid – antibiotika dapat dipercepat penghentiannya (dalam 5 – 7 hari). Bila lesi cukup luas: perlu pemasangan sonde lambung lewat tuntunan esofagoskop, atau penderita dipuasakan dan diberi nutrisi parenteral total selama 5 – 7 hari, atau konsultasi dengan Bagian bedah untuk pemasangan sonde lewat gastrostomi. 140

PROGNOSA

Sekitar 25 % penderita meninggal akibat efek langsung dari bahan korosif ini. Bila penderita dapat terhindar dari efek langsung ini, sekitar 95 % akan mengalami striktur esofagus yang persimen.

OSTEOARTRITIS

No. Dokumen RSU.A.j.308.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah kelainan degeneratif, dimana terjadi penipisan, penyerpihan tulang rawan sendi, terjadi sklerosis tulang subkondral dan pembentukan osteofit pada tepi sendi yang dapat menyebabkan

PATOFISIOLOGI

gangguan fungsi sendi. * Sebabnya belum diketahui, dan diduga karena gangguan metabolisme tulang rawan. *

Perubahan awal dari tulang rawan adalah penyerpihan, penipisan, dan terjadinya fisur.

*

Perubahan selanjutnya adalah osteofit, pseudo – kista, sklerosis tulang subkondral.

*

Pada akhirnya yang terjadi adalah destruksi dan hilangnya tulang rawan sendi yang pada gilirannya adalah destruksi dan hilangnya tulang rawan sendi yang pada gilirannya adalah destruksi permukaan sendi yang berakhir dengan gangguan fungsi sendi.

*

Faktor – faktor predisposisi adalah tiap keadaan yang dapat menyebabkan

destruksi

permukaan

sendi

seperti

faktor 141

biomekanik, umur, penyakit tertentu seperti penyakit inflamasi, jenis kelamin, faktor keturunan.

DIAGNOSA

Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,

GEJALA KLINIS

pemeriksaan laboratorium.  Keluhan utama adalah sakit atau linu sendi dimana pada fase awal terjadi sesudah aktivitas yang berlebihan. 

Kaku sendi dapat dirasakan terutama sesudah istirahat lama, biasanya pagi hari sesudah bangun tidur.

PEMERIKSAAN KHUSUS

DIAGNOSA BANDING



Gejalanya tidak khas, kadang – kadang ditemukan tanda – tanda



inflamasi ringan. Heberden’s node pada sendi interfalang distal. Pemeriksaan laboratorium biasanya normal



Foto sendi mulai dari penyempitan ruang sendi, osteofit, sklerosis,



eburnasi tulang subkondral. Permulaan artitis reumatoid



Artritis pirai ringan

142

[[

OSTEOARTRITIS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.308.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENATALAKSANAAN



No. Revisi 0

Halaman 2/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Lindungi sendi dari beban yang berlebihan seperti kurangi berat badan untuk mengurangi beban sendi penyangga berat badan.



Obat – obatan a) Analgesik antara lain Parasetamol, dosis biasa adalah 3 x 500 mg. b) Anti inflamasi non steroid antara lain Asam asetil salisilat

2 – 4 gram/ hari, dosis terbagi pc

Ibuprofen

3 – 4 x 400 – 600 mg/ hari pc

Ketoprofen

3 x 50 mg/ hari pc

Naproksen

2 x 250 – 500 mg/ hari pc

Na – Diklofenak

3 x 25 – 50 mg/ hari pc

Piroksikam

1 x 10 – 20 mg/ hari pc

Karena sifat OAINS “ cocok – cocokan” (reaksi masing – masing penderita berbeda) maka satu obat diberikan selama 2 minggu, kemudian dievaluasi efektivitas dan efek samping obat yang mungkin terjadi. Apabila efektivitas rendah (<50% perbaikan) atau terjadi efek samping, maka obat tersebut diganti OAINS yang lain. Obat yang cocok tersebut diberikan sampai keluhan menghilang, obat tersebut diberikan kembali, bila ada keluhan lagi. c) Injeksi

Kortikosteroid

intraartikuler

kadang

– kadang

diperlukan meskipun tidak dianjurkan sebagai prosedur rutin.  Kortikosteroid

intraartikuler

misalnya

Triamcinolone

intraartikuler.  Dosis: sendi besar (genu) 5 – 10 mg 143

sendi kecil (interfalang) 1 – 2 mg 

Fisioterapi untuk mengembalikan fungsi sendi, mempertahankan tonus dan kekuatan otot sekitar sendi

PROGNOSA

 Pembedahan kalau diperlukan. Biasanya baik.

144

ARTRITIS REMATOID

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.309.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit sistemik yang ditandai oleh poliartritis, dimulai pada jaringan sinovia, sendi – sendi kecil (interfalang proksimal).

PATOFISIOLOGI

Simetris, mempunyai kecenderungan kronis, progresif, erosive.  Sebab belum diketahui 

Dimulai dari radang sinovia



Dapat dijumpai adanya vaskulitis dan amyloidosis pada keadaan yang lanjut.

DIAGNOSA

 Lebih banyak menyerang wanita usia subur. Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,

GEJALA KLINIS

pemeriksaan laboratorium.  Timbul mendadak atau perlahan – perlahan 

Nyeri sendi dan kaku sendi pada pagi hari adalah keluhan utama



Pada permulaan, sendi yang terkena adalah sendi interfalang proksimal, metakarpal, metetarsal, dan pergelangan tangan.



Kadang – kadang ditemukan nodul subkutan pada daerah ekstensor, terutama pada siku.

PEMERIKSAAN KHUSUS

DIAGNOSA BANDING



Dapat terjadi remisi

 

Dapat terjadi destruksi sendi, subluksasi, dan ankilosis Faktor Rematoid (Tes Rose Waaler)



LED dan C – reactive protein

 

Foto sendi yang terkena Artritis psoriatik



Penyakit Reiter



Osteroartritis generalisasi tahap awal



SLE 145

146

ARTRITIS REMATOID

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.309.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 2/2

Ditetapkan Direktur,



Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Istirahat terutama pada sendi yang terkena



Obat – obatan a) Simptomatik 1. Analgesik, antara lain Parasetamol 3 x 500 mg 2. Anti inflamasi non steroid, antara lain: Asam asetil salisilat 2 – 4 gram/ hari, dosis terbagi pc Ibuprofen

3 – 4 x 400 – 600 mg/ hari

pc

Ketoprofen

3 x 50 mg/ hari

pc

Naproksen

2 x 250 – 500 mg/ hari

pc

Na – Diklofenak

3 x 25 – 50 mg/ hari

pc

Piroksikam

1 x 10 – 20 mg/ hari

pc

b) Remitif - preparat emas, penisilamin, klorokuin, siklofosfamid (obat – obat ini sangat toksis dan indikasi serta pemberiannya sangat spesialistis) c) Kadang–kadang diperlukan injeksi kortikosteroid intraartikuler atau kortikosteroid oral pada keadaan yang berat.  Kortikosteroid

intraartikuler

misalnya

Triamcinolone

intraartikuler Dosis: sendi besar (genu) 5 – 10 mg sendi kecil (interfalang) 1 – 2 mg  Kortikosteroid per oral, antara lain Prednison Dosis: awal 60 mg, bila keluhan berkurang, tapering off sampai dosis pemeliharaan : sekecil mungkin 

Fisioterapi yang dimulai sedini mungkin kalau tanda – tanda 147

inflamasi mulai berkurang. 

Bedah ortopedi, kadang – kadang diperlukan tindakan bedah yang meliputi tindakan reparasi, rekonstruksi dan penggantian sendi

PROGNOSA



dengan prostesis (replacement). Sangat bervariasi



Sebagian besar penderita mengalami perbaikan dengan pengobatan standar



Sebagian kecil dapat menjadi invalid

REMATIK NON ARTIKULER (RNA)

(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/3 Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah sekelompok penyakit dengan manifestasi klinis yang sama,

PATOFISIOLOGI

yaitu nyeri dan kekakuan pada jaringan lunak, tulang dan otot. Penyebab tidak / belum di ketahui, tetapi ada : 

Faktor – faktor pencetus, misalnya : trauma, beban kerja yang berlebihan ( olah raga ), kelainan postur, degenerasi senilis dari jaringan lunak, dan stress psikologik, misalnya ketegangan jiwa, depresi, frustasi.



