Uniknya Hizbut Tahrir

  • April 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Uniknya Hizbut Tahrir as PDF for free.

More details

  • Words: 1,682
  • Pages: 4
YANG UNIK DARI HIZBUT TAHRIR [email protected]  Hizbut Tahrir (HT) atau Partai Pembebasan adalah sebuah fenomena politik yang unik di Indonesia. Dari puluhan parpol yang mewarnai pentas nasional, HT adalah partai yang barangkali tertua. Didirikan 1953 di Jordania, HT dari awal menyebut dirinya partai politik, bukan sekedar gerakan dakwah. Sifatnya yang kosmopolit dan internasional, membuat HT berada di mana-mana. Bahkan saat ini telah menjadi Partai Politik Islam Terbesar di Dunia. Di Indonesia HT eksis dengan nama HTI (Hizbut Tahrir Indonesia). Untuk memahaminya, berikut sekilas yang unik dari HT. 1. ORGANISASI DAKWAH TAPI PARTAI POLITIK

manapun. Dan fakta sejarah di berbagai negara menunjukkan bahwa perubahan yang revolusioner tidak pernah, tidak bisa dan tidak perlu melalui jalan parlemen.

HT adalah kelompok dakwah, yang diperintahkan menasehati siapa saja (QS 3:104), sedang yang paling berhak dinasehati itu adalah penguasa, yang mengurusi segala masalah ummat (tanpa dibatasi). Maka dakwah seperti ini bisa disebut aktivitas politik, dan kelompoknya bisa disebut partai politik.

4. REVOLUSIONER TAPI DENGAN PEMIKIRAN TANPA KEKERASAN

2. POLITIK TAPI CERDAS DAN MENCERDASKAN MASYARAKAT Namun aktivitas politik HT adalah “highpolitics” atau “smart and smarting politics”. HT mendidik masyarakat agar sadar hak dan kewajiban islaminya, sehingga mereka bisa mengawasi penguasanya, agar memerintah sesuai dengan Islam. Bagi HT sudah cukup bahwa masyarakat bersama penguasanya berjalan islami, tanpa harus berkuasa sendiri. 3. PARTAI POLITIK TAPI EKSTRA PARLEMEN Meski HT adalah partai politik, namun HT memilih berjalan di luar parlemen. Karena itu HT juga tidak berminat turut dalam Pemilu, sekalipun memiliki massa yang banyak. Ini karena HT memandang, parlemen dalam sistem demokrasi tidak kompatibel dengan Islam, dan tidak akan mampu memberi jalan bagi tegaknya Islam di

Meski HT mengidamkan perubahan revolusioner, namun itu bukan revolusi (ala) sosialis. Revolusi yang dicitakan adalah revolusi pemikiran. Pemikiran-pemikiran busuk di masyarakatlah yang menjadi sebab busuknya sistem dan rusaknya para penguasa. Karena itu pemikiran busuk ini harus digantikan dengan pemikiran Islam yang cemerlang, yang pada saatnya akan mencerahkan masyarakat, sehingga mereka mampu memilih penguasa yang tercerahkan. Pemikiranlah yang akan menggerakkan perubahan bahkan revolusi di segala bidang (QS 13:11). 5. MENGUBAH MASYARAKAT TAPI TANPA MELUPAKAN PERUBAHAN PRIBADI Meski HT memperjuangkan perubahan masyarakat, namun ini tidak didrop dari atas, ataupun didongkrak dari bawah (individuindividu). Masyarakat tidak sekedar himpunan individu, namun individu-individu yang berinteraksi dan diikat pemikiran, perasaan dan peraturan yang sama. Karena itu HT mendidik secara individual para kadernya, seraya bersamasama melakukan interaksi ke masyarakat untuk merubah opini umumnya. Bila kader-kader itu kebetulan memiliki power, sementara opini umum

juga sudah kondusif untuk Islam, maka perubahan sistem akan berjalan mulus. Selanjutnya sistem baru yang islami ini akan memacu islamisasi lagi, tanpa harus membuat semua orang menjadi kader. 6. FUNDAMENTAL NAMUN TIDAK DOGMATIS Sebagai gerakan yang merindukan tegaknya syariat Islam yang diyakini satu-satunya alternatif mengatasi krisis multi dimensi, HT dapat dibilang ada di kubu “fundamentalis”, atau “revivialis”. Namun demikian, HT bukan gerakan dogmatis. Bahkan untuk masalah aqidah saja (untuk pertanyaan: mengapa mesti percaya pada Islam?), HT menggunakan metode rasional semata. Karena itu oleh sebagian gerakan lain juga di kubu fundamentalis HT pernah disalahpersepsikan sebagai neo-mu’tazilah. Dalam fiqh, HT menelusuri dalil secara mendalam, tanpa terbelenggu keharusan mengikuti madzhab tertentu. 7. SYARIAT ISLAM NAMUN BUKAN SEKEDAR NAMA Meski menyerukan penerapan syariat Islam, namun berbeda dengan lainnya, HT tidak terjebak pada sekedar usaha memasukkan Piagam Jakarta ke amandemen UUD 45, atau pada jargon piagam Madinah. HT justru mengusulkan suatu rancangan konstitusi baru yang seluruh pasalnya diambil dari Islam, dan memandang piagam Jakarta maupun piagam Madinah baru sebagian kecil dari syariat itu sendiri. HT memandang syariat Islam sebagai solusi integral (politik-ekonomi-sosialbudaya-hankam). Karena itu syariat tidaklah sekedar hukum (3Dsanksi) Islam, seperti hukum potong tangan bagi pencuri atau rajam bagi pezina. Dalam masalah ekonomipun, ekonomi syariat tidak sekedar ekonomi anti riba plus zakat, namun lebih jauh mulai dari paradigma, teori kepemilikan, teori harga, peran negara dsb. 8. NEGARA ISLAM NAMUN BUKAN TEOKRASI HT memandang, suatu negara yang menjalankan syariat Islam, dan keamanannya dijamin oleh kaum muslim, adalah negara Islam. Namun negara itu bukanlah theokrasi yang dikuasai para padri yang memerintah atas nama Tuhan. Negara Islam adalah negara dunia, yang dihuni orang sholeh maupun orang jahat, muslim maupun bukan. Dalam negara Islam, meski kedaulatan ada

