Pprom2.docx

  • Uploaded by: Meitri Wijaya Kusuma
  • 0
  • 0
  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pprom2.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 6,535
  • Pages: 30
Tatalaksana PPROM (Preterm Premature Rupture of Membranes)

oleh: Isti Puji Lestari, S.Ked G1A217006

Pembimbing: Dr.dr. Herlambang Noerjasin, Sp.OG, (K) FM

BAGIAN OBSTETRI DAN GINEKOLOGI RSUD RADEN MATTAHER JAMBI FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN UNIVERSITAS JAMBI 2019

Lembar Pengesahan Tatalaksana PPROM (Preterm Premature Rupture of Membranes)

oleh: Isti Puji Lestari, S.Ked G1A217006

Sebagai salah satu tugas kepaniteraan klinik senior Bagian Ilmu Obstetri dan Ginekologi RSUD Raden Mattaher Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Jambi

Jambi,

Maret 2019

Pembimbing,

Dr.dr. Herlambang Noerjasin, SP.OG (K)FM

TATALAKSANA PECAH KETUBAN DINI PRETERM (PPROM)

Pecah ketuban dini merujuk pada keadaan pasien dengan usia gestasi lebih dari 37 minggu dan menunjukkan pecah ketuban sebelum terjadinya persalinan. Sedangkan untuk pecah ketuban dini premature merupakan pecah ketuban yang terjadi pada usia kehamilan sebelum 37 minggu. Pecah ketuban dini premature (PPROM) yang terjadi pada usia kehamilan 24-37 minggu biasanya lebih sulit untuk ditangani dibandingkan pecah ketuban dini pada usia kehamilan yang cukup bulan atau aterm. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Segala rencana untuk penatalaksanaan PPROM harus mencakup support dari keluarga dan tim medis untuk kehamilannya, termasuk tim dalam pananganan ibu dan bayinya. Pecah ketuban dini (PPROM) ini harus ditatalaksana pada rumah sakit yang memiliki fasilitas NICU dan dapat menangani bayinya. Karena kebanyakan persalinan janin PPROM dengan pecah ketuban selama 1 minggu, rujukan ibu hamil ke pelayanan yang memiliki fasilitas harus dilakukan dan harus difasilitasi sesegera mungkin setelah diagnosis ditegakkan. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Usia kehamilan yang menguntungkan (didefinisikan sebagai usia kehamilan >34 minggu) juga dapat dianggap sebagai kontraindikasi relatif untuk manajemen konservatif yang berkelanjutan dalam mengangani PPROM, karena risiko tinggi infeksi menular, risiko komplikasi prematuritas yang rendah, dan kurangnya manfaat yang terbukti dari pemberian kortikosteroid antenatal dalam meningkatkan hasil perinatal. Beberapa hal yang masih kontroversi dalam pengelolaan PPROM masih ditemukan. (David. 2004)

Sebagai aturan umum, penatalaksanaan kehamilan yang dipersulit dengan pecah ketuban dini atau PPROM ini harus dilakukan di rumah sakit karena tidak mungkin untuk secara akurat memprediksi kehamilan mana yang akan mengalami komplikasi seperti infeksi, prolaps tali pusat, kompresi tali pusat, atau abrupsi plasenta. (David. 2004) Pada keadaan tertentu (misalnya, perempuan yang patuh dan telah stabil di rumah selama 72 jam, yang tinggal di dekat rumah sakit, dapat mempertahankan tirah baring dan istirahat di rumah, dan yang bersedia memeriksa suhu mereka dua kali sehari dan rutin), manajemen rawat jalan dapat dipertimbangkan. Namun, pada beberapa pasien yang memenuhi semua persyaratan ini, pendekatan ini memiliki risiko potensial untuk ibu dan janin,dan tidak jelas apakah pendekatan seperti itu akan hemat biaya. (David. 2004) Setelah periode awal pemantauan terus menerus denyut jantung janin dan kontraksi uterus selama kurun waktu 24-48 jam, jika temuan sugestif meyakinkan pengawasan, maka pasien akan dipertimbangkan dilakukan manajemen ekspektatif. Secara umum, pasien akan dibaringkan di tempat tidur obstetri. Penatalaksanaan dengan istirahat yang dimodifikasi umumnya direkomendasikan (dalam upaya untuk meningkatkan reakumulasi cairan ketuban dan untuk meningkatkan perfusi uteroplasenta dan dengan demikian juga dengan pertumbuhan janin) dengan mengistirahatkan panggul (tidak ada tampon, douching, atau hubungan seksual). Namun, data yang ada tidak menunjukkan manfaat untuk istirahat di tempat tidur untuk kondisi kebidanan apa pun. Karena tirah baring dalam kehamilan dikaitkan dengan peningkatan kemungkinan trombosis vena dalam, profilaksis untuk mengurangi risiko ini harus dipertimbangkan. (David. 2004) (Jazayeri, Allahyar. 2018) Pemantauan janin harus dilakukan setidaknya sekali sehari. Jika ada bukti terjadinya kompresi tali pusat, pemantauan berkelanjutan harus dilakukan kembali.

Tanda-tanda vital ibu harus dipantau secara ketat. Takikardia dan demam, keduanya menunjukkan tanda-tanda akan adanya infeksi chorioamnionitis dan memerlukan evaluasi yang cermat untuk menentukan adanya infeksi intra-amnion, dimana pemberian dan inisiasi antibiotik spektrum luas harus segera diberikan kepada pasien. (Jazayeri, Allahyar. 2018)

Pemeriksaan ultrasonografi untuk mengetahui indeks cairan ketuban serta pertumbuhan dan kesejahteraan janin harus digunakan untuk memastikan kesesuaian manajemen kehamilan lanjutan. Oligohidramnion didefinisikan sebagai indeks cairan ketuban kurang dari 2 cm, telah dikaitkan dengan latensi pendek dan korioamnionitis. Jumlah sel darah putih tidak memprediksi hasil dan tidak perlu dipantau selain untuk mendukung kecurigaan klinis korioamnionitis. Pemeriksaan dalam serviks dengan jari harus dihindari. Dalam presentasi noncephalic, terutama dengan serviks yang membesar, pemantauan terus menerus harus dipertimbangkan untuk menghindari terjadinya prolapsus tali pusat. Jika terdapat infeksi intra-amniotik, harus segera dirujuk ke fasilitas kesehatan yang memadai. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Evaluasi awal dari pecah ketuban dini preterm (PPROM) harus mencakup pemeriksaan spekulum steril untuk memastikan bahwa apakah benar telah terjadi pecah ketuban. Biakan serviks termasuk Chlamydia trachomatis dan Neisseria gonorrh oeae serta biakan anovaginal untuk Streptococcus agalactiae dapat dilakukan pemeriksaannya. Hasil pemeriksaan tanda-tanda vital ibu juga harus dicatat, serta pemantauan janin dilakukan terus menerus sejak awal untuk menetapkan status janin apakah ada tanda-tanda dari gawat janin. Dokumentasi usia kehamilan, berat janin, presentasi janin, dan indeks cairan ketuban dari ultrasonografi (USG) harus tersedia. (Simhan 2005) Pemeriksaan dalam dengan jari atau vaginal digital harus dihindari, tetapi inspekulo dapat dilakukan dan secara akurat dapat memperkirakan seberapa besar telah terjadi dilatasi serviks. Pemeriksaan dalam yaitu dengan memasukkan jari

pemeriksa ke dalam vagina pada pecah ketuban dini preterm (PPROM) telah terbukti memperpendek periode laten dari persalinan dan akan meningkatkan risiko infeksi pada pasien tanpa memberikan informasi klinis tambahan yang bermanfaat.

