Pendahuluan.docx

  • Uploaded by: Krsiyah Sandiah
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pendahuluan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 4,700
  • Pages: 19
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Peradilan Islam di Indonesia yang selanjutnya disebut dengan “Peradilan Agama” telah ada di berbagai tempat di Nusantara, jauh sejak zaman penjajahan Belanda. Bahkan menurut pakar Sejarah Peradilan, Peradilan Agama sudah ada sejak abad ke-16. Dalam sejarah yang dibukukan oleh Departemen Agama yang berjudul Seabad Peradilan Agama di Indonesia, tanggal 19 Januari 1882 ditetapkan sebagai Hari Jadinya, yaitu berbarengan dengan diundangkannya ordonantie stbl. 1882-152, tentang Peradilan Agama di pulau Jawa-Madura. Selama itu hinggaa sekarang, Peradilan Agama berjalan, putusannya ditaati dan dilaksanakan dengan sukarela, tetapi hingga diundangkannya UU No. 7 tahun 1989, Peradilan Agama belum pernah memiliki undang-undang tersendiri tentang Susunan, Kekuasaan dan Acara, melainkan terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang tidak merupakan kesatuan, lagi tidak pula seragam. Kekuasaannya kadangkala berbenturan dengan Peradilan Umum karena memang disengaja dibuat tidak jelas oleh pemerintah jajahan, sebab Pemerintah jajahan sejak semula memang sangat khawatir terhadap hokum Islam lantaran hukum Islam itu , di samping bertentangan dengan agama mereka, juga merupakan hukum yang sebagian besar dianut oelh bangsa Indonesia. Memberikan hak hidup kepada hokum Islam sama artinya dengan memberikan peluang hidup terhadap hukum bangsa Indonesia. Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat di dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sebagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati.

1

B. Rumusan Masalah Dari latar belakang diatas, terdapat rumusan masalah sebagai berikut :  Apa Itu Peradilan Agama Dan Peradilan Islam?  Apa makna Hukum Acara Perdata Peradilan Umum Dan Peradilan Agama?  Apa Saja Kekuasaan Dalam Peradilan Agama? C. Tujuan Penulisan Tujuan dari penulisan makalah ini adalah Untuk Mengetahui Apa Itu Peradilan Agama Dan Peradilan Islam, Bagaimana Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan Agama Serta Mengetahui Apa Saja Kekuasaan Peradilan Agama. D. Manfaat Penulisan 1. Manfaat teoritis Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tentang pemahaman pembangunan dan pembaharuan hukum dalam mensejajari dinamika kebutuhan masyarakat Islam terhadap kedudukan dan kekuasaan peradilan agama. menciptakan kesatuan hukum peradilan agama serta memurnikan fungsi peradilan agama 2. Manfaat praktis -

Bagi penulis, agar dapat menambah wawasan tentang kekuasaan peradilan agama serta kesatuan hukum peradilan agama dan juga lebih memahami mekanisme peradilan dan upaya hukum yang dilakukan

2

BAB II PEMBAHASAN A. Peradilan Agama dan Peradilan Islam 1. Peradilan Agama Peradilan Agama adalah sebutan (titelature) resmi bagi salah satu diantara empat lingkungan Peradilan Negara atau Kekuasaan Kehakiman yang sah di Indonesia.1 Tiga lingkungan Peradilan Negara lainnya adalah Peradilan Umum, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Peradilan Agama adalah salah satu di antara tiga Peradilan Khusus di Indonesia. Dua peradilan khusus lainnya adalah Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara. Dikatakan Peradilan Khusus karena Peradilan Agama mengadili perkara-perkara tertentu atau mengenai golongan rakyat tertentu.2 Dalam hal ini Peradilan Agama hanya berwenang di bidang perdata tertentu saja, tidak pidana dan pula tidak hanya untuk orang-orang Islam di Indonesia, dalam perkara-perkara Islam tertentu, tidak mencakup seluruh perdata Islam. Peradilan Agama adalah Peradilan Islam di Indonesia, sebab dari jenis-jenis perkara yang ia boleh mengadilinya, seluruhnya adalah jenis perkara menurut agama Islam.3 Dirangkaikannya kata-kata “Peradilan Islam” dengan kata-kata “di Indonesia” adalah karena jenis perkara yang ia boleh mengadilinya tersebut tidaklah mencakup segala macam perkara menurut Peradilan Islam secara universal. Tegasnya, Peradilan Agama adalah Peradilan Islam limitative, yang telah disesuaikan (dimutatis mutandiskan) dengan keadaan di Indonesia. 2. Peradilan Islam Kata “Peradilan Islam” yang tanpa dirangkaikan dengan kata-kata “di Indonesia”, dimaksudkan adalah Peradilan Islam menurut konsepsi Islam secara universal. Peradilan Islam itu meliputi segala jenis perkara menurut ajaran Islam secara universal. Oleh karena itu, di mana-mana asas peradilannya mempunyai 1