pada syara’, namun kekuasaan ada pada rakyat, sedang manfaatnya ditujukan ke seluruh alam. 9. MENYATUKAN UMMAT TAPI BUKAN MENYATUKAN ORGANISASI/PARTAI Negara hanya tegak bila kaum muslim bersatu. Namun menurut HT, persatuan ummat tidak berarti harus menyatukan partai. Keberadaan banyak partai itu sunnatullah, karena memang ada banyak dalil yang bisa ditafsirkan beraneka. Ketika ada khalifah, dialah yang memutuskan pendapat mana yang akan dilegislasi dan mengikat semua orang, termasuk yang berbeda pendapat. Namun ini hanya untuk persoalan kemasyarakatan. Dan pendapat yang berbedapun boleh dipelajari. Inilah mengapa mazhab-mazhab fiqh tetap hidup, sekalipun khalifah saat itu melegislasi pendapat satu mazhab saja. 10. KHALIFAH TAPI TAK SEKEDAR PEMIMPIN JAMA’AH Dan tentang figur khalifah, HT memandang khalifah bukan sekedar pemimpin jama’ah semacam yang ada pada Ahmadiyah atau Laskar Hizbullah. Namun khalifah adalah kepala negara dan pemerintahan. Khalifah juga bukan jabatan yang bisa diwariskan, karena ia semacam kontrak sosial. Adapun yang terjadi di masa lalu, harus dikaji secara jernih, dan pula sejarah bukanlah dalil hukum yang mengikat. 11. ORTHODOX NAMUN DENGAN IJTIHAD HT sangat teguh memegang dalil syara’. Namun demikian HT juga sangat peduli pada ijtihad asal memenuhi syarat. Termasuk arena ijtihad yang subur adalah konsep pembentukan dan kebangkitan masyarakat. Ini karena ulama terdahulu tidak mewariskan sedikitpun kajian di sini, sebab saat itu tak ada yang membayangkan bahwa khilafah Islam yang besar dan berperadaban tinggi bisa runtuh. 12. MUSYAWARAH NAMUN BUKAN DEMOKRASY

HT membedakan syura’ dengan demokrasi. Proses pengambilan keputusan dibagi tiga: (1) Untuk masalah hukum, syura dilakukan untuk memilih pendapat yang terkuat argumentasinya bukan terbanyak pendukungnya. (2) Untuk masalah teknis, serahkan pada ahlinya, bukan pendapat mayoritas. (3) Yang diserahkan pendapat mayoritas adalah hal-hal optional yang sama-sama mubah, misalnya memilih pejabat yang paling akseptabel, setelah semua sama-sama memenuhi syarat. 13. RADIKAL NAMUN TIDAK EKSLUSIF Sebagai gerakan yang memperjuangkan perubahan yang mendasar, HT dapat disebut gerakan radikal (radix 3D akar, mendasar). Namun HT jauh dari kesan eksklusif. HT berbaur di masyarakat dan tidak berpretensi membentuk perkampungan sendiri. Maka aktivis HT hanya bisa dikenali dari pemikirannya, tidak dari lahiriahnya. Kalaupun wanita aktivis HT berjilbab, itu bukan karena HT-nya, namun memang itu kewajiban Islam. Bahkan HT tidak punya bendera. Bendera hitam bertulisan kalimat tahlil putih yang sering dibawanya adalah bendera Islam. Dan ini boleh dibawa setiap muslim! 14. SUBSTANSIAL NAMUN JUGA SIMBOLISTIK HT memandang segalanya dari sudut hukum syara’, dan tidak dari dikotomi substansi simbol. Maka tak perlu menonjolkan satu dan mengabaikan lainya. Pengentasan kemiskinan atau pemberantasan KKN sama wajibnya dengan menutup aurat atau sholat lima waktu. Keduanya harus didukung baik di tingkat individu dan - bila perlu di tingkat negara. 15. JIHAD TAPI DAMAI HT mengakui bahwa jihad memiliki makna bahasa “usaha sungguh-sungguh”. Namun syara’ telah memberi definisi spesifik, bahwa jihad adalah segenap usaha mengatasi kekuasaan tirani asing yang merintangi dakwah secara fisik. Jadi jihad tak hanya untuk mempertahankan diri, apalagi sekedar melawan hawa nafsu. Sedang usaha mengoreksi penguasa / melenyapkan kemungkaran di negeri Islam, tidaklah disebut jihad, melainkan dakwah atau nahi mungkar dan ini tidak dengan kekerasan, kecuali penguasa