(Jazayeri,

Allahyar. 2018)

Dalam keadaan tertentu, keputusan untuk melakukan pengeluaran janin segera pada janin dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM) diindikasikan. Keadaan ini termasuk pada keadaan korioamnionitis, persalinan lanjut, gawat janin, dan solusio plasenta dengan pengawasan yang meragukan. Jika kematangan paru janin telah dibuktikan dari amniosentesis atau dari pengumpulan cairan vagina, persalinan dapat dilakukan sesegera mungkin. Pada janin dengan ancepali dan dilatasi serviks lanjut (lebih dari atau sama dengan 3 cm), risiko prolaps tali pusat juga lebih besar daripada manfaat manajemen ekspektatif sehingga persalinan harus dipertimbangkan.

(Jazayeri,

Allahyar. 2018)

Jika setelah evaluasi awal ibu dan janin ditentukan secara klinis stabil, manajemen ekspektatif pecah ketuban dini preterm (PPROM) dapat dipertimbangkan untuk meningkatkan kualitas janin saat dilahirkan. Risiko utama ibu dengan manajemen ekspektatif pecah ketuban dini preterm (PPROM) adalah terjadinya infeksi. Persentase risiko komplikasi dari PPROM ini yatiu korioamnionitis (1360%), endometritis (2-13%), sepsis (<1%), dan kematian ibu (1-2 kasus per 1000). Komplikasi yang terkait dengan plasenta termasuk solusio plasenta (4-12%) dan retensio plasenta atau perdarahan postpartum yang membutuhkan kuretase uterus (12%). (Mercer. 2004) Risiko dan manfaat potensial dari manajemen ekspektatif pada pasien pecah ketuban dini premature ini harus didiskusikan dengan pasien dan keluarganya serta informed consent harus diperoleh sebelum melakukan tindakan selanjutnya. Status ibu dan janin perlu dievaluasi ulang setiap harinya dan keamanan serta manfaat potensial dari manajemen ekspektatif harus dinilai ulang. Apabila kondisinya tetap

stabil, janin yang belum matang tersebut dapat mengambil manfaat dari manajemen ekspektatif, bahkan jika hanya dalam jangka waktu yang pendek, dimana dimungkinkan pemberian steroid dan antibiotik. Ketika janin telah cukup bulan/aterm, manfaat dari manajemen ekspektatif PPROM menjadi tidak jelas dan risiko infeksi lebih besar daripada manfaat potensial. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Amniosentesis dapat memberikan informasi tentang akurasi kematangan dari paru-paru janin dan kebenaran diagnosis ketuban pecah dini serta adanya infeksi. Namun, dalam kebanyakan kasus dari pecah ketuban dini preterm (PPROM), jumlah cairan sudah sedikit; dengan demikian, amniosentesis harus dilakukan hanya oleh individu dengan pengalaman dalam melakukan amniosentesis yang sulit, dan risiko yang sesuai dengan potensi komplikasi janin dan kebutuhan untuk persalinan segera harus didiskusikan dengan pasien sebelum mencoba tindakan dari amniosentesis. (Jazayeri, Allahyar. 2018)

A. Antibiotik Langkah awal dalam manajemen pecah ketuban dini preterm (PPROM) adalah informed consent. Pasien perlu diberikan informasi mengenai risiko dan informasi mengenai manfaat dari tindakan yang akan dilakukan, serta harus dilibatkan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan. Setelah keputusan untuk penatalaksanaan pasien secara ekspektatif telah dibuat, pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Berbagai uji coba telah meneliti kelebihan dan kekurangan penggunaan antibiotik dan pemilihan dari antibiotik pada pasien pecah ketuban dini ini. Dalam sebagian besar penelitian, penggunaan antibiotik telah dikaitkan dengan perpanjangan kehamilan dan pengurangan morbiditas dari bayi dan ibu. Namun, beberapa penelitian telah melaporkan peningkatan morbiditas neonatal dengan antibiotik jenis tertentu, seperti yang dibahas di bawah ini. (Jazayeri, Allahyar. 2018)

Chemoprophylaxis beta-hemolytic streptococcus Grup B (GBS) intrapartum, bukan anterpartum telah terbukti secara signifikan mengurangi insidensi onset dini sepsis GBS dan kematian neonatal. Oleh karena itu diindikasikan pemberian antibiotik untuk semua wanita yang melahirkan prematur, kecuali biakan perineum negatif untuk GBS dalam 5 minggu sebelumnya. Penisilin intravena adalah pengobatan pilihan, utama dan dianjurkan minimal pemberian antibiotik 4 jam sebelum pengiriman. (David. 2004) Apusan perineum dan perianal (bukan serviks) untuk GBS harus diambil dari semua wanita yang datang dengan pecaj ketuban dini prematur dengan status karier GBS yang tidak diketahui. Keputusan untuk memulai antibiotik harus disesuaikan dengan kebutuhan individu yang tergantung pada kemungkinan bahwa pasien akan melahirkan dalam beberapa hari ke depan. Jika antibiotik dimulai dan keputusan kemudian diambil untuk melanjutkan manajemen konservatif, antibiotik dapat dihentikan dan dimulai kembali setelah pasien dalam persalinan jika kultur GBS kembali positif. (David. 2004) Tidak ada kemoproflaksis diindikasikan jika kultur kembali negatif, bahkan jika persalinan

prematur. Jika pasien kemudian mengalami infeksi asenden

(korioamnionitis), pasien tersebut harus diobati dengan antibiotik intravena spektrum luas. Protokol semacam itu (yang umumnya termasuk ampisilin) akan cukup mencakup kuman GBS. Belum ada resistensi GBS yang didokumentasikan terhadap penisilin, meskipun resistensi terhadap eritromisin dan klindamisin mungkin setinggi 15% hingga 20% di beberapa lembaga. (David. 2004) Dua dari studi terbesar yang telah melihat manfaat dari penggunaan antibiotik dalam pecah ketuban dini preterm (PPROM) yaitu Institut Nasional Kesehatan Anak dan Pengembangan Manusia - Maternal Fetal Medicine Units (NICHD-MFMU) mengenai ketuban pecah dini dan percobaan ORACLE. Dalam studi NICHD, antibiotik intravena digunakan selama 48 jam yaitu ampisilin 2 g tiap 6 jam dan

