Masalah Tenaga Kerja Indonesia di Malaysia: Latar Belakang dan Solusi Bimo Ario Tejo
Berapa jumlah pasti tenaga kerja kita di Malaysia? Menurut Ketua Sekretariat Kementerian Dalam Negeri Malaysia, Dato Seri Aseh Che Mat, jumlah tenaga kerja asing legal di Malaysia per 1 Januari 2002 adalah sebanyak 769.556 orang dan 566.983 di antaranya adalah TKI. Dengan asumsi bahwa jumlah imigran asing di Malaysia mencakup 10 persen dari jumlah penduduk Malaysia yang berjumlah 23 juta jiwa, maka jumlah pekerja ilegal kira-kira sebanyak 1,5 juta orang. Kira-kira lebih separuh dari jumlah itu adalah warga negara Indonesia.
Mengapa Malaysia membutuhkan begitu banyak tenaga kerja asing? Mantan Perdana Menteri Malaysia Dr. Mahathir Mohamad dalam pidato penutupan sidang puncak UMNO (partai berkuasa) tanggal 22 Juni 2002 telah mengkritik perilaku etnis Melayu sebagai pemalas dan lebih suka mengambil jalan pintas. Dasar Ekonomi Baru (DEB) yang diperkenalkan oleh Perdana Menteri Tun Razak pada tahun 70-an selepas kerusuhan etnis Cina-Melayu, memang memberi keutamaan kepada etnis bumiputera untuk menikmati berbagai keistimewaan dan pengecualian dalam bidang ekonomi. Termasuk dalam hal pendidikan, sebelum diberlakukannya sistem meritokrasi tahun ini, etnis bumiputera cukup mendapat grade (peringkat) 3A untuk memasuki universitas negeri, sedangkan etnis Cina harus meraih grade minimal 5A.
1
Sifat manja dan malas ini menyebabkan permintaan akan tenaga kerja kasar meningkat tajam, terutama 10 tahun terakhir ketika sektor riil ekonomi Malaysia berkembang pesat. Tidak bisa diharapkan orang Melayu bekerja sampai larut malam di proyek-proyek konstruksi dan ladang-ladang perkebunan dengan gaji yang teramat kecil menurut ukuran setempat. Rata-rata gaji TKI yang bekerja di perkebunan adalah RM 320 sebulan, sementara batas terbawah garis kemiskinan di Malaysia adalah RM 450 sebulan. Dan batas terendah gaji warga negara lokal yang tergabung dalam serikat pekerja adalah RM 1000 sebulan.
Dengan kemampuan bekerja keras dan keuletan walaupun dalam suasana tertekan dan gaji yang kecil, di samping alasan persamaan bahasa dan budaya, TKI menjadi pilihan utama para pengusaha Malaysia. Perusahaan tidak perlu mengeluarkan anggaran terlalu besar untuk mendapatkan tenaga kerja legal karena tidak dibebani dengan kewajiban membayar mahal kepada agen penyalur. Menurut data yang dilansir asosiasi pengusaha konstruksi Malaysia, jumlah pekerja ilegal Indonesia adalah 70% dari sekitar 500.000 orang buruh yang mereka miliki (The Star Online, 17/8).
Dampak peraturan baru imigrasi
Meningkatnya kriminalitas dan masalah sosial yang ditimbulkan oleh jumlah tenaga kerja migran yang teramat besar ini dijadikan alasan oleh Kerajaan Malaysia untuk mengubah Akta Imigresen 1959/63 dengan ancaman hukuman yang lebih berat berupa cambukan rotan dan denda serta penjara, berlaku sejak 1 Agustus 2002. Menteri di Kantor Perdana
2
Menteri, Dato Abdul Hamid Othman menyatakan perasaan jengkelnya kepada perilaku pendatang Indonesia yang dikatakannya suka merusuh dan merusak. Ia mengatakan bahwa ini diakibatkan para pekerja itu membawa-bawa budaya dari tempat asalnya (Utusan Malaysia, 27/1). Tidak jelas mengapa Geng Mamak, penjahat yang paling ditakuti di Malaysia dan beranggotakan penduduk lokal etnis India, tidak menjadi alasan untuk mengusir orang India dari Malaysia.