Lihat UU No. 14 tahun 1970, LN 1970-74, tentang Ketentuan-Ketentuan pokok Kekuasaan kehakiman, Pasal 10 ayat (1), Kata-kata “Peradilan Negara” dan “Kekuasaan Kehakiman” adalah semakna. 2 Penjelasan Pasal 10 (ayat (1). 3 Lihat uraian-uraian tentang kekuasaan (kompetensi) Peradilan Agama. Lihat juga UU No. 7 tahun 1989, tentang Peradilan Agama, Pasal 1 sub 1.

3

prinsip-prinsip kesamaan sebab hukum Islam itu tetap satu dan berlaku atau dapat diberlakukan di mana pun, bukan hanya untuk suatu bangsa atau untuk suatu negara tertentu saja. B. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum dan Peradilan Agama 1. Hukum Acara Perdata Peradilan Umum 

Prof. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H. merumuskan Hukum Acara Perdata ialah : Rangkaian peraturan-peraturan yang memuat cara bagaimana orang harus bertindak terhadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana pengadilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan-peraturan hukum perdata.4



Prof. Subekti, S.H dan R. Tjitrosoedibio merumuskan Hukum Acara Perdata adalah : Keseluruhan daripada ketentuan-ketentuan hokum yang mengatur dengan cara bagaimana tertib hukum perdata dapat ditegakkan dalam hal penegakkan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu pelanggaran dan bagaimana ia dapat dipelihara dalam hal suatu tindakan pemeliharaan dikehendaki, berhubung terjadinya suatu peristiwa perdata.5

Hukum acara perdata hanya diperuntukkan menjamin ditaatinya hukum materiil perdata. Hukum materiil sebagaimana terjelma dalam undang-undang atau yang bersifat tidak tertulis, merupakan pedoman bagi warga masyarakat tentang bagaimana orang selayaknya berbuat atau tidak berbuat dalam masyarakat. Hukum bukanlah semata-mata sekedar sabagai pedoman untuk dibaca, dilihat atau diketahui saja, melainkan untuk dilaksanakan atau ditaati. Pelaksanna dari pada hukum materiil, khususnya hukum materiil perdata, dapatlah berlangsung secara diam-diam diantara para pihak yang bersangkutan tanpa melalui pejabat atau instansi resmi. Akan tetapi sering terjadi, bahwa hukum materiil perdata itu dilanggar, sehingga ada pihak yang dirugikan dan terjadilah

4

R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Perdata di Indonesia, Sumur Bandung, Jakarta, 1980, halaman 13 5 Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, 1983, halaman 55

4

gangguan keseimbangan kepentingan di dalam masyarakat. Dalam hal ini maka hukum materiil perdata yang telah dilanggar itu haruslah dipertahankan atau ditegakkan. Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum peradata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata. Lebih konkrit lagi dapatlah dikatakan, bahwa hukum acara perdata mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutusnya dan pelaksanaan dari pada putusnya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan menghakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hal menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenangnya, tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh karena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan dalam hal kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita. 6 Hukum acara perdata meliputi tiga tahap tindakan. Yaitu tahap pendahuluan, tahap penentuan dan tahap pelaksanaan. Tahap pendahuluan merupakan persiapan menuju kepada penentuan atau pelaksanaan. Dalam tahap penentuan diadakan pemeriksaan peristiwa dan pembuktian sekaligus sampai kepada pututsannya. Sedang dalam tahap pelaksanaan diadakan pelaksanaan dari pada putusan. Hukum acara perdata bukanlah sekedar merupakan pelengkap saja, tetapi mempunyai kedudukan yang penting dalam melaksanakan atau menegakkan hukum perdata materiil. Pada hakekatnya hakim hanya diminta atau diharapkan untuk mempertimbangkan benar tidaknya peristiwa yang diajukan kepadanya. Ia

6

Baca P.A Stein, Compendium van het Burgerlijik Procesrecht, Deventer 1973 halaman 19.