eritromisin 250 mg tiap 6 jam. Para pasien kemudian diberikan amoksisilin oral 250 mg tiap 8 jam dan salut enterik erythromycin-base 333 mg tiap 8 jam. Terapi antibiotik ini diberikan selama 7 hari. Dalam studi ini, kelompok kontrol dibandingkan dengan kelompok antibiotik, memiliki durasi latensi yang jauh lebih singkat. Kelompok antibiotik dua kali lebih mungkin dapat mempertahankan kehamilan setelah 7 hari. Peningkatan latensi berlanjut hingga 3 minggu setelah penghentian antibiotik. Morbiditas gabungan dan individual untuk neonatus lebih rendah pada kelompok antibiotik. Insiden korioamnionitis dan sepsis neonatal, termasuk sepsis streptokokus grup B juga menurun. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Pada uji coba ORACLE digunakan eritromisin saja, asam amoksisilin klavulanat saja, atau asam amoksisilin klavulanat dalam kombinasi dengan eritromisin. Dari uji coba tersebut didapatkan hasil yang berbeda dimana tidak ada perbedaan signifikan yang dicatat dalam latensi kelahiran dan morbiditas neonatal yang tidak menurun sebagaimana didefinisikan dalam hasil utama mereka (kematian, penyakit paru-paru kronis, dan kelainan otak utama pada ultrasonografi). Kebutuhan oksigen tambahan dan hasil kultur darah positif juga menurun. Ketika asam amoksisilin klavulanat digunakan baik sendiri atau dalam kombinasi dengan eritromisin, terjadi peningkatan risiko necrotizing enterocolitis (1,9% vs 0,5%, p = 0,001). (Jazayeri, Allahyar. 2018) Berdasarkan bukti saat ini, penggunaan antibiotic selama 7 hari, seperti yang diusulkan oleh studi NICHD-MFMU pada pecah ketuban dini harus menjadi rejimen antibiotik yang digunakan pada pasien dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM) yang sedang ditatalaksana secara ekspektatif. Ketika antibiotik lain digunakan untuk indikasi lain, seperti infeksi saluran kemih pada pasien dengan pecah ketuban dini, pemilihan harus dilakukan untuk menghindari terapi ganda. Sebagai contoh, seorang pasien yang dirawat dengan sefalosporin untuk infeksi saluran kemih tidak memerlukan lagi terapi penisilin. Pengguanaan antibiotik lebih lama dari 7 haripun

harus dihindari; karena hal tersebut belum terbukti lebih efektif dan dapat menyebabkan munculnya resistensi dari organisme. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Pedoman yang direvisi dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) merekomendasikan bahwa wanita dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM) yang tidak dalam persalinan harus menerima perlindungan profilaksis intravena PPROM laten dari streptokokus grup B (GBS) untuk setidaknya 48 jam pertama, hingga hasil tes kuman streptokokus grup B tersedia. Namun, hasil tes streptokokus grup B (GBS) seharusnya tidak mempengaruhi durasi terapi dari pemberian antibiotik. Jika pasien yang telah menyelesaikan 7 hari penuh profilaksis antibiotik tidak memiliki bukti akan terjadinya infeksi atau persalinan, profilaksis GBS intrapartum dapat diatur berdasarkan hasil tes streptokokus grup B (GBS) awal pada saat pecah ketuban dini preterm (PPROM) terjadi, kecuali jika 5 minggu telah berlalu. Hal ini karena hasil tes streptokokus grup B (GBS) negatif dianggap valid dalam 5 minggu. (Jazayeri, Allahyar. 2018) (Verani, 2010) Pemberian antibiotic menurut guidelines Institute of Obstetricians and Gynaecologists yaitu pemberian antibiotik eritromisin 250 mg tiap 6 jam perOral yang harus diberikan untuk 10 hari pada pasien dengan diagnosis pecah ketuban dini premature (PPROM) dari usia kehamilan 20 minggu hanya jika tidak ada bukti klinis dari terjadinya infeksi seperti terjadiny korioamnionitis atau sepsis maternal. Wanita dengan pecah ketuban dini premature (PPROM) meningkatkan resiko untuk terjadinya infeksi. Eritromisin perOral diindikasikan hanya untuk antibiotic profilaksis. Jika ada bukti klinis korioamnionitis atau sepsis maternal, pemeriksaan untuk sepsis harus dilakukan dan pemberian antibiotik intravena juga dapat diberikan pada pasien ini. Amoksisilin klavulanat tidak direkomendasikan untuk wanita dengan PPROM karena kekhawatiran tentang adanya dampak berupa necrotizing enterocolitis. (NICE.2019) Untuk profilaksis antibiotik antenatal dengan PPROM dapat dipertimbangkan pemberian eritromisin oral 250mg 4 kali sehari maksimal sampai 10 hari atau sampai

pasien matang untuk melahirkan. Pada pasien wanita dengan pecah ketuban dini premature yang tidak toleran terhadap penggunaan dari antibiotik eritromisin atau pada pasien yang kontraindikasi terhadap pemberian antibiotic berupa eritromisin, dapat diberikan penisilin oral selama 10 hari atau sampai pasien matang untuk melahirkan. Jangan berikan amoksiklav sebagai profilaksis untuk infeksi intrauterine. (NICE.2019)

B. Kortikosteroid Antenatal Penggunaan kortikosteroid untuk mempercepat kematangan paru harus dipertimbangkan pada semua pasien wanita dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM) dengan risiko bayi lahir prematur dari usia kehamilan 24-34 minggu. Periode laten telah menunjukkan terjadinya dipersingkat karena efek dari pemberian kortikosteroid untuk membuat perbedaan dalam morbiditas neonatal; Namun, hal ini jelas tidak terlalu menjadi masalah. Sebagian besar pasien dengan pecah ketuban dini preterm (PPROM) tetap hamil dalam 48 jam dan dengan demikian akan mendapat manfaat dari terapi kortikosteroid. Penggunaan steroid juga telah menimbulkan pemikiran akan terjadinya peningkatan risiko infeksi pasca pemberian steroid. Namun, saat ini bukti tidak mendukung masalah ini, dimana berdasarkan studi individu dan meta-analisis; tidak ada perbedaan (baik tingkat infeksi yang lebih tinggi atau lebih rendah) yang telah diamati dengan penggunaan kortikosteroid.

(Jazayeri,

Allahyar. 2018)

Efek menguntungkan yang serupa telah dikonfirmasi pada kehamilan yang dipersulit oleh pecah ketuban dini prematur sebelum 32 minggu. Namun, bukti masih tidak cukup untuk menunjukkan respon menguntungkan yang serupa pada kehamilan yang dipersulit oleh PPROM antara 32 dan 34 minggu kehamilan. Juga tidak ada manfaat yang terbukti untuk kortikosteroid antenatal yang diberikan secara rutin setelah 34 minggu kehamilan, meskipun beberapa subkelompok berisiko tinggi dapat menguntungkan. (David. 2004)

Beberapa program pemberian steroid tidak direkomendasikan secara rutin karena kurangnya bukti konsisten yang menunjukkan manfaat tambahan dan karena kekhawatiran tentang efek buruk pada pertumbuhan janin serta kemungkinan efek buruk terhadap perkembangan saraf jangka panjang. Namun, dosis atau pengulangan pemberian obat ini harus dipertimbangkan lagi jika program awal selesai sebelum usia kehamilan 28 hingga 32 minggu. (David. 2004) Berbeda dengan kekhawatiran ini, data menunjukkan bahwa penggunaan kortikosteroid mengurangi morbiditas dan mortalitas neonatal. Tingkat sindrom gangguan

pernapasan

(RDS),

enterokolitis

nekrotikans,

dan

perdarahan

intraventrikular semuanya lebih rendah ketika 12 mg betametason IM diberikan dua kali dalam interval 24 jam atau deksametason 6 mg tiap 12 jam yang diberikan selama 4 dosis. (Jazayeri, Allahyar. 2018) Begitu pula pada pemberian glukokortikoid antenatal (betametason, IM 12 mg tiap 24 jam yang diberikan 2 dosis atau deksametason 6 mg IM yang diberikan tiap 12 jam dalam 4 dosis) telah terbukti mengurangi sekitar 50 % kejadian RDS, IVH, dan necrotizing enterocolitis (NEC) jika diberikan kepada wanita dengan ketuban yang masih utuh yang terancam untuk terjadinya persalinan sebelum usia kehamilan 34 minggu. Meskipun efek menguntungkan yang maksimum dicapai dalam 24 hingga 48 jam setelah dosis pertama dan efek ini berlangsung setidaknya 7 hari, ada bukti bahwa beberapa manfaat klinis dapat dicapai dalam 4 hingga 6 jam setelah pemberian. (David. 2004) Rekomendasi ACOG: 

Pemberian kortikosteroid tunggal direkomendasikan untuk wanita hamil dengan usia kemalian 24-34 minggu yang berisiko melahirkan prematur dalam 7 hari dan wanita hamil dengan usia kehamilannya kurang dari 23 minggu jika persalinan segera terjadi.