daulah Islam mengkhianati baiat rakyatnya, yang mewajibkannya menerapkan Islam. Sedang usaha mendirikan daulah Islam itu sendiri, sama sekali harus tanpa kekerasan. Rasulullahpun saat di Mekkah, berjuang tanpa kekerasan, meski banyak pengikutnya disiksa. Revolusi pemikiran tak bisa tidak selain dengan pemikiran juga, melalui dialog, diskusi publik, media massa dsb. 16. TAK KOMPROMI NAMUN TANPA KEKERASAN Dalam aktivitasnya, HT tidak mengenal kompromi dalam masalah syara’, sekalipun bagi gerakan lain itu adalah manuver politik. Namun sikap anti kompromi ini tidak berarti HT pro kekerasan. Bahkan di Jakarta, HT mendapat penghargaan Polda, sebagai penggelar demo paling tertib di Jakarta. Hal ini karena HT memandang jalan raya sebagai milik publik dan haram menghalangi orang untuk lewat. Selain itu HT melihat polisi hanya sebagai alat negara. Dan preman, bahkan pelacur sekalipun bukanlah musuh, karena hakekatnya mereka juga korban dari sistem yang tidak islami.

17. LIBERATING (MEMBEBASKAN) NAMUN BUKAN LIBERAL Meski memperjuangkan syariat Islam, HT memilih nama universal “Hizbut Tahrir” (Partai Pembebasan) tanpa label “Islam”, karena ini mubah. Namun pembebasan itu bukanlah liberalisme (bebas dari batasan apapun kecuali yang bermanfaat baginya), melainkan pembebasan dari penghambaan pada sesama manusia menjadi pada Allah saja. 18. TOLERANSI NAMUN BUKAN PLURALISME Dari pemahaman bahwa ada dalil-dalil syara’ yang bisa ditafsirkan berbeda, HT toleran pada mereka yang masih punya “syubhatud dalil” (dalil tipis) yang masih islami. Atas pemikiran dan aktivitas gerakan lain, HT berpendapat bahwa gerakan lain itu islami, meski pendapatnya berseberangan dengan HT. Namun tidak berarti HT setuju dengan doktrin yang mengharuskan kekuasaan di-share ke kelompok dengan pemikiran yang berbeda-beda. Karena dalam masyarakat tetap harus ada suatu pemikiran tunggal yang mempersatukan.

Untuk hukum yang menyangkut masyarakat luas (bukan soal Qunut atau rokaat tarawih), mau tidak mau HT harus dan akan mengambil sikap untuk memperjuangkan pendapat yang terkuat hujjahnya saja. Terhadap pendukung pendapat islami lainnya, dikembangkan iklim dialog dan toleransi. 19. INTERNATIONAL NAMUN BEKERJA LOKAL Sedari awal HT sadar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Karena itu, seluruh manusia pantas dijadikan sasaran dakwah. Maka HT ada di seluruh dunia, juga di negara-negara Barat. Dakwah memang harus dimulai dari entitas yang bisa diakses. Karena itu prioritas dakwah tetap pada kaum muslim dulu. Dan karena bangsa Arab adalah komponen muslim terbesar dengan ikatan emosional tertinggi, maka pada mereka dakwah lebih intensif

Referensi: Abdul Qadim Zallum: Nizhamul Hukum Hizbut Tahrir: Ta’rif Hizbut Tahrir Taqiyyudin An-Nabhani: Mafahim Hizbut Tahrir

20. LOKAL TAPI BUKAN NASIONALISME Namun meski bekerja secara lokal, tidak berarti HT setuju dengan nasionalisme atau patriotisme. Bahwa HT akan berdiri di garis depan bila negerinya diserang orang-orang kafir, itu pasti. Namun ini bukan karena merasa pengabdian tertinggi adalah pada bangsa dan negara, melainkan karena HT yakin membela negeri Islam dari serangan orang-orang kafir adalah kewajiban syara’. HT berpikir lebih kosmopolit dan globalisasi, karena syara’ setiap bicara tentang ummat Islam, tidaklah spesifik hanya untuk muslim di negeri tertentu saja. Demikian juga, cita-cita mendirikan khilafah Islam sebagai cikal bakal suatu “superstate” tidak tertuju hanya di wilayah teritorial tertentu saja, melainkan di mana saja yang memang paling kondusif untuk itu, di sanalah citacita itu akan mulai direalisasi. Tidak oleh HT, namun oleh ummat yang telah berubah cara berpikirnya.

Related Documents