Persembahan Terakhir

  • Uploaded by: Muhammad Ikhsan
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Persembahan Terakhir as PDF for free.

More details

  • Words: 1,591
  • Pages: 4
Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Persembahan Terakhir November 16th, 2007 by miftahelkautsar

Siang ini matahari terasa begitu menyengat dikepalaku. Panas sekali. Debu-debu berterbengan ketika sebuah mobil menyalipku dari belakang saat aku sedang berjalan kaki menuju sebuah jalan besar tempat angkutan umum yang kucari berada. Saat itu aku sedang dalam perjalanan pulang menuju ke rumah dari sebuah Sekolah Lanjutan Tingkat Atas, tempatku bersekolah yang berada di bilangan Jakarta Timur. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku disibukkan oleh berbagai persoalan yang kedepannya akan kuhadapi. Persoalan ujian kelulusan yang belum kupersiapkan secara matang, pilihan jurusan di Perguruan Tinggi Negeri yang belum mantap, dan biaya kuliah yang akan kujalani seakan membuat perjalananku ke rumah seakan-akan menjadi lebih singkat dari biasanya. Setibanya aku di rumah, kujumpai ummi sedang menjahit baju pesanan orang. Kasihan rasanya melihat apa yang ummi lakukan. Ingin sekali rasanya kularang ummi untuk menjahit baju lagi. Tubuhnya sudah terlalu renta untuk menggantikan abi yang telah wafat untuk mencari nafkah keluarga. Tapi jika ummi berhenti menjahit, apa yang akan kami gunakan untuk membiayai kehidupan kami. Rasa belas kasihku pada ummi makin menjadi-jadi setelah kuingat kakakku Umar yang menyusahkan ummi dengan tingkah lakunya. Pergaulannya dengan anak ujung gang telah menjadikannya pengguna obat terlarang. Semakin kuat tekadku untuk membahagiakan ummi. Tapi apa yang dapat ku lakukan?! Tak lepas pikiranku memikirkan apa yang dapat kuperbuat untuk meringankan beban yang ummi tanggung. Akhirnya dari sebagian sudut pikiranku berhasil kutemukan suatu keputusan untuk membahagiakan ummi. Aku harus masuk Perguruan Tinggi Negeri. Informasipun mulai kukumpulkan, segala hal yang berkaitan dengan pilihan jurusan yang ada di PTN. Kususun berbagai informasi itu sebelum bulat akhirnya kuputuskan untuk memilih jurusan Teknik Mesin di perguruan tinggi negeri yang ada di kota Depok. Hari demi hari kulewati dan sang waktu mengantarkanku pada ujian kelulusan SLTA. Ini adalah awal dari serangkaian jalan yang harus kutempuh untuk menuju cita-cita yang kudambakan. Citacita yang kuharap dapat mengurangi beban penderitaan yang ummi tanggung selama ini. Dua hari yang menjadi awal penentu ini kulewati dengan perasaan yang cukup menegangkan. Hasilnyapun cukup menggembirakan. Aku lulus dengan nilai diatas rata-rata. Mudah-mudahan ini bisa menjadi awal persembahanku pada ummi. *** Siang ini cuaca tidak terlalu menyengat seperti hari-hari sebelumnya. Langit berawan menahan sinar matahari yang ingin bercengkrama dengan berbagai aktivitas yang dilakukan oleh ribuan masyarakat yang ada di kota Jakarta ini. Kota tempat aku dilahirkan yang menurut ummi kelahiranku adalah kelahiran yang tidak disangka-sangka. Setelah aku selesai mengurus ijazah, nilai, dan berbagai surat lainnya yang berkaitan dengan kelulusanku, aku pulang ke rumah. Dalam perjalanan pulang pikiranku melayang, memikirkan apa yang harus aku kerjakan setelah ini. Ada tenggang waktu sekitar satu bulan sebelum aku menjalani

