Pembahasan.docx

  • Uploaded by: Nalia Resi
  • 0
  • 0
  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pembahasan.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 8,172
  • Pages: 37
BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Sistem kekebalan tubuh sangat mendasar peranannya bagi kesehatan, tentunya harus disertai dengan pola makan sehat, cukup berolahraga, dan terhindar dari masuknya senyawa beracun hadir dalam tubuh, maka harus segera di keluarkan. Kondisi sistem kekebalan tubuh menentukan kualitas hidup.dalam tubuh yang sehat terdapat sistem kekebalan tubuh yang kuat sehingga daya tahan tubuh terhadap penyakit juga prima. Pada bayi ysng baru, pembentukan sistem kekebalan tubuhnya belum sempurna dan memerlukan ASI yang membawa sistem kekebalan tubuh sang ibu untuk membantu daya tahan tubuh bayi. Semakin dewasa, sistem kekebalan tubuhnya secara alami menurun. Itulah sebabnya timbul penyakit degeneratif atau penyakit penuaan. Pola hidup modern menuntut segala sesuatu dilakukan serba cepat dan instan. Sarapan di dalam kendaraan, makan siang serba tergesa, dan malam karena kelelahan tidak ada nafsu makan. Belum lagi kualitas makanan yang dikomsumsi, polusi udara, kurang berolahraga, dan stress. Apabila terus berlanjut, daya tahan tubuh akan menurun, lesu, cepat lelah, dan mudah terserang penyakit. Karena itu banyak orang yang masih muda mengidap penyakit degeneratif. Kondisi stress dan pola hidup modern sarat polusi, diet tidak seimbang, dan kelelahan menurunkan daya tahan tubuh sehingga memerlukan kecukupan antibodi. Gejala menurunnya daya tahan tubuh sering kali terabaikan sehingga timbul berbagai penyakit infeksi, penuaan dini pada usia produktif.

B. Rumusan masalah. 1. Bagaimana sejarah imunologi? 2. Apa pengertian imunologi? 3. Apa fungsi sistem imun? 4. Bagaimana respon imun? 5. Apa saja jenis-jenis imun?

1

6. Apa yang dimaksud dengan antigen dan antibody? 7. Apa yang dimaksud sistem komplemen? 8. Apa saja sel-sel sistem imun? 9. Bagaimana reaksi hipersensitivitas?

C. Tujuan 1. Untuk mengetahui bagaimana sejarah imunologi 2. Untuk mengetahui pengertian imunologi 3. Untuk mengetahui fungsi sistem imun 4. Untuk mengetahui bagaimana respon imun 5. Untuk mengetahui apa saja jenis-jenis imun 6. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan antigen dan antibodi 7. Untuk mengetahui apa yang dimaksud sistem komplemen 8. Untuk mengetahui apa saja sel-sel sistem imun 9. Untuk mengetahui bagaimana reaksi hipersensitivitas.

2

BAB II TINJAUAN TEORI A. Sejarah imunologi. Pada mulanya imunologi merupakan cabang mikrobiologi yang mempelajari respons tubuh, terutama respons kekebalan, terhadap penyakit infeksi. Pada tahun 1546, Girolamo Fracastoro mengajukan teori kontagion yang menyatakan bahwa pada penyakit infeksi terdapat suatu zat yang dapat memindahkan penyakit tersebut dari satu individu ke individu lain, tetapi zat tersebut sangat kecil sehingga tidak dapat dilihat dengan mata dan pada waktu itu belum dapat didentifikasi.

1. Edwar Jenner. Pada tahun 1798, Edwar Jenner mengamati bahwa seseorang dapat terhindar dari infeksi variola secara alamiah, bila ia telah terpajan sebelumnya dengan cacar sapi (cow pox). Sejak saat itu, mulai dipakailah vaksin cacar walaupun pada waktu itu belum diketahui bagaimana mekanisme yang sebenarnya terjadi. Memang imunologi tidak akan maju bila tidak di iringi dengan kemajuan dalam bidang teknologi, terutama teknologi kedokteran. Dengan ditemukannya mikroskop maka kemajuan dalam bidang mikrobiologi meningkat dan mulai dapat ditelusuri penyebab penyakit infeksi. Penelitian ilmiah mengenai imunologi baru dimulai setelah Louis Pasteur pada tahun 1880 menemukan penyebab penyakit infeksi dan dapat membiak mikroorganisme serta menetapkan teori kuman (germ theory) penyakit. Penemuan ini kemudian dilanjutkan dengan diperolehnya vaksin rabies pada manusia tahun 1885. Hasil karya pasteur ini kemudia merupakan dasar perkembangan vaksin selanjutnya yang merupakan pencapaian gemilang dibidang imunologi yang memberi dampak positif pada penurunan morbilitas dan mortalitas penyakit infeksi pada anak.

2. Robert koch. Pada tahun 1880, Rober Koch menemukan kuman penyebab penyakit tuberkulosis. Dalam rangka mencari vaksin terhadap tuberkolosis ini, ia mengamati adanya reaksi

3

tuberkulin (1891) yang merupakan reaksi hipersensitivitas lambat pada kulit terhadap kuman tuberkulosis. Reaksi tuberkulin ini kemudia oleh Mantoux (1908) dipakai untuk mendiagnosis penyakit tuberkulosis pada anak. Imunologi mulai dipakai untuk menegakkan diagnosis penyakit pada anak. Vaksin terhadap tuberkulosis ditemukan pada tahun 1921 oleh Calmette dan Guerin yang dikenal dengan vaksin BCG (bacillus Calmette-guerin). Kemudian diketahui bahwa tidak hanya mikroorganisme hidup yang dapat menimbulkan kekebalan, bahan yang tidak hidup pun dapat menginduksi kekebalan.

3. Alexander Yersin Dan Roux Setelah Roux dan Yersin menemukan toksin difteri pada tahun 1885, Von Behring dan Kitasato menemukan antitoksin differi pada binatang (1890). Sejak itu dimulailah pengobatan dengan serum kebal yang diperoleh dari kuda dan imunologi diterapkan dalam pengobatan penyakit infeksi pada anak. Pengobatan dengan serum kebal ini dikemudian hari berkembang menjadi pengobatan dengan imunoglobulin spesifik atau globulin gama yang diperoleh dari manusia.

4. Clemens von pirquet. Dengan pemakaian serum kebal, muncullah secara klinis kelainan akibat pemberian serum ini. Dua orang dokter anak, Clemens Von Pirquet dari Austria dan Bela Shick dari Hongaria melaporkan pada tahun 1905, bahwa anak yang mendapat suntikkan serum kebal berasal dari kuda terkadang menderita panas, pembesaran kelenjar, dan eritema yang dinamakan penyakit serum (serum sickness). Selain itu peneliti perancis, Charles Richet dan Paul Portier (1901) menemukan bahwa reaksi kekebalan yang diharapkan timbul dengan menyuntikkan zat toksin pada anjing tidak terjadi, bahkan yang terjadi adalah keadaan sebaliknya yaitu kematian sehingga dinamakan dengan istilah anafilaksis (tanpa pencegahan). Mulailah imunologi dilibatkan dalam reaksi lain dari kekebalan akibat pemberian toksin atau antitoksin. Clemens Von Pirquet dari Austria (1906) memakai istilah reaksi alergi untuk reaksi imunologi ini. Pada tahun 1873 Charles Blackley mempelajari penyakit hay fever, yaitu penyakit dengan gejala

