BAB 1 PENDAHULUAN
Rhinosinusitis merupakan masalah kesehatan yang signifikan yang tampaknya mencerminkan dari peningkatan frekuensi rhinitis alergi dan yang menyebabkan beban keuangan yang besar pada masyarakat. Rhinosinusitis adalah istilah yang luas yang mencakup beberapa penyakit, termasuk rhinosinusitis akut, rhinosinusitis kronik dengan polip hidung atau tanpa polip hidung. Di Amerika Serikat, survei rumah tangga berbasis populasi yang dilakukan oleh National Center for Health menemukan prevalensi rinosinusitis dilaporkan sendiri 13% pada tahun 2009. Penyebab utamanya adalah selesma (common cold) yang merupakan infeksi virus, alergi dan gangguan anatomi yang selanjutnya dapat diikuti infeksi bakteri.1,2 Rhinosinusitis sering disebut sebagai sinusitis. Sinusitis terjadi ketika sinus tersumbat atau terlalu banyak lendir yang menyebabkan satu atau lebih rongga menjadi meradang atau bengkak. Rhinitis alergi atau asma dapat dikaitkan dengan sinusitis kronis. Di negara-negara Eropa Barat 40% dari anak-anak saat ini menderita rhinitis alergi sehingga menyebabkan obstruksi pada hidung. Akibatnya dapat mengganggu pertumbuhan tulang wajah.3,4 Rhinosinusitis adalah penyakit inflamasi yang sering ditemukan dan mungkin akan terus meningkat prevalensinya. Rhinosinusitis dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup yang berat, sehingga penting bagi dokter umum atau dokter spesialis lain untuk memiliki pengetahuan yang baik mengenai definisi, gejala dan metode diagnosis dari penyakit rhinosinusitis ini. Bahaya dari rhinosinusitis adalah komplikasinya ke orbita dan intrakranial. Komplikasi ini terjadi akibat tatalaksana yang inadekuat atau faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari. Tatalaksana dan pengenalan dini terhadap rhinosinusitis ini menjadi yang penting.5 Preparat steroid inhalasi mempunyai keuntungan dapat memberikan efek topikal yang maksimal pada saluran pernapasan dengan efek samping sistemik yang minimal. Beberapa preparat steroid inhalasi yang pernah dikenal antara lain: Flunisolid, Triamsinolon Asetonid, Beklometason dipropionat, Budesonid dan Flutikason propionat. Flutikason propionat merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid. Oleh karena hanya sebagian kecil saja yang diabsorpsi di lambung dan mengalami metabolisme sempurna di hepar, maka diharapkan efek sistemik yang timbul juga sangat minimal.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA I.
ANATOMI
Sinus paranasal adalah ruang berisi udara yang terletak di dalam tulang tengkorak dan wajah. Terdapat empat pasang sinus yaitu maksila, frontal, sphenoid, dan ethmoid. Masingmasing sinus mempunyai muara ke rongga hidung. Seluruh sinus dilapisi oleh epitel saluran pernapasan yang mengalami modifikasi, mampu menghasilkan mukus, dan bersilia. Pada orang sehat sinus berisi udara.3,6 Di setiap sisi ada empat sinus paranasal udara dalam empat tulang tengkorak: frontal, rahang, ethmoid dan sphenoid. Mereka dibagi menjadi dua kelompok:7 1. Anterior : sinus yang terbuka ke arah anterior basal lamella dari konka di meatus tengah, membentuk kelompok anterior sinus paranasal. Terdiri dari sinus maksila, frontal dan anterior sinus ethmoid. 2. Posterior : sinus yang terbuka kearah posterior dan superior pada basal lamella dari konka media. Terdiri dari sinus ethmoid
dan sinus sphenoid. Posterior sinus
etmoidalis terbuka di meatus superior dan sinus sphenoid terbuka reses sphenoethmoidal.
