BAB 1 PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Hati merupakan salah satu organ penting dalam menjalankan fungsi
metabolisme, detoksifikasi, bahkan inaktivasi obat atau senyawa beracun lainnya seperti radikal bebas, sehingga hati dapat dikatakan sebagai fungsi pertahanan dan pelindung tubuh (Linawati, dkk., 2008). Paparan yang tinggi dari berbagai polutan dan senyawa beracun pada tubuh dapat menyebabkan meningkatnya risiko kerusakan hati salah satunya berupa peradangan pada sel hati. Peradangan pada hati terjadi bila kemampuan hati dalam menjalankan fungsinya sudah melewati ambang batas. Hepatitis merupakan salah sau penyakit yang serius berupa peradangan hati yang terjadi secara difusa dan dapat menyebabkan komplikasi parah bahkan dapat menyebabkan kematian. Tingkat insiden dan kematian bervariasi dengn setiap jenis penyakit (Remedy Health Media, 2015). Departemen Kesehatan (Depkes) tahun 2014 menyatakan sebanyak 1,5 juta penduduk dunia setiap tahunnya meninggal karena hepatitis dan mengalami peningkatan jumlah angka kematian 2 kali lipat dibanding dengan riset yang dilakukan pada tahun 2007 dan 2013. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menyatakan prevalensi hepatitis di Indonesia mengalami peningkatan 2 kali lebih tinggi dibanding dengan tahun 2007, yaitu 0,6% pada tahun 2007 menjadi 1,2% pada tahun 2013. Pada tahun 2013 lima prevalensi hepatitis tertinggi berada di Nusa Tenggara Timur (1,3%), Papua (2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%)
1
2
dan Maluku (2,3%). Provinsi Aceh menduduki posisi 8 tertinggi dari provinsii yang ada di Indonesia yang memiliki angka prevalensi di atas rata-rata nasional, yaitu 1,8%. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menyatakan Kabupaten Aceg Utara merupakan kapupaten dengan prevalensi hepatitis kedua tertinggi setelah Kabupaten Aceh Timur, yaitu dengan prevalensi hepatitis 3,1%, sedangkan di Kota Lhoksemawe didapatkan 0,5%. Beberapa penyebab hepatitis seperti penyakit autoimun primer (hepatitis lupoid), infeksi virus, akibat obat (seperti parasetamol, oksifenisatin, metildopa, nitrofurantoin, isoniazid, dan lain-lain), alkoholisme, dan defisiensi alfa-lantitripisin (Hamidy, dkk. 2009) Hepatitis selain dapat disebabkan oleh hal-hal yang disebutkan di atas, juga dapat disebabkan oleh zat toksik (hepatitis toksik), karena kerusakan hati yang terjadi adalah akibat zat-zat yang bersifat toksik terhadap hati (Hamidy, dkk. 2009). Hepatitis dapat disebabkan oleh adanya peradangan pada hepatosit. (Corwin, 2009). Pemberian pewarna sintesis makanan golongan azo dalam kadar berlebihan dari yang telah ditetapkan dapat menimbulkan kerusakan pada hepatosit yang dapat terlihat dalam waktu cepat berupa peradangan dan degenerasi lemak pada hepatosit, sehingga berakhir dengan kematian sel (AlDahhan et al. 2014). Salah satu jenis pewarna makanan yang sering digunakan adalah tartrazine. Tartrazine adalah jenis pewarna sintesis yang memberikan warna kuning pada beberapa produk pangan (Amin et al., 2010). Produk yang
3
mengandung tartrazine biasanya dipakai untuk gula-gula, minuman ringan dan minuman berenergi, puding instan, sereal, custard bubuk, es kirm, permen dan lain-lain. Selain itu juga dipakai pada produk sabun, shampoo, kosmetik, perawatan rambut, krayon serta stempel berwarna. Pada produk pengobatan seperti vitamin, obat resep dan obat kapsul juga mengandung tartrazine (Ekasari, 2010). Batas maksimum penggunaan bahan pewarna makan telah ditetapkan dalm peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 722/MEN.KES.PER/IX/88 tentang bahan tambahan makanan (BTM), kadar tartrazine untuk minuman dan makanan cair yaitu 70 µg/ml dalam setiap produk siap konsumsi. Berdasarkan data BPOM (Badan Pengawas Obat dan Makanan) sesuai