Politik_hukum_indonesia_konfigurasi_poli.docx

  • Uploaded by: Benyamin Sianturi
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Politik_hukum_indonesia_konfigurasi_poli.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 10,894
  • Pages: 62
Tugas Kelompok

Dosen Pembimbing

Politik Hukum

Jamaludin, M.Pd

CHAPTER REPORT POLITIK HUKUM INDONESIA “KONFIGURASI POLITIK DAN PRODUK HUKUM PADA MASA DEMOKRASI LIBERAL”

Ditulis Oleh Kelompok 2: Widia Kusuma Wardani Debora Sari Sitorus Loly Handriani Tri Handayani Nurwanudin Program Studi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau Pekanbaru 2016

KATA PENGANTAR

Puji syukur penyusun haturkan kehadirat Allah SWT yang telah memberi taufiq dan hidayah-Nya sehingga tugas Chapter Report yang berjudul “Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal“ ini dapat terselesaikan tanpa suatu halangan dan rintangan yang cukup berarti. Sholawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membimbing kita dari jalan kegelapan menuju jalan Islami. Tak lupa pula penyusun mengucapkan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada semua pihak yang telah bersusah payah membantu hingga terselesaikannya penulisan makalah ini. Semoga semua bantuan dicatat sebagai amal sholeh di hadapan Allah SWT. Penulis menyadari walaupun telah berusaha semaksimal mungkin dalam menyusun tugas sederhana ini, tetapi masih banyak kekurangan yang ada didalamnya. Oleh karena itu, segenap kritik dan saran sangat penyusun harapkan demi perbaikan tugas ini. Penyusun berharap tugas ini akan dapat bermanfaat bagi semua pembaca. Amin.

Pekanbaru, 27 Maret 2016

Penulis

i

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................... i DAFTAR ISI ....................................................................................... ii BAB I PENDAHULUAN ................................................................. 1 1.1 Latar Belakang .... ........................................................................ 1 1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 2 1.3 Tujuan ........................................................................................... 2 1.4 Manfaat ........................................................................................ 2 1.4 Sistematika Penulisan ................................................................. 3 BAB II PEMBAHASAN .................................................................... 7 2.1 Konfigurasi Politik ...................................................................... 7 2.2 Karakter Produk Hukum ........................................................... 22 2.2.1 Hukum Pemilu .................................................................. 22 2.2.2 Hukum Pemda................................................................... 33 2.2.3 Hukum Agraria .................................................................. 42 BAB III PERBANDINGAN ASUMSI DARI SUMBER LAIN ..... 46 BAB IV ASUMSI PENYAJI .............................................................. 53 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ............................................ 57 DAFTAR PUSTAKA

ii

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Setelah Jepang dikalahkan oleh tentara Sekutu dalam Perang Pasifik, Indonesia memproklamasikan kemerdekaanya pada tanggal 17 Agustus 1945. Sebelum itu, tepatnya bulan April 1945, pemerintah pendudukan

Jepang telah membentuk satu panitia yang diberi nama

Dokuritsu Zunbi Tjoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan

Indonesia,

(BPUPKI).

Dengan

tugas,

menyiapkan

rancangan Undang-Undang Dasar (UUD) yang akan dipakai sebagai konstitusi tertulis jika kelak Indonesia merdeka. Setelah badan tersebut menyelesaikan tugasnya, pemerintah segera membentuk panitia baru yakni Dokuritsu Zunbi Inkai (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, PPKI). Dengan tugas mempersiapkan kemerdekaan dan pemindahan kekuasaan kepada pemerintah bangsa yang akan merdeka itu. Sehari setelah proklamasi kemerdekaan, PPKI segera menetapkan UUD dan mengangkat Soekarno dan Hatta, sebagai presiden dan wakil presiden Hingga tahun 1959, Indonesia menganut sistem parlementer yang diwarnai tiga macam UUD ; dengan catatan bahwa secara konstitusional pada kurun waktu 1945-1949 sistem pemerintahan yang resmi dipakai kuasi presidensial, tetapi dalam praktiknya diberlakukan sistem parlementer, karena kesamaan konfigurasi konstitusional itulah, maka para ahli menjadikan kurun waktu dengan tiga macam konstitusi tersebut sebagai salah satu periode dengan konfigurasi politik yang sama. Masa demokrasi liberal Indonesia adalah masa yang suram bagi rakyat Indonesia karena dimasa ini yang berkuasa hanyalah kabinet-

1

2

kabinet didalam pemerintahan. Kabinet-kabinet itupun berkuasa tidak lama dikarenakan banyaknya partai. Pergantian kabinet ini terjadi hampir setiap tahun karena didalam pemerintahan tidak ada kabinet yang bertahan lama. Maka ciri khas pada masa demokrasi liberal ini adalah seringnya terjadi pergantian kabinet yang disebabkan banyaknya partai. Pada masa ini pula muncul beberapa konfigurasi politik yang mana semua konfigurasi politik itu muncul pada periode demokrasi liberal karena adanya pengaruh dan suhu yang tercipta pada masa itu.

1.2 Rumusan Masalah 1) Bagaimana konfigurasi politik pada masa demokrasi liberal? 2) Bagaimana karakter produk hukum pada masa demokrasi liberal?

1.3 Tujuan 1) Agar dapat Mengetahui dan Menjelaskan Bagaimana Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal. 2) Agar dapat mengetahui Bagaimana perbandingan pendapat ahli dari sumber lain atau buku lain. 3) Agar dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tentang politik.

1.4 Manfaat 1) Mengetahui Bagaimana Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal. 2) Mengetahui Bagaimana perbandingan pendapat ahli dari sumber lain atau buku lain.

3

1.5 Sistematika Penulisan BAB I Latar Belakang Masa demokrasi liberal Indonesia adalah masa yang suram bagi rakyat Indonesia karena dimasa ini yang berkuasa hanyalah kabinetkabinet didalam pemerintahan. Kabinet-kabinet itupun berkuasa tidak lama dikarenakan banyaknya partai. Tujuan Agar dapat Mengetahui dan Menjelaskan Bagaimana Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal. Manfaat Mengetahui dan Menjelaskan Bagaimana Konfigurasi Politik dan Produk Hukum Pada Periode Demokrasi Liberal.

BAB II Panitia

Undang-Undang

Dasar

Pada

tanggal

7

September

pemerintah jepang mengumumkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai Soekarno dan wakil ketua Moh Hatta. Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata negara. Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat Seiring dengan konfigurasi politik yang sangat demokratis, pada periode ini timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat keputusan publik. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 disusul

4

dengan maklumat-maklumat lainnya merupakan legalisasi bagi penarikan partisipasi rakyat seluas-luasnya. Asas-Asas Pemilihan Dari ketentuan pasal 35 UUDS 1950 dan muatan lengkap UU No. 7 Tahun 1953,

dapat

dikeluarkan

asas-asas

:

umum,

periodik,

jujur,

berkesamaan (adil), bebas, rahasia, dan langsung. Demokarsi, Desentralisasi dan Negara Hukum. Studi tentang pemerintahan daerah (pemda) adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Hukum Agraria, Membajirna tuntutan pembaruan Penelusuran dan analisis normatif hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat exploitatif, dualistik, feodalistik.

BAB III Berisi mengenai perbandingan ataupun asumsi yang disajikan dalam buku Politik Hukum karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD yang secara keseluruhan adalah pada era demokrasi liberal ini muncul banyak partai yang tumbuh dan berkembang. Selanjutnya mengenai keambiguan penulis dan beberapa pakar hukum mengenai system pemerintahan Indonesia para era demokrasi liberal.

BAB IV Berisi tentang asumsi/tanggapan setiap penulis memberikan kesimpulan secara keseluruhan adalah : 1. Widia Kusuma Wardani:

Pada masa demokrasi liberal ini

dikenal dengan masa jatuh bangunnya kabinet dan lahirnya

5

partai-partai baru. Pada masa ini juga banyak pembahana mengenai pelaksanaan pemilu. 2. Loly Handriani : Menurut pendapat saya tentang konfigurasi Politik Pada periode demokrasi Liberaral mengenai UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. 3. Debora Sari Sitorus : Dalam membantu menegakan negara hukum yang sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia serta membangun sebuah negara yang demokratis, maka salah satu bentuk atau cara yang dapat dilakukan didalam sebuah negara demokrasi adalah melaksanakan otonomi daerah dan asas desentaralisasi, 4. Tri Handayani : Menurut pendapat saya tentang konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi liberal. Merupakan suatu susunan atau konsielasi kekuatan politik secara diamentral yaitu konfigurasi yang demonstrasi dan konfigurasi politik otoriter. 5. Nurwanuddin : Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa konfigurasi politik dan karakter produk hukum senantasa berubah

sejalan

dengan

pereodesasi

pembahasan.

Pada

demokrasi liberal ( 1945-1959 ), ternyata konfigurasi politik bersipat demokratis dan produk hukum yang dihasilkan bersifat responsive. BAB V Pada bagian ini berisi kesimpulan dan saran yang kami kutip berdasarkan materi yang kami paparkan, seperti dibawah ini:

6

Konfigurasi politik pada periode demokrasi liberal ini sangat banyak mengeluarkan UU yang berkenaan dengan pemilu. Pada periode demokrasi Liberaral mengenai UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. Konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi liberal. Merupakan suatu susunan atau konsielasi kekuatan politik secara diamentral yaitu konfigurasi yang demonstrasi dan konfigurasi politik otoriter.

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Konfigurasi Politik Dan Produk Hukum Periode Demokrasi Liberal 1. Panitia Undang-Undang Dasar Pada tanggal 7 September pemerintah jepang mengumumkan janji untuk memberi kemerdekaan kepada bangsa Indonesia. Pernyataan pemerintah yang dikeluarkan pada tanggal 1 maret 1945 diikuti dengan pembentukan BPUPKI yang bertugas menyusun rancangan UUD, tetapi kemudian badan ini menghabiskan sebagian besar waktu siding-sidang pertamanya untuk memperdebatkan dasar Negara. Karena perdebatan tentang “dasar begara” itulah siding I BPUPKI diakhiri dengan pembentukan panitia kecil, yaitu panitia Sembilan. Panitia Sembilan berhasil mencapai kompromi tanggal 22 Juni 1945 dengan menyetujui sebuah Naskah "mukadimah" UUD yang dikenal sebagai piagam Jakarta atau Jacarta Charter.

2. Pengesahan Pembukaan dan Batang Tubuh UUD Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia PPKI dibentuk tanggal 7 Agustus 1945 yang diketuai Soekarno dan wakil ketua Moh Hatta. untuk melengkapi kemerdekaan Indonesia sehari setelah proklamasi PPKI menyelenggarakan

sidang

yang

mengambil

keputusan

pokok

mengesahkan pembukaan dan batang tubuh UUD dan memilih Presiden dan Wakil Presiden.

7

8

3. Sistem Pemerintahan Sistem pemerintahan negara mana yang dianut dalam UUD mengundang beda pendapat di antara ahli hukum tata negara. ada yang menyebut presidensial tetapi ada juga yang menyebut kuasi presidensial. hal itu terjadi karena muatan UUD memuat unsur parlementer maupun presidensial. Jika dilihat ketentuan pasal 4 (1) dan pasal 17, maka sistem yang dianut UUD adalah presidensial. sebab kedua Pasal itu mengatur pola hubungan yang ada pada sistem presidensial. Tetapi jika dilihat dari Ketentuan Pasal 6 bahwa presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, dan penjelasan UUD 1945 tentang sistem pemerintahan negara kunci pokok ketiga maka dapat dikatakan UUD 1945 menganut sistem parlementer. Sebab MPR merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia yang secara esensial merupakan lembaga perwakilan rakyat apalagi semua anggota DPR menjadi anggota MPR juga kualifikasi yang cukup relevan tentang pola hubungan ini, adalah sistem kuasi parlementer atau sistem kuasi presidensial. Artinya sistem presidensial tidak murni atau parlementer semu. Dengan demikian dari sudut pandang konstitusional konfigurasi yang ada di Indonesia adalah demokratis. Apapun kualifikasi sistem pemerintahan yang akan diberikan asas yang dijadikan pijakannya adalah demokrasi.