4

pada klinis konjungtivitas dan rinitis, serta melihat bahwa ada hubungan antara penyakit ini dengan serbuk sari (pollen). Oleh Wolf Eisner (1906) dan Meltzer (1910), penyakit ini dinamakan anafilaksis pada manusia (human anaphylaxis). Pada tahun 1911-1914, Noon dan Freeman mencoba mengobati penyakit hay fever dengan cara terapi imun yaitu menyuntikkan serbuk sari subkutan sedikit demi sedikit. Dasarnya pada waktu itu dianggap bahwa serbuk sari mengeluarkan toksin, dengan harapan agar terbentuk antitoksin netralisasi. Sejak itu cara tersebut masih dipakai untuk mengobati penyakit alergi terhadap antigen tertentu yang dikenal dengan cara desensitilasi. Akan tetapi mekanisme yangs ekarang dianut adalah berdasarkan pembentukan antibodi penghambat (blocking antibody). Dengan penemuan reaksi tuberkulin, Schloss (1912) dan Von Pirquet (1915) melakukan uji gores (scratch test) pada kulit untuk diagnosis penyakit alergi pada anak. Talbot (1914), seorang dokter anak, dengan uji gores melihat adanya hubungan antara asma anak dengan telur. Cooke (1915) memodifikasi uji gores dengan uji intrakutan, dan melaporkan juga bahwa faktor keturunan memegang peranan pada penyakit alergi. Pada tahun 1931, Shcik juga memperkenalkan uji kulit untuk menentukan kepekaan seoseorang terhadap kuman difteri, sehingga makin banyak fenomena imun diterapkan dalam uji diagnostik penyakit anak. Pada tahun 1923, Cooke dan Coca mengajukan konsep atopi (Strange disease) terhadap sekumpulan penyakit alergi yang secara klinis mempunyai manifesti sebagai hay fever, asma, dermatitis, dan mempunyai predisposisi diturunkan. Mulailah ilmu alergi-imunologi diterapkan dalam kelainan dan penelitian dibidang alergi klinis. Rackrmann (1918) melihat bahwa sebagian besar asma pada anak mempunyai dasaralergi dan dinamakan asma tipe ekstrinsik. Prausnitz dan Kustner (1921) menyatakan bahjwa zat yang menimbulkan sensitisasi kulit pada uji dapat di transfer melalui serum penderita. Memang pada waktu itu mekanisme alergi yang tepat belum diketahui. Kini berkat penelitian yang telah dilakukan, proses selular dan moleskular yang terjadi pada penyakit alergi dapat dijabarkan. Berbagai macam bentuk kelainan klinis berdasarkan reaksi alergi-imonologi makin banyak ditemukan, terutama dengan bertambah banyaknya obat yang dipakai untuk pengobatan dan diagnosis penyakit.

5

Dengan ditemukannya komplemen oleh Bordet (1894), uji diagnostik yang memakai fenomena imun berkembang lagi dengan uji fiksasi komplemen (1901), seperti pada penyakit sifilis. Pada tahun 1896, Widal secara in vitro mendemonstrasikan bahwa serum penderita demam tifoid dapat mengaglutinasi basil tifoid. Setelah Landsteiner (1900) menemukan golongan darah ABO, dan disusul dengan dengan golongan darah rhesus oleh levine dan Stenson (1940), maka kelainan klinis berdasarkan reaksi imun semakin dikenal. Pada masa itu, fenomena imun yang terjadi baru dapat dijabarklan dengan istilah imunologi saha. Baru pada tahun 1939, 141 tahun setelah penemuan Jenner, Tidelius dan Kabat menemukan secara elektroforesis bahwa antibodi terletak dalam spektrum globulin gama yang kemudian dinamakan imunoglobulin (Ig). Dengan cara imunoelektroforesis diketahui bahwa imunoglobulin terdiri atas lima (5) kelas yang di beri nama IgA, IgG, IgM, IgD dan IgE (WHO, 1964), dan kemudian diketahui bahwa masing-masing kelas tersebut mempunyai subkelas. Pada tahun 1959 Porter dan Edelman menemukan struktur imunoglobulin, dan tahun 1969 Edelman pertama kali melaporankan urutan asam amino molekul imunoglobulin yang lengkap. Reagin, yaitu faktor yang dianggap berpera pada penyakit alergi, baru ditemukan strukturnya oleh Kimishige dan Teneko Ishizaka pada tahun 1967 dan merupakan kelas imunoglobulin E (IgE). Sekarang banyak penelitian dilakukan mengenai regulasi sintesis IgE, dengan harapan dapat menerapkannya dalam mengendalikan penyakit atopi.

5. Metchnikoff. Pada tahun 1883, Metchnikoff sebenarnya telah mengatakan bahwa perubahan tubuh tidak saja diperankan oleh faktor humoral, tetapi leukosit juga berperan dalam pertahanan tubuh terhadap penyakit infeksi. Pada waktu itu peran leukosit baru dikenal fungsi fagositosisnya. Beliaulah yang menemukan sel makrofag. Sekarang kita mengetahui bahwa sel makrofag aktif berperan pada imunitas selular untuk eliminasi antigen. Baru pada tahun 1964, Cooper dan Good dari penelitiannya pada ayam menyatakan bahwa sistem limfosit terdiri atas dua (2), yaitu populasi yang perkembangannya bergantung pada timus dan dinamakan limfosit T, serta populasi

6

yang perkembangannya bergantung pada bursa fabricius dan dinamakan limfosit B. Tetapi pada waktu itu belum dapat dibedakan antara limfosit T dan limfosit B. Limfosit T berperan dalam hipersensitivitas lambat pada kulit dan penolakan jaringan, sedangkan limfosit B dalam produktif antobodi.

B. Pengertian imunologi. Imunologi adalah imu yang mencakup kajian mengenai semua aspek sistem imun (kekebalann) pada semua organisme. Imunologi memiliki berbagai penerapan pada berbagai disiplin ilmu dan karenannya dipecah menjadi beberapa subdisiplin seperti : malfungsi sistem imun pada gangguan imunologi (penyakit autoimun, hipersensitivitas, defisiensi imun, penolakan allograft); karakteristik fisik, kimiawi, dan fisiologi komponen-komponen sistem imun. Imunologi juga dikatakan sebagai suatu bidang ilmu yang meliputi penelitian dasar dan penerapan klinis, membahas masalah antigen, antibodi, dan fungsi-fungsi berperantara sel terutama yang berhubungan dengan imunitas terhadap penyakit, reaksi biologik yang bersifat hipersensitif, alergi dan penolakan jaringan asing.

C. Sistem imun sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabbkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sitem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatnya resiko terkena beberapa jenis kanker.

7

D. Fungsi sistem imun. Melindungi tubuh dari invasi penyebab penyakit dengan menghancurkan dan menghilangkan mikroorganisme atau substansi asing (bakteri, parasit, jamur, dan virus, serta tumor) yang masuk kedalam tubuh, menghilangkan jaringan atau sel yang mati atau rusak untuk perbaikan jaringan, mengenali dan menghilangkan sel yang abnormal. Dan sasaran utama yaitu bakteri patogen dan virus. Leukosit merupakan sel imun utama (disamping sel plasma, makrofag, dan sel mati).

E. Respons imun. Tahap : Deteksi dan mengenali benda asing, komunikasi dengan sel lain unytuk berespons, rekruitmen bantuan dan koordinasi respons dan estruksi atau supresi penginvasi.

F. Jenis-jenis sistem imun. 1. Sistem imun nonspesifik , natural atau sudah ada dalam tubuh (pembawaan). Merupakan pertahanan tubuh terdepan dalam melawan mikroorganisme. Disebut nonspesifik karena tidak ditujukan terhadap mikroorganisme tertentu. a) Pertahanan fisik/mekanik. Kulit, selaput lendir, silia saluran pernafasan, batuk, bersin akan mencegah masuknya berbagai kuman patogen kedalam tubub. Kulit yang rusak misalnya oleh luka bakar dan selaput lendir yang rusak oleh asap rokok akan meninggalkan resiko infeksi. b) Pertahanan biokimia. Bahan yang disekeresi mukosa saluran napas, kelenjar sebaseus kulit, sel kulit, telinga, spermin dalam semen, mengandung bahan yang berperan dalam pertahanan tubuh secara biokimiawi. Asam HCL dalm cairan lambung, lisozim dalam keringat, ludah, air mata dan air susu dapat nelindungi

tubuh

terhadap

berbagai

kuman

gram

positif

dengan

menghancurkan dinding selnya. Air susu ibu juga mengandung laktoferin

8

dan asam neuraminik yang mempunyai sifat antibacterial terhadap E. Coli dan staphylococcus. Lisozim yang dilepas oleh makrofag dapat menghancurkan kuman gram negatif dan hal tersebut diperkuat oleh komplemen. Laktoferin dan transferin dalam serum dapat mengikat zat besi yang dibutuhkan untuk kehidupan kuman pseodomonas. c) Pertahanan humoral. Berbagai bahan dalam sirkulasi berperan pada pertahanan tubuh secara humoral. Bahan-bahan tersebut adalah : 

Komplemen Komplemen mengaktifkan fagosit dan membantu destruktif bakteri dan parasit karena komplemen dapat menghancurkan sel membran bakteri merupakan faktor kemotaktik yang mengarahkan makrofag ketempat bakteri. Komponen komponen lain yang mengendap pada permukaan bakteri memudahkan makrofag untuk mengenal dan memfagositosis (opsonisasi).



