Pembuktian_dan_alat_bukti_dalam_hukum_ac.docx

  • Uploaded by: Muhammad Rizal Tamtomi
  • 0
  • 0
  • July 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembuktian_dan_alat_bukti_dalam_hukum_ac.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 5,154
  • Pages: 24
PEMBUKTIAN DAN ALAT BUKTI DALAM HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA

MAKALAH

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama Program Studi Ahwal Al-Syakhsiyyah

Disusun oleh : Siti Halimatussadiah Siti Sadiah Widia Astuti Wifa

FAKULTAS AGAMA ISLAM UNIVERSITAS IBN KHALDUN BOGOR 2015

KATA PENGANTAR Assalamualaikum Wr. Wb. Segala puji dan syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan nikmat dan karunia-Nya berupa iman, Islam dan ilmu serta bimbingann-Nya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ Pembuktian dan alat bukti dalam hukum acara peradilan agama ”. Makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama. Penulis berharap, makalah ini bermanfaat untuk menambah pengetahuan mengenai Ila’. Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada Bapak dosen yang telah memberikan ilmunya, bimbingan dan kesabarannya hingga akhirnya makalah ini dapat selesai tepat pada waktunya. Tentunya makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat kami harapkan demi penyempurnaan pembuatan makalah ini. Kami

berharap, makalah ini dapat bermanfaat untuk ke depan dan

rekan-rekan mahasiswa lainnya. Aamiin. Wassalamualaikum Wr. Wb. Bogor, Mei 2015

Tim Penyusun

i

DAFTAR ISI Halam an

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii BAB I

PENDAHULUAN ............................................................................... - 1 -

A.

Latar Belakang ..................................................................................... - 1 -

B.

Rumusan Masalah ............................................................................... - 1 -

BAB II A.

B.

PEMBAHASAN.............................................................................. - 2 -

Pembuktian .......................................................................................... - 2 1.

Pengertian Pembuktian ................................................................. - 2 -

2.

Tujuan Pembuktian ........................................................................ - 3 -

3.

Asas dan Dalil Pembuktian ............................................................ - 4 -

Alat Bukti ............................................................................................. - 6 1.

Alat Bukti Tertulis........................................................................... - 7 -

2.

Alat Bukti Saksi.............................................................................. - 9 -

3.

Persangkaan ................................................................................- 11 -

4.

Pengakuan/ Ikrar ..........................................................................- 12 -

5.

Sumpah ........................................................................................- 14 -

6.

Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153) ...............................- 15 -

7.

Saksi Ahli (pasal 154 HIR) ............................................................- 17 -

8.

Pembukuan (pasal 167 HIR) ........................................................- 18 -

9.

Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)....- 19 -

BAB III ...........................................................................................................- 20 KESIMPULAN DAN SARAN .........................................................................- 20 A.

Kesimpulan .........................................................................................- 20 -

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... iv

ii

BAB I PENDAHULUAN A.

Latar Belakang Suatu perkara di Pengadilan tidak dapat diputus oleh hakim tanpa

didahului dengan pembuktian. Dengan kata lain, kalau gugatan penggugat tidak berdasarkan bukti maka perkara tersebut akan diputus juga oleh hakim tetapi putusan yang menolak gugatan karena tidak ada bukti. Pembuktian memegang peranan penting dalam pemeriksaan perkara dalam persidangan di pengadilan. Untuk membuktian seseorang terlibat atau tidak,

proses

pembuktian

memegang

peranan

sangat

penting.

Melalui

pembuktian inilah ditentukan nasib terdakwa, apakah ia bersalah atau tidak. Dengan adanya pembuktian, hakim akan mendapat gambaran yang jelas terhadap peristiwa yang sedang menjadi sengketa di pengadilan. Sehubungan dengan hal tersebut maka diketahui tentang apa yang harus dibuktikan, siapa yang seharusnya dibebani pembuktian dan hal-hal yang tidak perlu dibuktikan lagi dalam menyelesaikan suatu perkara.

B.

Rumusan Masalah 1. Pembuktian 2. Macam-macam alat bukti

-1-

BAB II PEMBAHASAN A.

Pembuktian 1.

Pengertian Pembuktian

Secara etimologis, Pembuktian diambil dari kata ‘bukti’. Kata ‘bukti’ dalam kamus Hukum berarti ‘sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian’. Sedangkan menurut Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, bukti mempunyai empat arti, yaitu pertama, adalah hal yang menjadi tanda perbuatan jahat; kedua, sesuatu yang dijadikan sebagai keterangan nyata; ketiga, sesuatu yang dipakai sebagai landasan keyakinan kebenaran terhadap kenyataan; keempat, sesuatu yang menyatakan kebenaran peristiwa. Bukti merupakan segala sesuatu yang dapat meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Sedangkan yang dimaksud dengan Pembuktian ialah suatu rangkaian peraturan tata tertib yang dilaksanakan dalam melangsungkan penyelesaian di muka hakim, antara kedua belah pihak yang sedang mencari keadilan. Pembuktian menurut istilah bahasa Arab berasal dari kata “Al-bayinah” yang artinya “suatu yg menjelaskan.” Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya At-Turuq al Hukmiyah mengartikan “bayyinah” sebagai segala sesuatu atau apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran sesuatu. Menurut Yahya Harahap, dalam pengertian yang luas, pembuktian adalah kemampuan penggugat atau tergugat memanfaatkan hukum pembuktian untuk mendukung dan membenarkan hubungan hukum dan peristiwa-peristiwa yang didalilkan atau dibantah hubungan hukum yang diperkarakan. Sedangkan dalam arti sempit, pembuktian hanya diperlukan sepanjang mengenai hal-hal yang dibantah atau hal yang masih diperselisihkan di antara pihak-pihak yang berperkara1. Menurut R. Subekti, yang dimaksud dengan pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil yang dikemukakan didalam

1

Yahya Harahap dalam Abdul Mannan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Cet.IV; Jakarta: Kencana, 2006), h. 227.