5

pada hakekatnya tidak perlu tahu akan hukumnya. Untuk mengetahui hukumnya ia dapat menanyakannya kepada ahlinya.7 Maka oleh karena itu hakim sebagai stabilisator hukum harus sungguhsungguh menguasai hukum acara perdata. Kurangnya pengetahuan tentang hukum acara pada umumnya atau hukum acara perdata pada khususnya atau tidak menguasainya hukum acara merupakan salah satu faktor terhambatnya jalannya peradilan.8 

Asas-Asas Hukum Acara  Hakim Bersifat Menunggu  Hakim Pasif  Sifat Terbukanya Persidangan  Mendengar Kedua Belah Pihak  Putusan Harus Disertai Alasan-Alasan  Beracara Dikenakan Biaya  Tidak Ada Keharusan Mewakilian9



Kekuasaan Kehakiman Kekuasaan kehakiman ketentuannya diatur dalam UU 14/1970, UU No. 2

tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan UU No. 14 tahun 1985 tentang Mahkamah Agung. UU No. 14 tahun 1970 merupakan induk dan kerngkaumum yang meletakkan dasar serta asas-asas peradilan serta pedoman bagi lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara, sedang masing-masing peradilan masih diatur dalam undang-undang tersendiri. Dengan UU 14/1970 ini maka undang-undang tentang kekuasaan kehakiman sebelumnya (UU 19/1964, LN 107) dinyatakan tidak berlaku.10

7

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 5-6 8 C.F.G. Sunaryati Hartono, Peranan Peradilan dalam Rangka Pembinaan dan Pembaharuan Hukum Nasional, hal 18 9 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 10-18 10 Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H, Hukum Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta, hal 19

6

Menurut Pasal 10 ayat (2) dan 11 ayat (2) dari UU tersebut, Mahkamah Agung adalah Pengadilan Negara Tertinggi dan ia mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan tersendiri. Oleh karena masing-masing lingkungan peradilan tersebut terdiri dari pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding, yang semuanya berpuncak ke Mahkamah Agung (di bidang teknis potensional yudikatif), artinya di bidang memeriksa dan mengadili perkara, maka susunan Badan-Badan Peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut : 1. Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (disingkat PN), Pengadilan Tinggi (disingkat PT), dan Mahkamah Agung (disingkat MA).11 2. Lingkungan Peradilan Agama adalah Pengadilan Agama (disingkat PA), Pengadilan Tinggi Agama (disingkat PTA), dan Makhkamah Agung (disingkat MA).12 3. Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (disingkat Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (disingkat Mahmilti), dan Mahkamah Militer Agung (disngkat Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung. 4. Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Pengadilan Tata Usaha Negara (disingat PTUN), Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (disingkat PTTUN) dan Mahkamah Agung.13 PN, PA, Mahmil dan PTUN disebut Pengadilan tingkat pertama karena ia adalah pengadilan sehari-hari yang pertama kali menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara pada lingkungannya masing-masing.14 PT, PTA, Mahmilti dan PTTUN disebut Pengadilan tingkat banding karena ia menerima perkara bandingan yang berasal dari pengadilan tingkat pertama pada lingkungannya masing-masing. Pengadilan tingkat pertama dan tigkat banding disebut judex facti , artinya perkara di tingkat banding (dalam hal banding) akan dperiksa secara keseluruhan, 11

Lihat UU No. 2 tahun 1986, LN 1986-20. Tt. Peradilan Umum. Lihat UU No. 7 tahun 1989, LN 1989-49, tt. Perdilan Agama. 13 Lihat UU No. 5 tahun 1986, LN 1986-77, tt. Peradilan Tata Usaha. 14 Tingkat I adalah istilah administrasi Pemerintahan (eksekutif), Tingkat pertama adalah istilah administrasi Peradilan (yudikatif). 12

7

baik tentang fakta-fakta maupun tentang bukti-bukti dan lain sebagainya seperti pemeriksaan sekengkapanya di muka pengadilan tingkat pertama dulunya. Mahkamah Agung tidak lagi melakukan judex facti itu dan karenanya Mahkamah Agung tidak bisa disebut sebagai pengadilan tingkat ketiga. Secara mudah dikatakan bahwa Mahkamah Agung itu memeriksa mana yang benar antara pengadilan tingkat pertma dan tingkat banding yang sudah memeriksa terdahulu terhadap sesuatu perkara yang dimintakan kasasi ke Mahkamah Agung. Oleh Karena itu, Mahkamah Agung tidaklah memeriksa perkara secara keseluruhan lagi melainkan hanya terbatas dalam hal-hal tertentu saja.15 Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan (finansial) tersendiri, tetapi masing-masing lingkungan dari empat lingkungan peradilan, maka organistoris, administrative dan finasialnya berada di bawah kekuasaan masing-masing departemen yang bersangkutan. 16 Untuk lingkungan Peradilan Umum (PN dan PT) Ke Departemen Kehakiman, lingkungan Peradilan agma (PA dan PTA) ke Departemen Agama, lingkungan Peradilan Militer (Mahmil dan Mahmilti) ke Departemen Pertahanan dan Keamanan dan ke Panglima Angkatan Bersenjata (PANGAB), lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN dan PTTUN) ke Departemen Kehakiman.17 Departemen Kehakiman, Departemen Agama, Departemen Pertahanan dan Keamanan sebagaimana diketahui adalah sama-sama eksekutif, Menterimenterinya adalah Pembantu Preiden selaku Kepala Pemerintahan bukan Presiden selaku Kepala Negara.18 Presiden selaku Kepala Pemerintahan adalah Pimpinan Lembaga Tinggi Negara yang setingkat dengan Lembaga-Lembaga Tinggi Negara lainnya (yaitu DPR, DPA, MA dan BPK). Yang dimaksud dengan organisatoris, administrative dan finansial misalnya tentang struktur organisasi dan eselonisasi pada pengadilan tingkat pertama dan 15

