Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir as PDF for free.

More details

  • Words: 22,407
  • Pages: 164
‫بسم الله الرحمن الرحيم‬

Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir

S

ejak

pertengahan

abad

XII

Hijriyah (ke-18 Masehi), dunia Islam menggelincir dari masa kejayaaannya dengan sangat cepat serta jatuh ke dalam jurang kemunduran dengan amat mengerikan. Sekalipun telah dilakukan berbagai upaya untuk membangkitkannya kembali atau setidaknya mencegah agar ketergelincirannya itu tidak berlanjut terus, akan tetapi tidak satupun upaya-upaya tersebut membuahkan hasil. Sementara itu dunia Islam masih tetap dalam kebingungan di tengah-tengah kegelapan akibat kekacauan dan kemundurannya, serta masih terus merasakan pedihnya keterbelakangan dan berbagai goncangan ini. Sebab kemunduran dunia Islam ini Mafahim HT

1

kembali kepada satu hal yaitu kelemahan yang teramat parah dalam hal pemahaman umat terhadap Islam yang merasuk ke dalam pikiran kaum muslimin. Penyebab lemahnya pemahaman ini adalah pemisahan kekuatan yang dimiliki bahasa Arab (thaqah ‘arabiyyah) dengan kekuatan Islam (thaqah islamiyyah). Hal ini berawal tatkala bahasa Arab mulai diremehkan dalam memahami Islam sejak awal abad VII Hijriyah. Selama kekuatan yang dimiliki bahasa arab tidak disatukan dengan kharisma Islam, yakni dengan cara menjadikan bahasa arab --yang merupakan bahasa Islam-sebagai unsur inti yang tidak terpisahkan dari Islam, maka kemunduruan itu akan tetap melanda kaum muslimin. Mengapa demikian? Karena bahasa Arab merupakan kekuatan bahasa yang mengemban kekuatan Islam. Sehingga, Islam dan bahasa Arab merupakan satu kesatuan. Islam tidak mungkin dapat dilaksanakan secara sempurna kecuali dengan bahasa Arab. Juga, dengan meremehkan bahasa Arab akan menghilangkan ijtihad terhadap syari'at, karena ijtihad terhadap syari'at tidak mungkin dilaksanakan bahasa Arab. Padahal, kedudukan ijtihad itu sendiri 2

Mafahim HT

teramat urgen bagi umat Islam, sebab tidak ada kemajuan bagi umat tanpa keberadaan ijtihad. Penyebab kegagalan berbagai macam upaya untuk membangkitkan kaum muslimin dengan Islam, dapat dikembalikan pada tiga hal. Pertama, tidak adanya pemahaman yang mendalam mengenai fikrah Islamiyah di kalangan para aktivis kebangkitan Islam. Kedua, tidak adanya gambaran yang benarbenar jelas pada diri mereka mengenai metode Islam (thariqah Islam) dalam menerapkan fikrah-nya. Dan yang ketiga, mereka tidak menjalinkan fikrah Islamiyah dengan thariqah Islamiyah sebagai satu hubungan yang solid yang tidak mungkin terpisahkan. Apabila kita telusuri mengenai fikrah, ternyata banyak unsur terselubung telah menyelinap masuk ke dalam fikrah Islamiyah yang banyak dari perkara-perkara rincinya menyamarkan sebagian besar kaum muslimin. Unsur-unsur terselubung ini mulai menyusup sejak awal abad II Hijriyah sampai munculnya periode penjajahan. Filsafat-filsafat asing, seperti filsafat India, Persia dan Yunani telah Mafahim HT

3

mempengaruhi sebagian kaum muslimin dan menyeret mereka melakukan kesalahan dalam usahanya mengkompromikan Islam dengan filsafat-filsafat ini. Padahal jelas, filsafat-filsafat ini bertentangan secara keseluruhan dengan Islam. Usaha-usaha untuk mengkompromikan Islam dengan filsafat-filsafat ini telah menimbulkan adanya interpretasi dan penafsiran yang menjauhkan sebagian hakekat Islam yang sebenarnya dari benak kaum muslimin, disamping memperlemah pemahaman terhadapnya. Lebih dari itu masuk Islamnya sekelompok orang-orang munafik yang menyimpan rasa dendam dan kebencian terhadap Islam telah mengakibatkan munculnya manipulasi terhadap ajaran-ajaran Islam, berupa pemikiran dan pemahaman yang bukan berasal dari Islam, bahkan sangat bertentangan dengan Islam. Hal ini melahirkan pemahaman salah terhadap Islam dalam diri sebagian besar kaum muslimin. Ditambah lagi dengan kelalaian umat terhadap penguasaan bahasa Arab dalam pengembangan Islam yang terjadi pada abad VII Hijriyah. Faktor-faktor inilah yang mendorong kemunduran kaum 4

Mafahim HT

muslimin. Belum lagi sejak akhir abad XI Hijriyah (abad ke-17 Masehi) sampai sekarang, munculnya ghazwuts tsaqafi (serangan budaya), kristenisasi dan serangan politik yang datang dari Barat, menambah parahnya kemerosotan, sekaligus menjadi problema baru dalam masyarakat Islam, dan menambah persoalan sebelumnya. Faktor-faktor tersebut memberikan andil yang cukup besar terhadap kesalahan penggambaran kaum muslimin mengenai fikrah Islamiyah, sehingga lenyaplah kebeningan fikrah Islamiyah yang hakiki dalam benak kaum muslimin. Akan halnya dengan thariqah Islamiyah, sesungguhnya Umat Islam secara berangsurangsur telah kehilangan gambaran yang jelas mengenai thariqah Islamiyah. Dahulu, kaum muslimin mengetahui bahwa keberadaannya dalam hidup ini adalah hanya untuk Islam semata. Aktivitasnya di dunia adalah mengemban dakwah Islam. Tugas Daulah Islamiyah adalah menerapkan Islam, menjalankan hukum-hukum Islam di dalam negeri serta menyebarluaskan dakwah Islam ke luar negeri. Dan metoda praktis untuk melakukan hal itu adalah dengan jihad yang Mafahim HT

5

dilakukan oleh negara. Kami katakan bahwa kaum muslimin --setelah mengetahui semua itu—berubah pandangan bahwa tugasnya di dunia ini, pertama-tama adalah mencari kesenangan dunia lebih dahulu. Baru setelah itu, sebagai tugas yang kedua menyampaikan nasehat dan petunjuk. Itu pun bila keadaan mengijinkan. Sementara negara sudah tidak memperdulikan lagi kelalaian dan peremehannya dalam melaksanakan hukumhukum Islam. Negara tidak lagi merasa bersalah atas kelalaian dan sikap berpangkutangan dari jihad di jalan Allah dalam rangka menyebarkan Islam. Kaum muslimin sendiri, setelah kehilangan negara --termasuk kelemahan dan kelalaian dalam menegakkannya kembali-- mulai beranggapan bahwa kebangkitan Islam dapat diraih kembali dengan cara membangun masjid-masjid, menerbitkan buku-buku, tulisan atau karangan, serta memperbaiki akhlak. Sementara pada saat yang sama tetap berdiam diri terhadap kepemimpinan kufur dan penjajahannya atas mereka. Demikianlah tinjauan aspek fikrah dan thariqah. Sedangkan jika dilihat hubungan 6

Mafahim HT

fikrah dan thariqah ternyata kaum muslimin hanya memperhatikan hukum-hukum syari'at yang berkaitan dengan pemecahan problematika kehidupan yang menyangkut aspek fikrah saja. Mereka tidak lagi memperhatikan hukum-hukum yang menjelaskan cara praktis pemecahan problematika tersebut, yaitu hal-hal yang menjelaskan thariqah. Pandangan seperti ini menjadikan kaum muslimin hanya menitik beratkan pada studi hukum-hukum syari'at terpisah dari metode operasionalnya. Demikian pula, mereka lebih banyak memfokuskan perhatian pada mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah shalat, shaum, nikah dan talak, dengan mengabaikan mempelajari hukum-hukum yang berkaitan dengan jihad, ghanimah (harta rampasan perang), hukum-hukum yang menyangkut Khilafah (sistem pemerintahan Islam), qadla (peradilan), hukum-hukum tentang kharaj dan sebagainya. Dengan cara mempelajari Islam seperti ini mereka telah memisahkan antara fikrah dengan thariqah, antara teori dan praktek, sehingga hasilnya adalah suatu kemustahilan penerapan fikrah Mafahim HT

7

karena tidak disertai dengan thariqah-nya. Semua ini menjadi lebih parah lagi dengan munculnya kesalahan dalam memahami syari'at Islam yang akan diterapkan ke dalam masyarakat di penghujung abad XIII Hijriyah (ke-19 Masehi). Islam akhirnya ditafsirkan tidak selaras dengan isi kandungan nash-nashnya, dengan tujuan agar dapat disesuaikan dengan kondisi masyarakat yang ada saat itu. Padahal seharusnya, masyarakatlah yang harus diubah agar sesuai dengan Islam, bukan dengan membuat interpretasi baru mengenai Islam agar sesuai dengan keadaan masyarakat. Cara pemahaman seperti ini tidak dapat dibenarkan, sebab yang menjadi masalah adalah bahwa di sana terdapat satu masyarakat yang rusak dan hendak diperbaiki dengan suatu mabda (Ideologi). Karena itu mabda ini harus diterapkan sesuai dengan apa yang dikandung oleh mabda itu sendiri, kemudian mengubah masyarakat seluruhnya secara inqilabi (revolusioner) berdasarkan mabda tersebut. Dengan kata lain, merupakan suatu keharusan bagi para pejuang perbaikan untuk menerapkan hukum-hukum Islam sesuai 8

Mafahim HT

dengan makna ajaran yang sebenarnya, tanpa memperhatikan keadaan masyarakat, waktu dan tempat. Namun kenyataannya mereka tidak berbuat demikian. Mereka malah melangkah lebih jauh dengan menginterpretasikan hukum-hukum Islam agar sesuai dengan kondisi sekarang. Bahkan kesalahan yang mereka lakukan sudah melampui batas, baik dalam masalah umum maupun dalam hal-hal yang terperinci. Mereka mengeluarkan kaidah-kaidah kulliyat (umum) dan hukum-hukum yang terperinci sesuai dengan pandangan tersebut. Misalnya dengan membuat kaidah umum yang salah seperti:

ِ‫لَ يُنْكَرَ َتغَيّرَ اْلَحْكَامِ بَِتغَيّرِ ال ّزمَان‬ "Tidak ditolak adanya perubahan terhadap hukum, dengan adanya perubahan zaman". atau :

ٌ‫َاْلعَادَةُ مُحْ َك َمة‬ "Adat-istiadat dapat dijadikan patokan hukum" dan sebagainya.

Mafahim HT

9

Disamping itu mereka juga mengeluarkan fatwa tentang hukum-hukum yang tidak berlandaskan hukum syara' malah bertentangan dengan nash Al-Quran yang qath'i. Mereka menghalalkan riba yang sedikit, dengan alasan asal tidak berlipat ganda dan dalam keadaan darurat, apalagi untuk kepentingan harta anak yatim. Akhirnya, hakim yang dikenal dengan sebutan Hakim Syar'i pun (pada masa Turki Utsmani) melakukan riba terhadap dana-dana sosial yatim piatu, sebagaimana yang dilakukan oleh Hakim Sipil. Selain itu mereka pun melontarkan fatwa yang membolehkan penghentian pelaksanaan hukum hudud (bagi yang berzina, mencuri dan lain-lain), serta membolehkan mengambil undang-undang pidana dari luar Islam. Demikianlah, mereka telah membuat hukum-hukum yang bertentangan dengan syari'at Islam dengan dalih untuk menyesuaikan diri terhadap situasi dan kondisi serta dengan alasan bahwa hukum syara' harus dapat menyesuaikan diri dengan situasi, kondisi dan tempat. Tindakan yang mereka lakukan ini tentu saja semakin menjauhkan Islam dari 10

Mafahim HT

kehidupan. Musuh-musuh Islam lalu menggunakan faham-faham yang salah dan hukum-hukum yang batil ini, sebagai alat untuk menyusupkan undang-undang dan prinsip-prinsip mereka kepada umat Islam tanpa menyadari pertentangannya dengan agama mereka. Hal ini disebabkan karena telah mengakarnya pemahaman yang salah dalam benak pikiran ummat, bahwa Islam itu sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Islam kemudian ditakwilkan oleh banyak orang agar sesuai dengan mazhab, ideologi, peristiwa yang terjadi, atau tolok ukur masing-masing, sekalipun bertentangan dengan mabda dan arah pandangan Islam. Semua ini telah memberikan andil bagi usahausaha menjauhkan Islam dari kehidupan. Karena itu, kegagalan setiap gerakan perbaikan (Harakah Ishlahiyah) yang berjalan sesuai dengan pemahaman yang salah-kaprah ini merupakan keniscayaan (pasti terjadi). Keadaan ini semakin menjadi-jadi ketika memasuki abad XX M, dengan munculnya banyak penghalang yang memisahkan Islam dengan kehidupan, sehingga kesulitankesulitan yang telah ada sebelumnya semakin Mafahim HT

11

bertambah dengan adanya kesulitan-kesulitan baru. Hal ini terjadi karena kaum muslimin, terutama kalangan ulama dan kaum terpelajarnya, saat ini sedang dikuasai oleh tiga unsur: Pertama, mereka mempelajari Islam dengan cara yang bertentangan dengan metoda studi yang telah digariskan Islam. Metoda studi menurut Islam menyatakan bahwasanya hukum-hukum syari'at Islam dipelajari sebagai masalah-masalah yang bersifat praktis untuk diterapkan oleh negara --dalam urusan pemerintahan yang merupakan tugasnya-- dan oleh individu -dalam urusan yang menyangkut pribadi. Atas dasar inilah para ulama (ushul fiqih) mendefinisikan Ilmu Fiqih sebagai: Ilmu yang membahas masalah-masalah syara' yang bersifat praktis, dan digali dari dalil-dalilnya yang terperinci. Dengan metode seperti ini studi tentang Islam akan menghasilkan ilmu bagi yang mempelajarinya dan amal perbuatan bagi masyarakat, baik dalam bernegara maupun individu. Akan tetapi kenyataan saat ini menunjukkan bahwa para ulama dan kaum terpelajar bahkan mayoritas 12

Mafahim HT

kaum muslimin, mempelajari Islam hanya sekedar sebagai ilmu belaka, seakan-akan Islam adalah filsafat yang bersifat khayali dan teoritis semata. Dengan begitu hukum-hukum fiqih kemudian hanya menjadi sekumpulan teori murni tanpa penerapan, dan syara' dipelajari sebagai masalah-masalah ritual dan akhlak saja, bukan lagi sebagai hukum-hukum yang mampu mengatasi problematika kehidupan. Ini dilihat dari segi studi Islam. Dilihat dari sisi dakwah Islamiyah, apa yang sering dilakukan oleh kaum muslimin serupa dengan yang dilakukan para misionaris yaitu dengan cara hanya memberi nasehat dan petunjuk saja, bukan dengan metoda pengajaran yang dikehendaki oleh Islam. Dengan cara dakwah seperti ini maka orangorang yang mempelajari Islam akan menjadi ulama-ulama jumud ibarat buku yang bergerak, atau menjadi penasehat dan pemberi petujuk yang selalu mengulang-ulang ucapan dan pidatonya yang kering dan menjemukan, tanpa memberikan pengaruh sedikit pun pada masyarakat. Mereka tidak memahami hakekat men-tatsqif (membina) umat dengan Islam yang sebenarnya. Yang Mafahim HT

13

berarti mengajarkan seluruh masalah yang berkaitan dengan agama Islam terhadap mereka, dengan pengajaran yang dapat mempengaruhi perasaannya dan membuat mereka takut terhadap azab dan murka Allah, sehingga seorang muslim akan berubah menjadi satu tenaga penggerak yang berpengaruh tatkala perasaannya terpaut dengan akalnya, berkat mempelajari ayat-ayat Allah melalui metode pengajarannya itu. Memang benar, mereka belum memahami hal semacam ini. Oleh sebab itulah mereka mengganti metoda pengajaran yang sangat mendalam dan membekas ini dengan metoda nasehat dan petunjuk yang terbatas dalam bentuk wejangan, pidato dan khutbahkhutbah yang dangkal lagi membosankan. Akibatnya, muncullah anggapan bahwa antara pemecahan berbagai persoalan yang terjadi di masyarakat dengan Islam adalah suatu hal yang tidak bisa dipertemukan karena bertentangan, atau seakan-akan bertentangan --sehingga membutuhkan penyesuaian. Sampai pada akhirnya, pena'wilan agar Islam bisa disesuaikan dengan keadaan menjadi sesuatu yang lumrah dan dianggap sah-sah 14

Mafahim HT

saja oleh masyarakat. Lebih dari itu, mereka memahami firman Allah SWT:

juga

keliru

ْ‫َومَا كَانَ اْل ُم ْؤمِنُونَ لِيَ ْنفِرُوا كَافّةً َف َلوْلَ َنفَرَ ِمنْ كُلّ فِرْ َقةٍ مِنْ ُهم‬ ْ‫طَاِئفَةٌ لِيََت َفقّهُوا فِي الدّينِ وَلِيُ ْنذِرُوا َقوْمَ ُهمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْ ِهم‬ َ‫حذَرُون‬ ْ َ‫َلعَلّ ُهمْ ي‬ "(Dan) Tidak patut orang-orang mukmin keluar semuanya. Tetapi alangkah baiknya jika keluar sebagian (saja) dari tiap-tiap golongan dari mereka, supaya mereka menerima pelajaran tentang agama, dan untuk mereka ingatkan pada kaumnya apabila mereka telah kembali kepada mereka, agar supaya mereka bisa hati-hati". (At-Taubah 122) Ayat ini mereka tafsirkan bahwa hendaklah dari setiap kelompok masyarakat ada segolongan orang yang mempelajari ilmu agama, kemudian mereka kembali untuk mengajarkan ilmu tersebut kepada kaumnya. Penafsiran seperti ini telah menjadikan usaha untuk mempelajari agama itu hukumnya fardlu kifayah. Dengan demikian jelas, mereka telah menyalahi hukum syara', sekaligus Mafahim HT

15

menyalahi makna ayat itu sendiri. Menurut hukum syara', setiap muslim yang baligh dan berakal wajib hukumnya memahami agama (tafaquh fiddiin) dalam halhal yang dibutuhkan dalam kehidupannya. Sebab, ia diperintahkan untuk menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah. Sementara tidak ada jalan lain untuk melaksanakan hal ini kecuali dengan mengetahui hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan seluruh amal perbuatannya. Dengan demikian, tafaquh fiddiin mengenai hukum-hukum yang dibutuhkan oleh seorang muslim dalam kehidupan, hukumnya fardlu 'ain bukan fardlu kifayah. Sedangkan ijtihad untuk menggali hukum merupakan fardlu kifayah. Kesalahan mereka dalam memahami ayat ini adalah bahwa ayat tersebut sebenarnya berkenaan dengan masalah jihad. Dengan kata lain yang dimaksudkan adalah kaum muslimin tidak diperkenankan keluar seluruhnya ke medan perang untuk berjihad. Hendaklah ada sekelompok orang yang keluar untuk berjihad dan ada sekelompok lainnya yang tinggal untuk mempelajari hukum-hukum 16

Mafahim HT

bersama Rasulullah SAW. Sehingga apabila para mujahid yang terjun ke medan perang itu telah kembali, kelompok yang tinggal dapat mengajarkan kepada mereka hukum-hukum yang belum mereka dapatkan, dengan metoda pengajaran yang sangat membekas pada diri mereka. Bukti lain mengenai hal ini adalah adanya keinginan dan kesungguhan dalam diri para sahabat untuk mempelajari hukumhukum agama dan adanya sikap untuk selalu ingin menyertai Rasulullah SAW. Kadangkadang sebagian sahabat keluar mengikuti peperangan saraya --peperangan yang tidak dipimpin Rasulullah-- sedangkan sebagian lainnya tinggal untuk mempelajari hukumhukum agama. Setelah para mujahid itu kembali maka mereka yang tinggal akan mengajarkannya kembali kepada pasukan yang belum mendapatkan pelajaran. Kedua, bahwasanya dunia Barat yang dengki dan membenci Islam dan kaum muslimin terus menerus menyerang agama Islam. Di satu sisi mereka mencela Islam dengan cara mengada-ada sesuatu yang tidak ada dalam Islam, sementara di sisi lain mereka Mafahim HT

17

menjelek-jelekan sebagian hukum-hukum Islam, padahal semuanya adalah hukumhukum yang tidak diragukan lagi kebenarannya dalam memecahkan masalah dan persoalan hidup. Menghadapi serangan seperti ini, kaum muslimin terutama kalangan intelektualnya berada pada posisi yang sangat lemah. Dimana mereka rela menerima Islam sebagai pihak yang tertuduh, lalu mereka berusaha untuk membelanya. Dalam rangka menghindari tuduhan seperti itu, mereka berusaha menginterpretasikan (menakwilkan) hukum-hukum Islam. Sebagai contoh, mereka menginterpretasikan jihad dengan makna peperangan defensif, bukan peperangan ofensif. Penakwilan semacam ini menyalahi makna dan hakikat jihad yang sebenarnya. Jihad adalah aktifitas memerangi pihak manapun yang berdiri menentang dakwah Islamiyah, baik yang memerangi Islam atau yang tidak. Dengan kata lain, jihad adalah menyingkirkan segala bentuk rintangan yang menghambat dakwah Islamiyah, atau seruan dan dakwah kepada Islam serta berperang demi tegaknya dakwah, yaitu perang fi 18

Mafahim HT

sabilillah. Fakta sejarah menunjukkan, tatkala kaum muslimin hendak menguasai bangsa Persia, Romawi, Mesir, Afrika Utara dan Andalusia serta bangsa-bangsa yang lainnya, mereka mengadakan penyerbuan ke wilayah itu karena dakwah memang membutuhkan adanya jihad, agar dakwah tersebar di negerinegeri tersebut. Jadi, pemahaman jihad seperti di atas merupakan penafsiran yang salah, sebagai akibat sikap yang lemah karena menerima Islam sebagai pihak tertuduh. Pembelaan terhadap Islam dengan cara seperti itu, menunjukkan sikap yang malah memuaskan para penuduhnya. Begitu pula sikap mereka menghadapi tuduhan orang-orang kafir dalam masalah poligami, potong tangan bagi pencuri, dan lain sebagainya. Untuk menghadapi tuduhan orang-orang kafir ini, kaum muslimin berusaha menginterpretasikan Islam dengan cara yang bertentangan dengan hakekat ajarannya. Semua ini menjadi sebab semakin jauhnya kaum muslimin dari pemahaman yang benar terhadap Islam, bahkan pada akhirnya menjauhkan Islam dari pengamalan ajaranajarannya. Mafahim HT

19

Ketiga, sebagai akibat berpudarnya Daulah Islamiyah karena banyak negeri-negeri Islam yang melepaskan diri, lalu tunduk kepada pemerintahan kufur apalagi disusul kemudian dengan runtuh dan lenyapnya Daulah Islamiyah, maka terciptalah dalam benak kaum muslimin suatu gambaran yang memustahilkan terwujudnya kembali Daulah Islamiyah, berikut terlaksananya kembali hukum Islam sebagai satu-satunya hukum yang harus diterapkan. Inilah yang mengakibatkan mereka bersedia menerima begitu saja dihukumi oleh hukum lain yang bukan berasal dari Allah SWT. Mereka tidak melihat hal seperti itu sebagai satu bencana dan dosa --selama nama Islam tetap dijaga, sekalipun hukum Islam tidak diterapkan lagi. Mereka juga menyerukan agar aliran dan ideologi selain Islam harus dimanfaatkan guna membantu penerapan ajaran Islam di dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini menyebabkan kaum muslimin hanya duduk berpangku tangan tanpa berbuat apaapa untuk mengembalikan Daulah Islamiyah, serta berdiam diri melihat hukum kufur yang diterapkan di tengah-tengah kehidupan kaum 20

Mafahim HT

muslimin oleh orang-orang Islam itu sendiri. Ketiga masalah yang dipaparkan di atas itulah yang menjadi penyebab kegagalan seluruh gerakan pembaharuan yang didirikan untuk membangkitkan kembali umat Islam sekaligus mengembalikan kejayaan Islam. Wajar apabila kegagalan ini terjadi, karena sekalipun gerakan-gerakan tersebut adalah gerakan Islam, namun kesalahpahamannya terhadap Islam makin menambah ruwetnya problematika. Makin sulit mengatasinya, bahkan dapat menjauhkan umat dari Islam, sebagai ganti dari usaha-usaha untuk menerapkan ajarannya. Bertolak dari penjelasan ini, maka menjadi suatu keharusan terdapat sebuah gerakan yang memahami Islam baik dari segi fikrah maupun thariqah. Lalu mengkaitkan keduanya, dan berusaha melangsungkan kembali kehidupan Islam di salah satu wilayah manapun di antara wilayah-wilayah Islam. Sehingga wilayah ini menjadi titik awal (nuqthah ibtida`) pergerakan yang memancarkan sinar dakwah Islamiyah, dan kemudian menjadi titik tolak (nuqthah inthilaq) penyebaran dakwah Islam. Mafahim HT

