Modul 7
MAU MENANG SENDIRI Kegiatan belajar 1 A. PENGERTIAN MAU MENANG SENDIRI. Mau menang sendiri adalah perilaku anak yang tidak mau dan tidak bsia menerima “kekalahan”. Maksud dengan kekalahan disini adalah keadaan yang menyebabkan iamerasa tidak berhasil mencapai apa yang diinginkan meliputi hal-hal yang bersifat materi maupun non-materi. Pada anak prasekolah yang menjadi sebab munculnya perilaku mau menang sendiri adalah pada saat bermain, bila ia ingin bermain suatu permainan yang kebetulan sedang dimainkan oleh temannya ia akan merebutnya. Perilaku mau menang sendiri ini erat sekali dengan sifat iri hati/ cemburu pada teman/ orang lain dan belum atau tidak berkembangnya control diri pada anak. Isitlah bossy / bossiness sering digunakan pada anak yang mau menang sendiri. Terhadap orang dewasa (orang tua/ orang dewasa lain disekitarnya) anak yang mau menang sendiri juga cenderung memaksakan kehendaknya, minta sesuatu harus di dapat dengan segera. Bila tidak ia akan marah, menangis atau perilaku agresif bahkan destruktif ( merusak) Sikap dan perilaku mau menang sendiri pada anak usia prasekolah masih dikatakan wajar, bila terjadi sekali –sekali. Anak usia ini sudah mulai dikenalkan dengan norma dan aturan yang berlaku disekitarnya sehingga secara kognitif ia sudah tahu perilaku yang dikatakan baik dan buruk, mana yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh dilakukan, namun penerapan nya belum seseuai karena control dirinya masih dalam penguatan. Bila perilaku mau menang sendiri muncuk dengan frekuensi dan intensitas yang tinggi hampir tiap hari atau sering dan dengan cara yang agresid ssehingga dirasakan menggangu sekitarnya maha hal tersebut sudah menjadi masalah dan tidak wajar. B. CIRI-CIRI ANAK YANG MAU MENANG SENDIRI. Baik anak laki-laki maupun perenpuan umumnya menunjukkan : 1. Kurang mampu mengontrol diri/ emosi. 2. Memiliki kecenderungan agresif. 3. Self esteem (harga diri) seolah olah yang sangat tinggi. 4. Empati kurang berkembang. 5. Tidak mengikuti aturan dan bertindak semaunya.
6. Perilaku memancing kemarahan orang sekitarnya. 7. Kualitas hubungan sosialnya buruk. 8. Memiliki sikap penuntut ( demanding) C. HAMBATAN ANAK YANG MAU MENANG SENDIRI. Hambatan dalamperkembangan social emosional yang akan tampil dalam bentuk sikap, perilaku, dan ciri-ciri tersebut di atas disebabkan oleh beberapa hal berikut: 1. Temperamen anak yang tergolong sulit. Temperamen merupakan factor bawaan yang diturunkan oleh orang tua (genetic) yang menyebabkan adanya perbedaan individual dalam merespons lingkungan. Perbedaan tersebut menyangkut delapan hal, yaitu tingkat aktivitas, irama bilogis, kecenderungan untuk mendekat atau menghindar, kemampuan beradaptasi, ambang sensori, intensintas atau tingkat energy reaksi, suasana hati, rentang perhatian dan ketekunan. (lihat buku psikologi perkembangan anak, modul 6) 2. Perlakuan dan pola asuh orang tua yang kurang tepat . Perlakuan dalam pila asuh orang tua yang tepat sejak awal kehidupan anak diperlukan untuk memenuhi kebutuhan psikologis yang sangat mendasar. Melalui ikatan emosional dan kasih sayang dengan kadar secukupnya anak akan memiliki rasa amana, kehangatan dan penerimaan yang membuat dirinya berharga. Beberapa perlakuan orang tua yang kurang tepat karena terlalu sedikit atau terlalu banyak memenuhi kebutuhan dasar psikologis anak dapat menjadi penyebab berkembangnya perilaku mau menang sendiri pada anak , perlakuan tersebut misalnya sebabai berikut: a. Pemanjaan yang berlebihan dapat mejadi penyebab anak sulit menerima kekalahan. Orang tua cenderung selalu mengikuti / memenuhi keinginannya dengan segera, menyebabkan anak tidak pernah belajar menunda keinginannya , atau menerima kekecewaan, biasanya anak menjadi penuntutu ( demanding), ambang toleransi terhadap kekecewaan menjadi rendah (mudah kecewa) dan sulit mengendalikan keinginan/ diri ( control diri tidak berkembang). Anak juga tudak belajar mengembangkan daya juangnya, terlalu mudah mendapatkan apa yang diinginkannya. b. Kurang perhatian, kasih saying dan kehangatan dari orang tua. Kebutuhan dasar psikologis tidak terpenuhi dengan cukup, membuat anak merasa tidak aman, tidak dicintai, tidak diterima, dan tidak berharga bagi orang tuanya. Rasa percaya ( basic trust) tidak
diperolehnya , yang berkembang justru sikap bermusuhan (hostile) , anak tidak tahu bagaimana caranya berempati. Membuat anak protes dan melakukan kompensasi yang berlebihan. Anak cenderung menuntut berlebihan dengan cara mau menang sendiri, secara agresif anak akan mengupayakan agar apa yang diinginkannya dapat tercapai.
