Perceived Value Penentuan, penyampaian, dan pengkomunikasian customer value merupakan hal yang sangat penting dalam setiap kesatuan organisasional. Ketiga aspek tersebut merupakan bagian dari inti proses rancangan strategis dan pada akhimya menentukan daya saing dan kelangsungan hidup jangka panjang suatu organisasi. (Kotler, 1991; Narver dan Slater, 1990; Woodruff, Locander, dan Barnaby, 1991). Customer value yang unggul mengacu kepada penciptaan berkesinambungan pengalaman bisnis yang melampaui pengharapan pelanggan. Value merupakan suatu kendali strategis yang diterapkan oleh setiap perusahaan untuk membedakan diri mereka dari apa yang kebanyakan ada di benak pelanggan (Weinstein dan Johnson, 1999). Pemahaman mengenai customer value akan menjadi bertambah penting bagi perhotelan dengan semakin kentaranya langkah cepat perubahan lingkungan. Kecenderungan sosial, demografis, teknologi, ekonomi, dan legislatif lantas dipadukan dengan cara-cara yang akan menjadikan hotel -hotel sukses kelak, dapat tampil beda di abad ke-21 dibandingkan dengan apa yang mereka dapatkan saat ini (Boyer, Naisbitt dan Aburdence, 1990). Customer value berkaitan erat dengan konsekuensi yang dapat berupa keuntungan atau pengorbanan, konsumsi atau penggunaan (Woodruff dan Gardial di Cathey; 1995). Konsekuensi merupakan dampak yang dirasakan individu atau suatu kelompok sebagai akibat dari adanya konsumsi barang jasa, sebagai kebalikan dari pemberian sifat dari barang itu sendiri (Reynold dan Gutman, 1988). Hal ini dapat berarti positif atau negative (Cathey, 1995). Teori nilai menganjurkan bahwa cara orang berhubungan dengan barang atau produk dan jasa dapat digambarkan secara hirarki (Cathey, 1995). Saat ini para pelanggan dihadapkan pada melimpahnya serbuan produk serta pilihan, harga, dan penyedia merek (Kotler, 1996). Perkiraan pelanggan, yang dapat menawarkan, akan menghasilkan nilai yang paling utama. Pelanggan merupakan nilai yang harus dimaksimalkan dalam batasan-batasan biaya penelusuran dan pengetahuan yang terbatas, pemasukan, dan mobilitas (Kotler, 1996). Pelanggan akan mendapatkan dari perusahaan kenyataan bahwa mereka merasa menawarkan nilai tertinggi (Kotler, 1996 a). Pelanggan akan membentuk suatu pengharapan akan nilai dan bertindak untuk mendapatkannya. Pada akhimya, hal tersebut akan mempengaruhi kepuasan pelanggan dan
peluang pembelian kembali oleh pelanggan (Kotler, 1996). Nilai. yang diperoleh merupakan perihal yang berkaitan dengan persepsi dan penilaian dari pelanggan, tidak berkaitan dengan harga moneter yang dibayarkan atau biaya moneter (Kotler, 1995). Dibalik latar belakang pendidikan, kekayaan finansial, dan cita-cita pribadi pelanggan, kini pelanggan memburu keuntungan yang besar dari investasi hotel. Untuk: dapat bersaing dengan baik dalam suatu lingkungan yang sadar-nilai, para penjual harus menekankan pada nilai penawaran mereka. Strategi berbasis-nilai satu melibatkan penekanan pada nilai pemerolehan produk (yaitu, nilai perolehan) (Monroe dan Chapman). Para penjual dapat meningkatkan persepsi nilai perolehan dengan meningkatkan persepsi pembeli akan kualitas produk atau keuntungan yang berkaitan dengan harga penjualan. Perusahaan dapat memilih salah satu dati tiga strategi pemosisisan berbasis-nilai berikut: kualitas tinggi atau harga tinggi, kualitas rendah/harga rendah, atau penyeimbangan penyeimbangan kualitas terhadap harga. Perusahaan juga dapat membandingkan nilai penjualan yang lebih rendah dengan nilai rujukan dari iklan yang lebih tinggi untuk meningkatkan persepsi nilai pembeli. Strategi orientasi nilai ini ditujukan pada peningkatan persepsi yang disetujui oleh pembeli (nilai transaksi). Menurut Weinstein dan Johnson (1999), value diberikan kepada pelanggan dengan salah satu cara berikut ini: (1) Perusahaan dapat memilih untuk mendapatkan produk yang terbaik
