Penanggulangan Penyakit

  • June 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Penanggulangan Penyakit as PDF for free.

More details

  • Words: 855
  • Pages: 4
Penanggulangan Penyakit Zoonosis

Flu Burung di Indonesia. Diadakan Piagam

Kerjasama antara Dirjen P4M c/q Departemen Kesehatan dengan Dirjen Peternakan c/q Departemen Pertanian No. 226.9a/DDI/72 dan No.601/XIV, Piagam E: 9 Agustus 1972: Menanggulangi penyakit zoonosis pada manusia oleh Departemen Kesehatan Menanggulangi penyakit zoonosis pada hewan oleh Departemen Pertanian Pada tanggal 19 September 2005, Menteri kesehatan menetapkan penyakit Flu Burung berstatus KLB secara nasional di Indonesia, maka penyakit Flu Burung sudah bersifat zoonosis di Indonesia. Seharusnya Departemen Pertanian dan Departemen Kesehatan bekerjasama menanggulangi penyakit Flu Burung sesuai isi Piagam Kerjasama 1972, akan tetapi ketika kasus Flu Burung pada manusia mulai bermunculan, kewenangan

medis

pada

manusia

melalui

Departemen

Kesehatan

berusaha

menanggulangi sendiri penyakit Flu Burung dengan mengabaikan peranan kewenangan medis veteriner pada hewan melalui Departemen Pertanian. Di dalam Departemen Pertanian, kewenangan medis veteriner (Dokter Hewan) juga diganti oleh pengarah dan pelaksana di lapangan dalam Tim Tanggap Darurat Wabah Flu Burung yang terdiri dari orang-orang yang tidak memiliki kewenangan medis veteriner dan bukan seorang Dokter Hewan. Di sisi lain, Departemen Kesehatan menggunakan UU No.4 tahun 1984 tentang Wabah dan Penyakit Menular pada manusia untuk menanggulangi penyakitzoonosis Flu Burung di Indonesia. Seharusnya penanggulangan penyakitzoonosis Flu Burung di Indonesia mengacu pada Piagam Kerjasama 1972. Namun, kedudukan Piagam Kerjasama masih kurang kuat dijadikan dasar hukum jika dibandingkan dengan UU No.4/ 1984. Permasalah Antibiotika. UU No. 149 tahun 1949 tentang obat keras termasuk daftar G, untuk memperoleh dan menggunakannya harus melalui resep atau tanggung jawab mereka yang memiliki kewenangan medis. Antibiotika untuk udang harus melalui resep Dokter Hewan atau Otoritas Veteriner (Veterinary Medical Authority). Surat Keterangan Sehat (Health Certificate) udang yang

akan diekspor harus ditandatangani oleh Dokter Hewan atau Otoritas Veteriner, bukan oleh profesi lain seperti sarjana perikanan. Di Indonesia, kewenangan ini dapat dilakukan oleh sarjana perikanan maupun profesi lain. Permasalahan Surat Keterangan Kesehatan Hewan Dalam Undang Undang No. 16 Tahun 1992 tertulis sertifikasi kesehatan hewan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, khusus sertifikat kesehatan karantina hewan dikeluarkan oleh Dokter Hewan petugas karantina. Dalam UU No.16/ 92 disebutkan definisi ”hewan” adalah semua binatang yang hidup di darat, baik yang dipelihara maupun yang hidup secara liar, sedangkan ”ikan” adalah semua biota perairan yang sebagian atau seluruh daur hidupnya berada di dalam air, dalam keadaan hidup atau mati, termasuk bagian-bagiannya. Jadi, dalam peraturan ini ada pembedaan antara hewan dan ikan serta tugas wewenang Dokter Hewan hanya sebatas pada hewan saja, tidak termasuk ikan. Padahal menurut aturan OIE, kewenangan Dokter Hewan tidak hanya mencakup hewan saja tetapi juga ikan. Peraturan ini jelas bertentangan dengan OIE, dimana Indonesia sudah menjadi anggota OIE sejak 1950 dan harus mematuhi kesepakatan dari OIE. Dalam PP No.28 tahun 2004 ditetapkan kewenangan melakukan pemeriksaan dalam hal dugaan terjadinya pelanggaran hukum di bidang pangan dilakukan oleh Gubernur, Kepala Badan yang terkait, atau Bupati/ Walikota yang berwenang, tanpa disertai penjelasan harus didampingi oleh seorang Ahli. Apabila pelanggaran tersebut berasal dari pangan asal produk hewani, akan memunculkan pertanyaan tentang kompetensi petugas yang berwenang di atas dapat memeriksa tanpa didampingi oleh seorang Ahli yang memiliki kewenangan medis veteriner (Dokter Hewan) dan jaminan yang diberikan oleh petugas tersebut terhadap kelayakan mutu pangan asal produk hewani oleh petugas tersebut. Pasal lain juga menyebutkan kewenangan badan yang mengeluarkan sertifikat kesehatan. Sertifikat kesehatan dalam peraturan ini dikeluarkan oleh instansi yang berwenang, tapi tidak dijelaskan pembagian tugas spesifik menurut bidang kesehatan, tidak diatur secara jelas dalam instansi yang berwenang, orang/ profesi yang melakukan tugas tersebut.