21

Atas dasar inilah Hizbut Tahrir berdiri. Hizbut Tahrir berusaha untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam di kawasan negerinegeri Arab. Dari sanalah tujuan untuk melangsungkan kehidupan Islam di seluruh dunia Islam --secara alami-- akan tercapai, yaitu dengan jalan mendirikan Daulah Islamiyah di satu atau beberapa wilayah sebagai titik sentral (nuqthah irtikaz) Islam dan sebagai benih berdirinya suatu Daulah Islamiyah yang besar yang akan melanjutkan kehidupan Islam, dengan menerapkan Islam secara sempurna di seluruh negeri-negeri Islam, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. Setelah mengadakan pengkajian, analisis dan pembahasan, Hizbut Tahrir kemudian men-tabani (memilih dan menetapkan) hukum-hukum syara'. Diantaranya yang berkaitan dengan pemecahan masalahmasalah individu yang muncul dalam masyarakat atau yang terjadi antar sesama individu dalam masyarakat, seperti larangan menyewa lahan pertanian. Ada pula yang berkaitan dengan pendapat-pendapat umum yang ada di tengah-tengah umat, serta dalam 22

Mafahim HT

interaksi-interaksi kaum muslimin dengan bangsa lain, seperti bolehnya negara mengadakan perjanjian-perjanjian mendesak (dalam keadaan lemah), menyampaikan dakwah Islam sebelum memulai peperangan, dan lain-lain. Ada juga yang berkaitan dengan ide-ide, yang tidak lain merupakan hukumhukum syara', misalnya tentang kaidah-kaidah kulliyat dan definisi-definisi syara'. Seperti kaidah kulliyat yang mengatakan:

ٌ‫مَا لَ يَِتمّ اْلوَاجِبُ اِلّ ِبهِ فَ ُهوَ وَاجِب‬ "Suatu kewajiban tidak akan terlaksana tanpa sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib". atau seperti definisi mengenai hukum syara', yaitu:

ِ‫خِطَابُ الشَارِعُ اْلمُتَـعَ ّلقُ ِبأَفْعَالِ اْلعِبَاد‬ "Seruan Pembuat hukum (Allah) berkaitan dengan perbuatan hamba"

yang

Hizbut Tahrir telah mentabani hukumhukum tertentu dalam setiap jenis hukum Mafahim HT

23

tersebut, dan berusaha mendakwahkannya, karena pada hakekatnya juga mengembangkan Islam. Semuanya berupa pandangan-pandangan, pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang Islami dan hanya berasal dari Islam. Tidak ada di dalamnya halhal yang tidak Islami bahkan tidak terpengaruh sedikit pun oleh sesuatu yang berasal dari luar Islam. Bahkan semata-mata Islam, tak berdasarkan pada dasar-dasar selain Islam serta nash-nashnya. Hizbut Tahrir dalam menyampaikan dakwahnya berusaha membangkitkan dan menggerakkan pemikiran. Hizbut Tahrir berpendapat, bahwa dakwah Islam harus tegak atas dasar pembentukan pemikiran, dan wajib mengemban Qiyadah Fikriyah (yaitu kepemimpinan umat berdasarkan pemikiran). Sebab, pemikiran yang jernih dan cemerlanglah (Al-Fikrul Mustanir) yang amat dibutuhkan dalam hidup ini. Dan manusia akan bangkit di atas landasan tersebut, yaitu berupa suatu pemikiran yang mampu memperlihatkan hakekat segala sesuatu sehingga dapat dipahami dengan benar. Suatu pemikiran agar bisa menjadi 24

Mafahim HT

pemikiran yang jernih haruslah berupa pemikiran yang mendalam (Al-Fikrul ‘Amiq). Yang dimaksud dengan pemikiran yang mendalam adalah pandangan yang teliti dan mendalam mengenai segala sesuatu. Adapun pemikiran yang jernih adalah pandangan yang teliti dan mendalam mengenai segala sesuatu, segala hal ikhwalnya, setiap hal yang berkaitan dengannya, dan proses memahaminya (istidlal) untuk mencapai suatu kesimpulan yang benar. Dengan kata lain, pemikiran yang jernih adalah pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang terhadap segala sesuatu. Jadi harus ada pandangan yang teliti, mendalam dan cemerlang mengenai alam, manusia dan hidup1). Juga, harus ada pandangan yang teliti, mendalam, dan cemerlang mengenai manusia dan tingkah lakunya, sehingga dapat ditemukan hukumhukum yang berkaitan dengan hal-hal tersebut. Pandangan yang mendalam mengenai alam, hidup dan manusia akan memberikan pemikiran yang menyeluruh terhadap ketiganya. Pemikiran yang menyeluruh inilah yang akan memecahkan problematika Mafahim HT

25

terbesar (‘uqdatul qubra2)) bagi manusia. Yaitu suatu pemikiran yang akan membentuk aqidah bagi manusia, dan yang akan menentukan tujuan hidupnya, serta tujuan dari aktifitas yang dilakukannya dalam kehidupan ini. Karena manusia hidup di muka bumi (alam semesta), maka selama belum terpecahkan problema terbesar mengenai dirinya sendiri; fenomena hidup yang dialaminya; dan mengenai alam semesta sebagai tempat hidup dan keberadaannya, tentu dia tidak akan mungkin mengetahui sikap apa yang harus ditempuhnya. Karena itulah aqidah menjadi dasar segala sesuatu. Pandangan yang teliti, mendalam lagi cemerlang mengenai alam semesta, hidup dan manusia pasti akan menghantarkan kepada aqidah Islam. Jelas sekali bahwa ketiga unsur ini semuanya merupakan hasil ciptaan AlKhaliq; dan bahwasanya Al-Khaliq inilah satusatunya yang mengendalikan, menjaga, serta mengaturnya sesuai dengan sistem tertentu. Dan bahwasanya kehidupan dunia tidak bersifat azali (tidak berawal dan berakhir) dan tidak abadi. Melainkan ada kehidupan sebelumnya yaitu Allah SWT yang mencipta 26

Mafahim HT

dan yang mengaturnya. Dan ada pula kehidupan sesudahnya yaitu hari Kiamat. Begitu pula aktivitas manusia di dalam kehidupan dunia ini, harus berjalan sesuai dengan perintah Allah dan larangan-Nya. Bahwasanya manusia akan dihisab atas perbuatannya di hari Kiamat nanti yang merupakan hari pertanggungjawaban (yaumul hisab). Berdasarkan hal ini, menjadi kewajiban manusia untuk selalu terikat dengan syari'at Allah yang telah disampaikan oleh junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW kepada manusia. Dengan pandangan yang teliti, mendalam dan jernih terhadap alam, hidup dan manusia, ternyata ketiganya hanyalah berupa materi, bukan ruh. Bukan pula terbentuk dari campuran materi dan ruh. Yang dimaksud dengan materi di sini adalah sesuatu yang dapat dijangkau dan diindera, baik materi itu didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan memiliki masa, atau didefinisikan sebagai tenaga yang dapat menggerakkan, baik tampak maupun tidak. Sebab, yang menjadi topik pembahasan bukanlah apa materi itu, akan tetapi Mafahim HT

27

pembahasan menyangkut alam, hidup dan manusia --yaitu ketiga unsur yang dapat diindera dan dijangkau-- dilihat dari segi keberadaannya sebagai ciptaan Al-Khaliq. Sedangkan yang dimaksud dengan ruh di sini adalah kesadaran manusia akan hubungannya dengan Allah, dan bukan sebagai sirrul hayat (rahasia kehidupan/nyawa). Sebab, yang menjadi topik pembahasan memang bukan ruh dalam arti nyawa, akan tetapi pembahasan mengenai hubungan alam, hidup dan manusia dengan sesuatu yang ghaib, yaitu Al-Khaliq. Disamping mengenai apakah kesadaran terhadap hubungan alam, hidup dan manusia dengan Khaliq-nya itu termasuk bagian dari ketiganya atau bukan. Dengan pandangan yang teliti, mendalam dan jernih terhadap alam, hidup dan manusia --dilihat dari segi pengertian ruh sebagai kesadaran hubungan manusia dengan Allah, bukan dari segi ruh sebagai nyawa-ternyata bahwa kesemuanya berupa materi, bukan ruh, tidak juga terbentuk dari campuran materi dan ruh. Bahwa kesemuanya tergolong materi adalah suatu hal yang nyata, bukan hal yang samar, karena ketiganya dapat dijangkau 28

Mafahim HT

indera. Ketiganya juga bukan ruh, karena ruh adalah kesadaran manusia akan hubungannya kepada Allah SWT. Sementara, kesadaran yang timbul dari manusia terhadap hubungannya dengan Allah ini bukanlah alam, bukan manusia dan bukan pula hidup, melainkan sesuatu di luar itu. Bahwa ketiganya bukan terbentuk dari campuran materi dan ruh; telah jelas pada alam dan hidup. Adapun pada diri manusia, kesadarannya terhadap hubungannya dengan Allah bukanlah asli bagian dari bentukannya, melainkan merupakan sifat baru. Buktinya, orang kafir yang ingkar terhadap Allah tidak akan mengenal hubungannya dengan Allah, kendati demikian ia tetap sebagai manusia. Berdasarkan penjelasan di atas, apa yang dikatakan oleh sebagian orang bahwa manusia itu terbentuk dari campuran materi dan ruh -sehingga apabila materi yang ada padanya mampu mendominasi ruh jadilah ia orang jahat, dan jika ruh yang mendominasi dalam dirinya, jadilah ia orang baik; dan bahwasanya manusia harus berusaha memenangkan ruh atas materi agar menjadi orang baik-- adalah salah. Sebaliknya, manusia bukan terbentuk Mafahim HT

29

dari campuran materi dan ruh. Sebab, ruh yang menjadi pokok bahasan di sini yang ada pada diri manusia yang beriman (percaya) dengan adanya Tuhan adalah adanya efek/pengaruh dari Sang Pencipta (di suatu ruang), apa yang dapat dijangkau berupa tanda-tanda dari hal-hal yang ghaib dan atau adanya sesuatu yang dapat diketahui yang tidak mungkin muncul kecuali dari Allah atau yang semakna dengan ini; yakni hal-hal yang mempunyai arti kerohanian maupun aspek rohani. Sedangkan ruh dengan pengertian kerohanian (ar-ruhaniyyah) atau aspek rohani (an-nahiyah ar-ruhiyah) yang terdapat dalam diri manusia bukanlah berupa sirrul hayat (rahasia hidup/nyawa), bahkan tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup/nyawa. Ruh dalam pengertian ini jelas merupakan sesuatu yang lain. Buktinya bahwa hewan pun mempunyai rahasia hidup/nyawa, tetapi hewan tidak mempunyai kerohanian dan aspek rohani. Tambahan lagi tidak ada seorang pun yang mengatakan bahwa binatang itu terbentuk dari campuran materi dan ruh. Hal ini membuktikan bahwa ruh dalam pengertian ini artinya bukanlah rahasia hidup/nyawa, 30

Mafahim HT

bukan pula muncul dari rahasia hidup/nyawa serta tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup/nyawa. Sebagaimana halnya dengan hewan yang tidak tersusun dari materi dan ruh padahal padanya terdapat nyawa, manusia pun tidak terbentuk dari campuran materi dan ruh, walaupun di dalamnya terdapat rahasia hidup/nyawa. Sebab ruh yang terdapat dalam diri manusia dan yang membedakannya dengan manusia (kafir) lain tidak berkaitan dengan rahasia hidup, dan bukan pula muncul dari rahasia hidup. Akan tetapi pengertiannya adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah. Dengan demikian tidak bisa dikatakan bahwa ruh merupakan bagian dari bentukan manusia dengan alasan bahwa manusia memiliki rahasia hidup/nyawa. Selama ruh yang menjadi pokok bahasan dalam masalah ini adalah kesadaran hubungan manusia dengan Allah dan tidak ada kaitannya dengan rahasia hidup/nyawa, maka jelaslah bahwa ruh bukan bagian dari bentukan manusia. Karena kesadaran hubungan dengan Allah tidak termasuk bagian dari bentukan manusia, melainkan sifat baru yang datang dari unsur luar dengan alasan Mafahim HT

31

bahwa orang kafir yang ingkar terhadap adanya Allah, tidak akan mengenal hubungannya dengan Allah, walaupun begitu tetap saja ia disebut sebagai manusia. Meskipun alam semesta, manusia dan hidup merupakan materi, bukan ruh, tetapi ketiganya memiliki aspek kerohanian yaitu keberadaannya sebagai ciptaan Al-Khaliq. Itulah hubungan ketiganya sebagai makhluk dengan Allah sebagai Khaliq-nya. Alam semesta adalah materi. Keberadaanya sebagai ciptaan Al-Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari manusia. Manusia adalah materi. Keberadaanya sebagai ciptaan Al Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari oleh manusia. Demikian pula halnya dengan hidup adalah materi. Keberadaanya sebagai ciptaan Al Khaliq merupakan aspek rohani yang harus disadari oleh manusia. Jadi, aspek kerohanian datangnya bukan dari zat/unsur alam, hidup dan manusia itu sendiri, melainkan dari keberadaan ketiganya sebagai makhluk bagi Al Khaliq yang menciptakannya, yaitu Allah SWT. Hubungan inilah yang dimaksud dengan aspek kerohanian (AnNahiyah Ruhiyah). 32

Mafahim HT

Mengenai arti ruh, orang-orang yang beriman dengan adanya Tuhan berulang kali menggunakan lafadz ruh, kerohanian dan aspek rohani. Sebenarnya yang dimaksud mereka adalah adanya pengaruh dari sang Pencipta di suatu ruang/tempat; atau apa yang dapat disaksikan dari tanda-tanda yang berkaitan dengan hal-hal yang ghaib; atau keberadaan sesuatu yang dapat diketahui, yang tidak mungkin muncul kecuali dari Allah; atau yang semakna dengan hal ini. Semua makna yang mereka sebut sebagai ruh (Ar Ruh), kerohanian (Ar Ruhaniyyat) dan aspek rohani (an-nahiyah ar-ruhiyah) serta yang sejenisnya ini merupakan makna-makna yang umum, kabur dan belum jelas. Makna-makna ini memang nyata dalam pikiran mereka, juga memiliki fakta di luar pikiran mereka yang tidak lain berupa sesuatu perkara ghaib yang terjangkau keberadaannya tetapi tidak terjangkau dzatnya, serta memiliki pengaruh terhadap segala sesuatu. Realitas ini benarbenar mereka rasakan dengan inderanya. Namun, mereka tidak mampu mendefinisikannya, bahkan hal tersebut bagi mereka amat kabur. Mafahim HT

33

Sebagai akibat ketidak-jelasan maknamakna ini muncullah kekacauan dalam pandangan mereka. Ada sebagian yang mencampur adukkan ruh tadi dengan ruh yang berarti nyawa/rahasia hidup. Kemudian mereka katakan bahwa manusia terbentuk dari campuran materi dan ruh (sebagaimana ajaran spiritualisme). Karena merasakan adanya ruh sebagai nyawa/rahasia kehidupan dalam dirinya dan adanya ruh dalam arti kerohanian dan aspek rohani, lalu mereka mengira bahwa ruh dengan pengertian kerohanian atau aspek rohani sama dengan ruh yang berarti nyawa atau muncul dari nyawa. Mereka lupa bahwa pada hewan pun terdapat ruh yang berarti nyawa. Kendati demikian, hewan tidak mempunyai kerohanian atau aspek rohani. Selain itu akibat dari ketidak-jelasan pengertian ini adalah penggunaan istilah kerohanian untuk kepuasan jiwa yang dirasakan manusia sebagai kerohanian, sehingga ada orang yang mengatakan tentang dirinya "Aku telah merasakan suatu kerohanian yang tinggi", atau "Si fulan mempunyai suatu kerohanian yang agung". Akibat lainnya adalah tatkala 34

Mafahim HT

seseorang mendatangi suatu tempat kemudian ia merasakan kepuasan/ketenangan di tempat itu, maka tempat itu dikatakan mengandung aspek rohani atau kerohanian. Ada juga sementara orang akibat ketidakjelasan ini pada akhirnya melaparkan diri, menyengsarakan jasadnya dan menelantarkan tubuhnya dengan maksud untuk memperkuat ruhnya. Semua ini muncul karena tidak adanya kejelasan arti ruh, kerohanian dan aspek rohani. Kasus ini mirip dengan pengertian akal yang menjadi polemik banyak orang di masa lalu. Sesungguhnya akal adalah lafadz yang mempunyai makna memahami dan memberikan penilaian (menghukumi) sesuatu, dan segala perkara yang dicakup oleh makna ini. Akan tetapi orang-orang terdahulu menggambarkan segala sesuatu berupa memahami dan yang lainnya itu merupakan efek dari akal, bukan akal itu sendiri. Akal memang memiliki fakta pada mereka, mereka pun merasakan adanya, akan tetapi mereka tidak mampu menjelaskan hakikatnya. Apa itu akal tidak gamblang bagi mereka. Akibat ketidak jelasan ini muncul perbedaan Mafahim HT

35

pandangan dan kekacauan gambaran tentang tempat dan keberadaan akal sehingga pengertian akal bagi mereka menjadi bercampur baur. Sebagian orang mengatakan bahwa akal itu tempatnya di dalam hati; sebagian lagi mengatakan ada di kepala; yang lain mengatakan bahwa akal adalah otak; bahkan ada pula diantara mereka yang berpendapat lain dari pendapat-pendapat tadi. Dalam perkembangannya, pada awal abad ini para pemikir berusaha menjelaskan arti dan definisi akal. Namun yang muncul adalah kekacauan akibat tidak jelasnya pemahaman terhadap fakta akal. Sebagian mengatakan bahwa akal adalah refleksi otak terhadap materi; sebagian lagi mengatakan sebaliknya, bahwa akal adalah refleksi materi terhadap otak. Sampai pada akhirnya ditemukan definisi yang benar bahwa akal adalah pemindahan gambaran suatu kenyataan (obyek) ke dalam otak melalui panca indera, dan pengetahuan sebelumnya tentang kenyataan tersebut menafsirkan fakta itu. Dengan definisi ini sampailah pada pengertian akal yang sebenarnya. Demikian pula halnya dengan masalah 36

Mafahim HT

ruh, kerohanian dan aspek rohani. Para pemikir harus berusaha mencari kejelasan arti ruh, kerohanian dan aspek rohani serta perkara senada dengan ini sehingga otak dapat memahaminya dan memahami hakikatnya. Sebab, ruh, kerohanian dan aspek rohani memiliki suatu kenyataan. Dan segala sesuatu yang dapat diindera dan disaksikan oleh manusia ternyata ada hal-hal yang bersifat materi yang dapat dirasakan bahkan dapat diraba, misalnya roti. Kadang-kadang ada juga sesuatu yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti pelayanan dokter. Malah ada juga hal-hal yang bersifat maknawi (bukan materi) yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti kebanggaan atau pujian. Dan ada juga hal-hal yang bersifat rohani (ruhiy) yang dapat dirasakan tetapi tidak dapat diraba, seperti takut kepada Allah dan berserah diri ke padaNya di saat-saat susah. Ketiga makna ini (materi, maknawi, dan ruhiy) semuanya memiliki kenyataan yang dapat dirasakan oleh manusia, yang tentu saja antara satu dengan lainnya berbeda. Jadi ruh, kerohanian dan aspek rohani merupakan kenyataan/realita yang jelas yang dapat Mafahim HT

37

diindera/dirasakan. Karenaitu, kenyataan ini harus didefinisikan agar dapat dijelaskan kepada masyarakat sebagaimana halnya dengan akal yang sudah didefinisikan dan menjadi jelas bagi masyarakat. Dengan pandangan yang teliti mengenai realita ruh, kerohanian dan aspek rohani jelaslah bahwa ketiganya tidak akan terdapat pada diri seorang atheis yang mengingkari adanya Allah. Ketiganya hanya akan ada pada diri orang-orang yang telah beriman terhadap adanya Tuhan. Ini berarti bahwa ruh, kerohanian dan aspek rohani berkaitan dengan keimanan kepada Allah. Ada tatkala iman ini bersemayam dalam diri seseorang dan hilang ketika iman ini tidak ada. Iman terhadap adanya Allah adalah pembenaran yang pasti dengan seyakin-yakinnya bahwa segala sesuatu adalah makhluk bagi Al Khaliq yang telah menciptakannya. Dengan demikian yang menjadi pokok bahasan adalah segala sesuatu dilihat dari segi bahwasanya segala sesuatu itu adalah makhluk yang diciptakan oleh Al Khaliq. Pengakuan bahwa segala sesuatu diciptakan oleh suatu Khaliq adalah Iman, dan pengingkaran bahwa segala sesuatu itu 38

Mafahim HT

makhluk bagi suatu Khaliq berarti kufur. Dalam keadaan mengakui serta membenarkan secara pasti itu terdapatlah aspek rohani. Dan yang mewujudkan aspek ini adalah pembenaran tersebut. Pada saat tidak adanya pengakuan bahkan ingkar, maka tidak akan didapati aspek rohani. Yang menjadikan tidak adanya aspek rohani adalah pengingkarannya tersebut. Ringkasnya, aspek rohani adalah kenyataan bahwa segala sesuatu merupakan mahkluq yang diciptakan oleh Al Khaliq. Dengan kata lain, aspek rohani adalah hubungan antara segala sesuatu dengan Al Khaliq dilihat dari segi penciptaan dan pembentukannya dari tidak ada. Hubungan ini --yaitu bahwa segala sesuatu diciptakan oleh Al Khaliq-- jika disadari oleh akal, maka akan melahirkan perasaan pengagungan terhadap Al Khaliq, rasa takut kepada-Nya dan rasa untuk mensucikanNya. Kesadaran yang melahirkan perasaan terhadap adanya hubungan dengan Allah, inilah yang disebut Ruh. Dengan kata lain ruh adalah kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Maka jelaslah apa yang dimaksud dengan makna ruh dan aspek rohani. Makna ruh dan Mafahim HT

39

aspek rohani ini bukanlah kata-kata yang memiliki pengertian bahasa (lughawi) yang dirujuk dari segi bahasa saja, dan bukan pula istilah yang dapat dipakai oleh setiap golongan sekehendaknya, melainkan makna yang memiliki realitas tertentu, kendati diungkapkan dengan berbagai lafadz. Jadi, pembahasannya adalah mengenai realitas makna ini, bukan dilihat dari segi makna lafadznya menurut bahasa. Realita makna ini adalah seperti yang telah dijelaskan di atas, yaitu bahwasanya ruh dilihat dari aspek rohani pada diri manusia adalah kesadaran akan hubungannya dengan Allah. Sedangkan aspek rohani pada alam, manusia dan hidup adalah kenyataan semua itu merupakan makhluk yang diciptakan oleh Al Khaliq. Pada saat lafazh-lafazh ini digunakan maka yang dimaksud adalah makna-makna yang disebut di atas, sebab inilah realita yang terindera yang didasarkan pada bukti-bukti. Dan realita yang terindera ini terdapat di dalam pikiran (manusia) dan terdapat pula kenyataannya di luar pikiran; yang dimiliki oleh manusiamanusia yang beriman akan adanya Tuhan, Pencipta segala sesuatu. 40

Mafahim HT

Adapun yang dimaksud ruh sebagai rahasia hidup/nyawa telah jelas keberadaannya secara pasti berdasarkan nash Al-Qur'an yang qath'i. Iman terhadap adanya ruh demikian merupakan hal yang wajib ada, dan dalam hal ini bukan menjadi topik pembahasan. Lafadz ruh adalah lafadz yang bermakna ganda/homonim (musytarak) seperti kata 'ain’ yang mempunyai beberapa arti. 'Ain dapat diartikan dengan mata air, alat penglihatan, atau mata-mata, bisa juga berarti mata uang emas dan perak dan sebagainya. Demikian pula halnya dengan ruh, ia memiliki beberapa arti. Dalam Al-Qur'an terdapat lafadz ruh dengan arti yang berbeda-beda. Ada ruh yang bermakna nyawa/rahasia hidup, seperti:

َ‫سأَلُوَنكَ َعنِ الرّوحِ قُلِ الرّوحُ مِنْ َأمْرِ رَبّي َومَا أُوتِيُتمْ ِمن‬ ْ َ‫وَي‬ ً‫اْلعِ ْلمِ إِلاّ قَلِيلا‬ "(Dan) mereka bertanya kepadamu tentang ruh (nyawa). Katakanlah: 'ruh itu termasuk urusan rabbku, dan tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit'". (QS Al Isra': 85). Mafahim HT

41

Juga terdapat ruh yang bermakna Jibril seperti pada ayat: "Dia (Al-Qur'an) dibawa turun oleh Arruhul Amin (Jibril), dan diilhamkan kedalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi orang yang memberi peringatan". (QS Asy-syu'araa: 193194). Juga terdapat lafadz ruh syariah seperti pada ayat:

yang

bermakna

‫وَ َكذَِلكَ َأوْحَيْنَا إِلَ ْيكَ رُوحًا ِمنْ َأمْرِنَا‬ "(Dan) demikianlah kami wahyukan kepadamu (Muhammad) ruh (syari'at) dengan perintah Kami". (Asy-syura: 52). Seluruh makna-makna yang disebutkan diatas bukanlah yang dimaksud dengan lafadz aspek ruhiyah atau sesuatu yang bersifat rohani atau pemisahan materi dari ruh ataupun yang sejenisnya. Begitu pula tidak ada hubungan antara pengertian ruh yang telah dibahas dengan seluruh makna yang terdapat dalam Al-Qur'an. Yang dimaksud 42

Mafahim HT

dengan ruh menurut penggunaannya yang akhir ini adalah arti yang berkaitan dengan penciptaan materi, dilihat dari pandangan bahwa segala sesuatu telah diciptakan oleh Al Khaliq, yaitu Allah SWT serta kesadaran manusia terhadap hubungan segala sesuatu itu dengan Khaliqnya. Pandangan yang teliti, mendalam dan jernih mengenai manusia, menunjukkan bahwa manusia hidup di dalam dua lingkaran. Yang pertama adalah lingkaran yang menguasai manusia dan yang lain adalah lingkaran yang dikuasai manusia. Lingkaran yang menguasai manusia adalah lingkaran yang di dalamnya berlaku Nizhamul wujud (Sunnatullah/hukum alam) atas manusia. Manusia berjalan bersama alam dan kehidupan sesuai dengan suatu aturan tertentu yang tidak berubah. Karenaitu, dijumpai beberapa kejadian menimpa manusia di dalam lingkaran ini, yang terjadi di luar keinginannya. Di sini, manusia musayyar (dikendalikan), bukan mukhayyar (diberi pilihan). Misalnya manusia lahir ke dunia ini bukan atas kehendaknya dan ia akan meninggalkannya, juga bukan atas Mafahim HT

43

kehendaknya; dalam hal ini ia tidak mampu melepaskan diri dari hukum Alam. Karenaitulah manusia tidak akan dimintai pertanggung-jawaban atas perbuatanperbuatan yang berasal dari dirinya sendiri atau yang menimpanya, tetapi tercakup di dalam lingkaran ini. Adapun lingkaran yang dikuasai oleh manusia, adalah lingkaran dimana manusia bebas berjalan di dalamnya, sesuai dengan sistem yang dipilihnya; apakah itu syari'at Allah atau syari'at yang lainnya. Di dalam lingkaran ini, terjadi perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia atau yang menimpanya sesuai dengan keinginannya. Misalnya, ia berjalan, makan, minum atau pergi pada saat yang diinginkannya, dan iapun mampu untuk tidak melakukan perbuatanperbuatan itu pada saat yang diinginkannya pula. Ia bebas untuk menentukannya. Karena itu, ia akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan-perbuatan yang dilakukannya di dalam lingkaran ini. Manusia senantiasa mencintai sesuatu yang berasal darinya atau yang menimpanya di dalam lingkaran yang dikuasainya ataupun 44

Mafahim HT

yang menguasainya. Begitu pula manusia kadang-kadang membenci sesuatu di dalam kedua lingkaran tersebut. Maka ia berusaha menafsirkan kecintaan dan kebenciannya ini dengan predikat baik dan buruk (khair dan syarr). Dan manusia cenderung menggolongkan apa yang disenanginya sebagai baik dan apa yang dibencinya sebagai buruk. Demikian juga terhadap beberapa perbuatan dikatakan baik dan perbuatan lain dikatakan buruk atas dasar kemanfaatan yang didapatnya atau kemudharatan yang dijumpainya. Pada hakekatnya perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia di dalam lingkaran jangkauannya, tidak diberikan predikat baik atau buruk karena perbuatannya itu sendiri. Sebab semua itu hanya sekedar perbuatan saja, tanpa mempunyai nilai baik atau buruk dilihat dari dzat perbuatannya. Akan tetapi yang menjadikannya baik atau buruk ialah didasarkan pada unsur luar (di luar perbuatan). Membunuh orang, misalnya, tidak dikatakan baik maupun buruk, melainkan dikatakan pembunuhan saja. Adanya sifat baik atau buruk pada pembunuhan, tidak lain Mafahim HT

45

karena terdapatnya unsur luar. Karenaitu membunuh kafir harbi (orang kafir yang memerangi kaum muslimin) adalah baik, sedangkan membunuh warga negara sipil (pemerintah Islam) atau yang negaranya mengadakan perjanjian dengan pemerintahan Islam (kafir mu'ahid) atau membunuh orang yang meminta perlindungan adalah buruk. Pembunuhan pada contoh pertama mendapatkan imbalan. Sedangkan yang kedua akan mendapatkan sanksi, walaupun kedua perbuatan itu sejenis dan tidak berbeda. Dalam hal ini baik dan buruk itu datangnya dari unsur-unsur yang mendorong manusia untuk melakukan suatu perbuatan dan tujuan yang hendak dicapai dari perbuatan tersebut. Hal-hal yang mendorong manusia untuk berbuat sesuatu dan tujuan yang hendak dicapainya adalah dua hal yang menentukan predikat perbuatan itu sebagai baik atau buruk; apakah itu disukainya maupun tidak, mendatangkan manfaat atau malah menimbulkan mudharat. Karenaitu adalah suatu keharusan bagi kita untuk mencari unsur-unsur yang mampu mendorong manusia melakukan suatu 46

Mafahim HT

perbuatan, disamping mencari tujuan yang hendak dicapainya, sehingga dengan demikian kita akan memahami kapan suatu perbuatan itu dikatakan baik, kapan dikatakan buruk. Untuk mengetahui unsur-unsur pendorong serta tujuan yang hendak dicapainya ternyata bergantung pada jenis aqidah yang diyakini oleh manusia itu sendiri. Bagi seorang muslim yang telah beriman kepada Allah SWT serta beriman bahwasanya Allah telah mengutus nabi Muhammad SAW dengan syari'at Islam yang menjelaskan perintah-perintah serta larangan Allah, dan mengatur hubungannya dengan Allah, atau dengan dirinya sendiri ataupun dengan manusia yang lainnya, maka orang muslim yang meyakini hal ini wajib menyesuaikan seluruh amal perbuatannya dengan perintah dan larangan Allah. Tujuan yang hendak diraih dari penyesuaian ini, adalah mendapatkan ridha Allah SWT. Karenaitu setiap perbuatan disifati apakah Allah memurkainya ataukah Dia meridlainya. Apabila amal perbuatan tersebut mengundang murka Allah —akibat menyalahi perintahperintahNya serta mengikuti laranganNya— maka amal perbuatan tersebut dikategorikan Mafahim HT

47

buruk. Dan apabila amal perbuatan tersebut mendatangkan ridha Allah melalui ketaatan terhadap perintah-perintahNya, serta menjauhi laranganNya maka amal perbuatan itu dikategorikan baik. Atas dasar hal ini kita dapat mengatakan bahwa predikat baik dalam penilaian seorang muslim adalah sesuatu yang diridhai Allah SWT; sedangkan buruk adalah sesuatu yang dimurkai Allah SWT. Hal ini berlaku atas seluruh perbuatan yang dilakukan oleh manusia atau yang terjadi menimpanya dalam lingkaran yang dapat dikuasainya. Adapun perbuatan-perbuatan yang dilakukan manusia atau yang menimpanya dalam lingkaran yang menguasainya, maka manusia memberikan predikat baik atau buruk sesuai dengan kecintaan dan kebenciannya, atau kemanfaatan dan kemudharatannya. Hal ini diungkapkan oleh Allah dengan firmanNya:

‫)وَإِذَا‬20(‫سهُ الشّرّ جَزُوعًا‬ ّ َ‫)إِذَا م‬19(‫إِنّ اْلِْنسَانَ خُ ِلقَ هَلُوعًا‬ )21(‫سهُ اْلخَيْرُ مَنُوعًا‬ ّ َ‫م‬ "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa 48

Mafahim HT

kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir." (QS Al Ma'arij: 19-21)

ٌ‫شدِيد‬ َ َ‫خيْرِ ل‬ َ ْ‫وَإِّنهُ لِحُبّ ال‬ "(Dan) Sesungguhnya dia sangat bakhil karena cintanya kepada harta." (QS Al 'Adiyaat: 8) Akan tetapi predikat baik-buruk ini bukan merupakan sifat sesungguhnya dari perbuatan-perbuatan tersebut. Sebab, adakalanya seseorang melihat sesuatu itu baik padahal buruk, dan sebaliknya kadang-kadang melihat sesuatu itu buruk padahal baik. Tepatlah firman Allah SWT:

‫حبّوا شَيْئًا‬ ِ ُ‫َوعَسَى َأنْ تَكْ َرهُوا شَيْئًا َو ُهوَ خَيْرٌ لَ ُكمْ َوعَسَى أَنْ ت‬ )216(َ‫َوهُوَ شَرّ لَ ُكمْ وَال ّلهُ َيعْ َلمُ وَأَْنُتمْ لَا َتعْ َلمُون‬ "Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu padahal itu amat buruk bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui." (QS Al Baqarah: 216) Mafahim HT

49

Pandangan yang teliti, mendalam dan jernih terhadap perbuatan manusia menunjukkan bahwa perbuatan manusia dilihat dari segi dzatnya tanpa dilihat lagi faktor-faktor dan pertimbangan-pertimbangan lain adalah materi belaka. Keberadaannya sebagai materi berarti tidak mempunyai predikat terpuji atau tercela (hasan wal qabih) karena dzatnya, melainkan didapat dari faktorfaktor luar atau pertimbangan-pertimbangan lain. Pertimbangan lain ini bisa berasal dari akal saja atau syari'at saja; bisa juga berasal dari akal yang dibenarkan syara', atau berasal dari syara' sedangkan akal yang memperkuatnya. Penilaian terpuji atau tercela yang didasarkan pada akal semata, jelas merupakan hal yang bathil. Sebab pendapat akal memungkinkan terjadinya perbedaan, perselisihan pendapat dan kontradiksi. Ukuranukuran akal yang menentukan terpuji atau tercelanya sesuatu dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya, bahkan berbeda-beda di setiap kurun waktu. Apabila ukuran terpuji dan tercela itu diserahkan kepada akal, maka 50

Mafahim HT

sesuatu yang tercela bagi sekelompok orang mungkin menjadi terpuji bagi yang lain. Bahkan kadang-kadang sesuatu yang sama dipandang terpuji dalam suatu kurun, tapi dipandang tercela di lain kurun. Islam sebagai suatu mabda yang universal dan abadi mengharuskan adanya sifat perbuatan sebagai terpuji dan tercela berlaku atas seluruh manusia di setiap zaman. Karenaitu penjelasan suatu perbuatan apakah terpuji ataukah tercela harus ditentukan oleh kekuatan yang ada di luar akal, yakni berasal dari Syara'. Dengan demikian predikat suatu perbuatan manusia dikatakan terpuji atau tercela datangnya harus dari syara'. Atas dasar inilah perbuatan khianat dikatakan tercela; menepati janji dikatakan terpuji; berbuat fasik adalah tercela; sedangkan bertakwa (pada Allah) adalah terpuji; membelot dari Daulah Islam itu tercela; sedangkan meluruskan kesalahan-kesalahan Daulah apabila menyimpang adalah terpuji; semua ini karena syara' telah mejelaskan demikian. Adapun menjadikan syara' sebagai dalil Mafahim HT

51

terhadap apa yang telah ditunjuk oleh akal, maka hal ini berarti menjadikan akal sebagai tolok ukur terhadap nilai terpuji dan tercelanya sesuatu, dan hal ini telah kita jelaskan kebathilannya. Akan halnya menjadikan akal sebagai dalil terhadap sesuatu yang telah ditunjuk oleh syara', maka hal ini berarti menjadikan akal sebagai dalil terhadap hukum syara', padahal hukum syara' dalilnya adalah nash, bukan akal. Fungsi akal dalam hal ini adalah untuk "memahami syara'", bukan menjadikannya sebagai dalil terhadap hukum syara'. Dengan demikian terpuji dan tercela semata-mata harus berdasarkan syara' saja, bukan akal. Perbedaan antara predikat suatu perbuatan sebagai baik atau buruk (khair atau syarr) dengan predikat terpuji atau tercela (qabih atau hasan) adalah bahwa predikat baik atau buruk tidak lain ditentukan oleh akibat perbuatan tersebut menurut pandangan manusia, juga ditentukan dari segi melakukantidaknya perbuatan tersebut. Seseorang, biasa menyebut suatu perbuatan berbahaya atau yang dibenci dengan sebutan buruk. 52

Mafahim HT

Sedangkan sesuatu yang memberi manfaat dan disenangi/dicintai sebagai sesuatu yang baik; berdasarkan dampak perbuatan tersebut bagi dirinya, tanpa memperhatikan lagi predikat terpuji dan tercela malah tidak dijadikan sebagai perhitungannnya. Berdasarkan pandangan seperti inilah seseorang melakukan perbuatan ataumeninggalkannya. Untuk meluruskan pandangan seperti ini, perlu dikatakan bahwa suatu perbuatan tidak dapat disebut baik dan buruk menurut benci ataupun cinta, manfaat ataupun madharat. Yang menjadi ukuran baik buruk adalah ridha Allah SWT. Jadi, pembahasan dalam masalah ini adalah dilihat dari segi tolok ukur baik dan buruk yang biasa digunakan orang, bukan dari segi perbuatan itu sendiri. Mengenai sifat suatu perbuatan disebut terpuji atau tercela, di pandang berdasarkan penilaian manusia terhadap perbuatan tersebut, di samping berdasarkan sanksi dan imbalan terhadap perbuatan tersebut. Manusia memberi wewenang kepada dirinya sendiri untuk menilai perbuatannya apakah perbuatan tersebut disebut terpuji dan tercela dengan Mafahim HT

53

menganalogkannya terhadap benda-benda. Pada saat mendapati dirinya mampu menyatakan terhadap sesuatu benda yang pahit maka benda tersebut disebut tercela, dan terhadap sesuatu benda yang manis dikatakannya sebagai terpuji; begitu pula terhadap bentuk yang menyeramkan disebutnya sebagai tercela dan terhadap yang elok dan cantik disebutnya terpuji; ia berpendapat bahwa ia mampu pula menilai/menghukumi bahwa kejujuran itu terpuji dan dusta itu tercela, memenuhi janji itu terpuji sedangkan khianat itu tercela. Selanjutnya manusia memberikan wewenang kepada dirinya sendiri untuk menghukumi atas perbuatan-perbuatan apakah terpuji atau tercela tanpa memandang persoalan baik dan buruk. Maka dalam hal ini ia tidak dijadikan sebagai perhitungan. Berdasarkan pada penilaiannya ini dibuatlah sanksi-sanksi terhadap perbuatan yang tercela dan imbalan bagi perbuatan yang terpuji. Untuk meluruskan anggapan di atas tadi, perlu dijelaskan bahwasanya suatu perbuatan tidak dapat dianalogkan dengan benda, karena benda secara inderawi dapat dirasakan; pahit, 54

Mafahim HT

manis, seram, elok/cantik, sehingga memungkinkannya untuk menghukumi. Hal ini berbeda dengan perbuatan. Tidak terdapat didalam perbuatan sesuatu pun yang dapat diindra manusia hingga ia dapat menghukuminya sebagai tercela atau terpuji. Karenaitu, manusia sama sekali tidak mungkin menentukan perbuatan tersebut terpuji atau tercela semata-mata berdasarkan perbuatan itu sendiri. Karenanya, haruslah ia mengambil hukum tersebut dari selainnya, yaitu Allah SWT. Jadi, pembahasan dalam masalah ini ditinjau dari segi penentuan hukum terhadap suatu perbuatan, bukan dari segi analoginya. Juga pembahasan di sini berkaitan dengan sanksi atau pahala terhadap suatu perbuatan, bukan dari segi melakukan perbuatan atau tidak. Dengan demikian terdapat perbedaan antara terpuji atau tercela dengan baik dan buruk. Keduanya merupakan pembahasan yang terpisah satu sama lain. Demikianlah mengenai predikat suatu perbuatan. Akan halnya dengan tujuan perbuatan, maka sudah barang tentu setiap orang yang melakukan suatu perbuatan memiliki tujuan yang melatar belakanginya. Mafahim HT

55

Tujuan inilah yang biasadisebut sebagai qimatul 'amal (nilai perbuatan). Oleh sebab itu, adalah suatu hal yang pasti bahwa setiap perbuatan memiliki nilai tertentu yang ingin dicapai oleh seseorang tatkala ia melakukan suatu perbuatan --kalau tidak, tentulah perbuatan itu akan sia-sia. Sungguh tidak pantas seseorang melakukan suatu perbuatan sia-sia tanpa ada tujuannya. Bahkan sebaliknya Ia harus memperhatikan tercapainya nilai-nilai perbuatan yang melatarbelakanginya. Nilai suatu perbuatan mungkin bersifat materi, seperti aktifitas-aktifitas dalam bidang perdagangan, pertanian, industri dan sejenisnya. Dan maksud melakukan perbuatan ini adalah mendapatkan hasil berupa materi, yaitu memperoleh keuntungan. Nilai ini memiliki peranan tersendiri dalam kehidupan. Nilai suatu perbuatan mungkin pula bersifat kemanusiaan seperti menolong orang yang tenggelam, ataupun orang yang berada dalam kesulitan. Maka dalam hal ini, yang menjadi tujuan perbuatan tersebut adalah meyelamatkan manusia, tanpa melihat warna kulit, ras maupun agamanya, atau 56

Mafahim HT

pertimbangan-pertimbangan lain selain kemanusiaan. Adakalanya nilai suatu perbuatan bersifat akhlaqiyah, seperti jujur, amanah, ataupun rahmah (kasih sayang). Maksud kesemuanya ini adalah aspek khuluqiyah, tanpa memperhatikan segi keuntungan materi ataupun kemanusiaan; sebab kadangkala sifat khuluq ini terdapat pada selain manusia seperti sayang terhadap hewan dan burung-burung, atau bisa juga perbuatan yang bersifat khuluqiyah ini ternyata malah mendatangkan kerugian materi. Namun demikian untuk mencapai nilai akhlaqiyah adalah suatu keharusan. Adakalanya nilai suatu perbuatan bersifat ruhiyah seperti ibadat; dalam hal ini kegiatan ibadah tidak dimaksudkan untuk mendapatkan keuntungan materi, tidak untuk kemanusiaan dan bukan soal-soal khuluqiyah, melainkan semata-mata untu beribadah. Karenaitu, harus selalu dijaga pencapaian nilai ruhiyahnya ini tanpa memperhatikan lagi nilai-nilai lainnya. Demikianlah mengenai nilai bagi berbagai macam perbuatan yang diusahakan setiap orang untuk merealisirnya pada saat melakukan berbagai macam perbuatan. Mafahim HT

57

Ukuran bagi kelompok-kelompok masyarakat dalam kehidupan dunia selalu sesuai dengan nilai-nilai di atas dan atau sesuai dengan realisasi nilai-nilai tersebut di dalam suatu masyarakat, serta jaminan atas pelaksanaannya yang akan mendatangkan kemakmuran dan ketenangan. Karenaitu setiap muslim harus berusaha sekuatnya mendapatkan nilai-nilai yang menjadi tujuan dari setiap perbuatan yang hendak dilakukannya pada saat melakukan perbuatan tersebut, sehingga dapat berperan dalam mensejahterakan dan mengangkat harkat masyarakat, disamping untuk dirinya. Nilai-nilai semacam ini tidak memiliki kelebihan atau kesamaan berdasarkan nilai (dzat)-nya sendiri, sebab di dalamnya tidak terdapat ciri-ciri yang dapat dijadikan patokan untuk mengutamakan atau menyamakan satu dengan yang lainnya; melainkan merupakan hasil yang menjadi tujuan manusia di saat melakukan suatu perbuatan. Karenaitu kita tidak bisa meletakkannya secara bersamasama pada suatu timbangan atau diukur secara bersama-sama dalam satu ukuran. Sebab, nilai-nilai itu berbeda-beda, kalau tidak 58

Mafahim HT

malah bertolak belakang. Namun demikian manusia dapat memilih di antara nilai-nilai tersebut dengan alasan untuk memilih yang paling utama, sekalipun tak ada kesamaan dan keutamaan antara satu dengan yang lain. Meskipun demikian nyatanya banyak yang tidak merasa puas dengan hal ini, sehingga tetap mengutamakan atau menyamakan di antara keduanya. Namun, pengutamaan atau penyamaan diantara nilai-nilai tersebut bukanlah dibangun diatas nilai itu sendiri melainkan didasarkan pada apa yang diperoleh dari nilai tersebut. Akibatnya, orang menetapkan pengutamaan dan penyamaan antar nilai-nilai itu didasarkan pada dirinya sendiri dan pada manfaat atau mudharat yang dibawa nilai tersebut baginya. Pada akhirnya mereka menjadikan dirinya dan apa yang didapatkannya dari nilai-nilai tersebut sebagai ukuran. Sehingga yang terjadi di sini sebenarnya adalah pengutamaan antar dampak-dampak dari nilai-nilai tersebut terhadap dirinya, bukan atas dasar nilai-nilai itu sendiri. Dan Karenakesiapan manusia dalam menerima dampak dari nilai-nilai itu berbeda, maka pengutamaan mereka antar Mafahim HT

59

nilai-nilai tersebut pun berbeda pula. Sebagai contoh, orang-orang yang perasaan rohaniahnya lebih dominan dan berkecenderungan untuk selalu mencapainya serta mengabaikan nilai materi, akan lebih mengutamakan nilai ibadat dan tidak mementingkan nilai materi. Karena itulah mereka mengabaikan kehidupan dunia, sebab kehidupan dunia bersifat materi. Dan karena tindakan dan pandangan merekalah akhirnya terjadi kemunduran kehidupan di bidang materi; disamping keterbelakangan kehidupan masyarakat, termasuk timbulnya kemalasan dan kebodohan di dalamnya. Sementara orang-orang yang kecenderungan materinya lebih dominan dan selalu dikuasai oleh hawa nafsu syahwat, serta mengabaikan nilai-nilai ruhiyah, akan lebih mengutamakan nilai materi dan berusaha untuk mendapatkannya. Karenaitu mereka memiliki banyak sekali cita-cita (anganangan). Dan karena tindakan mereka dan pandangan merekalah terjadi kekacauan di tengah-tengah masyarakat di mana mereka hidup, termasuk timbulnya berbagai kejahatan dan kerusakan. 60

Mafahim HT

Dengan demikian merupakan suatu kesalahan apabila manusia dibiarkan menentukan nilai-nilai ini. Seharusnya nilainilai itu ditentukan oleh Dzat yang menciptakan manusia, yaitu Allah SWT. Dari sini maka yang menentukan nilai-nilai bagi manusia, serta menentukan waktu pelaksanannya tidak lain adalah syara', dan atas dasar syara'lah manusia mengambilnya. Syara' telah menjelaskan pemecahan berbagai problematika kehidupan melalui perintah-perintah dan larangan Allah SWT, serta telah mewajibkan kepada manusia agar menempuh kehidupan ini sesuai dengan perintah-perintah dan larangan-larangan ini. Begitu pula syara' telah menjelaskan perbuatan-perbuatan yang akan menghasilkan nilai ruhiyah, berupa ibadah-ibadah yang diwajibkan dan disunnahkan, sebagaimana halnya telah menjelaskan sifat-sifat perbuatan yang akan melahirkan nilai-nilai akhlaq. Dan syara' membiarkan manusia meraih nilai-nilai materi yang diperlukannya untuk memenuhi kebutuhan pokoknya (primer), bahkan kebutuhan-kebutuhan sekunder sesuai dengan peraturan tertentu yang telah dijelaskan syara' Mafahim HT