1.1 Sinus Maksilaris Sinus maksilaris adalah sinus paranasal yang terbesar. Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, sinus kemudian berkembang dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal, yaitu 15 ml. Sinus maksila berbentuk pyramid.2 Dinding anterior
: permukaan fasial os maksila yang disebut fosa kranina
Dinding posterior
: permukaan infra-temporal maksila
Dinding medial
: lateral rongga hidung
Dinding superior
: dasar orbita
Dinding inferior
: prosesus alveolaris dan palantum
Ostium sinus maksila berada di sebelah superior dinding medial sinus dan bermuara ke hiatus semilunaris melalui infundibulum. Dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2),
kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar (M3), bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol ke dalam sinus sehingga infeksi gigi geligi mudah naik ke atas dan menyebabkan infeksi.2
1.2 Sinus Frontalis Sinus frontal terletak di os frontal mulai terbentuk sejak bulan ke empat fetus berasal dari sel-sel resesus frontal atau dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan mencapai ukuran maksimal sebelum usia 20 tahun. Ukuran sinus frontal 2 x 2,4 x 2,8 cm besekat-sekat dan tepi sinus berkelok-kelok. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relative tipis dari orbita dan fosa serebri. Sinus frontal berdrenase melalui ostium yang terletak di resesus frontal yang berhubungan dengan infundibulum.2
1.3 Sinus Sfenoid Sinus sfenoid terletak dalam os sfenoid di belakang sinus etmoid posterior. Sinus dibagi dua oleh sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah 2,3 x 1,7 x 2 cm. Volumenya bervariasi dari 5-7,5 ml. Saat sinus berkemabang, pembuluh darah dan nervus di bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sfenoid. Batasbatasnya:2 Superior
: fossa serebri media dan kelenjar hipofisis
Inferior
: atap nasofaring
Lateral
: sinus kavernosa dan arteri karotis interna
Posterior
: fosa serebri posterior daerah pons
1.4 Sinus Etmoidalis Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi dan akhirakhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fikus infeksi bagi sinussinus yang lain. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid dengan dasarnya di posterior. Ukuran dari anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm dan lebar 0,5 cm di bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior.2 Sinus etmoid berongga-rongga seperti sel sarang tawon, yang terdapat di dalam bagian os lateral os etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Berdasarkan letak dibagi menjadi sinus etmoid anterior yang bermuara
di meatus medius dan sinus etmoid posterior bermuara ke meatus superior. Di bagian terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit disebut resesus frontal yang berhugungan dengan sinus frontal. Di daerah etmoid anterior terdapat suatu penyempitan yang disebut infundibulum, tempat bermuara sinus maksila. Atap sinus etmoid disebut fovea etmoidalis berbatasan dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga orbita. Di belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan sinus sfenoid.2
Kompleks Osteo Meatal Komplek osteo meatal (KOM) merupakan ruang 3-dimensi yang berbatasan dengan papyracea lamina lateral, konka medial, reses frontal superior, dan sinus maksilaris ostium inferior. Ruang ini meliputi infundibulum ethmoid yang terdapat di belakang prosesus unsinutis, resesus frontalis, bula etmoid dan dan ostium sinus maksila.3 Peradangan kronis dan edema dari KOM menyebabkan obstruksi anatomis dan fungsional, yang menyebabkan peradangan kronis dari sinus mengalir ke daerah tersebut.2
Gambar 2.1 Anatomi Sinus Paranasal2
II.
HISTOLOGI
Sebagian besar epitel respirasi terdiri 5 jenis sel yang khas. Sel silindris bersilia adalah sel yang terbanyak. Setiap sel memiliki lebih kurang 300 silia pada permukaan apikalnya. Di bawah silia, selain terdapat badan-badan basal, banyak terdapat mitokondria kecil yang menyediakan ATP untuk pergerakan silia. Sel terbanyak kedua adalah sel goblet mukosa yaitu sel yang pada bagian apikalnya mengandung droplet mucus yang terdiri atas glikoprotein. Sel silindris selebihnya dikenal sebagai sel sikat karena banyaknya mikrovili pada permukaan apikalnya. Sel sikat mempunyai ujung saraf aferen pada permukaan basalnya dan dipandang sebagai reseptor semsorik. Sel basal adalah sel bulat kecil yang terletak di atas lamina basal namun tidak meluas sampai permukaan lumen epitel. Sel ini diduga merupakan sel induk generative yang mengalami mitosis dan kemudian berkembang menjadi jenis sel yang lain. Jenis sel yang terakhir adalah sel granul kecil yang mirip dengan sel basal kecuali bahwa sel ini memiliki banyak granul berdiameter 100-300 nm dengan bagian pusat yang padat. Kajian histokimia mengungkapkan bahwa sel-sel ini merupakan populasi sel dari system neuroendokrin difus.7
Sinus paranasal adalah rongga tertutup dalam tulang yang dilapisi oleh epitel respirasi yang lebih tipis dan sedikit mengandung sel goblet. Lamina proprianya mengandung sedikit kelenjar kecil dan menyatu dengan periosteum di bawahnya. Mukus yang dihasilkan di dalam rongga-rongga ini terdorong ke dalam hidung sebagai akibat dari aktivitas sel-sel epitel bersilia.7
Gambar 2.2 Histologi Sinus Paranasal9
III.
FISIOLOGI
Sinus paranasal memiliki berbagai fungsi, yaitu:5 1. Meringankan berat kepala, Sinus membantu keseimbangan kepala karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam sinus digantikan dengan tulang, hanya akan memberikan pertambhana berat 1% dari berat kepala. 2. Pelembab dan pemanasan menghirup udara Sinus berfungsi sebagai penahan panas, melindungi orbita dan fossa serebri dari suhu rongga hidung yang berubah-ubah. Akan tetapi kenyataan sinus-sinus yang besar tidak terletak diantara hidung dan organ-organ yang dilindungi. 3. Meningkatkan resonansi suara Sinus berfungsi sebagai rongga resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. 4. Membantu produksi mucus Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal membersihkan partikel yang turut masuk dengan udara inspirasi karena mukus dari meatus medius. IV.