Apabila yang dibahas adalah masalah kesehatan hewan, instansi yang berwenang adalah Departemen Pertanian, akan tetapi tidak dijelaskan Ahli yang harus menangani masalah kehewanan. Pengaturan dalam Undang-Undang No.7 tahun 1996, sertifikasi adalah syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam proses pengawasan mutu pangan, yang penyelenggaraannya dapat dilakukan secara laboratoris atau cara lain sesuai dengan perkembangan teknologi. Sertifikasi mutu diberlakukan untuk lebih memberikan jaminan kepada masyarakat bahwa pangan yang dibeli telah memenuhi standar mutu tertentu, tanpa mengurangi tanggung jawab pihak yang memproduksi pangan untuk memenuhi ketentuan Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya. Namun, dalam Undang-Undang ini juga tidak disebutkan spesifikasi Ahli yang melakukan proses pengawasan mutu pangan, terutama bahan pangan asal hewani yang kandungan asam amino di dalamnya tidak dapat tergantikan sehingga benar-benar dibutuhkan pengawasan yang ketat oleh orang yang berkompeten (Dokter Hewan). Undang-Undang No.43 tahun 1999 tentang Kepegawaian Nasional tertulis bahwa yang dimaksud dengan Pangkat adalah kedudukan yang menunjukkan tingkat seseorang Pegawai Negeri Sipil berdasarkan jabatannya dalam rangkaian susunan kepegawaian. Akan tetapi, pengaturan penempatan posisi jabatan hanya didasarkan pada kenaikan pangkat saja, tidak memperhatikan latar belakang pendidikan seseorang yang menempati jabatan tersebut, sehingga posisi jabatan yang menjadi cakupan seorang Dokter Hewan bisa saja diisi oleh sarjana agama, sarjana ekonomi dan dari disiplin ilmu yang lain. disamping itu, satu-satunya payung hukum kesehatan hewan di Indonesia adalah Undang-Undang No.6 tahun 1967 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, yang masih memberlakukan Staatsblad 1912 no.432 tentang: Tjampur tangan pemerintah dalam bidang Kehewanan. Permasalahan yang ada sekarang adalah Undang-Undang no.6 tahun 1967 tidak lagi memberikan daya saing yang tangguh bagi peran seorang Dokter Hewan berkaitan dengan perubahan paradigma kesehatan hewan yang pada awal pembentukan Undang-Undang tersebut

dititikberatkan pada pembangunan di sektor produksi peternakan, kesehatan hewan hanya menunjang kesehatan hewan produksi atau peternakan dan ruang lingkupnya hanya sebatas pada kesehatan hewan saja tanpa memperhatikan keterkaitannya dengan kesejahteraan manusia

Related Documents