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Rencana demi rencana kususun sebelum akhirnya aku tiba di kediamanku. Saat kubuka pintu rumahku, hatiku bertanya-tanya ketika mendapati mesin jahit yang biasa ummi gunakan lengang tak berbunyi. Kucari ummi ke setiap ruangan di rumahku dengan tergesagesa karena segera ingin kutunjukkan nilai-nilai yang kudapat dengan jerih payahku sendiri. Tibatiba sekujur badanku terasa lemas ketika kudapati tubuh tua itu terbujur lemah tak berdaya di kamarnya. Rasanya sendi-sendiku bagai dihujam dengan anak-anak panah. Kupegang tangannya yang telah keriput dan kusapa ia dengan lembut. “Ummi…” Perlahan kedua bola matanya terbuka dan bibirnya mulai berucap. “Ummi sakit nak…” Tanpa berpikir lebih lama lagi, lekas-lekas kubawa ummi ke rumah sakit terdekat. Namun yang mengagetkanku adalah ummi dinyatakan harus menjalani rawat inap. Hari demi hari ummi lewati dengan tubuh terbaring layu di atas tempat tidur yang berselimutkan kain putih. Kondisi kesehatannya pun belum bisa dinyatakan membaik. Kutemani ummi siang dan malam sambil mempersiapkan diriku untuk menjalani ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Semakin lama ummi dirawat, semakin membengkak pula biaya yang harus kutanggung. Aku bingung sekali dengan apa harus kubayar semuanya. Namun yang bisa kulakukan kala itu hanyalah belajar dan berdoa. Dengan penuh rasa kesedihan dan mencoba untuk sabar kuhadapi segalanya. Waktupun terasa begitu cepat. Tanpa terasa besok adalah hari pertama penentuanku, hari ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Hari yang mentukan apakah aku dapat meringankan beban yang ummi tanggung selama ini atau tidak. Hari yang menentukan apakah aku akan berkuliah di Teknik Mesin atau tidak. Kutatapi tubuh ummi yang masih terlihat lemah tak bertenaga. Kedua bola matanya masih terpejam. Masih terlihat amat menyedihkan dengan selang oksigen yang ada di hidungnya. Perlahan mulutku berdzikir. Kusebut berbagai nama baikmu ya Allah yang mampu kusebut. Tak terasa air mataku berjatuhan membasahi pipiku. Entah apa yang hendak Engkau sampaikan pada hamba-Mu ini. Kulihat jam di dinding di ruangan tempat ummi dirawat. Pukul 10.10 malam. Segera kubereskan sebagian barang-barangku untuk kubawa pulang. Aku harus segera istirahat karena besok pagi-pagi benar aku harus berangkat ke lokasi ujian. *** Di ruang ujian pikiranku masih tertuju pada ummi. Tak sabar aku menunggu dua hari waktu ujianku. Semakin aku memikirkan ummi, semakin kuat harapanku untuk lulus dalam dua hari yang menentukan ini. Aku ingin membuat ummi tersenyum. Aku ingin melihat wajah tuanya berseri kembali. Namun aku benar-benar ragu untuk yang satu ini. Karena sejak dua hari yang lalu ummi belum sadarkan diri. Tapi masih ada keyakinan dalam diriku bahwa ummi masih mendegar apa yang kuucapkan. ***

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

Setelah masa-masa ujianku berlalu, kembali rutinitas yang kulakukan di rumah sakit berulang. Aku kembali berada di sisi ummi yang terbaring. Menanti apa yang ummi inginkan, menunggu penjelasan dokter yang mengecek kondisi ummi, shalat, mengaji, dan segenap aktifitas lainnya yang dapat kulakukan di ruangan itu. Namun ada perbedaan antara aktifitasku sekarang dengan hari-hari sebelumnya. Perbedaan pertama yang kurasakan adalah aku tidak menjaga ummi sambil belajar lagi karena masa-masa ujianku telah lewat dan yang kedua adalah aku tidak mendengar suara ummi sedikitpun karena ini sudah hari keempat ummi tidak sadarkan diri. Hingga pada suatu senja, saat matahari telah lelah menampakkan wajahnya, kuarahkan wajahku kearah jendela kaca yang ada di sisi ummi. Tampak jelas olehku terbenamnya sang surya yang berwarna kemerah-merahan. Senja ini berbeda dengan senja-senja yang kurasakan pada hari sebelumnya. Senja kali ini benar-benar menentramkan hatiku. Entah mengapa ketenangan dan keteduhan hati tiba-tiba saja menghampiri. Kubuka kaca jendela tersebut. Dari kejauhan terdengar suara adzan Maghrib berkumandang. Nyanyian penghambaan yang saling sahut-menyahut dari berbagai masjid. Ya Allah saat ini seluruh ciptaan-Mu di muka bumi ini berdzikir memuja-Mu. Bahkan bumi tempat kami berpijak dan lagit yang menaungi kami, semuanya memuji nama-Mu. *** Dua hari lagi pengumuman hasil ujian masuk Perguruan Tinggi Negeriku akan dipampang di berbagai Koran di ibu kota ini. Besar harapanku untuk lulus. Karena kelulusanku berarti meringankan beban yang ummi tanggung. Pagi ini aku duduk di samping ummi sambil kupegang telapak tangannya setelah semalaman aku tertidur dengan begitu pulasnya. Belum terlihat adanya perubahan dari raut wajahnya. Kupandangi wajah ummi lekat-lekat. Tiba-tiba pelupuk matanya sedikit bergetar lalu diikuti dengan gerakan bulu matanya dan secara perlahan kelopak matanya terangkat. Mataku terbelalak melihat kejadian ini. Ya Allah, Maha Benar Engkau dengan firman-Mu,”Engkau masukkan malam kedalam siang dan Engkau masukkan siang kedalam malam. Engkau keluarkan yang hidup dari yang mati dan Engkau keluarkan yang mati dari yang Hidup. Dan Engkau beri rezeki siapa yang Engkau kehendaki tanpa hisab (batas).” Mulut ummi mulai tergetar dan memanggil-manggil namaku. “Farid…Fa…Farid…” “Ya mi, apa mi? Farid di sini mi.” “Semalam abimu ke sini nak. Ia masuk ruangan ini nak. Ia berdiri di dekat kaki ummi.” Aku bingung begitu mendengar kata-kata yang meluncur dari mulut ummi dengan ringannya. Hatiku benar-benar kalut. Firasatku mulai berbicara yang tidak-tidak. Lekas-lekas kututup semua pikiran negatif yang berkutat di kepalaku dan kuhibur diriku sendiri. “Ummi, Farid belum ngerti mi. Maksud Ummi apa?” Kegembiraan yang kualami tiba-tiba menjadi kesedihan yang belum bisa kutumpahkan. Dadaku sulit kukembangkan untuk bernafas. Leherku rasanya seperti tercekik. Sedih sekali. “Ya nak. Semalam saat kau sedang tertidur dengan lelapnya, ummi terbangun nak. Saat mata