4. Dari Organis ke Pluralistik Konfigurasi demokratis yang dituntut oleh UUD 1945 tidak bisa dipenuhi pada awal awal proklamasi kemerdekaan, karena pada waktu itu belum dibentuk lembaga-lembaga negara. Oleh karena itu semua

9

kekuasaan dilimpahkan kepada Presiden melalui pasal IV aturan pelarihan yang berbunyi: "Sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Pertimbangan agung dibentuk menurut undangundang dasar ini, segala kekuasaannya dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite nasional." Pemusatan

kekuasaan

yang

terletak

di

tangan

presiden

berdasarkan aturan peralihan pasal IV ternyata menimbulkan masalah yang berkaitan dengan opini publik. AG. Pringgodigdo menyatakan, di kalangan orang-orang yang tidak senang dengan berdirinya negara Republik Indonesia di kembangkan opini bahwa Negara Indonesia bukanlah negara demokrasi, melainkan negara fasis atau Nazi yang dipimpin oleh seorang fuhrer atau duce. Untuk melawan anggapan yang sebenarnya berlawanan dengan kehendak rakyat, maka timbul usaha-usaha untuk membangun corak pemerintahan demokratis yang waktu itu pilihannya adalah sistem parlementer usaha tersebut mengkristal ketika pada tanggal 7 Oktober 1945 lahir satu memorandum yang ditandatangani oleh 50 orang (dari 150 orang) anggora KNIP yang berisi dua hal, pertama, mendesak presiden agar menggunakan kekuasaan Istimewanya untuk segera membentuk MPR. Kedua, sebelum MPR itu terbentuk hendaknya anggota anggota KNIP dianggap sebagai (diberi kewenangan untuk melakukan fungsi dan tugas) MPR. Pada rapat tanggal 16 Oktober 1945 KNIP menindaklanjuti memorandum itu dan mengusulkan kepada pemerintah agar komite tersebut diserahi kekuasaan legislatif, kekuasaan untuk menetapkan

10

GBHN,

dan

dibentuk

Badan

Pekerja

KNIP

(BP-KNIP)

untuk

melaksanakan fungsi dan tugas komite sehari-hari, Pemerintah diwakili oleh Wapres Mohammad Hatta (didampingi oleh Sekretaris Negara AG. Pringgodigdo) menyetujui usul tersebut dan segera mengeluarkan Maklumat yang diberi nomor X (selanjutnya dikenal dengan Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945) yang diktumnya berbunyi sebagai berikut: "Bahwa Komite Nasional Pusat, sebelum terbentuk MPR dan Dewan perwakilan Rakyat diserahi kekuasaan legislative dan ikut menetapkan garis-garis besar daripada haluan negara, serta menyetujui bahwa pekerjaan Komite Nasional Pusat sehari-hari berhubung dengan gentingnya keadaan dijalankan oleh sebuah Badan Pekerja yang dipilih di antara mereka dan yang bertanggung jawab kepada Komite Nasional Pusat.” Dengan keluarnya maklumat, terjadilah praktik ketatanegaraan di luar

jalur

konstitusi

yang

resmi.

Tepatnya

terjadi

perubahan

ketatanegaraan dalam praktik tanpa perubahan UUD 1945 yang berlaku. George Mc T. Kahin melihat bahwa perubahan ke sistem parlementer yang liberal ini semula didorong oleh kelompok muda revolusioner yang merasa kurang setuju dengan kekuasaan negara di bawah pimpinan Soekarno. Mereka menolak kabinet yang berlaku karena pemerintahan Soekarno kala itu didominasi oleh orang-orang yang pada masa pendudukan Jepang memegang jabatan tinggi atau bekerja sama dengan Pemerintah jepang. Sementara kelompok gerakan bawah tanah hanya diwakili oleh Amir Sjarifuddin. Selain itu, menurut kelompok muda sistem presidensial yang memberi kemungkinan dibuatnya produk

11

legislasi darurat adalah terlalu kuat dan tidak mencerminkan watak demokrasi, tetapi sebaliknya cenderung menuju pemerintahan kuku besi dan totaliter.

Jadi pertimbangan pokok yang dipakai adalah untuk

menyelamatkan Republik Indonesia dari pemerintahan kuku besi. Alasan lain, yakni memberi kesan kepada dunia internasional bahwa negara ini adalah negara demokrasi, bukan Negara boneka yang diberi oleh Pemerintah Jepang. Akhirnya, Sjahrir sebagai pimpinan golongan muda bersama kawan-kawannya, memperjuangkan perubahan menjadi sistem parlementer sebagai upaya untuk menghalau penggalangan politik yang secara intensif dilakukan oleh Soebardjo untuk menjadikan Partai Persatuan Nasional yang dipimpinnya sebagai partai tunggal. Tidaklah mengherankan jika keberhasilan memperjuangkan sistem parlementer ini diikuti dengan munculnya partai-partai yang pada gilirannya berhasil melemahkan Partai Persatuan Nasional yang dipimpin Soebardjo. Lebih dari itu, partai-partai yang beroperasi di bawah “liberalisme" mampu menjadi kekuatan yang dapat menjatuhkan pemerintah. Tercatat dalam sejarah hingga tahun 1947 saja telah terjadi perubahan.

5. Republik Indonesia Serikat Belum berumur setahun kemerdekaan lndonesia. Belanda datang kembali ke Indonesia untuk melanjutkan kolonialismenya, Dengan membonceng tentara-tentara Sekutu yang sebenarnya bertugas untuk melucuti tentara Jepang yang telah kalah, Belanda secara sepihak menduduki beberapa tempat, terutama kota-kota di Indonesia, dan mendirikan kembali pemerintahan Belanda.

12

Rakyat Indonesia tentu saja tidak membiarkan pendudukan sewenang-wenang itu. Di mana-mana timbul perlawanan yang harus dihadapi secara berat oleh Belanda. Perlawanan rakyat yang menggelora bagaikan air bah tak dapat dibendung, sehingga menyadarkan pihak Belanda bahwa “revolusi” rakyat tak akan dapat diselesaikan hanya dengan perang konvensional biasa, maka dipilihlah taktik pecah belah yaitu usaha menjadikan Indonesia sebagai negara Republik Indonesia Serikat. Sehingga Republik Indonesia yang dulunya didirikan diatas susunan kesatuan (unitaris) diarahkan menjadi negara fedaal (serikat) yang terdiri dan negara-negara bagian. Dengan bentuk federasi Belanda manperhitungkan bahwa antarnegara bagian bisa diadu domba sehingga jika terjadi krisis belanda dapat mengambil kesempatan untuk menguasai Indonesia kembali. Jadi rekayasa untuk "memfederasikan" Indonesia diperkirakan akan dapat menjamin kepentingan-kepentingan belanda di indonesia. Pengertian negara serikat, antara lain, dapat diambil dari KC Wheare yang menulis bahwa karakter utama negara federasi adalah adanya "asas yang federal" yaitu suatu keseimbangan kekuasaan sedemikian rupa yang menempatkan pemerintah pusat dan pemerintah negara-negara bagian, dalam susunan tertentu, berderajat sama dan diantata satu sama lain mempunyai kebebasan. Beberapa bagian negara Indonesia didirikan menjadi negara oleh Belanda dalam rangka rekayasa memusnahkan Republik Indonesia untuk diganti dengan Republik Indonesia Serikat, yaitu Negara Indonesia Timur (1946), Negara Sumatera Timur (1947), Negara Pasundan (1948), Negara Sumatera Selatan (1948), Negara Jawa Timur (1948), Negara Madura

13

(1948) dan beberapa bagian lain yang ketika itu masih dalam tahap persiapan. Peperangan yang dikenal sebagai revolusi kemerdekaan itu berhasil menarik perhatian Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang kemudian mengusulkan diselenggarakannya konferensi antara Indonesia dan Belanda dengan menyertakan Byeenkomst voor Federal Overleg (BFO), Konferensi yang dikenal sebagai Konferensi Meja Bundar (KMB) itu berlangsung tanggal 2 November 1949 dan menghasilkan tiga hal pokok. Pertama, pembentukan Negara Republik Indonesia Serikat. Kedua, penyerahan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat. Ketiga, pembentukan Uni RIS-Belanda. Penyerahan kedaulatan direncanakan tanggal 27 Desember 1949 sehingga Undang-Undang Dasar akan dipersiapkan oleh delegasi Republik lndonesia bersama-sama BFO. Rancangan UUD hasil kerja delegasi Indonesia dan BFO itu diberi nama Konstitusi Republik Indonesia Serikat (Konstitusi RIS) dan disepakati mulai berlaku sejak tanggal 27 Desember 1949. Kata “konstitusi” dalam Konstitusi Rls digunakan dalam arti sama dengan UUD (konstitusi menulis) seperti yang dipakai di Amerika Serikat. Konstitusi RIS yang diberlakukan bersamaan dengan pembubaran negara kesatuan republik indonesia tanggal 27 Desember 1949 itu menganut

bentuk

Republik

Federasi.

sistem

pemerintahannya

parlementer disertai kebijaksanaan, bahwa parlemennya tidak dapat menjatuhkan pemerintah seperti yang tertuang dalam ketentuan Pasal 122 Konstitusi RIS. Bagian yang secara langsung menunjuk dianutnya sistem parlementer adalah Pasal 118 yang berbunyi: (1) Presiden tidak dapat diganggu gugat.

14

(2) Menteri-menteri bertanggungjawab atas sebuah kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama untuk seluruhnya, maupun masingmasing untuk bagiannya sendiri-sendiri dalam hal itu. Dari sudut konstitusi dapat dikualifikasikan bahwa konfigurasi yang dianut pada zaman RIS adalah demokratis. Bahkan dengan penganutan secara resmi terhadap sistem parlementer, maka pikiranpikiran pluralistic seperti yang melatar belakangi lahirnya Maklumat Nomor X Tahun 1945 mendapatkan tempat secara kokoh dalam konstitusi.

6. Di Bawah UUDS 1950 Bentuk negara serikat ternyata tidak berumur panjang karena bentuk tersebut tidak sesuai dengan aspirasi masyarakat lndonesia. Satu per

satu

negara-negara

bagian

yang

bernaung

di

bawah

RIS

menggabungkan diri dengan Republik Indonesia (di Yogyakarta) yang sebenarnya merupakan satu negara bagian juga. Desakan-desakan rakyat untuk

melakukan

integrasi

dengan

negara

RI

pada

gilirannya

menyebabkan semakin berkurangnya negara-negara bagian Sehingga pada bulan Mei 1950 jumlah negara bagian tinggal tiga; yaitu Negara Republik Indonesia (di Yogyakarta), Negara Indonesia Timur, dan Negara Sumatera

Timur.

Rakyat

menganggap

revolusi

Indonesia

belum

sempurna sebelum terbentuk negara kesatuan sesuai UUD 1945. Piagam Persetujuan antara Republik Indonesia Serikat dan Republik Indonesia ditandatangani oleh Hatta dan Al Halim pada tanggal 19 Mei 1950. Hatta, Perdana Menteri RIS, mendapat mandat penuh dari Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur untuk mewakili negara RlS dan dua

15

negara bagian sekaligus. Sedangkan A. Halim mewakili Negara Republik Indonesia. Piagam tersebut memuat persetujuan untuk kembali ke bentuk "negara kasatuan” sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, Untuk itu perlu

disepakati

perubahan-perubahan

terhadap

Konstitusi

RIS.