Lihat UU No. 15 tahun 1985, LN 1985-73, tt. Mahkamah Agung, Pasal 30. Lebih terinci , lihat buku penulis Upaya Hukum terhadap Putusan Peradilan Agama, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, 1989, hal 89-90 16 UU No. 14 tahun 1970, Pasal 11 ayat (1). 17 Lihat UU No. 5 tahun 1986, Pasal 7. 18 Lihat UU 1945 Pasal 17, jo. Keputusan Presiden No. 44 tahun 1974, tt. Pokok-pokok Organisasi Departemen.

8

tingkat banding, tentang tata kerjanya, tentang administrasinya secara umum (tidak termasuk administrasi peradilan), tentang anggaran rutin dan anggaran pembangunan pengadilan, tentang sarana dan prasarana pengadilan. 2. Hukum Acara Peradilan Agama Sebagaimana diketahui bahwa Peradilan Agama adalah Peradilan Perdata dan Peradilan Islam di Indonesia, jadi ia harus mengindahkan peraturan perundangundangan negara dan syariat Islam sekaligus. Oleh karena itu, rumusan Hukum Acara Peradilan Agama diusulkan sebagai berikut : Segala peraturan baik yang bersumber dari peraturan perundang-undangan negara maupun dari syariat Islam yang mengatur bagaimana cara orang bertindak ke muka Pengadilan Agama dan juga mengatur bagaimana cara Pengadilan Agama tersebut menyelesaikan perkaranya, untuk mewujudkan hukummaterial Islam yang menjadi kekuasaan Peradilan Agama.19 a. Kekuasaan Peradilan Agama 1. Kekuasaan Relatif (Wewenang Nisbi daripada Hakim) Kekuasaan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya20. Kekuasaan relatif atau kompetensi relatif ini berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan. Kompetensi relatif diatur dalam pasal 188 HIR (pasal 142 Rbg) Sebagai asas ditentukan , bahwa Pengadilan Negeri di tempat tergugat tinggal (mempunyai alamat, berdomisili) yang wenang memeriksa gugatan atau tuntutan hak: actor sequitur forum rei (ps. 188 ayat 1 HIR, 142 ayat 1 Rbg). Gugatan harus diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tergugat tinggal. Kalau penggugat bertempat tinggal di Yogyakarta, sedang tergugat bertempat tinggal di Surabaya, maka gugatan diajukan kepada Pengadilan Negeri di Surabaya. Kiranya tidaklah

19

Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal 10 20 Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta. Hal 25

9

layak apabila tergugat harus menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal. Tergugat tidak dapat dipaksa untuk menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal, hanya karena ia digugat oleh penggugat, yang belum tentu terbukti kebenaran gugatannya. Bukanlah kehendak tergugat bahwa ia digugat oleh penggugat. Lain daripada itu belum tentu gugatan penggugat itu dikabulkan oleh pengadilan. Maka oleh karena itu tergugat harus dihormati dan diakui hak-haknya selama belum terbukti kebenaran gugatan penggugat, sehingga tidak dapat dipaksa berkorban untuk kepentingan pihak penggugat, yang belum tentu tinggal sekota dengan tergugat, dengan menghadap ke Pengadilan Negeri di tempat penggugat tinggal. Tergugat haruslah dianggap pihak yang benar selama belum terbukti sebaliknya. Kalau seseorang digugat di muka hakim yang tidak wenang secara relatif memeriksa perkara tersebut, maka hakim hanya dapat menyatakan dirinya tidak wenang secara relatif memeriksa perkara tersebut apabila tergugat mengajukan tangkisan atau eksepsi bahwa hakim tidak wenang memeriksa perkara tersebut, asal tangkisan tersebut diajukan pada siding pertama atau setidak-tidaknya belum menggunakan tangkisan yang lain. Dalam hal ini hakim wajib membuat jawaban terhadap tangkisan tersebut, walaupun pihak yang bersangkutan atau wakilnya tidak hadir di persidangan. Apabila tangkisan ditolak maka pemeriksaan tentang pokok perkara dapat dilanjutkan sampai putus. Sebaliknya seperti yang diketengahkan di muka, apabila perkara diajukan kepada hakim yang tidak wenang secara absolut, maka hakim ex officio harus menyatakan dirinya tidak wenang. Adapun kedudukan Pengadilan Negeri adalah di Kotamadya atau di ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten, sedangkan bagi Pengadilan Tinggi kedudukannya adalah di ibukota Propinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah propinsi (pas. 4 UU No. 2 Tahun 1986).21

