Peranan Notaris Dalam Akad Pembiayaan Syariah Terhadap Hak Tanggungan Perspektif Hukum Islam Oleh: Jamaluddin, S.H A. Latar Belakang Masalah Tingkat pertumbuhan transaksi Pembiayaan Syariah semakin pesat1, sehingga Perbankan Syariah mulai melibatkan notaris dalam pembuatan akta perjanjian seperti jaminan fidusia dan Hak Tanggungan.2 Perkembangan yang sangat signifikan ini memungkinkan timbulnya berbagai macam permasalahan hukum
berkaitan
dengan
mekanisme/prosedur
dari
pola
pembiayaan
tersebut,3sehingga tingkat peristiwa hukum yang dihadapi notaris dalam menangani Pembiayaan Syariah di Indonesia juga berpeluang semakin pesat.Sejak tahun 2010 hingga tahun 2014, pertumbuhan transaksi Pembiayaan Syariah terus mengalami peningkatan, sebagaimana terlihat pada tabel berikut: Tabel 1.1 Pertumbuhan Transaksi Pembiayaan Syariah Selama Tahun 2010-2014 (dalam Persen) No. Pembiayaan Syariah
2010 2011 2012
2013
2014
1
Aset
2,36
4,3
22,66
24,64
23,77
2
Piutang
2,15
3,94
1976
22,36
18,39
1
Pada tahun 2010, perusahaan yang murni syariah hanya berjumlah 2 perusahaan, sedangkan perusahaan yang mempunyai unit usaha syariah berjumlah 11 perusahaan. Sampai dengan akhir Desember 2014, jumlah Perusahaan Pembiayaan Syariah sebanyak 44 perusahaan, terdiri atas 3 (tiga) perusahaan berbentuk murni syariah dan 41 unit usaha syariah, Otoritas Jasa Keuangan, Statistik 2014 Lembaga Pembiayaan, 14. 2 Konstelasi ini merupakan percampuran antara dua kutub hukum yang berlainan sumbernya yaitu hukum barat dan hukum Islam dalam bentuk akad yang disahkan oleh notaris. Lihat: Yulies Tiena Masriani, Kedudukan Hukum Akta-Akta Notaris dalam Ekonomi Islam, Jurnal Serat Acitya, Jurnal Ilmiah UNTAG, Vol. 4, No. 1, Semarang: UNTAG, 33-37. 3 Mustika Rimadhani, Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah Mandiri Periode 2008.01-2011.12,” Jurnal Media Ekonomi, Vol. 19, No. 1, Jakarta: Universitas Trisakti, April 2011, 31.
1
Sumber: Otoritas Jasa Keuangan Statistik 2014 Lembaga Pembiayaan.4 Tabel di atas memperlihatkan bahwa pertumbuhanPembiayaan Syariah dari tahun 2010 sampai tahun 2014 meningkat. Pertumbuhan aset meningkat sebesar
21,41%,
sedangkan
pertumbuhan
piutang
meningkat
sebesar
16,24%.Dengan kata lain, kebutuhan transaksi-transaksi syariah kepada notaris juga semakin meningkat. Pada tahun 2013, total Pembiayaan Syariahmengalami peningkatan 47,62% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, yakni Rp109,655 triliun.5Pembiayaan Syariah ini, yang disalurkan pada sektor-sektor ekonomi, perlu mendapatkan dukungan dari notaris agar memilikialat bukti yang sempurna. Pertumbuhan Pembiayaan Syariah tersebut didorong oleh kepuasaan dan ketentraman masyarakat karena sumber dana Pembiayaan Syariah didapat dari sumber yang halal, akadnya sesuai prinsip syariah, dan pengawasannya dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah (DPS).6 Namun, disayangkan Pembiayaan Syariah yang terjadi di Indonesia tidak didukung dengan sistem Hak Tanggungan Syariah.7 Bahkan, secara teoritisPembiayaan Syariah yang mewajibkan Hak Tanggungan bertentangan dengan prinsip dasar akad tersebut.8 Dengan demikian,
4
Otoritas Jasa Keuangan, Statistik 2014 Lembaga Pembiayaan, 15. Pembiayaan Perbankan Syariah menurut data statistik Perbankan Syariah Bank Indonesia (BI) pada kuartal I tahun 2013, Bank Umum Syariah dan Unit Syariah membukukan pembiayaan sebesar Rp161,08 triliun. 5