Menindaklanjuti persetujuan itu dibentuk panitia, yang bertugas membuat rancangan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS). Panitia ini menghasilkan rancangan UUDS yang setelah diadakan perubahanperubahan oleh Pemerintah RIS dan Pemerintah RI, disampaikan kepada BP-KNIP RI, dan DPR serta Senat RIS. Tanpa memberikan amandemen, ketiga lembaga negara tersebut menyetujui rancangan UUDS untuk diberlakukan dalam negara kesatuan Republik lndonesia. Selanjutnya pada tanggal 15 Agustus 1950 UUDS dinyatakan berlaku sejak 17 Agustus 1950. Pada masa-masa berikutnya UndangUndang Dasar tersebut lebih dikenal sebagai UUDS 1950. UUDS 1950 menganut

sistem

parlementer

dan

dianggap

bahwa

sejak

pemberlakuannya pada tanggal 17 Agustus 1950 dimulailah era demokrasi liberal di Indonesia sesuai dengan sistem parlementer yang sebenarnya. Namun Nugroho mengatakan demokrasi liberal sudah dimulai ketika berlaku Konstitusi RIS 27 Desember 1949. Tetapi penulis sependapat dengan Wilopo bahwa dengan berlakunya UUDS 1950 berarti sistem parlementer yang dianut di Indonesia adalah demokrasi parlementer penuh. sistem itu berlaku bukan hanya di dalam praktik, tetapi juga diberi landasan-landasan konstitusionalnya di dalam UUD. UUD 1950 sejak semula hanya dimaksudkan untuk sementara, yakni, sampai disusun dan ditetapkannya UUD yang tetap, yang dalam hal ini ditetapkan oleh lembaga yang representatif untuk menyusunnya.

16

Oleh sebab itu, dalam UUDS itu sendiri dicantumkan adanya lembaga yang diberi tugas menyusun UUD yang tetap, yang tentunya lebih sempuma dan dapat menampung aspirasi masyarakat Indonesia tentang penyelenggaraan Negara. Lembaga yang diberi tugas oleh UUDS 1950 untuk menyusun UUD yang tetap adalah konstituante bersama dengan pemerintah. Pasal 134 menentukan bahwa: "Konstituante (sidang pembuat Undang-Undang Dasar) bersamasama pemerintah menetapkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia yang akan menggantikan Undang-Undang Dasar ini." Berdasarkan ketentuan Pasal 134 di atas, pada tahun 1955 diselenggarakan Pemilu di lndonesia. Pemilu pertama sepanjang sejarah Negara Republik Indonesia memilih anggota-anggota konstituante dan anggota-anggota DPR. Konstituante ini kemudian dibubarkan oleh presiden melalui Dekrit 5 Juli 1959 yang mengakhiri pula berlakunya UUDS 1950. Uraian-uraian di atas menunjukkan bahwa pada periode 1945 sampai dengan 1959 (saat terakhir berlakunya UUDS 1950), secara yuridis formal dan konstitusional kabinet demokrasi yang dianut Indonesia adalah demokrasi liberal yang sangat menenggang pada pluralitas masyarakat. Ketentuan- ketentuan normatif demokrasi liberal ternyata tidak sekadar appearence, tetapi juga pada esensinya. Bukti untuk ini biasanya menunjuk pada fakta “labilitas politik dan pemerintahan" yang disebabkan

begitu

kuatnya

lembaga

perwakilan

sehingga

sering

menyebabkan kabinet jatuh sebelum sempat berbuat sesuatu yang berarti. Tercatat di dalam sejarah selama masa berlakunya UUDS 1950 saja terjadi tujuh kali jatuh bangunnya kabinet.

17

Pendapat umum bahwa demokrasi liberal (parlementer) telah menyebabkan tidak stabilnya politik dan pemerintah di Indonesia pada kurun waktu 1945-1959, tidak sepenuhnya dapat diterima oleh sebagian pakar hukum tata negara. Ismail Sunny dalam kesimpulan disertasinya menyebutkan, sabagian para ahli berpendapat gagalnya demokrasi parlementer di lndonesia demokrasinya tidak benar-benar demokratis, dan memang, Indonesia belum mencoba demokrasi barat, dikatakannya, percekcokan partai-partai yang berjumlah 28 yang Secara tidak bertanggung

jawab

telah

mempermainkan

kepentingan

nasional,

bukanlah demokrasi dalam bentuk apapun. begitu juga daerah pemilihan yang begini luas yang diikuti oleh berjuta-juta pemilih. Pemilih tidak mengenal wakil-wakilnya di parlemen, sehingga terjadi perolokan terhadap demokrasi. lnstabilitas itu, tulis ismail, disebabkan olah ketidakpuasan pada lembaga- lembaga yang salah, disesuaikan dengan kebutuhan pemerintah yang representatif.

7.

Bekerjanya Pilar-pilar Demokrasi Terlepas

dari

beragamnya

pandangan

tentang

seban-sebab

instabilitas politik dan pemerintah yang diidentifikasikan sebagai gagalnya sistem parlementer, merupakan satu hal yang tak dapat dibantah bahwa pada masa-masa pemakaian sistem parlmenter di indonsia konfigurasi politiknya sangat demokratis. Hal ini bisa dilihat dari bekerjanya pilar-pilar demokrasi seperti berikut ini.

18

a. Kehidupan Kepartaian dan Peranan Badan Perwakilan Rakyat Seiring dengan konfigurasi politik yang sangat demokratis, pada periode ini timbul partisipasi masyarakat untuk turut membuat keputusan publik. Keluarnya Maklumat Wakil Presiden No. X Tahun 1945 disusul dengan maklumat-maklumat lainnya merupakan legalisasi bagi penarikan

partisipasi

rakyat

seluas-luasnya.

Berdasarkan

Aturan

Peralihan Pasal IV UUD 1945, kekuasaan-kekuasaan penting kenegaraan, termasuk legislatif, semula diletakkan di tangan presiden dengan bantuan Komite

Nasional.

Tetapi

gagasan

perluasan

hak-bak

demokrasi

masyarakat telah menyebabkan keluarnya Maklumat No. X Tahun 1945 yang menjadikan Komite Nasional bukan lagi sebagai pembantu presiden, melainkan penampung

menjadi dan

badan

penyalur

legislatifyang aspirasi

dapat

masyarakat

menjadi

lembaga

dalam

membuat

keputusan publik. Presiden dan seluruh jajaran pemerintah mendapat kontrol dari lembaga ini sehingga tidak bisa membuat sewenang-wenang dalam mengeluarkan peraturan-peraturan yang akan mengikat publik. KNIP yang dibentuk oleh sidang PPKI tanggal 22 Agustus 1945 untuk pertama kali anggota-anggotanya diangkat oleh presiden dengan kedudukan sebagai pembantu presiden. Tetapi badan ini menjadi sangat independen dan berfungsi sebagai lembaga perwakilan rakyat yang representative setelah keluarnya maklumat nomor X tahun 1945. Badan inilah yang membuat produk legislasi menggeser sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Sehingga presiden hanya menjadi kepala negara tidak merangkap sebagai kepala pemerintahan. Sistem kepartaian berdasarkan Maklumat pemerintah tanggal 3 November 1945 diubah menjadi sistem banyak partai. Dalam maklumat 3

19

November 1945 itu disebutkan bahwa atas usul BP-KNIP kepada pemerintah maka pemerintah memberikan kesempatan seluas luasnya kepada rakyat untuk mendirikan partai partai politik. Diktum maklumat yang ditandatangani Wapres Moh Hatta berbunyi sebagai berikut: 1. Pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik karena dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang benar segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. 2. Pemerintah berharap supaya partai-partai politik itu telah tersusun sebelumnya

dilangsungkan

pemilihan

anggota

badan

badan

perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Menyusul maklumat tersebut berdirilah secara resmi partai partai politik yang sampai bulan januari 1946 berjumlah 10 partai. Sumber lain menyebutkan jumlah partai yang berdiri menyambut maklumat 3 November 1945 bukan hanya 10 partai melainkan jauh lebih banyak sebab selain muncul partai-partai kecil partai-partai yang telah dilumpuhkan pada zaman Jepang juga bangkit lagi. Mula-mula timbul pendapat dikalangan partai-partai bahwa KNIP maupun sistem tidak representative karena tidak mencerminkan aliranaliran yang ada di dalam masyarakat. Oleh karena itu, Ada arus kuat yang menghendaki

agar

keanggotaan

KNIP

disempurnakan.

BP-KNIP

mengkristalkan arus itu dalam bentuk usul kepada pemerintah agar diadakan perubahan susunan keanggotaan KNIP sejalan dengan aliran aliran dalam masyarakat. Kemudian pemerintah menjawab usul itu dengan Peraturan Presiden No. 6 tahun 1946 yang berisi penyempurnaan keanggotaan KNIP.

20

Meskipun anggota anggota KNIP itu diangkat oleh presiden, Namun lembaga itu telah berfungsi dengan baik sebagai parlemen. Keberadaannya sangat mempengaruhi pemerintah dan keputusan keputusannya menjadi dasar yang harus dipedomani oleh pemerintah.

b. Kebebasan Pers Sejalan dengan liberalisme yang dianut pada periode ini, maka kebebasan pers juga hidup di dalam irama itu. Pada kurun waktu ini berunculan pula pers mahasiswa, disamping pers umum. Jika pada tahun 1945-1949 hanya ada pers mahasiswa idea, maka setelah tahun 1950 bermunculan pers mahasiswa di berbagai kota. Pemaparan

tentang

kebangkitan

pers

mahasiswa

Indonesia

tersebut menunjuka betapa mudahnya masyarakat dari berbagai golongan mengekspresikan pendapat pada era demokrasi liberal ini. Pada awalawal pengakuan kedaulatan terlihat adana kemesraan dan kerja sama yang erat antara pemerintah Indonesia dan pers. Pejabat-pejabat pemerintah memberikan suara yang menggembirakan tentang kehidupan pers ketika menyatakan kebebasan pers merupakan suatu yang mutlak bagi kebebasna jiwa, martabat manusia, dan dasar bagi proses demokrasi. Jika dilihat dari ada atau tidaknya tindakam pemerintah terhadap pers pada waktu itu sudah jelas ada. Edward C. Smith mencatat bahwa sejak tahun 1952 setiap tahun pasti ada tindakan “antipers” baik oleh pemerintah maupun oleh tentara. Tindakan antipers ini mencakup berbagai bentuk seperti tegoran, interogasi, sanksi kertas, pemenjaraan, pemberedelan, dan sebagainya.

21

Dengan adanya data tentang fakta seperti itu, mengapa para pakar masih menyebut ada kebebasan pers di Indonesia kurun waktu demokrasi liberal?

