Problematika Sistem Pendidikan Saat ini Sebagaimana yang kita ketahui bahwa pendidikan merupakan hal terpenting dalam suatu negara. Maju tidaknya suatu negara tergantung pada sistem pendidikan di negara tersebut. Lalu, bagaimana dengan sistem pendidikan di Indonesia? Apakah kita sudah berhasil dalam membangun sistem pendidikan yang berkualitas? Menurut saya sebagai seorang pelajar, sistem pendidikan di Indonesia masih jauh dari kata sempurna. Masih begitu banyak persoalan-persoalan mengenai sistem pendidikan di Indonesia pada saat ini. Mulai dari pergantian kurikulum, adanya revisi kurikulum, penilaian tenaga pengajar, dan hal-hal lain yang tak disadari hanya memunculkan masalah baru dalam dunia pendidikan. Banyak tokoh masyarakat menilai sistem pendidikan hanya sebuah permainan politik untuk kepentingan masing-masing pihak. Tidak bisa dipungkiri bahwa sistem pendidikan sekarang hanyalah barang dagangan yang digunakan untuk mencari keuntungan. Program-program baru hanya terlihat “wahh” ketika diresmikan. Namun apa buktinya? Sedikitpun tak membuat kondisi menjadi semakin baik, justru hanya memperkacau keadaan. Gembor-gembor adanya sistem baru yang lebih mengedepankan nilai-nilai moral dan pendidikan karakter bagi siswa nyatanya hanya sebuah omong kosong.”Kebijakan tak sebanding dengan kenyataan” Itulah kata-kata yang tepat menanggapi keputusan pemerintah mengenai sistem pendidikan saat ini. Begitu banyaknya kasus-kasus pelanggaran moral yang dilakukan pelajar tak sebanding dengan prestasi-prestasi yang diraih. Hampir setiap daerah di Indonesia bisa dipstikan terjadi pelanggaran hukum baik tindak kekerasan maupun pelecehan seksual yang dilakukan oleh pelajar tiap bulannya. KPAI mencatat kasus kekerasan yang dilakukan oleh pelajar meningkat dari tahun ke tahun. Kasus kekerasan dan pelecehan oleh pelajar meningkat pada tahun 2014 s/d 2015 dari 67 kasus menjadi 79 kasus. Begitu juga kasus tawuran antar pelajar yang meningkat dari 46 kasus menjadi 103 kasus. Untuk tahun 2017 sendiri bagaimana? Menurut lembaga survei CNN Indonesis tercatat sebanyak 976 kasus pada pelajar. Diantaranya, 400 kasus kekerasan dan pelecehan seksual, 117 kasus bullying, 214 kasus pelanggaran hukum, dan
245 kasus pelajar putus sekolah. Dari data-data tersebut dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia tidak semakin baik, malahan bisa dikatakan semakin merosot. Siapakah yang patut disalahkan? Haruskah teknologi yang dipersalahkan? Itu hanyalah alasan yang tak masuk akal. Pendidikan karakter sejak dasar mulai dari SD, SMP hingga SMA harusnya mampu membenahi akhlak para pelajar agar terhindar dari penyalahgunaan teknologi dan arus perkembangan zaman yang menampilkan budaya-budaya perusak moral. Sistem memang tak bisa disalahkan 100 %. Kita sebagai kelompok yang menginginkan kemajuan pendidikan juga harus memperhatikan bagaimana kinerja sebuah lembaga pendidikan maupun tenaga pengajarnya. Prinsip-prinsip awal yang menjadi dasar dalam sistem pendidikan hanyalah sekedar prinsip tanpa realita jika tidak didukung oleh lembaga pendidikan maupun tenaga pengajar. Kita bisa lihat banyaknya sekolah yang ingin dipandang maju dan berkualitas oleh masyarakat. Mereka cenderung hanya memikirkan bagaimana agar sekolah mereka terlihat indah, infrastrukturnya lengkap, bangunannya mewah, dan mendapat banyak prestasi. Memang semua itu benar, namun banyak lembaga pendidikan yang melupakan hal terpenting yaitu moral dan karakter siswa/siswinya. Berbangga hati ketika siswanya yang cerdas memperoleh prestasi bukanlah suatu kebanggaan jika masih banyak siswa lain yang tak bermoral. Tugas lembaga bukan hanya mencetak kader-kader berprestasi, namun yang lebih penting adalah menananmkan nilai nilai moral pada seluruh siwa/siswinya. Jika seluruh siswa/siswi dapat berperilaku sopan dan bermoral, barulah suatu lembaga tersebut bisa dikatakan berhasil. Saya sendiri merasakan banyaknya ketimpangan