Interferon. Adalah suatu glikoprotein yang dihasilkan oleh berbagai sel manusia yang mengandung nukleus dan dilepaskan sebagai respons terhadao infeksi virus. Interveron mempunyai sifat antivirus dengan jalan menginduksi sel-sel sekitar sel yang terinfeksi virus sehingga menjadi resisten terhadap virus. Disamping itu, interveron juga dapat mengaktifkan natural killer cell(sel NK). Sel yang yang terinfeksi virus atau menjadi ganas akan menunjukkan perubahan pada permukaannya. Perubahan tersebut akan dikenal oleh sel NK yang kemudia membunuhnya. Dengan demikian penyebaran virus dapat di cegah.



C-Reactive Protein (CRP)

9

Peranan CRP adalah sebagai opsonim dan dapat mengaktifkan komplemen. CRP dibentuk oleh badan pada saat infeksi. CRP merupakan protein yang kadarnya cepat meningkat (100 x atau lebih) setelah infeksi atau inflamasi akut. CRP berperanan pada imunitas nonspesifik, karena dengan bantuan Ca++ dapat mengikat berbagai molekul yang terdapat pada banyak banteri dan jamur. d) Pertahanan seluler. Fagosit/makrofag dan sel NK berperanan dalam sistem imun nonspesifik selluler. 

Fagosit. Meskipun berbagai sel dalam tubuh dapat melakukan fagositosis tetapi sel utama yang berperan dalam peertahanan non spesifik adalah sel mononuclear (monosit dan makrofag) serta sel polimorfonuklear seperti netrofil. Dalam kerjanya sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik. Penghancuran kuman terjadi dalam beberapa tingkat sebagai berikut : Kemotaksis, menangkap, memakan (fagositosis), membunuh dan mencerna. Kemotaksis adalah gerakan fagosit ketempat infeksi sebagai respon terhadap berbagai factor seperti produk bakteri dan factor biokimiawi yang dilepas pada aktivitasi komplemen. Antibody seperti pada halnya dengan komplemen C3b dapat meningkatkan fagositosis (opsonisasi). Antigen yang diikat antibody akan lebih mudah dikenal oleh fagosit untuk kemudian dihancurkan. Hal tersebut dimungkinkan oleh adanya reseptor untuk fraksi Fc dari immunoglobulin pada permukaan fagosit.



Natural killer cell (sel NK)

10

Sel NK adalah sel limfosid yang ditemukan dalam sirkulasi dan tidak mempunyai ciri sel limfoid dari sistem imun spesifik, maka karena itu disebut sel non B non T (sel NBNT) atau sel populasi ketiga. Sel NK dapat menghancurkan sel yang mengandung virus atau sel neoplasma dan interveron mempunyai pengaruh dalam mempercepat pematangan dan efeksitolitik sel NK.

2. Sistem imun spesifik atau adaptasi. Mempunyai kemampuan untuk mengenal benda asing. Benda asing yang pertama kali muncul dikenal oleh sistem imun spesifik sehingga terjadi sensitiasi sel-sel imun tersebut, bila sel imun tersebut berpapasan kembali dengan benda asing yang sama, maka benda asing yang terakhir ini akan dikenal lebih cepat, kemudian akan dihancurkan olehnya. Oleh karena sistem tersebut hanya menghancurkan benda asing yang sudah dikenal sebelumnya, maka sistem itu disebut spesifik. Sistem imun spesifik dapat bekerja sendiri untuk menghancurkan benda asing yang berbahaya, tetapi umumnya terjalin kerjasama yang baik antara antibodi, komplemen, fagosit dan antara sel T makrofag. Sistem imun spesifik ada dua (2), yaitu : a) Sistem imun spesifik humoral. Yang berperan dalam sistem imun humoral adalah limfosid B dan sel B. Sel B tersebut berasal dari sel asal multipoten. Bila sel B dirangsang oleh benda asing maka sel tersebut akan berproliferasi dan berkembang menjadi sel plasma yang dapat membentuk zat anti atau antiboy. Antibody yang dilepas dapat ditemukan didalam serum. Fungsi utama antibodi ini adalah untuk pertahanan terhadap infeksi virus, bakteri (ekstraseluler), dan dapat menetralkan toksinnya. b) Sistem imun spesifik selular. Yang berperan dalam sistem imun spesifik seluler adalah limfosid T atau sel T. Sel tersebut juga berasal dari sel asal yang sama dari sel B. Factor timus

11

yang disebut timosin dapat ditemukan dalam peredaran darah sebagai hormon asli dan dapat memberikan pengaruhnya terhadap diferensiasi sel T diferer. Berbeda dengan sel B, sel T terdiri atas beberapa sel subset yang mempunyai fungsi kelainan. Fungsi utama sel imun spesifik adalah untuk pertahanan terhadap bakteri yang hidup intraseluler, virus, jamur, parasit, dan keganasan.

Imunitas spesifik dapat terjadi sebagai berikut : a) Alamiah 

Pasif. Imunitas alamiah pasif ialah pemindahan antibody atau sel darah putih yang disensitisasi dari badan seorang yang imun keorang lain yang imun, misalnya melalui plasenta dan kolostrum dari ibu ke anak.



Aktif. Imunitas alamiah aktif dapat terjadi bila suatu mikroorganisme secara

alamiah

masuk

kedalam

tubuh

dan

menimbulkan

pembentukan antibodi atau sel yang tersensitisasi. b) Buatan 

Pasif Imunitas buatan pasif dilakukan dengan memberikan serum, antibody, antitoksin misalnya pada tetanus, difteri, gangrengas, gigitan ular dan difesiensi imun atau pemberian sel yang sudah disensitisasi pada tuberkolosis dan hepar.



Aktif. Imunitas buatan aktif dapat ditimbulkan dengan vaksinasi melalui pemberian toksoid tetanus, antigen mikroorganisme baik yang mati maupun yang hidup.

12

G. Antigen dan antibodi 1. Antigen a) Pengertian. Antigen molekul asing yang dapat menimbulkan respon imun spesifik dari limfosid pada manusia dan hewan. Antigen meliputi molekul yang dimiliki virus, bakteri, fungi, protozoa dan cacing parasit. Molekul antigenic juga ditemukan pada permukaan zat-zat asing seperti serbuk sari dan jaringan yang dicangkokan. Sel B dan sel T terspesialisasi bagi jenis antigen yang berlainan dan melakukan aktivitas pertahanan yang berbeda namun saling melengkapi.

b) Letak antigen. Antigen ditemukan dipermukaan seluruh sel, tetapi dalam keadaan normal, sistem kekebalan seseorang tidak bereaksi terhadap selnya sendiri, sehingga dapat dikatakan antigen merupakan sebuah zat yang menstimulasi tanggapan imun, terutama dalam produksi antibodi. Antigen biasanya protein atau polisakarida, tetapi dapat juga berupa molekul lainnya. Permukaan bakteri mengandung banyak protein dan polisakarida yang bersifat antigen, sehingga antigen bisa merupakan bakteri, virus, protein, karbohidrat, sel-sel kanker, dan racun.

c) Karakteristik. Karakteristik antigen yang sangat menentukan imunogenitas respon imun adalah sebagai berikut : 

Asing (berbeda dari self) Pada umumnya, molekul yang dikenal sebagai self tidak bersifat imunogenik, jadi untuk menimbulkan respon imun, molekul harus dikenal sebagai nonself.



Ukuran molekul. Immunogen yang paling poten biasanya merupakan protein berukuran besar. Molekul dengan berat molekul kurang dari 10.000

13

kurang bersifat immunogenik dan berukuran sangat kecil seperti asam amino tidak bersifat immonogenik. 

Kompleksitas kimiawi dan struktural. Jumlah tertentu kompleksitas kimiawi sangat diperlukan, misalnya homopolimer asam amino kurang bersifat munogenik dibandingkan dengan heteropolimer yang mengandung dan atau tiga asam amino yang berbeda.



Determinan antigenic (epitop) Unit terkecil dari antigen kompleks yang dapat diikat antibody disebut dengan determinan antigenic atau epitop. Antigen dapat mempunyai

satu

atau

lebih

determinan.

Suatu

determinan

mempunyai ukuran lima asam amino atau gula. 

Tatanan genetic penjamu Dua streain binatang dari spesies yang sama dapat merespon secara berbeda terhadao antigen yang sama karena perbedaan komposisi gen respon imun.



Dosis, cara dan waktu pemberian antigen. Respon imun tergantung kepada banyaknya natigen yang diberikan, maka respon imun tersebut dapat dioptimalkan dengan cara menentukan dosis sntigen dengan cermat (termasuk jumlah dosis), cara pemberian dan waktu pemberian (temasuk interval diantara dosis yang diberikan).

d) Pembagian antigen. Secara fungsional immonogen, yaitu molekul besar (disebut molekul pembawa). Hapten, yaitu kompleks yang terdiri atas molekul kecil. Pembagian antigen menurut epitop : 

Unideterminan, univalent yaitu hanya satu jenis determinan atau epitop pada satu molekul.