Jawabannya

ialah

karena

dalam

keadaan

yang

masih

memungkinkan bagi pemerintah untuk melakukan tidakan antipers ternyata kalangan pers sendiri melawan dengan tulisan-tulisan yang amat keras.

c. Peran Pemerintah Seperi dapat dilihat dari uraian di atas, pada periode ini kedudukan pemerintah relative lemah atau berada pada kondisi bereaunomia. Lemahnya eksekutif merupakan konsekuensi logis dari terlalu kuatnya partai-partai yang tercermin dari parlemen. Ketika Indonesia menjadi Negara serikat dengan Konstitusi RIS sebagai UUD, memang tidak pernah terjadi kejatuhan kabinet. Hal itu karena: Pertama bentuk susunan Negara serikat hanya berlangsung kurang dari delapan bulan. Kedua ada ketentuan pasal 122 Konstitusi RIS yang menyatakan parlemen tidak dapat memaksa kabinet atau menteri untuk meletakan jabatan. Menurut Ismail Sunny adanya ketentuan Pasal 122 itu merupakan kebijaksanaan pembentuk UUD yang sifatnya sementara untuk melindungi pemerintah yang dalam sistem federasi cenderung lemah. Oleh sebab itu, Sunny menyebut sistem pemerintah pada era RIS itu bukan sistem parlemeter murni, melainkan sistem kuasi parlementer, sedangkan AK. Pringgodigdo menyebutnya sebagai sistem presidensial.

22

2.2 Karakter Produk Hukum 2.2.1 Hukum Pemilu a. Pemilu dan Partai Politik Pemilihan umum (PEMILU) merupakan instrument penting dalam Negara demokrasi yang menganut sistem perwakilan. Oleh sebab itu, adanya partai politik merupakan keharusan dalam kehidupan politik modern yang demokratis. Hal itu dimaksudkan untuk mengaktifkan pada mobilisasi rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang berlawanan, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara sah dan damai.

b. Wawasan Konstitusional Semua konstitusi yang pernah berlaku pada periode ini, yaitu UUD 1945, Konstitusi RIS, dan UUDS 1950 menganut paham demokrasi sebagai salah satu asasnya yang fundamental. Demokrasi yang dianutnya adalah demokrasi perwakilan. Didalam demokrasi perwakilan ini hak demokrasi seluruh rakyat dilakukan oleh sebagian dari mereka yang berkedudukan sebagai wakil. Agar para wakil itu benar-benar bertindak atas nama rakyat maka pelaksanaanya biasanya menggunakan lembaga pemilihan umum. Alasan lain mengapa wawasan konstitusional dibawah UUD 1945 dikatakan mengenal lembaga pemilu, yaitu bahwa menurut UUD hukum dasar yang berlaku bukan hanya yang tertulis (UUD), tetapi juga yang tidak tertulis (konvensi). Berdasarkan cara penafsiran secara historis, kita dapat mencari lembaga pemilu itu dalam sejarah persidangan BPUPKI. Disini penulis dapat mengambil contoh ketika soekarno mengusulkan dasar Negara pancasila, terutama ketika menguraikan sila kerakyatan, pada tanggal 1

23

Juni 1945 ia sudah menyebut-nyebutkan tentang pemilihan wakil-wakil rakyat itu. Ia antara lain dengan bersemangat mengatakan sebagai berikut: “saya yakin syarat mutlak untuk kuatnya Negara Indonesia ialah permusyawaratan, perwakila… jikalau memang kita rakyat islam, marilah bekerja sehebat-hebatya, agar supaya sebagain yang terbesar daripada kursi-kursi Badan Perwakilan Rakyat yang kita adakan, diduduki oleh utusan-utusan islam… kalau misalnya orang Kristen ingin bahwa tiap-tiap letter didalam peraturan Negara Indonesia menurut injil, bekerjalah mati-matian, agar supaya sebagian besar utusan-utusan yang masuk badan perwakilan Indonesia ialah orang Kristen.” Bahwa didalam sejarah persidangan BPUPKI soekarno pernah berbicara seperti itu, berarti sejak awal sudah ada pemikiran tentang “lembaga pemili” di kalangan para pendiri Negara Republik Indonesia.

c. Gagasan yang terhalang: RUU pemilu menjadi pimpong Sejak awal kemerdekaan gagasan untuk menyelenggarakan pemilu selalu menjadi program pemerintah. Pada tanggal 5 Oktober 1945 sedah dinyatakan untuk segera diadakan pemilu secara nasional dan ketika pada tanggal 14 november 1945 pemerintah mengeluarkan maklumat tentang susunan kabinet sjahrir II, dicantumkan juga pernyataan bahwa tindakan-tindakan demokratis yang lain harus segera dilaksanakan adalah mengadakan pemilihan umum. Setelah keluarnya UU No. 27 Tahun 1948, pemilihan local telah pula diselenggarakan di Minahasa (1951), Sangir-Talaud (1951), Kota Madya Makasar (1952), serta Daerah Istimewa Yogyakarta (1951).

24

Pemilihan lokat tersebut berdasarkan UU No. 27 Tahun 1948 yang dalam pelaksanaannya bervariasi. Jadi pada tahun 1948 sudah ada UU pemilu nasional, tetapi UU tersebut tidak dapat dilaksanakan diseluruh wilayah Republik Indonesia karena revolusi kemerdekaan sedang berlangsung. UU No. 27 Tahun 1948 kemudian diperbaharui dengan UU No. 12 Tahun 1949 yang menganut sistem UUD pemilihan bertingkat. Artinya anggota lembaga perwakilan dipilih oleh orang-orang tertentu yang dipilih untuk memilih. Di dalam UU ini tidak diadakan pengangkatan lagi. Seperti telah disinggung diatas, lembaga perwakilan yang pertama di Indonesia dalah Komite Nasiona Indonesia di tingkat pusat (KNIP). Untuk pertama kali anggota KNNIP diangkat oleh presiden pada tanggal 29 agustus 1945 yang jumlahnya 135 orang. Kemudian pada tanggal 16 Oktober 1945, atas usul KNIP ditambah lagi menjadi 188 orang. Namun, banyak perdebatan mengenai penambahan jumlah kenaggotaan KNIP ini. Pada tahun 1948 dikeluarkan UU No. 12 Tahun 1946 tentang Pembentukan Komite Nasional Pusat yang menuat komposisi dan cara pengangkatan keanggotaan KNIP. Didalamnya ditentukan

bahwa

daerah-daerah dapat mengambil inisiatif untuk memilih 110 orang anggota dan partai-partai politik memilik 60 orang anggota lainnya, sedangkan 30 orang anggota lainnya akan ditunjuk oleh presiden. Perdebatan dan usaha amandemen atas UU itu di dalam Badan Pekerja KNIP tidak pernah mencapai penyelesaian terakhir. Akhirnya presiden mengeuarkan PP No. 6 Tahun 1946 yang berisi penambahan jumlah anggota KNIP dari 200 orang menjadi 514 orang.

25

Intervensi presiden memperluas komposisi KNIP dengan PP No. 6 Tahun 1946 telah menimbulkan konflik antara BP-KNIP dengan presiden. Akhirnya, Wapres Moh. Hatta menyampaikan sikap agar KNIP memilih presiden dan wakil presiden baru jika tidak mau menerima perpres itu. Menghadapi sikap pemerintah itu, Badan Pekerja menarik kembali RUU inisiatif tentang pembatan PP No. 6 Tahun 1946. Dengan penarikan itu berarti KNIP telah memberikan persetujuan secara diam-diam atas PP itu. Herbert Feith mencatat beberapa factor yang menyebabkan rencana pemilu menjadi semacam “bola pimpong”. Kesimpulannya, baik perlemen maupun pemerintah sama-sama enggan menyelenggarakan pemilu. Factor pertama adalah banyangnya anggota parlemen yang merasa akan kehilangan kedudukannya di parlemen jika diselenggarakan pemilu. Kehadiran mereka disana karena “kosensi otomatis” ketika Indonesia meninggalkan bentuk federal menjadi bentuk kesatuan. Jadi, sesuai dengan pasal 77 UUDS 1950, mereka menjadi anggota DPRS bukan berdasarkan hasil pemilihan. Kedua, adanya kekhawatiran, terutama di kalangan PNI, jika setelah pemilu haluan Negara akan bergeser ke kanan sebab berdasarkan pemilihan-pemilihan di tingkat local pada tahun 1951 partai islam menang mutlak atas PNI. Ketiga, adanya kekhawatiran bahwa perwakilan bagi daerah-daerah diluar jawa akan lemah sebab sistem pemilu yang konsisten dengan UUDS 1950 akan sangat memungkinkan hal itu terjadi. Keempat, adanya kekhawatiran terlalu banyaknya muncul partai-partai politik. Jadi baik parlemen atau pemerintah pada dasarnya belum sepenuhnya setuju jika diselenggarakan pemilu.

Partai-partai

politik

termasuk

partai-partai

yang

memerintah, dilanda ketakutan untuk melaksanakan pemilu.

sedang

26

d. Peristiwa 17 Oktober 1952 dan UU Pemilu Saling lempar ‘pimpong’ rencana pemilu akhirnya terhenti dan mengkristal menjadi UU pemilu setelah terjadi peristiwa 17 Oktober 1952 yang terkenal itu. Peristiwa itu merupakan puncak dari perlawanan angkatan perang (sekarang ABRI) terhadap parlemen yang dianggap terlalu banyak mencampuri “urusan dapur” angkatan perang. Periwtiwa ini sebenarnya berasal dari program penghematan pemerintah dalam Kabinet Wilopo. Sementara itu, presiden soekarno sendiri merasakan pengaruhnya di kalangan tentara semakin berkurang dengan adanya pemindahan di lingkungan tetara. Colonel bambang supeno yang memimpin Akademi Chandradimuka di Bandung menuntut soekarno agar colonel Nasution diganti. Beberapa panglima dikumpulkan tanda tangannya oleh supeno untuk mendapatkan dukungan. Simatupang melakukab counter aksi mengadakan pertemuan pangdam untuk meminta pertanggungjawaban supeno atas tindakan-tindakannya. Rapat

panglima

militer

di

Jakarta

memutuskan

membuat

pernyataan kepada presiden dan kepada umum. Disebutkan dalam keputusa itu, bahwa “melalui saluran-saluran intel dan pribadi-pribadi diusahakan pernyataan-pernyataan dan aksi-aksi masyarakat.” Usaha “pernyataan” dan “aksi” masyarakat itu pada tanggaal 17 Oktober 1952 meledakkan demonstreasi menuntut pembubaran parlemen (DPRS) dan pemilu segera diselenggarakan. Peristiwa 17 Oktober yang sering disebut “Pemberontakan Setengah Hati” itu memperlihatkan engan jelas adanya konfrontasi terbuka dari tentara terhadap DPR. Tentara menuntut pembubaran DPRS,

27

tetapi soekarno menolak, sebab meskipun menurut UUDS 1950 presiden dapat membubarkan parlemen, tapi dalam tempo 30 hari setelah pembubaran itu harus dibentuk parlemen baru sehingga dalam waktu singkat harus diselenggarakan pemilu. Kabinet

Wilopo

pada

tanggal

21

Oktober

1952

dapat

menyelamatkan muka dari peristiwa 17 Oktober, ketika memutuskan secara resmi untuk mempercepat pemilihan bagi anggota konstituante dan DPR. Kemudian pada tanggal 25 November 1952 kabinet itu menyampaikan sebuah rancangan UU dan diundangkan dengan resmi sebagai UU No. 7 Tahun 1953 tentang pemilihan anggota konstituante dan anggota dewan perwakilan rakyat. Dalam kaitan ini Feith menyatakan peristiwa 17 Oktober telah mengakhiri “pingpong” antara kabinet dan parlemen. Demikianlah, rancangan UU pemilu telah dipersiapkan dan disahkan dalam kabinet wilopo, namun bukan kabinet wilopo yang berkesempatan menyelenggarakan pemilu itu sebab tidak lama setelah itu kabinet wilopo pun jatuh. Pemilu baru dapat benar-benar dilaksanakan pada masa kabinet Burhanuddin Harahap, tepatnya tahun 1955.

e. UU No. 7 Tahun 1953 1) Cakupan isi UU No. 7 Tahun 1953 yang biasa dan bisa disebut dengan UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemilihan dan perangkat pengaturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu itu. Sedangkan electoral process adalah mekanisme yang

28

dijalankan

dalam

pemilu

seperti

pencalonan,

kampanye,

cara

perhitungan, penentuan hasil, dan sebagainya. UU No. 7 Tahun 1953 secara rinci mengatur sistem pemilu dan pedoman mekanisme pemilu yang mencakup electoral laws dan electoral process.