yang terjadi di berbagai lembaga pendidikan saat ini. Banyak sekolah-sekolah yang melengkapi infrastruktur sedemikian mewah namun tak pernah dipandang baik di masyarakat karena perilaku siswa/siswinya yang tak bermoral. Padahal menurut saya, hal yang utama dalam sebuah lembaga adalah kualitas atau moral manusianya. Jika dalam suatu sekolah baik pengajar maupun siswa/siswinya mempunyai akhlak yang baik, secara otomatis mereka akan memiliki kesadaran untuk saling bekerja sama menjadikan sekolah menjadi lebih indah, lebih mewah, mampu memberikan teladan ataupun contoh yang baik dan yang terpenting adalah lebih dipercaya masyarakat. Terkadang terlintas dipikiran saya bahwa kita semua memang telah salah dalam menerapkan prinsip dan tujuan. Tak banyak seorang pelajar memiliki niat bersekolah untuk menuntut ilmu dan membenahi moral. Kebanyakan pelajar bersekolah hanya untuk mengejar nilai, meraih prestasi, dan mendapat pekerjaan yang layak sesuai ijazahnya. Hal-hal seperti inilah yang membuat pendidikan sulit untuk maju. Prinsip bahwa
“nilai bukanlah segala galanya” seakan tak pernah digubris oleh seluruh pihak yang terlibat dalam dunia pendidikan. Ini sudah jelas terbukti dari pelaksanaan UN tiap tahunnya. Selalu terjadi kecurangan berupa jual beli kunci jawaban yang dilakukan oleh pihak pelajar maupun pengajar. UN yang dijadikan ukuran hasil belajar siswa, sekarang hanya sebuah ujian biasa yang penuh dengan kecurangan. Yang dicari hanyalah nilai, nilai, dan nilai. Nilai memang penting, namun seharusnya yang menjadi ukuran pembelajaran paling utama adalah moral dan juga proses dalam membenahi sikap maupun karakter setiap siswa. Sebaik apapun nilai yang diraih seseorang tidak akan dipandang baik di masyarakat jika perilakunya masih menyimpang dari norma norma yang berlaku. Sekarang coba kita evaluasi bersama masalah peningkatan karakter siswa. Apakah kurikulum yang diterapkan di Indonesia sekarang sudah dinilai berhasil? Apakah kurikulum tersebut sudah mampu merombak moral anak bangsa? Itu semua masih jauh dari harapan jika kita melihat banyaknya kasus pelanggaran hukum yang dilakukan pelajar sebagaimana yang telah saya paparkan di awal. Menurut pendapat saya kurikulum yang sekarang justru semakin membingungkan dan memunculkan banyak kontra. Adanya penilaian tenaga pengajar mengharuskan setiap pengajar untuk melengkapi syarat-syarat administrasi yang begitu rumit. Hal itu membuat pelajar kehilangan banyak waktu bimbingan yang harusnya menjadi hak mereka. Apa benar itu dikatakan sebagai pembelajaran yang aktif? Apa benar siswa menjadi lebih kreatif? Tidak jika menurut saya. Pendidikan yang seperti ini tidak sesuai dengan prinsip dasar pendidikan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantoro. Seorang guru seharusnya mampu mengetahui karakter masingmasing siswa. Tidak semua siswa harus diperlakukan sama karena setiap anak itu unik ( every child is unique ). Itulah hal yang dilalaikan di dalam kurikulum yang sekarang. Anak yang aktif memang menjadi semakin aktif. Namun anak yang tidak aktif dan masih tidak tahu tujuan sekolah justru akan menjadi semakin bingung dan semakin menurun prestasinya. Padahal bukan seperti ini tujuan pemerataan pendidikan yang sebenarnya. Jadi menurut saya, sistem pendidikan perlu dirombak secara besar-besaran, begitu juga tenaga pengajar harus lebih mampu menanamkan nilai moral pada setiap pelajar sesuai dengan sifat dan karakter masing-masing agar pandangan masyarakat mengenai pendidikan tidak hanya terbatas oleh nilai.Untuk itu, kita harus mulai memperhatikan hal-hal dasar yang mampu membentuk karakter siswa seabagai penerus bangsa yang berbudi luhur. Mungkin hanya itu yang bisa saya jabarkan. Saya berharap semoga pendidikan di Indonesia bisa lebih maju dan mampu menciptakan generasi-generasi penerus
bangsa yang bermoral dan memiliki kecerdasan serta kemampuan yang dapat membawa Indonesia menjadi negara yang sejahtera.