DEFINISI
Rhinosinusitis didefinisikan sebagai peradangan pada selaput lendir hidung dan sinus paranasal. Umumnya disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut rhinosinusitis. Penyebab utamanya ialah selesma (common cold) yang merupakan infeksi
virus,
yang
selanjutnya
dapat
diikuti
oleh
infeksi
bakteri.
Sinusitis dikarakteristikkan sebagai suatu peradangan pada sinus paranasal. Sinusitis diberi nama sesuai dengan sinus yang terkena. Bila mengenai beberapa asinus disebut multisinusitis. Bila mengenai semua sinus paranasalis disebut pansinusitis.5,8
V.
ETIOLOGI
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rinitis terutama rinitis alergi, rinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks osti-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskenesia silia seperti pada sindrom Kartgener, dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Faktor predisposisi yang paling lazim adalah poliposis nasal yang timbul pada rinitis alergika; polip dapat memenuhi rongga hidung dan menyumbat sinus.3,5
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis sehingga perlu dilakukan adenoidektomi untuk menghilangkan sumbatan dan menyembuhkan rhinosinusitisnya.Hipertrofi adenoid dapat didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.3 Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia.3
VI.
KLASIFIKASI
Menurut European Position Paper on
Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007,
rhinosinusitis dapat terbagi atas:8 1. Rhinosinusitis akut: gejala berlangsung kurang dari 12 minggu. 2. Rhinosinusitis kronik: gejala berlangsung selama lebih dari 12 minggu tanpa resolusi lengkap.
VII.
PATOFISIOLOGI Klirens Mukosiliar pada KOM (Kompleks Ostei Meatal) menjadi faktor yang mempengaruhi kesehatan sinus. Mukus juga mengandung zat-zat antimikrobiotik yang berfungsi sebagai mekanisme pertahanan tubuh. Edema yang terjadi saat inflamasi pada rhinosinusitis akan menghambat pegerakan silia pada KOM akibat perlekatan dari mukosa siliar. Sekret yang terkumpul merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Sekret menjadi purulen. Keadaan ini disebut rhinosinusitis akut bakterial. Jika tidak diobati atau terapi tidak berhasil, inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan berkembangnya bakteri anaerob. Perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid atau pembentkan polip dan kista.5
Gambar 2.3 Patofisiologi rhinosinusitis10 VIII.
GEJALA KLINIK
Keluhan utama pada rhinosinusitis adalah hidung tersumbat yang disertai nyeri atau rasa tekanan pada muka dan ingus yang purulent. Ingus sering kali turun ke tenggorok dimana pada pemeriksaan rinoskopi anterior akan terlihat post nasal drip. Nyeri tekan pada sinus yang terkena merupakan ciri khas pada sinusitis akut. Neri pada pipi merupakan tanda sinusitis maksila, nyeri di ke dua bola mata menandakan
sinusitis etmoid, nyeri di dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitiss frontal. Nyeri alih ke gigi dan telinga bisa terjadi pada sinusitis maksila.5 Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia atau anosmia, halitosis. Pada anakanak gejala berupa batuk lebih bayak ditemukan dari hiposmia atau nyeri tekan pada wajah5
IX.
DIAGNOSIS
Diagnosis rinosisnusitis ditegakkan berdasarkan anamnesiss, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Pada anamnesiss perlu ditanyakan beberapa keluhan seperti nyeri pada wajah, hidung tersumbat, sekret pada hidung dan gangguan pada penciuman. Pada rinosinisitis bakterialis akut ditemukan 2 atau lebih dari gejala tersebut dan sudah berlangsung lebih dari 7 hari. Pada rhinosinusitis kronis, ditemukan 2 atau lebih gejala dan sudah berlangsung lebih dari 8 minggu.5 Pemeriksaan fisik dilakukan rinosokopi anterior dan rinoskop posterior. Tanda khas pada sinusitis maksila dan etmoid anterior dan frontal adalah pus yang ditemukan di meatus media. Pus pada meatus superior ditemukan pada sinusitiss etmoid posterior dan sfenoid. Pada rhinosinusitis akut ditemukan mukosa edema dan hiperemis.5 Pemeriksaan penunjang dilakukan foto polos , CT Scan, pemeriksaan tranluminasi, pemeriksaan mikrobiologi dan sinuskopi.5 1. Foto polos Posisi PA dan lateral, Waters umumnya hanya mampu menilai sinus-sinus besar seperti maksila dan frontal.
Gambar 2.4 Foto polos posisi Waters11
Gambar 2.5 Foto polos posisi lateral11 2. CT Scan CT merupakan gold standar dalam merupakan sinusitis karena mampu menilai anatomi hidung dan sinus.