6
Dari tahun 2007-2008, penyaluran pembiayaan Perbankan Syariah mengalami pertumbuhan 28,69% secara angka (nilai) absolut, yaitu dari 25.663.000 (2007) menjadi 33.026.000 (2008). Ade Sofyan, Pegadaian Syariah, (Jakarta: SPS UIN Jakarta, 2012), 2-3. 7 Hak Tanggungan yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1996 Tentang Undang-Undang Hak Tanggungan Atas Tanah. Secara historis, istilah Hak Tanggungan lahir sejak 24 September 1960, bersamaan dengan diundangkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA). Lihat: Djoko Soepadmo, UndangUndang Hak Tanggungan atas Tanah Suplement Buku Seri B dan Seri A-2, (Surabaya: Bina Ilmu, 1996), 2-3. 8 Fikih (hukum Islam) tidak mengizinkan investor untuk menuntut jaminan. Namun realitasnya, bank-bank Islam umunya benar-benar meminta beragam bentuk jaminan. Misalnya, International Islamic Bankfor Investment and Development mempersyaratkan bagi pemohon pendanaan mudharabah untuk menyatakan jenis jaminan yang dapat mereka berikan kepada bank. Faisal Islamic Bank of Egypt juga melakukan hal tersebut. Lihat: Azharuddin Lathief, Aplikasi Jaminan dalam Akad Mudharabah di Perbankan Syariah, (Jakarta: LP UIN Jakarta, 2010), 3-49.
2
notaris dengan kewenangannya untuk melegalisasi9 Hak Tanggungan yang bertentangan dengan syariah tersebut, berarti tidak memberikan kepastian dan perlindungan hukum kepada anggota masyarakat ditinjau dari perspektif hukum Islam. Secara de jure akad Pembiayaan Syariah yang dihubungkan dengan Hak Tanggungan nasional merupakan hubungan yang bertolak belakang. Pada satu sisi, akad Pembiayaan Syariah harus dihubungkan dengan sistem Hak Tanggungan Syariah sesuai prinsip Islam.10Namun di sisi lain sistem hukum nasional belum menyediakan Undang-Undang Hak Tanggungan Syariah. Meskipun demikian, notaris yang menggunakan Hak Tanggungan nasional dalam akad Pembiayaan Syariah tidak dapat dikenakan sanksi perdata 11 yang mengakibatkan akta notaris sebagai akta otentik mengalami degradasi kekuatan bukti akta notaris atau pelanggaran terhadap bentuk akta notaris yang menyebabkan cacat yuridis.12Padahal, hal itu bertentangan dengan prinsip syariah. Berdasarkan latar belakang di atas, peranan notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan menjadi relevan untuk diteliti lebih lanjut. Dengan studi ini akan diketahui peranan notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan ditinjau dari hukum Islam. Di samping itu, akan diketahui pula peluang pengembangan Hak Tanggungan Syariah di Indonesia dalam peraturan perundang-undangan. Dengan demikian, studi ini layak untuk dilakukan.
B. Permasalahan 1. Identifikasi Masalah
9
Pasal 15 ayat 2 huruf a Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Jabatan Notaris. 10 Kegiatan-kegiatan muamalah (transaksi-transaksi) harus sesuai dengan syariah. Dengan kata lain, prinsipnya adalah bahwa setiap akad syariah harus menggunakan sistem syariah. Lihat: Daud Vicary dan Keon Chee, Buku Pintar Keuangan Syariah, (Jakarta: Zaman, 2012), 41-61. 11 Pasal 1868 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt) dan telah dijabarkan lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 Tentang Undang-Undang Jabatan Notaris. 12 Pieter Latumeten, Cacat Yuridis Akta Notaris dalam Peristiwa Hukum Konkret dan Implikasi Hukumnya, (Jakarta: Penerbit Pustaka, 2011), 29-45.