c. Orang tua yang cenderung permisif, Membiarkan anak berperilaku sesesuai keinginannya tanpa ada upaya yntyk membatasi perilakunya sehingga pada anak tidak di tanamkan moral, disiplin dan rasa tanggung jawab. Akibatnya anak hanya berpikir untuk dirinya, tidak mampu menaati aturan yang berlaku dalam masyarakat karena memang tidak di perkenalkan orang tua. Sikap permisif ini biasanya di dasari oleh rasa saying yang juga berlebihan pada anak, akibatnya anak tidak mampu menampilkan perilaku yang tepat. Anak yang mau menang sendiri pada akhirnya selalu mengalami kesulitan dalam bersosialisasi, baik dengan teman sebaya maupun dengan yang lebih kecil dan tua. D. PENANGANAN ANAK YANG MAU MENANG SENDIRI. Dapat dilakukan oleh guru maupun orantua/pengasuh dengan memahami terlebih dahulu penyebabnya. 1. Bila sebabnya karena kasih saying yang berlebih atau justru kurang sehingga orang tua cenderung permisif maka diperlukan adanya perubahan perlakuan orang tau . Kerja sam antara orang tua dan guru dalam hal ini amat perlu dan disekolah anak perlu mendapat perhatian dan kasih sayang yang cukup. Penanaman disiplin dan moral juga perlu di terapkan secara konsisten. 2. Cegah perilaku anak yang mau menang sendiri dengan memberitahu alasan yang logis dan dipahami oleh anak agar ia mampu menumbuhkan emapati dan control diri tanpa kehilangan perhatian dan kasih saying yang juga menjadi kebutuhannya. Pujian perlu segera diberikan bila anak berhasil mencegah perilaku yang mau menang sendiri/ Latiha anak untuk menunda atau menerima kekecewaan. Secara konsisten perlakuan semacam ini terus dilakukan sampai anak berhasil mengurangi atau menghilangkan perilaku mau menang sendiri.
3. Temperamen anak yang sulit juga tidak menjadi kendala lagi dengan latihan disiplin dan penanaman moral, yang disertai dengan perhatian pujian, dan kasih sayang yang proposional dari orang tua/ guru . sekalipuntemperamen bersifat bawaan : dengan pola asuh dan perlakuan yang tepat, yang mengajarkan anak untuk menumbuhkan harga diri , control diri, disiplin, empati dan kata hati serta rasa tanggung jawab, temperamen yang sulit bisa berubah kea rah yang lebih positif.
kegiatan belajar 2
DEPENDEN ( ketergantungan / tidak mandiri ) A. PENGERTIAN DEPENDEN / KETERGANTUNGAN Dependen / tergantung adalah sikap dan perilaku anak yang selalu ingin di bantu dalam melakukan berbagai hal yang sebenarnya sudah dapat dilakukan sendiri. B. CICI-CIRI ANAK YANG DEPENDEN. Anak yang tergolong deoenden umumnya menujukkan ciri-ciri berikut ini: • Sering mengatakan tidak bisa, tidak mampu, sulit menghadapi sesuatu tugas . • Tampat tidak bersemangat, malas, ragu-ragu dan cemas. Bila diminta melakukan tugas sering minta bantuan atau tidak segera melakukatugas supaya di bantu. • Reaksi dan perilakunya dalam banyak situasi seperti anak dibawah usianya. Lebih kekanak kakankan, seperti mudah menangis dan menghindar bila merasa tugasnya sulit. • Cenderung pendiam, pasif , tidak lincah terutama dalam situasi yang dipersepsikannya penuntut prestasi. • Dalam pergaulan cenderung menjadi pengikut daripada menjadi pemimpin. • Bila melakukan tugas perlu petunjuk yang jelas dan dukungan orang lain. • Bila bekerja butuh waktu yang lama, banyak menghapus, lebih banyak diam.
C. PENYEBAB ANAK MENJADI DEPENDEN. Sikap dependen / tergantung bukan merupakan sifat bawaan yang sudah ada sejak lahir, walaupun kencenderungan untuk menjadi dependen bisa jadi di perbesar peluangnya karena factor yang diturunkan secara genetic, yaitu melalui temperamen. Difficult child atau slow to warm up child ( lihatbuku psikologi perkembangan anak modul 6 tentang temperamen) lebih rentan untuk menjadi anak dependen/ ketergantungan bila perlakuan lingkungan tidak tepat. Factor paling banyak menentukan perkembangan anak menjadi dependen / kertergantungan adalah sikap dan perlakuan orang tua asuh/ pengasuh yang kugrang memberikesempatan dan latihan pada anak untuk mengerjakan sesuatu sendiri. Antara lain: 1. Menganggap anak tidak mampu (under estimate) sehingga cenderung selalu membantu anak, melakukan apa pun yang sebenarnya mampu dilakukan anak sendiri. 2. Menuntut anak terlalu tinggi sehingga tidak sabar bila anak bekerja lambat dan tidak rapi, seirng marah, dan mengkritik hasil kerja anak, dan, 3. Kasihan melihat anak sulit melakukannya sendiri dengan susah payah, selalu melindungi anak dari kesulitan ( over protective) Akibat perlakuan ini perkembangan keterampilan motorik anak terhambat, juga berakibat pada tidak tumbuh/ berkembangnya rasa percaya diri, dan harga diri yang merupakan factor pendukung yang amat besar dalam keberhasilan seseorang. D. PENANGANGAN ANAK YANG DEPENDEN Inti masalah anak yang dependen adalah tidak berkembangnya keterampilan untuk melakukan berbagai kegiatan (life skills) dan perasaan bahwa ia mampu . konsep diri ( selfsteem) tidak berkembang baik. Penanganan diarahkan untuk meningkatkan keterampilan dan harga dirinya dengan beberapa cara berikut ini: 1. Berikan kesempatan dan latihan pada anak untuk melakukan hal hal yang sebenarnya dapat dilakukan, dengan selalu disertai dukungan dan penghargaan sekecil apapun prestasi / hasil kerjanya. Dukungan penghargaan akan menumbuhkan perasaan bahwa ia mampu melakikannnya dengan demikian harga dirinya meningkat. 2. Tanamkan disiplin, rutinitas, dan batasan- batasan yang realistis . hal ini akan membantu anak untuk meramalkan apa yang dihadapi. orang tua perlu mengatur jadwal kegiatan anak mulai dari bangun pagi hingga tidur
malam. Penerapan disiplin dan penentuan batasan- batasan tersebut perlu disesuaikan dengan usia dan kesiapan anak. Hal ini harus diterapkan secara bertahap dan konsisten, walaupun tidak perlu amat kaku . Hal iyang juga penting adalah ciptakan suasana/ situasi yang menyenangkan ketika ia melakukan hal itu. Pola pengasuhan seperti itu dapat membuat anak tahu apa yang akan dihadapi , dan dapat mengembangkan control diri, dan harga dirinya. 3. Hindari . minimalkan situasi yang dapat menyebabkan anak merasa tertekan, terancam, sehingga timbuk kecemasan dan rasa takut, yang akan menghambat gerak dan langkahnya. 4. Berikan kesempatan anak untuk mengambil keputusan dan menentukan apa yang akan dilakukan atau dipilihanya, beri penghargaan bila ia mau dan dapat melakukan. inipenting untuk mengembangkan inisiatif dan kesadaran bahwa ia dapat dan memiliki hak untuk menentukan apa yang diinginkannya.