-2-

suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim2. Menurut Prof. Dr. Supomo, pembuktian mempunyai arti luas dan arti terbatas. Dalam arti luas, pembuktian berarti memperkuat keyakinan kesimpulan hakim dengan syarat-syarat bukti yang syah. Dalam arti terbatas pembuktian itu hanya diperlukan apabila yang dikemukakan oleh penggugat itu di bantah oleh tergugat. Dari pengertian tersebut, maka dapat disimpukan bahwa pembuktian adalah upaya para pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim akan kebenaran peristiwa atau kejadian yang diajukan oleh para pihak yang bersengketa dengan alat-alat bukti yang telah ditetapkan. Dalam sengketa yang berlangsung dan sedang diperiksa di muka majelis hakim itu, masing-masing pihak mengajukan dalil-dalil yang saling bertentangan. Hakim harus memeriksa dan menetapkan dalil-dalil manakah yang benar dan dalil manakah yang tidak benar. Berdasarkan pemeriksaan yang teliti dan saksama itulah hakim hakim menetapkan hukum atas suatu peristiwa atau kejadian yang telah dianggap benar setelah melalui pembuktian sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh peraturan yang berlaku. Yang dimaksud dengan “membuktikan” adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan di muka sidang dalam suatu persengketaan. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Untuk membuktikan itu, para pihaklah

yang

aktif

berusaha

mencarinya,

menghadirkan

atau

mengetengahkannya ke muka sidang. 2.

Tujuan Pembuktian

Membuktikan berarti memberi kepastian kepada hakim tentang adanya peristiwa-peristiwa tertentu. Karena hakim yang harus memeriksa, mengadili dan kemudian memutuskan perkara, maka tujuan pembuktian adalah putusan hakim yang didasarkan atas pembuktian tersebut. Karena putusan itu diharuskan objektif, maka pembuktian ini diharuskan bertujuan untuk memperoleh kepastian

2

R. Subekti, Hukum Pembuktian (Jakarta: Pradnya Paramitha, 1975), h. 5.

-3-

bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar-benar terjadi guna mendapatkan putusan hakim yang adil dan benar. Tujuan pembuktian adalah untuk memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa atau fakta yang diajukan itu benar – benar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Sesungguhnya,

tujuan

dari

pembuktian

adalah

berusaha

untuk

melindungi orang yang tidak bersalah. Dalam hal pembuktian, hakim perlu memperhatikan

kepentingan

masyarakat

dan

kepentingan

terdakwa.

Kepentingan masyarakat berarti, apabila seseorang telah melanggar ketentuan perundang-undangan, ia harus mendapat hukuman yang setimpal dengan kesalahannya. Sementara yang dimaksud dengan kepentingan terdakwa adalah, terdakwa harus tetap diperlakukan adil sehingga tidak ada seorang pun yang tidak bersalah akan mendapat hukuman, atau sekalipun ia bersalah ia tidak mendapat hukuman yang terlalu berat (dalam hal ini terkandung asas equality before the law)3. 3.

Asas dan Dalil Pembuktian a. Asas Pembuktian

Asas pembuktian dalam hukum acara perdata dijumpai dalam pasal 1865 BW, pasal 163 HIR, pasal 283 RBG, yang bunyi pasal-pasal itu semakna, yaitu:” Barang siapa mempunyai sesuatu hak atau guna membantah hak orang lain atau menunjuk pada suatu peristiwa, ia diwajibkan membuktikan adanya hak itu atau adanya peristiwa tersebut”4. Asas pembuktian tersebut dapat digambarkan sebagai berikut: A (penggugat) menggugat B (tergugat) agar B membayar hutang kepada A maka kepada A dibebankan oleh hakim untuk membuktikan adanya hutang B kepada A, sebab saat itu A mengatakan bahwa ia mempunyai hak berupa piutang dari B. selanjutnya,di muka sidang B membantah, menurut B adanya di atas kuitansi tersebut bukanlah karena B mempunyai hutang kepada A tetapi karena B dipaksa oleh A untuk membuatnya, maka kepada B dibebankan untuk 3

Asas equality before the law berarti adanya perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan perbedaan perlakuan. Lihat Luhut MP Pangaribuan, Hukum Acara Pidana:Suratsurat Resmi di Pengadilan oleh Advocat (Jakarta: Djambatan, 2005), hal. 3-4. 4

R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek) (Cet. 33; Jakarta: Pradnya Paraminta, 2003), h. 475.