21

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia. Hal 80-83.

10

2. Kekuasaan Absolut (Wewenang Mutlak Daripada Hakim) Kekuasaan absolut artinya kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tigkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya.22 Tugas pokok daripada pengadilan, yang menyelenggarakan kekuasaan kehakiman,

adalah

untuk

menerima,

memeriksa

daan

mengadili

serta

menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya. Telah diketengahkan di muka, bahwa Pengadilan Negeri merupakan pengadilan sehari-hari biasa untuk segala penduduk, yang mempunyai wewenag memeriksa dan memutus dalam peradilan tingkat pertama segala perkara perdata dan pidana yang dulu diperiksa dan diputus oleh pengadilan-pengadilan yang dihapuskan (pasal 5 ayat 3a UU Dar. 1/1951 ). Telah diketengahkan di muka, bahwa perkara perdata meliputi semua sengketa tentang hak milik atau hak-hak yang timbul karenanya, hutang-piutang atau hakhak keperdataan lainnya (pasal 2 ayat 1 RO) . Dari rumusan tentang perkara perdata dari pasal 2 ayat 1 RO tersebut (“hakhak keperdataan lainnya”) dapat disimpulkan bahwa pengertian perkara perdata meliputi baik perkara yang mengandung sengketa (contentious) maupun yang tidak mengandung sengketa (voluntair). Pada dasarnya dalam mengajukan tuntutan dalam perkara perdata berlaku asas “point d’interet, point d’action”, tidak ada kepentingan, tidak ada tuntutan, yang berarti bahwa asal ada kepentingan (hukum) maka seseorang dapat mengajukan tuntutan hak, baik yang merupakantuntutan yang mengandung sengketa maupun tuntutan yang tidak mengandung sengketa yang merupakan permohonan (request). Dengan demikian pengertian “setiap perkara perdata” dalam pasal 5 ayat 3a UU Dar. No. 1tahun 1951 tentang Tindakan-Tindakan untuk Menyelenggarakan Susunan, Kekuasaan dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil, tidak hanya meliputi sengketa atau perkara contentious, tetapi di dalamnya juga mengandung pengertian penyelesaian

22

Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, hal 27

11

masalah yang bersangkutan dengan yurisdiksi voluntair, yaitu tuntutan hak yang tidak mengandung sengketa. Wewenang mutlak daripada Pengadilan Tinggi meliputi: 1. pemeriksaan ulang semua perkara perdata dan pidana sepanjang dimungkinkan untuk dimintakan banding ( pasal 3 ayat 1, 2 UU Dar. 1/1951). 2. memutus dalam tingkat pertama dan terakhir sengketa wewenang mengadili antara Pengadilan Negeri di dalam wilayahnya (pasal 3 ayat 1, 2 UU Dar. 1/1951, pasal 51 UU No. 2 tahun 1986). 3. prorogasi mengenai perkara perdata (pasal 3 ayat 1, 2 UU Dar. 1/1951, 128 (2) RO, 85 Rbg). Pada tingkat pertama dan terkahir M.A. memutuskan semua sengketa tentang kewenangan mengadili: a. antara pengadilan di lingkungan peradilanyang satu dengan pengadilan dalam lingkungan peradilan yang lain; b. antara dua pengadilan yang ada dalam daerah hukum pengadilan tingkat banding yang berlainan dari lingkungan peradilan yang sama; dan c. antara dua pengadilan tingkat banding di lingkungan peradilan yang sama atau antara lingkungan peradilan yang berlainan (pasal 33 ayat 1 UU No. 14 tahun 1985).23 b. Jenis Perkara yang Menjadi Kukuasaan Peradilan Agama 1. Perkara Perkawinan 