ADI (Acceptable Daily Intake) penggunaan tartrazine di Indonesia, yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg berat badan (BPOM RI, 2013). Di Eropa dan Jepang telah melarang penggunaan pewarna sintesis tartrazine dan lebih merekomendasikan pewarna alami seperti beta karoten. Efek samping dari tartrazine ini dapat merusak beberapa organ tertentu seperti hati, ginjal, otak dan lain-lain (Nugraheni, 2014). Maka dari itu, untuk menentukan tingkat keamanan pemakaian BTM khususnya tartrazine dalam suatu produk makanan maka akan dilakukan percobaan pada hewan coba tius putih (Rattus Norvegicus) jantan. Dosis yang digunakan adalah dosis yang telah ditetapkan BPOM yaitu 0 sampai 7,5 mg/kg berat badan yang akan dikonversikan ke dosis tikus, sehingga didapatkan
4
tingkatan dosisnya sebesar 3,5 mg/150grBB/hari, 7 mg/150grBB/hari dan 14 mg/150grBB/hari. 1.2
Rumusan Masalah Banyak sekali pewarna makanan yang digunakan dalam berbagai produk,
terutama produk makanan. Jenis dari pewarna makanan dapat dibedakan menjadi pewarna alami dan pewarna sistesis. Penggunaan dari pewarna sintesis dalam masyarakat lebih banyak digunakan dibandingkan dengan pewarna alami karena sifatnya yang praktis. Tartrazine merupakan salah satu jenis pewarna sintesis yang sering digunakan dalam beberapa produk makanan. 1.3
Pertanyaan Penelitian
1.
Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?
2.
Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?
3.
Bagaimana pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar?
1.4
Tujuan Penelitian
1.4.1
Tujuan umum
5
Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar. 1.4.2
Tujuan khusus
1.
Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
2.
Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
3.
Mengetahui pengaruh pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
1.5
Manfaat Penelitian
1.5.1
Manfaat teoritis Penelitian ini diharapkan sebagai data awal untuk penelitian selanjutnya
tentang pengaruh penggunaan zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar. 1.5.2
Manfaat praktis
1.
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan sebagai informasi bagi masyarakat tentang penggunaan zat pewarna sintesis makanan tartrazine serta dampaknya terhadap kesehatan.
6
2.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan data awal dan sebagai masukan kepada institusi yang berwenang terkait penelitian pengaruh penggunaan zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Tartrazine
2.1.1
Definisi tratrazine Tartrazine adalah salah satu jenis pewarna sintetik yang terdaftar atau
diizinkan oleh pemerintah digunakan untuk pewarna makanan dan minuman. Selain untuk makanan dan minuman tartrazine juga digunakan untuk kosmetik dan obat-obatan (Amin et al., 2010). Pewarna sintetik makanan tartrazine ini mempunyai sifat yang mudah larut dalam air. Kelarutannya dalam alkohol 95% hanya sedikit, namun dalam gliserol dan glikol mudah larut. Tartrazine tahan terhadao cahaya, asam asetat, HCl dan NaOH 10%. NaOH 30% akan menjadikan warna berubah menjadi kemerahmerahan. Tartrazine mudah luntur karena oksidator, FeSO4 membuat larutan zat pewarna menjadi keruh, tetapi dengan Alumunium (Al) tidak terpengaruh. Adanya tembaga (Cu) akan mengubah warna kuning menjadi kemerah-merahan (JECFA, 2002). 2.1.2
Struktur kimia Tartrazine
Tabel 2.1 Data Tartrazine berdasarkan JECFA No 1
Keterangan Nama Kimia
Penjelasan Trisodium 5-hydroxy-1-(4-sulfonatophenyl)-4(4sulfonato-phenylazo)-Hpyrazole-3-carboxylate
2 3 4 5 6 7
Berat Formula Rumus Kimia Nomor CAS Titik Leleh Golongan Kelarutan
8
Sinonim
534,37 g/mol C16H9N4Na3O9S2 1934-21-0 >135 O C (275 O F) Dyes, azo Larut dalam air, gliserol, glikol, dan hanya sedikit larut dalam etanol. Cl Food Yellow 4, FD&C Yellow No.5, CI (1975) No.