-4-

membuktikan akan kebenaran bantahannya tersebut, karena B ketika itu membantah hak orang lain atasnya. Mungkin juga B di muka sidang mengatakn bahwa hutang tersebut ada tetapi sudah dibayar, hanya saja tidak memakai tanda pembayaran/ kuitansi dan kuitansi hutang sebelumnya tidak dimintanya kembali dari A, maka dalam hal ini kepada B dibebankan oleh hakim untuk membuktikan peristiwa pembayarannya tersebut. Gambaran tersebut sudah terlihat bahwa beban pembuktian sesewaktu kepada penggugat dan sesewaktu kepada tergugat karena asas pembuktian mengatakan demikian. Sebagaimana sabda Nabi saw.

5

‫لو يعطى الناس بدعواهم لد عى ناس دماء رجال و اموا لهم ول كن البينة على المدعى واليمين على من انكر‬

Artinya : “Jika gugatan seseorang dikabulkan begitu saja, niscaya akan banyak orang yang menggugat hak atau hartanya terhadap orang lain (ada cara pembuktiannya) kepada yang menuntut hak (termasuk yang membantah hak orang lain dan menunjuk suatu peristiwa tertentu) dibebankan untuk membuktikan dan (bagi mereka yang tidak mempunyai bukti lain) dapat mengingkarinya dengan sumpahnya”. Suatu pembuktian diharapkan dapat memberikan keyakinan hakim pada tingkat

yang

meyakinkan.

Nabi

Muhammad

SAW.,

lebih

cenderung

mengharamkan atau menganjurkan untuk meninggalkan perkara syubhat. Dalam salah satu hadits sahih, Nabi SAW., menyebutkan : “… sesungguhnya yg halal itu jelas dan yg haram itu jelas. Diantara keduanya ada

yg

syubhat

(perkara

yg

samar)

yg

kebanyakan

manusia

tidak

mengetahuinya. Maka … dan barang siapa yg jatuh melakukan perkara yg samar itu, maka ia telah jatuh dalam perkara yg haram…” (riwayat Al-Bukhori dan Muslim).

5

As Shan’any, Subul as- salam (Jilid. IV; Bandung; Dahlan, t.t), h. 132.

-5-

b. Dalil Pembuktian Suatu pembuktian memerlukan adanya dalil. Dalil dalam Hukum Islam dimaksudkan untuk mendudukkan kebenaran pada kebenaran materil. Dalil hukum pada pembuktian ini hanya diarahkan pada kaedah-kaedah fikih antara lain : “… bukti-bukti itu dibebankan kepada penggugat, dan sumpah dibebankan kepada yang menolak gugatan.” “…. Perdamaian adalah boleh dalam suatu perkara, kecuali dalam hal mendamaikan yang halal dengan yang haram…”

B.

Alat Bukti Alat bukti adalah segala sesuatu yang menurut undang-undang dapat

dipakai untuk membuktikan. Dipandang dari segi pihak-pihak yang berperkara, alat bukti artinya alat atau upaya yang bisa dipergunakan oleh pihak-pihak yang berperkara untuk meyakinkan hakim di muka Pengadilan. Suatu perkara tidak akan dapat diselesaikan tanpa adanya alat bukti. Berdasarkan

Pasal 54 UU No. 7 Tahun 1989 jo UU No. 3 Th 2006

tentang Peradilan Agama, menentukan bahwa hukum acara yang berlaku pada pengadilan di lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur khusus dalam undang-undang ini. Sebagaimana didalam pasal 1866 Kitab undang-undang Hukum Perdata atau Pasal 164 RIB (pasal 283 RDS) alat-alat bukti dalam perkara perdata ada 5, yaitu : 1. Bukti Tulisan 2. Bukti dengan Saksi-saksi 3. Persangkaan-persangkaan 4. Pengakuan dan 5. Sumpah 6. Pemeriksaan ditempat (pasal 153) 7. Saksi ahli (pasal 154 HIR) 8.

Pembukuan (pasal 167 HIR)

-6-

9. 1.

Pengetahuan hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

Alat Bukti Tertulis Al-Quran memerintahkan untuk menuliskan transaksi di bidang

muamalah yang tidak tunai (QS. 2:282-283). Begitupun Rasulullah SAW menyuruh Para Sahabatnya untuk menuliskan hadits. Alat bukti tertulis diatur dalam pasal 138, 165, 167 HIR, 164, 285305 Rbg. S 1867 no. 29 dan pasal 1867-1894 BW (baca juga ps. 138-147 Rv).

a. Alat Bukti Surat atau Tulisan Alat bukti tertulis atau surat ialah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksud untuk mencurahkan isi hati atau alat untuk menyampaikan buah pikiran seseorang dan dipergunakan sebagai pembuktian. Dengan demikian maka segala sesuatu yang tidak memuat tanda-tanda bacaan, atau meskipun memuat tanda-tanda bacaan akan tetapi tidak mengandung buah fikiran, bukanlah termasuk pengertian alat bukti tertulis atau surat-surat. Surat sebagai alat bukti tertulis dibagi menjadi 2 (dua): 1. Surat yang merupakan akta Akta ialah suatu tulisan yang memang dengan sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tentang suatu peristiwa dan ditandatangani. Akta dibagi lebih lanjut menjadi akta otentik dan akta dibawah tangan. a) Akta Otentik Akta otentik adalah akta yang dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu, menurut ketentuan tertentu yang telah ditetapkan. Akata otentik mempunyai kekuatan bukti yang sempurna atau mengikat. Artinya, Hakim harus menganggapnya benar serta tidak memerlukan pembuktian lain kecuali memang

dapat

dibuktikan

tentang

ketidakbenarannya.