Kortikosteroid antenatal yang diberikan pada wanita hamil untuk penyelamatan tunggal dapat dipertimbangkan jika pengobatan sebelumnya

telah diberikan lebih dari 2 minggu sebelumnya, usia kehamilan kurang dari 32 6/7 minggu, dan wanita tersebut dinilai oleh dokter di klinik kemungkinan melahirkan dalam waktu satu minggu kedepan. Namun, jadwal berulang yang dijadwalkan secara teratur atau lebih dari 2 kali tidak direkomendasikan. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut mengenai risiko, manfaat, sertadosis optimal dan waktu pemberian tunggal dari terapi steroid. (Jazayeri, Allahyar. 2018)

C. Tokolitik Penyebab persalinan yang paling umum dalam pengaturan pasien dengan pecah ketuban dini premature (PPROM) yaitu korioamnionitis yang mendasarinya. Penggunaan tokolisis dalam manajemen tersebut tidak dibenarkan. Pada tokolitik, pecah ketuban dini premature (PPROM) merupakan kontraindikasi relatif terhadap penggunaan agen tokolitik. Namun, tidak ada data yang menunjukkan bahwa pemberian tokolisis menguntungkan bagi neonatus. (Mercer, 2007) (Jazayeri, Allahyar. 2018) (David. 2004)

Dalam suatu penelitian, tokolisis profilaksis ditemukan secara singkat memperpanjang latensi. Agen tersebut mungkin dapat menunda persalinan 24 hingga 28 jam, namun tidak ada bukti yang meyakinkan bahwa mereka dapat menunda persalinan di luar periode waktu ini dan tidak ada bukti yang konsisten bahwa mereka dapat meningkatkan morbiditas atau mortalitas perinatal jangka panjang atau menyebabkan kematian. Dalam studi lain oleh Jazayeri et al, latensi lebih pendek terjadi ketika magnesium sulfat diberikan. Penggunaan tokolisis tidak seperti kortikosteroid dan antibiotik, penggunaannya harus dipertimbangkan hanya ketika ada manfaat klinis yang jelas, seperti adanya transportasi ibu ke institusi tersier dengan fasilitas rumah sakit yang memiliki NICU. Dengan demikian, manfaat tokolisis dalam manajemen pecah ketuban dini premature atau PPROM tampaknya terbatas, dan harus digunakan hanya untuk memungkinkan pemberian kortikosteroid

antenatal diselesaikan dan atau untuk mentransfer pasien ke pusat perawatan tersier. (Mercer, 2007) (Jazayeri, Allahyar. 2018) (David. 2004)

Banyak studi klinis besar telah mengevaluasi manfaat neuroprotektif dari paparan magnesium sulfat pada bayi prematur. Studi menunjukkan penurunan cerebral palsy pada bayi selamat yang terpapar oleh magnesium sulfat. Beberapa bukti yang ada menunjukkan bahwa magnesium sulfat yang diberikan sebelum kelahiran prematur dini yang diantisipasi mengurangi risiko cerebral palsy pada bayi yang selamat. (Meller.2015) (Bouet.2015) Dokter yang memilih untuk menggunakan magnesium sulfat untuk perlindungan saraf janin atau neuroprotektor harus mengembangkan pedoman khusus mengenai kriteria inklusi, rejimen pengobatan, penggunaan bersamaan dengan tokolisis, dan pemantauan sesuai dengan salah satu uji coba yang lebih besar. Pada studi ini, 12-24 jam pemberian dosis yang diberikan yaitu secara bolus intravena 4 atau 6 gram dan pemberian dalam dosis maintenance 1-2 gram. Namun pemberian dengan dosis tersebut tetap harus diberitahukan kepada pasien yang ditatalaksana dengan manajemen ekspektatif PPROM. (deSilva.2015) (Committee opinion. 2010) Perhatikan bahwa pemberian magnesium sulfat antenatal pada anak-anak prematur (berisiko dilahirkan pada usia kehamilan ≥24,0 minggu) dalam pengaturan korioamnionitis tampaknya tidak memberikan perlindungan saraf. (kamyar .2015)

D. Amnioinfusion Amnioinfusion transervikal diketahui dapat meningkatkan pH arteri umbilicus janin pada persalinan dan mengurangi variabel deselerasi persisten selama persalinan. Amnioinfusion transervikal dihubungkan dengan perbaikan bentuk denyut jantung janin dan pH arteri uteroplasenta, namun untuk peningkatan kualitas klinis janin secara statistic tampak tidak signifikan. Sedangkan amnioinfusion transabdominal dihubungkan dengan menurunnya angka kematian janin, infeksi atau sepsis neonatal, dan hypoplasia paru. Amnioinfusion transabdominal telah dicoba pada wanita trimester ke-2 dengan oligohidramnion untuk mengurangi resiko yang berhubungan

dan meningkatkan kelangsungan hidup perinatal dengan meningkatkan volume cairan amnion. Namun, cairan yang dimasukkan dapat mengalami kebocoran dan hanya bertahan pada 24-30% wanita dengan PPROM. Karena trimester 2 dengan PPROM dikaitkan dengan korioamniositis, pembilasan kavitas amnion dengan larutan saline masif secara teori masih masuk akal. Sehingga lebih ditekankan mengevaluasi amnioinfusion kontinyu lebih untuk mengontrol infeksi/inflamasi daripada untuk mempertahankan jumlah cairan amnion. (marco. 2003) (hofmeyr 2011) Pada

penelitian,

data

menunjukkan

bahwa

amnioinfusion

kontinyu

menurunkan jumlah leukosit pada ibu hamil dan memperpanjang periode laten antara pecah ketuban dini prematur dan rentang kelahiran. Jumlah wanita yang tetap tidak melahirkan setelah pecah ketuban dini prematur pada usia gestasi berapapun secara signifikan lebih tinggi pada kelompok yang diberikan amnioinfusion dibandingkan pada kelompok yang tidak diberikan amnioinfusion. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian amnioinfusion dapat memperpanjang periode laten.