Diduga kuat bahwa peristiwa kerusuhan di pabrik Hualon Corporation di kawasan Nilai (Selangor) awal tahun ini dan pembakaran Pasar Dengkil seminggu sesudahnya menjadi alasan kuat bagi Kerajaan Malaysia untuk mengurangi jumlah pekerja Indonesia, baik legal maupun ilegal. Kerusuhan Nilai dipicu oleh sekelompok buruh Indonesia yang merasa tidak puas atas perlakuan polisi yang tengah melakukan razia obat terlarang. Dalam peristiwa itu sebuah truk polisi dibakar dan kompleks pemukiman pekerja porakporanda. Adapun peristiwa Dengkil dipicu oleh persengketaan antara etnis Aceh Utara dan Selatan yang berakibat pembakaran Pasar Dengkil.
Atas peristiwa Nilai itu, Dr. Mahathir berkomentar pedas bahwa merusuh bukanlah budaya rakyat Malaysia. “Kalau rakyat asing berpendapat negara kita ini tidak baik bagi mereka....tolonglah nyah (pulang) balik ke negara sendiri!” (Utusan Malaysia, 19/1). Dan realisasi dari ucapan ’nyah’ itu adalah pelancaran Operasi Nyah secara besar-besaran, penempatan buruh Indonesia sebagai prioritas terakhir perekrutan, dan berpuncak pada diberlakukannya Akta Imigresen 2002.
3
Tetapi secara praktis akibat dari Operasi Nyah dan Akta Imigresen 2002 telah mendatangkan kesulitan bagi negara Malaysia. Sektor konstruksi yang 70 persen bergantung kepada buruh ilegal Indonesia adalah sektor yang paling terpukul. Menurut Menteri Sumber Daya Manusia, Dato Dr Fong Chan Onn, sektor yang paling terpukul hebat akibat larinya para pekerja ilegal adalah konstruksi, perladangan dan fabrikasi (The Star Online, 13/8). Akibatnya pemerintah Malaysia menerima keluhan dari para pengusaha perladangan dan konstruksi bahwa mereka kekurangan tenaga kerja yang berakibat tertundanya proyek dan meningkatnya harga properti.
Untuk mencegah akibat yang lebih buruk kepada perekonomian negara, Kerajaan Malaysia memutuskan untuk menerima kembali pekerja Indonesia khusus untuk sektor konstruksi, setelah sebelumnya juga memberikan kelonggaran untuk sektor perkebunan dan pembantu rumah tangga pada bulan Februari (Utusan Malaysia, 16/8). Penempatan pekerja Indonesia sebagai prioritas terakhir hanya berjalan di atas kertas karena para pengusaha berkehendak lain.
Persamaan kedudukan dan penyelesaian menang-menang
Jelaslah bahwa kedua negara sama-sama diuntungkan dengan adanya aliran tenaga kerja Indonesia. Sungguh arogan jika Menteri Luar Negeri Syed Hamid Albar mengatakan bahwa kebijakan Malaysia menerima buruh migran semata-mata merupakan konsep Malaysia untuk berbuat baik demi ‘memakmurkan jiran (tetangga)’.
4
Kejadian eksodus buruh migran ilegal yang memukul perekonomian Malaysia menjadi bukti bahwa Indonesia pun ikut ambil bagian dalam memakmurkan jiran atas prinsip ekonomi supply and demand. Apa yang bisa diperbuat Malaysia tanpa buruh migran? Kesuksesan untuk lepas dari krisis ekonomi tanpa bantuan IMF—tidak seperti negara jirannya yang masih terkatung-katung—memang membuat Malaysia percaya diri. Tetapi aliran buruh migran adalah aliran supply and demand, bukan sedekah atau sekedar mengasihani negara jiran.