61

kepadanya dan diperintahkan agar manusia tidak menyimpang dari aturan ini. Sementara tugas manusia tidak lain hanyalah berupaya untuk meraih nilai-nilai ini sesuai dengan perintah dan larangan Allah; serta mengukurnya sesuai dengan ukuran yang telah dijelaskan oleh syara'. Dengan demikian akan tercapailah di dalam masyarakat nilai-nilai yang sesuai dengan ukuran yang diperlukannya sebagai suatu masyarakat yang khas. Kemudian masyarakat tersebut diberi penilaian berdasarkan terealisirnya nilai-nilai tadi. Karenaitu harus dilakukan usaha untuk mencapai nilai-nilai yang melahirkan masyarakat Islam sesuai pandangan Islam dalam kehidupan. Atas dasar ini maka sesungguhnya perbuatan manusia itu adalah materi dan dilakukan oleh seseorang dengan langkahlangkah yang juga bersifat materi. Meskipun demikian pada saat melakukannya ia harus menyadari hubungannya dengan Allah, yaitu dengan mengetahui apakah perbuatan tersebut halal ataukah haram, sehigga ia akan melaksanakannya atau menghindarinya. 62

Mafahim HT

Kesadaran manusia terhadap hubungannya kepada Allah inilah yang dimaksud dengan ruh. Dan ruh inilah yang mengharuskan manusia mengetahui syari'at Allah SWT agar dapat membedakan perbuatannya, sehingga mengerti mana yang terpuji dan mana yang tercela; perbuatan-perbuatan apa saja yang diridlai Allah SWT dan apa saja yang dibenciNya. Ia dapat membedakan antara halhal yang terpuji dan tercela pada saat syara' menetapkan mana perbuatan yang terpuji dan yang tercela. Di samping agar ia dapat mengetahui nilai-nilai yang diperlukan di dalam kehidupan Islam yang mewarnai masyarakat Islam sesuai dengan ketentuan syara'. Dengan demikian maka pada saat melakukan suatu perbuatan yang disertai dengan kesadaran akan hubungannya dengan Allah, memungkinkan untuk memutuskan apakah akan melakukan perbuatan tersebut atau menghindarinya sesuai dengan kesadarannya. Sebab ia telah mengetahui jenis, sifat dan nilai setiap perbuatan. Dari sini terbentuklah falsafah Islam, yaitu penyatuan materi dengan ruh, dengan menjadikan Mafahim HT

63

berbagai perbuatan berjalan sesuai dengan perintah dan larangan Allah. Falsafah ini bersifat kekal dan tetap bagi setiap perbuatan, baik itu sedikit maupun banyak, kecil maupun besar. Falsafah itu pun merupakan gambaran tentang kehidupan. Karenaaqidah Islam merupakan asas kehidupan, asas falsafah tersebut dan asas dari seluruh peraturan, maka hadharah (civilisasi) Islam --yang tidak lain adalah kumpulan ide (yang mempunyai kebenaran fakta) tentang kehidupan dari segi pandangan Islam-- dibangun atas satu dasar ruhiy, yaitu aqidah. Dan penggambaran aqidah mengenai kehidupan adalah penyatuan materi dengan ruh, serta arti kebahagiaan dalam pandangan aqidah Islam adalah mendapatkan ridha Allah SWT. Apabila Aqidah Islam yang memecahkan problematika besar manusia itu merupakan dasar seluruh perbuatan manusia, aqidah itulah yang menjadi pusat pandangannya dalam kehidupan, serta falsafahnya tadi yang mengatur perbuatannya ini, maka sungguh peraturan-peraturan yang terpancar dari aqidah inilah yang mampu memecahkan problema-problema manusia, dan mengatur 64

Mafahim HT

seluruh perbuatannya dengan peraturan yang detail. Karenaitu, penerapan hukum-hukum tersebut merupakan ukuran suatu negara disebut sebagai Daarul Islam atau Daarul kufur. Tempat/daerah yang diterapkan sistem Islam dan memberlakukan hukum sesuai dengan apa yang diturunkan Allah, dinamakan Daarul Islam walaupum mayoritas penduduknya bukan muslim. Sedangkan tempat/daerah yang memberlakukan hukum selain yang diturunkan Allah, dinamakan Daarul Kufur walaupun mayoritas penduduknya muslim. Telah menjadi suatu keperluan yang mendasar --tentunya sesudah aqidah-adanya peraturan Islam dan pelaksanaanya dalam kancah kehidupan masyarakat, sebab dengan melaksanakan peraturan-peraturan ini, yang dijalin dengan aqidah secara bersamaan akan mambentuk umat yang memiliki aqliyah (pola pikir) Islam dan nafsiyah (jiwa) Islam, yang terbentuk secara wajar, yang akan menjadikan seorang muslim memiliki Syakhsiyah (kepribadian) Islam yang tinggi dan unik. Islam memandang manusia sebagai satu Mafahim HT

65

kesatuan yang tidak terpisah-pisah dan mengatur seluruh perbuatan manusia dengan hukum syara', dengan suatu peraturan yang harmonis dan tetap, walaupun perbuatanperbuatan itu banyak sekali macamnya. Hukum-hukum syara,' yang berupa peraturan Islam inilah yang mengatasi berbagai problematika manusia. Pada saat memecahkan masalah manusia, hukum syara' memecahkannya dengan suatu pandangan bahwa setiap problematika memerlukan suatu pemecahan, yaitu dengan suatu persepsi bahwa problematika tersebut merupakan suatu masalah yang memerlukan hukum syara.' Dengan kata lain seluruh problema kehidupan dipecahkan dengan cara yang sama, yaitu sebagai problematika yang bersifat manusiawi, bukan dengan sifat-sifat yang lain. Islam, misalnya, tatkala memecahkan masalah ekonomi seperti nafkah, atau masalah pemerintahan seperti pengangkatan khalifah, atau masalah sosial seperti perkawinan, tidak diatasi berdasarkan sifat-sifatnya sebagai masalah ekonomi, masalah pemerintahan ataupun masalah sosial saja, melainkan diatasi dengan suatu 66

Mafahim HT

pandangan bahwa hal itu sebagai problematika kemanusiaan secara keseluruhan, lalu diambil suatu hukum bagi masalah tersebut untuk dipecahkan, sebagai suatu masalah yang memerlukan ketentuan hukum syara'. Dalam hal ini Islam memiliki satu metode dalam mengatasi berbagai macam problematika manusia, yaitu memahami masalah yang terjadi, lalu mencari hukum Allah mengenai masalah tersebut dari dalil-dalil syari'at secara terperinci. Peraturan-peraturan Islam merupakan hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan ibadah, akhlaq, makanan, pakaian, mu'amalah dan 'uqubat. Dalam hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan ibadat, akhlaq, makanan dan pakaian tidak boleh dicari-cari 'illatnya. Sabda Rasulullah SAW:

‫خمْرَةُ ِلعَيْنِهَا‬ َ ‫حَ َرمَتُ اْل‬ "Khamr itu diharamkan karena dzatnya" Sedangkan hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan mu'amalat dan 'uqubat dapat memiliki 'illatnya, karena hukum syara' dalam perkara tersebut didasarkan pada suatu Mafahim HT

67

'illat yang merupakan sebab adanya hukum. Sudah menjadi kebiasaan umum, banyak orang mencari 'illat terhadap seluruh hukumhukum berdasarkan manfaat karena terpengaruh oleh kepemimpinan berpikir (qiyadah fikriyah) Barat dan kebudayaannya, yang menjadikan manfaat semata-mata sebagai dasar terhadap seluruh perbuatan. Hal ini bertentangan dengan kepemimpinan berpikir Islam yang menjadikan ruh sebagai asas seluruh perbuatan dan menjadikan penyatuan materi dengan ruh merupakan pengendali bagi seluruh perbuatan. Hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan ibadah, akhlaq, makanan dan pakaian tidak boleh dikaitkan dengan 'illat secara mutlak. Sebab hukum-hukum semacam ini tidak mengandung 'illat. Hukum seperti ini diambil sesuai dengan apa yang terdapat dalam nash saja, tanpa dikaitkan sama sekali dengan 'illat, seperti halnya shalat, shaum, haji, zakat, tata cara sholat, bilangan raka'at shalat, manasik haji, nishab-nishab zakat dan yang sejenisnya, diambil secara tauqifi sebagaimana adanya, dan diterima dengan 68

Mafahim HT

penuh pasrah tanpa melihat segi 'illatnya. Bahkan, tidak mencari-cari 'illatnya. Begitu pula pengharaman memakan bangkai, daging babi, dan yang sejenisnya, sekali-kali tidak dicari-cari 'illatnya. Bahkan termasuk suatu kesalahan yang cukup berbahaya, apabila mencari 'illat bagi hukum-hukum tadi. Sebab, apabila ada usaha untuk mencari 'illat bagi suatu hukum terhadap perkara-perkara tersebut tentu memiliki konsekuensi yaitu apabila hilang 'illatnya, hukumnyapun akan hilang, sebab

‫َاْلعِ ّلةُ َت ُدوْرُ مَعَ اْل َمعْ ُلوْلُ وُ ُجوْدًا َو َع َدمَا‬ "'illat itu senantiasa mengikuti ma'lulnya, ada atau tidaknya."

Seandainya 'illat wudlu itu kebersihan, 'illat sholat adalah olah raga, 'illat shaum itu kesehatan dan seterusnya, maka tentu hal ini akan mengakibatkan bahwa disaat tidak didapati 'illatnya maka tidak akan didapati hukumnya. Tetapi masalahnya tentu tidaklah demikian. Karena itu, mencari-cari 'illat dalam masalah ini akan membahayakan eksistensi Mafahim HT

69

hukum dan pelaksanaannya. Maka hukumhukum ibadat wajib diterima sebagaimana adanya tanpa mencari-cari 'illatnya. Adapun mengenai hikmah (tujuan dan akibat perbuatan), maka sesungguhnya Allah sendirilah yang mengetahuinya, dan akal kita tidak mungkin menjangkau hakekat dzat Allah dan tidak akan mampu menjangkau hikmahnya. Apa yang disebutkan dalam nashnash Al Qur'an dan As Sunnah mangenai hikmah untuk beberapa hukum seperti firman Allah SWT:

ُ‫حشَاءِ وَاْلمُنْ َكرِ وََلذِ ْكرُ ال ّلهِ َأكْبَرُ وَال‬ ْ َ‫إِنّ الصّلاَةَ تَ ْنهَى َعنِ اْلف‬ َ‫َيعْ َلمُ مَا تَصَْنعُون‬ "Sesungguhnya shalat itu mencegah manusia dari perbuatan keji dan munkar..." (QS Al Ankabut 45)

ْ‫ِليَشْ َهدُوا مَنَافِعَ لَ ُهم‬ "Supaya orang-orang yang melakukan ibadah haji memperoleh berbagai manfaat dari mereka..." (QS Al Hajj 28) 70

Mafahim HT

َ‫ضعِفُون‬ ْ ‫وَمَا ءَاَتيُْتمْ ِمنْ زَكَاةٍ تُرِيدُونَ وَ ْجهَ ال ّلهِ َفأُولَِئكَ ُهمُ اْل ُم‬ "(Dan) Apa yang kamu berikan berupa zakat yang kamu maksudkan untuk mencapai keridhoan Allah, maka (yang berbuat demikian) itulah orang-orang yang melipat gandakan pahalanya" (QS Ar Ruum 39) Begitu pula ayat-ayat lain yang sejenisnya, tentang hikmah yang disebut dalam nash-nash Syara', maka pengertian hikmahnya terbatas (apa yang tercantum) pada nash itu saja dan diambil hanya dari nash tersebut, tidak dianalogikan kepada yang lain. Apa yang tidak disebut hikmahnya oleh nash, kita tidak boleh mencari-cari hikmahnya sebagaimana kita tidak boleh mencari-cari 'illatnya. Demikian dalam masalah ibadah. Sementara dalam masalah akhlaq, ternyata bahwa akhlaq memiliki nilai yang dijadikannya sebagai hukum dalam menerangkan beberapa keutamaan dan keluhuran maupun yang bertolak belakang. Begitu pula halnya bahwa akhlaq dijadikan sebagai salah satu hasil dari ibadah, dan termasuk dalam hal yang harus diperhatikan Mafahim HT

71

dalam masalah mu'amalah, sebab Islam di dalam tasyri'nya bermaksud untuk mengantarkan manusia menuju jalan kesempurnaan hingga mencapai tingkat yang paling tinggi yang dapat diraihnya. Lalu berusaha untuk memiliki sifat-sifat yang mulia dan berupaya agar tetap dalam kondisi memiliki kemuliaan tersebut. Perilaku yang baik merupakan nilai yang harus mendapat perhatian pada saat seseorang berbuat untuk memiliki sifat-sifat yang mulia. Perilaku yang baik terbatas pada perbuatan yang terpuji (fadhilah) yang telah ditentukan oleh syara', dan nilai-nilai tersebut harus diperhatikan pada saat melakukan berbagai perbuatan yang terpuji dan pada saat seseorang berusaha memiliki sifat-sifat tersebut. Akhlaq merupakan bagian dari syari'at Islam serta bagian dari perintah dan larangan Allah yang harus diwujudkan dalam diri seorang muslim agar sempurna pengamalan Islamnya serta mampu melaksanakan secara sempurna perintah dan larangan Allah. Sifat-sifat khuluqiyah yang dimiliki seorang muslim tidak semata-mata berpredikat akhlaqiah karena akhlaq itu sendiri 72

Mafahim HT

dan bukan pula karena sesuatu manfaat. Akan tetapi seorang muslim berpredikat demikian karena Allah telah memerintahkannya agar mempunyai sifat-sifat tadi, dan bukan karena hal-hal lain. Karenaitu seorang muslim tidak predikat jujur karena kejujuran itu sendiri, dan bukan pula karena adanya manfaat dalam kejujuran, melainkan karena syara' telah memerintahkannya. Seorang muslim tidak berakhlaq karena semata-mata akhlaq itu sendiri, sebab hal ini berkaitan dengan sifat perbuatan. Kadangkadang suatu perbuatan yang dilakukan seseorang pada hakekatnya buruk akan tetapi ia mengira baik, kemudian ia lakukan. Kadangkadang sifat yang ada pada dirinya pada hakekatnya adalah sifat yang jahat, sedangkan ia mengira sifat itu baik, maka perbuatan itu dilaksanakannya. Dari sini muncul kesalahan dari tindakan manusia terhadap akhlaq karena semata-mata akhlaq. Selama Islam tidak menentukan sifat-sifat terpuji/baik dan tercela/buruk, kemudian seorang muslim melaksanakannya atas dasar pandangannya, maka ia tidak mungkin menjadi seorang yang memiliki sifat-sifat tersebut sesuai dengan Mafahim HT

73

hukum-hukum syara'. Karenaitu seorang muslim tidak dibolehkan bersifat jujur karena semata-mata kejujuran atau mengasihi yang lemah semata-mata karena kasihan. Seorang muslim tidak akan melakukan nilai-nilai akhlaq ini karena semata-mata akhlaq, akan tetapi karena sadar bahwa Allah telah memerintahkan sifat-sifat tersebut, dimana akhlaq tersebut hanya bersandar kepada aqidah Islam. Hal inilah yang menjadi persoalan pokok dalam masalah akhlaq. Dan dengan ini akan menjamin kemampuan akhlaq dalam mengendalikan nafsu, dan kelestarian akhlaq tetap dalam keadaan bersih, bebas dari pencemaran dan dapat menjauhkan hal-hal yang dapat merusaknya. Dengan demikian untuk menjamin kelestarian akhlaq hendaklah membatasi dengan apa yang terdapat dalam nash dan terbatas pada azas ruhi yang dibangun diatas landasan aqidah Islam. Seseorang tidak dapat dikategorikan berakhlaq baik, karena dorongan satu manfaat, sebab manfaat bukan menjadi tujuan dari akhlaq dan memang tidak pantas menjadi suatu tujuan, agar hal seperti itu tidak dapat merusak akhlaq, dan atau agar manfaat itu 74

Mafahim HT

tidak menjadi tumpuan akhlaq. Sedang akhlaq adalah sifat yang harus dimiliki seseorang dengan senang hati dan dengan pilihannya sendiri disertai dorongan taqwa kepada Allah. Seorang muslim tidak akan melakukan perbuatan akhlak hanya semata-mata perbuatan tadi bermanfaat atau mendatangkan kemudharatan dalam kehidupan, akan tetapi ia lakukan karena memenuhi perintah dan larangan Allah. Hal ini menjadikan seseorang memiliki sifat-sifat akhlaq yang baik secara terus-menerus dan tetap, tidak berjalan karena ada manfaatnya. Akhlaq yang dibangun atas dasar pertukaran manfaat akan menjadikan pelakunya munafik, batinnya berbeda dengan zhahirnya, karena menurutnya akhlaq berlandaskan nilai manfaat. Sehingga jika ada manfaat yang didapat, maka akhlaq akan terwujud dalam dirinya. Manusia dapat memutarbalikkan hukum-hukum sesuai dengan illatnya yang telah ditentukan. Ia tidak akan meyakini adanya akhlaq, bahkan keharusan berakhlaq, apabila ia melihat illatnya telah hilang. Karenaitu akhlaq tidak mempunyai illat dan tidak dibolehkan untuk Mafahim HT

75

dicari illatnya, akan tetapi diambil sebagaimana yang disebutkan oleh syara' tanpa perlu meneliti adanya suatu illat. Termasuk suatu kesalahan, bahkan berbahaya apabila mencari-cari illat pada masalah akhlaq, agar tidak terjadi kasus pembatalan akhlaq dengan hilangnya illat. Dari sini dapat dijelaskan bahwa tujuan dari ibadah semata-mata adalah nilai ruhani, sedangkan tujuan akhlaq adalah nilai akhlaq. Kedua nilai tersebut hendaknya menjadi tujuan dari ibadah atau akhlaq tanpa tujuan-tujuan lain. Tidak dibolehkan menjelaskan apa yang terdapat dalam ibadah dan akhlaq mengenai faedah-faedah dan manfaatnya, karena penjelasan yang demikian sangat berbahaya terhadap akhlaq dan akan menyebabkan timbulnya nifaq pada orang-orang yang beribadat dan yang memiliki akhlaq. Bahkan akan mendorong untuk meninggalkan ibadat dan akhlaq, jika tidak ada manfaat dan faedahnya. Adapun hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan perbuatan manusia dalam hubungannya antara sesama manusia, maka nash-nash yang terdapat mengenai hal ini di 76

Mafahim HT

antaranya ada yang menyebutkan illat, seperti firman Allah mengenai pemberian fa'i (rampasan perang yang diperoleh dengan cara damai) Bani Nadhir, yaitu kepada orang-orang Muhajirin saja, tidak kepada Anshar.

ْ‫كَيْ لاَ يَكُونَ دُوَلةً بَ ْينَ اْ َلغْنِيَاءِ مِنْ ُكم‬ ".... supaya harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya saja diantara kamu ... " (Al-Hasyr: 7)

Terdapat pula hukum yang tidak menyebutkan illatnya, seperti:

‫وَأَحَلّ الُ الَْبيْعَ وَحَ ّرمَ الرّبَا‬ "... dan Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (Al-Baqarah: 275) Nash yang menyebutkan sebagian hukum dengan menyertakan illatnya, maka hukum tersebut berkaitan dengan illat serta dapat dianalogkan/qiyas kepada yang lainnya. Sedangkan nash yang tidak menyebutkan illat, Mafahim HT

77

maka illatnya sama sekali tidak boleh dicari dan tidak dapat dianalogkan/qiyas kepada yang lain. Illat yang sah adalah illat syar'iyah, yaitu yang berdasarkan kepada nash syara' yang diambil dari Kitab dan Sunnah, karena hanya Al-Qur'an dan Sunnahlah yang menjadi nashnash syara'. Karenaitu illat yang menjadi dasar hukum syara' harus illat syar'iyyah, bukan illat aqliah. Dengan kata lain keberadaan illat, wajib berdasarkan nash, baik diperoleh secara jelas maupun dengan dalalah/penunjukkan, atau melalui istinbath, maupun qiyas. Illat inilah yang selalu beredar bersama obyek hukum ma'lulnya, baik itu ada ataupun tidak. Berdasarkan hal ini maka hukum itu berjalan bersama illatnya, sehingga jika didapati suatu perkara yang dilarang dalam suatu keadaan tertentu karena ditemukan illat syar'iyyahnya, maka apabila illat tersebut telah hilang, perkara tersebut menjadi boleh. Jadi hukum syara' berjalan sesuai dengan illatnya, baik illatnya ditemukan maupun tidak. Apabila terdapat illat maka terdapat hukum dan apabila tidak ada, maka hukumnya juga tidak berlaku. Namun demikian hilangnya hukum 78

Mafahim HT

disebabkan tidak ditemukannya 'illat, sama sekali tidak berarti hukum itu sendiri berubah. Hukum syar'i terhadap suatu masalah, tetap itu-itu juga, tidak berubah. Jadi hilangnya hukum disebabkan karena hilangnya illat, akan kembali berlaku dengan munculnya illat. Walaupun hukum beredar bersama illatnya baik dijumpai maupun tidak 'illatnya, bukan berarti hukum-hukum syara' itu berubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat, dengan alasan bahwa mendatangkan maslahat/manfaat dan menolak kerugian/mafsadat merupakan illat bagi hukum-hukum syara. Padahal nilai kemaslahatan dan kemafsadatan dapat berubah-ubah sesuai dengan perubahan waktu dan tempat dan jika hal ini dijadikan patokan, dengan sendirinya hukum itu akan berubah sesuai dengan perubahan yang terjadi. Tentu saja yang demikian itu tidak boleh terjadi, sebab mendatangkan kemaslahatan dan menolak adanya mafsadat, keduanya sama sekali bukan merupakan illat bagi hukumhukum syara', karena tidak terdapat satu nash pun yang menunjukkan bahwa mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat adalah illat Mafahim HT

79

bagi hukum-hukum syara'. Tidak terdapat satu nash pun yang menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan illat bagi hukum tertentu. Karenaitu hal ini bukanlah illat syar'iyah. Illat syar'iyah adalah apa yang tercantum dalam nash syara', yang harus terikat dengan nash dan terbatas pada penunjukan maknanya. Dalam hal ini nash syara' tidak pernah menunjukkan bahwa mendatangkan mashlahat dan menolak mafsadat adalah 'illat. Karenaitu illat syar'iyah adalah apa yang telah tercantum dalam nash, dan bukan didasarkan pada sesuatu yang mandatangkan maslahat atau yang menolak mafsadat. Apa yang disebut oleh suatu nash, tidak merujuk (tergantung) pada waktu dan tempat, bukan pula karena perbuatan itu sendiri. Penunjukkannya semata-mata tercantum dalam nash syara' yang menjelaskan illat suatu hukum. Nashnya sendiri sama sekali tidak akan berubah. Dengan demikian waktu dan tempatpun tidak dipertimbangkan lagi di sini, begitu pula halnya dengan alasan mendatangkan maslahat dan menolak mafsadat. Berdasarkan hal ini maka hukum-hukum 80

Mafahim HT

syara' tidak berubah karena perubahan waktu dan tempat. Hukum-hukum syara tetap itu-itu saja, tidak berubah walau terdapat perubahan waktu dan tempat. Adapun perubahan karena tradisi dan adat istiadat manusia, tidak juga mempengaruhi perubahan hukum, karena tradisi bukanlah 'illat dasar suatu hukum. 'Urf adakalanya bertentangan dengan syara', adakalanya juga tidak. Apabila bertentangan dengan syara maka syara'lah yang menghapus dan merubahnya, sebab salah satu fungsi syari'at adalah untuk merubah urf dan adat yang rusak yang menjadi penyebab rusaknya masyarakat. Inilah yang menyebabkan tradisi dan adat istiadat tidak bisa dijadikan dasar maupun illat hukum syara'. Hukum tidak berubah karena urf. Apabila tradisi dan adat istiadat tidak bertentangan dengan syara' maka hukum tersebut ditetapkan berdasarkan dalil berikut illat syar'iyahnya, bukan karena urf, walaupun urf tersebut tidak manyalahi syara'. Dengan demikian urf tidak bisa mengangkangi syara' akan tetapi syara'lah yang mengatur urf dan adat istiadat manusia. Berdasarkan hal ini hukum-hukum syara' memiliki dalil, yaitu nash Mafahim HT