(kepemimpinan produk). (2) Biaya total yang terbaik (keunggulan operasional). (3) Solusi total terbaik (keintiman pelanggan). Mungkin cara terbaik untuk mendefinisikan nilai ialah dengan melihatnya dari sudut pandang pelanggan sebagai suatu perniagaan antara keuntungan yang diperoleh versus harga yang dibayarkan (Weinstein dan Johnson, 1999). Dodds, Monroe, dan Grewal (1991); Zeithalm, (1998) telah mendefinisikan nilai perolehan yang dirasakan sebagai keuntungan bersih yang diterima dikaitkan dengan produk atau jasa yang didapatkan. Nilai perolehan yang dirasakan dari suatu produk secara positif akan dipengaruhi
oleh keutungan yang diyakini oleh pembeli bisa ia dapatkan dengan cara memperoleh dan mempergunakan produk tersebut, dan secara negatif dipengaruhi oleh uang yang harus dibayarkan untuk membeli produk itu. Beberapa peneliti telah mengkonseptualisasikan nilai perolehan dengan cara ini, istilah lainnya yaitu "bargain value", ''perceived value" (Dodds, Monroe, dan Krisnan; Urbany, Bearden, dan Weil baker, ), "harga yang dirasakan" (Szybillo dan Jacoby) sebagaimana dikutip oleh Zhan Chen dkk (2003), ''faedah perolehan", dan "kesadaran akan nilai" (Lichtenstein, Netemeyer, dan Burton, 1990; Lichtenstein, Ridgeway, dan Netemeyer, 1993). Pola respon dari kajian penelitian yang dilakukan oleh Zeithalm dalam Tung Lai Lai (2004) menetapkan empat definisi konsumen terhadap value: (1) Nilai ialah harga yang rendah, (2) Nilai ialah apapun yang aku inginkan dalam suatu produk, (3) Nilai ialah kualitas yang aku dapatkan dari harga yang aku bayarkan, dan (4) Nilai ialah apapun yang aku dapatkan dari apa yang telah aku berikan. Schechter dalam Tung Lai Lai (2004) mendefinisikan value sebagai semua faktor, yang kualitatif dan kuantitatif, yang subyektif dan obyektif, yang dapat memuaskan. pengalaman berbelanja yang lengkap. Definisi value yang ketiga: "value ialah kualitas yang aku dapatkan dari harga yang aku bayarkan" selaras dengan pendapat dari penelitian penelitian lain yang terdapat dalam kepustakaan (Bishop, Dodds dan Monroe, Doyle, Shapiro dan Rekan-rekan) sebagaimana dikutip oleh Zhan Chen dkk (2003). Defini yang keempat sejalan dengan Sawyer dan Dickson yang mengkonseptualisasikan value sebagai suatu perbandingan nilai yang melekat yang lebih diberatkan oleh hasil evaluasinya. Hal ini juga senada dengan ukuran faedah per dolar suatu nilai yang digunakan oleh Hauser dan Urban, Hauser dan Zeithalm (1996) mendefinisikan perceived value sebagai penilaian konsumen secara keseluruhan akan faedah dari suatu produk berdasarkan persepsi mengenai apa yang telah mereka terima dan apa yang telah mereka berikan. Apa yang diiginkan oleh konsumen sangat beragam (misalnya, beberapa orang menginginkan jumlah, kualitas yang tinggi, atau kenyamanan) dan apa yang diberikan oleh konsumen juga beragam (contohnya,