Published By Ikhsan

Kolomkita.com

ummi terbuka, abimu sudah berdiri di kaki ummi. Namun abimu hanya diam. Kemudian ummi kembali tertidur nak.” Setelah menceritakan hak itu, kulihat mata ummi kembali terpejam. Perlahan kelopak matanya turun. Kembali ummi tidak sadarkan diri hingga tiba waktunya masa-masa menentukan bagi masa depanku. *** Disuatu pagi yang cerah, setelah selesai kulaksanakan shalat subuh di ruangan tempat ummi dirawat, aku kembali memandangi wajah ummi yang masih terlihat layu. Kubuka jendela kaca di sisi ummi. Udara pagi berhembus ke dalam ruangan disertai suara kicau burung yang amat meriah. Ibu kota masih lengang walaupun satu dua orang sudah memulai aktifiasnya. Kulihat di sudut jalan seorang tukang koran mulai menggelar barang dagangannya. Akupun turun dan dan bermaksud untuk membelinya. Setelah aku tiba di halaman rumah sakit, di kamarnya mata ummi terbuka tiba-tiba. Napasnya tersengal-sengal. Dadanya naik turun tak beraturan. Beberapa orang perawat hanya mondar-mandir di depan pintu ruangan tempat ummi berbaring. Mereka tidak mengetahui, bahwa sedang terjadi peristiwa besar dalam hidup ummi. Salah satu makhluk Allah akan memulai tugasnya dan yang satu lagi akan menyelesaikan tugasnya. Akan terjadi suatu proses serah terima sebuah kehidupan. Proses serah terimapun dimulai. Ya Allah, hamba sadar ya Allah, jika Engkau telah menentukan ajal maka ajal itu tak dapat ditangguhkan barang sedikitpun. Sang algojo penjemput kematian memulai tugasnya, menarik sebuah ruh yang menjadi sumber kehidupan. Para makhluk yang ada di sekitar ummi bertasbih dan mengagungkan nama Allah. Seraya berbisik dan gemetar mulut ummi mengucapkan syahadat dan selesailah semuanya. Setelah aku membeli sebuah Koran pengumuman kelulusan, langsung kucari nomer ujianku. FARID HAMZAH, namaku tercantum di sana beserta kode jurusan Teknik Mesin. Hatiku senang. Air mataku menetes mebasahi pipiku. ALHAMDULILLAH. Hatiku benar-benar bersyukur. Dengan rasa senang yang membuncah, aku berlari kembali menuju rumah sakit, ke ruangan tempat ummi dirawat. Aku berharap, apa yang telah kudapat akan membahagiakan ummi dan mempercepat kesembuhannya. Kubuka pintu kamarnya, dan kuhampiri ranjangnya. Dengan rasa bahagia kupegang tangannya. Aku terperanjat ketika mendapati tangannya kaku dan dingin. Kutatap wajahnya, pucat sekali. Dan……. *** SELESAI

Related Documents

Persembahan Terakhir
April 2020 33
Persembahan Hati.docx
July 2020 8
Wasiat Terakhir
November 2019 31
Khutbah Terakhir
October 2019 32
Salam Terakhir
August 2019 40

More Documents from "Eddy Misuari"