3
Terdapat sejumlah masalah terkait peran notaris dalam akad Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dalam tinjauan hukum Islam sekarang ini, antara lain: Pertama, secara regulasi, notaris syariah belum terakomodasi di dalam hukum nasional Indonesia karena belum memiliki undang-undang yang mengaturnya; Kedua, tidak ada Undang-Undang Hak Tanggungan Syariah sehingga notaris tidak bisa memberikan kepastian dan perlindungan hukum dalam melegalisasi Hak Tanggungan yang bertentangan dengan syariah; Ketiga, notaris konvensional masih ikut membuat akta otentik terhadap kontrak-kontrak syariah sehingga menimbulkan kewaswasan di dalam masyarakat; Keempat, politik hukum Indonesia tentang notaris syariah belum berhasil mengusung pengusulan RUU Notaris Syariah; Kelima, status hukum Pembiayaan syariah terhadap Hak Tanggungan bertolak belakang, tetapi masih digunakan karena kurangnya perangkat hukum yang memadai.
2. Pembatasan Masalah Berdasarkan pada banyaknya permasalahan yang teridentifikasi di atas, studi ini dibatasi pada pertanyaan: Pertama, apa peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dan bagaimana status hukum notaris melegalisasi
Hak
Tanggungan
yang
bertentangan
dengan
akad
PembiayaanSyariah. Kedua, bagaimana peraturan perundang-undangan yang ada secara langsung maupun tidak langsung telah mengatur tentang Hak Tanggungan dan Pembiayaan Syariah. Dari segi waktu, masalah ini akan dibatasi sejak periode 1960-2018. Sedangkan dari segi substansi atau variabel yang dicakup peran notaris di sini meliputi dua substansi utama, yaitu: (1)peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dan bagaimana status hukum notaris melegalisasi Hak Tanggungan yang bertentangan dengan akad Pembiayaan Syariah; (2)peraturan perundang-undangan yang ada secara langsung maupun tidak langsung telah mengatur tentang Hak Tanggungan dan Pembiayaan Syariah sejak periode 19602018.
4
3. Perumusan Masalah Dengan pembatasan tersebut di atas maka pertanyaan penelitian dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dan bagaimana status hukum notaris melegalisasi akad Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan konvensional? b. Bagaimana peraturan perundang-undangan yang ada secara langsung maupun tidak langsung telah mengatur tentang Hak Tanggungan dan Pembiayaan Syariah?
C. Tujuan Penelitian Tujuan umum studi peranan notaris ini adalah mengungkap hukum Islam dalam Hak Tanggungan yang bertentangan dengan akad Pembiayaan Syariah. Sedangkan tujuan khususnya, yaitu; 1. Untuk mengetahui peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dan bagaimana status hukum notaris melaksanakan kewenangannya
padaakad
Pembiayaan
Syariah
terhadap
Hak
Tanggungan konvensional. 2. Untuk mengidentifikasi sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung memberi peluang bagi pengembangan Hak Tanggungan Syariah.
D. Signifikansi dan Manfaat Penelitian Penelitian ini penting untuk mengisi kekosongan mengenai peran notaris dalam akad Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan dan peluang membangunn sistem Hak Tanggungan Syariah dalam perundang-undangan nasional. Adapun manfaat penelitian ini ialah: 1. Bagi para pemangku kepentingan dapat memberikan pengetahuan kepastian hukum kepada para pelaku bisnis yang melakukan transaksi di sektor PembiayaanSyariah;
5
2. Dapat melakukan pembuatan peraturan serta kebijakan negara yang bertujuan
agar
notaris
syariah
diakomodasi
dalam
peraturan
perundang-undangan sehingga kegiatan kenotariatan lebih optimal dan sesuai dengan syariah; 3. Dapat mendorong pengembangan Hak TanggunganSyariah yang modern dan berorientasi pada kebsahan akad-akad syariah sehingga mampu
memeberi
kepastian
dan
perlindung
hukum
kepada
masyarakat.
E. Penelitian Terdahulu Yang Relevan Sejauh ini, belum ditemukan studi yang secara khusus membahas peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan nasional di Indonesia. Peran di sini artinya adalah mengidentifikasi sejumlah peraturan perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung memberi peluang bagi pengembangan Notaris Syariah, serta status hukum Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan. Adapun judul disertaasi ini terinspirasi oleh penelitian Deni K. Yusup yang berjudul “Peran Notaris dalam Praktik Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah (Tinjauan dari Perspektif Hukum Ekonomi Syariah)”.13 Deni membuktikan bahwa peranan notaris syariah bukan hanya berkaitan dengan pembuatan akta otentik dalam setiap perjanjian bisnis di Perbankan Syariahserta kewenangannya di dalam pembuatan akta otentik yang diperlukan dalam kerja sama itu, namun juga perjanjian-perjanjian lainnya yang dibuat antara Bank Syariah dengan nasabah untuk lebih mendapatkan jaminan kepastian hukum bagi kedua belah pihak. Selanjutnya, di bahwah ini akan digambarkan secara ringkas mengenai hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para peneliti sebelumnya, baik yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan penelitian penulis. Penelitian Ade Sofyan berjudul“Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia,” menyimpulkan bahwa terdapat 13
Deni K. Yusup, Peran Notaris dalam Praktik Perjanjian Bisnis di Perbankan Syariah, Jurnal al-‘Adalah, Jurnal Syari’ah dan Hukum Islam, Vol. 12, No.4, Desember 2015, Mojokerto: IPAC, 713.