beberapa orang hanya mengurusi uang yang mereka habiskan, sementara yang lainnya memperhatikan masalah waktu dan nilai) (Zeithalm, dalam Tung Lai Lai 2004). Jika perceived value dianalogikan dengan konsep nilai produk yang dirasakan, maka Zeithalm menyarankan bahwa nilai jasa dapat dianggap melibatkan perniagaan antara evaluasi pe1anggan akan keuntungan-keuntungan dari penggunaan jasa dan biaya yang dikeluarkan untuknya. Penilaian pelanggan akan suatu nilai bergantung pada pengorbanan (yaitu, biaya moneter dan non-moneter yang berkaitan dengan penggunaan suatu jasa) dan kerangka rujukan dari sang pelanggan (Zeithalm, 1996). Pasti terdapat perbedaan pada penilaian pelanggan akan nilai jasa akibat adanya perbedaan biaya moneter, biaya non-moneter, selera pelanggan, dan watak pelanggan (Bolton dan Drew, 1991). Terdapat beberapa literatur penelitian yang telah mengukur hubungan antara perceived value dan customer satisfaction. Pandangan konsumen terhadap nilai ini dijelaskan sebagai :
(1) Nilai adalah harga yang murah. (2) Nilai adalah apapun yang saya inginkan didalam sebuah produk. (3) Nilai adalah mutu yang saya dapatkan sesuai dengan harga yang telah saya bayarkan, dan (4) Nilai adalah apa yang saya dapatkan sesuai dengan apa yang telah saya berikan. (Zeithaml, 1988). Zeithaml (1988,p.14) sebagaimana dikutip oleh Zhan (Sandy) Chen dkk (2003) pada pembahasan Consumers Value Perception off an E-Store and Impact on EStore Loyalty Intention mendefinisikan perceived value adalah kemudahan secara menyeluruh dari penggunaan
sebuah produk yang didasarkan pada apa yang telah mereka terima dan apa yang diberikan kepada rnereka. Perceived value merupakan hal yang sangat penting yang menentukan intensitas loyalitas konsumen (Parasuraman 1997; Woodruff 1997). Andreassen dan Lindestad (1998) seperti dikutip oleh Susila (2003) mendefinisikan perceived value adalah pengukuran yang dilakukan konsumen terhadap utilitas produk berdasarkan persepsi tentang apa yang diperoleh dan pengorbanan yang dilakukan konsumen.
Kotler (2000) sebagaimana dikutip Harjati, dinyatakan bahwa perceived value adalah perbandingan antara total benefit yang diterima pelanggan dan total biaya yang dikeluarkannya. Sementara Woodruff dan Gardial (2000) menyatakan perceived value menguraikan hubungan antara produk dan pelanggan yaitu pemahaman pelanggan mengenai apa yang mereka inginkan dengan produk atau jasa yang ditawarkan dalam memenuhi kebutuhannya, dibandingkan dengan biaya yang dikeluarkannya. Penting dipahami bahwa nilai pelanggan ditekankan pada penelitian oleh pelanggan, sehingga dapat terjadi pemsahaan mengembangkan kualitas produk sebaikbaiknya tanpa input dari pelanggan, setelah dihasilkan produk kualitas tinggi menurut versi pemsahaan akhimya hams menerima kenyataan ditolak oleh pasar atau pelanggan, karena tidak memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai dengan pelanggan. Jadi produk dikatakan memiliki nilai yang tinggi, jika sesuai dengan kebutuhan, keinginan dan permintaan pelanggan. Model ACSI (Indeks Kepuasan Konsumen AS) di dalam penelitian yang telah dilakukan oleh Fomell dan rekan-rekan (1996) menunjukkan bahwa kepuasan adalah sesuatu yang dihasilkan dari quality dan bukan oleh harga, namun perceived value juga akan mempengaruhi kepuasan konsumen. Selanjutnya, Cronin dan rekan-rekan (2000) mendukung pandangan tersebut dengan cara menunjukan bahwa perceived value adalah sebuah factor prediktor atau penilaian yang sangat penting dari kepuasan.