Kata-kata

‘harus

menganggap benar’ disini meliputi dua hal, yaitu benar apa yang ditulis didalam kata; dan benar peristiwa yang ditentukan didalam akta sudah terjadi.

-7-

Pejabat yang dimaksud yaitu notaris, hakim, panitera, jurusita, pegawai pencatat sipil, pegawai pendapat nikah, pejabat pembuat akta tanah, pejabat pembuat kata ikrar wakaf dan sebagainya. Syarat-syarat akta otentik ada 3 (tiga) yaitu: 

Dibuat oleh atau dihadapan pejabat yang berwenang untuk itu



Dibuat dalam bentuk dan sesuai ketentuan yang ditetapkan untuk itu



Dibuatkan ditempat pejabat itu berwenang untuk menjalankan tugasnya. b) Akta di Bawah Tangan/ Akta Bukan Otentik Akta dibawah tangan atau akta bukan otentik adalah segala tulisan yang

memang sengaja dibuat untuk dijadikan bukti tetapi tidak dibuat dihadapan atau oleh pejabat yang berwenang untuk itu dan bentuknya pun tidaklah pula terikat kepada bentuk tertentu. Hal ini diatur dalam stbl 1867 No.29 untuk jawa dan Madura, dan luar jawa dan Madura diatur dalam pasal 286 sampai dengan 305 R.Bg pasal 1874-1180 BW. Kekuatan akta dibawah tangan, Hakim meilainya bebas, akan tetapi jika akta yang bersifat dibuat oleh kedua belah pihak, seperti jual-beli tanah yang bukan otentik, apabila tandatangan yang tercantum didalamnya diakui oleh pihak yang menandatanganinya maka akta tersebut mempunyai kekuatan sama dengan akta otentik, tetapi tetap masih mempunyai perbedaan dengan akta otentik. 2. Surat-surat lainnya yang bukan akta. a. Surat-surat lainnya yang bukan akta Segala macam tulisan yang tidak termasuk kategori akta otentik dan akta dibawah tangan dimuka adalah termasuk kategori surat-surat lainnya yang bukan akta. Contohnya adalah surat pribadi, surat rumah tangga, register-register, dan lain sebaginya. Adapun kekuatan pembuktiannya adalah bebas yaitu terserah kepada Hakim dalam penilaiannya. b.

Salinan atau fotokopi surat-surat

Fotokopi atau salinan surat-surat tanpa pengesahan salinan/fotokopi atau diistilahkan tanpa legislasi, dianggap sebagai surat-surat bukan akta, sekalipun

-8-

yang difotokopi itu adalah akta otentik. Agar suatu surat mempunyai kekuatan sama dengan kekuatan aslinya, maka salinan atau fotokopi itu harus dilegalisir. 2.

Alat Bukti Saksi a. Pengertian alat bukti saksi

Dalam hukum Islam, alat bukti saksi disebut ‘syahid’ (saksi lelaki) atau ‘syahidah’ (saksi perempuan) yang terambil dari kata ‘musyahadah’ yang artinya ‘menyaksikan dengan mata kepala sendiri’. Saksi adalah yang memberikan kepastian kepada hakim dipersidangan mengenai peristiwa yang disengketakan dengan jalan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil dipersidangan. Saksi ialah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang, dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang suatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri sebagai bukti terjadinya peristiwa atau keadaan tersebut. Jumlah saksi yang wajib diajukan masing-masing tergantung pada jenis perkaranya. Misalnya untuk perkara perikatan hutang-piutang atau bidang muamalat khusus diperlukan 2 (dua) orang perempuan atau untuk perkara zina dibutuhkan 4 (empat) orang saksi. Dasar alat bukti saksi dalam Islam adalah Firman Allah SWT dalam surah Al-Baqarah ayat 282 















         









 



......      Artinya : “Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil ..”

-9-

Alat bukti kesaksian diatur dalam pasal 139-152 dan pasal 168-172 HIR, pasal 165-179 Rbg, pasal 1895 dan 1902-1912 BW. Kesaksian adalah kepastian yang diberikan kepada hakim dipersidangan tentang peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara, yang dipanggil di persidangan. b.

Syarat-syarat saksi

 Saksi harus memenuhi syarat formil dan materil 1. Syarat formil saksi adalah 2. Berumur 15 tahun ke atas 3. Sehat akalnya 4. Tidak ada pihak menurut keturunan yang lurus, kecuali undang-undang menentukan lain. 5. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak dengan meskipun sudah bercerai ( pasal 145 ayat 1 HIR) 6. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144 ayat 2 HIR kecuali undang-undang menentukan lain. 7. Menghadap dipersidangan (pasal 141:2 HIR) 8. Mengankat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR) 9. Berjumlah sekurang-kurangnya 2 orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau di kuatkan dengan bukti lain. (pasal 169 HIR )keculi mengenai perzinaan. 10. Di panggil masuk ke ruang siding satu demi satu (pasal 144:1 HIR) 11. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR)  Syarat materil saksi ialah: 1. Menerangkan apa yang dilihat. Ia dengar dan ia alami sendiri (pasal 171HIR/308 R.Bg) 2. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui pristiwanya (pasal 171:1 HIR/paal 308:2 R.Bg) 3. Bukan merupakan pedapat atau kesimpulan saksi sendiri (pasal 171:2 HIR/ pasal 308:2 R.Bg) 4. Saling bersesuaian satu sama lain (pasal 170 HIR)

- 10 -

5. Tidak bertentang denga akal sehat  Kewajiban saksi ada tida yaitu: 1. Menghadiri siding sesuai dengan panggilan 2. Mengangkat sumpah sesuai agamanya 3. Memberikan keterangan sesuai apa yang dilihat, dengar dan alami. 3.