Pada usia muda biasanya : trauma, beban kerja yang berlebihan, stres psikologik.

DIAGNOSA

 Pada usia tua sering : degenerasi senilis, kelainan postur. Diagnosa ditegakkan berdasarkan : gejala klinik, rontgenologik,

GEJALA KLINIS

pemeriksaan laboratorium.  Keluhan umum ialah nyeri , kekakuan, kepekaan ( tenderness ) dan seringkali gerakan yang terbatas. 

Fisik : tidak ada kelainan 148

Angka kejadian : wanita : Pria = 2 : 1 Laboratorium : tidak ada kelainan

PEMERIKSAAN

 

LABORATORIUM KLASIFIKASI

 Radiologi : tidak ada kelainan Klasifikasi dari RNA dihubungkan dengan jaringan lunak yang diserang, misalnya : 

Fibrositis ( Jaringan ikat )



Tendinitis, peritendinitis, tenosinovitis ( jaringan tendon dan jaringan sekitarnya ) : trigger finger, tennis elbow dan : golfer’s elbow, sindroma “ carpal tunnel”, sindroma “ Frozen shoulder”.

DIAGNOSA BANDING



Bursitis ( jaringan bursa)



Kapsulitis (jaringan kapsul sendi)



Miositis (jaringan otot)



Fasiitis (jaringan aponeurosis dan fasia)

 

Panikulitis (jaringan lemak) Artritis



Kelainan sistemik (Misalnya SLE)



Penyakit tulang (Osteokondritis disekans, nekrosis aseptik)



Tumor (osteoma)

149

REMATIK NON ARTIKULER (RNA)

(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007

PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/3 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS a) Keterangan yang jelas pada penderita tentang sifat penyakitnya, tidak berbahaya, sehingga rasa takut, gelisah, depresi hilang, dan reflek spasme otot yang merupakan bagian dari siklus “nyeri – spasme – nyeri” hilang juga. b) Istirahat secara fisik dan mental 

Fisik. Pada stadium akut digunakan splint atau mitela



Mental: keadaan yang tegang dapat memperberat gejala

c) Obat – obat 1. Analgesik, misalnya  Asam asetil salisilat 3 x 500 mg  Parasetamol 3 x 500 mg  Metampiron (Antalgin) 3 x 500 mg 2. Anti inflamasi non steroid, misalnya  Indometasin 3 x 25 mg  Na – Diklofenak 3 x 50 mg 3. Relaksasi otot, misalnya:  Diazepam 3 x 2 – 5 mg 4. Sedatif, penenang, misalnya  Diazepam 3 x 2 – 5 mg d) Fisioterapi Indikasi dari beberapa cara tersebut dibawah, tergantung pada stadium, derajat penyakit, dan kesukaan penderita. 1. Panas  Untuk kasus – kasus ringan: kompres hangat, krim – krim 150

hangat, sinar matahari atau lampu infra merah.  Untuk kasus – kasus berat: diatermi gelombang pendek, gelombang mikro, atau terapi ultrasound. 2. Dingin  Kompres es, efektif untuk stadium akut 3. Hidroterapi  Indikasi: kasus – kasus refrakter 4. Latihan  Pasif dan aktif, sesuai anjuran bagian fisioterapi Perhatikan postur yang baik dan waktu duduk dan berdiri

151

REMATIK NON ARTIKULER (RNA)

(Non Artikuler Rheumatisme) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.310.11.2007

PROSEDUR TETAP KELAINAN POSTUR

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 3/3 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pada keadaan statik maupun kinetik yang normal (postur yang baik), kolumna vertebralis tidak akan menimbulkan perasaan nyeri. Adanya perasaan nyeri di kolumna vertebralis menunjukkan adanya rangsangan nyeri di daerah yang akan mengganggu fungsi kolumna vertebralis. Ada 2 keadaan yang sering menyebabkan nyeri di kolumna vertebralis yaitu: I

: pada keadaan statik: kelainan sudut lumbosakral

II

: pada keadaan kinetik: skoliosis

152

153

KELAINAN SUDUT LUMBOSAKRAL

(UNSTABLE PELVIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.311.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Sudut lumbosakral (sudut Fergusson) lebih kecil atau lebih besar dari

PATOFISIOLOGI

30 derajat Sudut lumbosakral > 30 derajat disebabkan oleh beberapa keadaan: obesitas, kehamilan trimester akhir, bersepatu dengan tumit tinggi.

DIAGNOSA

Sudut lombosakral < 30 derajat biasanya idiopatik atau adiology . Diagnosa ditegakkan berdasarkan: gejala klinis, rontgenologik,

GEJALA KLINIS

pemeriksaan laboratorium. Nyeri pinggang bawah, terutama setelah bekerja atau duduk lama tanpa perubahan posisi. Daerah lumbosakral hiperlordosis atau

CARA PEMERIKSAAN

sangat lurus.  Pemeriksaan fisik: daerah lumbosakral hiperlordosis atau sangat lurus 

Pemeriksaan laboratorium: tidak ada kelainan



Pemeriksaan

adiology: sudut lumbosakral (Fergusson) lebih

besar atau lebih kecil dari 30 derajat.

154

KELAINAN SUDUT LUMBOSAKRAL

(UNSTABLE PELVIS) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.311.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Hilangkan penyebab hiperlordosis bila mungkin. A. Fase Akut: 1. Tirah baring, bila perlu kedua lutut dan sendi koksa dalam posisi fleksi. a. Alas tempat tidur harus keras atau padat b. Tirah baring sampai nyeri berkurang atau hilang 2. Terapi fisik  Kompres hangat 3. Obat – obat  Relaksasi otot, misalnya: Diazepam 3 x 2 – 5 mg  Analgesik, misalnya: Asam asetil salisilat 3 x 500 mg, Parasetamol 3 x 500 mg, Metampiron 3 x 500 mg  Obat – obat anti inflamasi non steroid, misalnya : Indometasin 3 x 25 mg. Na – Diklofenak 3x50 mg. B. Fase Penyembuhan: 1. Bila nyeri mereda: coba mobilisasi sekuat penderita. 2. Latihan: fisioterapi 3. Penerapan tentang perubahan kebiasaan:  Dilarang angkat – angkat barang berat ( > 10 kg ) dengan membungkuk.  Hindarkan duduk terlalu lama, tanpa merubah posisi.  Perhatikan postur yang baik pada waktu duduk dan berdiri

155

DIFTERI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN

No. Revisi 0

Halaman 1/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit menular akut, disebabkan oleh Corynebacterium

diphtheriae, khas ditandai dengan lesi radang lokal yang biasa terdapat di saluran napas bagian atas dan efek toksinnya terutama mengenai PATOFISIOLOGI

otot jantung dan saraf perifer. Corynebacterium dyphtheriae adalah kuman batang Gram negatif, tidak bergerak dan tidak membentuk spora, aerobik dan pleomorfik. Ada 3 strain: gravis, mitis, dan intermedius, berdasarkan morfologi koloni pada media tellurite, reaksi fermentasi dan kemampuan hemolisis. Ketiganya membentuk eksotoksin dan memberikan gambaran klinis yang sama. Penyakit ditularkan melalui Droplet

inflection dari penderita atau carrier, kontak kulit pada difteri sulit. Kuman biasanya berkembang biak di saluran napas bagian atas mengakibatkan nekrosis lokal dan pembentukan pseudomembran berwarna abu – abu, melekat erat di dasar selaput lendir saluran napas, mengeluarkan eksotoksin. Manifestasi toksik terutama mengenai otot jantung, saraf perifer, kadang – kadang ginjal. Infeksi dapat pula terjadi di kulit, mukosa pipi, vagina, konjungtiva, berupa GEJALA KLINIS

ulkus.  Masa tunas 1 – 7 hari 

Gambaran klinis tergantung pada lokasi lesi dan beratnya

proses toksik 

Lemah badan, demam ringan, nyeri tenggorok, nampak

“pseudomembran” di tonsil atau nasofaring, muka pucat, bull neck, kesulitan bernapas, nadi cepat, napas berbunyi (stridor respirator),

156

PEMERIKSAAN dan

sianosis dan koma/ renjatan. Klinis : “pseudomembran” terutama di faring

DIAGNOSA

Laboratorik

DIAGNOSA BANDING

: sediaan langsung dan biakan hapus tenggorok dan



hidung atas kuman C.diphtheriae. Tonsilo – faringitis streptokokus



Tonsilo faringitis adenovirus



Mononukleosis infeksiosa



Laringitis obstruktif akut (virus/ alergi)

157

DIFTERI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 2/6

Ditetapkan Direktur,



Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Isolasi penderita di rumah sakit



Serum Anti Difteri (ADS), setelah dilakukan tes kepekaan kulit terhadap serum kuda.