Gambar 2.6 CT Scan sinus paranasal 3. Pemeriksaan transiluminasi Pada pemeriksaan transiluminasi, sinus yang sakit akan menjadi suram atau gelap. Pemeriksaan ini sangat jarang digunakan. 4. Pemeriksaan mikrobiologik Pemeriksaan mikrobilogik dilakukan untuk mendapat anti biotik yang tepat guna. Sekret diambil dari meatus media atau meatus inferior. 5. Sinuskopi Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus maksila melalui meatus inferior, dengan alat endoskop bisa dilihat kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya dapat dilakukan irigasi sinus untuk terapi.
X.
PENATALAKSANAAN 2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat/ obstruksi/ kongesti atau pilek; sekret hidung anterior/ posterior; ± nyeri/ rasa tertekan di wajah; Penghidu terganggu/ hilang Pemeriksaan: Rinoskopi Anterior
Tersedia Endoskopi
Polip
Tidak ada polip
Pikirkan diagnosis lain : Gejala unilateral Perdarahan Krusta Gangguan penciuman Gejala Orbita Edema Periorbita Pendorongan letak bola mata Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Bengkak daerah frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal
Endoskopi tidak tersedia
Investigasi dan intervensi secepatnya
Pemeriksaan Rinoskopi Anterior Ikuti skema polip hidung Dokter Spesialis THT
Ikuti skema Rhinosinusitis kronik Dokter Spesialis THT
Rujuk Dokter Spesialis THT jika Operasi Dipertimbangkan
Foto Polos SPN/ Tomografi
Steroid topikal Cuci hidung
Reevaluasi setelah 4 minggu
Perbaikan
Lanjutkan terapi
Tidak ada perbaikan
Rujuk spesialis THT
Gambar 10. Skema penatalaksanaan rhinosinusitis kronik dengan atau tanpa polip hidung pada dewasa untuk pelayanan kesehatan primer dan dokter spesialis non THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitisnand Nasal Polyps 2007
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau pilek yang tidak jernih; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala; Gangguan Penghidu Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer Tes Alergi
Ringan VAS 0-3
Steroid topikal Intranasal cuci hidung
Pertimbangkan diagnosis lain :
Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal Sedang atau berat VAS >3-10
Gagal setelah 3 bulan
Steroid topikal
Perlu investigasi dan intervensi cepat
Cuci hidung Kultur & resistensi Kuman Perbaikan Gagal setelah 3 bulan Tindak lanjut Jangka Panjang + cuci hidung Steroid topikal ± Makrolide jangka panjang
Tomografi Komputer
Operasi
Gambar 11. Skema penatalaksanaan berbasis bukti rhinosinusitis kronik tanpa polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007
2 atau lebih gejala, salah satunya berupa hidung tersumbat atau sekret hidung berwarnar; ± nyeri bagian frontal, sakit kepala;
Pertimbangkan diagnosis lain :
Gangguan Penghidu Pemeriksaan THT termasuk Endoskopi: Pertimbangkan Tomografi Komputer Tes Alergi Pertimbangkan diagnosis dan
Ringan VAS 0-3
Gejala unilateral Perdarahan Krusta Kakosmia Gejala Orbita Edema Periorbita Penglihatan ganda Oftalmoplegi Nyeri kepala bagian frontal yang berat Edem frontal Tanda meningitis atau tanda fokal neurologis fokal
Sedang VAS 3-7
Berat VAS > 10 Perlu investigasi dan intervensi cepat
Steroid topikal (spray)
Steroid topikal tetes hidung
Dievaluasi setelah 3 bulan
Perbaikan
Steroid oral jangka pendek
Evaluasi setelah 1 bulan Tidak membaik Perbaikan
Lanjutkan Steroid Topikal
Evaluasi setiap 6 bulan
Gambar 12.
Tidak membaik
Tomografi Komputer
Tindak lanjut Cuci hidung Steroid topikal + oral Antibiotika jangka panjang
Operasi
Skema penatalaksanaan rhinosinusitis kronik dengan polip hidung pada dewasa untuk dokter spesialis THT berdasarkan European Position Paper on Rhinosinusitis and Nasal Polyps 2007
a. Bedah
Bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) merupakan operasi terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan ini telah menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan dan tidak radikal. Indikasi tindakan ini berupa sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur.5
b.
Farmakologi Kortikosteroid Inhalasi Kortikosteroid terdapat dalam beberapa bentuk sediaan antara lain oral, parenteral, dan inhalasi. Ditemukannya kortikosteroid yang larut lemak (lipidsoluble) seperti beclomethasone, budesonide, flunisolide, fluticasone, and triamcinolone, memungkinkan untuk mengantarkan kortikosteroid ini ke saluran pernafasan dengan absorbsi sistemik yang minim. Pemberian kortikosteroid secara inhalasi memiliki keuntungan yaitu diberikan dalam dosis kecil secara langsung ke saluran pernafasan (efek lokal), sehingga tidak menimbulkan efek samping sistemik yang serius. Biasanya, jika penggunaan secara inhalasi tidak mencukupi barulah kortikosteroid diberikan secara oral, atau diberikan bersama dengan obat lain (kombinasi, misalnya dengan bronkodilator). Kortikosteroid inhalasi tidak dapat menyembuhkan asma. Pada kebanyakan pasien, asma akan kembali kambuh beberapa minggu setelah berhenti menggunakan kortikosteroid inhalasi, walaupun pasien telah menggunakan kortikosteroid inhalasi dengan dosis tinggi selama 2 tahun atau lebih. Kortikosteroid inhalasi tunggal juga tidak efektif untuk pertolongan pertama pada serangan akut yang parah.