14



Unideterminan, multivalent yaitu hanya satu determinan tetapi dua atau lebih determinan tersebut ditemukan pada satu molekul.



Multideterminan, univalent yaitu banyak epitop yang bermacammacam tetapi hanya satu dari setiap macamnya (kebanyakan protein).



Multideterminan, multivalent yaitu banyak macam determinan dan banyak dari setiap macam pada satu molekul (antigen dengan berat molekul yang tinggi dan kompleks secara kimiawi)

Pembagian antigen menurut spesifisis : 

Heteroantigen, yaitu antigen yang terdapat pada jaringan dari spesies yang berbeda.



Xenoantigen yaitu antigen yang hanya dimiliki spesies tertentu.



Alloantigen (isoantigen) yaitu antigen yang spesifik untuk indovidu dalam satu spesies.



Antigen organ spesifik, yaitu antigen yang dimiliki oleh organ yang sama dari spesies yang berbeda.



Autoantigen, yaitu antigen yang dimiliki oleh alat tubuh sendiri.

Pembagian antigen menurut ketergantungan terhadap sel T : 

T dependent yaitu antigen yang memerlukan pengenalan oleh sel T dan sel B untuk dapat menimbulkan respons antibodi. Sebagai contoh adalah antigen protein.



T independent yaitu antigen yang dapat merangsang sel B tanpa bantuan sel untuk membentuk antibodi. Antigen tersebut berupa molekul besar polimerik yang dipecah didalam badan secara perlahan-lahan, misalnya lipoposakarida, ficoll, polimerik bakteri.

Pembagian antigen menurut sifat kimiawi :

15



Hidrat arang (polisakarida) Hidrat arang pada umumnya immunogenik. Glikoprotein dapat menimbulkan respon imun terutama pembentukan antibodi. Respon imun yang ditimbulkan golongan darah ABO, mempunyai sifat antigen dan spesifisitas imun yang berasal dari polisakarida pada permukaan sel darah merah.



Lipid. Lipid biasanya tidak imunogenik, tetapi menjadi imunogeni bila diikat oleh protein carrier. Lipid dianggap sebagai hapten, sebagai contoh adalah sphingolipid.



Protein. Kebanyakan protein adalah imunogenik dan pada umumnya multideterminan univalet.

e) Reaksi antigen dan antibodi. Dalam lingkungan sekitar kita terdapat banyak substansi bermolekul kecil yang bisa masuk kedalam tubuh. Substansi kecil tersebut bisa menjadi antigen bila dia melekat pada protein tubuh kita yang dikenal denga istilah hapten. Substansi-substansi tersebut lolos dari barier respon non spesifik (eksternal maupu internal), kemudia substansi tersebut masuk dan berkaitan dengan sel limfosid B yang akan mensintesis pembentukan antibody. Sebelum pertemuan pertamanya dengan sebuah antigen, sel-sel B mengahasilkan molekul immunoglobulin IgM dan IgD yang tergabung pada membran plasma untuk berfungsi sebagai reseptor antigen. Sebuah antigen merangsang sel untuk membuat dan menyisipkan dalam membrannya molekul immunoglobulin yang memiliki daerah pengenalan spesifik untuk antigen itu. Setelah itu, limfosid harus membentuk immunoglobulin untuk antigen yang sama. Pemaparan kedua kali terhadao antigen yang sama memicu respon imun skunder yang segera terjadi dan meningkatkan titer antibodi yang beredar sebanyak 10-100 kali kadar sebelumnya. Sifat molekul antigen yang

16

memungkinkan bereaksi dengan antibodi disebut antigenesitas. Kesanggupan molekul antigen untuk menginduksi respon imun disebut imunogenitas. Terdapat berbagai kategori interaksi antigen-antibodi, kategori tersebut antara lain : 

Primer. Interaksi tingkat primer adalah saat kejadian awal terikatnya antigen dengan antibodi pada situs identik yang kecil, bernama epitop.



Netralisasi. Adalah jika antibodi secara fisik dapat menghalangi sebagian antigen menimbulkan effect yang merugikan. Contohnya adalah dengan mengikat toksin bakteri, antibody mencegah zat kimia ini berinteraksi dengan sel yang rentan.



Alguntinasi Adalah jika sel-sel asing yang masuk, misalnya bakteri atau transfusi darah yang tidak cocok berikatan bersama-sama membentuk gumpalan.



Presipitasi Adalah kompleks antigen-antibodi

yang terbentuk terbentuk

berukuran terlalu besar, sehingga tidak dapat bertahan untuk terus berada di larutan dan akhirnya mengendap. 

Fagositosis. Adalah jika bagian ekor antibodi yang berikatan dengan antigen mampu mengikat reseptor fagosit (sel penghancur) sehingga memudahkan fagositosis korban yang mengandung antigen tersebut.



Sitotoksis. Adalah saat pengikatan antibodi ke antigen juga menginduksi serangan sel pembawa antigen oleh killer cell (sel K). Sel K serupa dengan natural killer cell kecuali bahwa sel K mensyaratkan sel sasaran dilapisi oleh antibodi sebelum dapat dihancurkan melalui proses lisis membran plasmanya.

17



Tersier. Interaksi tingkat tersier adalah munculnya tanda-tanda biologik dari interaksi antigen-antibodi yang dapat berguna atau merusak bagi penderitanya.

2. Antibodi. a) Pengertian. Antibodi adalah protein immonoglobulin yang disekresi oleh sel B yang teraktifitasi oleh antigen. Antibodi merupakan senjata yang tersusun dari protein dan dibentuk untuk melawan sel-sel asing yang masuk ketubuh manusia. Senjata ini diproduksi oleh sel-sel B, sekelompok prajurit pejuang dalam sistem kekebalan. Antibodi akan menghancurkan musuh-musuh penyerbu.

b) Fungsi. Untuk mengikatkan

diri kepada sel-sel musuh, yaitu antigen. Membusukkan

struktur biologi antigen tersebut lalu menghancurkannya.

c) Sifat antibodi. Antibodi mempunyai sifat yang sangat luar biasa, karena untuk membuat antibodi spesifik untuk masing-masing musuh merupakan proses yang luar biasa, dan pantas dicermati. Proses ini dapat terwujud hanya jika sel-sel B mengenal struktur musuhnya dengan baik. Dan, dialam ini terdapat jutaan musuh (antigen). Dia mengetahui polanya berdasarkan perasaan. Sulit bagi seseorang untuk mengingat pola kunci, walau Cuma satu, akan tetapi, satu sel B yang sedemikian kecil untuk dapat dilihat oleh mata, menyimpan jutaan bit informasi dalam memorinya , dan dengan sadar menggunakannya dalam kombinasi yang tepat.

d) Proses pembentukan antibodi. Antibodi terbentuk secara alami didalam tubuh manusia dimana substansi tersebut diwariskan dari ibu kejaninnya melalui intraplasenta. Antibody yang dihasilkan pada

18

bayi yang baru lahir titier masih sangat rendah, dan nanti antibody tersebut berkembang sering perkembangan seseorang. Pembentuka antibody karena keterpaparan dengan antigen yang menghasilkan reaksi imunitas, dimana prosesnya adalah : misalnya bakteri salmonella. Saat antigen (bakteri salmonella) masuk kedalam tubuh, maka tubuh akan meresponnya karena itu dianggap sebagai benda asing. Karena bakteri ini sifatnya intraseluler maka dia tidak sanggup untuk dighancurkan dalam makrofag karena bakteri ini juga memproduksi toksin sebagai pertahanantubuh. Oleh karena itu makrofag juga memproduksi APC yang berfungsi mempresentasikan antigen terhadap limfosid. Agar respon imun berlangsung dengan baik. Ada dua limfosit yaitu limfosit B dan limfosit T.

e) Klasifikasi antibodi. 