(marco. 2003)

Sebelumnya, amnioinfusion ditujukan untuk merestorasi dan menjaga cairan amnion tetap adekuat untuk fase kanalikuli pembentukan paru-paru dalam mencegah lesi letal dari paru-paru. Pada penelitian saat ini, hypoplasia pulmonar hampir tidak pernah tampak pada wanita dengan atau tanpa amnioinfusion. Periode laten yang pendek antara pecah ketuban dini premature (PPROM) dan kelahiran mungkin berperan pada tidak adanya hypoplasia pulmoner pada wanita tanpa amnioinfusion. (marco. 2003)

Insidensi lebih rendah dari terjadinya hypoplasia paru-paru pada wanita dengan amnioinfusion yang diberikan secara kontinyu lebih disarankan untuk pembilasan dari senyawa inflamasi dan bakteri daripada untuk mengisi ulang cairan amnion. (marco. 2003) Meskipun beberapa penelitian telah melaporkan peningkatan yang signifikan dari interval persalinan pada pecah ketuban dini premature atau PPROM setelah

dilakukan

tindakan

amnioinfusion,

sebuah

investigasi

oleh

Ogunyemi dan Thompson tidak mendeteksi adanya perbedaan yang signifikan dalam perbedaan dari usia kehamilan antara pecahnya ketuban dan terjadinya persalinan. (Singla, 2009)

Beberapa penelitian telah menyarankan bahwa untuk memperpanjang interval kehamilan, diperlukan volume cairan ketuban yang adekuat pada periode latensi. Sulitnya untuk memperpanjang durasi kehamilan pada wanita dengan ketuban yang merembes pervaginam secara nyata karena pada keadaan ini, dimana ibu hamil tidak dapat mempertahankan cairan apapun setelah dilakukannya amnioinfusion; lebih seringnya amnioinfusion dapat membantu dalam subkelompok ini. (Singla, 2009) Usia kehamilan saat melahirkan dan berat bayi lahir ditemukan serupa antara 2 kelompok tersebut karena interval persalinan pada pecah ketuban dini premature (PPROM) ini tidak signifikan berkepanjangan dalam kelompok studi dan penelitian oleh Ogunyemi dan Thompson melaporkan temuan serupa. Namun, ada penelitian lain yang telah mengamati peningkatan berat lahir dan usia kehamilan saat melahirkan. (Singla, 2009) Adanya jumlah optimal dari liquor cushions janin dan tekanan dari tali pusar diketahui akan mengurangi kejadian gawat janin. Konsisten dengan hal tersebut, dalam kejadian distress intrapartum janin diketahui secara signifikan lebih rendah pada kelompok studi. (Singla, 2009) Diketahui adanya penurunan yang sangat signifikan pada kejadian sepsis neonatal dini di kelompok yang diteliti. Etiologi utama dibalik sepsis neonatal dini adalah kejadian infeksi intrauterin; terjadinya peningkatan volume cairan ketuban setelah amnioinfusion dapat menghambat perkembangan infeksi intrauterine dimana kemungkinannya dapat melalui efek dilusional dan antibakteri dari saline yang diinfuskan. (Singla, 2009)

Dari penelitian juga didapatkan bahwa tidak adanya kasus deformitas wajah atau ekstremitas yang diamati pada kedua kelompok setelah tindakan amnioinfusion. Hal ini dapat disebabkan karena tidak ada kasus oligohidramnion dengan waktu yang lama pada suatu kehamilan. Namun, dari penelitian yang dilakukan oleh Locatelli et al, tercatat bahwa terdapat dua kasus deformitas postural pada pasien kelompok amnioinfusi, walaupun prosedurnya berhasil. Sedangkan pada penelitian yang dilakukan oleh Turhan dan Atacan, tidak tercatat adanya malformasi janin dalam penelitian mereka. (Singla, 2009) Lebih banyak bayi yang sehat dipulangkan dalam 7 hari setelah dirawatinapkan di NICU pada kelompok yang diberikan amnioinfusion dan kematian neonatal secara signifikan lebih rendah dalam kelompok ini karena ada lebih sedikitnya terjadi gawat janin intrapartum dan sepsis neonatal. (Singla, 2009) Pada ketuban pecah dini premature, insiden persalinan yang diinduksi diketahui lebih sedikit. Persalinan yang diinduksi pada ketuban pecah dini premature (PPROM) terjadi terutama karena adanya respons terhadap gawat janin atau korioamnionitis; dengan demikian, rendahnya insiden persalinan yang diinduksi pada kelompok studi ini bisa jadi karena adanya peningkatan volume cairan ketuban yang menyebabkan lebih sedikit gawat janin dan korioamnionitis. Sejalan dengan hal tersebut, Horibe et al menyatakan bahwa amnioinfusion dengan saline ternyata efektif untuk menekan terjadinya korioamnionitis pada 75% kasus. Angka yang rendah dari sepsis postpartum maternal pada kelompok studi juga sama dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh DeSantis et al. (Singla, 2009) Uji coba terkontrol acak yang ada menunjukkan amnioinfusi transabdominal pada pecah ketuban dini prematur (PPROM) adalah terapi intervensi yang aman dan sederhana tanpa risiko pada ibu atau janin dan berpotensi meningkatkan hasil ibu dan bayi baru lahir saat terjadinya persalinan. Pengisian kembali cairan ketuban yang hilang dapat mengoptimalkan kelangsungan hidup neonatal dengan mengurangi

keadaan gawat janin intrapartum, sepsis neonatal dini, dan bayi tetap di rawat intensif di NICU. Demikian pula, ada manfaat untuk ibu dari pemberian amnioinfusion seperti lebih sedikitnya kelahiran yang diinduksi dan terjadinya sepsis pasca persalinan. (Singla, 2009) Di negara-negara yang berpenghasilan rendah, dimana fasilitas perawatan terbaik tidak tersedia di setiap rumah sakit, prosedur amnioinfusion sederhana ini dapat membantu menurunkan morbiditas dan mortalitas neonatal pada pecah ketuban dini prematur (PPROM). (Singla, 2009) Diperkirakan bahwa pembentukan paru-paru dipengaruhi oleh jumlah cairan amnion, terutama selama interval antara 16 dan 26 minggu (midsmester). Berkurangnya jumlah cairan amnion (oligohidramnion) setelah terjadinya pecah ketuban dini prematur (PPROM) dalam interval ini dapat menyebabkan terjadinya hypoplasia pulmoner. Dikatakan oligohidramnion yaitu apabila kedalaman sakus cairan amnion kurang dari 2 cm atau indeks cairan amnion <5cm dinilai dari USG. (Van Teeffelen, dkk. 2013)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Van Teeffelen, dkk tidak ada perbaikan dari pemberian amnioinfusion transabdominal pada wanita dengan oligohidramnion sekunder untuk terjadinya selaput ketuban sebelum usia 26 minggu yang teridentifikasi. Sehingga tindakan amnioinfusion transabdominal tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dengan oligohidramnion sekunder dari ketuban pecah dini sebelum usia kehamilan 26 minggu. (Van Teeffelen, dkk. 2013) Jangan lakukan penyelamatan dengan pengikatan rahim pada kondisi wanita dengan tanda-tanda infeksi, perdarahan pervaginam aktif, atau uterus yang berkontraksi. Pertimbangkan pengikatan Rahim untuk wanita dengan usia kehamilan antara 16-27 minggu dengan dilatasi serviks dan osteum uteri terbuka, namun ketuban belum pecah. (NICE.2019)