81

dan hukum syara, juga memiliki illat syar'iyah, tidak ada kaitannya sedikitpun dengan urf/tradisi maupun adat secara mutlak. Kesesuaian Syari'at Islam untuk setiap waktu dan tempat disebabkan karena syariat Islam mampu mengatasi dan memecahkan berbagai problematika manusia disetiap waktu dan tempat dengan berbagai macam hukumhukumnya. Bahkan mampu memecahkan semua masalah manusia walau bagaimanapun luas dan beraneka ragamnya, sejalan dengan masalah-masalah manusia. Tidak lain hal ini karena tatkala syara' memecahkan masalahmasalah manusia maka pemecahannya itu dengan memperhatikan predikatnya sebagai manusia, bukan dengan predikat lainnya. Manusia pada setiap masa dan tempat predikatnya tetap sebagai manusia. Gharizah dan kebutuhan jasmani manusia, selamanya tidak akan berubah. Demikian pula hukumhukum pemecahannya tidak berubah pula. Yang berubah hanyalah bentuk kehidupan manusia yang tidak berpengaruh terhadap pandangannya mengenai kehidupan. Adapun tuntutan kehidupan yang senantiasa bermunculan maka hal itu berasal dari 82

Mafahim HT

gharizah dan kebutuhan jasmani. Syari'at secara luas telah mengatasi dan memecahkan tuntutan-tuntutan yang bermunculan dan berbeda-beda macamnya, bagaimanapun bentuk dan variasinya, dan bagaimanapun tuntutan kehidupan. Hal seperti inilah yang menjadi salah satu faktor perkembangan fiqih. Namun demikian keluasan dalam syariat tidak berarti syariat itu fleksibel sehingga dapat disesuaikan dengan segala sesuatu walaupun bertentangan dengan syara'. Tidak berarti juga bahwa syari'at itu berubah secara berangsurangsur sehingga dapat diubah sesuai dengan zaman. Akan tetapi yang dimaksud dengan keluasan nash-nash syara' adalah sebagai sumber pengambilan berbagai macam hukum, dan atau keluasan hukum untuk mengatasi beraneka ragamnya problematika manusia. Satu contoh firman Allah:

ّ‫ض ْعنَ لَ ُكمْ فَآتُو ُهنّ أُجُو َر ُهن‬ َ ‫َفِإنْ أَ ْر‬ "... kemudian jika mereka menyusukan (anakanak)mu untukmu, maka berilah kepada mereka upahnya, ..." (Ath Thalaq: 6) Dari ayat ini dapat diambil hukum syara' Mafahim HT

83

bahwa wanita yang ditalak berhak mendapatkan upah menyusukan anak. Dapat pula diambil suatu hukum syara' bahwa seorang pekerja apapun bentuknya, berhak menerima upah apabila melakukan pekerjannya, baik ia sebagai pakerja umum (public worker) maupun khusus (private worker). Hukum ini juga dapat berlaku terhadap beberapa masalah hukum diantaranya bahwa seorang pegawai negeri, pekerja di pabrik, petani diladang dan sejenisnya, masing-masing berhak menerima upahnya apabila telah menyempurnakan pekerjannya, karena statusnya sebagai pekerja khusus. Dan bahwasanya seorang tukang kayu yang membuat lemari, penjahit yang menjahit baju, tukang sepatu yang membuat sepatu dan yang sejenisnya, masing-masing berhak menerima upah apabila telah melakukan pekerjaannya, karena statusnya sebagai pekerja umum. Mengingat bahwa "ijaaroh" adalah aqad/transaksi antara orang yang mempekerjakan dan yang bekerja, maka tidak termasuk dalam masalah ini para penguasa, sebab penguasa bukanlah abdi negara (yang diupah). Penguasa adalah "pelaksana hukum 84

Mafahim HT

syara'" atau orang yang melaksanakan Islam. Dengan demikian seorang khalifah tidak berhak menerima upah karena pelaksanaan tugas-tugasnya, sebab ia dibai'at untuk melaksanakan syara' dan mengemban da'wah Islam. Khalifah bukanlah abdi negara (yang di upah). Demikian pula mu'awin (pembantu) khalifah, dan para wali, tidak berhak menerima upah atas pelaksanaan tugas-tugasnya, karena tugas-tugas mereka adalah tugas pemerintahan. Mereka bukan para pekerja. Karenaitu, mereka tidak mengambil upah. Meskipun demikian terhadap mereka diberikan 'santunan' sebatas keperluannya hidupnya, karena mereka tidak sempat melakukan urusan-urusan pribadi mereka sendiri. Keluasan nash syara' seperti contoh diatas dalam pengambilan hukum-hukum yang beraneka ragam dan keluasan hukum untuk mengatasi beraneka macamnya problematika manusia, inilah yang menjadikan syari'at Islam mampu memecahkan seluruh problematika kehidupan di setiap zaman dan tempat, di setiap umat serta generasi. Keluasan hukum itu sendiri tidak bersifat elastis dan berubahubah. Mafahim HT

85

Dalil hukum syara' yang berasal dari Nash, baik Kitab maupun Sunnah bertujuan untuk mengatasi setiap problema baru yang terjadi, sebab Syari' (Allah) dalam hal ini menetapkan untuk mengikuti makna-makna dari nash, bukan terbatas pada keharfiahan nash itu sendiri (teksnya). Karenaitu dalam pengambilan hukum-hukum harus diperhatikan segi illat dari suatu hukum, yaitu memperhatikan illat yang terkandung dalam nash pada saat melakukan istimbat hukum. Hal ini dilihat dari segi makna/maksud syara' (kontekstual) illat. Suatu dalil adakalanya memuat suatu illat hukum, atau bisa juga illat diambil dari suatu dalil yang lain, ataupun dari sekumpulan dalil-dalil. Walaupun hukum diambil/diistimbat dari suatu dalil tertentu, akan tetapi harus tetap memperhatikan segi illatnya dan bukan terbatas pada bentuk harfiah yang terdapat dalam nash yang ditujukan untuk mengatasi problema yang terjadi saat itu. Sebagai contoh firman Allah SWT :

ِ‫وََأ ِعدّوا لَ ُهمْ مَا اسْتَ َطعُْتمْ ِمنْ ُقوّةٍ َو ِمنْ رِبَاطِ الْخَيْلِ تُ ْرهِبُونَ ِبه‬ 86

Mafahim HT

ْ‫َع ُدوّ ال ّلهِ َو َع ُدوّ ُكم‬ "(Dan) Siapkanlah untuk menghadap mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggetarkan musuh Allah dan musuhmu,..." (Al-Anfal: 60) Hukum yang terdapat dalam ayat ini adalah mengenai persiapan kekuatan. Sedangkan masalah yang terjadi saat itu diatasi dengan mempersiapkan kekuatan fisik, diantaranya dengan cara menambatkan kuda-kuda. Adapun bentuk (arah) illat dari hukum tersebut adalah untuk menakut-nakuti musuh. Karenaitu apabila kita pada saat ini hendak mengambil dari dalil tersebut diatas hukum mempersiapkan kekuatan, kita harus memperhatikan segi illat dari hukum, yaitu mempersiapkan segala hal yang dapat menakut-nakuti musuh. Kita tidak boleh terikat dengan apa yang telah dilakukan untuk mengatasi masalah yang pernah terjadi pada saat itu, sebagaimana yang tercantum dalam nash yaitu harus menambatkan kuda. Begitulah apa yang dilakukan terhadap Mafahim HT

87

setiap dalil yang diistimbat suatu hukum, karena yang dimaksud adalah merealisir segi illat dari suatu hukum. Dengan demikian, syari'at Islam mengharuskan dalam hal hukum yang berkaitan dengan hubungan sesama manusia dalam urusan muamalah supaya berlandaskan kepada illat yang ada, dan agar diperhatikan dalam nash-nash syara' pada saat pengambilan hukum segi makna syara' (kontekstual) bukan secara tekstual. Sebagaimana halnya nash-nash dalam Kitab dan Sunnah merupakan dalil syara' untuk menentukan suatu hukum, begitu pula halnya terhadap Ijma' dan Qiyas, keduanya termasuk juga dalil syara'. Dengan demikian maka dalil-dalil syara' yang memerinci hukumhukum syar'i terdiri dari Kitab, Sunnah, Ijma' dan Qiyas. Adapun madzhab sahabat dalam beberapa masalah ijtihad bukan termasuk dalil syara', karena seorang sahabat termasuk ahli ijtihad yang memiliki kemungkinan untuk berbuat salah. Disamping itu para sahabatpun berbeda pendapat dalam berbagai masalah, yang masing-masing memiliki pendapat yang berlainan antara satu dengan lainnya. Seandainya madzhab sahabat dijadikan 88

Mafahim HT

sumber dalil syara' maka akan banyak sekali hujjah Allah yang berbeda dan bertolak belakang. Oleh sebab itu madzhab sahabat tidak bisa dijadikan dalil syar'i (sumber pengambilan hukum), akan tetapi sama kedudukannya dengan madzhab-madzhab yang lainnya yang diakui dan dibolehkan untuk mengikutinya. Adapun mengenai sesuatu yang menjadi kesepakatan para sahabat terhadap berbagai hukum, maka hal ini berupa suatu ijma, bukan termasuk madzhab sahabat. Mengenai syari'at yang diturunkan sebelum Islam (Aturan Bangsa terdahulu, pen.), tidak dianggap sebagai syari'at untuk kita, juga tidak dapat di kategorikan sebagai dalil syara'. Walaupun aqidah Islam mengharuskan iman kepada para Nabi dan Rasul secara keseluruhan, beserta Kitab-kitab yang telah diturunkan kepada mereka, akan tetapi yang dimaksud Iman kepada mereka adalah hanya membenarkan kenabian dan Risalahnya, serta membenarkan apa yang telah diturunkan kepada mereka berupa Kitab. Iman terhadap mereka bukan berarti mengikuti mereka, sebab setelah diutusnya Nabi Muhammad, seluruh manusia dituntut Mafahim HT

89

untuk meninggalkan agama mereka dan memeluk Islam, karena agama selain agama Islam tidak ada artinya (tertolak). Firman Allah SWT:

ُ‫لم‬ َ ْ‫إِنّ الدّينَ عِ ْندَ الِ اْلإِس‬ "Sesungguhnya agama (yang diridlai) di sisi Allah hanyalah Islam" (Ali Imran: 19)

ُ‫َو َمنْ يَبْتَغِ غَيْرَ اْلِسْلَمِ دِينًا فَ َلنْ ُيقْبَلَ مِ ْنه‬ "Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya" (Ali Imran: 85) Hal ini menunjukkan dengan jelas apa yang disebutkan diatas, dari ayat-ayat tadi muncullah suatu kaedah ushul:

‫شَ َرعٌ َمنْ قَ ْبلَنَا َليْسَ شَ ْرعًا لَنَا‬ "Syariat bangsa sebelum kita bukan syariat bagi kita". Sebagai bukti kesalahan kaedah tersebut diatas, maka para sahabat secara ijma' menyatakan bahwa syariat nabi Muhammad 90

Mafahim HT

SAW menghapuskan seluruh syari'at yang terdahulu, juga berdasarkan firman Allah SWT:

ِ‫صدّقًا ِلمَا َب ْينَ َيدَْيهِ ِمنَ الْكِتَاب‬ َ ‫حقّ ُم‬ َ ‫وَأَنْزَْلنَا إَِل ْيكَ الْكِتَابَ بِاْل‬ ِ‫وَمُهَ ْي ِمنًا عَلَ ْيه‬ "(Dan) Kami talah menurunkan kepadamu Kitab Al-Qur'an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelum AlQur'an) dan yang menghapus kitab-kitab yang lain itu". (Al-Maidah: 48) Yang dimaksud dengan "Muhaiminan 'Alaihi" dalam ayat tersebut adalah menundukkan, "musayyithiron dan Mushallithan" adalah menguasai. Kekuasaan Al-Qur'an terhadap kitab-kitab terdahulu adalah penghapusan terhadap syariat-syariat sebelumnya, maka AlQur'an membenarkan dan menasakhkan kitabkitab sebelumnya. Diriwayatkan berasal dari Rasulullah SAW bahwasanya beliau melihat Umar bin Khattab membawa selembar kertas Taurat yang sedang dibacanya, maka beliau murka seraya bersabda :

Mafahim HT

91

‫ال آت با بيضاء نقية ولو أدركن أخى موسى لا وسعه ال‬ ‫أتباعى‬ "Tidakkah aku datang dengan membawa kertas putih bersih, seandainya saudaraku Musa melihatku, tentu Ia tak akan berbuat apa-apa selain mengikutiku"(HR. Imam Ahmad, Ibnu Syaibah dan Al bazzaar). Banyak diantara aktifitas manasik haji seperti Thawaf, mengusap Hajar Aswad serta menciumnya, Sa'i antara Shafa dan Marwa, kesemuanya telah ada sejak masa jahiliah. Kita pada saat melakukan dan melaksanakan Ibadah sesuai dengan cara tersebut, tidak melakukannya sebagai manasik yang telah ada dalam syariat terdahulu melainkan dilakukan berdasarkan syariat Islam, karena Islam telah menentukannya sebagai hukumhukum syara' yang baru dan hal ini bukan pengakuan terhadap syari'at sebelumnya. Demikian pula halnya terhadap segala sesuatu yang berasal dari agama-agama terdahulu, sama sekali tidak boleh melakukannya, yang kita lakukan semata-mata apa yang dibawa oleh syariat Islam. Karenaitu orang-orang 92

Mafahim HT

Nasrani dan Yahudi menjadi sasaran seruan syariat Islam. mereka diperintahkan untuk meninggalkan syariatnya karena Islam telah menghapus syari'at keduanya. Apabila hal ini merupakan kewajiban bagi pengikut syari'at Talmud yaitu orang-orang Yahudi dan Nasrani untuk mengikuti syari'at Islam, bagaimana mungkin seorang muslim dituntut untuk menjadikan syari'at bangsa yang sebelumnya sebagai syari'at bagi umatnya? Mengenai firman Allah SWT:

ٍ‫ِإنّا َأوْحَيْنَا إِلَ ْيكَ َكمَا َأوْحَيْنَا إِلَى نُوح‬ "Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikanya kepada Nabi Nuh ....." (AnNisaa: 163) Maka yang dimaksud dalam ayat ini adalah bahwa Allah SWT telah mewahyukan kepadanya (nabi Muhammad), sebagaimana diwahyukan kepada yang lain dari kalangan nabi-nabi sebelumnya. Sedangkan firman Allah SWT:

Mafahim HT

93

‫شَرَعَ لَ ُكمْ ِمنَ الدّينِ مَا َوصّى ِبهِ نُوحًا‬ "Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nabi Nuh" (QS Asy Syuura: 13) Maksudnya yang telah disyariatkan adalah ajaran-ajaran pokok Tauhid sebagaimana yang telah diwasiatkan kepada nabi Nuh. Adapun firman Allah SWT:

َ‫ُثمّ َأوْحَيْنَا إِلَ ْيكَ َأنِ اتّبِعْ مِ ّلةَ إِبْرَاهِيم‬ "Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): 'Ikutilah millat (dasar) Ibrahim'" (An-Nahl: 123) Maksudnya ikutilah dasar Tauhid sebab millat artinya dasar Tauhid. Maksud dari ayat-ayat ini dan yang sejenisnya adalah menjelaskan bahwa nabi Muhammad SAW bukanlah Rasul yang baru, akan tetapi Allah SWT telah mengutus Rasul-rasul yang lain selain Rasulullah. Dan dasar tauhid itulah "Ad Din", dan itulah yang sama dibawa oleh para Nabi dan para Rasul. Adapun selain dari pada itu maka setiap Rasul telah diutus dengan 94

Mafahim HT

membawa suatu “Din/syariat” yang berbedabeda sebagaiman firman Allah SWT:

ِ‫صدّقًا ِلمَا َب ْينَ َيدَْيهِ ِمنَ الْكِتَاب‬ َ ‫حقّ ُم‬ َ ‫وَأَنْزَْلنَا إَِل ْيكَ الْكِتَابَ بِاْل‬ ‫وَمُهَ ْي ِمنًا عَلَ ْيهِ فَاحْ ُكمْ بَيْنَ ُهمْ ِبمَا َأنْزَلَ ال ّلهُ وَلَا َتتّبِعْ َأ ْهوَاءَ ُهمْ َعمّا‬ ُ‫حقّ لِكُلّ َجعَلْنَا مِنْ ُكمْ ِش ْر َعةً َومِنْهَاجًا وََلوْ شَاءَ ال ّله‬ َ ‫جَاءَكَ ِمنَ اْل‬ ‫جعَلَ ُكمْ ُأمّةً وَا ِحدَةً وَلَ ِكنْ لِيَ ْب ُلوَ ُكمْ فِي مَا ءَاتَا ُكمْ فَاسَْتِبقُوا‬ َ َ‫ل‬ ِ‫اْلخَيْرَاتِ إِلَى ال ّلهِ مَرْ ِجعُ ُكمْ َجمِيعًا َفيُنَبّئُ ُكمْ ِبمَا كُنُْتمْ فِيه‬ )48(َ‫ختَ ِلفُون‬ ْ َ‫ت‬ "Untuk tiap-tiap umat diantara kamu (kaum muslimin dan Akhli ktab), Kami berikan aturan dan jalan hidup yang khas" (Al-Maidah: 48) Dengan demikian maka syariat sebelum kita bukan merupakan syariat bagi kita dan tidak termasuk salah satu dalil syara' yang dapat dijadikan sebagai sumber pengambilan hukum. Pada dasarnya istimbat hukum dilakukan oleh para mujtahidin, sebab untuk mengetahui hukum Allah dalam suatu masalah, tidak lain hanya dengan jalan ijtihad, dan Karenaitu ijtihad amat diperlukan. Para 'Ulama Ushul Mafahim HT

95

telah menentukan bahwasanya ijtihad merupakan fardlu kifayah atas kaum muslimin, di setiap masa tidak boleh kosong dari adanya para mujtahid. Dan apabila ummat secara keseluruhan sepakat untuk meninggalkan ijtihad maka mereka berdosa. Hal ini karena cara untuk mengetahui hukum-hukum syara' hanya melalui ijtihad. Seandainya di suatu masa tidak ada seorang mujtahid yang dapat dijadikan sandaran untuk mengetahui hukumhukum, maka hal ini akan mengakibatkan tidak berfungsinya syari'at dan hilangnya hukum, keadaan seperti itu tidak diperbolehkan. Namun demikian, untuk berijtihad diperlukan berbagai persyaratan sebagaimana disebutkan oleh para ulama ushul secara terperinci, antara lain diperlukan penelaahan yang luas, pemahaman yang benar terhadap nash dan memiliki pengetahuan yang cukup dalam terhadap bahasa Arab, diperlukan pemahaman yang luas terhadap berbagai masalah syari'at serta menguasai dalil-dalilnya. Karenaitu pengambilan hukum tanpa pengamatan terlebih dahulu tidak dapat dinamakan istimbat. Demikian pula adanya 96

Mafahim HT

maslahat secara sekilas dalam suatu hukum kemudian memutarbalikkan nash, serta menyesuaikannya terhadap sesuatu yang tidak dimaksudkan oleh nash tersebut untuk menetapkan suatu hukum. Hal ini bukan ijtihad, melainkan kecerobohan terhadap agama Allah yang pelakunya berhak mendapatkan siksa Allah. Memang benar bahwa pintu ijtihad senantiasa terbuka, akan tetapi terbuka hanya untuk para Ulama, bukan untuk orang-orang yang jahil/bodoh. Mujtahid terdiri dari tiga macam. Mujtahid Mutlak dan Mujtahid Madzhab, yang keduanya memiliki persyaratan khusus, dan yang ketiga adalah Mujtahid al Mas'alatu Wahidah. Dia merupakan mujtahid yang berijtihad hanya dalam satu masalah. Ia mampu memahami suatu nash dan meneliti suatu masalah berikut dalildalilnya serta dalil para mujtahidin dalam masalah tersebut. Hal ini sudah menjadi keharusan bagi seorang muslim yang hendak mengetahui hukum-hukum Allah, sebab syara' pada dasarnya menjadikan seorang muslim agar ia sendiri mampu mengambil hukum dari dalil syara', agar ia menjadi seorang mujtahid Mafahim HT

97

dalam agama mengenai masalah-masalah yang diperlukan. Akan tetapi setelah masa penulisan dan kodifikasi madzhab-madzhab mujtahidin serta pembentukan kaedah-kaedah (ushul) dan hukum-hukum (furu'), maka konsep ijtihad mulai lemah dalam jiwa kaum muslimin dan para mujtahid mulai langka, bahkan sampai kaum muslimin diwarnai oleh taqlid dan sedikit sekali yang melakukan ijtihad. Sedemikian parahnya dominasi pemikiran taqlid sampai ada yang mangatakan bahwa pintu ijtihad harus ditutup dan wajib bertaqlid. Karenaitu, mayoritas kaum muslimin --walaupun tidak semuanya-- terdiri dari orang-orang yang bertaqlid. Muqallid terdiri dari dua, yaitu muqallid muttabi' dan muqallid 'ami. Yang membedakan antara muqallid muttabi' dengan muqallid 'ami, bahwasanya muqallid muttabi' mengambil hukum sebagai salah satu hasil istimbat dari salah seorang mujtahid sesudah merasa puas terhadap dalil yang menjadi sandarannya. Ia tidak akan mengikuti hukum sebelum mengetahui dalilnya. Sedangkan muqallid 'ami yaitu orang yang mengikuti 98

Mafahim HT

mujtahid terhadap suatu hukum syara', tanpa meneliti dalilnya. Seorang muttabi' lebih baik keadaannya dari pada 'ami. Sebagian besar generasi terdahulu terdiri dari para muqallid muttabi' karena perhatiannya yang besar terhadap dalil. Tatkala datang masa kemunduran dan kemerosotan sehingga sulit bagi orang untuk berittiba', merekapun mulai bertaqlid kepada para Imam dan Mujtahidin, terhadap beberapa hukum tanpa meneliti dalilnya. Dan yang mendorong mereka dalam keadaan ini adalah diamnya para ulama dan kerelaan mereka agar seseorang menjadi muqallid 'ami walaupun mereka berasal dari kalangan intelektual. Para ulama telah membiarkan saja keadaan ini, mengingat taqlid itu sendiri dibolehkan, baik itu taqlid ittiba' maupun taqlid 'ami. Namun demikian perlu diketahui bahwa pada dasarnya seorang muslim hendaknya mengambil hukum dari dalilnya. Walaupun ia diperbolehkan untuk bertaqlid, dengan kata lain dibolehkan pula baginya menjadi muttabi', yaitu mengetahui hukum beserta dalilnya dan merasa puas terhadapnya. Hal ini menjadikan seorang muslim layak untuk berijtihad, walaupun Mafahim HT

99

dalam satu masalah saja. Inilah yang sangat diperlukan di masa sekarang. Fatwa tidak dapat dikategorikan ke dalam ijtihad masalah, sebab fatwa itu sendiri tidak termasuk ijtihad, bahkan nilainya paling rendah diantara jenis karangan (karya fiqh). Periode ini muncul setelah para mujtahidin, menyusul masa murid-muridnya dan yang belajar terhadap mereka, kemudian mereka mengalihkan perhatiannya untuk melakukan syarah terhadap pendapat (pendiri) madzhab dan menjelaskan kaedah-kaedah ushul madzhab tersebut disamping memperkokoh pendapat-pendapat tersebut. Periode ini merupakan masa dominasi bagi ilmu fiqh, karena dikala itu dikarang kitab-kitab pokok fiqh dalam berbagai madzhab yang menjadi rujukan utama dalam masalah-masalah fiqh. Keadaan ini berlangsung sampai abad ke-VII Hijriyah menyusul datangnya masa kemunduran fiqh, yaitu masa kitab-kitab syarah dan hasyiah yang kebanyakan kosong dari penemuan-penemuan baru. Tidak mengandung hal-hal yang baru dalam istimbat dan ijtihad, bahkan dalam satu masalah tertentu. Setelah itu datang masa yang lebih 10 0

Mafahim HT

merosot, dimana para ulama menempuh cara dalam mengemukakan masalah-masalah dan hukum-hukum tanpa menyebut bagianbagiannya atau dalil-dalilnya. Masalahmasalah inilah yang disebut dengan istilah fatwa. Karenaitu kitab-kitab fiqh seperti syarah dan hasyi'ah tidak dapat dijadikan rujukan dalam pengambilan hukum, sebagaimana halnya dengan fatwa yang tidak dapat dijadikan sebagai sumber/rujukan hukum, karena menyimpang jauh dari metode ijtihad dalam pengambilan hukum. Sesuatu yang disusun berdasarkan metode kodifikasi hukum tidak dapat dijadikan rujukan dan sandaran dalam pengambilan hukum, sebab termasuk salah satu bentuk penyerupaan terhadap perundangan Barat. Disamping itu kodifikasi semacam ini merupakan bentuk ringkasan dari fiqh yang lebih banyak mengambil Masa'il Fiqhiyah yang tidak ada dalilnya atau dalilnya lemah, juga diwarnai dengan penyesuaian terhadap zaman dan takwil, agar selaras dengan pandangan Barat dalam pemecahan problematikanya, disamping adanya kelangkaan dari segi tasyri' dan ijtihad. Kodifikasi semacam ini tidak layak Mafahim HT

10 1

untuk diterapkan dan tidak layak pula dijadikan sumber rujukan, bahkan hal seperti ini merupakan bencana bagi fiqh dan tasyri'. Karena ia berupa usaha yang bersifat taqlid yang dapat melemahkan pengetahuan kaum muslimin terhadap fiqh Islam walaupun khazanah fiqh Islam sangat kaya dan ia merupakan kekayaan terbesar di bidang fiqh/hukum bagi seluruh umat manusia. Sudah menjadi keharusan bagi para qadli dan penguasa merujuk kepada khazanah fiqh tersebut. Dengan adanya modifikasi dalam bentuk penyerupaan terhadap Barat, telah mengerdilkan dan mempersempit fiqh, sehingga para qadli tidak akan mengenal fiqh apabila mereka hanya mencukupkan diri mengenal perundangan semacam ini. Disamping itu kodifikasi semacam ini tidak memiliki bentuk Undang-undang, tetapi hanya berupa kumpulan dari nash-nash fiqh yang diambil dari sebagian fuqaha, dan dimuat secara berurutan dalam bentuk bab, pasal dan ayat. Hal ini menyebabkan tidak ada usaha untuk melahirkan kaedah-kaedah umum yang menjadi topik dari pasal-pasal dalam perundangan sekalipun sebagai landasan bagi 10 2

Mafahim HT

masalah-masalah. Sedangkan yang mereka lakukan adalah menjadikan masalah-masalah tersebut sebagai pasal-pasal dalam perundang-undangan. Inilah yang menyebabkan ketidak-sesuaiannya dalam bentuk redaksi perundang-undangan, sehingga apa yang disebut dalam sebagian pasal-pasal dalam bentuk kaedah umum hanya disebutkan melalui kaedah-kaedah yang tidak menyeluruh, dan hanya merupakan beberapa definisi yang dinukil dari kitab-kitab fiqh, bahkan dapat dikatakan hampir secara keseluruhan berbentuk demikian. Karenaitu undang-undang yang semacam ini tidak dapat diambil dan digunakan sebagai bahan rujukan karena kekacauan uslub (susunannya) dan kelemahan bobotnya, disamping karena adanya jarak dengan hukum syara' yang diakui berdasarkan dalil-dalil yang terperinci. Untuk menyusun Undang-undang Dasar dan Undang-undang demi tercapainya pemahaman para qadli dan penguasa perlu ditempuh cara-cara sebagai berikut : 1.