Dosis empirik ADS: ringan 10.000 – 20.000 U; sedang 20.000 – 40.000 U; berat 50.000 – 100.000 U; sebaiknya diberikan dosis tunggal intramuskular/ intravena.



Penisilin prokain – G 600.000 U intramuskular/ 12 jam selama 10 hari; Eritromisin 4 x 250 mg/ hari selama 7 hari; Klindamisin 4 x 150 mg/ hari selama 7 hari; Rifampisin 600 mg dosis tunggal selama 7 hari.



Trakeostomi bila ada obstruksi laring; alat pacu jantung bila ada block hantaran total, neurotropik bila ada kelainan saraf

 KOMPLIKASI

Imunisasi sebagai tindakan pencegahan.  Penyebaran “pseudomembran” ke seluruh saluran napas, sumbatan jalan napas; pneumonia; masuk saluran cerna ke esofagus dan lambung; ke kelenjar getah bening leher (bull –

neck) 

Toksin difteri dapat mengakibatkan miokarditis; kelainan

katup, kelainan hantaran, kelainan irama jantung, payah jantung; neuritis perifer, paralisis palatum molle dan dinding faring posterior, gangguan N III, N VI, N VII, N IX, dan N X, landry –

Guillain – Barre Syndrome; ensefalitis. 

Gejala khas: serangan berulang paroksismal dari rangkaian 158

gejala menggigil - demam – berkeringat disusul dengan periode rekonvalesensi. 

Pada P: vivax serangan demam terjadi tiap hari ketiga

(malaria tertiana), P. falciparum kurang dari 48 jam (malaria tropika/ subtertiana) dan P. malariae tiap 72 jam (malaria kuartana) 

Gejala – gejala lain: ikterus, anemia, hepatomegali,

splenomegali, hipotensi postural, urobilinuria, dan kadang – kadang diare.

159

DIFTERI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

DIAGNOSA

No. Revisi Halaman 0 3/6 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Diagnosa per eksklusionum  Anamnesa: 

Penderita baru bepergian ke daerah endemis malaria



Adanya rangkaian gejala: menggigil, demam tinggi, berkeringat banyak, disusul stadia sembuh, gejala tersebut bersifat serangan berulang (paroksismal). Air seni berwarna merah seperti teh, nyeri kepala dan otot (terutama otot punggung),nafsu makan menurun.

 Fisik:

pucat,

anemia,

ikterus,

hipotensi,

postural,

antimalaria

penderita

sembuh

hepatomegali, splenomegali.  Dengan

pengobatan

(pengobatan eksjuvan - tibus) 2. Diagnosa laboratorik  Air seni berwarna merah seperti teh karena mengandung urobilin; anemia hemolitik; pada sediaan darah tipis dan tebal nampak adanya parasit malaria di dalam eritrosit (pengecatan

Giemsa atau Wright)  P. vivax: pada hapusan darah tipis maupun tebal dapat dilihat eritrosit yang mengandung parasit membesar, terdapat titik

Schoffner dan sitoplasmanya berbentuk ameboid.  P. ovale: mirip P. vivax, hanya eritrosit yang mengandung parasit berbentuk oval.  P. malariae: pada sediaan tipis, nampak parasit berbentuk pita

(band), skizon berbentuk bunga mawar (rosette):

pada 160

sediaan darah tebal, skizon berbentuk bunga mawar dan trofozoit bulat kecil – kecil nampak kompak dengan tumpukan pigmen yang kadang – kadang menutupi sitoplasma/ inti atau keduanya.  P. falciparum: pada sediaan darah tipis, nampak gametosit berbentuk pisang, terdapat bintik Maurer.  Pada sediaan tetes tebal, nampak banyak sekali bentuk cincin kecil – kecil tanpa bentuk dewasa yang lain (stars in the sky); terdapat bentukan balon merah di sisi luar gametosit.

161

DIFTERI

No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 4/6

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA BANDING



Influenza



Gastroenteritis



Salmonellosis



Leptospirosis

162

DIFTERI

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.312.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 5/6

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS A. Pengobatan serangan malaria akut (pengobatan radikal) 1. Malaria falsiparum yang rentan Kloroquin Kloroquin: hari ke-1 dan ke-2 masing – masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah Primaquin dosis tunggal 15 mg/ hari pada hari ke-1 sampai dengan ke-3. 2. Malaria falsiparum yang kebal Kloroquin a. Sulfadoksin – primetamin (Fansidar) dosis tunggal 3 tablet, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg pada hari ke 1. b. Kina: 3 x 400 mg/ hari selama 7 hari, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg pada hari ke 1. 3. Malaria vivax, ovale dan malariae Kloroquin: hari ke 1 dan ke 2 masing – masing dosis tunggal 600 mg (basa), hari ke-3 300 mg, ditambah Primaquin dosis tunggal 15 mg/ hari pada hari ke 1 sampai dengan ke 5 4. Malaria dengan penyulit (malaria pernisiosa), misalnya malaria serebralis: a. Kina dihidroklorida 600 mg dalam 500 ml faali diberikan secara infus intravena selama 4 jam, dapat diulang tiap 8 jam. b. Kloroquin sulfat 300 mg dalam 200 ml garam faali diberikan secara infus intravena selama 30 menit, dapat diulang tiap 8 jam. Bila penderita sudah sadar, secepatnya sisa obat diberikan 163

per oral sesuai dengan pengobatan radikal. Pengelolaan malaria falsiparum berat: 1. Kloroquin atau kina parenteral dengan dosis adekuat, seperti tersebut diatas. 2. Turunkan suhu badan apabila terjadi hiperpireksia dengan antipiretika dan kompres. 3. Rehidrasi (hati-hati terjadi over – hydration, yang merupakan resiko edema paru). 4. Antikonvulsan apabila terjadi kejang – kejang. 5. Pertimbangkan Deksametason pada malaria serebralis 6. Obati gagal ginjal yang terjadi dengan dialisis peritoneal 7. Transfusi darah untuk penderita anemia berat 8. Cairan dan plasma expander apabila terjadi renjatan (algid

malaria) 9. Pertimbangkan exchange transfusion pada penderita koma dengan parasitemia berat. 10. Awasi kemungkinan terjadinya hipoglikemia, bila ada obati dengan infus dekstrosa. B. Pengobatan supresif atau presumtif: Ditetapkan pada penderita semi-imun di daerah endemis malaria. 1. Untuk malaria falsiparum, vivax, dan malariae: kloroquin dosis tunggal 600 mg satu kali 2. Malaria falsiparum kebal Kloroquin : Kloroquin dosis tunggal 600 mg satu kali, ditambah Primaquin dosis tunggal 45 mg satu kali. Pengelolaan alternatif lain untuk malaria falsiparum kebal Kloroquin: 1. Amodiaquin: hari ke-1 600 mg, disambung 6 jam kemudian dengan 400 mg, hari ke-2 400 mg dan hari ke-3 400 mg. Dapat digabung dengan eritromisin 3 x 500 mg/ hari selama 5 hari. 164

2. Kombinasi Kina dengan Tetrasiklin. Kina 3 x 400 mg selama 7 hari dikombinasi dengan tetrasiklin 3 x 500 mg selama 5 hari.