MODUL 8
ANAK DENGAN GANGGUAN PENGLIHATAN Kegaiatan belajar 1. A. PENGERTIAN Menurut Hallahan dan Kauffman (1988) terdapat dua cara yang sangat umum untuk mendefinisikan gagguan penglihatan ( kebutaan ) yaitu: •
Menurut hukum. Definisi menrut hukum merupakan definisi yang sering digunakan oleh orang awam maupun orang orang yang berkecimpung dalam profesi medis. Definisi menurut hukum yang meliputi penilaian terhadap ketajaman visual dan bidang pandang (field ) digunakan untuk memenuhi apakah
seseorang memenuhi syarat atau tidak untuk mendapatkan manfaat hukum yang tersedia. Menurut definisi tersebut: Orang yang buta adalah orang yang memiliki ketajaman penglihatan 20/200 atau kurang, baik dengan koreksi ( misalnya menggunakan kacamata ) maupun tidak, atau orang yang memiliki keluasan bidang pandang yang sempit, dengan besar sudut pandang tidak lebih jauh dari 200. Pecahan 20/200 bermakna bahwa orang ( denganganguan penglihatan ) melihat pada jarak 20 kaki ( feet ) apa yang orang normal lihat pada jarak 200 kaki ( ketajaman visual normal adalah 20/20 ) Pada klasifikasi medis tentang kebutaan terdapat kategori yang diartikan sebagai buta sebagian ( partially blind ) atau melihat sebagian ( partially sighted ) adalah yang orang yang memiliki ketajaman visual antara 20/70 hingga 20/200 dengan koreksi. individu yang memiliki ketajaman visual antara 20/70 dapat membaca huruf yang tingginya 11/4 inchi sedangkan individu dengan ketajaman visual 20/200 dapat membaca huruf yang tingginya 21/2 inchi. •
Secara edukasional. Orang yang buta adalah orang yang tidak dapat menggunakan penglihatannya untuk tujuan belajar ( Suran & Rizzo 1979) sehingga penddikan mereka secara utama diberikan melalui indera pendengaran, peraba, dan kinestetik ( Teldord & Sawrey,1981).
Untuk tujuan pendidikan, individu yang mengalami kebutaan adalah individu yang sangat terganggu, yang harus diajarkan membaca dengan hurf Braille atay dengan menggunakan metode aural ( audiotape). Adapun individu yang melihat sebagian ( partially sighted ) dapat membaca buku walaupun mereka membutuhkan peralatan yang dapat memperbesar bacaan atau membaca buku dengan huruf yang besar-besar ( Teldord & Sawrey,1981). B. GEJALA GANGUAN PENGLIHATAN. Umumnya di dasarkan pada gejala-gejala perilaku atau tes screening yang sifatnya masih kasar . adapun gejala utama dari gangguan penglihatan yang meliputi ( Teldord & Sawrey,1981). 1. Mengalami iritasi mata kronis, seperti mata berair, lingkaran mata merah, kelopak mata bengkak. 2. Mual, penglihatan ganda , kabur selama membaca. 3. Mengosok gosok mata, mengerutkan dahi, atau mengubah raut muka ketika melihat objek berjarak. 4. Memiliki sikap hati hati yang berlebihan dalam berjalan., jarang berlari, dan terhuyung huyung untuk alasan yang tidak nyata .
5. Secara abnormal tidak memperhatikan papan tulis, grafik dinding atau peta. 6. Mengeluh bahwa penglihatannya kabur dan berusaha menghilangkan halangan visual. 7. Gelisah berlebihan, lekas marah dan gugup ketika mengikuti tugas visual yang berlangsung lama. 8. Mengedipkan mata secara berlebihan, terutama dalam membaca. 9. Kebiasaan memegang buku dengan jarak yang sangat dekat, sangat jauh, atau dalam psisi yang tidak biasa ketika membaca. 10.Memiringkan kepala ke satu sisi ketika membaca. C. KARAKTERISTIK Karakteristik dari segi anak yang mengalami gangguan penglihatan akan dilihat dalam beberapa segi ( Suran &Rizzo, 1979, Johnson, Christie & Yawkey, 1999) yaitu: 1. Perkembangan motorik Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa anak buta yang normal, baik secara neurologis maupun fisiologis, memperlihatkan keterlambatan awa, dalam perkembangan motorik dibandingkan dengan anak yang dapat melihat. Pada bayi- bayi yang buta mengalami keterlambatan dalam gerakan yang melibatkan inisiatif firi sendiri, seperti mengangkat diri sendiri dengan lengan ( posisi tiarap), mengangkat diri sendiri ke posisi duduk, berdiri dengan bantuan furniture serta berjalan sendiri. Meskipun keterlambatan tersebut tidak memberikan dampak jangka panjang dalam keseluruhan perkembangan motorik, keterlambatan yang ada diperkirakan akan mempengaruhi factor kepribadian yang lain, dapat juga menganggu mobilitas , dan kurangnya mobilitas akan mengganggu kapasitas seorang anak untuk mengeksplorasi lingkungannya. Periode yang lama dai immobility pada anak yang buta akan menghasilkan kecenderungan abnormal pada anak tersebut untuk hidup sendiri, self centered ( berpusat pada diri sendiri) pasif, kurang usaha untuk menguasai sesuatu pada masa yang akan dating ( menurut Hallahan & Kauffman, 1988). Pada anak anak yang lebih besar, gerakan-gerakan yang mestimulasi diri sendiri, seperti gerakkan melambai lambaikan tangan, menggoyangkan kaki secara bergantian, atau meutar mutar tubuh, sering terjadi. Gerakan ritmik yang tidak terarah tersebut di kenal dengan istilah blindism.