Hendaknya

problema-problema

manusia

Mafahim HT

10 3

dipelajari lebih dulu, kemudian dibuat Undangundang Dasar Umum dalam bentuk kaedahkaedah umum yang menyeluruh, atau hukumhukum syara' yang menyeluruh yang hendaknya bersumber dari fiqh Islam, yang cara pengambilannya melalui pendapat seorang mujtahid dari para mujtahid, dengan mempelajari dalil-dalilnya serta memperdalam dan mengikutinya. Atau dari Al Qur'an, Sunnah, Ijma' maupun Qiyas, akan tetapi dengan cara Ijtihad Syar'i walaupun ijtihad itu Juz'i (bersifat parsial) yaitu ijtihad masalah. Hendaknya menunjuk pada latar belakang di setiap pasal pada madzhab yang menjadi landasannya berikut dalilnya atau pada dalil syara' yang bersumber kepadanya secara langsung dengan proses ijtihad. Hendaknya tidak mempertimbangkan keadaan kaum muslimin yang buruk, juga bukan pada keadaan bangsa-bangsa lain atau sistem/peraturan lain selain Islam. 2. Hendaknya hukum-hukum syara' dijadikan sebagai acuan bagi perundangan dalam uqubat (sanksi, tindak kriminil, ta'zir dan pelanggaran terhadap peraturan negara), huquq (mencakup hak-hak individu/sipil; 10 4

Mafahim HT

politik; dll), bayyinat (pembuktian) atas dasar apa yang ada dalam point pertama sesuai dengan konstitusi dengan menunjuk kepada madzhab berikut dalil-dalilnya. Hendaknya memakai redaksi perundangan dengan menggunakan kaedah-kaedah umum, agar dapat dijadikan rujukan fiqh bagi para qadli dan penguasa. 3. Hendaknya nash-nash syara', fiqh Islam dan ilmu ushul fiqh dijadikan sebagai sumber rujukan bagi penafsiran konstitusi dan Undangundang untuk para qadli dan penguasa, sehingga tersedia bagi mereka sarana untuk memahaminya secara mendalam. Bagi seorang qadli tidak dibenarkan untuk memutuskan sesuatu yang bertentangan dengan kebijaksanaan Daulah terhadap hukum-hukum syara', sebab perintah imam harus berlaku dzahir maupun bathin. Adapun hal-hal yang diputuskan oleh Daulah yang berkaitan dengan hukum-hukum ini, maka seorang qadli mengambil keputusan berdasarkan hukum syara' yang dianggapnya sesuai dengan permasalahan, baik hal ini menyangkut pendapat salah seorang mujtahid dari para mujtahid maupun dari pendapat Mafahim HT

10 5

yang digalinya sendiri berdasarkan ijtihad. 4. Hendaknya pada saat menggali hukumhukum dan penetapannya senantiasa memperhatikan pemahaman keadaan serta ketentuan fiqh terhadap keadaan, disamping memahami cara memecahkan persoalan yang seharusnya dilakukan berdasarkan dalil syara', yaitu memahami hukum Allah yang telah ditetapkan terhadap problema yang sedang dihadapi, kemudian hukum tersebut diterapkan pada fakta tadi (apakah pengambilan hukum tersebut tepat/tidak). Dengan kata lain, melalui pemahaman yang tepat terhadap suatu keadaan/problematika yang bertolak dari ketentuan fiqh dapat sampai pada pengetahuan hukum Allah (dalam problematika tersebut). Negara melaksanakan Syari'at Islam bagi setiap orang yang memiliki kewarganegaraan, baik muslim maupun non muslim. Warganegara non muslim, dibiarkan (bebas) dalam masalah yang berkaitan dengan aqidah dan ibadahnya. Sedangkan hal-hal yang berkaitan dengan makanan, dan pakaian diperlakukan sesuai dengan tata tertib yang 10 6

Mafahim HT

berlaku. Adapun yang berkaitan dengan hukum keluarga diantara mereka, seperti nikah dan talak diurus sesuai dengan agamanya. Urusan syari'at Islam yang lain seperti masalah mua'malah, uqubat, pola pemerintahan, ekonomi, dll. berlaku sama bagi semuanya, baik terhadap kaum muslimin maupun non muslim. Mengenai kaum muslimin, negara memberlakukan Syari'at Islam terhadap mereka secara keseluruhan, baik yang menyangkut urusan ibadah, akhlaq, mu'amalah, uqubat ataupun yang lain. Sedangkan kewajiban Negara adalah menerapkan Islam secara keseluruhan. Pelaksanaannya terhadap non muslim, hendaknya dianggap sebagai salah satu cara mengajak mereka kepada agama Islam, sebab syara' berlaku umum bagi seluruh umat manusia. Negara memberlakukannya di setiap negeri yang dikuasainya agar dapat menyebarluaskan dakwah Islam, sebab kunci dari pembebasan-pembebasan (futuhat) Islam adalah karena tujuan tersebut, yaitu mengemban dakwah Islam. Islam adalah aqidah yang memancarkan Mafahim HT

10 7

nidzam (peraturan). Nidzam inilah yang merupakan hukum-hukum syara' yang telah digali dari dalil-dalil yang terperinci. Islam telah menjelaskan di dalam peraturan tersebut tata cara pelaksanaan hukumnya yang berupa hukum syara'. Hukum-hukum syara' yang menjelaskan tata cara pelaksanaan dinamakan thariqah, dan yang lain berupa fikrah. Hukumhukum syara' yang menjelaskan tata cara pelaksanaan terhadap pemecahan problematika tersebut, pemeliharaan aqidah dan pengembangan dakwah merupakan thariqah. Berdasarkan hal ini maka thariqah Islam merupakan bagian yang tak terpisahkan dari fikrahnya. Maka di dalam dakwah Islam tidak dibolehkan mencukupkan diri hanya dengan cara menerangkan fikrah-fikrahnya saja, akan tetapi juga harus mencakup thariqah. Dengan demikian Mabda' adalah kumpulan dari fikrah dan thariqah. Keimanan kepada thariqah sama halnya dengan keimanan kepada fikrah. Karenaitu sudah menjadi keharusan antara fikrah dan thariqah terdapat suatu kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan, sehingga di dalam pelaksanaan fikrah Islam tidak digunakan 10 8

Mafahim HT

cara-cara selain thariqah Islam, yang keduanya membentuk Islam yang diterapkan dan dikembangkan dakwahnya. Selama thariqah telah terdapat dalam syari'at, maka wajib untuk membatasinya hanya pada hal-hal yang telah disebutkan oleh syara', dan apa yang telah digali dari nash-nashnya. Di dalam kitab dan Sunnah terdapat beberapa hukum fikrah, dan di dalamnya juga terdapat hukum thariqah, diantaranya firman Allah SWT:

ٍ‫وَِإمّا َتخَا َفنّ مِنْ َق ْومٍ خِيَاَنةً فَاْنِبذْ إَِليْ ِهمْ َعلَى َسوَاء‬ "(Dan) Jika kamu mengetahui penghianatan dari suatu golongan, maka kembalikanlah perjanjian itu kepada mereka dengan cara yang jujur" (Al Anfal 58) Ayat di atas mengandung hukum thariqah, sebagaimana pula sabda Rasulullah SAW:

‫ل تتمنو القاء العدو واذا لقيتموه فأثبتوا‬ "Janganlah kamu sekalian berharap bertemu dengan musuh, jika kalian telah bertemu dengan musuh maka bersikap teguhlah." (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Mafahim HT

10 9

Hurairah) Demikian pula hukum-hukum thariqah yang lainnya dapat digali melalui ijtihad dari Kitab, Sunnah, Ijma, Sahabat dan Qiyas, sebagaimana hukum-hukum yang lainnya. KarenaSunnah sebagai penjelas terhadap AlQur'an, maka di dalam Al-Qur'an terdapat fikrah dalam bentuk global yang dirinci dalam Sunnah. Demikian pula di dalam Al-Qur'an terdapat thariqah dalam bentuk global yang dirinci di dalam Sunnah. Karenaitu kita harus menggunakan petunjuk Nabi SAW sebagai pelita, agar kita dapat mengambil hukumhukum thariqah dari perbuatan-perbuatan Beliau yang terdapat di dalam Sirahnya, juga ucapan dan sikap diamnya sebagaimana kita mengambilnya dari Al-Qur'an, sebab semuanya merupakan syari'at. Dan kita jadikan contoh tauladan dalam memahami Sirah adalah para Khulafaur Rasyidin beserta sahabat yang lainnya, sebagaimana kita jadikan akal kita sebagai alat yang efektif untuk memahami serta menggali hukum (istimbat) sesuai dengan cara yang telah 11 0

Mafahim HT

ditentukan oleh syara'. Hukum syara' menjelaskan cara-cara pelaksanaan yang menunjukkan adanya perbuatan-perbuatan yang harus dilakukan, baik yang menyangkut pelaksanaan maupun yang menyangkut pengembangan dakwah. Perbuatan-perbuatan semacam ini bukanlah berupa sarana, karena sarana itu hanya berbentuk alat yang digunakan pada saat melakukan suatu perbuatan yang dapat berbeda sesuai dengan perbedaan amal perbuatan, dan dapat berubah menurut keadaan, selain ditentukan pula menurut jenis perbuatan. Karenaitu tidak dapat diterapkan menurut kondisi tertentu. Adapun perbuatanperbuatan yang ditunjukkan oleh thariqah maka hal ini tidak berubah, bahkan dilakukan sesuai dengan penunjukkan nash dan tidak dibolehkan melakukan suatu perbuatan di luar yang telah dijelaskan oleh syara', begitu pula tidak boleh dilakukan suatu perbuatan pada tempat yang tidak dijelaskan oleh hukum syara'. Dengan melihat secara teliti mengenai seluruh perbuatan/aktivitas yang telah ditunjuk oleh hukum-hukum syara' yang berkaitan dengan thariqah, akan dijumpai Mafahim HT

11 1

bahwasanya perbuatan thariqah adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat fisik dan dapat menghasilkan sesuatu yang bersifat nyata dalam kehidupan, bukan merupakan perbuatan yang akan menghasilkan sesuatu yang tidak nyata, sekalipun kedua jenis perbuatan ini akan menghasilkan nilai yang sama. Contohnya adalah do'a berupa perbuatan yang dapat menghasilkan nilai rohani, dan jihad sebagai suatu perbuatan fisik yang dapat menghasilkan nilai rohani. Doa walaupun merupakan perbuatan fisik, akan tetapi akan mendatangkan hasil bukan dalam bentuk fisik, yaitu pahala sekalipun tujuan orang berdoa adalah untuk mendapatkan nilai rohani. Berbeda halnya dengan jihad karena jihad adalah memerangi musuh yang merupakan perbuatan fisik yang akan menghasilkan sesuatu yang nyata, yaitu berupa penaklukkan benteng-benteng, pertahanan kota-kota atau membunuh musuh dan sejenisnya, walaupun tujuan dari seorang mujahid adalah untuk mendapatkan nilai rohani. Karenaitu perbuatan-perbuatan thariqah merupakan perbuatan yang nyata yang akan menghasilkan sesuatu yang bersifat 11 2

Mafahim HT

fisik dan berbeda dengan perbuatanperbuatan lain. Maka doa tidak dapat dijadikan thariqah untuk berjihad walaupun seorang mujahid senantiasa berdoa kepada Allah. Demikian pula halnya dengan nasehat, tidak dapat dijadikan thariqah bagi seorang pencuri, sekalipun ia dinasehati dan diarahkan. Firman Allah SWT:

ِ‫وَقَاتِلُو ُهمْ حَتّى لَ تَكُونَ فِ ْتَنةٌ وَيَكُونَ الدّينُ ُكّلهُ ل‬ "(Dan) Perangilah mereka itu, sehingga tidak ada lagi fitnah (syirik) dan (sehingga) agama seluruhnya hanya untuk Allah saja." (QS AlAnfal: 39)

‫وَالسّا ِرقُ وَالسّارِ َقةُ فَاقْ َطعُوا أَْي ِديَ ُهمَا‬ “Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri,

potonglah

tangan

keduanya"

)

almaidah 38) Berdasarkan hal ini maka seluruh perbuatan/aktivitas yang dimaksudkan untuk melaksanakan fikrah Islam berupa perbuatanperbuatan yang menghasilkan sesuatu yang tidak nyata, harus ditolak karena sangat Mafahim HT

11 3

bertentangan dengan thariqah Islam. Tidak ada perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk melaksanakan hukumhukum yang berkaitan dengan pemecahan problema-problema kehidupan dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan untuk mengemban dakwah Islam. Sebagai contohnya adalah shalat yang merupakan bagian dari fikrah dan cara pelaksanaanya (jaminan agar kaum muslimin melaksanakannya) dibebankan kepada negara. Maka negara tidak dibolehkan menjadikan pendidikan dan pengarahan sebagai satu-satunya thariqah agar manusia menjalankan shalat. Akan tetapi wajib menjatuhkan sanksi kepada orang yang meninggalkan shalat, berupa sanksi fisik seperti kurungan/penjara, walaupun negara tetap melakukan pendidikan dan pengarahan. Contoh lain bahwa mengemban dakwah Islam adalah bagian dari fikrah. Dan cara pelaksanaannya dibebankan pada negara, yaitu dengan jihad memerangi musuh. Maka tidak dibenarkan negara melawan musuh hanya dengan cara membaca Shahih Bukhari untuk menghilangkan hambatan-hambatan 11 4

Mafahim HT

yang bersifat fisik yang menghadang dakwah, akan tetapi harus menggunakan jihad, yaitu memerangi musuh dengan cara fisik. Begitu pula perbuatan-perbuatan lainnya. Perlu diketahui walaupun perbuatan yang ditunjukkan oleh thariqah berupa perbuatan fisik yang menghasilkan sesuatu yang nyata, akan tetapi perbuatan semacam ini harus diatur sesuai dengan perintah Allah dan laranganNya. Hendaknya pengaturan terhadap perintah dan laranganNya ditujukan untuk ridla Allah, sebagaiman halnya seorang muslim harus selalu menyadari hubungannya kepada Allah, sehingga ia selalu mendekatkan diri kepadaNya dengan shalat dan do'a, membaca Al-Qur'an dan yang sejenisnya. Seorang muslim wajib meyakini bahwa kemenangan datangnya hanya dari Allah. Karenaitu amat dibutuhkan adanya taqwa yang terhunjam di dalam dada, begitu pula dengan berdoa dan berdzikir kepada Allah. Dengan kata lain harus senantiasa berhubungan kepada Allah setiap kali melakukan suatu kegiatan. Hal ini dilihat dari segi thariqah sebagai kumpulan hukum syara' yang harus terjalin erat yang tidak boleh Mafahim HT

11 5

dilanggar. Sedangkan dari segi perbuatan dilihat sebagai salah satu aktivitas yang dapat menghasilkan sesuatu yang nyata. Adapun dari segi pencapaian hasil, harus mengikuti suatu kaedah/pedoman yang bersifat amaliah (praktis), yaitu hendaknya suatu perbuatan berdasarkan suatu pemikiran dan tujuan tertentu. Hal ini karena penginderaan terhadap suatu kenyataan yang didahului oleh pengetahuan sebelumnya, tentu akan menghasilkan suatu pemikiran. Pemikiran seperti ini harus dibarengi dengan perbuatan, dan hendaknya pemikiran dan perbuatan dilakukan dalam rangka mencapai tujuan tertentu. Semua ini harus berdasarkan keimanan sehingga seseorang tetap berjalan dalam suasana iman secara terus menerus. Sekali-kali tidak dibenarkan memisahkan perbuatan dari pemikiran atau dari tujuan tertentu ataupun dari iman, sebab pemisahan semacam ini walaupun sedikit akan membahayakan perbuatan itu sendiri, tujuantujuannya serta kelestariannya. Karenaitu suatu tujuan tertentu harus difahami dengan jelas bagi setiap orang yang akan berbuat sebelum mulai melakukannya. Dengan 11 6

Mafahim HT

demikian merupakan suatu keharusan melandasi perbuatan dengan suatu perasaan yang disertai dengan pemikiran. Dengan kata lain hendaknya pemahaman dan pemikiran itu lahir berdasarkan suatu kenyataan bukan sekedar berprasangka terhadap masalahmasalah yang bersifat khayalan belaka. Hendaknya pengamatan terhadap suatu kenyataan berproses di dalam otak, yang jika digabung dengan pengetahuan yang telah ada sebelumnya dapat menghasilkan proses berfikir di dalam otak yang biasa dinamakan pemikiran. Inilah yang akan menghasilkan kedalaman berfikir dan kreatifitas dalam perbuatan. Perasaan yang disertai dengan pemikiran, akan melahirkan kepekaan berfikir, yaitu suatu kepekaan yang dapat diperkuat oleh pemikiran seseorang. Karenaitu, kepekaan para pengemban dakwah misalnya sesudah memahami masalah-masalah dakwah akan lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Adalah suatu hal yang berbahaya memindahkan suatu perasaan menjadi bentuk perbuatan secara langsung tanpa difikirkan, karena hal ini tidak akan merubah suatu kenyataan bahkan menjadikan manusia Mafahim HT

11 7

berfikir mundur dan terbelakang. Ia berjalan dengan pemikiran yang rendah/mundur dengan menjadikan suatu kenyataan sebagai sumber/acuan pemikiran bukan sebagai obyek pemikiran. Karenaitu indera/perasaan harus dibawa sampai ke tahap berfikir, baru kemudian pemikiran tersebut akan membawanya menjadi suatu perbuatan. Inilah yang memungkinkan seseorang melepaskan diri dari keadaan kemudian bangkit serta berusaha untuk beralih menuju suatu kondisi yang lebih baik secara revolusioner. Orang yang mengindera suatu kenyataan dan langsung bertindak, maka perbuatannya itu bukanlah untuk merubah suatu kenyataan, malahan menyesuaikan diri dengan kenyataan. Akhirnya ia tetap terbelakang dan tertiggal. Sedangkan orang yang mengindera suatu kenyataan kemudian ia berfikir mengenai cara untuk merubah kenyataan itu, lalu berbuat berdasarkan pemikirannya, maka inilah yang akan merubah atau menyesuaikan kenyataan sesuai dengan ideologinya dan merubahnya secara totalitas. Ini adalah cara yang sesuai dengan metode revolusioner yang tidak lain adalah satu-satunya metode untuk 11 8

Mafahim HT

melanjutkan kehidupan Islam, karena metode ini mengharuskan pemikiran terbentuk sebagai hasil dari penginderaan, kemudian memperjelas pemikiran ini sehingga dapat menggembarkan bentuk-bentuk yang sistematis contoh fikrah dan thariqah dalam otak. Dengan demikian manusia akan memahami ideologi ini dengan cara yang benar, yang akan mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan sehingga pemikiran ini menghasilkan perubahan yang sempurna. Disaat itu ia berusaha untuk mempersiapkan individu-individu dan kelompok masyarakat serta lingkungannya dengan pemikiran tersebut agar terjadi perubahan total dalam opini umum, setelah sebelumnya terwujud kesadaran umum terhadap ideologi ini, baik dari segi fikrah maupun thariqah. Kemudian memulainya secara praktis melalui pemerintah yang menerapkan ideologi ini dengan penerapan yang bersifat revolusioner tanpa menerima penerapan secara bertahap maupun tambal sulam. Metode yang revolusioner ini mengharuskan tumbuhnya pemikiran dari Mafahim HT

11 9

penginderaan yang diiringi dengan perbuatan berdasarkan tujuan tertentu. Hal ini tidak akan tercapai kecuali dengan pemikiran yang mendalam. Pemikiran yang dalam seperti ini memerlukan faktor-faktor untuk mewujudkan, menumbuhkan dan menyuburkannya. Metode yang revolusioner ini membutuhkan persiapan individu maupun masyarakat dengan mabda/ideologi Islam. Usaha yang ditempuh untuk mewujudkan pemikiran yang mendalam dan persiapan individu untuk menerima mabda memerlukan studi tentang Islam dari mereka yang hendak berjuang, disamping memerlukan studi tentang keadaan masyarakat. Hal ini tidak akan terjadi kecuali dengan metode membina otak dengan berbagai pengetahuan. Belajar merupakan jalan yang termudah dan paling dekat untuk mendapatkan pengetahuan bagi otak guna membantu mewujudkan pemikiran yang dalam. Islam mempunyai metode yang khas dalam studi/pengajaran. Apabila metode ini dijalankan akan menghasilkan pengaruh/bekas dari pelaksanaan metode pengajaran tersebut. 12 0

Mafahim HT

Metode itu adalah bahwasanya pengetahuan haruslah dipelajari untuk diterapkan. Hendaknya para pelajar mendapatkannya melalui cara berpikir yang membekas dan memberikan pengaruh dalam perasaannya tentang kehidupan sehingga pembawaan dan tanggung jawab dalam hidupnya dihasilkan oleh pemikiran yang membekas, sampai di dalam dirinya terwujud semangat yang berkobar-kobar. Disaat yang bersamaan terwujud pula pemikiran dan pengetahuan yang amat luas sekaligus merealisasikannya sebagai suatu akibat yang dengan sendirinya harus ada. Dengan metode pendidikan ini, dalam diri pelajar terdapat pemahaman dan kemampuan yang berasal dari pemahamannya yang membekas dan bahkan akan memperluas dan menjalin pemikiran dengan perasaan dan mengajarkan seorang pelajar tentang pengetahuan yang nyata untuk memecahkan problematika hidup. Karenaitu sistem belajar harus dijauhkan dari sekedar menuntut ilmu belaka agar pelajar tidak hanya menjadi buku yang berjalan. Begitu pula sistem belajar tidak boleh menjadi sekedar nasehat dan petunjuk. Jika tidak, akan Mafahim HT