6
sebelas peraturan perundang-undangan yang secara tidak langsung mengatur tetapi memberi peluang bagi pengembangan Pegadaian Syariah di Indonesia.14 Penelitian ini tidak secara khusus membicarakan Pembiayaan Syariah, akan tetapi dapat dijadikan bahan komparasi untuk menganalisis peluang peraturan perundang-undangan peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan. Yudi Mashudi dalam “Kajian Hukum Terhadap Peran Notaris Dalam Pembuatan Akad Pembiayaan Murabahahdengan Jaminan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi Kasus Bank Victoria Syariah Cabang Cirebon)” yang menunjukkan bahwa risiko bank atas pembiayaan dengan jaminan tanah belum bersertipikat adalah sama dengan jaminan yang menjadi objek dalam lembaga jaminan yang baku di Indonesia.15 Penelitian ini bisa dijadikan dasar bagi pengembangan peran notaris syariah di Indonesia. Laurensius Arliman dalam “Urgensi Notaris Syari’ah Dalam Bisnis Syari’ah Di Indonesia,” menyimpulkan bahwa salah satu perkembangan bisnis yang paling pesat di Indonesia adalah binis syari’ah, di mana pada saat ini setiap lini perekonomian di Indonesia marak dengan berbau syari’ah. Dengan jumlah penduduk mayoritas Muslim, maka ini menjadi pangsa pasar yang menarik, bagi para pelaku bisnis untuk menarik nasabah atau konsumen dalam bisnis syari’ah yang dimilikinya.Maka,
tantangan untuk menjamin suatu
transaksi yang autentik di mata hukum akibat dari bisnis syari’ah ini, maka sudah sewajarnya notaris syari’ah hadir di Indonesia, agar bisa fokus dalam membidangi bisnis syari’ah.16 penelitian ini relevan sebagai pijakan dalam melihat nomenklatur Notaris Syariah. Erlina Kusumaningdiah dalam “Ketidaksinkronan Peraturan PerundangUndangan Mengenai Kewajiban Ingkar Notaris,” menyimpulkan bahwa 14
Ade Sofyan, Kedudukan Sistem Pegadaian Syariah dalam Sistem Hukum Nasional di Indonesia, Disertasi S3, Program Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: 2012, iii. 15 Yudi Mashudi, “Kajian Hukum Terhadap Peran Notaris Dalam Pembuatan Akad Pembiayaan Murabahah Dengan Jaminan Atas Tanah Yang Belum Bersertipikat (Studi Kasus Bank Victoria Syariah Cabang Cirebon),”Tesis S2, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, Univeresitas Diponegoro, Semarang: 2011, vii. 16 Laurensius Arliman, Urgensi Notaris Syari’ah Dalam Bisnis Syari’ah Di Indonesia, Jurnal walisongo, Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, Vol. 24, No.1, Mei 2016, Semarang: LP2M, 107.