Pada penatakalasanaan pecah ketuban dini premature, faktor pertama yang menentukan manajemen adalah usia kehamilan. Penatalaksanaan kehamilan dengan pecah ketuban dini sesuai usia kehamilan dijelaskan sebagai berikut: (David. 2004) A. Sebelum 23 minggu Pada pasien-pasien dengan usia kehamilan kurang dari 23 minggu dengan pecah ketuban dini, beri konseling pada pasien ini tentang risiko infeksi, prognosis dari kejadian prematuritas ekstrem, dan hasil kehamilan yang umumnya buruk yang dapat melibatkan terjadinya hipoplasia paru sekunder hingga dapat terjadi oligohidramnion yang berat (Gambar 1). Induksi persalinan merupakan pilihan untuk mengakhiri kehamilan pada pasien PPROM ini. Jika pasien memilih manajemen konservatif, pantau ibu hamil dengan seksama untuk resiko terjadinya infeksi. Manajemen rawat jalan diperbolehkan untuk pasien-pasien yang dinilai dapat sangat patuh terhadap instruksi yang diberikan oleh klinisi. Bagaimanapun, setelah viabilitas janin tercapai, pastikan kembali untuk memantau keadaan ibu dan janin secara seksama. (David. 2004)

B. Antara 23 dan 32 minggu Pada ibu-ibu hamil dengan usia kehamilan antara 23 dan 32 minggu dengan pecah ketuban dini, penanganan dapat dilakukan secara ekspektatif di rumah sakit kecuali jika ada bukti infeksi atau janin yang dalam keadaan membahayakan. Penatalaksanaan meliputi pemberian terapi antibiotik intravena dan kortikosteroid, seperti yang direkomendasikan oleh National Institutes of Health (Gambar 2). Walaupun masih kontroversial, pertimbangkan terapi tokolitik dengan magnesium sulfat jika pasien secara aktif berkontraksi tanpa adanya bukti infeksi. (David. 2004) Beberapa otoritas merekomendasikan amniosentesis (pada usia kehamilan berapa pun) untuk menyingkirkan infeksi sebelum manajemen konservatif dipilih,

sementara yang lain menganggap penggunaan parameter klinis yang memadai sudah mencukupi untuk mengambil keputusan manajemen ekspektatif. (David. 2004) Setelah memantau pasien di ruang persalinan selama 24 hingga 48 jam, jika pasien dirasakan cukup stabil, pindahkan pasien ke bangsal antenatal untuk pengawasan janin dan evaluasi ibu yang lebih seksama dan sering. Lanjutkan untuk mengevaluasi tanda-tanda infeksi intraamniotik seperti demam, nyeri tekan uterus, dan keluarnya cairan berbau busuk. Banyak otoritas yang merekomendasikan pengujian non-stres yang dilakukan setiap hari atau profil biofisikal untuk mengevaluasi kondisi dari janin apakah masih dalam kondisi yang baik. (David. 2004)

Konfirmasi Diagnosis

Apakah ada tanda-tanda melahirkan?

Tidak Apakah ada tanda-tanda Infeksi?

Ya

Ya

Tidak di tokolitik, pimpin persalinan

Beri antibiotik dan induksi persalinan

Tidak Tawarkan induksi vs manajemen ekspektatif

induksi

Manajemen Ekspektatif

Gambar 1. Manajemen Pecah Ketuban Dini: Usia Gestasi Kurang Dari 23 Minggu

Konfirmasi Diagnosis

Pertimbangkan Persalinan

Monitoring Janin

Tidak

Bukti terjadi infeksi?

Antibiotik dan Kortikosteroid

Persalinan Dalam 48 Jam Pertama

Ya

Lahirkan

Dipertimbangkan tokolitik

Rujuk ke ruang antenatal untuk melengkapi antibiotik. Pemeriksaan evaluasi rutin harian untuk infeksi

Gambar 2. Manajemen Ketuban Pecah Dini: Usia Gestasi 23 sampai dengan <32 minggu

C. Antara 32 dan 34 Minggu Manajemen untuk rentang usia kehamilan ini adalah yang paling kontroversial (Gambar 3). Mercer, dkk menunjukkan bahwa manajemen konservatif berbahaya bagi neonatus jika terdapat kematangan paru janin. Kebanyakan ahli berpendapat bahwa beberapa metode penilaian paru janin harus dilakukan. (David. 2004) Konfirmasi Diagnosis

Tidak dapat dilakukan amniosintesis

Pertimbangkan amniosintesis untuk memastikan infeksi dan evaluasi maturitas paru-paru janin

Maturitas ParuParu Janin

Ya Pertimbangkan pengambilan sampel dari cairan vaginal untuk mengevaluasi maturitas Paru Janin

Tidak

Infeksi

Lahirkan Ya

Tidak

Lahirkan

Antibiotik (ampisilin dan azithromycin) untuk 7 hari, setara dengan kortikosteroid

Matur

Lahirkan Immatur Setelah 48 jam, rujuk untuk melengkapi antibiotik, pemeriksaan rutin harian untuk evaluasi infeksi

Ya

Manajemen Ekspektatif

Lahirkan

Tidak

Pertimbangkan tokolitik dengan magnesium sulfat

Gambar 3. Manajemen Ketuban Pecah Dini: Usia Gestasi 32 sampai <34 minggu

Metode yang paling efektif adalah pengambilan sampel cairan ketuban dengan amniosentesis. Tidak hanya kematangan paru janin dapat ditentukan, tetapi cairan tersebut dapat dianalisis untuk bukti infeksi menggunakan pewarnaan Gram, kadar glukosa, dan jumlah sel darah putih. Ketika amniosentesis tidak tersedia, pertimbangkan untuk menilai kematangan paru janin melalui sampel cairan ketuban yang dikumpulkan dari vagina. Lahirkan bayi jika ada infeksi intraamniotik atau kematangan paru janin. Jika tidak ada bukti kematangan paru janin, manajemen konservatif biasanya direkomendasikan untuk kehamilan antara 32 dan 34 minggu. (David. 2004)

Pada survei belakangan ini dari maternal-fetal medicine specialists di Amerika Serikat, 58% direkomendarikan untuk dilahirkan pada usia kehamilan 34 minggu. Untuk pasien dengan usia kehamilan kurang dari 34 minggu setelah presentasi atau untuk dirawat secara ekspektatif, pertimbangkan untuk memberikan antibiotic, kortikosteroid, dan tokolitik selama 48 jam pertama. (David. 2004) Pada tahun 1980-an, beberapa penelitian menunjukkan antibiotik bermanfaat bagi pasien pecah ketuban dini prematur. Baru-baru ini, Maternal Fetal Medicine Network menerbitkan hasil uji coba terkontrol plasebo yang besar, prospektif, acak, double-blind, terkontrol dengan jelas menunjukkan bahwa antibiotik memperpanjang periode laten dan mengurangi morbiditas neonatal. (David. 2004) Meskipun terapi antibiotik sekarang menjadi standar perawatan untuk pasien dengan PPROM, masih belum jelas antibiotik mana yang terbaik. Beberapa peneliti telah merekomendasikan antibiotik spektrum terbatas, sementara yang lain lebih suka pendekatan spektrum yang lebih luas. Beberapa penelitian baru-baru ini menyarankan bahwa eritromisin efektif untuk memberantas Mycoplasma dan Ureaplasma dan bermanfaat bagi neonates. (David. 2004) Sebagian besar penelitian awal menganjurkan pengobatan standar dari saat ketuban pecah hingga melahirkan, sementara yang lain merekomendasikan 7 sampai