DISENTRI BASILER

(Shigellosis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.313.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi akut kolon yang disebabkan oleh bakteri genus Shigella

PATOFISIOLOGI



Dikenal 4 spesies shigella: S. dysenteriae (Shiga), S. flexneri, S.

Boydii, dan S. sonnei. S. dysenteriae dapat menimbulkan gejala klinis yang terberat 

Manusia merupakan satu – satunya sumber penularan 165



Penularan terjadi secara kontak langsung atau melalui cara fekal – oral



Setelah losos di ileum distal dan kolon, dihasilkan eksotoksin yang menyebabkan sekresi cairan oleh dinding sel. Selanjutnya bakteri menginvasi sel epitel dan berkembang biak di dalamnya, menyebabkan nekrosis dan pembentukan mikroabses di villi.

GEJALA KLINIS



Tinja mengandung eritrosit dan leukosit

 

Karena keradangan superfisial, jarang terjadi bakteriema. Masa tunas 1 – 2 hari



Fase permulaan: mialga, nyeri perut, diare berupa air disertai demam sampai 40 derajat Celcius.



Fase lanjut: diare berkurang tetapi tinja masih mengandung darah dan lendir, tenesmus, nafsu makan menurun.

PEMERIKSAAN dan



Pada anak – anak mungkin didapatkan demam tinggi dengan atau



tanpa kejang, delirium nyeri kepala, kaku kuduk dan letargi. Pemeriksaan tinja mikroskopis menunjukkan adanya eritrosit dan

DIAGNOSA DIAGNOSA BANDING

leukosit  

Isolasi shigella dengan biakan tinja yang segar atau hapus rektal. Salmonellosis



Sindrom diare karena enterotoksin E. coli



Kolera



Kolitis ulserosa

166

DISENTRI BASILER

(Shigellosis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.313.11.2007

PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,



Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Perbaikan gangguan keseimbangan air dan elektrolit



Antibiotika: Ampisilin 4 x 500 mg/ hari selama 5 hari atau

Kotrimoksazol (Trimetoprim sulfametoksazol) 2 x 2 tablet/ hari selama 5 hari atau Tetrasiklin 4 x 500 mg/ hari selama 5 hari. 

Hindari obat yang dapat menghambat motilitas usus, karena dapat mengurangi eliminasi bakteri.

KOMPLIKASI

 

Pengobatan simptomatik dengan analgesik Dehidrasi dan renjatan hipovolemik



Sindrom uremik hemolitik



Sindrom Reiter (trias: artritis, uretritis, iritis)



Neuropati perifer



Megakolon toksik

167

DISENTRI AMEBA ( Amebiasis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.314.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah infeksi kolon oleh Entamoeba histolytica

PATOFISIOLOGI



Penularan melalui makanan atau minuman yang tercemar kista, lalat, dan kecoak dapat sebagai vektor.



Kista melewati lambung dan pecah di ileum, keluar trofozoit.



Pada keadaan biasa E, histolytica hidup di kolon sebagai organisme komensal. Berkembang biak dengan pembelahan dan pembentukan kista.



Pada keadaan memungkinkan, trofozoit berubah menjadi patogen, mengadakan invasi ke dinding kolon, menyebabkan ulkus.



Ulkus paling sering dijumpai di sekum dan rektosigmoid; mukosa kolon di antara ulkus normal.



Kadang – kadang terjadi perforasi yang menyebabkan peritonitis



Dapat terjadi penyebaran trofozoit ke hati, melalui aliran darah vena porta, terjadi abses hati karena nekrosis jaringan.



Abses hati biasanya tunggal, dan umumnya timbul lama setelah ulkus di kolon.

GEJALA KLINIS

 

Juga dapat terjadi abses paru dan otak. Masa tunas 1 – 6 bulan



Sebagian besar penderita asimptomatik tetapi dapat menjadi 168

sumber penularan (carrier) 

Gejala klinis bervariasi tergantung dari berat dan luasnya lesi dinding kolon.



Ringan: gejala umum ringan, sering flatus, nyeri perut di daerah fosa illiaka, diare sedikit mengandung darah dan lendir.



Berat: gejala disentri lebih nyata: diare lebih sering, mengandung lebih banyak darah, demam, kolik, tenesmus, berat badan turun, hati membesar, nyeri perut pada palpasi.



Kadang – kadang dijumpai ameboma, dapat terjadi obstruksi parsial bila lesi berbentuk anuier.

PEMERIKSAAN dan DIAGNOSA

 

Apendiks dapat terkena dengan gejala mirip apendistis. Pemeriksaan tinja mikroskopis menunjukkan adanya leukosit, eritrosit, trofozoit dan kista

169

DISENTRI AMEBA ( Amebiasis) RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.314.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA BANDING

PENATALAKSANAAN



Shigellosis



Kolitis ulserosa

 

Keganasan Diperlukan kombinasi beberapa macam obat



Amebiasis asimptomatik perlu diobati, karena sewaktu – waktu dapat berubah menjadi simptomatik



Obat amebisida:  Metronidazol 3 x 750 mg selama 5 – 10 hari  Tetrasiklin 4 x 500 mg selama 5 hari  Klorokuin di fosfat 1 gram sehari selama 1 – 2 hari, dilanjutkan dengan 500 mg sehari selama 4 minggu.  Emetin 1 mg/ kg BB/ hari intramuskular maksimal 60 mg sehari selama 3 – 5 hari  Dehidroemetin 1,5 mg/ kg BB/ hari intramuskular, maksimal 90 mg sehari selama 3 – 5 hari.



Pemberian emetin/ dehidroemetin dapat menyebabkan gangguan jantung,

KOMPLIKASI

perlu

observasi



elektrokardiogram Kolitis ameba fulminan



Ameboma



Apendisitis ameba



Abses hati, paru dan otak.

tekanan

darah,

denyut

nadi,

170

171

KOLERA

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.315.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

BATASAN PATOFISIOLOGI

No. Revisi 0

Halaman 1/2

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah penyakit diare akut yang disebabkan oleh Vibrio cholerae  V. cholerae kuman Gram negatif, berupa batang yang pendek agak bengkok, aerob, dengan satu flagellum pada ujungnya 

2 biotipe: V. cholerae klasik dan vibrio El Tor



2 Serotipe: Inaba dan Ogawa



penularan dengan air atau makanan yang tercemar



setelah penularan oral V. cholerae berkembang biak di usus

halus dan mengeluarkan eksotoksin. 

Eksotoksin

bekerja

pada

mukosa

usus

halus

dan

menyebabkan ekskresi air dan elektrolit 

Jumlah cairan elektrolit ini melampaui kemampuan absorbsi

kolon dan keluar sebagai tinja yang cair. 

Tinja isotonis dengan plasma, tetapi konsentrasi bikarbonat

dan kalium lebih tinggi daripada plasma. 

Akibatnya terjadi dehidrasi, hipovolemia, asidosis, dan

hipokalemia GEJALA KLINIS



 Tidak terjadi kelainan morfologis pada mukosa usus halus. Masa tunas 12 jam sampai 6 hari



Permulaan akut dengan diare yang cair



Muntah



Tanda – tanda dehidrasi: turgor kulit berkurang, kulit jari – jari mengkerut, mata dan pipi cekung, mulut dan lidah kering, haus, suara parau, kejang otot – otot tungkai dan dinding perut.



Tanda – tanda renjatan: tekanan darah turun, nadi cepat dan 172

lemah, pernapasan cepat, penderita gelisah, berkeringat dingin, sianosis, oliguria sampai anuria. PEMERIKSAAN dan

 

Diare berhenti sendiri setelah beberapa hari. Biakan tinja atas V. cholerae positif

DIAGNOSA



Berat jenis plasma meningkat.