IgG (imunoglobulin G) IgG merupakan antibodi yang paling umum, dihasilkan hanya dalam waktu beberapa hari, ia memiliki masa hidup berkisar antara beberapa minggu sampai beberapa tahun. igG beredar dalam tubuh dan banyak terdapat pada darah, sistem getah bening, dan usus. Mereka mengikuti aliran darah, langsung menuju musuh dan menghambatnya begitu terdeteksi. Mereka mempunyai efek kuat antibakteri dan penghancur antigen. Mereka melindungi tubuh terhadap bakteri dan virus, serta menetralkan asam yang terkandung dalam racun. Selain itu, igG mampu menyelip diantara sel-sel dan menyingkirkan bakteri serta musuh mikroorganisme yang masuk kedalam sel-sel dan kulit. Karena kemampuannya serta ukurannya yang kecil, mereka dapat masuk kedalam plasenta ibu hamil dan melindungi janin dari kemungkinan infeksi. Jika antibody tidak diciptakan dengan karakteristik yang memungkinkan mereka untuk masuk kedalam plasenta, maka janin dalam rahim tidak akan terlindungi melawan mikroba. Hal ini dapat menyebabkan kematian sebelum

19

lahir. Karena itu, antibody sang ibu akan melindungi embrio dari musuh sampai anak itu lahir. 

igA (imuglobulin A) antibody ini terdapat pada daerah peka tempat tubuh melawan antigen seperti air mata, air liur, ASI, darah, Kantong-kantong udara, lendir, getah lambung, dan sekresi usus. Kepekaan daerah tersebut berhubungan langsung dengan kecenderungan bakteri dan virus yang lebih menyukai media lembab seperti itu. Secara struktur, igA mirip satu sama lain. Mereka mendiami bagian tubuh yang paling mungkin dimasuki

mikroba.

Mereka

menjaga

daerah

itu

dalam

pengawasannya layaknya tentra andal yang ditempatkan untuk melindungi daerah kritis. Antibody ini melindungi janin dari berbagai penyakit pada saat dalam

kandungan.

Setelah

kelahiran,

mereka

tidak

akan

meninggalkan sang bayi, melainkan tetap melindungi nya. Setiap bayi yang baru lahir membutuhkan pertolongan ibunya, karena igA tidak terdapat dalam organisme bayi yang baru lahir. Selama periode ini, igA yang terdapat dalam ASI akan melindungi sistem pencernaan bayi terhadap mikroba. Seperti igG, jenis antibody ini juga akan hilang setelah mereka melaksanakan semua tugasnya, pada saat bayi telah berumur beberapa minggu. 

igM (imuglobulin M) antibody ini terdapat pada darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Pada saat organisme tubuh manusia bertemu dengan antigen, igM merupakan antibody pertama yang dihasilkan tubuh untuk melawan musuh. Janin dalam rahim mampu memproduksi igM pada umur kehamilan enam bulan. Jika musuh menyerang janin, jika janin terinfeksi kuman penyakit, produksi igM janin akan meningkat.

20

Untuk mengetahui apakah janin telah terinfeksi atau tidak, dapat diketahui dari kadar igM dalam darah. 

IgD (imunoglobulin D) IgD juga terdapat dalam darah, getah bening, dan pada permukaan sel B. Mereka tidak mampu untuk bertindak sendiri-sendiri. Dengan menempelkan dirinya pada permukaan sel-sel T, mereka membantu sel T menangkap antigen.



IgE (imunoglobulin E) IgE merupakan antibody yang beredar dalam aliran darah. Antibody ini bertanggung jawab untuk memanggil para prajurit tempur dan sel darah lainnya untuk berperang. Antibody ini kadang juga menimbulkan reaksi alergi pada tubuh, karena itu, kadar IgE tinggi pada tubuh orang yang sedang mengalamu alergi.

H. Sistem komplemen Sistem komplen adalah suatu sistem yang terdiri dari seperangkat kompleks protein yang satu dengan lainnya sangat berbeda. Pada keadaan normal komplemen beredar disirkulasi darah dalam keadaan tidak aktif, yang setiap saat dapat diaktifkan melalui dua jalur yang tidak tergantung satu dengan yang lain, disebut jalur klasik dan jalur alternatif. Aktivasi sistem komplemen menyebabkan interaksi berantai yang menghasilkan berbagai substansi biologic aktif yang diakhiri dengan lisisnya membran sel antigen. Aktivasi sistem komplemen tersebut selain bermamfaat bagi pertahanan tubuh, sebaliknya juga dapat membahayakan bahkan mengakibatkan kematian, hingaa efeknya disebut seperti pisau bermata dua. Bila aktivasi komplemen akibat endapan kompleks antigen-antibody pada jaringan berlangsung terus-menerus, akan terjadi kerusakan jaringan dan dapat menimbulkan penyakit. Komplemen sebagian besar disintesis didalam hepar oleh sel hepatosit, dan juga oleh sel fagosit mononuklear yang berada dalam sirkulasi darah. Komplemen C 1 juga dapat di sintesis oleh sel epitel lain diluar hepar. Komplemen yang dihasilkan oleh sel

21

fagosit monoklear terutama akan disintesis ditempat dan waktu terjadinya ativasi. Sebagaian dari komponen protein komplemen diberi nama dengan huruf C : Clq, Clr, Clr, C2, C3, C4, C5, C6, C7, C8 dan C9 berurutan sesuai dengam urutan penemuan uit tersebut, bukan menurut cara kerjanya. 1. Aktivasi komplemen a) Aktivasi komplemen jalur klasik. Aktivasi komplemen melalui jalur klasik atau disebut pula jalur intrinsik, dibagi menjadi 3 tahap, yaitu : 

Regulasi jalur klasik, terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.



Aktivitas C1 inhibitor Aktivitas proteolitik C1 dihambat oleh C1 inhibitor (C1 INH). Sebagian besar C1 dalam peredaran darah terikat pada C1 INH. Ikatan antara C1 dengan kompleks antigen-antibodi akan melepaskan C1 dari hambatan C1 INH.



Penghambatan C3 konvertase Pembentukan C3 konvertase dihambat oleh beberapa regulator.

b) Aktivasi komplemen jalur alternatif Aktivasi jalur alternatif atau disebut pula jalur properdin, terjadi tanpa melalui tiga reaksi pertama yang terdapat pada jalur klasik (C1 ,C4 dan C2) dan juga tidak memerlukan antibodi IgG dan IgM. Pada keadaan normal ikatan tioester pada C3 diaktifkan terus menerus dalam jumlah yang sedikit baik melalui reaksi dengan H2O2 ataupun dengan sisa enzim proteolitik yang terdapat sedikit di dalam plasma. Komplemen C3 dipecah menjadi frclgmen C3a dan C3b. Fragmen C3b bersama dengan ion Mg++ dan faktor B membentuk C3bB. Fragmen C3bB diaktifkan oleh faktor D menjadi C3bBb yang aktif (C3 konvertase) (Lihat Gambar 5-2). Pada keadaan normal reaksi ini berjalan terus dalam jumlah kecil sehingga tidak terjadi aktivasi komplemen selanjutnya. Lagi pula C3b dapat diinaktivasi oleh faktor H dan faktor I menjadi iC3b,

22

dan selanjutnya dengan pengaruh tripsin zat yang sudah tidak aktif ini dapat dilarutkan dalam plasma (lihat Gambar 5-3 ) . Tetapi bila pada suatu saat ada bahan atau zat yang dapat mengikat dan melindurlgi C3b dan menstabilkan C3bBb sehingga jumlahnya menjadi banyak, maka C3b yang terbentuk dari pemecahan C3 menjadi banyak pula, dan terjadilah aktivasi komplemen selanjutnya. Bahan atau zat tersebut dapat berupa mikroorganisme, polisakarida (endotoksin, zimosan), dan bisa ular. Aktivasi komplemen melalui cara ini dinamakan aktivasi jalur alternatif. Antibodi yang tidak dapat mengaktivasi jalur klasik misalnya IgG4, IgA2 dan IgE juga dapat mengaktifkan komplemen melalui jalur alternatif. Jalur alternatif mulai dapat diaktifkan bila molekul C3b menempel pada sel sasaran. Dengan menempelnya C3b pada permukaan sel sasaran tersebut, maka aktivasi jalur alternatif dimulai; enzim pada permukaan C3Bb akan lebih diaktifkan, untuk selanjutnya akan mengaktifkan C3 dalam jumlah yang besar dan akan menghasilkan C3a dan C3b dalam jumlah yang besar pula. Pada reaksi awal ini suatu protein lain, properdin dapat ikut beraksi menstabilkan C3Bb; oleh karena itu seringkali jalur ini juga disebut sebagai jalur properdin. Juga oleh proses aktivasi ini C3b akan terlindungi dari proses penghancuran oleh faktor H dan faktor I. Tahap akhir jalur alternatif adalah aktivasi yang terjadi setelah lingkaran aktivasi C3. C3b yang dihasilkan dalam jumlah besar akan berikatan pada permukaan membran sel. Komplemen C5 akan berikatan dengan C3b yang berada pada permukaan membran sel dan selanjutnya oleh fragmen C3bBb yang aktif akan dipecah menjadi C5a dan C5b. Reaksi selanjutnya seperti yang terjadi pada jalur altematif (kompleks serangan membran).