2. Factor bahasa. Karena anak buta kurang memiliki pengalaman asosiasi visual, pengolahan kosa kata berlangsung secara lambat. Menurut Burlingham ( Suran & Rizzo 1979 ) Perkembangan bicara pada anak buta pada awalnya sedikit terlambat tetapi sekali mereka mampu berbicara, mereka akan berbicara dengan lancer dan mempunyai kosa kata yang banyak. Kecenderungan pada anak buta untuk berbicara secara berlebihan atau berbicara dengan yakin tentang objek yang sebenarnya tidak mereka alami secara nyata atau pahami dengan jelas disebut verbalism (Suran &Rizzo 1979 Hallahan& Kauffman 1988) Anak yang buta juga mengalami kesulitan untuk membahami komunikasi nonverbal, karena komunikasi nonverbal umumnya bersifat visual ( mis: menaikkan alis, mengangkat bahu ), mereka kudang efektif untuk berespons terhadap tanda-tanda nonverbal tersebut. 3. Masih terdapat pertentangan diantara para ahli mengenai kemampuan kognitif pada anak buta. Menurut para ahli: •
Tisdall, Blackhurst, dan Marks (Suran & Rizzo 1979) Bahwa kemampuan kognitif anak yang buta dan anak yang dapat melihat tidaklah berbeda.
•
Gottesman; Setephens & Grube dalam Hallahan & Kauffman, 1988. Hasil sejumlah hasil penelitian yang menunjukkan bahwa perkembangan kemapuan kognitif atau konseptual anak buta berada di belakang anak yang dapat melihat.
•
Nolan dan Ashcroft (Hallahan & Kauffman, 1988 ). Menemukan bahwa anak dengan kerusakan visual menunjukkan performa yang lebih buruk pada tugas yang membutuh pemikiran abstrak, mereka lebih mungkin berhadapan dengan lingkungan dalam cara yang konkret.
•
Friedman dan Pasnak (Hallahan & Kauffman, 1988). Kekurangan yang terjadi pada anak buta lebih disebabkan oleh kurangnya pengalaman belajar yang tepat dari pada disebabkan oleh kelemahan yang bersifat bawaan.
Salah satu konsep yang cukkup sulit dipahami oleh anak buta adalah konsep tentang ruang. •
Birn (Hallahan & Kauffman, 1988) Konsep ruang dapat diajarkan kepada orang yang buta dengan menggunakan indra lain selain penglihatan.
•
Hartley (dalam Hallahan & Kauffman, 1988) Bahwa orang yanb butak terkadang mengembangkan pemahaman tentang ruang dengan mencatat waktu yang mereka butuhkan untuk berjalan dalam jarak tertentu.
•
Telford & Sawrey, 1981. Indera peraba juga sering dilakukan untuk memperoleh konsep pengetahuan tentang kualitas ruang dari objek. Suara dapat menyediakan tanda (clue ) untuk arah dan suatu objek, tetapi tidak data memberikan ide tentang objek tersebut. Objek dengan jarak yang sangat jauh (seperti awan ), objek yang sangat besar (seperti gunung ), atau objek yang sangat kecil (seperti bakteri ), tidak dapat di persepsi atau dirasakan, hanya dapat dijelaskan dengan analogi.
4. Kegiatan bermain. Anak dengang gangguan penglihatan umumnya lebih sering melakukan permainan yang tidak membutuhkan interaksi dengan orang lain ( solitary play ). Mereka dapat bermain pura-pura (sociodramatic play) meskipun temanya kurang imajimatif. Kegiatan bermain yang melibatkan motorik halus dan kasar juga tergolong sering dilakukan. Mereka juga kurang memahami kegunaan sebua mainan ( Johnson, Christie, & Yawkey,1999). 5. Factor personal dan social. Menurut para ahli: •
Dalam Hallahan & Kauffman, 1988 Bahwa masalah pribadi bukanlah dari kondisi bawaan dari orang buta. Masalah-masalah yang muncul lebih karena cara masyarakat memperlakukan mereka. Reaksi masyarakat memperlakukan mereka . reasksimasyarakat terhadap orang butalah yang menentukan apakah penyesuaian diri mereka kurang baik atau tidak.
•
Bauman (Telford & Sawrey, 1981)
Tidak ada dampatj personal dan social yang bersifat spesifik dari kehilangan penglihatan. Ia mengemukakan bahwa kebanyakan dari dampak tersebut berbentuk ketidakmatangan dan perasaan tidak nyaman. Hasil penelitian para ahli: •
Penelitian dari Klein (Suran&Rizzo 1979) Yang menemukan bahwa kebutaan cenderung mengisolasi anak dari lingkungan dan secara dratis mengurangi anak kesempatan anak untuk stimulasi , manipulasi objek dan interaksi.
•
Penelitian dari Sandler (Suran&Rizzo 1979) Menyatakan bahwa tidak adanya penglihatan cenderung membuat anak yang buta menjadi self-centered pasif, dan kurangnya usaha unutk menguasai sesuatu ( mastery).
•
Penelitian dari Fraiberg (Suran&Rizzo 1979) Menunjukkan bahwa ketidak mampuan untuk mengetahui ada-tidaknya ibu menghasilkan khusus untuk anak buta karena kehadiran teman sering kali tidak terduga-duga dan tidak dapat diramalkan. Perlu sikap bijak dari anda sebagai guru untuk menanggapi seluruh hasil penelitian tersebut. Telah dijelaskan bagian awal subban ini, reaksi mayarakat merupakan factor yang sangat penting untuk membentuk kepribadian anak. Anda tidak diharapkan tidak terjebak oleh pemikiran bahwa hasil penelitian yang dipaparkan diatas merupakan sesuatu yang berlaku umum untuk semua anak yang buta.