Kratinin serum, nitrogen urea darah meningkat

DIAGNOSA BANDING

Diare

akut

yang

cair

karena

non-agglutinable

vibrio,

V.

parahemolyticus, E. coli patogen, Salmonella, Shigella dysenteriae, Clostridium perfringens, Enterovirus.

173

KOLERA No. Dokumen RSU.A.j.315.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0 Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit



Halaman 2/2

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Indikasi perawatan di rumah sakit: diare dan muntah – muntah yang berat dan tanda – tanda renjatan



Penggantian air dan elektrolit per os atau intravena



Per os dengan oralit, yang mengandung natrium klorida 3,5 g, kalium klorida 1,5 g, natrium bikarbonat 2,5 g, glukosa 20 g untuk 1000 ml air.



Pada penderita kolera ringan atau sedang, rehidrasi sebanyak 750 ml tiap jam selama 4 jam.



Pemberian selanjutnya disesuaikan dengan volume tinja



Intravena dengan larutan Ringer laktat



Pada penderita kolera berat, rehidrasi  Berdasarkan gejala klinis sebanyak (liter) Dehidrasi ringan

: 2 % berat badan

Dehidrasi sedang

: 5 % berat badan

Dehidrasi berat

: 8 % berat badan

 Berdasarkan berat jenis plasma, sebanyak (ml): Berat jenis plasma penderita – 1,025 x berat badan x 4 0,001

KOMPLIKASI

 

Antibiotika : tetrasiklin 4 x 500 mg oral selama 3 hari. Akibat kekurangan cairan/ elektrolit:  Renjatan dan dehidrasi tidak teratasi  Nekrosis tubuli ginjal akibat hipovolemia dan hipokalemia 174

 Ileus paralitik karena hipokalemia  Aritmia jantung karena hipokalemia  Edema paru karena asidosis 

Akibat kelebihan cairan / elektrolit :  Payah jantung kongestif akut



Abortus spontan pada wanita hamil

175

ALERGI OBAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/5

Ditetapkan Direktur,

BATASAN

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Alergi obat merupakan suatu reaksi abnormal yang timbul setelah

PATOFISIOLOGI

pemberian obat tertentu yang berlandaskan suatu reaksi imunologik. Reaksi tipe I, berupa reaksi segera. Obat sebagai antigen merangsang pembentukan IgE spesifik pada badan. Reaksi antigen dengan IgE pada dinding sel mast dan sel basofil menimbulkan pelepasan zat medator aktif terutama histamin. Akibatnya timbul gejala – gejala klinis seperti urtikaria, angioedema, brokospasme. Gejala yang berat dapat terjadi shock anafilaktik. Reaksi timbul segera, kira – kira 30 menit setelah pemberian terapi. Skema: Alergi Tipe 1

Dapat juga timbul reaksi menyerupai reaksi tipe I tetapi tidak jelas landasan mekanisme imunologik dari reaksi tersebut. Sebagai contoh reaksi bentuk segera yang timbul setelah pemberian bahan kontras, polimiksin, aspirin, anestesi lokal kodein dan jenis obat opiat lainnya. Reaksi tipe II, antibodi spesifik berikatann dengan antigen ( pada dinding sel ), sehingga timbul reaksi sitotoksik dengan akibat lisis dari sel. Sebagai contoh anemia hemolitik karena obat, trombositopenia, agranulosis. Reaksi yang serupa dapat terjadi pada jaringan interstitial 176

ginjal sehingga timbul nefritis intersititial.

177

Skema: Reaksi tipe II

Contoh : reaksi terhadap Metisilin, Dilantin. Reaksi tipe III, sering juga disebut reaksi kompleks imun. Terbentuk ikatan antara antibodi dengan antigen ( obat ). Reaksi ini timbul selain pemberian terapi dengan serum heterologus. Gejala klinis timbul setelah 1 – 3 minggu. Klinis disebut Serum

sickness syndrome dengan gejala urtikaria, demam, artralgia, limfadenopati, neuropati, glomerulonefritis, vaskulitis pada banyak organ. Juga timbul SLE, terutama setelah pemberian Hidralazin, dan Prokainamid. Skema: Reaksi tipe III

Kompleks Ag/Ab Mikro tromoi Agregasi Trombosit

Aktivasi Komplemen

Menarik Sel Polimorf Pengeluaran Amin vaso aktif

Pelepasan Enzim proteolitik

Anafilaktosin

Pelepasan Histamin

Gejala Klinis Gejala Klinis

Gejala klinis

Reaksi tipe IV, disebut reaksi seluler atau reaksi tipe lambat. Karena eksposisi oleh obat, limfosit menjadi sensitif dan bereaksi dengan obat 178

tersebut. Biasanya terjadi pada pemberian obat topikal. Gejala klinik berupa dermatitis kontak.

179

Skema: Reaksi tipe IV

Beberapa zat pengawet dan vehikulum dari obat ( preservative ) dapat memberikan reaksi serupa misalnya reaksi terhadap parabens. Reaksi tipe IV juga dapat memberikan reaksi pulmonal akut dengan gejala panas, sesak nafas, batuk, eosinofilia, infiltrat paru, dan pleuritis eksudativa. Obat yang dapat memberikan reaksi ini misalnya nitrofurantoin, obat antineoplastik seperti bleomisin. Prevalensi alergi obat termasuk efek samping yang tidak diinginkan 15 – 30 %.

180

ALERGI OBAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA

No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 4/5

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa di tegakkan berdasarkan anamnesa dan gejala klinis. Anamnesa: Dinyatakan semua obat yang di pergunakan penderita pada saat terjadinya gejala klinis. Kapan saat minum obatnya karena reaksi anafilaksis dapat timbul segera, sedang reaksi tipe yang lain dapat terjadi selang waktu 7 – 10 hari kemudian. Juga dinyatakan cara pemakaian obat tersebut. Ada hubungan antara pemakaian obat dengan timbulnya gejala klinis. Apabila obat tersebut kita suntikkan

DIAGNOSA BANDING

maka gejalanya akan hilang.  Over dosis: gejala berhubungan dengan dosis, terjadi pada semua orang, misalnya sedativa memberikan gejala distress pernapasan.  Efek samping : gejala yang timbul dengan dosis normal, tidak dapat di hindari, terjadi pada semua orang hanya berbeda kuantitatif.  Efek sekunder : timbul secara tidak langsung, misalnya pelepasan endotoksin dariu bakteri setelah pemberian antibiotika.  Interaksi : misalnya enzim yang diinduksi oleh satu obat dapat mengganggu metabolisme obat lain.  Intoleransi : dapat timbul pada orang tidak alergi disebabkan karena efek farmakologik yang telah diketahui sebelumnya.  Indiosinkrasi : reaksi abnormal yang tidak mempunyai landasan imunologik. Terjadi pada orang yang rentan. Contoh pemberian primakuin yang menimbulkan anemia hemolitik pada 181

penderita defisiensi G6PD.

182

ALERGI OBAT

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.316.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 5/5

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

GEJALA KLINIS :

Dapat berupa :  Shock anafilaktik  Urtikaria  Dermatitis atopik  Asma bronkial  Angioedema Tes Kulit : Sering tidak relevan. Misalnya pada tes kulit yang dibaca setelah 20 menit hanya mempunyai arti pada obat dengan molekul besar dan mempunyai lebih dari satu determinan antigen. Tujuan tes ini untuk menentukan adanya reaksi IgE spesifik dengan obat sebagai antigen. Tetapi walaupun demikian tes ini masih dapat dicoba untuk kecurigaan alergi terhadap obat penicilin, toksoid, antisera, ACTH, vaksin putih telur. Kesukaran lain adalah adanya obat – obatan yang merangsang pengeluaran histamin tanpa melalui reaksi imunologik seperti kodein, morfin dan bahan kontras. Ada juga tes kulit yang lain yaitu : tes tempel ( patch test ) biasanya untuk mengetahui adanya alergi terhadap obat – obat yang dipakai

PENATALAKSANAAN

secara topikal.  Yang paling baik menghentikan obat tersangka. Pada orang yang memakai obat ganda, hentikan obat yang dicurigai.  Simptomatik : ditunjukan pada gejala klinik yang timbul. Antihistamin : Chlorpheniramin 3x4 mg (Chlortrimetan 3 x 1 183

tablet/hari ). Kortikosteroid : frednison 3 x ( 5 – 10 mg ) dengan dosis diturunkan secara bertahap 3 x 3 tablet ( a.0,5 mg/tablet ).

ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007

PROSEDUR TETAP

BATASAN

Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah reaksi imunologik yang disebabkan karena interaksi antara antibodi / sel limfosit yang spesitik terhadap alergen yang masuk melalui sistem pernapasan.

PATOFISIOLOGI

Bahan – bahan yang dapat bereaksi sebagai alergen inhalan adalah : berbagai tepung sari (pollen), jamur maupun sporanya, debu rumah, tungau, serpihan kulit, binatang. Penderita yang alergi terhadap alergen inhalan dapat menimbulkan berbagai reaksi alergi, antara lain : Tipe I

: Merupakan reaksi yang tersering dengan manifestasi klinis berupa rinitis alergik, asma bronkial, urtikaria : (jarang)

Tipe II

Allergic bronchopulmonary aspergillosis, Farmer’s lung, Bagassosis, dan sebagainya.

Tipe III : Extrinsic allergic alveolitis. Manifestasi klinis yang timbul sering merupakan kombinasi dari reaksi tipe I, III, Iv tersebut. 184

Gejala – gejala tergantung dari macam manifestasi yang terjadi, yang dapat berupa : pilek, hidung tersumbat, sesak napas, panas badan dan batuk yang kadang – kadang disertai himoptisis.

185

ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007 Tanggal terbit

No. Revisi 0

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur, Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS

DIAGNOSA

Anamnesa :  Anamnesa tentang adanya riwayat penyakit alergi dalam keluarga  Anamnesa tentang alergen hirup yang dicurigai berhubungan dengan penyakitnya, riwayat pekerjaan dan musim ketika mendapat penyakit tersebut. Pemeriksaan Fisik :  Sekret hidung yang meningkat dan bersifat encer  Edema mukosa hidung dan dapat ditemukan polip hidung.  Allergic shiners, warna kebiruan pada kelopak mata.  Allergic salute, kemerahan pada daerah lobang hidung dan sekitarnya akibat selalu digosok karena rasa gatal.  Pada paru didapatkan wheezing pada kedua lapangan paru. Pemeriksaan Laboratorium :  Biasanya terdapat peningkatan dari eosinofil dalam serum ataupun lokal pada tempat terjadinya gejala, misalnya pada sekret hidung rinitis alergi, eosinofil sama atau lebih dari 250 /ml dalam serum dapat dikatakan terjadi peningkatan dari eosinofil serum.  Peningkatan kadar IgE, dapat pula disertai peningkatan IgG dan IgM.  Pemeriksaan dari sekret hidung atau sputum penderita terhadap eosinofil dan pemeriksaan terhadap jamur dalam sputum.  X foto dada dan sinus untuk mengetahui adanya perubahan anatomi seperti corak bronkovaskuler dari sinus paranasalis.

186

ALERGI TERHADAP ALERGEN INHALAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Dokumen RSU.A.j.317.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 1. Menghindari kontak dengan alergen 2. Pengobatan simptomatis bila timbul gejala klinis 3. Usaha pencegahan dengan obat – obatan. 4. Imunoterapi : bermaksud menekan reaksi imunologik yang merugikan

dan

menimbulkan

reaksi

imunologik

yang

menguntungkan.  Simptomatik : untuk asma diberikan Aminofilin 3 x 150 mg/hari atau agonis B2 ( Terbutalin ) 3 x 2.5 mg/hari. Untuk rinitis dapat diberikan Chlotrimetan ( CTM ) 3x4 mg/hari.  Imunoterapi biasanya dilakukan pada seseorang yang tidak dapat menghindari kontak dengan alergen penyebab, misalnya imunoterapi dengan ekstrak alergen debu rumah. Dilarutkan 1x 0.00010 diberikan dosis awal 0,1 cc pada lengan atas, 2 kali seminggu. Dosis ditingkatkan 2 kali pada pemberian berikutnya sampai tercapai jadwal pemberian sebagai berikut : suntikan alergen I/II/III berturut – turut dengan kadar 1 x 0,00010. 1 x 0,0010, 1 x 0,010 Dengan dosis : Tanggal

Dosis

Timbul reaksi / tidak

………

0,1 cc

………

………

0,2 cc

………

………

0,3 cc

……… 187

………

0,5 cc

………

………

0,7 cc

………

………

0,1 cc

………

Keterangan : Suntikan 1. Subkutan dalam, dengan semprit disposable ( plastik ) 1 cc 2. Waktu : 1 – 2 kali setiap minggu 3. Sehabis disuntik tunggu 5 - 10 menit, untuk melihat kadang – kadang adanya reaksi suntikan. Reaksi berupa : gatal – gatal ringan, pusing – pusing sedikit. Bila terjadi reaksi perlu diberikan suntikan Delladryl 1 cc intramuskular.

188

189

ALERGI MAKANAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

BATASAN

No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007

No. Revisi 0

Halaman 1/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah gejala klinis yang timbul setelah makan setelah makan sesuatu makanan karena reaksi badan yang abnormal terhadap makanan atau

PATOFISIOLOGI

terhadap bahan tambahan dari makanan tersebut. Ada 4 faktor yang berperan : 1. Faktor mukosa saluran cerna belum dewasa, penyerapan alergen bertambah, hal ini dapat disebabkan karena : 

Kekurangan IgA sekretorik



Barier mukosa tidak efesien, misalnya akibat infeksi,

inflamasi, perubahan pH, dari lumen. 2. Faktor imunologik pembentukan IgE spesifik terhadap alergen makanan Timbul reaksi tipe segera. Terbentuk pula IgG, IgM spesifik, dapat terjadi reaksi tipe III atau dapat terjadi reaksi tipe lambat bila sel limfosit sensitif. 3. Faktor non imunologik reaksi terhadap zat toksin yang terdapat dalam makanan reaksi terhadap bahan warna 4. Faktor genetik seseorang dengan HLA B8, DW3, cenderung mendapat alergi makanan. 5. Faktor lain :  ETIOLOGI

Pemberian makanan padat terlalu awal pada bayi

 Pemberian susu buatan Contoh makanan yang dapat memberikan reaksi alergi menurut prevalensinya : Ikan 15,4 %

Apel 4,7 % 190

Telur 12,7 %

Kentang 2,6 %

Susu 12,2 %

Coklat 2,1 %

Kacang 5,3 %

Babi 1,5 %

Gandum 4,7 %

Sapi 3,1 %

Hampir semua jenis makanan dan zat tambahan pada makanan dapat menimbulkan reaksi alergi. Int 1 (Alergi) ALERGI MAKANAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

GEJALA KLINIS

No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 2/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Pada umumnya manifestasi klinis alergi makanan terdapat di: 1. Oropharynx dan gastrointestinal yaitu: edema dan gatal, di bibir dan mukosa mulut, mual, muntah, kejang perut dan diare. 2. Kulit: urtikaria akut, angioedema, pruritus, eritema, karena peningkatan histamin plasma. 3. Saluran napas: asma bronkial, rinitis biasanya menunjukkan alergi terhadap aeroalergen/ inhalan tetapi hasil penelitian terbaru menunjukkan adanya hubungan alergi makanan dengan asma bronkial, rinitis dan lain – lain, terutama pada anak seperti: susu, telur, coklat, kacang, ikan, udang. 4. Manifestasi vaskuler: pusing, migren dapat disebabkan oleh: keju, anggur, kerang, tomat, kopi kacang, susu, coklat, kenari, natrium sitrat atau makanan yang mengandung pressoramin yang lain. 5. Manifestasi muskuloskeletal: adanya hubungan erat antara alergi makanan dan penyakit reumatik yaitu: kenari, tembakau, kacang, 191

ekstrak makanan, natrium sitrat, bahan petrokimia, susu, tartrazine, debu rumah, dan lain – lain. 6. Manifestasi psikologik: reaksi ansietas dan skizofrenia ada hubungannya dengan susu cereal, kacang – kacangan, penyebabnya belum jelas.