Perkara suami-isteri di bidang perkawinan, maksudnya sudah didahului dengan adanya/terjadinya perkawinan, maka yang dijadikan tolakukur apakah Peradilan Agama berkuasa atau tidak, adalah dengan melihat kepadaa akta perkawinan mereka dahulunya tercatat di mana atau perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan menurut agama apa. Jika akta perkawinan mereka dahulunya tercatat di Pegawai Pencatat Nikah (PPN) pada Kantor Urusan Agama (KUA), atau jika perkawinan mereka dahulunya dilangsungkan menurut agama Islam, maka Peradilan Agama berkuasa. Kalau perkawinan mereka dahulunya tercatat pada Kantor Catatan Sipil (KCS) atau dilangsungkan menurut agama selain Islam, Maka Peradilan Agama tidak berkuasa.

23

Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, hal 75-79

12



Perkara di bidang perkawinan tetapi calon suami belum berusia 19 tahun dan calon isteri belum berusia 16 tahun sedangkan mereka mau kawin dan untuk kawin diperlukan dispensasi dari pengadilan. Jika kedua calon suami-isteri tersebut sama beragama Islam keduanya dapat mengajukan permohonan, bahkan boleh sekaligus hanya dalam satu surat pemohonan, untuk mendapatkan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama. Jika calon isterimisalnya non Islam dan calon suami Islam maka calon isteri mengajukan permohonannya ke Pengadilan Negeri sedangkan calon suami ke Pengadilan Agama, tidak perduli agama apa pun oraang tua mereka. Alasannya adalah bahwa yang akan kawin itu adalah kedua calon, bukan orang tua mereka, lagi pula anak yang sudah baligh (cukup umur secara biologis) sudah berhak menentukan agamanya sendiri(tidak bisa lagi diikutkan kepada agama orang tuanya). Kekusaan orang tua terhadap anaknya yang belum berusia 18 tahun atau telah pernah kawin sebelumnya seperti ditunjuk oleh Pasal 47 sampai 50 UU Nomor 1 tahun 1974, tidaklah termasuk kekuasaan untuk memaksakan agama anaknya yang telah dapat menentukan sendiri agamanya itu.



Anak yang belum baligh secara biologis, selama ia tidak tegas-tegas menetukan sendiri agamanya, oleh hukum dianggap mengikut kepada agama orang tuanya. Jika orang tuanya berlainan agama, oleh hukum dianggap mengikuti kepada agama ayahnya. Anak yang menggugat nafkah (pada pertanyaan di muka, jawabannya sebagai berikut: 1) Jika anak tidak telah tegas-tegas memilih agamanya maka Peradilan Agama berkuasa. Alasannya ialah karena perkawinan kedua orang tuanyya dahulu tercatat di PPN. 2) Jika anak tersebut telah tegas-tegas menentukan agamanya maka diajukanlah ke Pengadilan Agama (kalau ia menyatakan Islam) atau ke Pengadilan Negeri (kalau ia menyatakan selain Islam).

13

2. Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah Menurut Pasal 49 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989, ketiga jenis perkara di atas, termasuk kekuasaan Peradilan Agama (bagi mereka yang beragama Islam). Ayat (3) dari pasal tersebut berbunyi : Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penetuan mengenai harta peniggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut. Adapun tentang Wasiat dan Hibah tidak ada penjelasan lain. Oleh karena itu, sekarang dijelaskan meliputi tentang: (1) penentuan siapa-siapa ahli waris, (2) penentuan mengenai harta peninggalan, (3) penentuan bagian masingmasing ahli waris, (4) melaksanakan pembagian harta peniggalan, (5) wasiat dan (6) hibah. Munculnya kata warisan atau kewarisan menurut Islam, barulah setelah adanya seseorang yang wafat. Hal itu perlu dipahami betul supaya tahu bedanya dengan sistem kewarisan adat atau sistem kewarisan lainnya. Detik seseorang menghembuskan nafas yang penghabisan, yang disebut wafat atau meninggal dunia benar-benar mempunyai arti hukum. Pembicaraan mengenai wasiat harta bahwa wasiat itu sudah dibuat dikala pembuat wasiat masih hidup tetapi berlakunya setelah si pembuat wasiat wafat. Hibah tidak ada kaitannya dengan kewafatan seseorang sebab hibah itu dibuat sewaktu pemberi hibah masih hidup dan sudah dilaksanakan penyerahannya kepada penerima hibah sewaktu pemberi hibah masih hidup. Saat seseorang wafat, terjadi peristiwa penting yaitu peristiwa pengopern secara otomatis harta benda si mayit kepada pendudk dunia yang masih hidup dan penduduk dunia yang masih hidup di maksudkan adalah ahli warisnya “yang ada” serta “hidup” dan “berhak mewaris” dan juga si penerima wasiat.