7
kewajiban
ingkar
(verschoningsplitcht)
notaris
harus
dipahami
dan
dilaksanakan karena ini berkaitan erat dengan sumpah jabatan Notaris.17 Penelitian ini relevan untuk melihat perundang-undangan yang secara langsung maupun tidak langsung berhubungan dengan kenotariatan. Felix Christian Adriano dalam“Analisis Yuridis atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut UUJN No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris,”menyimpulkan bahwa batas pertanggung jawaban Notaris terhadap turunnya kekuatan pembuktian akta notaris dapat berupa penggantian biaya, ganti rugi dan bunga dengan adanya pembuktian ketidakcermatan, ketidaktelitian, dan ketidaktepatan dalam teknik administrasi membuat akta berdasarkan UUJN.18 Penelitian ini relevan untuk memahamipentingnya ketelitian
dan
kecermatannotaris
dalam
melaksanakan
tanggung
jawabnyaterhadap akta yang dibuat untuk para kliennya. Yulies Tiena Masriani dalam “Kedudukan Hukum Akta-Akta Notaris dalam Ekonomi Islam,” berkesimpulan bahwa kontrak atau akad dalam hukum syariah merupakan gabungan dua konsep hukum yaitu hukum perdata barat dan hukum perdata Islam.19 Penelitian ini sangat bermanfaat untuk pembangunan
Hak
Tanggungan
Syariah,
khususnya
dalam
melihat
persinggungan antara hukum barat dan hukum Islam. Muhamad Sidrata dalam “Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik Dalam Kaitannya Dengan Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum Pembuat Akta,”menyimpulkan bahwa Risalah Lelang harus dibuat dengan akta otentik, untuk itu peranan notaris sebagai pejabat pembuat akta sangat diperlukan. Notaris mempunyai kewenangan untuk membuat Risalah Lelang. Setelah Notaris diangkat khusus oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri sebagai
17
Erlina Kusumaningdiah, Ketidaksinkronan Peraturan Perundang-Undangan Mengenai Kewajiban Ingkar Notaris, Jurnal Repertorium, Vol. 4, No.2, Juli-Desember 2017, Surakarta: UNS, 44. 18 Felix Christian Adriano, Analisis Yuridis atas Turunnya Kekuatan Pembuktian Akta Notaris Menurut UUJN No. 2 Tahun 2014 Tentang Jabatan Notaris, Premise Law Jurnal, University of North Sumatra, Vol. 9, 2015, 15. 19 Yulies Tiena Masriani, Kedudukan Hukum Akta-Akta Notaris dalam Ekonomi Islam, Jurnal Serat Acitya, Jurnal Ilmiah UNTAG, Vol. 4, No. 1, Semarang: UNTAG, 46.
8
Pejabat Lelang Kelas II, karena dari itu, tidak semua Notaris dapat/ berwenang membuat Risalah Lelang. Begitu juga, Risalah lelang yang tidak dibuat dalam akta otentik bisa mengakibatkan tidak sahnya Risalah Lelang sebagai pembuktian dalam lelang.20 Penelitian ini relevan untuk dijadikan pijakan hukum bahwa kewenangan notaris membuat akta otentik menjamin kepastian hukum. Penelitian Lazulfha Perjannah dalam “Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan Yang Dibuat Oleh Notaris Ditinjau dari Hukum Islam,” menyimpulkan bahwa kedudukan akta perjanjian perkawinan yang dibuat oleh notaris menurut hukum Islam apabila telah memenuhi syarat subyektif dan syarat obyektif syarat sah perjanjian, maka perjanjian kawin dapat mengikat para pihak dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang mengadakan perjanjian. Akibat hukum akta perjanjian perkawinan tersebut ditinjau dari hukum Islam adalah bahwa perjanjian pernikahan tidak hanya mengikat bagi pasangan suami-istri saja, tetapi juga memiliki akibat hukum terhadap perceraian, waris, hibah, wasiat dan wakaf.21 Penelitian ini relevan karena ada titik singgung antara perkawinan dan Pembiayaan Syariah, terutama setelah diaktakan. Rahadi kristiyanto dalam “Konsep Pembiayaan Dengan Prinsip Syariah Dan Aspek Hukum Dalam Pemberian Pembiayaan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero)Tbk.Kantor Cabang Syariah Semarang,” menyimpulkan bahwa Pembiayaan Syariah dapat dipahami sebagai penyediaan barang, uang atau yang dipersamakan dengan itu berdasarkan kontrak transaksi syariah yang berupa transaksi jual beli, sewa, atau bagi hasil (dengan menghindari transaksi yang ribawi dan yang dilarang oleh syariah Islam) dimana bank sebagai pemilik barang atau sebagai pemilik dana (shahibal-mal) dan nasabah sebagai pembeli barang, penyewa atau sebagai pengelola dana (mudharib), 20
Muhamad Sidrata, “Risalah Lelang Sebagai Akta Otentik Dalam Kaitannya Dengan Kewenangan Notaris Sebagai Pejabat Umum Pembuat Akta,” Tesis S2, Program Studi Magister Kenotariatan, Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang: 2011, 105-106. 21 Lazulfha Perjannah, “Akibat Hukum Akta Perjanjian Perkawinan yang dibuat oleh notaris ditinjau dari hukum Islam,” Tesis S2, Program Magister Kenotariatan Universitas Islam Sultan agung, semarang: 2016, xi.