Persangkaan

Persangkaan adalah kesimpulan yang ditarik dari suatu pristiwa yang telah atau idanggap terbukti kearah suatu peristiwa yang tidak dikenal atau belum terbukti, baik yang bersandarkan undang-undang atau kesimpulan yang ditarik oleh hakim.persangkaan diatur dalam pasal 173 HIR, 1916 BW. Ada dua macam bentuk persangkaan persangkaan Undang-undang, dan Persangkaan hakim. Persangkaan sebagai alat pembuktian di dalam hukum acara perdata adalah alat bukti yang menempati urutan ke ketiga dari ke kelima alat bukti yang ada dalam hukum acara perdata. Persangkaan ini di atur dalam HIR Pasal 173, dan pada RBG Pasal 310 dan pada KUHP yang ditempatkan pada Buku Keempat, Bab Keempat, dan memuat delapan pasal, yakni Pasal 1915-1922. Pengaturan persangkaan baik di dalam HIR ataupun RBG hanyalah memuat satu pasal saja, dan di dalamnya hanya memuat tentang pengertian persangkaan

saja,

tidak

disertai

dengan

pengaturan

serta

tata

cara

penggunaannya di dalam persidangan.

a. Persangkaan berdasarkan undang-undang Persangkaan-persangkaan sebagai alat bukti diatur dalam pasal 164 HIR, pasal 284 Rbg dan pasal 1866 BW. Persangkaan ini terdiri atas persangkaan berdasarkan kenyataan dan persangkaan berdasarkan hukum. Sedangkan persangkaan berdasarkan hukum terbagi lagi menjadi dua macam yaitu persangkaan berdasarkan hukum yang memungkinkan adanya pembuktian lawan dan persangkaan berdasarkan hukum yang tidak memungkinkan pembuktian lawan.

- 11 -

Contoh: pasal 5 ayat 2 UU No. 1/1974 yaitu bahwa untuk mendapat ijin poligami dari pengadilan tidak diperlukan persetujuan dari istri apabila istri tidak ada kabar selama 2 tahun, berarti dalam kasus ini, poligami dianggap sah tanpa persetujuan istri. b.

Persangkaan Hakim

Yaitu Persangkaan yang berupa kesimpulan yang ditarik oleh hakim dari keadaan yang timbul dipersidangan, seperti: a.

Tentang sesuatu yang penting dan seksama

b.

Atau tentang sesuatu yang terang dan pasti Kekuatan

pembuktiannya

bersifat

memaksa.

Hakim

terikat

pada

ketentuan undang-undang kecuali jika dilumpuhkan oleh bukti lawan. Karena persangkaan bukan merupakan bukti yang berdiri sendiri melainkan berpijak pada kenyataan lain yang telah terbukti, maka untuk menyusun bukti persangkaan harus di buktikan dahulu fakta-fakta yang mendasarinya. Apabila fakta-fakta yang mendasarinya telah dibuktikan maka hakim dapat menyusun bukti persangkaan dalam pertimbangan hukumnya sesuai hukum berfikir yang logis, dengan memenuhi syarat-syarat tersebut di atas.

4.

Pengakuan/ Ikrar

Ikrar (pengakuan) adalah suatu pernyataan dari penggugat atau tergugat atau pihak-pihak lainnya mengenai ada tidaknya sesuatu, pernyataan ini bersiat sepihak dan tidak memerlukan persetujuan pihak lain. Jenis ikrar:  Lisan  Isyarat, kecuali dalam perkara zina  Tertulis Pengakuan terbagi atas 3 macam, yauti pengakuan murni, pengakuan dengan kualifikasi dan pengakuan dengan clausula. Alat bukti pengakuan dalam Peradilan Islam disebut al iqrar yang artinya ialah salah satu pihak atau kuasa sahnya mengaku secara tegas tanpa syarat