14

Di luar sistem kewarisan dan wasiat ini, si mayit tidak berhak lagi campur tangan mengatur harta benda yang ditinggalkannya. Apabila perkara kewarisan, wasiat dan hibah seperti diuraikan telah dipahami maka dapat kita ambil kesimpulan sebagai berikut. 

Setiap pokok perkara tentangan kewarisan, otomatis harus diperiksa apakah si mayit ada berwasiat atau tidak, jika tidak demikian, harta peninggalan si mayit tidak akan bisa diketemukan.



Perkara wasiat bisa dijadikan pokok perkara tersendiri tetapi bisa digabung dalam pokok perkara tersendiri tetapi bisa digabung dalam pokok perkara kewarisan (kumulasi objektif).



Perkara kewarisan, selain harus diperiksa apakah ada atau tidaknya wasiat, juga harus diperiksa apakah ada: 1) harta bersama dengan orang lain, 2) biaya

penguburan

mayit

yang

harus

dibayar

dengan

harta

peninggalannya, 3) hutang kepada allah, 4) hutang kepada sesama manusia. 

Perkara hibah adalah pokok perkara tersendiri, tidak ada sangkut pautnya dengan pokok perkara kewarisan atau wasiat.

3. Perkara Wakaf dan Shadaqah Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 10 September 1987, Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987, tentang Pembakuan Pedoman Transliterasi Arab Latin, wakaf dan shadaqah, yang kedua-duanya berasal dari bahasa Arab itu, seianya dituliskan wakaf dan sadaqah. Wakaf adalah suatu ibadah dengan cara menjadikan suatu benda miliknya, yang kekal zatnya, menjadi tetap untuk selamanya, diambil manfaatnya bagi kepentingan kebaikan (kepentingan ummat manusia). Benda wakaf mendapat

15

kedudukan yang tetap tidak boleh dijual belikan atau gadaikan atau diwariskan atau dihibahkan dan lain sebagainya, untuk selama-lamanya. Benda wakaf boleh benda bergerak, boleh benda tetap, asal saja zat benda itu tahan lama, maksudnya bukan barang segera habis bila dipakai atau bila diambil manfaatnya. Jika timbul perselisihan tentang sah atau tidaknya wakaf atau sangketa karena telah dijualkan/digadaikan/dihibahkan/diwariskan dan lain sebagainya, maka yang demikian itu menjadi kekuasaan Peradilan Agama, baik menyangkut benda bergerak maupun benda tetap. Sadaqah memberikan benda atau barang, baik berupa benda bergerak atau benda tetap, yang segera habis bila dipakai ataupun tidak, kepada orang lain atau badan hukum seperti yayasan atau sejenis itru, tanpa imbalan dan tanpa syarat melainkan semata-mata karena mengharapkan pahala dari Allah Swt. di hari akhirat nanti. Karena sadaqah itu tanpa syarat, berarti bila telah diberikan kepada seseorang atau kepada badan hukum, terserah kepada orang atau badan hukum itu sendiri tentang pemanfaatan atau pemakaian atau penggunaannya, apakah mau dijual atau dihibahkan atau disadaqahkan lagi atau diwariskan dan lain sebagainya. Pada umumnya, sadaqah adalah barang yang segera habis bila dipakai/dipergunakan. Kalau benda yang tahan lama/kekal zatnya, orang lebih suka memilih menjadikannya wakaf. Sebenarnya, arti sadaqah itu sendiri banyak ikhtilaf fuqaha’, ada yang mengartikannya hibah, ada yang mengartikannya wakaf bahkan ada yang mengartikannya zakat da nada yang mengartikannya seperti yang sudah di kemukakan di atas dan lain-lain lagi. Kata sadaqah yang artinya zakat misalnya yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, Surah At-Taubah (9), ayat 60 yang terjemahannya: “Sesungguhnya sadaqah (zakat-zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-rang miskin, pengurus zakat, para mu’allaf (Muslim baru) yang dibujuk hatinya, untuk jalan Allah dan untuk orang-orang yang