10 hari terapi. Beberapa uji coba baru-baru ini telah menemukan 3 hari terapi setara dengan 7 hari. Namun, studi ini tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk menjamin durasi terapi yang lebih pendek saat ini. (David. 2004) Pada tahun 1998, National Institutes of Health mengeluarkan pernyataan konsensus yang merekomendasikan terapi kortikosteroid untuk mempercepat kematangan paru janin dan mengurangi morbiditas neonatal pada pasien pecah ketuban dini prematur. Banyak pihak berwenang mempertanyakan kebijaksanaan dari rekomendasi ini, karena penelitian sebelumnya telah memperkirakan peningkatan risiko morbiditas ibu ketika kortikosteroid diberikan sebagai terapi untuk pasien pecah ketuban dini prematur. Namun, penelitian awal ini tidak menggunakan antibiotik untuk mengobati infeksi yang merupakan penyebab utama pecah ketuban dini prematur dan banyak pasien menjalani pemeriksaan vagina digital, yang mungkin berkontribusi pada hasil maternal dan neonatal yang tidak menguntungkan. Perawatan pasien pecah ketuban dini prematur dengan antibiotik selama 12 jam sebelum memberikan kortikosteroid dan mencatat manfaat yang cukup besar untuk terapi steroid. Oleh karena itu disarankan agar pasien pecah ketuban dini prematur yang dirawat secara ekspektatif menerima kortikosteroid kecuali ada bukti infeksi. (David. 2004) Penggunaan tokolitik untuk pasien-pasien pecah ketuban dini premature (PPROM) juga masih kontroversial. Banyak penelitian asli melaporkan tidak ada manfaat secara keseluruhan dan peningkatan morbiditas ibu yang signifikan ketika terapi tokolitik diberikan untuk ketuban yang pecah. Namun, banyak pasien dalam uji coba ini menjalani pemeriksaan vaginal digital dan tidak diberi antibiotik dan banyak yang menerima kortikosteroid. Pemberian magnesium sulfat dan kortikosteroid selama 48 jam pertama kepada wanita dengan usia kehamilan 23 minggu atau setelahnya, asalkan tidak ada bukti infeksi. Namun, data tambahan diperlukan sebelum protokol manajemen ini dapat dianggap sebagai standar yang baik. (David. 2004)

Rekomendasi awal untuk pengujian antepartum didasarkan pada morbiditas dan mortalitas perinatal yang tinggi terkait dengan PPROM. Pengujian non-stres adalah dasar terapi, dan banyak pihak menganjurkan pengujian non-stres harian bahkan tanpa adanya bukti pasti manfaatnya. (David. 2004) Pada akhir 1980-an, Vintzileos dan para ahli lainnya merekomendasikan profil biofisik harian, menunjukkan bahwa strategi ini dapat mengidentifikasi pasien dengan infeksi subklinis. Uji coba secara acak membandingkan profil biofisik harian dengan pengujian non-stres harian dengan profil biofisik cadangan untuk kelainan. Kami menyimpulkan bahwa profil biofisik harian tidak memberikan manfaat di luar yang dicapai dengan pengujian non-stres harian. Apakah protokol pengujian yang kurang intens akan menghasilkan manfaat yang sama, hal tersebut masih tidak jelas. (David. 2004)

Poin penting dalam mengelola pasien dengan pecah ketuban dini prematur adalah mengenali risiko tinggi dari hasil perinatal yang buruk. Untuk alasan ini, evaluasi kesejahteraan janin yang sering adalah elemen penting dari setiap rencana manajemen. (David. 2004) Dalam kasus PPROM, janin sering tidak toleran terhadap persalinan, terutama karena jumloligohidramnion dan infeksi subklinis. Karena alasan ini, pantau janin dengan sangat ketat pada periode intrapartum. Amnioinfusion menurunkan deselerasi variabel dan meningkatkan pH pada pasien-pasien ini dan harus dipertimbangkan ketika ditunjukkan secara klinis. Tentukan cara persalinan menggunakan indikasi obstetrik rutin. Bayi-bayi sungsang dilakukan tatalaksana melalui operasi caesar. Beberapa data ada tentang manfaat sesar untuk neonatus yang sangat prematur; disarankan untuk menggunakan indikator obstetrik rutin. (David. 2004) Ada beberapa kondisi yang dapat mempengaruhi manajemen pasien dengan PPROM. Pada pasien ini dapat juga terdapat cerclage. Sejumlah penelitian awal menyarankan bahwa benda asing ini merupakan fokus infeksi dan pengangkatan telah

direkomendasikan. Namun, laporan terbaru belum membuktikan temuan ini. Penelitian besar, multisenter, prospektif, acak sedang berlangsung, dimana pada penelitian tersebur membandingkan manajemen ekspektatif dengan pengangkatan cerclage ketika ketuban pecah. Hal terse harus memberikan jawaban yang pasti.

(David.

2004)

Jika pasien dengan PPROM memiliki wabah klinis virus herpes simpleks, pertimbangkanlah terjadinya risiko kelahiran dini terhadap risiko infeksi herpes simpleks. Major et al menyusun seri kasus yang menunjukkan bahwa bayi tidak terinfeksi virus herpes simpleks, manajemen secara ekspektatif dilakukan. Namun, pertimbangkan terapi profilaksis dengan agen antivirus pada pasien yang ditangani dengan baik. Pada usia kehamilan berikutnya, sebagian besar ahli merekomendasikan persalinan. (David. 2004) Pada kasus ini juga dapat terjadi abrupsi plasenta. Abrupsi plasenta terjadi pada sekitar 5% kehamilan PPROM. Beberapa otoritas berpendapat bahwa penyebab abrupsi adalah plasenta bergeser setelah kebocoran cairan ketuban dan penurunan volume intrauterin. Namun, perdarahan jarang cukup substansial untuk menjamin persalinan. Meski begitu, pantau wanita dengan perdarahan aktif di ruang persalinan, tetap waspada untuk bukti toleransi janin. (David. 2004) Hanya 1 penelitian yang mengevaluasi manajemen rawat jalan pada wanita dengan PPROM. Sampai informasi yang lebih definitif tersedia, American College of Obstetricians dan Gynaecologists merekomendasikan bahwa manajemen rawat jalan terbatas pada protokol penelitian yang disetujui. (David. 2004)

Gejala dan atau tanda yang mengarah ke PPROM

Manajemen Awal  mengizinkan persalinan dan kelahiran  konfirmasi diagnosis  eksklusi diagnosis lain  konfirmasi usia kehamilan  catat janin dalam keadaan baik

kontraindikasi manajemen ekspektatif

Lanjutkan dengan Terminasi segera  lanjutkan monitoring denyut jantung janin, jika janin viable  pertimbangkan neonatologi, MFM, dan konsultasi anastesi  Kirim pemeriksaan CBC, T&S, dan koagulasi  berikan kortikosteroid antenatal, jika diindikasikan  berikan kemoprofilaksis GBS, jika diindikasikan  antibiotic spektrum luas untuk mengatasi infeksi intrauterine, jika ada  seksiosesaria harus disediakan untuk indikasi obstetric biasa

Lanjutkan dengan Terminasi segera  lanjutkan monitoring denyut jantung janin, jika janin viable  pertimbangkan neonatologi, MFM, dan konsultasi anastesi  Kirim pemeriksaan CBC, T&S, dan koagulasi  berikan kortikosteroid antenatal, jika diindikasikan  berikan kemoprofilaksis GBS, jika diindikasikan  antibiotic spektrum luas untuk mengatasi infeksi intrauterine, jika ada  seksiosesaria harus disediakan  komplikasi neonates terkait secara primer dengan prematuritas  endometritis post partum dapat meningkat setelah PPROM

tidak ada kontraindikasi untuk manajemen ekspektatif

Manajemen Ekspektatif  review risiko/keuntungan dari manajemen ekspektatif, termasuk periode laten  pertimbangan neonatologi, MFM, dan konsultasi anastesi