- 12 -

bahwa apa yang dituntut oleh pihak lawannya adalah benar6. Dasar pengakuan sebagai alat bukti menurut Peradilan Islam adalah Q.S. An Nisa (4): 135.7 Pengakuan murni adalah pengakuan yang bersifat sederhana dan sesuai sepenuhnya dengan tuntutan pihak lawan. Misalnya, penggugat mengatakan bahwa tergugat telah dua tahun tidak memberi nafkah wajib kepada penggugat, dan tergugatpun mengakuinya. Pengakuan dengan kualifikasi ialah pengakuan yang disertai dengan sangkalan terhadap sebagian dari tuntutan. Misalnya, penggugat menyatakan bahwa tergugat telah menerima uang dari penggugat sebesar Rp 5.000.000 dan tergugatpun mengakui memberikan uang tetapi jumlahnya Rp 3.000.000bukan Rp. 5.000.000. Pada hakekatnya pengakuan dengan kualifikasi ini adalah jawaban tergugat yang sebagian terdiri dari sangkalan. Walaupun pengakuan ini, dipandang sebagai hujjah yang paling kuat, namun terbatas hanya mengenai diri si yang memberi pengakuan saja, tidak dapat mengenai diri orang lain. Pengakuan dapat dilakukan dengan ucapan lidah, dapat pula dilakukan dengan isyarat oleh orang yang tidak bisa berbicara, asal isyaratnya itu dapat diketahui umum, dan tidak dalam masalah zina dan sepertinya. Menurut hukum asal, apabila si tergugat sudah mengaku, maka hakim dapat memutuskan perkara dengan memenangkan si penggugat tanpa perlu

mendengar

mengecualikan

keterangannya

beberapa

lagi.

masalah.

Dalam

Dalam

pada

itu,

para

masalah-masalah

itu,

fuqaha masih

diperlukan bukti-bukti dari si penggugat walaupun sudah diberikan pengakuan dari si tergugat, untuk menghilangkan kemelaratn-kemelaratan yang timbul pada sesuatu pihak. Umpamanya, apabila seorang waris mendakwa bahwa si mati ada hutang padanya dan dakwaan itu dibenarkan oleh salah seorang waris yang lain. Dalam hal ini, waris pertama, harus memberi bukti walaupun sudah diakui oleh salah seorang waris yang lain, karena haknya mengenai seluruh harta peninggalan8. 6

Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Cet. VIII; Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 170. Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan. 7

8

Tengku HM. Hasbi Ash- Shiddieqy, op. cit., h. 136-138

- 13 -

5.

Sumpah

Sumpah ialah suatu pernyataan yang khidmat yang diberikan atau diucapkan pada waktu memberi janji atau keterangan dengan mengingat sifat Maha Kuasa Tuhan dan percaya bahwa siapa yang memberi keterangan atau janji yang tidak benar akan dihukum oleh-Nya. Alat bukti sumpah diatur dalam HIR (Ps. 155-158, 177), Rbg. (Ps. 182185, 314) dan BW (Ps. 1929-1945). Pihak yang menuntut hak dibebankan untuk membuktikan sedangkan pembuktian pengingkaran Dri pihak yang dituntut adalah dengan sumpah. Jadi, pada dasarnya sumpah ini adalah hak dari pihak yang digugat. Ada 3 macam sumpah sebagai alat bukti :

 Sumpah Pelengkap (suppletoir) Sumpah Pelengkap ialah sumpah yang diperintahkan oleh Hakim karena jabatannya kepada salah satu pihak yang berperkara untuk melengkapi pembuktian peristiwa atau hak yang menjadi sengketa sebagai dassar putusannya.  Sumpah Pemutus yang bersifat menentukan (decisoir) Sumpah Pemutus ialah sumpah yang dibebankan atas permintaan salah satu pihak pihak kepada lawannya. Berbeda dengan sumpah suppletoir, sumpah ini dibebankan atau diperintahkan meskipun tidak ada pembuktian sama sekali.  Sumpah Penaksiran (aestimatoir, schattingseed)

Sumpah Penaksiran ialah sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatannya kepada penggugat untuk menentukan uang ganti kerugian. Sumpah penaksiran biasanya diperlukan untuk menentukanbesarnya ganti rugi.

- 14 -

6.

Pemeriksaan ditempat/Descente (pasal 153)

Pemeriksaan setempat ialah pemeriksaan mengenai perkara, oleh hakim karena jabatannya, yang dilakukan di luar gedung atau tempat kedudukan pengadilan agar hakim dengan lmelihat sendiri memperoleh gambaran atau keterangan yang memberi

kepastian tentang pristiwa-pristiwa yang menjadi

sengketa. Pemeriksaan setempat diatur dalam pasal 153 HIR, pasal 180 R.Bg, pasal 211 Rv. Tujuannya ialah agar hakim memperoleh kepastian tentang peristiwa yang menjadi sengketa. Pemeriksaan setempat pada hakikatnya adalah juga pemeriksaan perkara dalam persidangan, hanya saja tidak dilakukan di gedung pengadilan tetapi di luar, yaitu tempat dimana obyek sengketa atau yang diperiksa itu berada. Pemeriksaan setempat dilakukan karena suatu kenyataan bahwa tidak dimungkinkannya untuk mengajukan obyek pemeriksaan ke depan siding di gedung pengadilan. Pada asasnya, pemeriksaan pengadilan dilangsungkan di gedung pengadilan (pasal26,90 Rv, pasal 35 RBg). Pemeriksaan setempat biasanya diperlukan untuk memeriksa benda tetap (minsalnya, tanah, batas-batas-batas tanah, gedung, rumah, benda yang melekat padannya atau lainnya yang tidak mungkin diajukan ke depansidang pengadilan) atau seseorang yang karena sesuatu hal tidak mungkin untuk menghadap dipersidangan. a. Tatacara pemeriksaan di tempat: 1. Insiatif untuk mengadakan pemeriksaan di tempat dapat timbul dari pihak yang berkepentingan atau atas insiatif hakim karena jabatannya. 2. Apabila hakim berpendapat bahwa perlu diadakan pemeriksaanditempat, maka hakim memerintahkan hal itu yang cukup dicata dalam berita acara persidangan (jika menurut pasal 21 Rv. Harus dengan putusan sela) 3. Ketua majelis mengangkat satu atau dua orang hakim sebagai “hakim komisaris”