Sebaliknya Indonesia juga mengambil keuntungan dari aliran buruh migran di tengah menipisnya kesempatan kerja akibat krisis ekonomi yang tak kunjung usai. Setiap tahun para pekerja Indonesia di Malaysia mengirim uang ke kampung halaman sebanyak RM 234,46 juta, atau hampir 600 milyar rupiah. Dan juga mengurangi masalah sosial akibat meningkatnya angka pengangguran.
Dalam posisi yang seimbang ini, Indonesia dan Malaysia harus mencari solusi yang menguntungkan kedua belah pihak. Mengusir semua pekerja Indonesia dan menggantinya dengan 80.000 rakyat miskin Malaysia, sebagaimana diusulkan Profesor Diraja Ungku Aziz, adalah solusi yang mustahil. Jumlah 80.000 adalah kurang dari 10 persen kebutuhan buruh migran dan budaya kerja keras adalah sesuatu yang tidak bisa dilepaskan dari karakter buruh Indonesia.
Demikian juga dengan pendirian sekolah keterampilan Kolej Universiti Teknikal Kebangsaan Malaysia (KUTKEM) di Melaka lebih merupakan retorika ketimbang
5
menyelesaikan masalah kebutuhan buruh migran. Karena lembaga sejenis yang bernama Construction Industry Development Board (CIDB) yang berdiri sejak tahun 1994 telah gagal mencetak tenaga kerja lokal yang tangguh di bidang konstruksi (Utusan Malaysia, 1/6).
Beberapa solusi yang berlandaskan pada konsep win-win solution dan menguntungkan kedua belah pihak, baik Malaysia dan Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, mengingat sebagian besar para pekerja migran kita buta hukum atau masih membawa budaya tidak taat hukum dari negara asalnya, pemerintah Indonesia harus mendidik mereka dengan undang-undang dan peraturan yang berlaku di negara tempat bekerja. Ini bisa dilakukan juga oleh KBRI untuk para pekerja yang sudah terlanjur masuk.
Kedua, perwakilan Indonesia di luar negeri harus membuka biro hukum yang melindungi para pekerja apabila mendapat masalah dengan majikan atau pihak berkuasa. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa buruh migran di Indonesia kerap menjadi sasaran pemerasan oleh pihak polisi setempat tanpa ada tempat mengadu. Juga menjadi obyek penipuan oleh pengerah jasa (PJTKI) yang memaksa para pekerja menandatangani sejumlah dokumen pada detik-detik terakhir keberangkatan yang ternyata surat pernyataan berutang kepada PJTKI.
6
Ketiga, para buruh migran legal diberi kesempatan untuk menjadi anggota serikat pekerja setempat. Ini adalah saran dari Senator Zainal Rampak, Ketua Kongres Kesatuan Sekerja Malaysia (MTUC). Dengan demikian buruh migran akan memiliki posisi lebih kuat dan bisa menuntut gaji serta fasilitas yang layak setara dengan buruh lokal. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa para buruh migran ini lemah posisinya, bahkan hak-hak asasinya untuk mengerjakan shalat telah dirampas dengan alasan memenuhi jam kerja sesuai kontrak. Bukan hanya perampasan gaji dan paspor oleh majikan.
Ketiga solusi di atas adalah dalam rangka memperkuat kedudukan para TKI kita. Bisa dipastikan para pengusaha Malaysia tidak akan senang karena harus mengeluarkan anggaran ekstra untuk menaikkan gaji yang jumlahnya tidak sedikit. Maka dipastikan akan ada pengusaha yang diam-diam merekrut tenaga ilegal. Untuk itu ditempuh solusi keempat:
Keempat, pemerintah Malaysia harus menindak para majikan yang telah mempekerjakan para buruh migran ilegal dengan hukuman yang jauh lebih berat ketimbang yang diterima oleh para buruh. Lalu-lintas buruh ilegal terjadi karena sejumlah agen menerima pesanan dari perusahaan-perusahaan Malaysia yang lebih suka menggunakan tenaga kerja murah tanpa visa. Ini terbukti dengan terpukulnya perekonomian Malaysia selepas eksodus besar-besaran para buruh migran ilegal.