2) Subjek Pemilihan Pemilu menurut UU No. 7 Tahun 1950 diselenggarakan untuk memilih anggota konstituante dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Hak memilih diberikan kepada seluruh warga negara Indonesia yang sudah berumur 18 tahun atau yang sudah kawin (Pasal 1 ayat (1). Yang tidak diperkenankan memilih hanyalah mereka yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih, dicabut hak pilihnya atas putusan dan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, sedang menjalani hukuman penjara, serta nyata-nyata terganggu ingatannya (pasal 2). Anggota ABRI mempunyai hak pilih seperti warga negara lainnya, tetapi penggunaan hak suaranya dimungkinkan dilakukan pada hari lain (menyusul) apabila pada jadwal yang ditentukan sedang menjalankan tugas operasi atau tugas biasa di luar tempat kedudukannya (pasal 3).

3) Sistem pemilihan UU No. 7 Tahun 1953 menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional representation ) dengan sistem daftar dan sisa suara terbanyak. Hal ini bisa dilihat dari ketentuan cara penetapan jumlah anggota konstituante dan DPR untuk setiap daerah pemilihan (adanya sejumlah dukungan suara minimal tertentu untuk mendapatkan satu kursi), syarat dan cara pencalonan, serta cara pembagian kursi sisa (pasal

29

15,32,33,36,37). Penetapan sistem proporsional atau perwakilan berimbang memang lebih tepat diterapkan di Indonesia. Ada dua sistem pemilu yang sangat umum dikenal, yakni sistem proporsional dan sistem distrik, lalu sistem

mayoritas.

sistem

proporsional

biasanya

diterapkan

dalam

multipartai, sedangkan sistem distrik biasanya dianggap cocok untuk sistem dua partai.

Ada tiga sistem pemilihan yang dapat dipergunakan diberbagai negara demokrasi, yaitu sistem mayoritas, sistem pluralitas dan sistem proporsional. Pada sistem mayoritas sebuah kontestan dinyatakan menang bila mana mampu mengalahkan lawan-lawannya dengan memperoleh suara yang tidak dapat ditantang oleh kontestan lainnya, meskipun keseluruhan suara kontestan lawannya digabungkan. Kondisi mayoritas bagi pemenang berarti bahwa besarnya suara yang diperoleh tidak dapat dilawan oleh kombinasi suara-suara yang berhasil dihimpun kontestan lain. Sistem mayoritas ini dipraktikkan Australia untuk pemilihan anggota DPR dan di Amerika Serikat untuk primary elections (pemilihan pendahuluan). Pada sistem pluralitas (yang biasanya disebut sebagai sistemdistrik), seluruh wilayah negara dibagi-bagi dalam jumlah distrik (sesuai dengan banyaknya kursi yang diperebutkan). Untuk sebuah distrik hanya diperebutkan satu kursi di lembaga perwakilan. Dalam sistem distrik terdapat konsekuensi atau kecenderungan terjadinya over-repsentation atau under representation. Over- representation adalah perolehan kursi di DPR oleh suatu partai pemenang sebenarnya lebih besar daripada suara yang diperolehnya. Sedangkan Under-representation adalah keadaan yang menunjukkan perolehan kursi oleh suatu partai di lembaga

30

perwakilan yang lebih kecil dari pada proporsi perolehan suara ditingkat nasional. Karena konsekuensi over dan under representation itu maka sejumlah ilmuwan dan politisi merasa keberatan dengan sistem distrik (single member district/plurality types). John stuart Mill misalnya menyatakan keberatannya karena dua alasan. Pertama, perrwakilan diperuntukkan secara proporsional bagi seluruh suara disetiap pemilihan, tidak hanya untuk dua partai besar saja, tetapi juga bagi kelompokkelompok minoritas yang ada. Kedua, tidak seorang pun diantara pemilih yang rela diwakili oleh wakil yang tidak ia pilih. Oleh karena itu pada dekade awal abad ke-20 banyak negara menerapkan sistem perwakilan proporsional /berimbang (proportional representation).

4) Asas-Asas Pemilihan Dari ketentuan pasal 35 UUDS 1950 dan muatan lengkap) UU No. 7 Tahun 1953, dapat dikeluarkan asas-asas : umum, periodik, jujur, berkesamaan (adil), bebas, rahasia, dan langsung. Penjelasan autentik terhadap asas tersebut tidak eksplisit, melainkan dapat, ditafsirkan dari muatan UU No. 7 Tahun 1953 atau dari pengertian yang secara umum sudah dipahami.

5) Pengorganisasian UU.

No

pengorganisasian

7

Tahun

1953

mengatur

secara

rinci

mengenai

atau kepanitiaan. Pasal 17 menentukan adanya 5

tingkat kepanitiaan, yaitu, Panitia Pemilihan Indonesia tingkat Nasional, Panitia Pemilihan Tingkat Daerah, Panitia Pemilihan Tingkat Kabupaten, Panitia Pemungutan Suara untuk tingkat Kecamatan, dan Panitia

31

Pendaftaran Pemilihan untuk tingkat Desa. Menurut Pasal 19, panitia untuk tingkat perwakilan

RI di luar negeri dibentuk oleh Kepala

Perwakilan guna mengerjakan pekerjan-pekerjaan administrasi pemilihan. Dalam praktiknya partai-partai memainkan peranan penting dalam Kepanitian Pemilu, partai-partai tetap turut aktif dan menetukan jajaran panitia di bawah posisi ketua. Pada tingkat Nasional tanggung jawab pelaksanaan pemilu terletak di tangan menteri dalam negeri, tetapi Mendagri, tidak menjadi ketua panitia. Pengambilan keputusan di semua tingkat panitia dilakukan secara demokrasi, bukan instruktif yang memberi bobot lebih berat kepada pimpinan. Hal ini secara tegas diatur dalam Bab IV yang menentukan rakyat panitia sah apabila dihadiri oleh separoh lebih dari seluruh anggota (pasal 28) dan keputusan rapat diambil berdasarkan suara terbanyak. Apabila, terjadi suara sama banyak, maka keputusan dapat diambil dengan jalan undian (pasal 29).

6) Peraturan Tentang Kampanye Dalam UU No. 7 Tahun 1953 tidak dimuat ketentuan kampanye. Dalam kaitan ini Wilopo menulis, “Mengenai kampanye pemilihan umum itu sendiri, jika kita lakukan pengamatan secara keseluruhan dengan melihat soal-soal atau tema yang diketengahkan, maka sesungguhnya merupakan perdepatan antara partai pemerintah dan partai oposisi atau dapat dikatakan yang menonjol ialah antara PNI dan Masyumi, yaitu dua partai utama pada waktu itu.

32

7) Sistem Pengangkatan Menurut

UU

No. 7

Tahun

1953,

memungkinkan

adanya

pengangkatan untuk anggota DPR dan konstituante, yakni bilamana terjadi tiga hal. 1. Jika ada kursi yang tidak terisi setelah diusahakan pembagian sisa kursi berdasarkan suara yang diperoleh oleh daftar calon. 2. Jika ada daerah yang tidak dapat menyelenggarakan pemilihan pada waktu yang ditentukan (pengangkatan berlaku sampai selesai pemiliha susulan). 3. Jika suara yang diperoleh golongan minoritas Cina, Eropa dan Arab kurang dari jatah kursi minimal menurut pasal 58 dan 135 UUDS 1950.

8) Delegasi Perundang-undangan Peraturan Pemerintah adalah salah satu bentuk peraturan yang dibuat oleh pemerintah berdasarkan delegasi perundang-undangan. Artinya pembuat UU memberikan delegasi kepada pemerintah untuk membuat peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan suatu UU.

9) Pelaksanaan dan Hasil Pemilu Pemilu

1955

berlangsung

secara

sangat

fair

dan

dapat

manghasilkan konstituante dan DPR yang lebih dari 75% anggotanya adalah orang-orang baru. Mohammad Roem menulis, bahwa pemilu 1955 sudah dilaksankan dengan sangat baik, hak pilih dan hak dipilih sebagi hak asasi diakui dan dilaksanakan dengan sebebas-bebasnya, dan dengan rule of the game yang dihormati oleh semua golongan dan dilindungi oleh

33

penguasa secara adil. Wilopo mengatakan, pemilu diselenggarakan tepat seperti yang dijadwalkan dan berhasil baik, jika diingat bahwa itu adalah pengalaman pertama bagi bangsa Indonesia. Watak demokratis dan sikap fair pemerintah pada pemilu 1995 dapat disimpulkan dari fakta bahwa pemilu itu berlangsung tanpa adanya campur tangan dan rekayasa dari pemegang status quo. Artinya berjalan sesuai dengan ketentuan electoral laws dan electoral processesnya.

2.2.2 Hukum Pemda a. Demokarsi, Desentralisasi dan Negara Hukum Studi tentang pemerintahan daerah (pemda) adalah asas otonomi dan pelaksanaan desentralisasi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Yamin mengatakan “Susunan tata negara yang demokratsis membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintahan pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan antara pusat dengan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segalagalanya pada pusat pemerintahan”. Hatta juga mengatakan hal yang sama “ Menurut dasar kedaulatan rakyat, hak rakyat untuk menentukan nasibnya tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan negeri, melainkan juga pada tiap tempat, di kota, desa dan didaerah. Dengan keadaan

yang demikian, maka tiap-tiap

bagian atau golongan rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan-peraturan sendiri) dan zelfbestuur (menjalankan peraturan-peraturan yang dibuat oleh dewan yang lebih tinggi).

34

Tocqueville pemerintahan

seperti

merdeka

dikutip tanpa

Rienow

semangat

mengatakan membangun

suatu instusi

pemerintahan tingkat daerah sama artinya dengan tidak mempunyai semangat kedaulatan rakyat, karena tidak ada semangat kebebasan. Rienow mengatakan ada dua alsan pokok dari kebijaksanaan bentuk pemerintahan ditingkat daerah. Pertama, membangun kekuasaan agar rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang berkaitan langsung dengan mereka. Kedua, memberiakan kesempatan kepada masing-masing komunitas yang mempunyai tuntutan yang berbeda untuk membuat aturan-aturan dan programnya sendiri. Ada

tiga

factor

yang

memperlihatkan

kaitan

erat

antara

desantralisasi dengan demokrasi, yaitu: 1. Untuk mewujudkan prinsip kebebasan (liberty). 2. Untuk menumbuhkan kebiasaan rakyat memutuskan sendiri berbagai kepentingan yang bersangkutan langsung dengan mereka. 3. Untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya terhadap masyarakat yang mempunyai tuntutan yang berbeda. b. Hubungan Kekuasaan antara Pusat dan Daerah Dari sudut hukum, Wolfhoff mengatakan kekuasaan adalah hak mengambil tindakan yang wajib ditaati. Kekuasaan dapat dipandang dari sudut formal dan sudut materil. Dilihat dari sudut formal, maka kekuasaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang siapa dan organ mana yang berhak mengambil tindakan itu serta formalitas apa yang harus dipenuhi agar tindakan itu sah. Dan dari sudut materil, maka kekusaan adalah jawaban atas pertanyaan tentang bagaimana sifat-sifat tindakan itu.