2. Efek biologik komplemen. Fungsi sistem komplemen pada pertahanan tubuh dapat dibagi dalam dua golongan besar : 1) lisis sel sasaran oleh kompleks serangan membran, dan 2) sifat biologik aktif fragmen yang terbentuk selama aktivasi.

a) Sitolisis.

23

Pada aktivasi sitolisis ini (kompleks serangan membran) yang berfungsi adalah C5C9. Mekanisme ini sangat penting bagi pertahanan tubuh melawan mikrooorganisme. Proses lisis ini dapat melalui jalur alternatif maupun jalur klasik.

b) Sifat biologik aktif. 

Opsonisasi dan peningkatan fungsi fagositosis. Fagositosis yang diperkuat oleh proses opsonisasi C3b dan iC3b mungkin merupakan mekanisme pertahanan utama terhadap infeksi bakteri dan jamur secara sistemik Fagositosis ini juga lebih meningkat bilamana bakteri disamping berikatan dengan komplemen juga berikatan dengan antibodi IgG atau IgM. Melekatnya antibodi dan fragmen komplemen pada reseptor spesifik yang terdapat pada sel fagosit tidak hanya menyebabkan opsonisasi, tetapi juga memacu untuk terjadinya fagositosis.



Anafilaksis dan kemotaksis. C3a, C4a dan C5a disebut anafilatoksin oleh karena dapat memacu sel mast dan sel basofil untuk melepaskan mediator kimia yang dapat meningkatkan permeabilitas dan kontraksi otot polos vaskular. Reseptor C3a dan C4a terdapat pada permukaan sel mast, sel basofil, otot polos dan limfosit. Reseptor C5a terdapat pada permukaan sel mast, basofil, netrofil, monosit, makrofag, dan sel endotelium. Melekatnya anafilatoksin pada reseptor yang terdapat pada otot polos menyebabkan kontraksi otot polos tersebut. Untuk mekanisme ini C5a adalah yang paling poten dan C4a adalah yang paling lemah. C5a juga mempunyai sifat yang tidak dimiliki oleh C3a dan C4a; oleh karena C5a juga mempunyai reseptor yang spesifik pada permukaan sel-sel fagosit maka C5a dapat menarik sel-sel fagosit tersebut bergerak ke tempat mikroorganisme, benda asing atau jaringan yang rusak; proses ini disebut kemotaksis. Juga setelah

24

melekat C5a dapat merangsang metabolisme oksidatif dari sel fagosit

tersebut

sehingga

dapat

meningkatkan

daya

untuk

memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut. 

Proses peradangan. Kombinasi dari semua fungsi yang tersebut diatas mengakibatkan terkumpulnya sel-sel dan serum protein yang diperlukan untuk terjadinya proses dalam rangka memusnahkan mikroorganisme atau benda asing tersebut; proses ini disebut peradangan.



Pelarutan dan eliminasi kompleks imun. Komplek imun dalam jumlah kecil selalu terbentuk dalam sirkulasi, dan dapat meningkat secara dramatis bilamana terdapat peningkatan antigen.

Kompleks

imun

ini

bilamana

berlebihan

dapat

membahayakan oleh karena dapat mengendap pada dinding pembuluh darah, mengaktivasi komplemen dan menimbulkan kerusakan

jaringan.

Pembentukan

kompleks

imun

bilamana

berlebihan, tidak hanya membutuhkan Fab dari imunoglobulin tetapi juga interaksi dengan Fc. Oleh karena itu pengikatan komplemen pada Fc immunoglobulin suatu kompleks imun dapat membuat ikatan antigen-antibodi yang sudah terbentuk menjadi lemah. Untuk menetralkan terbentuknya kompleks imun yang berlebihan ini, sistem komplemen dapat meningkatkan fungsi fagosit. Fungsi ini terutama oleh reseptor yang terdapat pada permukaan eritrosit. Kompleks imun yang beredar mengaktifkan komplemen dan mengaktifkan fragmen C3b yang menempel pada antigen. Kompleks tersebut akan berikatan dengan reseptor pada permukaan eritrosit. Pada waktu sirkulasi eritrosit melewati hati dan limpa, maka sel fagosit dalam limpa dan hati (sel Kupffer) dapat membersihkan kompleks imun yang terdapat pada permukaan sel eritrosit tersebut.

25

3. Regulasi. Aktivasi komplemen dikontrol melalui tiga mekanisme utama, yaitu : 

komponen komplemen yang sudah diaktifkan biasanya ada dalam bentuk yang tidak stabil sehingga bila tidak berikatan dengan komplemen berikutnya akan rusak,



adanya beberapa inhibitor yang spesifik misalnya C1 esterase inhibitor, faktor I dan faktor H,



pada permukaan membran sel terdapat protein yang dapat merusak fragmen komplemen yang melekat.

Regulasi jalur klasik : Regulasi jalur klasik terutama terjadi melalui 2 fase, yaitu melalui aktivitas C1 inhibitor dan penghambatan C3 konvertase.

Regulasi jalur alternatif : Jalur altematif juga di regulasi pada berbagai fase oleh beberapa protein dalam sirkulasi maupun yang terdapat pada permukaan membran. Faktor H berkompetisi dengan faktor B dan Bb untuk berikatan dengan C3b. Juga CR1 dan DAF dapat berikatan dengan C3b sehingga berkompetisi dengan faktor B. Dengan adanya hambatan ini maka pembentukan C3 konvertase juga dapat dihambat. Faktor I, menghambat pembentukan C3bBb; dalam fungsinya ini faktor I dibantu oleh kofaktor H, CR1 dan MCP. Faktor I memecah C3b dan yang tertinggal melekat pada permukaan sel adalah inaktif C3b (iC3b), yang tidak dapat membentuk C3 konvertase, selanjutnya iC3b dipecah menjadi C3dg dan terakhir menjadi C3d.

I.

Sel-sel sistem imun tubuh. 1. Sel-sel sitem imun nonspesifik. Sel Sel sistem imun non spesifik bereaksi tanpa memandang apakah agen pencetus

pernah atau belum pernah dijumpai. Reaksinya pun tidak perlu diaktivasi terlebih dahulu seperti pada sistem imun spesifik. Lebih jauh lagi respon imun non spesifik merupakan lini pertama pertahanan terhadap berbagai faktor yang mengancam. Sel-sel

26

yang berperan dalamnsistem imun nonspesifik adalah sel fagosit, sel nol, dan sel mediator. a) Sel fagosit. Sel

fagosit

terbagi

dua

jenis,

yaitu

fagosit

mononuclear

dan

fagosit

polimorfonuklear. Fagosit mononuclear terdiri dari sel monosit dan sel makrofag, sedangkan fagosit polimorfonuclear terdiri dari neutrofil dan eusinofil. 

Sel monosit dan sel makrofag. Persentase sel monosit dalam sel darah putih berkisar 5 %. Monosit bersirkulasi dalam darah hanya selama beberapa jam, kemudian bermigrasi ke dalam jaringan, dan berkembang menjadi makrofaga (macrophage) besar (pemangsa besar). Makrofaga jaringan, yang merupakan sel-sel fagositik terbesar, adalah fagosit yang sangat efektif dan berumur panjang. Sel-sel ini menjulurkan kaki semu (psedopodia) yang panjang yang dapat menempel ke polisakarida pada permukaan mikroba dan menelan mikroba itu, sebelum kemudian dirusak oleh enzim-enzim di dalam lisosom makrofaga itu. Beberapa makrofaga bermigrasi ke seluruh tubuh, sementara yang lain tetap tinggal secara permanen dalam jaringan tertentu: dalam paru-paru (makrofaga alveoli), hati (sel-sel Kupffer), ginjal (sel-sel mesangial), otak (sel-sel mikroglia), jaringan ikat (histiosit), dan pada limpa, nodus limfa, serta jaringan limfatik. Mikroorganisme, fragmen mikroba, dan molekul asing yang memasuki darah menghadapi makrofaga ketika mereka terjerat dalam bangun limpa yang mirip dengan jarring, sementara yang berada dalam cairan jaringan mengalir ke dalam limfa dan disaring melalui nodus limfa. Namun, beberapa mikroba telah mengevolusikan mekanisme untuk menghindari perusakan oleh sel fagositik. Beberapa bakteri mempunyai kapsul bagian luar yang tidak dapat ditempeli makrofaga. Contoh bakteri tersebut adalah Mycobacterium tuberculosis, yang bersifat resisten terhadap perusakan oleh lisosom dan bahkan dapat bereproduksi di dalam makrofaga.