dengan

dibantu

oleh

penetera,

untuk

mengadakan

pemeriksaan di tempat, atau bila perlu hakim ketua memimpin langsung pemeriksaan setempat. 4. Biaya

pemeriksaan

di

tempat

dibebankan

kepada

pihak

yang

berkepentingan yang nanti akan diperhitungkan dalam putusan akhir. 5. Pihak yang dibebani biaya pemeriksaan di tempat tersebut, menghadap di meja 1 untuk ditaksir panjar biayanya yang kemudian dibuatkan SKUM

- 15 -

sebagai tambahan panjar biaya perkara, dan kemudian ia membayarnya kepada kasir yang akan

dibukukan di dalam jurnal ddan buku induk

keuangan perkara. 6. Setelah biaya pemeriksaan setempat dibiaya, maka hakim membentukan kepada para pihak dan pemerintah desa/kelurahan setempat tentang akan

dilaksanakannya

pemeriksaan

stermpat

tentang

akan

dilaksanakannya pemeriksaan setempat dengan menyebutkan pula hari, tanggal dan jam setempat pelaksanaannya, dan sekaligus memanggil pihak-pihak yang bersangkutan untuk hadir pada siding pemeriksaan setempat tersebut. 7. Pemeriksaan setempat dilakukan dalam suatu persidangan yang terbuka untuk umum dengan dihadiri oleh pihak-pihak yang berperkara. 8. Siding dilakukan oleh hakim komisaris yang dibantu oleh panetera siding. 9. Siding pemeriksaan setempat di

buka di balai desa/kantor kelurahan

setempat, kemudian dilanjutkan ke lokasi obyek yang diperiksa. 10. Setelah pemeriksaan setempat selesai, maka sidang ditutup di balai desa/kantor kelurahan semula. 11. Panitera

membuat

berita

acara

pemeriksaan

setempat

yang

ditandatangani oleh hakim komisaris dan panitera yang turut bersidang. 12. Berita acara pemeriksaan setempat dibacakan dalam siding berikutnya di kantor pengadilan, sebagai “pengetahuan hakim sendiri” dan dipakai sebagai bukti untuk memutus perkara. 13. Kekuatan pembuktian hasil pemeriksaan setempat diserahkan kepada pertimbangan hakim. 14. Kalau pemeriksaan setempat itu harus dilakukan diluar wilayah hukum pengadilan agama yang bersangkutan maka dapat dilakukan delegasi wewenang kepada pengadilkan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dimana obyek pemeriksaan itu berada. 15. Tatacara delegasi wewenang seperti tatacara pendelegasi pemeriksaan saksi dan sebagainya.

- 16 -

7.

Saksi Ahli (pasal 154 HIR)

Keterangan ahli adalah keterangan pihak ketiga yang obyektif yang bertujuan untuk membantu hakim dala m pemeriksaan guna menambah pengetahuan hakim sendiri. Keterangan ahli juga sering disebut saksi ahli, diatur dalam pasal 154 HIR, pasal 181 R.Bg pasal 215 Rv. Undang-undang tidak memberikan ketentuan siapakah yang dianggap sebagai ahli, dengan demikian maka tentang ahli dan tidaknya seseorang tidak ditentukan oleh pengetahuan atau keahlian yang khusus, melainkan ditentukan oleh pengangkatnya oleh hakim berdasarkan pertimbangannya. Hakim dapat mengangkat seorang ahli secara exoffcio (pasal 222 Rv). Hakim menggunakan keterangan ahli dengan maksud agar hakim memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang sesuatu yang hanya dimiliki oleh seorang ahli tertentu, minsalnya tentang hal-hal yang bersifat teknis, kebiasaan tertentu, ilmu kedokteran dan sebagainya. Hakim juga boleh menggunakan keterangan ahli mengenai hukum sekalipun yang berlaku dalam

masyarakat,

waktu

atau bidang

tertentu.

Menggunakan

keterangan ahli bertujuan untuk memperoleh kebenaran dan keadilan pada masalah yang bersangkutan. a. Syarat-syarat saksi ahli: 1. Undang-undang tidak memberikan ketentuan tentang syarat-syarat saksi ahli 2. Pasal 154:1 HIR, pasal 181:4 RBg, pasal 218 Rv. Hanya menetapkan bahwa orang yang tidak boleh didengar sebagai saksi juga tidak boleh didengar sebagai ahli 3. Namun demikian, yang pasti adalah bahwa saksi ahlipun harus memberikan keterangan secara jujur dan obyektif serta tidak memihak. 4. Atas dasar hsl tersebut maka sudah seharusnya apabila syarat-syarat sebagai saksi ahli sama denagn syarat-syarat sebagai saksi sekalipun dengan perbedaan-perbedaan tertentu. b.

Tatacara pemeriksaan saksi ahli:

1. Insiatif untuk menghadiri saksi ahli dapat diusulkan oleh pihak yang bekepentingan atau atas perintah hakim karena jabatannya.