Sedangkan untuk tindak kriminal yang dilakukan pekerja Indonesia, baik legal maupun ilegal, diselesaikan sesuai hukum yang berlaku secara individual tanpa dikaitkan dengan
7
komunitas Indonesia di Malaysia secara keseluruhan. Sama seperti halnya Kerajaan Malaysia menyelesaikan kejahatan Geng Mamak dan kumpulan penjahat lain tanpa mengaitkannya dengan eksistensi etnis India di Malaysia. Kebijakan mengurangi jumlah pendatang adalah hak setiap negara, tetapi harus dilakukan dengan cara yang lebih elegan ketimbang mencari-cari kesalahan sekelompok orang untuk menggebah keluar ratusan ribu orang secara serentak.
Kesemua solusi ini harus dituangkan dalam satu undang-undang perlindungan buruh migran yang hingga detik ini belum kita punyai. Para tenaga kerja kasar ini telah memberi sumbangan berarti di tengah situasi ekonomi nasional yang masih belum pulih. Mereka tidak boleh hanya dilihat sebagai sekrup dari sektor produksi tanpa dihargai hakhaknya sebagai manusia. Meninggalnya puluhan orang di Nunukan (sebagai buntut larinya puluhan ribu TKI akibat pemberlakuan Akta Imigresen 2002) disebabkan keterlambatan penanganan dan salah urus adalah bukti bahwa mereka selama ini tidak menerima penghargaan yang layak dari pemerintah Indonesia.
Tetapi solusi total terhadap masalah buruh migran ilegal ini adalah penciptaan iklim yang kondusif di Indonesia sehingga cukup tersedia lapangan kerja yang memadai. Kuncinya adalah pengaktifan kembali sektor riil yang menyerap banyak tenaga kerja ketimbang sektor non-rill yang hanya membangun ekonomi fatamorgana di atas kertas.
Pemerintah Indonesia sanggup mengeluarkan dana 150 trilyun untuk menyehatkan sektor perbankan. Seharusnya dana sebesar itu, atau bahkan kurang dari itu, bisa dipakai untuk
8
membuka lapangan kerja riil di sektor pertanian. Cerita sukses Malaysia sebagai produsen komoditi berbasis minyak sawit (palm oil) terbesar di dunia bisa dijadikan contoh. Padahal tanah Malaysia Semenanjung tidak sesubur tanah Indonesia yang memiliki banyak gunung berapi.
Malaysia berkonsentrasi pada kelapa sawit dan membentuk MPOB (Malaysian Palm Oil Board, dahulu bernama PORIM) sebagai lembaga tunggal yang mengkaji berbagai produk unggulan yang berbasis minyak sawit. Pesatnya perkembangan ladang sawit (dan juga karet) adalah salahsatu faktor yang memicu kebutuhan akan tenaga kerja migran di negara yang hanya separuh panjang Pulau Sumatera itu.
Jika saja pemerintah Indonesia lebih peduli dengan penciptaan lapangan kerja dan pemulihan sektor riil, ada banyak sekali lapangan kerja di sektor pertanian yang bisa diciptakan. Bukan hanya mencurahkan dana dan perhatian kepada bank-bank yang bangkrut oleh ulah para pemiliknya sendiri tetapi upaya pemulihannya memakan energi dan sumber daya seluruh rakyat.
Saya tercenung ketika seorang kawan Malaysia bertanya, “Mengapa pemerintah Indonesia tak mampu menyediakan lapangan kerja di negeri yang sedemikian kaya itu?” Sebuah pertanyaan yang sulit dijawab.
* Penulis adalah kandidat doktor di Malaysia
9