192

ALERGI MAKANAN No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 3/4

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS DIAGNOSA

Anemnesa: 

Dasar diagnosa yang terpenting adalah anamnesa yang cermat meliputi jenis makanan yang dimakan, selang waktu timbulnya gejala, jumlah makanan yang dimakan, riwayat penyakit atopi/ riwayat keluarga dengan penyakitnya.



Macam makanan, pada umumnya makanan yang dimasak, kurang alergenitas dibanding dengan yang mentah, dan sering terjadi reaksi silang antara makanan sejenis.



Dicari apakah ada bahan pengawet yang dipakai dalam makanan tersebut. Gejala dapat timbul ½ - 48 jam sesudah makan.

Pemeriksaan fisik Mencari tanda – tanda alergi, adanya urtikaria, asma, tanda – tanda shock

analfilaktik

dan

gejala

gastrointestinal,

vaskuler,

muskuloskeletal dan lain – lain. Pemeriksaan laboratorium 

Adanya peningkatan kadar eosinofil dan IgE spesifik dalam darah menunjukkan adanya alergi.



Tes kulit: tes gores untuk mencari alergen penyebab. Ada korelasi yang baik antara tes kulit dengan alergen makanan seperti: susu, telor, coklat, ikan, kacang, udang, dan lain – lain apabila diameter bintul +/- 3 mm.



Tes intradermal nilainya terbatas, berbahaya.



Tes hemaglutinin dan antibodi presipitat tidak sensitif.



Biopsi usus: sekunder dan sesudah dirangsang dengan makanan 193

food chalenge didapatkan inflamasi/ atrofi mukosa usus, peningkatan limfosit intraepitelial dan IgM. IgE (dengan mikroskop imunofluoresen) 

Pemeriksaan/ tes D Xylose, proktosigmoidoskopi dan biopsi usus.



Diit coba buta ganda (Dauble blind food chalenge) untuk diagnosa pasti.

194

ALERGI MAKANAN

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP DIAGNOSA BANDING

No. Dokumen RSU.A.j.318.11.2007

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 4/4

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Gastrointestinal refluks, ulkus peptikum, sindrom malabsorbsi, gangguan psikologik, pankreatitis, keracunan obat (teofilin) Intoleransi makanan: reaksi non imunologik yang abnormal, namun masih merupakan reaksi fisiologik. Idiesinkrasi makanan: reaksi terhadap makanan tidak berlandaskan reaksi imunologik. Biasanya terhadap bahan pengawet atau bahan warna yang terkandung dalam makanan. Keracunan makanan: reaksi timbul dan mengenai semua yang makan makanan tersebut, karena makanan mengandung bahan toksik atau

PENATALAKSANAAN

terkontaminasi oleh bakteri yang membuat toksin. Diit Eliminasi Berdasarkan riwayat penyakit dan tes buta ganda, harus dievaluasi sesudah beberapa lama, kalau perlu konsultasi dengan ahli diit. Setelah diit selama 6 bulan dapat dirangsang dengan makanan diit coba (chalenge) lagi. Makanan yang boleh dimakan: nasi, pepaya, kambing, ayam, daging sapi, wortel, sayur, ubi, singkong, jagung, minyak, garam, gula, madu, dan cuka. Makanan yang tidak boleh dimakan : semua makanan yang dicurigai dapat menyebabkan reaksi alergi: merica, bumbu – bumbu dapur, kopi, teh, permen, udang, ikan laut, telor, coklat, dan sebagainya. Obat – obatan Antihistamin dapat dipakai Chlortrimetan 2 – 4 mg/ hari atau antihistamin lain, obat – obatan golongan adrenergik/ epinephrin 195

1/1000 0,3 cc/ subkutan: bila timbul reaksi anafilatik. Dapat diberi Kortikosteroid, Prednison 5 mg 3 x 1 – 2 tablet/ hari, kemudian dosis diturunkan.

196

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.319 .11.2007

PROSEDUR TETAP BATASAN

Tanggal terbit

No. Revisi Halaman 0 1/2 Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Adalah suatu proses radang non supuratif yang mengenai glomeruli sebagai akibat infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A di tempat lain .

PATOFIOLOGI

Penyakit ini sering mengenai anak – anak dan dewasa muda. Sebagian besar ( +/- 75 % ) GNA pasca Streptokokus timbul setelah infeksi saluran pernafasan bagian atas yang disebabkan oleh kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A tipe 1,2,4,12,18,25,49,55,56,57, dan 60. Sisanya timbul setelah infeksi kulit. 8 – 14 hari setelah infeksi

GEJALA KLINIS

Streptokokus timbul gejala – gejala klinis.  Sembab preorbita pada pagi hari ( 75 % ) 

Malaise, sakit kepala, muntah, panas, dan anoreksia



Asites ( kadang – kadang )



Takikardia, takipneu, rales paru, adanya cairan dalam rongga pleura



Hipertensi ( T > 95 persentile menurut umur ) pada > 50% pendeirta



Air kemih merah seperti air daging, oligouria, kadang – kadang anuria



Pada pemeriksaan radiologis didapatkan tanda bendungan pembuluh darah paru, cairan dalam rongga pleura dan kardiomegali

Laboratorium 

Air Kemih :  Proteinuria ringan ( pemeriksaan urine rebus ) 197

 Hematuria makroskopis /mikroskopis  Torak granular, torak eritrosit 

Darah  BUN naik pada fase akut, lalu normal kembali  ASTO > 100 satuan Todd  Komplemer C3 < 50 mg/dl pada 4 minggu pertama  Hipergamaglobulinemia, terutama IgG  Anti DNA – ase beta dan properdin meningkat

[

198

GLOMERULONEFRITIS AKUT PASCA STREPTOKOKUS

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.319.11.2007

PROSEDUR TETAP

Tanggal terbit

DIAGNOSA

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Diagnosa GNA P – S dibuat berdasarkan : 

Gejala klinis



Laboratorium  Air kemih 

DIAGNOSA BANDING

No. Revisi Halaman 0 2/2 Ditetapkan Direktur,



: harus lengkap Darah

: ASTO > 100 satuan Todd

dan C3 < 50 mg/dl Hematuria berulang dengan glomerulonefritis fokal (Ig A nefropati) yang ditandai dengan hematuria berulang asimptomatis tanpa penurunan fungsi ginjal dan adanya timbunan Ig A di glomeruli.

PENATALAKSANAAN



Hematuria berulang ringan



Purpura Henoch – schonlein

 

Glomerulonefritis progresif Tidak ada pengobatan spesifik



Penicilin procain 600.000 IU im selama 10 hari untuk memberantas infeksi Streptokokus beta hemolitikus group A



Istirahat total selama fase akut guna menghindari penyulit.



Hipertensi dan kelebihan cairan diatasi dengan obat – obatan anti hipertensi dan diit rendah garam

KOMPLIKASI



Penanganan payah jantung

 

Penanganan gagal ginjal akut Hipertensi ringan sampai berat ( Ensefalopati hipertensi )



Payah jantung karena hipertensi dan hipervolemia (volume over load)



Gagal ginjal.