7
8
19140, INS No. 102 9 Klorida dan sulfat <15% 10 Tidak larut air <0.2% 11 Jumlah warna >85% 12 Kandungan senyawa <0,5% jumlah 4-Asam organik lain Hydrazinobenzenesulfonic, 5-Asam Aminobenzenesulfonic, 5-Oxo-1-(4-sulfofenil)-2pyrazoline-3-Asam karboksilat, 4,4’-Diazominodi (asam benzenasulfonat). Asam Tetrahydroxycuccinic. Sumber: JECFA, 2002
Zat warna sintetik yang memiliki rumus kimia C16H9N4Na3O9S2 dengan penampangkan fisik berwarna kuning tersebut memiliki struktur kimia seperti dibawah ini:
Gambar 2.1 Struktur Kimia Tartrazine (Anonim, 2012) 2.1.3 Metabolisme Tartrazine Penyerapan,
BAB 3 KERANGKA KONSEPTUAL DAN HIPOTESIS PENELITIAN 3.1
Kerangka Konseptual Faktor perancu: Obat, dosis paparan, nutrisi, usia, zat toksis dan stress.
Tartrazine peroral Direduksi dan absorbsi mikroorganisme usus
Distribusi
Tubuh tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar
HEPAR
Ikatan Kovalen zat kimia dengan protein intrasel
Disrupsi intraseluler
Biotransformasi azo obligasi/ oksidasi sitokrom p-450
Metabolisme
Komplek Apoprotein
Akumulasi cairan empedu
Imuonogenik
Respon sel T sitotoksik
Kerusakan sel hepar Gambaran nekrosis hepatosit tiukus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar Gambar 3.1 Kerangka konseptual Keterangan: : Variabel yang diteliti : Variabel perancu : Variabel yang tidak diteliti
9
10
3.2
Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konseptual di atas, dapat disimpulkan hipotesis
penelitian sebagai berikut: 3.2.1
Hipotesis null (Ho)
1.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
2.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari
tidak
berpengaruh
terhadap
Gambaran
nekrosis
Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar. 3.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 14
mg/150grBB/hari tidak berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis
Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar. 3.2.2
Hipotesis alternatif (Ha)
1.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 3,5 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
2.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 7 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
3.
Pemberian zat pewarna sintesis makanan tartrazine peroral dengan dosis 14 mg/150grBB/hari berpengaruh terhadap Gambaran nekrosis Hepatosit pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
BAB 4 METODE PENELITIAN 4.1
Design dan Rancangan Penelitian Penelitian ini menggunakan design penelitian true eksperimental
laboratorik dengan rancangan Post Test Control Group Design yang menggunakan hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar sebagai objek penelitian. 4.2
Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1
Lokasi penelitian Lokasi pemeliharaan dan perlakuan hewan coba akan dilakukan di
Laboratorium Riset Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Pembuatan preparat histopatologi akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. 4.2.2
Waktu penelitian Waktu penelitian ini mulai dari bulan April 2017 sampai Desember 2017.
4.3
Populasi dan Sampel
4.3.1
Populasi Populasi penelitian ini adalah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar. 4.3.2
Sampel dan Kriteria
1.
Kriteria Inklusi a.
Tikus putih (Rattus norvegicus) galur wistar
b.
Jenis kelamin jantan
c.
Usia 8-12 minggu
11
12
d. 2.
Berat badan 150 ± 10 gram
Kriteria Eksklusi a.
Terdapat kecacatan anatomis
b.
Tikus tampak sakit dan tidak bergerak secara aktif (ciri-ciri tikus yang sakit adalah sulit makan, kurus, bulunya berdiri, rambut kusam atau rontok dan ada luka)
c. 4.3.3
Tikus mati saat penelitian
Besar sampel Besar sampel pada penelitian ini dihitung dengan menggunakan rumus
Federer sebagai berikut: (n-1) (t-1) ≥ 15
n = jumlah sampel tiap kelompok perlakuan t = jumlah kelompok perlakuan Dari rumus ditas dapat dilakukan perhitungan besar sampel sebagai berikut: t = 4, maka didapatkan: (n-1) (4-1) ≥ 15 (n-1) 3 ≥ 15 (3n-3) ≥ 15 3n ≥ 18 n ≥ 18/3 n ≥6
13
Jumlah kelompok perlakuan pada penelitian ini adlaha 4, dari hasil perhitungan di atas maka didapatkan besar sampel pada penelitian ini adlah 6 ekor tikus per kelompok. Untuk mengantisipasi adanya kemungkinan hewan coba yang mati selama penelitian makan untuk masing-masing kelompok ditambah 10% dari jumlah yaitu 1 ekor hewan coba pada setiap kelompok, jadi masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Total besar sampel = 4 kelompok x 7 = 28 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar. 4.3.4
Cara pengambilan sampel Untuk menghindari bias karena variasi faktor umum dan berat badan maka
pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (simple random sampling). Randomisasi langsung dapat dilakukan karena sampel yang diambil dari tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar sudah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sehingga dianggap cukup homogen. Semuanya diambil secara acak dari kelompok tikus sebelum dilakukan aklimatisasi. 4.4
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
4.4.1
Variabel penelitian Penelitian ini memiliki dua variabel, yaitu variabel independen (bebas) dan
variabel dependen (terikat). a. Variabel independen : Tartrazine peroral dosis bertingkat b. Variabel dependen
: Gambaran nekrosis Hepatosit tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar.