D. PENANGANAN Anak –anak yang mengalami gangguan penglihatan memiliki kebutuhan untuk mengalami sesuatu secara konkret dan mempraktikan secara langsung apa yang di pelajari ( learning by doing.) Dengan mengorientasikan pengalaman belajar melalui kejadian nyata dan dengan menggunakan objek serta martial khusu. Melukis dan seni yang lain ( mis: membuat bentuk dari plastisin ), yang melibatkan penggunaan tangan secara langsung, dapat menjadi pendekatan yang bermanfaat untuk membawa anak yang buta ke dalam kedekatan dengan pengalaman sensori. Secara umum, anak yang mengalami gangguan penglihatan memang harus diperkaya dengan stimulasi melalui sensori nonvisual (Suran& Rizzo 1979). Untuk anak prasekolah ,kegiatan bermain dan perkembangan motorik mreupakan dua area yang penting untuk diperhatikan. Hal hal yang perlu dilakukan agar manfaat kegiatan bermain menjadi maksimal untuk anak, yaitu:Membantu anak mengulang-lang cara bermain dengan mainan baru, menyediakan alat bermain yang menyerupai dunia nyata ( khususnya material unutk bermain peran ), memilih materi yang memiliki elemen auditori dan taktil, jika memungkinkan, ruang bermain (playground) menggunakakn tekstur yang berbeda untuk berpijak ( misl; ruang dengan alas karpet untuk area membaca, ruang dengan ubin bertekstur untuk area mewarnai , dan lain –lain ) serta menyediakan bermacam macam pengalaman seperti bentuk, ukuran, dan tesktur ( Johnson , Christie, & Yawkey, 1999). Untuk perkembangan motoriknya , latih anak didik anda untuk melakukan gerakan secara terstruktur, seperti melatih gerakan membungkuk, berjalan sepanjang jarak tertentu, daln lain-lain . Penting pula bagi anda untuk mempertimbangkan kebutuhan rasa aman pada anak khususnya di bidang motorik. Karena itu dukungan dan sentuhan perlu di berikan sebagai sumber utama untuk rasa aman dan pengalaman sensori anak.
Pentunjuk praktis dari Hallahan & Kauffman, 1988, yang dapat dilakukan. 1. Memberdayakan anak yang dapat melihat untuk bertindak sebagai pembimbing tetapi jangan sampai membuat anak yang mengalami gangguan penglihatan mendai tergantung kepada mereka. 2. Memperlakukan anak yang mengalami gangguan penglihatan secara sama dengan teman mereka yang dapat melihat. 3. Mendukung interaksi interpersonal. Agar dapat diterima oleh temantemannya, anak perlu diajari semjumlah keterampilan social. 4. Mendukung anak yang mengalami gangguan penlihatan untuk berpartisipasi dalam sejumlah kegiatan. Kegiatan alternative harus dibuat jika tidak memungkinkan bagi mereka untuk bergabung dengan teman sekelasnya. 5. Sedapat mungkin memberikan jenis tugas yang sama kepada mereka. Seperti tugas yang diberikan kepada teman-teman yand dapat melihat, misalnya tugas menyiram tanaman. 6. Khusus untuk anak dengan kebutaan parsial, penting bagi anda untuk mengatur letak tempat duduk mereka sehingga mereka dapat melihat papan tulis dan materi lain dengan baik. Gambar yang mengkilap sebaiknya dihindari. Maeri visual yang diberikan hendaknya bebas dari latarbelakang ( background ) yang dapat mengganggu. Tulisan dipapan tulis hendaknya ditulis dengan ukuran besar dan jelas. Pada saat istirahat, dengan frekuensi yang sering penting bagi mereka mengingat sejumlah perhatian visual yang harus dipertahankan oleh anak. 7. Berbicara dengan suara yang keras mengenai apa yang sendang anda buat di papan tulis. 8. Mengizinkan anak untuk memperoleh watku tambahan dalam melengkapi tugas. 9. Memilih tempat duduk untuk anak yang memudahkan anak untuk melakukan observasi. Adari observasi yang dilakukan diharapkan anda dapat mengetahui bagaimana anak berhadapan dengan tugas yang diberikan. 10.Menyediakan meja kecil dan rak- rak yang mudah dijangkau, yang berisi alat bantu belajar mereka. 11.Memberikan penghargaan bagi pemecah masalah dan perilaku mandiri lainnya yang dapat mereka lakukan. 12.Memudahkan interaksi social anak dengan cara menyebutkan nama-nama teman yang duduk di dekat mereka ( mis: “ disebelah kiri tasya ada hendar, disebelah kanan ada bintang”) sekali waktu, pilihlah anak untuk mengambil peran sebagai pemimpin dalam sebuh permainan atau kegiatan.
13.Yakinkan anak bahwa anda dan teman temannya yang lain memahami komunikasi dan infomasi yang ia berikan, serta dorong anak untuk bertanya mengenai hal- hal yang belum mengerti. 14.Menekankan kepada anak untuk mendengarkan percakapan orang lain dengan penuh perhatian. 15.Meyakinkan anak bahwa mereka tidak asing dengan lingkungan fisik sekolahnya.
MODUL 8
ANAK DENGAN GANGGUAN PENDENGARAN. KEGIATAN BELAJAR 2. A. PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI. Banyak sekali definisi dan klasifikasi yang ada mengenai gangguan pendengaran. Dua yang umum adalah tuli dan kesulitan mendengar ( hard of hearing). Pengertian mengenai gangguan pendengaran juga sering dilihat dari dua sudut pandang ( Hallahan & Kauffman, 1988 ) yaitu: •
Sudut pandang berorientasi fisiologis Menyebutkan bahwa anak yang tidak dapat mendengar bunyi pada tingkat intensitas ( kenyaringan ) tertentu di klasifikasikan sebagai tuli. Selain daripada itu dipandang sebagai hard of hearing. Sensitivitas pendengaran dapat diukur dengan decibel (db) dan orang yang tuli adalah orang yang kehilangan pendengaran sekitar 90 db atau lebih.
•
Sudut pandang berorientasi edukasional. Memiliki perhatian yang besar terhadap berapa banyaknya pendengaran yang hilang, yang akan mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan mengembangkan bahasa.