Berikut ini contoh kortikosteroid inhalasi yang tersedia di Indonesia antara lain:
Nama generik
Nama
dagang
di Bentuk
Dosis
Sediaan
pakai
Indonesia
Beclomethasone Becloment(beclomethasone Inhalasi dipropionate 200μg/ dosis)
dipropionate
aerosol
dan
Inhalasi 200μg
Aturan
aerosol: ,
2
kali
seharianak: 50-100 μg 2 kali sehari Pulmicort(budesonide
Budesonide
Inhalasi
Inhalasi
aerosol: 200
100 μg, 200 μg, 400 μg / aerosol
μg,
2
dosis)
Serbuk
sehariSerbuk
inhalasi
inhalasi:200-1600 μg / hari
dalam
kali
dosis
terbagianak: 200-800 μg/ hari dalam dosis terbagi Flixotide(flutikason
Fluticasone
Inhalasi
Dewasa dan anak > 16
propionate50 μg , 125 μg aerosol
tahun: 100-250 μg, 2
/dosis)
kali sehariAnak 4-16 tahun; 50-100 μg, 2 kali sehari
Dosis untuk masing-masing individu pasien dapat berbeda, sehingga harus dikonsultasikan lebih lanjut dengan dokter, dan jangan menghentikan penggunaan kortikosteroid secara langsung, harus secara bertahap dengan pengurangan dosis.
Mekanisme Aksi Kortikosteroid bekerja dengan memblok enzim fosfolipase-A2, sehingga menghambat pembentukan mediator peradangan seperti prostaglandin dan leukotrien. Selain itu berfungsi mengurangi sekresi mukus dan menghambat proses peradangan. Kortikosteroid tidak dapat merelaksasi otot polos jalan nafas secara langsung tetapi dengan jalan mengurangi reaktifitas otot polos disekitar saluran nafas, meningkatkan
sirkulasi jalan nafas, dan mengurangi frekuensi keparahan asma jika digunakan secara teratur.
Mekanisme Kerja Kortikosteroid Kortikosteroid menembus membran sel dan akan berikatan dengan reseptor glukokortikoid yang banyak terdpat pada sitoplasma sel target. Selanjutnya kompleks tersebut akan masuk ke dalam nukleus dan berikatan dengan elemen respon glukokortikoid yang spesifik (“specific glucocorticoid response element”) untuk dapat mengatur transkripsi gen. Jadi kortikosteroid mengendalikan inflamasi melalui proses transkripsi gen , suatu proses yang rumit, memerlukan waktu 6 - 12 jam. Mekanisme utama steroid pada asma diduga melalui inhibisi pembentukan sitokin tertentu. Seperti IL1, TNFα, GM-CSF, IL-3, IL- 4, IL-5, IL-6, dan IL-8.(9,11) Disisi lain steroid juga meningkatkan pembentukan reseptor β2 sehingga mampu mencegah reaksi takifilaksis akibat pemakaian obat β2 agonis jangka panjang. Steroid juga mempercepat regenerasi sel epitel, dan jangka panjang juga mengurangi jumlah sel mas.
Preparat steroid inhalasi
Preparat steroid inhalasi dirancang dengan tujuan untuk mendapatkan efek topikal pada saluran pernapasan yang maksimal dan efek samping sistemik yang minimal. Pada awal perkembangannya diketahui bahwa dengan menambahkan fluoro 6 alfa, metil 6 alfa atau fluoro 9 alfa akan diperoleh efek antiinflamasi yang lebih tinggi, namun ternyata efek mineralokortikoidnya juga meningkat. Selanjutnya ditemukan bahwa dengan esterifikasi pada gugus 16 alfa, 17 alfa atau 21 alfa, akan diperoleh efek antiinflamasi yang tinggi dan efek sistemik yang rendah, misalnya pada betametason 17-valerat, triamsinolon 16,17 asetonid, beklometason 17,21 dipropionat
Sekitar 70% - 90% dari dosis obat yang diinhalasi akan terdeposisi di orofaring, sebagian tertelan masuk ke lambung, hanya 10% - 30% yang akan mencapai paru. Obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan kemudian akan mengalami proses inaktivasi di hepar. Selanjutnya, baik obat yang tertelan maupun obat yang terdeposisi di paru akan diabsorpsi masuk sirkulasi sistemik.