14
4.4.2
Definisi operasional
Tabel 4.1 Definisi operasional No
Variabel
1
Tartrazine (Independe n)
2
Gambaran Nekrosis Hepatosit (Dependen)
4.5
Definisi Operasional Pewarna sintesis makanan golongan azo yang berwarna kuning, dalam bentuk bubuk yang dicampurkan dengan larutan aquades 1 ml
Penilainan gambaran nekrosis hepatosit dengan perubahan struktur histopatologi sebagai berikut: 1) Normal jika sel tampak berbentuk poligonal, sitoplasma berwarna merah homogen, dinding sel berbatas tegas 2) Nekrosis merupakan kerusakan sel permanen, terdapat 3 bentuk yaitu: a) Piknotik jika inti menjadi kecil dan gelap b) Karioreksis jika inti terfragmentasi c) Kariolisis jika inti hilang
Bahan Penelitian
Cara dan alat ukur Pembuatan larutan tartrazine berdasarkan dosis yang telah ditetapkan oleh BPOM RI (0-7,5 mg/kgBB) dan dikonversikan ke dalam dosis tikus menggunakan rumus Laurence, didapatkan dosis 3,5mg/150grBB/hari, 7mg/150grBB/hari, 14mg/150grBB/hari dan ditimbang menggunakan timbangan laboratorium Pembacaan preparat akan dilakukan menggunakan mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 kali dalam 5 lapangan pandang
Hasil Ukur
Skala Ukur
1 = 0 Rasio mg/150grBB/h ari 2 = 3,5 mg/150grBB/h ari 3 = 7 mg/150grBB/h ari 4 = 14 mg/150grBB/h ari
Presentase nekrosis hepatosis
Rasio
15
4.5.1
Hewan coba Hewan coba yang digunakan tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur
wistar yang berusia 8012 minggu dengan berat bada 150±10 gram. 4.5.2
Bahan pakan dan minum Hewan coba pada penelitian ini akan diberi pakan BR-2 dan minum
Aquades 4.5.3
Bahan uji Bahan uji yang digunakan pada penelitian ini adalah pewarna sintesis
makanan tartrazine. 4.5.4
Bahan lain Aquades untuk melarutkan tartrazine, asam pikrat untuk menandai sampel
dan bahan untuk pembuatan preparat histopatologi hati yaitu formalin 10%, alkohol 95% atau 100% xylol, paraffin, larutan hematoksilin, larutan ammonia dan larutan eosin. 4.6
Instrumen Penelitian Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah kandang hewan
dengan ukuran 75x60 cm2 dan perlengkapannya, timbangan laboratorium, gelas ukur, pipet tetes, spuit 1cc, sonde lambung, tabung kaca penyimpanan organ, alat bedah untuk pengambilan spesimen, alat-alat untuk membuat preparat, mikroskop cahaya dan kamera digital untuk pengambilan gambar preparat. 4.7
Prosedur Penelitian
4.7.1
Pengajuan Ethical Clearance
16
Penelitian ini akan dilakukan dengan memperhatikan prinsip-prinsip yang terdapat pada deklarasi Helsinki terkait etik penelitian kesehatan. Sebelum penelitain ini dilakukan, terlebih dahulu peneliti akan mengajukan permohonan Ethical Clearance dari Komisi Etik Penelitian Lembaga Peneliti Muda Kesehatan Aceh. 4.7.2
Persiapan hewan coba Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dibagi
empat kelompok menggunakan randomisasi acak sederhana (simple random sampling), untuk mencegah bias variasi faktor umur dan berat badan, dimana masing-masing kelompok terdiri dari 7 ekor tikus. Setiap kelompok ditempatkan pada kandang yang terpisah. Maisng-masing hewan coba diberi tanda menggunakan spidol permanen pada bagian ekor. Setelah itu, tikus diaklimatisasi selama 7 hari sebelum diberi perlakuan. Hewan coba ditempatkan dalam kandang yang telah dipersiapkan dan diatasnya ditutup dengan kawat penutup. Selama aklimatisasi, tikus diberi diet standar berupa pakan BR-2 dan minum aquades ad libitum, dipelihara dalam ruangan berventilasi cukup dan suhu ruangan berkisar 28-32oC. Pembersihan kandang dilakukan setiap 2 kali seminggu. Penerangan diatur dengan siklus 12 jam terang dan12 jam gelap. Siklus terang dimulai dari pukul 06.00 hingga 18.00 petang. 4.7.3
Pembuatan larutan Tartrazine Dosis yang akan digunakan pada penelitian ini dihitung berdasarkan dosis
ADI sebagaimana yang telah ditetapkan oleh BPOM RI dan dikonversikan
17
kedalam dosis hewan menggunakan rumus Laurence (Lampiran2). Dosis untuk setiap tikus dalam setiap kelompok perlakuan adalah: a.