Para professional membuat kategori mengenai gangguan pendengaran berdasarkan kemampuan berbicara seseorang. Tiga bagian yang merupakan definisi yang menggambarkan orientasi edukasional ( Brill, Macneil, & Newman, dalam Hallahan dan Kauffman, 1988) yaitu:
1. Kerusakkan pendengaran ( hearing impairment) merupakan istilah umum yang menunjukkan gangguan pendengaran dengan rentang keparahan dari ringan sampai parah, meliputi ketulian dan kesulitan mendengar. 2. Orang yang tuli (deaf person ) adalah orang yang memiliki gangguan pendengaran sehingga menghalangi keberhasilannya untuk memproses informasi melalui indra pendengaran atau tanpa alat bantu pendengaran. 3. Kesulitan mendengar ( hard of hearing ) adalah orang yang secara umum mempunyai sisa pendengaran yang cukup untuk dapat memproses informasi bahasa melalui indera pendengaran dengan menggunakan alat bantu pendengaran.
Bagi sudut pandang yang berorientasi edukasional, usia ketika terjadinya gangguan pendengaran merupakan hal yang penting untuk di perhatikan ( dalam Hallahan dan Kauffman, 1988, Telford & Sawrey, 1981). Menurut orientasi ini, ada hubungan erat antara kehilangan pendengaran dan keterlambatan bahasa. Oleh karena itu ada istilah yang digunakan oleh para professional dalam hal ini yaitu; orang yang terlahir tuli dan orang yang tuli beberapa saat setelah lahir. Dan lebih khususnya (Brill, Macneil, & Newman, dalam Hallahan dan Kauffman, 1981) adalah: •
Prelingual deafnes Merupakan ketulian yang terjadi pada saat lahir atau terjadi di awal kehidupan, pada usia ketika belum terjadi perkembangan bicara dan bahasa.
•
Postlingual deafnes Merupakan ketulian yang terjadi pada usia ketika anak sudah mengalami perkembangan bahasa dan bicara.
Telford dan Sawrey (1981) membuat definisi dan kategori yang sedikit bebeda mengenai gangguan pendengaran, berkaitan dengan batas intensitas suara yang dapat di dengar: 1. Milld losses (20-30db) Orang yang mengalami gangguan pendengarang dalam rentan ini dapat belajar melalui telinga dengan cara biasa dan berada pada batas antara perkembangan normal dan kesulitan mendengar ( hard of hearing). 2. Marginal losses ( 30-40db )
Orang yang mengalami gangguan pendengaran dalam rentang ini biasanya mempunyai beberapa kesulitan untuk mendengar pembicaraan dan mengikuti percakapan pada jarak lebih dari beberapa kalo ( feet). Namun demikian, mereka masih dapat belajar melalui telinganya. 3. Moderate losses (40-60 db) Orang yang mengalami gangguan pendengaran dalam rentang ini dapat belajar bicara secara oral dengan menggunakan pengeras suara dan bantuan visual ( mis: dengan melihat objek yang sedang dibicarakan) 4. Severe losses (60-75 db ) Orang yang mengalami gangguan pendengaran dalam rentang ini tidak memperoleh kemampuan bicara tanpa menggunakn teknik khusus . mereka berada di perbatasan antara kesulitan mendengar dan tuli.
5. Profound losses ( lebih dari 75 db ) Orang yang mengalami gangguan pendengaran dalam rentang ini jarang mampu dengan mengandalkan telinga saja, bahkan mereka pun sulit untuk belajar bahasa dengan pengeras suara sekalipun dengan volume yang maksimum. Dari kelima kategoru diatas dapat disimpulkan bhawa kategori 1-3 dapat dimasukkan ke dalam kesulitan mendengar ( hard of hearing). Adapun 4 dan 4 termasuk dalam tuli ( deaft) ( Telford & Sawrey, 1981) Berdasarkan dengan tingkat kerusakkan danusia ketika terjadinya gangguan pendengaran, kategori mengenai gangguan pendengaran juga dapat dibuat berdasarkan fisiologis dimana kerusakkan terjadi. Terdapat empat kategori berdasarkan area anatomis yang berperan dalam terjadinya gangguan fungsi normal, yaitu sebagai berikut ( Suran & Rizzo, 1990): 1. Conductive hearing loss merupakan kehilangan pendengaran yang disebabkan terjadinya gangguan dalam transmisi suara dari kanal auditori ke telinga bagian dalam. Gangguan pendengaran konduktif murni disebabkan oleh tidak berfungsinya tulang tulang kecil dari telinga bagian tengah tetapi tidak meliputi kerusakkan pada telinga bagian dalam cerebral cortex. Gangguan jenis ini dapat diobati secara medis dan diatasi melalui operasi. 2. Sensorineural hearing loss. Meliputi kerusakan fisik dalam beberapa tingkatan ke saraf auditoria tau ujung saraf telinga dalam. Gangguan pendengaran jenis ini biasanya tidak dapat diatasi secara medis.
3. Mixed hearing loss. merupakan gabungan dari kerusakan dalam konduksi ( penghantaran ) suara dan gangguan sensorineural. Dalam hal ini hanya kerusakan konduktif saja yang dapat diatasi secara medis. 4.
Central auditory hearing loss Gangguan ini lebih tepat dikatakan sebagai disfungsi karena meliputi kerusakkan neurologis yang tidak kentara dalam cerebal cortex yang berakibat terganggunya fungsi persepsi, organisasi dan pemahaman terhadap bunyi. Jadi, dalam gangguan pendengaran ini, kerusakkan yang terjadi kurang berkaitan dengan hilangnya kemampuan untuk mendengarkan bunyi tetapi berkaitan dengan kurangnya kemampuan untuk mempersepsi, mengorganisasikan dan memahami bunyi.