9
dimana bank mewajibkan nasabah tersebut membayar harga barang secara angsuran, atau membayar sewa atau mengembalikan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu sebagai bentuk keuntungan dari transaksi jual beli, sewa atau bagi hasil dari dana yang telah dikelola oleh nasabah. Sedangkan kredit dapat diartikan sebagai penyediaan sejumlah uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan perjanjian utang-piutang antara bank dengan nasabah, yang mewajibkan nasabah tersebut untuk melunasi hutangnya setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan sejumlah bunga yang besaran bunganya telah diperjanjikan pada saat perjanjian
dibuat.
Dalam
perjanjian
kredit
konvensional
ini
tidak
mensyaratkan adanya kontrak bisnis/transaksi selain kesepakatan utangpiutang.22 Penelitian ini penting untuk melihat perbedaan tegas antara Pembiayaan Syariah dan Pembiayaan Konvensional. Naily Ulya Faiqah dalam “Eksekusi Atas Objek Hak Tanggungan Pada Perbankan Syariah (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/PuuX/2012),”
menyimpulkan
bahwa
Dengan
putusan
Mahkamah
KonstitusiNomor 93/Puu-X/2012, pilihan hukum dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 dibatalkan, konsekuensinya eksekusi Hak Tanggungan bukan hanya kewenangan Pengadilan Negeri tapi juga Pengadilan Agama, sehingga frasa ketua PN dalam Undang-Undang Hak Tanggungan harus pula dibaca sebagai ketua Pengadilan Agama sepanjang menyangkut perbankan syariah atau yang termasuk kewenangan Pengadilan Agama. 23Penelitian ini dapat dijadikan dasar untuk pengembangan Hak Tanggungan Syariah. Penelitian Mustika Rimadhani dalam“Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah Mandiri Periode 2008.01-2011.12,” menyebutkan secara ringkas bahwa istilah Pembiayaan 22
Rahadi kristiyanto, “Konsep Pembiayaan Dengan Prinsip Syariah Dan Aspek Hukum Dalam Pemberian Pembiayaan Pada PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk.Kantor Cabang Syariah Semarang,” Tesis S2, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Diponegoro, Semarang: 2008, cclvii. 23 Naily Ulya Faiqah, “Eksekusi Atas Objek Hak Tanggungan Pada Perbankan Syariah (Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 93/Puu-X/2012),” Tesis S2, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya: 2016, vi.
10
Syariah dapat diartikan sebagai istilah kredit yang biasa dipergunakan dalam bank konvensional. Yang membedakan hanya bentuk imbalan pada pembiayaan adalah bagi hasil sedangkan dalam kredit adalah bunga. Sehingga pembiayaan dan kredit adalah merupakan bentuk dari penyaluran dana perbankan.24 Tentu saja ringkasan demikian kurang tepat, karena Pembiayaan Syariah harus juga memperhatikan aspek kehalalan dari program yang akan dibiayai. Penelitian ini relevan untuk lebih memperhatikan dan mendukung terus jalannya sitem Perbankan Syariah dengan benar-benar memisahkan antara Perbankan Syariah dengan Perbankan Konvensional agar Perbankan Syariah memiliki sistem Hak Tanggungan Syariah sehingga benar-benar murni syariah. Trusto Subekti dalam “Interpretasi Hakim, Pengacara Dan Notaris Terhadap Konsep Harta Bersama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Banyumas,” mengungkapkan bahwa Dalam prakteknya para Hakim, para Pengacara dan para Notaris ketika menghadapi kasus yang menyangkut sengketa harta bersama, mereka berpedoman pada konsep harta bersama yang masih bersifat umum dan abstrak. Tidak adanya kriteria yang jelas yang dapat dipergunakan untuk menentukan sesuatu benda/barang termasuk dalam kualifikasi harta bersama, akan mengakibatkan ketidakpastian hukum, atau akan menimbulkan ketidaktertiban dalam masyarakat, dan akhirnya hukum akan kehilangan fungsinya sebagai pedoman tingkah laku bagi masyarakatnya. 25 Penelitian ini relevan sebagai pijakan sekaligus untuk melihat perspektif notaris dalam menganalisa peristiwa hukum. Muslimin Kara, dalam “Konstribusi Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) di 24
Mustika Rimadhani, “Analisis Variabel-Variabel Yang Mempengaruhi Pembiayaan Murabahah Pada Bank Syariah Mandiri Periode 2008.01-2011.12,” Jurnal Media Ekonomi, Vol. 19, No. 1, Jakarta: Universitas Trisakti, April 2011, 31. 25 Trusto Subekti, “Interpretasi Hakim, Pengacara Dan Notaris Terhadap Konsep Harta Bersama Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Di Kabupaten Banyumas,” Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 8, No. 2, Purwokerto: Universitas Jenderal Soedirman,Mei, 2008, 103.