Kelompok I = 3,5 mg/150grBB/hari
b.
Kelompok II = 7 mg/150grBB/hari
c.
Kelompok III = 14 mg/150grBB/hari Tartrazine ditimbang menggunakan timbangan laboratorium sesuai dengan
dosis yang dibutuhkan untuk perlakuan tikus. Tartrazine dicampur dan diaduk dengan larutan aquades 1 ml untuk setiap dosisnya. Volume tartrazine yang diberikan secara peoral sebanyak dosis di atas yang dicampurkan dan diaduk dalam larutan aquades 1 ml merupakan volume yang boleh diberikan berdasarkan pada volume normal lambung tikus yaitu 3-5 ml. Jika pemberian lebih dari 1 ml dikhawatirkan tidak ada cukup ruang untuk makanan dan minuman yang dikonsumsi tikus tersebut. Larutan tartrazine yang telah dicampurkan aquades 1 ml dimasukkan dalam spuit 1cc yang telah dipasang sonde lambung. Larutan ini selanjutnya disondekan ke dalam lambung tikus berdasarkan etika perlakuan hewan coba. 4.7.4
Perlakuan hewan coba Setelah aklimatisasi selama 7 hari, pada hari ke-8 hingga hari ke-29 hewan
coba akan diberi perlakuan berupa pemberian sonde lambung larutan pewarna tartrazine sesuai dengan dosis tiap kelompoknya, yaitu: a.
Kelompok kontrol Tiap tikus hanya diberikan larutan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus.
18
Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum. b.
Kelompok I Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 3,5 mg/150grBB/hari yang telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.
c.
Kelompok II Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 7 mg/150grBB/hari yang telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum.
d.
Kelompok III Tiap tikus diberikan larutan tartrazine 14 mg/150grBB/hari yang telah dilarutkan dengan aquades 1 ml dalam spuit 1cc. Larutan diberikan dengan cara disondekan ke dalam lambung tikus. Selama pemberian perlakuan tikus tetap diberikan makan dan minum secara ad libitum. Pada hari ke-30 semua hewan coba akan dikorbankan sesuai dengan
prinsip-prinsip yang terdapat dalam deklarasi Helsinki terkait etik penelitian kesehatan. Setelah dikorbankan hewan coba akan di bedah dan di ambil hatinya lalu dimasukkan dalam tabung kaca yang sudah diberi larutan pengawet buffer formalin 10%. Selanjutnya organ dikirim ke Laboratorium Histopatologi Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala untuk pembuatan preparat.
19
4.7.5
Pembuatan preparat Pembuatan preparat akan dilakukan di Laboratorium Histopatologi
Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Syiah Kuala. Tahapan pembuatan preparat adalah sebagai berikut: 1.
Pemotongan Gross Potong jaringan dengan ukuran panjang 2 cm, lebar 1 cm, tebal 3 mm.
2.
Pengawetan/Fiksasi Rendam jaringan pada cairan formalin 10% selama 18-24 jam kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit.
3.