Bioavaibilitas sistemik preparat inhalasi steroid adalah jumlah obat yang diabsorpsi melalui paru-paru dan jumlah obat yang diabsorpsi melalui saluran pencernaan (obat yang tertelan dan obat yang lolos dari proses inaktivasi di hepar). Obat steroid inhalasi yang mencapai paru-paru hampir seluruhnya diabsorpsi, sehingga keseimbangan antara efek terapi dan efek samping sistemik sepenuhnya tergantung pada bioavaibilitas obat yang tertelan. Hal ini penting dipertimbangkan, karena pada anak kecil sangat besar kemungkinan obat tertelan.
Perbedaaan preparat steroid inhalasi terletak pada: afinitasnya terhadap reseptor glukokortikoid, lipofilisitasnya dan bioavaibilitas sistemik. Obat steroid inhalasi yang ideal adalah yang memiliki efek topikal tinggi, bioavaibilitas sistemik rendah serta proses inaktivasi di hepar yang cepat dan sempurna
Penggunaan preparat steroid inhalasi yang diinaktivasi sempurna di hepar, misalnya flutikason dan mometason, akan mengurangi efek supresi terhadap
pertumbuhan. Suatu penelitian yang membandingkan pemberian flutikason 100 ug dan placebo membuktikan adanye efek supresi pertumbuhan, tetapi sangat minimal dan hanya seperempat kali efek beklometason (Allen 2002).(16) Budesonid juga mengalami inaktivasi sempurna di hepar. Efek sistemik baru muncul bila menggunakan flutikason atau budesonid diatas dosis 400 ug perhari.
Penghantaran obat ke paru-paru dan bioavaibilitas sistemik juga ditentukan dari alat/tehnik yang dipakai. Apabila menggunakan pMDI (“Pressured Metered Dose Inhaler”), obat yang mencapai paru-paru sebesar 5 – 25%, dengan sistim DPI (Dry Powder Inhaler) mencapai 10-35%. Penggunaan “spacer / holding chamber” akan mengurangi deposisi obat diorofaring dan meningkatkan deposisi obat di paru-paru. Berkumur setelah menggunakan obat inhalasi juga merupakan salah satu cara untuk mengurangi jumlah obat yang tertelan. (5,10,13) Flunisolid dan Triamsinolon Asetonid (TA) sudah ditinggalkan dan jarang dipakai karena efektifitasnya yang rendah dan efek samping yang besar. (11 Beklometason dipropionat(BDP) merupakan steroid inhalasi yang pertama kali digunakan secara klinis. Setelah inhalasi, kadar puncak tercapai setelah 5 jam. Di jaringan paru akan segera mengalami pemecahan menjadi beklometason monopropionat (BMP) yang mempunyai potensi lebih kuat dibanding BDP. Pemecahan BMP di hepar lebih lambat dibanding Budesonid ,sehingga efek sistemiknya lebih besar. Dosis inhalasi pada anak usia dibawah 8 tahun :100-200 ug/hari , usia lebih dari 8 tahun 150-500ug/ hari ,diberikan 2 – 4 kali/ hari.
(1,11,15) Steroid inhalasi yang memiliki bioavaibilitas di jaringan paru tertinggi adalah Budesonid, namun suatu preparat baru BDP yang diformulasikan. Tanpa propelan “chlorofluorocarbon” (CFC) atau dikenal dengan BDP dengan propelan “hydrofluoroalkene (HFA) terdeposisi 55-60% di jaringan paru.(15) Budesonid(BUD) merupakan steroid inhalasi yang paling banyak diteliti. Kadar puncak tercapai setelah 15 – 30 menit inhalasi, terdeposisi 25%-30% di jaringan paru. Dimetabolisme secara cepat dan sempurna di hepar, bentuk metabolitnya diekskresi melalui urin dan feses dan hanya memiliki potensi seperseratus dari Budesonid. Budesonid
mempunyai
kemampuan
berikatan
(afinitas)
dengan
reseptor
glukokortikoid 7 kali lebih besar dibanding deksametason.(11) Dosis anak 200 –800 ug/hari diberikan melalui MDI, turbuhaler atau jet nebulizer. Suatu penelitian tentang pemberian budesonid secara inhalasi dosis sedang pada penderita asma anak, tidak dapat membuktikan adanya proses demineralisasi tulang, baik berupa perubahan masa maupun densitas tulang. (16) Flutikason Propionat (FP) merupakan steroid inhalasi yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap reseptor steroid, sebagian kecil diabsorpsi di lambung dan dimetabolisme sempurna oleh hepar. Dosis harian harus dititrasi sesuai dengan respon klinis dan uji faal paru. Lipofilisitasnya 3, 300, dan 1000 kali lebih tinggi dibanding BDP, BUD dan TA. Flutikason propionat memiliki afinitas terhadap reseptor steroid 1,5 kali lebih tinggi dibanding BMP dan mometason furoat, 3 kali lebih tinggi dibanding BUD dan 20 kali lebih tinggi dibanding Flunisolid dan TA. Waktu paruh afinitas FP pada reseptor steroid lebih dari 10 jam, BUD 5 jam, BMP 7,5 jam dan TA 4 jam. (12) Gustafsson dkk .1993 meneliti efikasi dan keamanan FP dosis 200 ug/hari dibandingkan dengan BUD dosis 400 ug/hari melalui MDI dengan “spacer”. Ada 397 anak berusia 4 – 19 tahun dengan asma ringan dan asma sedang yang mengikuti penelitian selama 6 minggu.Hasil penelitian menujukkan bahwa FP 200 ug/hari secara bermakna lebih efektif apabila dibandingkan dengan BUD 400 ug/hari. Pada kelompok dengan FP ternyata lebih sedikit yang terkena serangan asma akut selama penelitian berlangsung. (17) Hasil yang serupa juga didapatkan pada penelitian oleh Hoekx dkk 1996(18) dan Ferguson dkk(19). Hoekx dkk melakukan penelitian terhadap 229 anak berusia 4 – 13 tahun dengan asma ringan dan sedang. Penelitian dilaksanakanselama 8 minggu, 110 anak mendapat BUD dosis 400 ug/ hari melalui turbuhaler dan 119 anak mendapat FP dosis 400 ug/ hari melalui
diskhaler (18). Ferguson dkk melakukan penelitian terhadap 303 anak berusia 4 – 12 tahun dengan asma sedang dan asma berat.