199

INFEKSI SALURAN KEMIH

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24

No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007

PROSEDUR TETAP BATASAN

No. Revisi 0

Tanggal terbit

Halaman 1/3

Ditetapkan Direktur,

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS Infeksi yang terjadi pada saluran air kemih, mulai dari urethra, buli – buli, ureter, piala ginjal sampai jaringan ginjal. Infeksi ini dapat berupa : 

Pielonefritis akut



Pielonefritis kronis



Infeksi saluran air kemih berulang



Bakteriuria bermakna

PATOFISIOLOGI dan

 Bakteriuria asimptomatis Infeksi dapat terjadi melalui penyebaran hematogen ( neonatus ) atau

ETIOLOGI

secara ascending ( anak – anak )

Faktor terjadinya infeksi adalah : fimosis, alir balik vesikoureter, uropati obstruktif, kelainan kongenital buli – buli atau ginjal dan diaper rash. Kuman penyebab infeksi saluran air kemih : 

Kuman gram negatif : E. Coli, Klebsiella, Enterobacter,

Proteus dan Pseudomonas. 

Staphylococcus, kuman anaerob, TBC, jamur, virus dan 200

bentuk L bakteri protoplas. GEJALA KLINIS

Gejala tergantung dari umur penderita : 

0 – 1 : Gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah dan bulan

diare, kejang, koma, panas tanpa diketahui : sebabnya, ikterus (sepsis )



1 – 2

Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya,

bulan

gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah, diare, kejang, koma, kolik (anak menjerit keras), : air kemih berbau / berubah warna, kadang disertai nyeri perut/pinggang.



2 – 6 bulan

Panas/hipotermia tanpa diketahui sebabnya, tidak : dapat menahan kencing, polakiuria, disuria, enuresis, air kemih berbau dan berubah warna, diare, muntah, gangguan pertumbuhan serta



6 – 18

anoreksia.

tahun

Nyeri perut / pinggang, panas tanpa diketahui sebabnya, enuresis, polakisuria, disuria, air kemih berbau dan berubah warna.

201

INFEKSI SALURAN KEMIH No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP

No. Revisi 0

Halaman 2/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS PEMERIKSAAN dan

Biakan air kemih :

DIAGNOSA



Dikatakan infeksi positif apabila :  Air kemih tampung porsi tengah, biakan kuman positif dengan jumlah kuman > 10 /ml, 2 kali berturut – turut.  Air kemih tampung dengan pungsi buli – buli supra publik, setiap kuman pathogen yang tumbuh pasti infeksi



Dugaan Infeksi 

Pemeriksaan air kemih : adanya kuman, piuria, torak lekosit

 DIAGNOSA BANDING



Uji kimia

: TTC,

Kataslase, glukoseria Yang penting adalah membedakan antara pielonephritis dan sistitis.



Pada pielonefritis predisposisi konsentrasi ginjal menurun, respon terhadap adanya faktor predisposisi, fungsi konsentrasi ginjal menurun, respon terhadap antibiotika kurang baik.

202

INFEKSI SALURAN KEMIH No. Dokumen RSU.A.j.320.11.2007

RSU ‘AISYIYAH PONOROGO Jl. Dr. Sutomo 18-24 PROSEDUR TETAP PENATALAKSANAAN

No. Revisi 0

Halaman 3/3

Ditetapkan Direktur,

Tanggal terbit

Dr. Hj. RINI KRISNAWATI, MARS 3 prinsip penatalaksanaan infeksi saluran kemih : 

Memberantas infeksi



Menghilangkan faktor predisposisi



Memberantas penyulit

Antibiotika 

Neonalus 

Ampicilin : 50 – 100 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 3 – 4 dosis



Gentamisin : 5 – 7 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 2 – 3 dosis



Tobramisin : 5 – 7 mg/kg BB/24 jam im/iv dibagi 2 – 3 dosis

 Anak 

Cotrimaxazole : 4 – 8 mg TMP/kg BB/ 24 jam di bagi 2 dosis



Ampicillin

: 50 – 100 mg TMP/kg BB/

24 jam di bagi 3 – 4 dosis 

Amoxicillin

: 50 – 100 mg TMP/kg BB/

24 jam di bagi 3 – 4 dosis 

Cefalexin

: 50 – 100 mg TMP/kg BB/

24 jam di bagi 3 – 4 dosis 

Asam nalidiksat

: 50 mg TMP/kg BB/

24 jam di bagi 3 dosis 

Nitrofurantion

: 3 – 5 mg TMP/kg BB/ 24 203

jam di bagi 3 dosis KOMPLIKASI

Pieonefritis berulang dapat mengakibatkan hipertensi, parut ginjal, dan gagal ginjal ( Pielonefritis berulang timbul karena adanya faktor predisposisi ).

204

DAFTAR ISI Hal. COVER VISI, MISI DAN MOTTO RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO ……………………. KATA SAMBUTAN DIREKTUR RUMAH SAKIT UMUM ‘AISYIYAH PONOROGO …………….

I II

SK PEMBERLAKUAN PROSEDUR TETAP PENYAKIT DALAM ………………………………...

III

DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………………………..

IV

Protap Tukak Peptik ……………………………………………………………………………………

1

Protap Demam Tifoid ( Typhoid, Typhus Abdominalis ) ……………………………………………

5

Protap Enselfalopati Hepatik …………………………………………………………………………..

8

Protap Sindroma Nefrotik ……………………………………………………………………………...

11

Protap Gagal Ginjal Kronis …………………………………………………………………………….

17

Protap Gagal Ginjal Akut ………………………………………………………………………………

22

Protap Sirosis Hati ……………………………………………………………………………………...

25

Protap Hepatitis Kronis Aktif …………………………………………………………………………..

31

Protap Hepatitis Kronis Lobuler ……………………………………………………………………….

35

Protap Hepatitis Kronis Persisten ( HKP ) …………………………………………………………...

36

Protap Hepatitis Virus Akut ……………………………………………………………………………

37

Protap Sindrom Kolon Iritatif …………………………………………………………………………..

43

Protap Kolitis …………………………………………………………………………………………….

45

Protap Karsinoma Kolorektal ………………………………………………………………………….

46

Protap Pankreatitis Kronis …………………………………………………………………………….

49

Protap Pankreatitis Akut ……………………………………………………………………………….

52

Protap Kanker Lambung ……………………………………………………………………………….

57

Protap Dispepsia Non Ulkus …………………………………………………………………………..

61

Protap Penyakit Refluks Gastro-Esopageal …………………………………………………………

63

Protap Gastritis ………………………………………………………………………………………….

65

Protap Hipertiroidi ( Tirotoksikosis ) …………………………………………………………………..

66

Protap Komplikasi Diabetes Mellitus …………………………………………………………………

68

Protap Diabetes Mellitus ……………………………………………………………………………….

76

Protap Anafilaksis ………………………………………………………………………………………

86 205

Protap Intoksikasi Obat Kuat ………………………………………………………………………….

90

Protap Intoksikasi Insektisida Fosfat organic ………………………………………………………..

97

Protap Intoksikasi Insektisida Hidrokarbon Klorin …………………………………………………..

101

Protap Keracunan Bahan Hipnotika-Sedativa Dan Analgetika ……………………………………

103

Protap Intoksikasi Bahan Korosif ……………………………………………………………………..

107

Protap Osteoartritis ……………………………………………………………………………………..

110

Protap Artritis Rematoid ………………………………………………………………………………..

112

Protap Rematik Non Artikuler ( RNA ) ………………………………………………………………..

114

Protap Kelainan Sudut Lumbosakral ( Unstable Pelvis ) …………………………………………..

117

Protap Difteri …………………………………………………………………………………………….

119

Protap Disentri Basiler ( Shigellosis ) ………………………………………………………………...

125

Protap Disentri Ameba ( Amebiasis ) ………………………………………………………………...

127

Protap Kolera …………………………………………………………………………………………...

129

Protap Alergi Obat ……………………………………………………………………………………...

131

Protap Alergi Terhadap Alergen Inhalan ……………………………………………………………..

136

Protap Alergi Makanan …………………………………………………………………………………

140

Protap Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus ………………………………………………...

144

Protap Infeksi Saluran Kemih ………………………………………………………………………....

146

206

Related Documents

Ctk
May 2020 7
Sdh
May 2020 16
Sdh
June 2020 18
Sdh
December 2019 31

More Documents from "Mailya Fitriana"