12 1

mengakibatkan kedangkalan berfikir, disamping kosong dari semangat iman. Pelajarpun tidak boleh menganggap bahwa belajar Islam hanya sekedar ilmu dan nasehat belaka, bahkan harus menganggapnya dengan mempelajari Islam hanya sekedar ilmu dan nasehat merupakan suatu hal yang amat membahayakan perbuatan, mengabaikan pelaksanaannya dan meninabobokan perbuatan. Untuk mencapai tujuan yang selalu diupayakan haruslah tergambar bahwa tujuan ini memerlukan keseriusan, perhatian dan keterikatan terhadap ketentuan-ketentuan yang diharuskan terhadap pengikut Hizb disamping harus tetap terikat kepada Islam. Islam mempunyai ketentuan tertentu yang bersifat larangan dan perintah, disamping tuntutan berupa pengorbanan harta, jiwa maupun raga. Diantara ketentuan ini ada yang wajib bagi setiap individu ada pula yang lebih dari pada itu (bagi yang menghendakinya). Masing-masing dapat memilihnya, dan akan mempunyai ketinggian jiwa dan pemikiran bagi yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Merealisir ketentuan-ketentuan tadi 12 2

Mafahim HT

adalah suatu keharusan untuk mencapai tujuan. Berdasarkan hal ini jiwa harus dibiasakan dan dipaksa untuk melaksanakan seluruh ketentuan yang wajib di seluruh segi; baik harta, jiwa maupun raga hingga terwujud harapan mencapai tujuan. Untuk menghasilkan suatu aktivitas dakwah, harus ditentukan tempat untuk memulainya dan sekelompok jama'ah yang mengawali usaha tersebut. Memang benar, bahwasanya Islam itu bersifat Internasional, begitu pula Islam melihat seluruh manusia dengan pandangan yang sama dan tidak membedakan antara yang satu dengan yang lainnya, serta tidak memperhatikan lagi perbedaan lingkungan (gurun/pegunungan; kota/desa), iklim (panas/dingin) serta tempat (subur/ kering) dalam urusan dakwah. Bahkan menganggap setiap manusia layak menerima dakwah, serta menganggap setiap muslim mempunyai tanggung jawab dalam penyampaian dakwah ini ke seluruh umat manusia. Namun demikian hal ini tidak bisa di mulai dimana saja di muka bumi, karena memulai di tempat yang tidak ditentukan sama saja dengan mengusahakan kegagalan Mafahim HT

12 3

dan tidak akan membawa keberhasilan sama sekali. Jadi harus dimulai dari seorang individu kemudian penyebarannya beralih ke seluruh dunia. Karenaitu dakwah harus dikembangkan di satu tempat tertentu, lalu ia berkembang sehingga layak dijadikannya sebagai titik awal, baru kemudian tempat tersebut atau tempat lainnya (dimana dakwah telah berkembang) dapat dijadikan sebagai titik tolak dakwah. Dari situlah dakwah akan menyebar pada jalan yang seharusnya, lalu tempat tersebut ataupun yang lain dijadikan sebagai titik sentral tempat tegaknya Daulah yang akan memusatkan kegiatan dakwah yang akan menyebar di jalan yang seharusn yaitu tidak lain dengan jalan jihad. Meskipun beberapa tempat/ daerah diambil sebagai lokasi kegiatan dakwah untuk setiap titik awal, titik tolak dan titik sentral, namun yang berpindah dari titik yang satu ke titik yang lain adalah dakwah bukan tempatnya. Dakwah akan menyebar dari berbagai tempat yang telah ditentukan pada saat yang bersamaan. Sekalipun telah lazim menentukan tempat yang dijadikan sebagai titik awal, titik tolak, dan titik sentral, akan tetapi penentuan 12 4

Mafahim HT

tempat di masing-masing titik tersebut bukan termasuk wilayah yang dikuasai oleh manusia, sebab manusia tidak mampu memilikinya dan tidak akan mampu memilikinya. Jadi penentuan itu sendiri termasuk wilayah yang tidak dikuasai manusia. Dalam hal ini manusia tiada lain hanya berusaha bertindak sebatas wilayah yang mampu dikuasainya. Sedangkan perbuatan-perbuatan yang masuk di wilayah yang lain, maka hal itu sesuai dengan kehendak dan ketentuan Allah SWT. Penentuan titik awal pasti dilakukan di suatu tempat yang di dalamnya muncul seorang pemimpin, yang pertama kali dalam benaknya tergambar dengan gamblang asal muasal dakwah dan telah dipersiapkan oleh Allah SWT untuk mengembangkannya. Mungkin banyak orang yang telah merasakan hal ini, tetapi yang dipersiapkan Allah untuk mengemban dakwah ini tidak diketahui sampai ia muncul, kemudian dakwah di mulai di tempat ia hidup dan tempat itulah dijadikan sebagai titik awal. Sedangkan mengenai titik tolak tergantung dari persiapan masyarakat, karena masyarakat itu berbeda dalam pemikiran, Mafahim HT

12 5

perasaan maupun sistemnya. Jika di suatu tempat terdapat masyarakat yang sudah siap, dan suasana dakwah lebih baik dari pada tempat lainnya, maka tempat tersebut layak dijadikan sebagai titik tolak. Pada umumnya yang menjadi tempat bagi titik awal akan menjadi tempat bagi titik tolak walaupun bukanlah suatu kepastian karena tempat yang paling layak bagi titik tolak adalah tempat yang di dalamnya berkembang kedzaliman, baik dalam aspek politik maupun ekonominya dan yang di dalamnya merajalela atheisme/kekufuran dan kerusakan moral. Adapun mengenai titik sentral juga tergantung pada keberhasilan dakwah dalam masyarakat. Tempat yang masyarakatnya dimana dakwah belum berhasil merubah masyarakatnya dan belum menunjukkan suasana dakwah yang kondusif, tidak cocok dijadikan sebagai titik sentral walaupun disana para pengemban mabda Islam terdapat dalam jumlah yang banyak. Sedangkan tempat yang telah menerima fikrah dan thariqah (mabda ini), kondisi masyarakatnya kondusif serta pemikiran dan thariqah tadi telah mendominasi lingkungan tersebut, maka 12 6

Mafahim HT

tempat itu cocok sebagai titik sentral tanpa memperhatikan lagi jumlah pengemban mabda Islam di dalamnya. Para pengemban mabda tersebut tidak boleh mengukur dakwahnya dengan jumlah pengikutnya. Ukuran seperti ini jelas salah dan membahayakan dakwah, karena hal ini akan mengalihkan perhatian para pengemban dakwah dari masyarakat ke individu-individu. Keadaan ini mengakibatkan pula kelambanan, bahkan bisa juga mengakibatkan kegagalan dakwah di tempat itu. Rahasianya mengapa hal ini bisa terjadi, karena masyarakat itu tidak tersusun hanya dari individu-individu belaka sebagaimana yang dianggap oleh orang kebanyakan. Individu adalah bagian dari kelompok masyarakat, sedangkan yang mempersatukan individu-individu tadi, dalam suatu kelompok masyarakat, adalah faktorfaktor lain yaitu berupa pemikiran, perasaan dan peraturan hidup. Karenaitu dakwah harus ditujukan untuk meluruskan pemikiran, perasaan dan peraturan hidup. Aktivitas ini termasuk dalam dakwah jama'iyah dan dakwah untuk masyarakat bukan dakwah untuk individu. Usaha memperbaiki individu Mafahim HT

12 7

dilakukan tidak lain untuk menjadikan mereka bagian dari kutlah/kelompok dakwah untuk mengemban dakwah ke masyarakat. Karenaitu para pengemban dakwah yang telah memahami hakekat dakwah akan mengkonsentrasikan kegiatannya terhadap masyarakat, begitu pula mereka beranggapan bahwa memperbaiki individu tidak akan mungkin menghasilkan perbaikan masyarakat, dan hal ini tidak mungkin tetap dalam keadaan baik terus menerus. Perbaikan individu akan tercapai dengan jalan memperbaiki masyarakatnya. Apabila masyarakatnya telah diperbaiki, maka otomatis individupun akan dapat diperbaiki pula. Semangat dakwah hendaknya ditujukan terhadap masyarakat dan tetap berpegang pada kaedah yang seharusnya, yaitu perbaikilah masyarakat agar individupun akan menjadi baik dan terus menerus dalam keadaan baik. Masyarakat itu seperti halnya air yang berada dalam sebuah tempayan besar. Apabila disekelilingnya diletakkan sesuatu yang membekukan, maka air itu akan membeku lalu mengeras seperti es. Demikian pula halnya dengan masyarakat, bila 12 8

Mafahim HT

dilontarkan berbagai mabda/ideologi yang rusak tentu masyarakat tersebut akan dikungkung sampai membeku dan akan terus merosot dan terbelakang. Akan tetapi jika di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda/ideologi yang bersifat kontradiktif akan tampak pertentangan, diliputi oleh kekacauan, kedunguan dan ketidakpastian. Bila di bawah tempayan itu diletakkan api, maka air itu akan membara dan bergolak, menghangatkan air, kemudian mendidih, lalu menguap menjadi tenaga yang menggerakkan. Demikian halnya apabila di tengah-tengah masyarakat dilontarkan mabda yang benar, maka akan menghangatkan masyarakat dan kemudian membara yang akhirnya mampu merubah, menggerakkan serta mendorong masyarakat. Masyarakat inilah yang akan menerapkan mabda tadi sekaligus menyebarkannya pada masyarakat yang lain, meskipun didapati perubahan dari suatu keadaan kepada keadaan yang lain yang saling bertentangan. Dengan kata lain proses perubahannya dari kondisi ke kondisi lainnya tidak dapat disaksikan seperti halnya perubahan air dalam tempayan yang tak mampu diamati. Namun Mafahim HT

12 9

demikian bagi orang-orang yang sangat mengetahui keadaan masyarakat, dan percaya bahwa mabda yang diembannya itu ibarat api yang membakar dan cahaya yang menyinari, mereka akan mengetahui bahwa masyarakat itu sedang berproses menuju suatu perubahan, dan bahwa masyarakat itu suatu saat pasti akan mencapai derajat mendidih/ bergolak dan bergerak serta mendorong dan meledak. Karenaitu masyarakat senantiasa mendapatkan perhatian para pengemban dakwah. Dari penjelasan di atas maka tempat yang layak untuk dijadikan pusat tidak dapat diketahui, karena tergantung pada kesiapan masyarakat, bukan sekedar pada kekuatan dakwah saja. Dahulu dakwah Islam di Makkah sangatlah kuat, dan walaupun Makkah juga dijadikan sebagai titik awal dakwah dan sangat cocok dijadikan sebagai titik tolak dakwah, akan tetapi tempat tersebut tidak layak dijadikan sebagai titik sentral. Kenyataannya, yang dapat dijadikan titik sentral malahan Madinah. Karenaitu Rasul SAW berhijrah ke Madinah setelah Beliau yakin dengan kesiapan masyarakatnya. Kemudian di 13 0

Mafahim HT

sana ditegakkan daulah, tempat di mana kekuatan dakwah bertolak menyebar ke seluruh jazirah Arab yang belum terjamah, barulah kemudian ke seluruh pelosok dunia. Dengan demikian dapatlah kita katakan bahwa pengemban dakwah tidak mungkin mengetahui tempat yang dapat dijadikan sebagai titik tolak dan titik sentral. Mereka tidak mungkin mengetahuinya meskipun diberikan kepadanya kecerdasan dan kepandaian serta memiliki daya analaisa yang tajam, tetapi yang mengetahui hal ini hanyalah Allah SWT. Dengan demikian pengemban dakwah haruslah menyandarkan dirinya hanya kepada Allah, dan menjadikan setiap perbuatannya terfokus hanya dari keimanan ini dan bukan karena yang lainnya. Dengan iman hanya kepada Allah inilah akan diperoleh keberhasilan dakwah. Iman kepada Allah mengharuskan tawakkal yang sempurna dengan senantiasa meminta pertolongan kepada Allah, karena hanya Allahlah yang mengetahui segala sesuatu, baik yang dirahasiakan maupun yang tersembunyi. Dialah yang memberi taufiq dan petunjuk kepada pengemban dakwah, Mafahim HT

13 1

menunjuki mereka di jalan yang benar dan jalan yang penuh hidayah. Dengan demikian keimanan itu harus kuat disertai tawakkal yang sempurna kepada Allah dan senantiasa memohon pertolongan kepada Allah Rabbul 'Izaati. Keimanan mengharuskan seorang mukmin beriman terhadap mabda yaitu beriman kepada Islam, karena Islam itu sendiri berasal dari sisi Allah. Keimanan ini pula yang mengharuskan kedalaman dan kekokohan iman, tidak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya, bahkan tidak memberi peluang munculnya jalan-jalan yang dapat meragukan, sebab setitik keraguan terhadap mabda tentu akan mendorong kepada suatu kegagalan, malahan bisa jadi menyebabkan kekufuran dan pembangkangan, kami berlindung kepada Allah dari hal tersebut. Iman yang kuat yang di dalamnya tidak terbetik keraguan sedikitpun merupakan suatu perkara yang yang wajib bagi pengemban dakwah, karena hanya dengan iman seperti inilah yang akan mampu menjamin kelangsungan dakwah dengan langkah yang cepat dan panjang di jalan yang lurus. Iman semacam ini mengharuskan dakwah bersifat 13 2

Mafahim HT

terbuka dan menantang segala sesuatu, menantang adat istiadat dan kebiasaan masyarakat, menantang pemikiran yang renta, dan persepsi yang salah, bahkan menantang opini umum yang keliru, walaupun hal ini dilakukan secara frontal, menentang segala macam aqidah-aqidah dan agama-agama di luar Islam, meskipun akibatnya akan menghadapi fanatisme para pengikutnya. Karenaitu dakwah yang berlandaskan aqidah Islam mempunyai ciri yang tegas, berani dan kuat, analitis serta menentang segala sesuatu yang bertentangan dengan fikrah dan thariqah, serta siap menghadapi dan menjelaskan kepalsuannya tanpa melihat lagi hasil maupun situasi dan kondisinya. Begitu pula tanpa mempedulikan lagi apakah mabda itu sesuai dengan keyakinan masyarakat atau malah bertentangan, apakah diterima masyarakat, ditolak atau malah dilawan. Dengan demikian pengemban dakwah tidak akan memihak suatu bangsa maupun bersikap kompromi. Ia tidak peduli lagi dengan beratnya menghadapi masyarakat dan para penguasa yang jahat, tidak bergaul dengan mereka, tidak berbasa-basi, atau bermanis Mafahim HT

13 3

muka. Namun demikian mereka tetap berpegang teguh pada mabda tanpa memperhitungkan untung-ruginya, kecuali mabda itu sendiri. Iman seperti ini mewajibkan agar menjadikan kedaulatan hanya untuk mabda semata, dengan kata lain hanya untuk Islam saja bukan untuk yang lain. Dan menganggap mabda selain Islam adalah kufur, apapun bentuknya dan bagaimanapun macam perbedaannya. Allah SWT berfirman:

ُ‫لم‬ َ ْ‫َإنّ الدّْينَ عِ ْندَ الِ اْلِس‬ "Sesungguhnya Agama/Diin (yang sah) di sisi Allah, ialah Islam." (QS Ali 'IImran 19) Maka setiap orang yang tidak beriman kepada Allah adalah kafir menurut pandangan Islam. Karenaitu pengemban dakwah secara mutlak tidak boleh mengatakan kepada penganut selain Islam, baik itu berupa agama maupun berbentuk mabda/ideologi: Pegang teguhlah mabda/agama kalian!. Yang seharusnya dilakukan hendaknya menyeru mereka masuk Islam dengan jalan hikmah 13 4

Mafahim HT

(hujjah) dan nasehat yang baik supaya bergabung dengan Islam. Karena dakwah mengharuskan para pengembannya menjadikan kedaulatan hanya untuk Islam saja, hal ini bukan berarti membiarkan saja orang-orang non-muslim, termasuk apa yang dianut dan diyakininya itu sebagai pengakuan terhadap agama mereka, tetapi dalam rangka memenuhi panggilan Allah yang mewajibkan meninggalkan pemaksaan bagi manusia untuk memeluk Islam, serta mengharuskan meninggalkan aqidah dan sesembahan individu masyarakat dengan syarat semua ini dilakukan secara perorangan bukan secara berkelompok, bahkan tidak membiarkan mereka memiliki kekuatan apapun di dalam daulah Islam. Demikianlah iman terhadap mabda mengharuskan kesatuan mabda dalam masyarakat, tidak bercampur dengan yang lainnya. Iman terhadap Islam berbeda dengan pemahaman terhadap hukum-hukum dan Syari'atnya. Karena iman ditimbang dan ditetapkan melalui jalan akal atau dengan jalan yang pokok pangkalnya ditetapkan dengan akal. Dengan demikian di dalamnya Mafahim HT

13 5

tidak terbetik keraguan sedikitpun. Sedangkan pemahaman terhadap hukum Islam tidak hanya tergantung pada akal, tetapi diperlukan juga pengetahuan tentang bahasa arab, kemampuan menggali hukum dan pengetahuan akan hadits-hadits yang shahih maupun yang dla'if. Berdasarkan hal ini maka para pengemban dakwah hendaknya menganggap bahwa pemahaman mereka terhadap hukum-hukum syara' adalah pemahaman yang benar akan tetapi masih terdapat kemungkinan di dalamnya suatu kesalahan. Begitu pula hendaknya menganggap pemahaman orang lain salah, akan tetapi masih terdapat kemungkinan di dalamnya suatu kebenaran, sehingga memberi peluang kepada mereka untuk berdakwah menyampaikan Islam dan hukum-hukumnya sesuai dengan pemahaman dan istimbath mereka terhadap hukum-hukum tersebut. Hendaknya mereka mencoba merubah pendapat orang lain yang di dalamnya didapati pemahaman yang dianggap salah tetapi masih ada kemungkinan benar, lalu dialihkan agar mengikuti pemahaman yang mereka anut yaitu pemahaman yang mereka 13 6

Mafahim HT

anggap benar tetapi memiliki kemungkinan salah. Berdasarkan hal ini pengemban dakwah tidak boleh mengatakan mengenai pendapatnya bahwa hal ini adalah pendapat Islam (ra`yul Islam) akan tetapi yang seharusnya mereka katakan adalah bahwa hal ini berasal dari pendapat mereka dan bahwasanya pendapat ini adalah pendapat yang islami (ra`yun islamiy), yang berdasarkan pada Islam. Para pemuka madzhab dari kalangan mujtahidin menganggap bahwa istimbath mereka terhadap hukum-hukum syara' adalah benar, namun demikian di dalamnya terdapat kemungkinan salah. Mereka masing-masing selalu mengatakan: "Apabila hadits tersebut benar (shahih) itulah madzhabku dan buang jauhlah pendapatku". Demikian pengemban dakwah haruslah menganggap bahwa pendapat yang ditentukannya atau yang telah mereka usahakan sampai pada pendapat yang dipilihnya berasal dari Islam dan sesuai dengan apa yang mereka pahami, adalah pendapat yang benar, tetapi memiliki kemungkinan salah. Sementara itu keimanannya terhadap Islam dari sudut aqidah Mafahim HT

13 7

tidak didapati di dalamnya suatu keraguan. Para pengemban dakwah menganggap pendapat mereka seperti ini karena dakwah menumbuhkan dalam diri para pengikutnya upaya menuju kesempurnaan dan mengharuskan mengoreksi kembali secara terus menerus hakekat kebenaran serta senantiasa menilai setiap hal yang ia ketahui dan ia fahami, sehingga ia dapat menyeleksi setiap sesuatu yang mungkin dipengaruhi oleh hal-hal asing (bukan dari Islam) dan berusaha menjauhkan idea-idea dan pemahaman mereka sehingga menjadi bagian dari tsaqafah gerakan. Semua ini dilakukan agar pemahaman mereka tetap dalam kebenaran dan pemikirannya tetap mendalam, jernih dan bersih. Karena dengan jernih dan bersihnya pemikiran, memungkinkan melakukan aktifitas dakwah, sebab jernihnya pemikiran dan jelasnya thariqah (metoda) dakwah adalah satu-satunya jaminan meraih keberhasilan sekaligus mampu menjaga keberhasilan itu. Namun demikian dengan melakukan seleksi untuk mencapai kebenaran tak berarti harus berliku-liku, terombang-ambing diterpa angin tetapi harus dijadikan pemahaman yang 13 8

Mafahim HT

baku, karena dihasilkan dari pemikiran yang mendalam. Karenaitu, pemahamannya tersebut merupakan pemahaman yang lebih baku (tetap) dibanding pemahaman lainnya. Berdasarkan hal tadi, para pengemban dakwah senantiasa harus waspada terhadap dakwahnya dan terhadap pemahaman mereka tentang dakwah, serta senantiasa awas terhadap fitnah orang-orang yang ingin memalingkan mereka dari pemahamannya. Fitnah semacam ini merupakan perkara paling berbahaya yang menghadang dakwah. Karenaitu, Allah mengingatkan Nabi SAW akan fitnah semacam ini.

َ‫وَا ْحذَ ْر ُهمْ أَنْ َيفْتِنُوكَ َعنْ َبعْضِ مَا أَْنزَلَ الُ ِإلَ ْيك‬ "(Dan) Berhati-hatilah kamu terhadap mereka supaya supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu." (QS Al Maidah: 49) Sayyidina 'Umar ra telah berkata kepada qadli Syuraih, tatkala berwasiat agar merujuk kepada kitabullah seraya berkata: "(dan) Janganlah mereka memalingkanmu dari kitab Allah." Mafahim HT

13 9

Dengan demikian pengemban dakwah harus selalu waspada dari ucapan yang mungkin muncul dari orang-orang yang ikhlas, atau pendapat yang dianut oleh seseorang yang selalu memperhatikan dakwah yang ia sampaikan dengan dalih mashlahat sedangkan pendapatnya itu bertentangan dengan Islam. Hendaknya mereka waspada terhadap hal-hal semacam ini dan tidak memberi peluang kepada seorang pun untuk berbuat demikian karena hal seperti itu adalah bentuk kesesatan yang nyata. Harus dibedakan antara dakwah untuk memeluk Islam dan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam. Begitu pula harus dibedakan dakwah yang diemban oleh suatu kelompok/jama'ah di tengah-tengah ummat seperti yang diemban oleh kelompok dakwah tertentu, dengan dakwah yang diemban oleh daulah Islam. Latar belakang membedakan dakwah menyeru kepada Islam dengan dakwah melanjutkan kehidupan Islam, tidak lain untuk mengetahui tujuan yang hendak dicapai oleh dakwah. Perbedaan keduanya, adalah bahwa dakwah menyeru kepada Islam ditujukan 14 0

Mafahim HT

kepada non-Muslim. Mereka diseru untuk memeluk dan masuk ke pangkuan Islam. Metode praktis (amaliyah) dakwah kepada mereka dilakukan dengan menegakkan hukum-hukum Islam di tengah-tengah mereka oleh Daulah Islam, sehingga mereka melihat cahaya Islam. Hendaklah mereka diseru dengan menjelaskan aqidah serta hukumhukum Islam sampai mereka dapat menggambarkan keagungan Islam. Karenaitu sudah menjadi keharusan bahwa dakwah menyeru kepada Islam seyogyanya dilakukan oleh daulah Islam. Sedangkan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam ini ditujukan pada masyarakat yang individuindividunya mayoritas muslim tetapi memberlakukan hukum selain Islam, yang digolongkan menjadi mayarakat yang tidak Islami sehingga layak disebut sebagai Daarul Kufur. Dakwah di tengah-tengah masyarakat seperti ini dilakukan dalam rangka mendirikan daulah Islam yang menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat tersebut serta akan mengemban dakwah kepada masyarakat lainnya (non-Islam). Hal ini dilakukan apabila tidak ada daulah Islam. Apabila di dunia ada Mafahim HT

14 1

satu daulah Islam yang menerapkan Islam secara sempurna maka dakwah dilakukan untuk menjadikan suatu wilayah atau negara, diterapkan Islam di wilayah tersebut serta menjadikannya bagian dari daulah Islam yang mengemban dakwah Islam dan menjadi masyarakat Islam sehingga wilayah tersebut dianggap layak disebut sebagai Daarul Islam. Hal ini karena seorang muslim tidak boleh hidup di daarul kufur, bahkan merupakan kewajiban baginya apabila negara yang ia hidup di dalamnya --yang semula Daarul Islam telah menjadi daarul kufur-- hendaklah ia berhijrah ke Daarul Islam. Adapun membedakan dakwah yang diemban oleh kelompok/jama'ah di tengahtengah ummat Islam dengan dakwah yang diemban oleh daulah Islam adalah untuk mengetahui bentuk-bentuk aktifitas yang dilakukan para pengemban dakwah. Bahwa dakwah yang diemban daulah Islam akan menonjolkan segi praktis (amaliyah) berupa diterapkannya Islam secara totalitas dan sempurna, sehingga kaum muslimin mengenyam kebahagiaan di dalam kehidupannya, begitu pula kalangan non 14 2