11
Kota Makassar,” menyimpulkan bahwa meskipun besarnya Pembiayaan Syariah yang disalurkan oleh Bank Syariah di Kota Makassar berfluktuasi, secara umum tetap memiliki prospek yang cukup menggembirakan. Peran serta Pembiayaan Perbankan Syariah dalam upaya pengembangan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) di Kota Makassar sangat dibutuhkan mengingat banyaknya UMKM yang selama ini belum memperoleh fasilitas pembiayaan.26 Penelitian ini relevan sebagai inspirasi bagi pengembangan Pembiayaan Syariah, khususnya dalam hal model fasilitas-fasilitasnya. Nur Suprihatiningsih dalam “Kekuatan Akta Notaris Terhadap Perjanjian Pembiayaan Musyarakahdalam Akad di Perbankan Syariah (Studi Tentang Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional No. 01/P/Basy.pjt/vii/2010 Tanggal 20 Juli 2010),” menyimpulkan Hasil penelitian draft akad musyarakah yang mengesampingkan prinsip syariah menjadikan akad batal demi hukum.27 Penelitian ini sangat relevan sebagai pijakan bahwa aspek syariah sangat penting di dalam Pembiayaan Syariah. Dari seluruh hasil penelitian di atas, tampak bahwa tidak ada satu pun yang secara khusus membahas tentang peranan notaris dalam akad Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan perspektif hukum Islam.
F. Metodologi Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini termasuk dalam kajian bidang hukum ekonomi syariah dan perdata konvensional, bersifat kualitatif dengan pendekatan hukum normatif.28Penelitian normatif ditujukan kepada peraturan perundang-
26
Muslimin Kara, “Konstribusi Pembiayaan Perbankan Syariah Terhadap Pengembangan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (Umkm) di Kota Makassar,” Asy-Syir’ah, Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum, Vol. 47, No. 1, Makassar: UIN Alauddin, Juni 2013, 300. 27 Nur Suprihatiningsih, “Kekuatan Akta Notaris Terhadap Perjanjian Pembiayaan Musyarakah dalam Akad di Perbankan Syariah (Studi Tentang Putusan Badan Arbitrase Syariah Nasional No. 01/P/Basy.pjt/vii/2010 Tanggal 20 Juli 2010),” Tesis S2, Program Studi Magister Kenotariatan Program Pascasarjana, Univeresitas Diponegoro, Semarang: 2011, vii. 28 Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. Lihat: Hardijan
12
undangan yang berkaitan secara langsung maupun tidak langsung dengan Pembiayaan Syariah dan Hak tanggungan sejak tahun 1960-2018. Penelitian terhadap peraturan terkait sejak tahun 1960-2018 digunakan dalam rangka menggali
perkembangan
aturan
yang
terkait
untuk
dicari
peluang
pengembangan hukum.Pendekatan yang dilakukan terhadap peraturan ini adalah
pendekatan
komparasi
mikro
(comparative
approach),
yaitu
membandingkan isi ketentuan perundang-undangan yang masih saling berkaitan, dan pendekatan analisis (analytical approach) terhadap konsep yuridis tentang peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan. Jenis penelitian ini adalah studi literatur, yang mengungkap: (a)peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan; (b)peluang dikembangkannya peraturan perundang-undangan yang secara langsung mengatur tentang Hak Tanggungan Syariah di Indonesia.