- 17 -

2. Hakimlah yang berwenang mempertimbangkan dan menetapkan perlu tidaknya menghadirkan saksi ahli 3. Perintah menghadirkan saksi ahli itu dicatat dalam berita acara persidangan 4. Saksi ahli ditunjukan oleh hakim atau oleh pihak yang bekepentingan dengan persetujuan hakim 5. Apabila saksi ahli yang ditunjukan berhalangan untuk memberikan pendapatnya karena sebab apapun dapat dditunjukan saksi ahli yang lain sebagai ganti 6. Hakim menetapkan hari siding untuk mendengar keterangan ahli 7. Saksi ahli yang ditunjukan dapat

dihadirkan oleh pihak yang

berkepentingan atau dipanggil secara resmi oleh jurusita/jurusita pengganti atas perintah hakim yang dicatat dalam BAP, supaya hadir dalam siding yang telah ditetapkan. 8. Dalam siding yang telah ditentukan itu, saksi ahli menghadiri siding dan memberikan keteranagn baik lisan maupun tulisan. 9. dan lain-lain. 8.

Pembukuan (pasal 167 HIR)

Pasal 167 HIR, pasal 296 RBg. Menyatakan bahwa hakim bebas memberikan kekuatan pembuktian untuk keuntungan seseorrang kepada pembukuannya yang dalam hal khusus dipandang patut. Ketentuan ini menyimpang dari prinsip bahwa tulisan seseorang tidak dapat memberikan keuntungan bagi dirisendiri. Dalam pasal

ini dikatakan bahwa hakim oleh

(bebas) untuk menerima dan memberi kekuatan bukti yang menguntungkan bagi si pembuat suatu pembukuan. Contoh: seorang penggugat menggugat kepada lawan (tergugat) untuk melunasi hutangnya, kemudian tergugat menyatakan bahwa hutangnya sudah lunas, lalu penggugat menunukkan pembukuan debit-kridit terhadap tergugat dimana ada pengeluaran pinjaman. Dalam hal ini hakim dapat menerima pembukuan itu sebagai bukti yang menguntungkan penggugat.

- 18 -

9.

Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

Pasal

178:1

HIR

mewajibkan

hakim

karena

jabatannya

waktu

bermusyawarrah mencukupkan segala alasan hukum, yang tidak dikemukakan oleh kedua belah pihak. Hakim sebagai organ pengadilan dianggap mengetahui hukum. Pencari keadilan dating untuk memohon keadilan. Andaikata ia tidak menemukan hukum tertulis, ia wajib menggali hukum tidak tertulius untuk memutus

berdasarkan

hukum

sebagai

orang

yang

bijaksana

dan

bertanggungjawab penuh kepada tuhan yang maha esa, diri sendiri, masyarakat bangsa dan Negara (pasal 14 UU No.14/1970 dan penjelasannya). Pengetahuan Hakim di bidang hukum keadilan itulah yang dicari para pencari keadilan. Selain hal tersebut, pengetahuan hakim mengenal fakta dan pristiwa dalam kasus yang dihadapinya merupakan dasar untuk menjatuhkan putusan dengan menerapkan hukum ia ketahui itu. Pengetahuan hakim yang diperoleh dalam persidangan, yakni apa yang dilihat, didengar, dan disaksikan oleh hakim dalam persidangan merupakan ukti agi peristiwa yang disengketakan. Minsalnya, sikap, perlakuan, emosional, dan tindakan para pihak serta pernyataannya du dalam siding akan menjai bukti bagi hakim dalam memutus perkara. Tetapi pengetahuan hakim mengenai para pihak yang diperoleh diluarr persidangan tidak dapat dijadikan bukti di dalam memutuskan persidangan.

- 19 -

BAB III KESIMPULAN DAN SARAN A.

Kesimpulan Pembuktian adalah menyakinkan hakim tentang kebenaran dalil-dalil

yang dikemukakan didalam suatu perkara yang sedang dipersengketakan di muka pengadilan, atau yang diperiksa oleh hakim. Macam-macam alat bukti :  Bukti Tulisan  Bukti dengan Saksi-saksi  Persangkaan-persangkaan  Pengakuan dan  Sumpah  Pemeriksaan ditempat (pasal 153)  Saksi ahli (pasal 154 HIR)

B.



Pembukuan (pasal 167 HIR)



Pengetahuan Hakim (pasal 178 (1) HIR, UU-MA No. 14/1985)

Saran Mengingat keterbatasan pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki

oleh penyusun, maka untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendasar dan luas lagi disarankan kepada pembaca untuk membaca referensi-referensi lain yang lebih baik.

- 20 -

DAFTAR PUSTAKA

Rasyid, R. A. (1998). Hukum Acara Peradilan Agama. Jakarta: PT. raja Grafindo Persada.

Manan Abdul, (2000). Penerapan Hukum Acara Perdata si Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta : yayasan Al Hikmah

Mukti Arto, (1996) . Praktek Perkara Perdata Pada Pengadilan Agama. Yogyakarta : Pustaka Pelajar

Soebekti, (1977). Hukum Acara Perdata. Bandung : BPHN, Bina Cipta

Soeparmono, (2000). Hukum Acara Perdata dan Yurisprudensi. Bandung : Mandar Maju

Supomo, (1958). Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri. Jakarta : fasco

iv

More Documents from "Muhammad Rizal Tamtomi"