B. GEJALA GANGGUAN PENDENGARAN. Beberapa gejala gangguan pendengaran, seperti artikulasi yang buruk, bicara yang tertunda dan respons yang kurang ( Telford & Sawrey, 1981) Indikasi lain dari gangguan pendengaran pada anak meliputi ( http://www.intelhealth.com): 1. Mendengarkan televisi atau radio dengan volume suara yang lebih tinggi daripada anak lain. 2. Duduk sangat dekat dengan telivisi ketika volume suara cukup memadai untuk didengar anak lain dalm ruang yang sama. 3. Meminta ulang hal hal yang sudah dijelaskan. 4. Mempunyai kesulitan dalam tugas atau kegiatan sekolah. 5. Mempunyai masalah dalam bicara dan bahasa. 6. Memperlihatkan perilaku yang buruk. 7. Tidak perhatian. 8. Mengeluh sulit mendengar atau merasa telinganya terhalang. C. KARAKTERISTIK. Karakteristik anak yang mengalami gangguan pendengaran meliputi hal-hal berikut ini (Suran & Rizzo 1979; Johnson, Christie, & Yawkey,1999) : 1. Factor bahasa. Kerusakan pendengaran membawa akibat dalam perkembangan bahasa.
•
Suppes (Suran & Rizzo 1979) Menyebutkan bahwa keterampilan bahasa yang berkurang merupakan masalah yang menonjol pada anak dengan gangguan pendengaran yang parah.
•
Lenneberg, Rebelsky, dan Nichols ( dalam Suran & Rizzo 1979). Menemukan bahwa bayi yang tuli sedikit berbeda dari bayi yang normal dalam pola vokalisasi selama beberapa bulan pertama kehidupan. Perbedaan vokalisasi antara bayi yang tuli dan bayi yang dapat mendengar lebih nyata selama usia 6-12 bulan, dan jelas bahwa ketidakmampuan bayi untuk mendengar bahsasa yang di ucapkan member dampak yang besar pada perolehan bahasa selama tahun kedua kehidupan.
•
Stoel & Gammon dan Otomo (Hallahan& Kauffman, 1988) Menemukan bahwa bayi yang tuli memasuki tahap babbling dalam waktu yang hampir sama seperti anak yang dapat mendengar tetapi tahap ini segera hilang (bunyian vocal terus menerus, mengoceh). Secara kualitas, terdapat perbedaan dalam babbling antar bayi yang tuli dan bayi yang dapat mendengar. Pada bayi tuli, variasi konsonannya lebih sedikit.
•
Power dan Quigley ( dalam Suran & Rizzo 1979) menemukan perbedaan dalam struktur dan isi bahasa antara orang yang tuli dan orang yang dapat mendengar. Orang yang tuli memiliki bahasa tertulis yang lebih kaku dan cenderung memiliki kesalahan yang lebih banyak dalam tata bahasa.
2. Kemampuan konseptual dan prestasi pendidikan Terdapat dua sudut pandang dalam hal ini (Hallahan& Kauffman, 1988): 1. Sudut pandang pertama menilai bahwa kemampuan konseptual pada anak mengalami gangguan pendengaran lebih rendah karena, sudut pandang ini bergantung pada bahasa, dan bahwa anak yang mengalami gangguan pendengaran mengalami hambatan dalam sudut bahasa. 2. Sudut pandang kedua menilai bahwa berpikir mungkin dilakukan tanpa bahasa sehingga, menurut sudut pandang ini, hanya konsep yang
berhubungan dengan bahasa saja yang sulit dipahami oleh anak yang mengalami gangguan pendengaran. Sudut pandang kedua lebih melihat bahwa potensi anak yang tuli dan anak yang dapat mendengar di perkirakan setara. Proses berpikir antara mereka berdua serupa dan bahkan jika ada perbedaan dalam hasil tugas kognitif nonverbal, menurut Furth ( dalam Suran & Rizzo 1979) lebih disebabkan oleh kurangnya stimulasi kognitif dan interaksi interpersonal daripada fungsi langsung dari defisiensi bahasa. Ada kemiripan di dalam potensi intelektual dan proses berpikir, Vernon ( dalam Suran & Rizzo 1979) menemukan bahwa prestasi dari anak yang tuli legih rendah daripada anak yang dapat mendengar. Hallahan& Kauffman ( 1988) menyebutkan bahwa ada prestasi akademik yang kurang, umumnya terjadi pada tugas-tugas yang menuntut keterampilan bahasa. Hasil penelitian dari Stinon ( Telford & Sawrey, 1981) menunjukkan bahwa anak yang tuli memiliki kecenderungan yang lebih besar untuk membatasi aspirasi mereka guna menghindari kegagalan daripada berusaha untuk mencapai prestasi yang lebih tinggi. 3. Kegiatan bermain. Anak anak dalam gangguan pendengaran, umumnya kurang terlibat dalam kegiatan berpura –pura (Johnson, Christie, & Yawkey,1999), mereka lebih sering bermain pararel ( parallel play) ( Hughes, 1999 )
4. Faktor personal dan social. Perkembangan personal dansosial pada anak tergantung pada seberapa baik anak di terima dilingkungannya (Hoemann & Briga dalam Hallahan& Kauffman, 1988) Kurangnya komunikasi dengan orang banyak dapat membuat anak tumbuh terisolasi. Mreka kadang-kadang mengalami kesulitan untuk berteman dan dipandang sangat pemalu oleh guru, Loeb & Sarigani (Hallahan& Kauffman, 1988). Kecendrungan tersebut dapat mengarahkan anak pada perilaku menarik diri, hal itu dapat menyulitkan mereka untuk membangun harga diri dan kepercayaan dalam berhubungan dengan orang lain.