Pengeblokan/Embedding Masukkan jaringan pada larutan Aceton selama 1 jam sebanyak 4 kali yang disebut dengan proses dehidrasi kemudian akan dilakukan proses penjernihan dengan cara masukkan jaringan ke dalam larutan Xylol selama ½ jam sebanyak 4 kali dilanjutkan dengan memasukkan jaringan pada kotak kertas yang berisi praffin cair dengan suhu oven 55oC selama 1 jam sebanyak 4 kali setlah itu tanam jaringan pada parafin blok (Embedding).
4.
Penyayatan Sayat blok yang sudah ditanamkan jaringan tersebut menggunakan mikrotom dengan ketebalan 3-5 µ atau disesuaikan dengan tujuan kemudian diambil sayatan yang berbentuk pita dengan menggunakan kuas kecil, kemudian letakkan pada water bath (30oC) dan sayatan sudah
20
merentang diambil dan menggunakan object glass. Diamkan selama 24 jam. 5.
Pewarnaan Rutin H&E Masukkan object glass yang sudah tertempel sayatan preparat pada larutan Xylol dan Alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Pengecatan inti akan dilakukan dengan memasukkan preparat ke dalam Meyer Hematoksilin (Harris) selama 15 menit kemudian cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Setelah itu berikan Alkohol asam 1 dip dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Masukkan preparat ke dalam Lithiium Carbonat selama 10-20 detik dan cuci dengan air mengalir selama 15 menit. Sebagai zat penutup, rendam preparat ke dalam larutan Eosin Y selama 10 menit kemudian dicuci dengan air mengalir. Selanjutnya preparat dimasukkan ke dalam alkohol 96% selama 15 menit sebanyak 3 kali untuk dehidrasi dan keringkan dengan kain kasa pada sekitar jaringan. Kemudian lakukan penjernihan dengan memasukkan ke dalam larutan Xylol selama 15 menit dan tutup dengan deck glass lalu direkatkan menggunakan perekat entelan atau Canada balsem.
4.7.6
Pemeriksaan dan pengamatan preparat Pemeriksaan dan pengamatan akan dilakukan di Fakultas Kedokteran
Universitas Malikussaleh oleh peneliti dan akan dikonfirmasi kepada pembimbing
21
penelitian. Pengamatan yang dilakukan adalah dengan melihat jumlah presentasi nekrosis hepatosit dengan menggunakan software optilab viewer. 4.8
Alur Penelitian 28 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar Adaptasi selama 7 hari
K
P1
P2
P3
7 ekor
7 ekor
7 ekor
7 ekor
Tartrazine peroral dosis 3,5mg/150grBB selama 21 hari
Tartrazine peroral dosis 7mg/150grBB selama 21 hari
Tartrazine peroral dosis 14mg/150grBB selama 21 hari
Pengambilan jaringan hati pada hari ke-30 dan pengecatan jaringan Pemeriksaan struktur histologis hati tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar secara mikroskopis
Gambar 4.1 Skema alur penelitian
4.9
Pengumpulan Data
4.10
Analisis Data Data yang dikumpulkan merupakan data primer hasil penelitian gambaran
histopatologi hati pada tikus putih (Rattus norvegicus) jantan galur wistar dari kelompok paparan tartrazine dan kelompok kontrol. Data yang diperoleh akan
22
diolah dengan menggunakan software komputer.
Setelah
data
dikumpulkan
dan disajikan dalam bentuk tabel, kemudian dilakukan penilaian dengan analisis varian, yaitu uji One Way ANOVA. Syarat untuk dilakukannya uji uji One Way ANOVA adalah data terdistribusi normal dan seluruh varian data homogen, maka karena itu dilakukannya uji Shapiro-Wilk untuk mengetahui apakah data sudah terdistribusi secara normal dan uji Variasi Homogenitas untuk mengetahui apakah seluruh varian data homogen. Uji One Way ANOVA dengan derajar kepercayaan yang digunakan adlaah 95% (α=0,05), jika P-value lebih kecil dari α (p<0,05), artinya ditemukan perbedaan di antara kelompok perlakuan, maka H0 ditolak dan dilanjutkan dengan uji Least Significant Difference (LSD) Post Hoc Test untuk mengetahui kelompok mana yang berbeda secara bermakna. Namun apabila syarat uji One Way Anova tidak terpenuhi, seperti data tidak berdistribusi normal dan tidak homogen, maka data dianalisis dengan uji Non-Parametric yaitu uji Kruskal-Wallis.
DAFTAR PUSTAKA
23