35

Istilah otonomi mempunyai arti kebebasan atau kemandirian, tetapi bukan kemerdekaan, sehingga daerah otonom diberi kebebasan atau kemandirian

sebagai

wujud

pemberian

kesempatan

yang

harus

dipertanggungjawabkan. Otonomi merupakan pemberian kebebasan untuk

mengurus

rumah

tangganya

sendiri,

tanpa

mengabaikan

kedudukan pemerintah daerah sebagai aparat pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan-urusan yang ditugaskan kepadanya. Daerah harus dipandang dalam dua kedudukan, yaitu sebagai organ daerah untuk melaksanakan tugas-tugas otonomi dan sebagai agen pemerintah pusat untuk menyelenggarakan urusan pusat didaerah. Hubungan kekuasaan antara pusat dan dan daerah berdasarkan atas tiga asas yaitu, asas desentralisasi, dekonsentrasi dan asas pembantuan. Dalam asas desentralisasi ada penterahan wewenang sepenuhnya dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dapat mengambil perencanaan,

prakarsa

sepenuhnya

pelaksanaan,

baik

maupun

yang

menyangkut

pembiayaannya.

policy,

Pada

asas

dekonsentrasi yang terjadi adalah pelimpahan wewenang kepada aparatur pemerintah pusat di daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah pusat dalam arti bahwa policy, perencanaan maupun biaya menjadi

tanggung

pemerintah pembantuan

pusat

jawab di

berarti

pemerintah

daerah

bertudas

keikutsertaan

pusat,

sedangkan

melaksanakan. pemerintah

aparatur Dan

daerah

asas untuk

melaksanakan urusan pemerintah pusat di daerah itu, dalam arti bahwa organisasi pemerintah setempat

(daerah) memperoleh tugas dan

wewenang untuk membantu melaksanakan urusan-urusan pemerintah pusat.

36

c. Cara dan Cakup Otonomi Bagaimana

notonomi

diberikan

dan

bagaimana

batas

cangkupannya, para sarjana mengidentifikasi kedalam tiga ajaran yaitu, nonformal, material dan nyata (rill).

1. Asas otonomi formal Dalam asas otonomi formal pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan daerah untuk mengatur rumah tangganya

masing-masing

tudak

terinci

dalam

undang-undang.

Pandangan dalam asas ini adalah bahwa tidak ada perbedaan sifat antara urusan yang diselenggarakankan oleh pusat dan daerah. Pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab semata-mata berdasarkan atas keyakinan bahwa suatu urusan pemerintahan aka berhasil baik, jika diurus dan diatur oleh satuan urusan pemerintahan tertentu dan sebaliknya.

2. Asas otonomi material Asas otonomi material membuat secara rinci (didalam peraturang perundang-undangan) pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab antara pusat dan daerah. Titik tolak pemikiran tas otonomi material adalah adanya perbedaan mendasar antara urusan pemerintah ousat dan pemerintah daerah. Asas otonomi material memiliki kelemahan, yaitu berpangkal pada pikiran yang keliru yaitu anggapan bahwa urusan pemerintahan dapat dirinci dan piliah-pilah. Kelemahan lain dari asas ini adalah daerah hanya mempunyai peluang kecil untuk segera menyesuaikan diri dengan

37

perubahan keadaan yang mungkin menurut pemindahan penanganan urusan yang telah dibagi-bagi.

3. Asas otonomi riil Asas rill adalah jalan tengah antara asas otonomi formal dan asas otonomi material. Dan dalam asas rill, penyerahan urusankepada daerah otomoni berdasarkan pada factor-faktor riil. Dalam asas riil, asas materil berperan memberikan kepastian sejak awal mengenai urusan daerah. Melalui asas materil, urusan pangkal diserahkan dan dikembangkan dengan asas formal yang lebih memberi kebebasan dan kemandirian. Aspek asas otonomi materil dalam bentuk penyerahan urusan pangkal, di samping aspek sistem rumah tangga formal, menjadi salah satu cirri yang membedakan asas otonomi riil dari asas otonomi lainnya.

d. Keputusan PPKI UU Desentralisasi di negara Republik Indonesia segera lahir menyusul proklamasi kemerdekaan. Alasan pembentukan UU tersebut adalah paham kedaulatan rakyat yang dianut oleh negara yang baru merdeka ini. Kelahiran UU ini bisa ditelusuri dari sejarah pembentukan dan perkembangan komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang semula berdasarkan pasal IV Aturan Peralihan UUD 1945, berkedudukan sebagai pembantu presiden dalam mengemban tugas sebagai lembaga-lembaga negara (MPR, DPR, DPA) yang belum dapat dibentuk sesuai dengan amanat UUD pada awal-awal kemerdekaan itu. UUD 1945 hanya mengatur masalah pemda dalam 1 pasal, yakni, pasal 188 yang berbunyi :

38

“Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil. Dengan bentuk sesuai pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa.” Peralihan UUD 1945. Tetapi perkembangan politik ketika itu membuat pemerintah mengeluarkan maklumat No. X Tahun 1945, yang mengubah fungsi dan kedudukan KNIP, dari pembantu presiden menjadi lembaga legislatif dan kedudukannya sehari-hari dilakukan oleh sebuah Badan Pekerja (BP). BP-KNIP inilah yang kemudian mensponsori dikeluarkannya

UU.

No.

1

Tahun

1945

yang

merupakan

UU

Desentralisasi pertama dalam sejarah Republik Indonesia. Presiden Suekarno pada tanggal 23 Agustus 1945 berpidato dan menyerukan agar didaerah-daerah segeradibentuk komite Nasional. “dirikanlah Komite Nasional di Jakarta dan seluruh tempat-tempat di Indonesia”,

kata

Suekarno

dalam

pidatonya

itu.

Bahkan

di

beberapadaerah di bentuk juga komite nasional di tingkat desa. Komite nasional tersebut tetap bersetatus sebagai pembantu pemerintah pada tingkat masing-masing, sampai keluarnya maklumat No. X tahun 1945 tanggal 16 Oktober 1945. Tujuan dikeluarkanya UU No. 1 Tahun 1945 adalah untuk menarik kekuasaan eksekutif dari tangan komite Nasional Indonesia Daerah (KNID). Penarikan tersebut disebabkan, antara lain oleh adanya dualisme pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu, KNID perlu dijelmakan menjadi Badan Perwakilan Rakyat untuk sementara, yakni sampai terbentuknya Badan Perwakilan Rakyat berdasarkan pemilihan umum. Berdasarkan

39

penjelasan pasal 1, KNID dibentuk ditingkat keresidenan, kota, dan kabupaten,

diadakan

KNID.

Tetapi jika

ada

tingkat

lain

yang

menghendaki adanya KND, maka dapat mengusulkan kepada mentri dalan negeri yang nantinya akan mempertimbangkan kelayakanya. Beberapa faktor politis lain yang mendorong lainya UU tersebut dicatat oleh kahin: pertama, secara umum untuk menertibkan KNID. Kedua, untuk membuka jalan bagi pemerintah pusat melakukan pengawasan terhadap KNID. Ketiga, untuk menjamin keserasian dalam pelaksanaan kegiatan antara pusat dan daerah. Keempat, untuk mengurangi untuk kekuatan KNID yang menentang pemerintahan pusat.

e. UU No. 22Tahun 1945 Salah satu kesimpulan dan realitas politik dari hadirnya UU No. 1 Tahun 1945 adalah adanya dualisme kekuasaan eksekutif didaerah yang menimbulkan persoalan. Sifat dualism itu dapat dilihat dalam tiga dimensi. (1) Jenis pemerintahan (2) Dualisme pemerintah (3) Peraturan per undang undangan (4) Susunan Pemerintahan di Daerah (5) Asas Otonominya (6) Pengawasan produk legislasi

40

f. UU No. 1 tahun 1957 (1)Kesulitan Realisasi UU No. 22 Tahun 1948 UU

ini

mencita-citakan

penghapusan

“pererbedaan”

cara

penyelenggaraan pemerintahan daerah antara jawa-Madura dan luar jawa-madura

yang

bertujuan

membangun

uniformitas

diseluruh

Indonesia. Selain itu, bertujuan menghapuskan dualism pemerintahan dalam pemerintahan daerah dan memberi hak otonomi medebewind seluas-luasnya pada daerah yang tersusun secara demokratis atas dasar permusyswaratan. Kenyataannya UU No. 22 Tahun 1948 baru dapat berlaku setelah dibentuk berbagai provinsi, kabupaten, kota besar, dan kecil, dijawa dan Sumatra, sedangkan di Indonesia timur berlaku UU desentralisasi yang sengaja di ciptakan oleh belanda Negara bagian yang di bentuknya. Meakipun

semula

dimaksudkan

untuk

mengatasi

berbagai

dualisme dalam UU No. 1 Tahun 1945, setelah berlakunya UU No. 22 Tahun 1948, sifat dualism dalam pemerintahan didaerah masih ada.

(2)Program dari Kabinet ke Kabinet UUDS 1950 yang dipakai sebagai UUD sementara sebelum terbentuknya UUD permanen (ketika Indonesia secara progresif kembali menjadi

Negara

kesatuan)

memberikan

pokok-pokok

pengaturan

tentangn desentralisasi. Cakupan dan pokok-pokok isinya UU No. 1 Tahun 1957 tanggal 18 januari 1957 diberi nama UU tentang pokok-pokok pemerintahan daerah. UU ini terdiri dari 9 bab dan 76 pasal yang dimuat dalam Nomor urut 6 lembaran Negara 1957, serta

41

seluruh naskah penjelasan yang dimuat dalam tambahan lembaran Negara No. 1143. Asas otonomi dan pembatasan umumnya Sebagai UU yang berinduk pada UUDS 1950 maka UU No. 1 Tahun 1957 menganut asas yang ditetapkan UUD induknya yakni “otonomi yang seluas-luasnya” yang diwujudkan dalam asas otonomi yang nyata. Pembatasan atas prinsip seluas-luasnya hanya menyangkut hal-hal yang oleh undang-undang diserahkan kepada instansi yang lebih tinggi atau setelah diatur oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, seperti yang dimuat didalam pasal 38, maka pembatasan-pembatasan. Itu meliputi: 1) Peraturan daerah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnta atau kepentingan umum, 2) Peraturan

daerah

tidak

boleh

mengatur

pokok-pokok

yang

diaturnya kemudian diatur dalam perundangan yang lebih tinggi tingkatnya 3) Suatu peraturan daerah dengan sendirinya tidak berlaku lagi jika pokok-pokok yang diaturnya kemudian diatur dalam peraturan perundangan yang lebih tinggi tingkatnya. 4) Jika dalam suatu perundangan yang lebih tinggi tingkatnya itu hanya diatur hal-hal yang telah diatur dalam suatu peraturan daerah, mka peraturan daerah ini hanya tidak berlaku lagi sekedar mengenai hal-hal itu. Dengan adanya batasan-batasan pelaksanaan otonomi yang seluasluasnya itu, maka dapat dipahami bahwa dalam desentralisasi itu keutuhan dan kepentingan negara dijadikan sebagai batas umum.

42

2.2.3 Hukum Agraria a. Membanjirna tuntutan pembaruan Penulusuran dan analisis normatif hukum agraria pada zaman Hindia Belanda telah menunjukan bahwa hukum agraria zaman kolonial sangat exploitatif, dualistik, feodalistik. Dengan asas domein verkalaring yang meyertainya, jelas sangat bertentangan dengan kesadaran hukum dan rasa keadilan dalam masarakat. Pemerintah republik indonesia yang baru merdeka dibanjiri tuntutan untuk mempelajari kembali secara seksama terhadap peraturan perundang-undangan agraria lama dan melakukan pembaruan dengan mengeluarkan perundang-undang baru. Seperti ternyata dari pembolehan pasal II aturan peralihan UU 1945 yang menentukan, bahwa peraturan perundang-undang yang ditinggalkan oleh kolonialisme Belanda masih tetap dapat diberlakukan selama pemerintah belum dapat memproduk hukum-hukum baru yang sesuain dengan jiwa kemerdekaan.