Mafahim HT

muslim (kafir dzimmi) yang hidup di dalam naungan dan lindungan Daulah Islam dapat melihat cahaya Islam, yang pada akhirnya mereka akan berbondong-bondong masuk Islam secara suka rela, tanpa dipaksa, penuh kerelaan dan ketenteraman. Daulah juga mengemban dakwah keluar (dari wilayah Islam) bukan hanya dengan cara seruan dan menjelaskan hukum-hukum Islam saja, tetapi dengan mempersiapkan kekuatan militer untuk berjihad fi sabilillah, juga untuk menerapkan hukum-hukum Islam di negerinegeri yang baru saja ditaklukkan, dengan anggapan bahwa kekuatan atas mereka adalah upaya dakwah yang bersifat praktis. Metode tersebut telah ditempuh juga oleh Rasulullah SAW beserta para Khulafaaur Rasyidiin sesudahnya hingga masa terakhir daulah Islam. Karenaitu mengemban dakwah yang dilakukan oleh daulah dilakukan dengan metode dakwah yang bersifat praktis, baik di dalam maupun di luar wilayah daulah. Sedangkan dakwah yang diemban oleh suatu jama'ah atau kelompok tidak lain berupa aktifitas-aktifitas lainnya. Karenaitu aktifitas yang ditempuh adalah dengan metode Mafahim HT

14 3

fikriyyah (metode yang beranjak dari pemikiran) bukan aktifitas yang berbentuk amaliyah-praktis yang merupakan kewajiban daulah. Kelompok dakwah (kutlah) melakukan sesuatu yang diwajibkan syara' dalam keadaan semacam ini --yaitu menempuh metode fikriyyah-- sampai terwujudnya daulah Islam yang akan menerapkan dakwah secara praktis. Karenaitu dakwah yang dikembangkan oleh sebuah kutlah kepada kaum muslimin tidak lain dalam rangka memahamkan Islam, agar mereka mampu melanjutkan kehidupan Islam disamping berjuang melawan setiap unsur yang merintangi dakwah dengan cara-cara yang diharuskan oleh perjuangannya. Diharuskan meneladani kehidupan Rasulullah SAW di Makkah dan mengikuti langkahnya dalam berdakwah. Dalam hal ini dakwah dimulai dengan langkah pengkajian dan pemahaman tsaqafah Islam yang disertai dengan melaksanakan kewajiban-kewajiban Islam persis dengan keadaan di Daarul Arqam. Kemudian orang-orang mukmin dan jujur yang telah mempelajari dan memahami Islam beralih ke fase berikutnya, yaitu tafa'ul (berinteraksi) dengan ummat, sampai ummat 14 4

Mafahim HT

dapat memahami Islam dan mengerti keharusan terwujudnya daulah Islam. Kelompok dakwah hendaknya memulai terjun ke tengah-tengah masyarakat dengan membeberkan kerusakan-kerusakan masyarakat tersebut serta mencela dan menyerang pemahaman-pemahaman mereka yang salah, pendapat-pendapat mereka yang rusak serta merendahkannya. Hendaknya kelompok dakwah menjelaskan hakekat Islam kepada ummat dan inti dakwahnya agar terbentuk kesadaran secara umum terhadap dakwah. Pemuka-pemuka dakwah adalah bagian dari masyarakat. Ummat secara keseluruhan berusaha secara produktif --di bawah pimpinan kelompok dakwah-- hingga meraih kekuasaan dan terwujudlah daulah Islam. Disaat itulah, dakwah meneladani kehidupan Rasulullah SAW di Madinah dalam penerapan Islam dan mengemban dakwah. Karenaitu bagi kelompok Islam yang mengemban dakwah tidak perlu memperhatikan berbagai aktifitas yang sifatnya "amaliyah" (praktis), dan hendaknya tidak disibukkan oleh hal-hal selain dakwah. Melakukan aktifitas selain dakwah adalah Mafahim HT

14 5

racun dan penghalang dakwah. Karenaitu tidak diperbolehkan menyibukkan diri dengan kegiatan-kegiatan tersebut sama sekali. Rasulullah SAW ketika menyerukan Islam di Makkah yang penuh dengan berbagai kefasikan/kemaksiatan dan kekejian, tetapi beliau tidak mengambil tindakan apapun untuk menghilangkannya. Demikian pula berbagai bentuk kezhaliman, penyelewengan, kefakiran dan kemiskinan yang nampak secara nyata, namun tidak terdapat bukti bahwa Beliau melakukan suatu langkah praktis untuk menghapuskan semua itu. Juga, berhalaberhala yang berdiri tegak di sekeliling dan di atas Ka'bah, walaupun begitu tidak terbukti beliau berusaha memusnahkannya. Akan tetapi beliau hanya mencela tuhan-tuhan mereka, menganggap dungu akal pikiran mereka dan merendahkan perbuatan mereka. Beliau hanya membatasi diri dengan ucapan dan aspek pengembangan pemikiran semata. Namun, pada saat daulah beliau tegakkan dan berhasilnya penaklukan kota Makkah, tak satupun berhala-berhala tersebut tersisakan. Demikian juga pemberantasan terhadap berbagai kefasikan, kedurhakaan, 14 6

Mafahim HT

kezhaliman, penyelewengan, kefakiran dan kemiskinan tak satupun Beliau tinggalkan. Karenaitu, tidak diperbolehkan bagi suatu kelompok yang mengemban dakwah —dalam kapasitasnya sebagai sebuah kelompok— melakukan aktifitas selain dakwah. Hendaknya kelompok tersebut membatasi dirinya dalam aspek ide dan dakwah. Meskipun demikian, tidak ada larangan bagi individu-individu anggota suatu kelompok dakwah mengerjakan aktifitas sosial atau kemasyarakatan. Akan tetapi suatu kelompok dakwah tidak diperkenankan melakukannya, karena tugasnya tidak lain adalah menegakkan daulah Islam agar dapat mengemban dakwah ke seluruh dunia. Sekalipun wajib menjadikan kehidupan Rasulullah SAW di Makkah sebagai contoh agar perjalanan sesuai dengannya, tetapi penting diperhatikan bahwa pembeda antara penduduk Makkah dan dakwah menyeru mereka kepada Islam dengan kaum muslimin sekarang dan dakwah menyeru mereka untuk melanjutkan kehidupan Islam adalah bahwa Rasulullah SAW ketika itu menyeru orangMafahim HT

14 7

orang kafir untuk beriman. Sedangkan dakwah pada masa kini adalah menyeru kaummuslimin untuk memahami Islam dan mengamalkannya. Oleh sebab itu, dakwah sekarang sebenarnya lebih mudah dan lebih dekat (pada keberhasilan). Wajib bagi kelompok dakwah (kutlah) untuk tidak menganggap dirinya sebagai bukan bagian dari umat tempat ia hidup. Sebaliknya, kutlah harus menganggap bahwa dirinya bagian integral dari umat ini. Sebab, masyarakat adalah kaum muslimin seperti mereka. Mereka pun tidak lebih unggul daripada salah seorang kalangan kaum muslimin, sekalipun mereka memahami Islam dan berjuang untuknya; namun, mereka adalah kaum muslimin yang paling berat bebannya dan paling hebat tanggung jawabnya dalam melayani kaum muslimin di hadapan Allah SWT dan di hadapan perjuangan Islam. Wajib para anggauta kutlah Islam mengatahui bahwa mereka tidak berarti apa-apa betapapun banyak jumlah mereka tanpa umat tempat mereka berjuang. Oleh sebab itu, fungsi mereka adalah terjun berinteraksi bersama-sama ummat, berjalan 14 8

Mafahim HT

bersama mereka dalam perjuangan dan menumbuhkan perasaan dalam diri ummat bahwa yang bergerak adalah ummat bukan kelompok. Wajib pula menjauhkan kutlah dari perbuatan, perkataan ataupun indikasi lainnya yang memberi kesan memisahkan kutlah dari ummat dalam segala aspek, baik itu kecil maupun besar. Karena hal ini dapat menjauhkan ummat dari kutlah dan dakwahnya serta dapat menjadikannya sebagai salah satu sandungan masyarakat yang menghalangi kebangkitannya. Sesungguhnya ummat secara keseluruhan, tidak terpisah. Kutlah berdiri tegak untuk membangun daulah. Mereka akan tetap menjaga Islam di tengah ummat dan daulah. Sampai-sampai bila kutlah melihat terdapat kemuduran dalam umat mereka segera membangun keimanan dan kecerdikan dalam diri umat. Bila menyaksikan adanya penyimpangan dalam daulah kutlah bergabung bersama-sama dengan ummat meluruskannya sesuai dengan apa yang telah diwajibkan oleh Islam. Berdasarkan hal ini dakwah Islam yang dikembangkan oleh suatu Mafahim HT

14 9

kutlah akan berjalan di jalur yang seharusnya (normal) dengan perjalanan yang sempurna. Tujuan kutlah adalah melangsungkan kembali kehidupan Islam di negeri Islam dan mengembangkan dakwah Islam ke seluruh dunia. Metode yang ditempuh untuk mencapai hal ini ialah melalui pengambil-alihan kekuasaan. Termasuk metode dalam mengambil alih-kekuasaan adalah mempelajari dan memahami Islam, membina masyarakat dengan Islam dengan pembinaan yang membekas/mempengaruhi dalam mewujudkan pola pikir dan jiwa yang islami untuk membentuk syakhsyiyah Islam. Begitu juga dengan cara berinteraksi di tengah ummat dengan cara memberi pemahaman Islam terhadap mereka, menanamkan pengertian tentang hakekat kepentingan mereka dan bagaimana Islam memberi pemecahan terhadapnya (kepentingan mereka), menjamin hak mereka serta memilih dan menentukan kepentingan ummat. Perjalanan berinteraksi dan terjun di jalan dakwah bersama-sama aktifitas pengkajian dilakukan pada waktu yang bersamaan. Dari sini dapat dimengerti bahwa 15 0

Mafahim HT

aktifitas kutlah hizbiyah berbentuk aktifitas politik. Berdasarkan hal ini maka ciri yang paling menonjol dalam kutlah ini adalah aspek politiknya, karena politik menjadi metode praktis yang pertama yang dimulai dalam dakwah mengajak kepada Islam. Hal ini tidak berarti juga dakwah terbatas pada aspek politis saja atau hanya bagaimana meraih kekuasaan saja. Sebaliknya, ini berarti mengajak kepada Islam dan perjuangan politik untuk meraih kekuasaan secara sempurna dalam rangka mewujudkan daulah Islam yang akan menerapkan Islam dan mengembangkan dakwah Islam harus bersifat kutlah politis. Tidak boleh kutlah (dakwah) bersifat ruhiyah (ritual), kutlah yang hanya mementingkan aspek akhlaq, bukan pula kutlah Ilmiyah (pengkajian) maupun kutlah yang bersifat taklimiyah (pendidikan) dan yang semacam dengan itu. Bahkan diwajibkan menjadikan kutlah itu bersifat politis. Hizbut Tahrir selaku partai Islam adalah suatu partai politik yang bergerak di lapangan politik serta melakukan aktifitas membina ummat dengan tsaqafah Islam, yang di dalamnya aspek politik sangat menonjol. Mafahim HT

15 1

Hizbut Tahrir menentang dan membongkar apa yang dilakukan para penjajah dan para agen kaki tangannya yang menghalangi para mahasiswa dan pegawai dari aktivitas politik serta dari upaya mereka memalingkan jauhjauh masyarakat secara umum dari politik. Dalam hal ini Hizbut Tahrir memandang bahwa masyarakat wajib mengetahui serta mengerti politik dan melakukan pendidikan politik pada mereka. Yang dimaksud dengan aktifitas politik bukan hanya menjelaskan bahwa Islam itu mencakup juga masalah politik, atau menjelaskan bahwa pokok pemikiran politik dalam Islam itu begini dan begitu. Tetapi yang dimaksud dengan politik adalah tanggung jawab pengaturan dan pemeliharaan urusan ummat secara keseluruhan baik di dalam maupun di luar negeri, dan selalu berjalan di jalan Islam, bukan yang lain. Hal ini dilakukan oleh Negara, sedangkan ummat berkewajiban menasehati dan meluruskan negara dalam pelaksanaan tugas-tugasnya. Agar hal-hal di atas terlaksana mau tidak mau harus terdapat Hizb yang bertanggung jawab dalam hal ini di tengah-tengah ummat maupun setelah 15 2

Mafahim HT

adanya daulah Islam nanti. Untuk itu Hizb mengemban dakwah Islam secara total serta menjelaskan kepada umat tentang hukumhukum syara' yang akan memecahkan problema kehidupan. Hizb juga berjuang menerapkan hukum dengan Islam saja dan berjihad melawan para penjajah kafir untuk mencabut mereka dari akar-akarnya. Juga, memberantas kaki tangan dan agen kafir yang mengemban kepemimpinan berfikir penjajah dan ideologinya maupun yang mengembangkan segi politik dan pemikirannya. Mengemban dakwah Islam dan berjuang secara politik di tengah-tengah masyarakat, mengharuskan hizb menentukan wilayah gerakan. Hizbut Tahrir menganggap masyarakat di seluruh dunia Islam adalah masyarakat yang satu. Karena masalah yang dihadapi oleh mereka adalah sama, yaitu bagaimana kembalinya Islam di tengah-tengah ummat. Namun demikian, Hizbut Tahrir telah menentukan titik awal (dakwah) di negerinegeri Arab, yang merupakan bagian dari negeri-negeri Islam, dan berpendapat bahwasanya mendirikan daulah Islam di Mafahim HT

15 3

negeri-negeri Arab merupakan benih unggul bagi daulah Islam. Hal ini telah menjadi langkah yang wajar. Masyarakat di negeri-negeri Islam sekarang berada pada tingkat keadaan politik yang paling buruk, karena pada hakekatnya masih dikuasai dan dijajah oleh negara-negara barat walaupun yang nampak pemerintahannya itu berdiri sendiri. Masyarakat ini tunduk di bawah kepemimpinan berfikir demokrasi kapitalis dengan ketundukan yang membabi-buta diterapkan di tengah-tengah masyarakat sistem demokrasi dalam aspek pemerintahan dan ketatanegaraan. Dalam bidang ekonomi diterapkan sistem ekonomi kapitalis, sedangkan di bidang militer tergantung pada Barat-Asing baik dari segi pesenjataan, latihan-latihan militer, maupun hal-hal yang menyangkut teknik serta keahlian militer. Adapun di bidang politik luar negeri selalu mengikut dengan politik penjajah asing. Karenaitu kami berani menyatakan bahwasanya di negeri-negeri Islam masih berlangsung penjajahan dan senantiasa berupaya untuk mencengkramkan penjajahan 15 4

Mafahim HT

di sana. Sebab, penjajahan itu adalah penghunjaman penguasaan bidang militer, politik, ekonomi, dan kebudayaan atas bangsabangsa lemah untuk dieksploitasi. Mereka menggunakan seluruh kekuasaannya untuk memaksakan kepemimpinan ideologinya dan memantapkan segenap pandangannya dalam segenap kehidupan. Bentuk penjajahan itu berbeda-beda, tercakup di dalamnya penggabungan terhadap negeri-negeri yang dikalahkan dalam peperangan menjadi bagian dari wilayah negeri-negeri penjajah dan membangun koloni-koloni baru, begitu pula membentuk pemerintahan yang merdeka secara kolonial, pada hal kenyataanya tunduk di bawah negara-negara penjajah. Hal ini merupakan kenyataan yang terjadi dan menimpa negeri-negeri Islam, yang secara keseluruhan negeri-negeri Islam ini tunduk di bawah pengaruh dan kekuasaan Barat serta berjalan sesuai dengan program-program imperialisme Barat dari segi kebudayaan. Bersamaan dengan ketundukannya kepada kekuasaan imperialis Barat, pada saat yang sama negeri-negeri Islam menjadi sasaran ekspansi Rusia. Sebab Rusia melalui para agen Mafahim HT

15 5

kaki tangannya berupaya agar masyarakat menganut Komunisme serta menguasai Qiyadah Fikriyah dan pandangan hidupnya dengan jalan menyerukan ideologi Komunisme. Berdasarkan hal ini maka negeri-negeri Islam menjadi jajahan negara-negara Barat, menjadi obyek permainan kepemimpinan ideologi asing, manjadi pusat perhatian Rusia, menjadi sasaran yang harus diperangi dan dikuasai bukan hanya sekedar menjajahnya saja, tetapi juga menguasai dan merubah negeri-negeri Islam menjadi negeri-negeri komunis bahkan merubah masyarakatnya secara keseluruhan manjadi masyarakat komunis sekaligus membasmi segala peninggalan yang berbau Islam. Adalah suatu keharusan menggalakkan aktifitas politik untuk menentang penjajahan saat ini dalam rangka memerangi kepemimpinan ideologi asing dan senantiasa waspada terhadap bahaya serangan asing yang diarahkan ke negeri-negeri kita. Adapun serangan Rusia, maka sesungguhnya bahayanya dalam aspek politik pada saat ini, belum nampak walaupun wujudnya ada. 15 6

Mafahim HT

Serangan mereka terbatas pada para penganjur yang mengemban kepemimpinan ideologinya di berbagai negeri. Kepemimpinan ideologi mereka memfokuskan dan selalu memanipulasi kejahatan politik dan ekonomi yang diderita oleh kaum muslimin, yang diakibatkan penjajahan Barat. Karenaitu memberantas penjajah Barat akan mengarah pada perjuangan melawan bahaya serangan Rusia yang kemudian dilanjutkan dengan mengemban dakwah Islam dengan cara yang benar, dalam rangka memerangi bahaya kepemimpinan ideologi asing. Maka kewajiban untuk menghadapi penjajah Barat merupakan sisi penting dalam aspek perjuangan politik. Perjuangan politik mengharuskan tidak adanya perlindungan kepada negara-negara asing apapun bentuknya, serta apapun jenis perlindungan tersebut. Juga menganggap bahwa setiap upaya meminta bantuan politik kepada negara asing manapun dan setiap propaganda yang ditujukan kepada mereka merupakan pengkhianatan terhadap ummat. Begitu pula wajib menggalang kekuatan dalam diri dunia Islam dengan penggalangan yang bersih (bebas dari ketergantungan bantuan Mafahim HT

15 7

asing) sehingga mampu menjadi kekuatan yang bersifat internasional yang memiliki ciri yang khas (dengan kekuatan sendiri) sekaligus menjadi masyarakat yang bermartabat mulia. Kekuatan inilah yang akan merebut kembali peranan dan kendali dari dua kekuatan militer (Barat dan Timur), untuk menyebar luaskan dakwah Islam ke seluruh dunia dan memimpin dunia secara keseluruhan. Perjuangan politik juga menharuskan menentang sistem undangundang dan peraturan Barat serta segala bentuk yang telah diputuskan oleh penjajah. Diwajibkan pula menolak seluruh program-program dan rencana yang telah dibuat Barat, terutama yang dilakukan oleh Inggris dan Amerika, baik itu program-program yang bersifat teknik dan keuangan dalam berbagai bentuknya ataupun rencana politik dengan berbagai macamnya. Begitu pula wajib memberantas peradaban kebudayaan Barat secara mutlak, hal ini bukan berarti menghilangkan segala macam bentuk peradaban (madaniah), karena peradaban haruslah diambil apabila hal itu merupakan hasil dari sains dan industri. Diwajibkan pula untuk mencabut 15 8

Mafahim HT

kepemimpinan ideologi asing dari akarakarnya. Begitu juga wajib membuang tsaqafah asing apabila hal ini bertentangan dengan pandangan hidup Islam kecuali Ilmusains, karena sains bersifat universal, bahkan harus diambil dari manapun, karena sains merupakan salah satu sebab dari sebab-sebab kemajuan materi dalam kehidupan. Perjuangan politik juga mengharuskan kita agar mengetahui bahwasanya para penjajah Barat terutama Inggris dan Amerika selalu mengarahkan di setiap negeri-negeri terjajah, bantuannya kepada kaki tangannya yang terbelakang dan mendzalimi dirinya atau yang memprogandakan politik dan kepemimpinan ideologi mereka, termasuk sekelompok penguasa dengan cepat mereka menawarkan bantuan pada agen-agen mereka di berbagai negeri untuk membendung harakah Islam ini, mereka membantu baik dengan harta maupun yang lainnya, disamping menggunakan seluruh kekuatan yang diperlukan untuk memberantas harakah Islam. Para penjajah beserta para agen kakitangannya mengusung panji-panji propaganda untuk menentang gerakan pembebasan Islam Mafahim HT

15 9

dan melontarkan tuduhan yang bermacammacam, antara lain; harakah tersebut adalah upahan para penjajah yang selalu menyulut kerusuhan di dalam negeri dan berusaha menghimpun dan mengajak seluruh dunia untuk melawan kaum muslimin, dan bahwasanya gerakan tersebut juga bertentangan dengan Islam, disamping tuduhan-tuduhan lain yang serupa dengan di atas. Berdasarkan hal ini para pengemban dakwah harus menyadari politik penjajah dengan berbagai caranya, sehingga mereka dapat mengungkapkan rencana-rencana penjajah baik di dalam maupun di luar negeri pada waktunya, karena mengungkap rencana penjajah dalam hal ini dianggap salah satu sisi penting dari bentuk perjuangan. Atas dasar inilah Hizbut Tahrir melakukan aktifitas untuk membebaskan keadaan dunia Islam dari bentuk penjajahan secara keseluruhan. Hizbut Tahrir memerangi penjajah dengan peperangan tanpa basa-basi dan tidak hanya menuntut agar mereka keluar (dari negeri-negeri Islam) saja, tidak pula menuntut kebebasan/kemerdekaan yang palsu. Bahkan Hizbut Tahrir menghendaki 16 0

Mafahim HT

mencabut keadaan yang diciptakan oleh penjajah kafir dari akar-akarnya yaitu dengan membebaskan negeri-negeri Islam, lembagalembaga pendidikan dan pemikiran ummat dari pendudukannya, baik itu penjajahan militer, ideologi, kebudayaan, ekonomi dan sebagainya. Dan memerangi siapa saja yang membela setiap hal dari berbagai aspek penjajahan sampai kemudian melangsungkan kembali kehidupan Islam dengan mendirikan kembali daulah Islam yang mengembangkan risalah Islam ke seluruh dunia secara total. Kami bermohon kepada Allah dan kepada-Nya kami berdo'a agar memudahkan kami membawa dan meraih cita-cita tersebut untuk mengemban tugas besar ini. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan.

Mafahim HT

16 1

HIZBUT TAHRIR

Hizbut Tahrir adalah partai politik, mabdanya Islam, tujuannya untuk melangsungkan kembali kehidupan Islam, dengan jalan menegakkan Daulah Islam yang akan menerapkan peraturan-peraturan Islam serta mengemban dakwah ke seluruh dunia. Hizbut Tahrir juga telah mempersiapkan tsaqafah Hizbiyah (tsaqafah Islam yang diadopsi oleh Hizb untuk diterapkan), yang meliputi hukum-hukum Islam dalam seluruh aspek kehidupan. Hizbut Tahrir menyeru kepada Islam sebagai Kepemimpinan Ideologi yang terpancar darinya peraturan-peraturan, yang dapat memecahkan berbagai problematika manusia secara keseluruhan, baik itu problematika dalam bidang politik, ekonomi, budaya, sosial dan lain-lain. Hizbut Tahrir adalah partai politik yang menghimpun/menerima anggota dari kalangan wanita sebagaimana halnya juga menerima anggota dari kalangan laki-laki. Hizbut Tahrir menyerukan pula seluruh lapisan masyarakat kepada Islam, agar mereka terikat dan 16 2

Mafahim HT

mengambil mafahim (ide-ide) dan sistemnya. Hizbut Tahrir memandang mereka, walaupun beraneka-ragam suku-suku dan madzhabmadzhab, dengan pandangan Islam. Hizbut Tahrir mengarahkan interaksi perjuangannya bersama-sama dengan ummat untuk meraih tujuannya. Hizbut Tahrir menentang penjajahan dengan segala bentuk dan slogannya, untuk membebaskan ummat dari kepemimpinan ideologi penjajah serta mencabut dari akar-akarnya, baik aspek budaya, politik, militer, ekonomi dan sebagainya, dari tanah negeri kaum muslimin, serta merubah mafahim (idea-idea) yang telah terpolusi dan tercemari oleh penjajah yang membatasi Islam hanya pada aspek ibadah dan akhlaq semata. ***

Mafahim HT

16 3

1) Hidup adalah fenomena yang terdapat dalam makhluk hidup, seperti tumbuh, berkembang, bereproduksi, bernapas, bergerak, dsb. 2) Dalam bahasa Arab, uqdah artinya simpul dan kubra artinya paling besar. Yang dimaksud uqdatul kubra di sini adalah pemikiran tentang asal usul manusia, alam semesta dan hidup yang menjadi problem terbesar dan mendasar bagi setiap manusia yang harus dipecahkan (pent.)

Related Documents