Dosis steroid yang dipakai lebih tinggi yaitu 800 ug/ hari pada kelompok BUD dan 400 ug/ hari pada FP. (19) Efek samping lokal pemberian steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah disfonia dan kandidiasis oral. Disfonia diduga terjadi karena miopati pada otot laring, namun efek samping ini bersifat reversibel. Kandidiasis oral dapat dicegah dengan cara berkumur atau cuci mulut setelah pemakaian steroid inhalasi.(13,16,17) Beberapa efek samping sistemik akibat steroid inhalasi yang pernah dilaporkan adalah efek pengurangan masa tulang, hambatan pertumbuhan melalui penekanan aksis “Hypothalamic-pituitary-adrenal”(HPA) dan katarak. Masih terjadi kontroversi tentang hambatan pertumbuhan akibat steroid inhalasi, mengingat asma sendiri juga dapat mengakibatkan gangguan pertumbuhan. Ada bukti bahwa efek supresi pertumbuhan pada masa anak akibat pemberian steroid tidak bersifat permanen
Indikasi Kortikosteroid inhalasi secara teratur digunakan untuk mengontrol dan mencegah gejala asma.
Kontraindikasi Kontraindikasi bagi pasien yang hipersensitifitas terhadap kortikosteroid.
Efek samping Efek samping kortikosteroid berkisar dari rendah, parah, sampai mematikan. Hal ini tergantung dari rute, dosis, dan frekuensi pemberiannya. Efek samping pada pemberian kortikosteroid oral lebih besar daripada pemberian inhalasi. Pada pemberian secara oral dapat menimbulkan katarak, osteoporosis, menghambat pertumbuhan, berefek pada susunan saraf pusat dan gangguan mental, serta meningkatkan resiko terkena infeksi. Kortikosteroid inhalasi secara umum lebih aman,
karena
efek
seperticandidiasis (infeksi
samping
yang
karena
timbul jamur
seringkali
bersifat
candida) di
lokal sekitar
mulut, dysphonia (kesulitan berbicara), sakit tenggorokan, iritasi tenggorokan, dan batuk. Efek samping ini dapat dihindari dengan berkumur setelah menggunakan sediaan inhalasi. Efek samping sistemik dapat terjadi pada penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi yaitu pertumbuhan yang terhambat pada anak-anak, osteoporosis, dan karatak.
Resiko Khusus
Pada anak-anak, penggunaan kortikosteroid inhalasi dosis tinggi menunjukkan pertumbuhan anak yang sedikit lambat, namun asma sendiri juga dapat menunda pubertas, dan tidak ada bukti bahwa kortikosteriod inhalasi dapat mempengaruhi tinggi badan orang dewasa. Hindari penggunaan kortikosteroid pada ibu hamil, karena bersifat teratogenik.
Cara Penggunaan Inhaler
Sebelum menarik nafas, buanglah nafas seluruhnya, sebanyak mungkin
Ambillah inhaler, kemudian kocok
Peganglah inhaler, sedemikian hingga mulut inhaler terletak dibagian bawah
Tempatkanlah inhaler dengan jarak kurang lebih dua jari di depan mulut (jangan meletakkan mulut kita terlalu dekat dengan bagian mulut inhaler)
Bukalah mulut dan tariklah nafas perlahan-lahan dan dalam, bersamaan dengan menekan inhaler (waktu saat menarik nafas dan menekan inhaler adalah waktu yang penting bagi obat untuk bekerja secara efektif)
Segera setelah obat masuk, tahan nafas selama 10 detik (jika tidak membawa jam, sebaiknya hitung dalam hati dari satu hingga sepuluh)
Setelah itu, jika masih dibutuhkan dapat mengulangi menghirup lagi seperti cara diatas, sesuai aturan pakai yang diresepkan oleh dokter
Setelah selesai, bilas atau kumur dengan air putih untuk mencegah efek samping yang mungkin terjadi.