B. Dua jalur langkah pembaruan Pada periode 1945- 1959 pemerintah belum berhasil membuat UU agraria nasional yang bulat sebagai pengganti agrarische wet 1870. Ada dua kendala pokok yang dihadapi oleh pemerintah saat itu untuk melahirkan UU agraria nasional yang bulat dan komprehensif. Pertama,ke luar harus mempertahankan kedaulatan negara dari usaha Belanda untuk merebutnya kembali. Kedua kedalam harus menyusun aparatur dan administrasi pemerintahan menurut UUD berta membangun stabilitas dan melancarkan kehudupan ekonomi negara.

43

Produk hukum agraria dibedakan dua : Pertama, pengundangan berbagai peraturan agraria yang bersifat persial, artinya menyangkut bagian-bagian tertentu dari lingkup hukum agraria dan kedua, membentuk panatia-panatia perancang UU Agraria yang bulat dan bersifat nasional. 1) Untuk memberi warna nasional bagi hukum agraria yang berlaku di indonesia, sebelum dapat menghasilkan UU agraria nasioanal yang bulat dan konprehensif, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan

dalam bidang agraria

yang sifatnya parsial artinya yang menyangkut bagian-bagian tertentu saja dari cakupan hukum agraria. Peraturan perundang-undang menyangkut hal-hal sebagai berikut: a. Penghapusan Hak Konveksi dengan UU No. 13 tahun 1948 yang kemudian dilengkapi UU No. 5 tahun 1950. b. Penghapusan Tanah partikelir dengan UU No. 1 Tahun 1958. c. Perubahahan peraturan persewaan tanahraakyat dengan UU darurat No. 6 Tahun 1951 yang kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 6 Tahun 1952. d. Penambahan peraturan dalam pengawasan pemindahan hak atas tanah dengan UU No. 24 1954. e. Penaikan besarnya canon dan cijns dengan UU No. 78 tahun 1957. f. Larangan dan penyesuain pemakaian tanah tanpa izin dengan UU darurat No. 8 tahun 1954,kemudian diubah dan ditambah dengan UU darurat No. 1 tahun 1956, serta berbagai peraturan perundangundangan lain.

44

g. Peraturan perjanjian bagi hasil dengan UU No.2 tahun 1960. h. Pengadilan tugas-tugas tentang wewenang agraria dengan kepres No. 55 tahun 1955 dan UU No. 7 tahun 1958.

2) Panitia-panitia Perancang UU Agraria Perjalanan gagasan dan rancangan-rancangan pokok-pokok 19451959 : a. Panitian Agraria Yogya Panitia ini dibentuk pada tahun 1948 di ibukota republik Indonesia,

Yogyakarta.pembentukannya

dilakukan

dengan

penetapan presiden No.16 tahun 1948. b. Panitia agraria Jakarta pada tanggal 19 Maret 1951 dengan Kepres No. 36 tahun 1951, panitia agraria Jogjakarta dibubarkan dan digantikan dengan panitia baru yakni panitia agraria Jakarta yang tetap diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo dengan wakil ketua Sadjarwo. Panitia agraria Jakarta menghasilkan beberapa kesimpulan untuk petani kecil : 1). Perlu penetapan batas minimum (diusulkan 2ha). 2) perlu penetapan batas maksimum (diusulkan 25ha). 3) yang dapat memiliki tanah untuk pertanian kecil hanya WNI. 4) untuk pertanian kecil diterima bangunan-bangunan hukum : hak milik, hak usaha, hak sewa dan hak pakai. 5) pengakuan hak rakyat oleh atas nama kuasa UU.

45

c. Panitia Suwardjo Panitia dibentuk untuk melangkah lebih lanjut dalam upaya pembentukan hukum agraria yang baru sesuai dengan ketentuan pasal 26, pasal 37 (1) dan pasal 38 (3) UUDS 1950 d. Rancangan Soenardjo Rancangan yang diajukan kepada DPR tanggal 24 april 1958 disebut rancangan Soenardjo karena pada saat itu mentri agraria yang mewakili pemerintah mengajukan RUU itu kepada DPR adalah Soenardjo. Setelah dibahas pada sidang pleno DPR melalui tingkat pemandangan umum babak pertama, DPR membentuk panitia sebuah ad hock yang diketuai oleh A.M Tambunan dengan tgas menghimpun bahan-bahan yang lebih lengkap.

C. Pengundangan yang tertunda Ketika pada tahun 1959 terjadi perubahan konfigurasi politik dengan dekrit 5 juli 1959 RUU tersebut ditarik kembali oleh pemerintah pada tanggal 23 mei 1950. Alasan penarikan itu secara yuridis konstitusional dapat dimengerti, sebab RUU itu disusun berdasarkan UUDS 1950, sedangkan UUD yang berlaku berdasarkan dekrit 5 juli 1959 adalah UUD 1945. Dengan demikian pada periode 1945 sampai 1959, pemerintah belum berhasil disimpulkan, bahwa sebenarnya yang terjadi adalah: pengundangan yang tertunda, sebab UU PA ( UU No. 5 Tahun 1950) yang kemudian banar-benar diundangkan pada periode berikutnya. Menganut asas-asas yang telah diajukan oleh beberapa pantia dan dimuat RUU yang pernah diajukan dalam periode Demokrasi Liberal ini.

BAB III PERBANDINGAN DARI BERBAGAI SUMBER

3.1 Berdasarkan buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa: Fraksi

PNI Masyumi NU PKI PSII Parkindo Partai Katolik PSI IPKI Perri PRN Partai Buruh GPPS PRI PPPRI Partai Murba Baperki PIR Wongsonego Gerinda Permai Partai Persatuan Daya PIR Hazairin PPTI AKUI Partai Rakyat Desa PRIM Acoma R Soedjono Prawirosudarso Jumlah

Perolehan Suara

Perolehan % Kursi Suara

8.434.653 7.903.886 6.955.141 6.176.914 1.091.160 1.003.325 770.740 751.191 541.306 483.014 242.125 224.167 219.985 206.261 200.419 199.588 178.887 178.481 154.792 149.287 146.054 114.644 85.131 81.454 77.919 72.523 64.514 53.305 36.762.866

46

57 57 45 39 8 8 6 5 4 4 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 257

22,3 20,9 18,4 16,4 2,9 2,6 2,0 2,0 1,4 1,3 0,6 0,6 0,6 0,5 0,5 0,5 0,5 0,5 0,4 0,4 0,4 0,3 0,2 0,2 0,2 0,2 0,2 0,1 97,3

Tabel 6: Komposisi DPR berdasarkan hasil Pemilu 1955 CATATAN: Partaipartai, organisasi, dan perorangan yang tidak dapat kursi kalau suaranya dihimpun berjumlah 1.022.433 yang berarti 2,7%. Seluruh suara (100%) adalah 37.758.299. SUMBER: Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955, hlm. 58-59.

(Mahfud.MD, 2014, hlm. 91)

47

Sementara dalam buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Bintan Regen Saragih, S.H menyatakan bahwa : Fraksi/Ormas/Perorangan PNI Masyumi NU PKI PSII Parkindo Partai Katolik PSI IPKI Perri PRN Partai Buruh Murba GPPS PRI PPPRI PIR Wongso Negoro PERMAI PIR Hazairin Partai Rakyat Desa BAPERKI GRINDA Persatuan Daya PPTI AKUI PRIM ACOMA R Soedjono Jumlah

Jumlah Anggota 57 57 45 39 8 8 6 5 4 4 2 2 2 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 257

% Suara 22,3 20,9 18,4 16,4 3,11 3,11 2,33 1,95 1,55 1,55 0,78 0,78 0,78 0,78 0,78 0,78 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 0,39 100.00

Tabel

5

Hasil

Pemilu

Tahun 1955 SUMBER: Laporan Penelitian Hasil Pemilihan Umum 1955 DPR, LEKNAS, 1971, hlm. 9

(Bintan hlm 61)

Ragen,

2006,

48

3.2 Berdasarkan buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa: “Menyusul maklumat 3 November 1945 tersebut berdirilah secara resmi partai-partai politik yang sampai bulan januari 1946 berjumlah sepuluh partai yaitu: Majelis Syuro Muslimin (Masyumi), Partai Komunis Indonesia (PKI), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Rakyat Jelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Rakyat Sosialis (PRS), Partai Katolik Republik Indonesia (PKRI), Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai), dan Partai Nasional Indonesia (PNI).” (Mahfud.MD, 2014,, hlm. 51)

Sementara dalam buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Bintan Regen Saragih, S.H menyatakan bahwa : “Sejak dikeluarkannya maklumat 3 November 1945 tersebut maka berdirilah sejumlah partai-partai politik antara lain: Partai Komunis Indonesia (PKI), Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi), Partai Buruh Indonesia (PBI), Partai Jelata, Partai Kristen Indonesia (Parkindo), Partai Sosialis Indonesia (PSI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Murba, Persatuan Indonesia Raya (PIR), Nahdatul Ulama (NU) menjelang pemilu 1955, dan sejumlah partai politik lainnya. (Bintan

Ragen, 2006, hlm 57)

49

3.3 Berdasarkan buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa: “Ketentuan-ketentuan normative demokrasi liberal ternyata tidak sekedar appearance, tetapi juga pada essence-nya. Bukti untuk ini biasanya menunjukan pada fakta “labilitas politik dan pemerintah” yang disebabkan begitu kuatnya lembaga perwakilan sehingga sering menyebabkan cabinet jatuh sebelum sempat berbuat sesuatu yang berarti.” (Mahfud.MD, 2014, hlm. 49)

Sementara dalam buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Bintan Regen Saragih, S.H menyatakan bahwa : “Konfigurasi politik pada saat itu sangat demokrasi, sehingga hukum diciptakannya benar-benar sesuai dengan realitas masyarakat, dan jumlah undang-undang yang dihasilkan sangat banyak. Tetapi dipihak lain, karena tidak ada satupun partai yang dominan maka bila timbul perselisihan antara partai-partai yang berkoalisi maka kabinetpun jatuh.” (Bintan Ragen, 2006, hlm 57)

3.4 Berdasarkan buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa: “Perubahan selanjutnya adalah perubahan system cabinet dari presidensial ke parlementer. Perubahan ini terjadi dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945 yang didasarkan atas usul BP-KNIP.” (Mahfud.MD, 2014, hlm. 42)

50

Sementara dalam buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Bintan Regen Saragih, S.H menyatakan bahwa : “Masa liberal ini dimulai sejak tanggal 14 November 1945 yang dalam suasana UUD 1945. Melalui maklumat Pemerintah 14 November 1945 itu ditentukan Kabinet bertanggungjawab kepada KNI melalui Badan Pekerja KNI tanpa merubah UUD 1945 yang menganut system pemerintahan Presidensil yang tidak murni.” (Bintan Ragen, 2006, hlm 56)

3.5 Berdasarkan buku Politik Hukum Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa: “Yamin

menulis

bahwa:

susunan

tata

Negara yang

demokratis

membutuhkan pemecahan kekuasaan pemerintah pada bagian pusat sendiri dan pula membutuhkan pembagian kekuasaan itu antara pusat dan daerah. Asas demokrasi dan desentralisasi tenaga pemerintahan ini berlawanan dengan asas hendak mengumpulkan segala-galanya pada pusat pemerintahan.” (Mahfud.MD, 2014, hlm. 92)