Masalah – masalah yang tidak dapat dielakkan dalam perkembangan psikososial pada anak yang mengalami gangguan pendengaran, ketika anak masih kecil, terutama bayi, masalah berkaitan dengan pembentukkan attachment ( ikatan ibu dan bayi ) ( Altshuler dalam Suran & Rizzo 1979). Bayi yang jarang bicara akan kurang mengundang ibunya untuk mendekat. Sejalan dengan berkembangnya anak, harapan orang tua mungkin makin kurang dipahami dan mengarah pada pengalaman frustasi timbal- balik antara orang tua dan anak. Perhatian orang tua terhadap kegagalan anak unutk berkembang secara normal dapatmengarah pada penolakan dan sikap melindungi anak secara berlebihan ( over Protection ). Ketidak hadiran bahasa ekspresif dan reseptif yang tepat mengarahkan pada sikap ketergantuangan yang berlebihan. ( Mindel& Vernon dalam Suran & Rizzo 1979) Ketidakmapuan untuk mendengar terkadang mengarahkan anak pada sikap mandiri dan memiliki kepercayaan diri yang lebih besar sebagai cara mereka menghadapi keadaannya. Kurangnya bahasa pada anak yang mengalami gangguan pendengaran membuat mereka umumnya mengekpresikan frustasi secara fisik dengan tempertantrum daripada secara verbal ( Mindel & Vernon dalam Suran & Rizzo 1979 ). Gangguan pendengaran yang berpengaruh pada kurangnya bahasa juga dapat mengangguhubungan interpersonal dan mengarah berkurangnya perasaan harga diri dan kompentensi pribadi. Masalah menjadi intesif ketika anak memasuki lingkungan yang lebih luas, misalnya sekolah. Pada saat itu anak harus berhadapan dengan orang dewasa selain orang tua dan teman teman yang mempunyai sedikit empati dan kurang memahami gangguan pendengaran yang terjadi pada mereka, walau tidak selalu, anak dapat saja ditolak dan menjadi bahan tertawaan teman-temannya sehingga teman bukan lagi menjadi sumber untuk meningkatkan harga diri ( self-esteem ) bagi mereka. D. PENANGANAN. Komunikasi merupakan satu hal yang penting untuk berinteraksi karena interaksi hanya dapat terjadi melalui komunikasi. Pendekatan komunikasi tersebut merupakan kombinasi dari pendekatan oral, yang terdiri dari pelatihan auditori dan “membaca” kata-kata yang diucapkan
(speechreading), dan pendekatan manual, yang meliputi bahasa isyarat ( sign language), dan metode “mengeja jari “ ( fingerspelling), (Suran &Rizzo 1979; Hallahan& Kauffman 1988). Jika memungkinkan ada baiknya sekolah anda memiliki tenaga khusus yang kompeten dalam hal itu. Kalaupun tidak ada, minimal anda dapat berbicara secara perlahan, sehingga anak didik anda memahami apa yang anda katakan atau anda dapat menggunakan alat bantu visual berupa gambar. Untuk kegiatan bermain ada baiknya anda sebaiknya memperagakan terlebih dahulu cara memainkan alat permain yang baru, pemberian contoh yang konkret akan sangat berguna. Mulailah dengan melakukan kegiatan bermain konstuktif menyediakan berbagai mainan yang mengandalkan tangan juga akan meningkatkan minat anak untuk bermain. Sejumlah pedoman praktis uhtuk membantu anda menghadapi anak didik yang mengalami gangguan pendengaran ( Hallahan& Kauffman 1988) : 1. Memberikan perhatian khusus pada kualitas dan kuantitas interaksi social. Ajak anak yang lain untuk membantu masalah yang dihadapi oleh anak yang mengalami gangguan pendengaran. 2. Mengatur tempat duduk sehingga anak yang mengalami gangguan pendengaran dapat mengalami sebanyak mungkin manfaat dari tanda(clue) visual danauditori. Posisi duduk yang terbaik akan bervariasi menurut aturan tertentu dari ruang dan jenis kegiatan kelas yang sedang berlangsung. Contoh : jika guru duduk di depan kelas untuk bercerita, anak seharusnya duduk didekat guru supaya ia dapat mendengar dengan baik dan dapat “membaca” kata-kata yang diucapkan (speechreading) dengan baik. Jarak optimal kurang lebih 6 kaki ( feet) dari guru. Bebaskan anak untuk memindahkan kursinya atau posisi duduknya di ruangan. Dengan demikian, anak dapat memposisikan dirinya untuk mengambil keuntungan dari tanda (clue ) visual dan auditori yang ada. 3. Gangguan auditori dan visual seharusnya dibuat seminimum mungkin. Suara gaduh seharusnya dikurangi , khususnya jika guru sedang berbicara. Lingkungan yang gaduh juga mendatangkan masalah bagi anak yang menggunakan alat bantu pendengaran karena semua suara yang ada menjadi diperkeras. 4. Speechreading akan berguna jika berbicara secara wajar. Yang biasa terjadi adalah orang orang yang cenderung untuk berusaha membunyikan
5.
6.
7.
8.
9.
kata-kata dengan gerakkan dari mulut yang berlebihan ketika mereka berbicara dengan anak yang mengalami gangguan pendengaran. Anda harus menyadari bahwa penting bagi anak didik yang mengalami gangguan pendengaran untuk melihat sepenuhnya wajah anda ketika berbicara. Hal itu sering kali dilupakan, misalnya guru terkadang memiliki kebiasaan berbicara sambil menghadap papan tulis. Anda harus yakin bahwa wajah anda terlihat dengan baik oleh mereka dan seharusnya menghindari posisi dimana lampu atau penerangan yang lainnya di belakang kepala anda. Mengikutsertakan anak untuk menjadi anggota tim pada kegiatan kelas. Sebagai langkah awal, anak dapat diberi pertanyaan yang hanya membutuhkan jawaban sederhana. Dalam kegiatan kelompok, anda dapat memanggil anak satu per satu untuk berbicara sehingga anak yang mengalami gangguan pendengaran dapat melihat siaoa yang sedang berbicara ketika mereka sedang mengadakan kegiatan kelompok. Anda dapat mendorong anak yang mengalami gangguan pendengaran untuk bertanya. Jika anda perlu mengulang sesuatu ( misalnya, instruksi), ada baiknya jika anda mengatakan hal tersebut dengan cara yang berbeda karena beberapa kata atau frase terkadang lebih mudah untuk “dibaca” (speechreading ) daripada kata yang lain. Selain itu, mengatakan dengan cara yang lain meningkatkan kesempatan anak untuk mengekspos kata kata yang dapat ia pahami. Anda perlu membuat alat bantu visual yang beragam. Penggunaan gambar-gambar merupakan carayang baik untuk melakukan hal itu. Jika memungkinkan, instruksi dapat dijadikan sebagai salah satu metode yang baik