2. Sumber Data Penelitian Untuk mendapatkan pengetahuan tentang objek yang diteliti, maka pengumpulan data yang digunakan adalah data sekunder. Bahan hukum sekunder yang digunakan adalah bahan hukum yang memberi penjelasan bahan hukum primer seperti buku-buku, paper, artikel, majalah, media cetak, makalah, jurnal, laporan penelitian, internet, serta tulisan lainnya yang relevan.
3. Teknik Pengumpulan Data Rusli, Metode Penelitian Hukum Normatif Bagaimana?, Jurnal Law Review, Vol. 5, No. 3, Maret 2006, Tangerang Selatan: UPH, 40. Dikatakan normatif, karena hukum itu diasumsikan sebagai sesuatu yang otonom sehingga keberlakuannya ditentukan oleh hukum itu sendiri bukan oleh faktor-faktor di luar hukum. Berdasarkan asumsi ini, hukum itu telah dianggap sempurna dan final sehingga tinggal dilaksanakan. Karena hukum adalah pedoman tingkah laku yang tidak boleh disimpangi karena ia merupakan perintah dari yang berdaulat, maka apabila tidak dilaksanakan akan mendapatkan sanksi. Lihat:Zulfadli Barus, Analisis Filosofis Tentang Peta Konseptual Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Sosiologis, Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 13, No. 2, Mei 2013, Jakarta Selatan: Fakultas Hukum UPN, 311.
13
Alat pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen. Studi dokumen dilaksanakan terhadap peraturan perundang-undangan yang diterbitkan sejak tahun 1960-2018 dan fatwa Dewan Syariah NasionalMajelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) terkait serta dokumen lainnya yang terkait. Peraturan perundang-undangan dan fatwa-fatwa DSN-MUI tersebut dianalisis dengan mengkaji pengaruhnya terhadap peluang pengembangan notaris syariah di Indonesia.
4. Teknik Analisis data Data yang berhasil diperoleh berupa peraturan perundang-undangan serta fatwa DSN-MUI dianalisis dengan cara menyaring dan mengkaitkan pada peran notaris dalam Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan. Analisis dilakukan dengan cara menganalisis isi peraturan notaris dalam hubungannya dengan Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan nasional.
G. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini dibagi menjadi enam bab. Bab I, pendahuluan sebagai landasan awal yang mengemukakan mengenai latar belakang masalah, identifikasi masalah, pembatasan masalah, tujuan dan manfaat penelitian. Dalam hal ini ingin dijelaskan aspek-aspek metodologi penelitian, baik menyangkut pengumpulan maupun analisis data. Bab II, berjudul notaris syariah membahas tentang kerangka teoritis berhubungan dengan notaris dalam hukum Islam. Di dalamnya diuraikan mengenai pengertian notaris dalam Islam, kewenangan notaris membuat akta otentik dan kewenangan lainnya,degradasi kekuatan bukti dan kebatalan akta notaris, serta notaris dalam akad syariah. Pembahasan ini diperlukan guna mengungkap konsep notaris menurut hukum Islam. Bab III, berisi uraian tentang akad Pembiayaan Syariah, meliputi akad pembiayaan dalam hukum Islam, dasar hukum akad pembiayaan, prinsipprinsip Pembiayaan Syariah, serta perbedaan Pembiayaan Syariah dengan
14
loan konvensional. Pembahasan ini diperlukan guna mengungkap konsep Pembiayaan Syariah. Bab IV, berisi analisis Undang-undang Hak Atas Tanah terhadap Pembiayaan Syariah. Di dalamnya diuraikan tentang sejarah lahirnya Undang-Undang Hak Tanggungan, Peraturan Perundang-Undangan yang memberi peluang pengembangan Undang-Undang Hak Tanggungan Syariah, serta Hak Tanggungan dalam Akad Pembiayaan Syariah. Bab V, menguraikan tentang kedudukan notaris dalam Undang-Undang Hak Tanggungan menurut hukum Islam yang dianalisis dari Notaris Syariah dalam Undang-undang Hak Tanggungan nasional, urgensi Undang-Undang Hak Tanggungan Syariah, menuju Undang-Undang Hak Tanggungan Syariah, serta status hukum notaris dalam hukum Islam. Kesimpulan tentang penelitian mengenai peranan notaris dalam akad Pembiayaan Syariah terhadap Hak Tanggungan perspektif hukum Islam, peluang peranan notaris dalam Pembiayaan Syariah, serta saran-saran, disampaikan pada bab VI yang sekaligus merupakan penutup.
15