XI.
KOMPLIKASI Komplikasi merupakan hal yang sering terjadi dan seringkali membahayakan nyawa
penderita, namun seiring berkembangnya teknologi diagnostik dan antibiotika, maka hal tersebut dapat dihindari.5 1. Komplikasi orbita Sinus etmoidalis merupakan penyebab komplikasi pada orbita. Pembengkakan orbita dapat merupakan manifestasi etmoiditis akut, namun sinus frontalis dan sinus maksilaris juga terletak dekat orbita dan dapat pula menimbulkan infeksi isi orbita. Terdapat lima tahapan: a. Peradangan atau reaksi edema yang ringan. Terjadi pada isi orbita akibat infeksi sinus etmoidalis di dekatnya. Keadaan ini terutama ditemukan pada anak, karena lamina papirasea yang memisahkan orbita dan sinus etmoidalis seringkali merekah pada kelompok umur ini. b. Selulitis orbita. Edema bersifat difus dan bakteri telah secara aktif menginvasi isi orbita namun pus belum terbentuk. c. Abses subperiosteal. Pus terkumpul di antara periorbita dan dinding tulang orbita menyebabkan proptosis dan kemosis. d. Abses orbita. Pada tahap ini, pus telah menembus periosteum dan bercampur dengan isi orbita tahap ini disertai gejala sisi neuritis optik dan kebutaan unilateral yang lebih serius. Keterbatasn gerak otot ekstraokular mata yang terserang dan kemosis konjungtiva merupakan tanda khas abses orbita, juga proptosis yang makin bertambah. e. Trombosis sinus kavernosus. Komplikasi ini merupakan akibat penyebaran bakteri melalui saluran vena ke dalam sinus kavernosus di mana selanjutnya terbentuk suatu tromboflebitis septik. 2. Komplikasi oseus/tulang Penyebab tersering dari infeksi tulang adalah infeksi sinus frontalis. Nyeri takan dahi setempat yang sangat berat. Gejala sistemik berupa malaise, demam, dan menggigil. Pembengkakan di atas alis mata juga sering terjadi dan bertambah hebat bial terbentuk abses subperiosteal dimana telah terbentuk edema supraorbita dan mata menjadi tertutup. 3. Komplikasi intrakranial a. Meningitis akut. Infeksi dari sinus paranasalis dapat menyebar sepanjang saluran vena atau langsung dari sinus yang berdekatan, seperti lewat dinding
posterior sinus frontalis atau lamina kribtiformis di dekat sistem sel udara etmoidalis. b. Abses dura. Terdapat kumpulan pus di antara dura dan tabula interna kranium, seringkali mengikuti sinusitis frontalis. Proses ini mungkin timbul lambat sehingga pasien mungkin hanya mengeluh nyeri kepala, dan sebelum pus yang terkumpul mampu menimbulkan tekanan intrakranial. c. Abses otak. Setelah sistem vena dalam mukoperiosteum sinus terinfeksi, maka dapat terjadi perluasan metastatik secara hematogen ke dalam otak.
DAFTAR PUSTAKA
1. Bachet C, Pawankhar R, Zhang L, Bunnang C, Wokkens WJ, Hammilon DW et al, ICON: chronic rhinosinusitis. World Allergy Organ J. 2014; 7(1): 25. 2. Munir N, Clark R, Ear nose and throat. 2013.Edisi 1. Hal 46-48. Penerbit UK 3. American
Allergy
Asthma
and
Immunology.
Rhinosinusitis.
2015.
http://www.aaaai.org/conditions-and-treatments/conditions-dictionary/sinuses,sinusitis,-rhinosinusitis.aspx. Diakses pada tanggal 25 November 2015 4. Stenner M, Rudack C, Diseases of the nose and paranasal sinuses in child. 2014. GMS Curr Top Otorhinolaryngol Head Neck Surg. 2014; 13: Doc10. 5. Mangunkusumo E, Soetjipto D. Sinusitis. Buku ajar ilmu kesehatan telinga, hidung, tenggorok, kepala dan leher. Edisi ketujuh. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2012.h.150-4. 6. Jungueira LC, Carneiro J, 2003. Histologi Dasar. Edisi 10. Penerbit buku kedokteran EGC. 7. Bansal M, Diseases of Ear, nose and Throat. 2013. Jaypee Brothers Medical Publishers (P) Ltd. Hal : 37. 8. Fokkens W, Lund V, Mullol J. European Position Paper on Nasal Polyps. 2007. 9. Mescher AL, Junqueira’s, Basic Histology Text and Atlas. Chapter 17. Edisi 12. 2010. 10. Duggal, NM. Controversies in Medicine: An Integrative Approach to the Management of Cough and Cold Symptoms in Rhinosinusitis. Terdapat pada http://integrativemedicinereport.com/intg/intg0101article.html. Diakses pada tanggal 25 November 2015. 11. Thiagarajan, B. Role of X-ray in Rhinology. Stanley Medical College.