Sementara dalam buku Membangun Karya Hukum Menegakan Konstitusi Karya Prof. Dr. Moh. Mahfud MD menyatakan bahwa : “Lord Acton menyatakan bahwa kekuasaan itu cenderung korup dan kekuasaan absolut, terpusat, korup secara absolut” (Mahfud.MD, 2011,

hlm. 215)

51

3.6 Struktur kabinet masa demokrasi liberal adalah sebagai berikut: Kabinet M. Natsir

Masa Jabatan

Hasil Kerja

6 September 1950 Indonesia – 18 April 1951

Kejatuhan

masuk Adanya mosi tidak

PBB

percaya

dari

PNI

menyangkut pencabutan Peraturan Pemerintah mengenai DPRD dan DPRDS Sukiman

26 April 1951 - MSA 1952

(Mutual Muncul pertentangan

Security Act)

dari

Masyumi

PNI

atas

dan

tindakan

Sukiman

sehingga

mereka

menarik

dukungannya

pada

kabinet tersebut. DPR akhirnya menggugat Sukiman

dan

terpaksa

Sukiman

harus mengembalikan mandatnya

kepada

presiden. Wilopo

19 Maret 1952 – 2 Peristiwa tanjung Akibat Juni 1953

morawa

Tanjung

peristiwa Morawa

muncullah mosi tidak percaya dari Serikat Tani terhadap

Indonesia kabinet

Wilopo. Ali Sastroamijoyo I

31 Juli 1953 – 12 KAA

Nu

Agustus 1955

dukungan

dan

menterinya

dari

kabinet keretakan

menarik

sehingga dalam

52

kabinetnya Burhanuddin Harahap

12 Agustus 1955 Pemilu I

Dengan

berakhirnya

– 3 Maret 1956

pemilu maka tugas kabinet Burhanuddin dianggap

selesai.

Pemilu

tidak

menghasilkan dukungan

yang

cukup

terhadap

kabinet

sehingga

kabinetpun jatuh. Ali Sastroamijoyo Ii

20 Maret 1956 – 4 Pembatalan KMB

Mundurnya sejumlah

Maret 1957

menteri

dari

Masyumi

membuat

kabinet hasil Pemilu I ini

jatuh

dan

menyerahkan mandatnya

pada

presiden. Djuanda

9 April 1957- 5 Juli Deklarasi Djuanda, Berakhir 1959 Zaken Kabinet presiden

saat Sukarno

mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan mulailah babak baru

sejarah

yaitu Demokrasi Terpimpin.

(Aim Abdulkarim, 2007, hlm. 29)

RI

BAB IV PANDANGAN PRIBADI MENGENAI MATERI KONFIGURASI POLITIK PADA PERIODE DEMOKRASI LIBERAL

4.1 Widia Kusuma Wardani Konfigurasi politik pada periode demokrasi liberal ini sangat banyak mengeluarkan UU yang berkenaan dengan pemilu, dan pada saat ini pula kebebesan pers bisa terbuka. Dengan keterbukaan itulah muncul partai-partai baru, yang mana dengan adanya partai-partai baru itulah Indonesia berubah dari system yang organis menjadi pluralistic karena kelahiran partai-partai baru itu. Rancangan tentang akan dilaksanakannya pemilu telah sering sekali di gembar-gemborkan pada era ini, namun banyak hal yang menjadi penghalang akan dilaksanaknnya pemilu. Dengan adanya partai-partai ini juga menjadikan kuatnya lembaga perwakilan sehingga sering menyebabkan cabinet jatuh sebelum sempat berbuat sesuatu yang berarti.

4.2 Loly Handriani Menurut pendapat saya tentang konfigurasi Politik Pada periode demokrasi Liberaral mengenai UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemililihan dan perangkat pengaturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu itu. Sedangkan electoral process adalah mekanisme yang dijalankan dalam pemilu seperti pencalonan, kampanye, cara perhitungan, penentuan hasil, dan sebagainya. UU No. 7 Tahun 1953 secara rinci mengatur sistem pemilu dan pedoman mekanisme pemilu yang mencakup electoral laws dan electoral process. UU No. 7 Tahun 1953 53

54

menganut sistem perwakilan berimbang (proporsional representation ) dengan sistem daftar dan sisa suara terbanyak. Kelebihan sistem distrik dan sistem proporsional, Sistem distrik kelebihannya adalah Hubungan wakil dengan penduduk distrik lebih erat karena kecilnya distrik. Calon biasanya sangat dikenal di distriknya. Sedangkan Sistem proporsional kelebihannya Bersifat representatif dalam arti bahwa suatu suara turut diperhitungkan dan praktis tidak ada sura yang hilang. Kelemahan sistem distrik dan sistem proporsional, kelemahan sistem distrik Hal ini memberi kemungkinan bagi golongan-golongan kecil untuk tetap memperoleh kursi meskipun dalam porsi yang kecil pula. Sedangkan kelemahan sistem proporsional adalah ada konsekuensi over representation dan under representation. Mempersukar terbinanya pemerintah yang stabil karena terlalu banyaknya partai.

4.3 Debora Sari Sitorus Dalam membantu menegakan negara hukum yang sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia serta membangun sebuah negara yang demokratis, maka salah satu bentuk atau cara yang dapat dilakukan didalam sebuah negara demokrasi adalah melaksanakan otonomi daerah dan asas desentaralisasi, karena asas ini merupakan salah satu cara yang dapat membatasi kekuasaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. Karena adanya asas sentralisasi ini juga, berarti telah membentuk suatu perwujudan dari kesempurnaan ciri negara demokrasi dan negara hukum, yakni adanya kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah kebebasan pemerintah daerah yang diberi wewenang oleh pemerintah pusat

dalam

membangun

rumah

tanggganya

sendiri.

Adapun

55

pembangunan kekuasaan tersebut ialah

membuat suatu kebijakan-

kebijkan yang yang berkaitan langsung dengan kepentingan-kepentingan di daerah mereka. Seperti pendapat Hatta mengatakan, “Karena keperluan tipa-tiap tempat dalam satu negeri tidak sama, melainkan berlain-lainan”. Artinya pemerintah daerah (pemda) lebih memahami dan lebih mengetahui apa yang paling diperlukan sebuah daerah dalam melakukan pembangunan daerahnya.

4.4 Tri Handayani Menurut pendapat saya tentang konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi liberal. Merupakan suatu susunan atau konsielasi kekuatan politik secara diamentral yaitu konfigurasi yang demonstrasi dan konfigurasi politik otoriter. Pada konfigurasi demokratis, partai politik dan lembaga perwakilan rakyat aktif berperan menentukan hukum negara atau politik nasional, kehidupan pers relatif bebas, sedangkan peranan lembaga eksekutif atau pemerintah tidak dominan dan tunduk kepada kemauan rakyat.

4.5 Nurwanuddin Dari uraian diatas dapat disimpulkan, bahwa konfigurasi politik dan karakter produk hukum senantasa berubah sejalan dengan pereodesasi pembahasan. Pada demokrasi leberal ( 1945-1959 ), ternyata konfigurasi politik bersipat demokratis dan produk hukum yang dihasilkan bersifat

responsive.

Sedangkan pada masa demokrasi

terpimpin ( 1959-1998 ), disini terlihat bahwa konfigurasi politik bersifat otoriter dan karakter hukum bersifat konservatif / ortodoks, kecuali produk hukum tentang agraria yang memang telah dipersiapkan

56

sebelumnya.selanjutnya pada masa orde baru ( 1966-1998 ) menampilkan konfigurasi politik non denokratis (otoriter) dengan karakter produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatis. Walaupun pada awal perjalanannya menampilkan konfigurasi politik yang demokratis, tetapi kemudian mengarah pada non demokratis. Apabila perjalanan konfigurasi poitik dan karakter produk hukum tersebut

dihubungkan dengan Indonesia sebagai negara hukum,

sebagaiman dituangkan dalam pembukaan UUD 1945 serta dalam batang tubuh dan penjelasan Undang-Undang 1945, maka dapat dikatakan bahwa pemerintahan Indonesia dalam praktek ketatanegaraannya belum bisa meletakan hukum pada posisinya yang supremasi melainkan lebih sering diintervensi oleh kekuasaan politik. Sehingga

dalam

pelaksanaan

roda

pemerintahan

sering

mengabaikan hak-hak rakyat yang seharusnya menjadi cita dari sebuah negara

hukum

yang

berdasarkan

pancasila

dan

UUD

1945.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan Konfigurasi politik pada periode demokrasi liberal ini sangat banyak mengeluarkan UU yang berkenaan dengan pemilu, dan pada saat ini pula kebebesan pers bisa terbuka. Dengan keterbukaan itulah muncul partai-partai baru, Pada periode demokrasi Liberaral mengenai UU Pemilu mencakup electoral laws dan pengaturan electoral process. Electoral laws adalah sistem pemililihan dan perangkat pengaturan yang menata bagaimana pemilu dijalankan serta bagaimana distribusi hasil pemilu itu. Sedangkan electoral process adalah mekanisme yang dijalankan

dalam

pemilu

seperti

pencalonan,

kampanye,

cara

perhitungan, penentuan hasil, dan sebagainya. Dalam membantu menegakan negara hukum yang sesuai dengan cita-cita dan harapan bangsa Indonesia serta membangun sebuah negara yang demokratis, maka salah satu bentuk atau cara yang dapat dilakukan didalam sebuah negara demokrasi adalah melaksanakan otonomi daerah dan asas desentaralisasi, karena asas ini merupakan salah satu cara yang dapat membatasi kekuasaan pemerintah pusat terhadap pemerintah daerah. konfigurasi politik dan produk hukum pada periode demokrasi liberal. Merupakan suatu susunan atau konsielasi kekuatan politik secara diamentral yaitu konfigurasi yang demonstrasi dan konfigurasi politik otoriter. konfigurasi politik dan karakter produk hukum senantasa berubah sejalan dengan pereodesasi pembahasan. Pada demokrasi leberal ( 1945-1959 ), ternyata konfigurasi politik bersipat demokratis dan produk

57

58

hukum yang dihasilkan bersifat responsive. Sedangkan pada masa demokrasi terpimpin ( 1959-1998 ), disini terlihat bahwa konfigurasi politik bersifat otoriter dan karakter hukum bersifat konservatif / ortodoks, kecuali produk hukum tentang agraria yang memang telah dipersiapkan sebelumnya.selanjutnya pada masa orde baru ( 1966-1998 ) menampilkan konfigurasi politik non denokratis (otoriter) dengan karakter produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatis. Walaupun pada

awal

perjalanannya

menampilkan

konfigurasi

politik

yang

demokratis, tetapi kemudian mengarah pada non demokratis.

5.2 Saran Konfigurasi politik merupakan bentuk ataupun wujud dari kegiatan politik pada periode tertentu. Konfigurasi politik pada era demokrasi liberal telah menjadikan Indonesia menjadi Negara yang ambigu. Karena ketidak pastian hukum yang ada. Dengan keambiguan itu menyebabkan kita sendiri tidak mengetahui secara jelas apa system pemerintahan Indonesia yang sesungguhnya. Diharapkan untuk kemudian harinya kita mampu menerapkan poin-poin penting yang termasuk kedalam ciri system pemerintahan itu.

DAFTAR PUSTAKA

Ragen, Bintan. Politik Hukum. Bandung: CV. Utomo. 2006. Abdulkarim, Aim. Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Grafindo Media Pratama. 2007. Mahfud, Moh. Membangun Politik Hukum Menegakan Konstitusi. Jakarta: Rajawali Pers. 2011. ___________. Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. 2014.

More Documents from "Benyamin Sianturi"