27



Sel Neutrofil. Neutrofil Neutrofil merupakan sel fagosit yang berasal dari sel bakal myeloid dalam sumsum tulang. Jumlahnya sekitar 60-70% dari semua sel darah putih (leukosit). Neutrofil adalah fagosit pertama yang tiba, diikuti oleh monosit darah, yang berkembang menjadi makrofaga besar dan aktif. Sel-sel yang dirusak oleh mikroba yang menyerang membebaskan sinyal kimiawi yang menarik neutrofil dari darah untuk datang. Neutrofil itu akan memasuki jaringan yang terinfeksi, lalu menelan dan merusak mikroba yang ada disana. (Migrasi menuju sumber zat kimia yang mengundang ini disebut kemotaksis). Di dalam neutrofil terdapat enzim lisozim dan laktoferin untuk menghancurkan bakteri atau benda asing lainnya yang telah difagositosis. Setelah memfagositosis 5-20 bakteri, neutrofil mati dengan melepaskan zatzat limfokin yang mengaktifasi makrofag. Biasanya, neutrofil hanya berada dalam sirkulasi kurang dari 48 jam karena neutrofil cenderung merusak diri sendiri ketika mereka merusak penyerang asing.



Sel Eusinofil. Sama seperti sel fagosit lainnya, sel eosinofil berasal dari sel bakal myeloid. Ukuran sel ini sedikit lebih besar daripada neutrofil dan berfungsi juga sebagai fagosit. Eosinofil berjumlah 2-5% dari sel darah putih. Peningkatan eosinofil di sirkulasi darah dikaitkan dengan keadaan-keadaan alergi dan infeksi parasit internal (contoh, cacing darah atau Schistosoma mansoni). Walaupun kebanyakan parasit terlalu besar untuk dapat difagositosis oleh eosinofil atau oleh sel fagositik lain, namun eosinofil dapat melekatkan diri pada parasit melalui molekul permukaan khusus, dan melepaskan bahanbahan yang dapat membunuh banyak parasit. Selain itu, eosinofil juga memiliki kecenderungan khusus untuk berkumpul dalam jaringan yang memiliki reaksi alergi. Kecendrungan ini disebabkan oleh faktor kemotaktik yang dilepaskan oleh sel mast dan basofil yang menyebabkan eosinofil bermigrasi kearah jaringan yang meradang. Sel fagosit terutama makrofag

28

dan neutrofil; memiliki peran besar dalam proses peradangan. Untuk melaksanakan fungsi tersebut sel fagosit juga berinteraksi dengan komplemen dan sistem imun spesifik lainnya. b) Sel Nol. Sel Sel Natural Killer (Sel NK) merupakan golongan limfosit tapi tidak mengandung petanda seperti pada permukaan sel B dan sel T. Oleh karena itu disebut sel nol. Sel ini beredar dalam pembuluh darah sebagai limfosit besar yang khusus, memiliki granular spesifik yang memiliki kemampuan mengenal dan membunuh sel abnormal, seperi sel tumor dan sel yang terinfeksi oleh virus. Sel NK berperan penting dalam imunitas nonspesifik pada patogen intraseluler. Sel jenis khusus mirip limfosit yang diproduksi di dalam sumsum tulang ini juga tersedia di limpa, nodus limfa, dan timus dan merupakan 10 % – 20 % bagian dari limfosit perifer. Bentuknya lebih besar dari limfosit B dan limfosit T.

c) Sel mediator. Sel yang termasuk sel mediator adalah sel basofil, sel mast, dan trombosit. Sel tersebut disebut sebagai mediator dikarenakan melepaskan berbagai mediator yang berperan dalam sistem imun. 

Sel basofil dan sel mast. Basofil adalah jenis leukosit yang paling sedikit jumlahnya dan diduga juga dapat berfungsi sebagai fagosit. Sel basofil secara struktural dan fungsional mirip dengan sel mast, yang tidak pernah beredar dalam darah tapi tersebar di jaringan ikat di seluruh tubuh. Awalnya sel basofil dianggap berubah menjadi sel mast dengan bermigrasi dari sistem sirkulasi, tapi para peneliti membuktikan bahwa basofil berasal dari sumsum tulang sedangkan sel mast berasal dari sel prekursor yang terletak di jaringan ikat. Ada dua macam sel mast yaitu terbanyak sel mast jaringan dan sel mast mukosa. Yang pertama ditemukan di sekitar pembuluh darah dan mengandung sejumlah heparin dan histamine. Sel mast yang kedua ditemukan di slauran cerna dan napas. Proliferasinya dipacu IL-3 dan IL-4 dan ditingkatkan pada infeksi parasit.

29

Baik sel basofil maupun sel mast memiliki reseptor untuk IgE dan karenanya dapat diaktifkan oleh alergen spesifik yang berkaitan dengan antibodi IgE. Kemudian bila terdapat alergen spesifik berikutnya yang bereaksi dengan antibodi, maka perlekatan keduanya menyebabkan sel mast atau basofil rupture dan melepaskan banyak sekali histamin, bradikinin, serotonin, heparin, substansi anafilaksis yang bereaksi lambat, dan sejumlah enzim lisosomal. Bahan-bahan inilah yang menyebabkan manifestasi alergi. Selain itu keduanya pun dapat membentuk dan menyimpan heparin dan histamin. 

Trombosit. Trombosit adalah fragmen sel yang berasal dari megakariosit besar di sumsum tulang belakang. Trombosit berperan dalam pembatasan daerah yang meradang, dimana apabila terpajan ke tromboplastin jaringan di jaringan yang cedera maka fibrinogen, yang telah diaktifkan melalui proses berjenjang yang melibatkan pengaktifan suksesif faktor-faktor pembekuan, diubah menjadi fibrin. Fibrin inilah yang membentuk bekuan cairan interstitiumdi ruang-ruang di sekitar bakteri dan sel yang rusak.

2. Sel-sel Sistem Imun Spesifik a) Sel T 1) Karakteristik Sel T 

Sel T tidak mengeluarkan antibodi. Sel –sel ini harus berkontak langsung dengan sasaran suatu proses yang dikenal sebagai immunitas yang diperantarai oleh sel (cell-mediated immunity, imunitas seluler).



Bersifat klonal dan sangat spesifik antigen. Di membran plasmanya, setiap Sel T memiliki protein-protein reseptor unik.



Sel T diaktifkan oleh antigen asing apabila antigen tersebut disajikan di permukaan suatu sel yang juga membawa penanda identitas

30

individu yang bersangkutan, yaitu, baik antigen asing maupun antigen diri harus terdapat di permukaan sel sebelum sel T dapat mengikuti keduanya. 

Tidak semua turunan sel T yang teraktivasi menjadi sel T efektor. Sebagian kecil tetap dorman, berfungsi sebagai cadangan sel T pengingat yang siap merespon secara lebih cepat dan kuat apabila antigen asing tersebut muncul kembali di sel tubuh.



Selama pematangan di timus, sel T mengenal antigen asing dalam kombinasi dengan antigen jaringan individu itu sendiri, suatu pelajaran yang diwariskan ke semua turunan sel T berikutnya



Diperlukan waktu beberapa hari setelah pajanan antigen tertentu sebelum sel T teraktivasi besiap untuk melancarkan serangan imun seluler.

2) Subpopulasi sel T. Ketika sel T terpajan ke kombinasi antigen spesifik, sel-sel dari sel klon sel T komplementer berproliferisai dan berdiferensiasi selama beberapa hari, menghasilkan sejumlah besar sel T teraktivasi yang melaksanakan berbagai respons imunitas seluler. Terdapat tiga subpopulasi sel T, tergantung pada peran mereka setelah diaktifkan oleh antigen. 

Sel (cytotocic) Sel T yang menghancurkan sel penjamu yang memiliki antigen asing, misalnya sel tubuh yang dimasuki oleh virus, sel kanker, dan sel cangkokan.



Sel Th (helper) Berperan menolong sel B dalam memproduksi antibodi, memperkuat aktivitas sel T sitotoksik dan sel T penekan (supresor) yang sesuai, dan mengaktifkan makrofag.



Sel Ts (supperssor)

31

Sel T yang menekan produksi antibodi sel B dan aktivitas sel T sitotoksik dan penolong. Sebagian besar dati milyaran Sel T diperkirakan tergolong dalam subpopulasi penolong dan penekan, yang tidak secara langsung ikut serta dalam destruksi patogen secara imunologik. Kedua subpopulasi tersebut disebut sel T regulatorik, karena mereka memodulasi aktivitas sel B dan Sel T sitotoksik serta aktivitas mereka sendiri dan aktivitas makrofag. 