16

sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” Arti zakat maupun seperti yang sudah dukemukakan tidaklah sependapat kalau diartikan dengan hibah atau wakaf, sebab hibah dan wakaf sudah disebutkan secara tersendiri dalam UU Nomor 7 tahun 1989.24 C. Sumber Hukum Acara Peradilan Agama Peradilan Agama adalah Peradilan Negara yang sah, disamping sebagai Peradilan Khusus, yakni Peradilan Islam di Indonesia, yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara, untuk mewujudkan hukum material Islam dalam batas-batas kekuasaanya. Hukum Acara Peradilan Agama sekarang bersumber (garis besarnya) kepada dua aturan, yaitu (1) yang terdapat dalam UU Nomor 1989 , dan (2) yang berlaku di lingkungan Peradilan Umum. Peraturan perundang-undangan yang menjadi inti Hukum Acara Perdata Peradilan Umum, anatara lain. 1. HIR (Het Herziene Inlandsche Reglement) untuk Jawa dan Madura atau disebut juga RIB (Rechts Indonesia yang di Baharui). 2. RBg (Rechts Reglement Buitengewesten) atau disebut juga Reglemen untuk SDaerah Seberang, maksudnya untuk luar Jawa-Madura. 3. Rsv (Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering) hukum acara perdata untuk golongan Eropa: S. 1847 No. 52, 1849 No. 63) merupakan sumber juga dari pada hukum perdata. Menurut Supomo, dengan dihapuskannya Raad Justitie dan Hooggerechtshof, maka Rv sudah tidak berlaku lagi, sehingga dengan demikian hanya HIR dan Rbg, sajalah yang berlaku. 4. BW (Burgerlijke Wetboek) atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Eropa. 5. UU Nomor 2 tahun 1986, tentang Peradilan Umum yang mengatur susunan serta kekuasaan pengadilan di lingkungan peradilan umum.25 24

Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, hal 30-39

17

Peraturan perundang-undangan tentang Acara Perdata yang sama-sama berlaku bagi lingkungan Peradilan Umum dan Peradilan Agama, adalah sebagai berikut. 1. UU Nomor 14 tahun 1970, tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. 2. UU Nomor 14 tahun 1985, tentang Mahkamah Agung yang mencabut UU No. 13 tahun 1965 tentang Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum dan Mahkamah Agung sepanjang mengenai Mahkamah Agung. 3. UU Nomor 1 tahun 1974 (LN 1) perkawinan dan PP Nomor 9 tahun 1975 (TLN 3050) tentang pelaksanaan UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur antara lain tentang acara pemberian izin perkawinan, penvegahan perkawinan, penceraian, pembatalan perkawinan dan sebagainya. “Yurisprudensi” juga merupakan sumber dari pada hukum perdata. Antara lain dapat disebutkan putusan M.A. tanggal 14 April 1971 No. 99 K/Sip/1971, yang menyeragamkan hukum acara dalam penceraian bgi mereka yang tunduk pada BW, dengan tidak membedakan antara permohonan untuk mendapatakan izin guna mengajukan gugatan perceraian dan gugatan perceraian itu sendiri, yang berarti bahwa hakim harus mengusahakan perdamaian di dalam persidangan, seperti yang diatur dalam pasal 53 HOCI.26

25

Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, hal20-21. Dr. H. Roihan A. Rasyid,. S.H., M.A. Hukum Acara Peradilan Agama, hal 21 dan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. Hukum Acara Perdata Indonesia, hal 7-8. 26

18

PENUTUP

A. Kesimpulan 

Peradilan Agama merupakan peradilan negara yang sah. Peradilan Agama adalah peradilan Islam di Indonesi yang diberi wewenang oleh peraturan perundang-undangan negara untuk mewujudkan hukum material Islam dalam

batas-batas

kekuasaannya.

Peradilan

Agama

dahulunya

menggunakan hukum acara yang terserak-serak dalam berbagai peraturan perundang-undangan, bahkan juga hukum acara dalam bentuk hukum formal Islam yang belum diwujudkan dalam bentuk peraturan perundangundangan negara Indonesia. 

Setelah terbitnya UU Nomor 7 Tahun 1989, yang mulai berlaku sejak pada tanggal 29 Desember 1989, hukum acara Peradilan Agama menjadi konkret. Berdasarkan ketentuan undang-undang tersebut, hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang sudah diatur secara khusus dalam undang-undang tersebut.

B. Saran 

Seseorang harus memahami hukum acara yang termuat di UU No. 7 Tahun 1989 secara baik dan benar karena beracara di muka Peradilan Agama tidaklah semudah seperti yang diperkirakan, bahkan mungkin lebih sulit dari beracara di muka Peradilan Umum.



Rekan-rekan pembaca yang baik, penulis menyadari dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekeliruan, untuk itu kritik dan saran sangat penulis harapkan agar dalam pembuatan makalah selanjutnya dapat tersusun menjadi lebih baik lagi.

19

More Documents from "Krsiyah Sandiah"