Manajemen selanjutnya berdasarkan usia gestasi

≥ 34 minggu Tawarkan persalinan elektif ± FLM

Tawarkan persalinan elektif pada atau setelah usia kehamilan ±32 minggu

32-34 minggu

<32 minggu

 pemberian kortikosteroid antenatal, jika ada indikasi  antibiotic spektrum luas untuk memperpanjang periode laten  batasi aturan tokolitik  pertimbangkan keadaan janin

Selaput ketuban berfungsi sebagai penghalang infeksi asenden. Begitu selaput ketuban pecah, dianjurkan untuk dilakukan persalinan ketika risiko infeksi asenden melebihi risiko prematuritas. Ketika pecah ketuban dini terjadi pada saat aterm, persalinan biasanya terjadi secara spontan atau diinduksi dalam 12 hingga 24 jam. Namun, manajemen kehamilan yang dipersulit oleh pecah ketuban dini premature (PPROM) dirasakan lebih sulit. Meskipun penatalaksanaan kehamilan seperti itu harus dilakukan secara individual, algoritma manajemen yang diusulkan untuk pecah ketuban dini premature (PPROM) dirangkum dalam Gambar 2. (David. 2004) Selaput ketuban berfungsi sebagai penghalang infeksi asenden. Begitu selaput ketuban pecah, maka dianjurkan untuk dilakukan persalinan segera ketika risiko infeksi asenden melebihi risiko prematuritas. Ketika pecah ketuban dini terjadi pada saat aterm, persalinan biasanya terjadi secara spontan atau diinduksi dalam 12 hingga 24 jam. Namun, manajemen kehamilan yang dipersulit oleh pecah ketuban dini premature (PPROM) dirasakan lebih menantang. Meskipun penatalaksanaan kehamilan seperti pecah ketuban dini premature tersebut harus dilakukan secara individual, algoritma manajemen yang diusulkan untuk pecah ketuban dini prematur dirangkum dalam Gambar 2. (David. 2004) Manajemen awal seorang wanita yang diduga menderita pecah ketuban dini harus fokus pada penegakan diagnosis, perhitungan usia kehamilan, pencatatan keadaan janin, dan pengambilan keputusan mengenai cara persalinan (yang pada akhirnya tergantung pada usia kehamilan, presentasi janin, dan pemeriksaan serviks). Setiap upaya harus dilakukan untuk menyingkirkan kontraindikasi untuk manajemen ekspektatif.

Kontraindikasi

absolut

termasuk

infeksi

intra-amniotik

(korio-

amnionitis), tes janin yang tidak meyakinkan, dan persalinan aktif. Diagnosis korioamnionitis terutama masih bersifat klinis, dengan bukti takikardia janin, takikardia ibu, demam maternal (didefinisikan sebagai suhu tubuh ±100,4 ° F), dan /atau nyeri tekan uterus. Bukti pus yang keluar

dari serviks pada pemeriksaan

spekulum steril juga dapat mengkonfirmasikan diagnosis. (David. 2004)

Amniosentesis mungkin dapat membantu penegakan diagnosis (dengan bukti peningkatan jumlah sel darah putih cairan ketuban, peningkatan kadar dehidrogenase laktat, dan penurunan konsentrasi glukosa) atau bahkan dengan pasti mengonfirmasi adanya infeksi intra-amniotik (dengan pewarnaan gram positif atau dengan kultur cairan ketuban), tetapi tidak dianggap sebagai standar perawatan pada semua wanita yang datang dengan PPROM. (David. 2004) Sekarang ada bukti substansial yang menunjukkan bahwa antibiotik profilaksis spektrum luas (empiris) dapat secara signifikan memperpanjang latensi dalam pengaturan Pecah ketuban dini prematur jauh dari istilah. Dalam satu meta analisis, pengiriman dalam 48 jam dikurangi 30 % (risiko relatif [RR] 0,71; interval kepercayaan 95% [CI], 0,58-0,87) dan pengiriman dalam waktu 7 hari berkurang sebesar 20% (RR 0,80; 95% CI, 0,710,90) dengan peningkatan yang bersamaan dalam berat lahir. Lebih penting lagi, pendekatan ini tampaknya diterjemahkan ke dalam peningkatan morbiditas infeksi maternal dan neonatal dengan pengurangan yang signifikan pada korioamnionitis (RR 0,57; 95% CI, 0,37-0,86), infeksi neonatal (RR 0,67; 95% CI, 0,52-0,85) , dan sepsis neonatal yang terbukti dengan kultur darah (RR 0,75, 95% CI, 0,60-0,93) .90 Manfaat lain termasuk pengurangan kebutuhan oksigen (RR 0,88; 95% CI, 0,810,96), terapi surfaktan (RR 0,83; 95 % CI, 0,72-0,96), RDS (RR 0,91; 95% CI, 0,83-1,00), dan kelainan otak utama (RR 0,82; 95% CI, 0,68-0,99). Meskipun ada saran bahwa secara keseluruhan kematian perinatal adalah sama-sama meningkat, tidak semua penelitian telah mengkonfirmasi pengamatan ini. Sejumlah rejimen antibiotik broadspectrum yang berbeda telah diperiksa, dan saat ini tidak ada bukti untuk merekomendasikan satu rejimen satu sama lain. Mungkin rejimen yang paling umum digunakan di Amerika Serikat adalah dari uji coba National Institute of Child Health and Human Development (NICHD), yang menggunakan 48 jam awal terapi intravena dengan ampisilin dan eritromisin, diikuti dengan terapi oral selama 5 hari dengan amoksisilin. dan basa eritromisin yang dilapisi enterik.2,88 Penggunaan asam amoksisilin-klavulanat oral mungkin

sebaiknya dihindari karena peningkatan risiko NEC (1,9% vs 0,5%; P .001) yang didokumentasikan dalam satu studi, meskipun seharusnya Perlu dicatat bahwa uji coba NICHD menggunakan ampisilin dan eritromisin menemukan penurunan risiko NEC. Beberapa penelitian baru-baru ini telah berusaha untuk menentukan apakah durasi yang lebih pendek dari terapi antibiotik memadai setelah preterm preterm, tetapi ini memiliki ukuran dan kekuatan yang tidak memadai untuk mencapai definitif apa pun. rekomendasi. (David. 2004) Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa mengembalikan volume cairan amnion dengan saline atau cairan serupa (amnioinfusion) setelah PPROM dapat menguntungkan untuk bayi preterem (dengan mencegah infeksi, kerusakan pada paru dan kematian) dan ibu (dengan pencegahan infeksi uterus setelah anak lahir). Bagaimanapun, bukti saat ini masih belum cukup untuk merekomendasikan amnioinfusion untuk digunakan secara rutin pada PPROM. (David. 2004)

More Documents from "Meitri Wijaya Kusuma"

Pprom2.docx
April 2020 4
Hoho.docx
November 2019 13
Cara Membuat Roti.docx
November 2019 26
Gsm Call Flow
June 2020 5
Hoho.docx
November 2019 11