1. Cerita Tentang Menghargai Hal Kecil Ada dua orang yang sedang menuju ke hutan, mereka ingin mencari kayu bakar. Setelah sepakat untuk bertemu di depan hutan, salah satunya membawa sebuah kapur. Lalu kawannya bertanya padanya. “Untuk apa kau membawa kapur?” “Untuk menandai jalan.” “Maksudmu jalan ke hutan?” “Iya. Kalau aku menandai setiap pohon dengan kapur, maka ketika kita tersesat, kita akan mudah menemukan jalan pulang.” Dengan wajah polos ia mengatakan itu. Bukannya setuju dan mengiyakan dia, kawannya malah menertawakan dan dengan wajah mengejek bilang kepadanya. “Untuk apa jalan ke hutan kita tandai? Hutan ini tak terlalu luas untuk ditandai, bahkan ketika kita tersesat, kita hanya perlu menyusuri hutan ini sampai menuju ujungnya. Dengan catatan, kalau kita tersesat.” “Terkadang kita tak tau apa yang akan kita hadapi.” “Tentu saja, tapi tersesat jelas bukan salah satunya.” “Yah, terserah.” Setelah percakapan singkat itu, mereka lalu sepakat untuk langsung menuju hutan. Si anak yang membawa kapur dengan rajin menandai setiap pohon yang ia lewati dengan tulisan putih besar. Sementara yang lainnya sibuk bermain-main dengan peralatan yang ia bawa. Bahkan dia sempat menangkap ayam hutan, untuk dimakan kemudian. Setelah sampai pada bagian hutan tempat mereka akan mengambil kayu bakar, mereka beristirahat sebentar. Mereka menggelar bekal mereka dan mulai makan makanan yang disiapkan dari rumah. Mereka juga mulai membakar ayam hutan yang sempat mereka tangkap. Kedua anak itu mulai bercanda, dan tertawa sambil terus membolak-balikkan daging ayam. Namun, ternyata aroma daging ayam itu memancing perhatian hewan buas. Ketika mereka sedang tertawa, tiba-tiba seekor macan meloncat dari semak-semak dan berusaha menerkam mereka. Berkat kesigapan mereka berdua, mereka sempat untuk menghindar. Namun, si macan datang bergerombol dan salah satu dari mereka, dan senjata yang mereka bawa hanya kapur dan golok. Dan bertarung melawan segerombolan macan hanya dengan golok jelas bukan ide bagus, bahkan jika mereka juga punya kapur. Jadi dengan anggukan penuh pengertian, mereka berdua berlari dan berusaha untuk kabur. Mereka berlari dan terus berlari sampai matahari hampir terbenam. Hingga akhirnya mereka lolos dari macan-macan itu.
Namun, ketika mereka berpikir masalah terbesar sudah mereka lewati, mereka sadar…, mereka bahkan tak tahu di mana mereka saat ini. Dengan kata lain, mereka tersesat. Setelah yakin kalau macan-macan itu sudah tidak lagi mengikuti mereka, mereka berjalan menyusuri jalan, seperti yang diusulkan oleh salah satu dari mereka. Mereka berjalan, namun setelah sekian jam mereka berjalan, mereka sadar, mereka hanya kembali ke tempat awal mereka. Mereka tersesat. Matahari sebentar lagi tenggelam, dan ketika itu terjadi berarti masalah mereka akan bertambah banyak. Namun, ketika mereka berada di ambang keputus asaan, salah satu dari mereka menemukan jejak kapur yang tertulis di pohon. Dan mereka mnyusuri jejak itu, hingga mereka keluar dari hutan, tepat sebelum matahari terbenam. Ternyata kapur yang salah satu dari mereka tulis adalah penyelamat hidup mereka dari marabahaya. Hal kecil yang dianggap sepele oleh salah satu dari mereka ternyata adalah yang mengusir bahaya maut di tengah hutan malam. Maka mereka menyadari jangan pernah menganggap sepele hal kecil.
2. Cerita Tentang Bekas Yang Ditinggalkan dari Amarah Pada suatu hari, ada seorang anak yang berkelahi di jalan, salah satu dari mereka lalu membentak dengan omongan kasar kepada salah satu lainnya. Lalu, seorang guru dari sekolah mereka belajar kebetulan lewat di jalan itu, dan menegur mereka. Namun, saking aiknya mereka berkelahi, mereka tak sadar kalau guru mereka ada di sana. Si guru lalu mengambil kertas dari tasnya dan membuat bola dari kertas itu. Dengan kertas itu, ia kerapkan sedikit tenaga di tangannya dan melemparkan kertas itu ke arah anak yang membentak tadi. Setelah dilempar dengan kertas, ia menengok kea rah datangnya kertas itu, dan keduaduanya terkejut setengah mati, sang guru dengan tersenyum melemparkan pandangannya pada mereka. Ketika mereka tepikir kalau mereka akan dimarahi habis-habisan, sang guru malah menyuruh si anak yang membentak tadi untuk mengambil kertas yang tadi ia lemparkan. Dengan penuh kebingungan, anak tadi mengambil kertas itu, dan menyerahkan pada sang guru. Bukannya menerima, sang guru malah kembali menyuruhnya untuk merapikan kertas tadi. Anak tadi mengangguk. Ia berusaha untuk merapikannya. Namun, ketika berusaha merapikan hal itu, ternyata tak kunjung rapi. Sang guru kembali tersenyum dan bilang kepada mereka. “Anakku, alasan kenapa aku menyuruhmu untuk merapikan kertas ini adalah untuk memberitahumu, ketika kau membentak seseorang, maka hatinya akan seperti kertas ini. Ia akan tak bisa rapi kembali. Mungkin ia bisa rapi, namun takkan pernah serapi sebelum ia diremas. Bahkan ketika dirinya sudah memaafkannya.” “Janganlah membentak orang lain. Pikirkan tindakanmu dahulu, anakmu.”