Sel Tdh (delayed hypersensitivity) Merupakan sel yang berperan pada pengerahan makrofag dan sel inflamasi lainnya ketempat terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe lambat. Dalam fungsinya, sel Tdh sebenarnya menyerupai sel Th.



Limfokin Dalam biakan sel limfosit T dapat ditemukan berbagai bahan yang mempunyai efek biologic. Bahan-bahan tersebut disebut limfokin dan dilepas sel T yang disensitisasi. Beberapa jenis limfokin yaitu: interleukin, interferon, factor supresor, factor penolong , dan sebagainya.

b) Sel B Sel B merupakan 5-15 % dari jumlah seluruh limfosit dalam sirkulasi. Fungsi utamanya ialah memproduksi antibodi. Sel B ditandai dengan adanya immunoglobulin yang dibentuk didalam sel dan kemudian dilepas, tetapi sebagian menempel pada permukaan sel yang selanjutnya berfungsi sebagai reseptor antigen. Kebanyakan sel perifer mengandung IgM dan IgD dan hanya beberapa sel yang mengandung IgG, IgA, dan IgE, pada permukaannya. Sel B dengan IgA banyak ditemukan dalam usus. Antibody permukaan tersebut dapat ditemukan dengan teknik imunofluoresen.

32

J.

REAKSI HIPERSENSITIVITAS Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular

tergantung pada aktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipe II hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleks imun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satu tipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity. Pembagian reaksi hipersensitivitas oleh Gell dan Coombs adalah usaha untuk mempermudah evaluasi imunopatologi suatu penyakit. Dalam keadaan sebenarnya seringkali keempat mekanisme ini saling mempengaruhi. Aktivasi suatu mekanisme akan mengaktifkan mekanisme yang lainnya.

1. Reaksi Hipersentivitas Tipe I Reaksi hipersensitivitas tipe I atau anafilaksis atau alergi yang timbul segera sesudah badan terpajan dengan alergen. Semula diduga bahwa tipe I ini berfungsi untuk melindungi badan terhadap parasit tertentu terutama cacing. Istilah alergi pertama kali diperkenalkan oleh Von Pirquet pada tahun 1906, yang diartikan sebagai reaksi pejamu yang berubah. Pada reaksi ini allergen yang masuk ke dalam tubuh akan menimbulkan respon imun dengan dibentuknya Ig E. Urutan kejadian reaksi tipe I adalah sebagai berikut : a) Fase Sensitasi Waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikatnya oleh reseptor spesifik pada permukaan sel mastosit dan basofil. b) Fase Aktivasi Waktu selama terjadi pajanan ulang dengan antigen yang spesifik, mastosit melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. c) Fase Efektor

33

Waktu terjadi respon yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek bahan- bahan yang dilepas mastosit dengan aktivasi farmakologik. IgE yang sudah dibentuk, biasanya dalam jumlah sedikit, segera diikat oleh mastosit/basofil. IgE yang sudah ada permukaan mastosit akan menetap untuk beberapa minggu. Sensitasi dapat juga terjadi secara pasif apabila serum (darah) orang yang alergik dimasukkan ke dalam kulit atau sirkulasi orang normal.

2. Reaksi Hipersensitivitas Tipe II Reaksi hipersensitivitas tipe II atau Sitotoksis terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi ini dimulai dengan antibodi yang bereaksi baik dengan komponen antigenik sel, elemen jaringan atau antigen atau hapten yang sudah ada atau tergabung dengan elemen jaringan tersebut. Kemudian kerusakan diakibatkan adanya aktivasi komplemen atau sel mononuklear. Mungkin terjadi sekresi atau stimulasi dari suatu alat misalnya thyroid. Contoh reaksi tipe II ini adalah distruksi sel darah merah akibat reaksi transfusi, penyakit anemia hemolitik, reaksi obat dan kerusakan jaringan pada penyakit autoimun. Mekanisme reaksinya adalah sebagai berikut : a) Fagositosis sel melalui proses apsonik adherence atau immune adherence b) Reaksi sitotoksis ekstraseluler oleh sel K (Killer cell) yang mempunyai reseptor untuk Fc c) Lisis sel karena bekerjanya seluruh sistem komplemen

3. Reaksi Hipersensitivitas Tipe III Reaksi tipe III disebut juga reaksi kompleks imun adalah reaksi yang terjadi bila kompleks antigen-antibodi ditemukan dalam jaringan atau sirkulasi/ dinding pembuluh darah dan mengaktifkan komplemen. Antibodi yang bisa digunakan sejenis IgM atau IgG sedangkan komplemen yang diaktifkan kemudian melepas faktor kemotatik makrofag. Faktor kemotatik yang ini akan menyebabkan pemasukan leukosit-leukosit PMN yang mulai memfagositosis kompleks-kompleks imun. Reaksi ini juga

34

mengakibatkan pelepasan zat-zat ekstraselular yang berasal dari granula-granula polimorf, yakni berupa enzim proteolitik, dan enzim-enzim pembentukan kinin. Antigen pada reaksi tipe III ini dapat berasal dari infeksi kuman patogen yang persisten (malaria), bahan yang terhirup (spora jamur yang menimbulkan alveolitis alergik ekstrinsik) atau dari jaringan sendiri (penyakit autoimun). Infeksi dapat disertai dengan antigen dalam jumlah berlebihan, tetapi tanpa adanya respons antibodi yang efektif.

4. Reaksi Hipersensitivitas Tipe IV Reaksi tipe IV disebut juga reaksi hipersensitivitas lambat, cell mediatif immunity (CMI), Delayed Type Hypersensitivity (DTH) atau reaksi tuberculin yang timbul lebih dari 24 jam setelah tubuh terpajan dengan antigen. Reaksi terjadi karena sel T yang sudah disensitasi tersebut, sel T dengan reseptor spesifik pada permukaannya akan dirangsang oleh antigen yang sesuai dan mengeluarkan zat disebut limfokin. Limfosit yang terangsang mengalami transformasi menjadi besar seperti limfoblas yang mampu merusak sel target yang mempunyai reseptor di permukaannya sehingga dapat terjadi kerusakan jaringan. Antigen yang dapat mencetuskan reaksi tersebut dapat berupa jaringan asing (seperti reaksi allograft), mikroorganisme intra seluler (virus, mikrobakteri, dll). Protein atau bahan kimia yang dapat menembus kulit dan bergabung dengan protein yang berfungsi sebagai carrier. Selain itu, bagian dari sel limfosit T dapat dirangsang oleh antigen yang terdapat di permukaan sel di dalam tubuh yang telah berubah karena adanya infeksi oleh kuman atau virus, sehingga sel limfosit ini menjadi ganas terhadap sel yang mengandung antigen itu (sel target). Kerusakan sel atau jaringan yang disebabkan oleh mekanisme ini ditemukan pada beberapa penyakit infeksi kuman (tuberculosis, lepra), infeksi oleh virus (variola, morbilli, herpes), infeksi jamur (candidiasis, histoplasmosis) dan infeksi oleh protozoa (leishmaniasis, schitosomiasis)

35

BAB III PENUTUP A. Kesimpulan Sistem imun adalah sistem perlindungan pengaruh luar biologis yang dilakukan oleh sel dan organ khusus pada suatu organisme. Jika sistem kekebalan bekerja dengan benar, sistem ini akan melindungi tubuh terhadap infeksi bakteri dan virus, serta menghancurkan sel kanker dan zat asing lain dalam tubuh. Jika sistem kekebalan melemah, kemampuannya melindungi tubuh juga berkurang, sehingga menyebabkan patogen, termasuk virus yang menyebabkan demam dan flu, dapat berkembang dalam tubuh. Sistem kekebalan juga memberikan pengawasan terhadap sel tumor, dan terhambatnya sistem ini juga telah dilaporkan meningkatkan resiko terkena beberapa jenis kanker.

36

DAFTAR PUSTAKA

file:///G:/IMUNOLOGI%20%C2%AB%20DUNIA%20KEDOKTERAN%20dokterkeci l.htm file:///G:/Dasar_dasar_imunologi.htm file:///G:/Tabel-2-sistem_imunologi.htm file:///G:/imunologi.htm file:///G:/Fungsi%20 imunologi _dasar.htm

37

More Documents from "Nalia Resi"

Pembahasan.docx
December 2019 10
Kata Pengantar.docx
April 2020 5
Kata Pengantar.docx
November 2019 10
Proposal.docx
April 2020 9
Kata Penganta1.docx
April 2020 13