Pematangan Paru.docx

  • Uploaded by: Bernadette Tiffany
  • 0
  • 0
  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Pematangan Paru.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 3,675
  • Pages: 14
Pemeriksaan Kematangan Paru Surfaktan merupakan suatu senyawa yang kompleks yang terdiri dari protein dan fosfolipid. Telah diterima secara luas bahwa kadar fosfolipid dalam cairan amnion akan meningkat sesuai dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan resiko terjadinya sindroma gawat napas. Tidak ada pemeriksaan cairan amnion yang betul-betul reliable, mudah dilakukan, dan secara universal dapat dilakukan untuk memprediksi maturitas paru-paru janin. Sebagai konsekuensinya. Dikembangkan banyak macam pemeriksaan meturitas paru janin yang telah dilakukan oleh peneliti.

Beberapa uji yang digunakan untuk memperkirakan surfaktan paru-paru, dan untuk meramalkan terjadinya sindroma gawat napas, telah ditinjau oleh O’Brien dan Cefalo. Mereka membagi berbagi metode pemeriksaan maturitas paru-paru tersebut ke dalam dua kelompok besar :

A. Secara kimiawi : 1. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio) 2. Komponen-komponen minor surfaktan 3. Fosfatidigliserol 4. Phosphotidate phosphohydrolase 5. P/S Ratio

B. Secara biofisik : 1. Foam stability test 2. Test of optical density 3. Microviscosity

a. Rasio Lesitin-sfngomielin (L/S Ratio)

Pemeriksaan untuk menentukan rasio lesitin-sfngomielin ini merupakan pemeriksaan yang paling sering digunakan untuk memprediksikan maturitas paru-paru janin, dan dianggap sebagai “gold standart method” . Pemeriksaan ini mempunyai beberapa hal yang kurang

menguntungkan, yaitu memerlukan banyak waktu dalam proses pemeriksaannya, disamping itu pengukuran rasio lesitin-sfngomielin ini memerlukan laboratorium yang monitornya dengan baik karena variasi kecil dalam teknik dapat sangat mempengaruhi keakuratan hasilnya. Borer dan dkk, yang pertama kali memperkenalkan pengukuran rasio lesitin-dfngomielin ini. Selanjutnya banyak penelitian dilakukan untuk mengevaluasi berbagai teknik pemeriksaan ini. O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135144. 2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133. Metode Gluck dkk dimulai dengan melakukan sentrifugasi terhadap cairan amnion yang akan diperiksa dengan 5.400 rpm selama 5 sampai 10 menit, kemudian dilakukan ekstraksi fosfolipid dengan chloroform, presipitasi dalam aseton dingin, resuspensi dalam chloform separation dengan thin-layer chromatography (TLC), dan pengukuran rasio lesitinsfngomeilin dengan menggunakan densitometry atau dilakukan pewarnaan dengan bromothymol blue dilanjutkan dengan planimetry. Apabila analisis tersebut tidak cepat dilakukan, spesimen hendaknya dimasukan dalam lemari pendingin. Metode ini juga dipakai oleh Donald dkk dan Aubrey dkk dalam penelitian-penelitiannya.

Sejumlah penelitian telah dilakukan untuk mengukur rasio lesitin sfngomielin dengan menggunakan berbagai modifikasi dalam prosedur pemeriksaannya. Modifikasi yang paling sering adalah menghilangkan langkah pemeriksaan presitasi dalam aseton dingin. Gluck dkk menyatakan bahwa prespitasi dengan aseton akan memisahkan fosfolipid permukaan-aktif dari yang bukan permukaan aktif, tetapi peneliti-peneliti lain tidak menemukan pemisahan fosfolipid dalam dua fraksi tersebut. Sebelum kehamilan 34 minggu, lesitin dan sfingomielin terdapat didalam cairan amnion dengan konsentrasi yang sama. Pada sekitar usia kehamilan 34 minggu, konsentrasi relative lesitin terhadap sfingomielin mulai naik.

Gluck dkk, pada tahun 1971, melaporkan bahwa untuk kehamilan yang tidak diketahui umurnya tetapi tanpa komplikasi apapun, risiko terjadinya sindroma gawat napas pada bayi baru lahir sangat kecil kalau konsentrasi lesitin di dalam cairan amnion sedikitnya dua kali

konsentrasi sfingomielin, sementara itu ada resiko yang semakin tinggi untuk terjadinya sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin di bawah 2.

Hal ini segera dikonfirmasikan oleh peneliti lain. Pada tahun 1975, Harvey dkk menggabungkan 25 laporan yang rasio lesitin-sfingomielin diukur dengan teknik yang sama pada cairan amnion yang dikumpulkan dalam 72 jam setelah kelahiran. Bila rasio lesitin-sfingomielin lebih besar dari 2, resiko terjadi sindroma gawat napas ditemukan kecil sekali, kecuali bila ibu menderita diabetes. Kalau rasio lesitin-sfingomielin antara 1,5 sampai 2, maka sindroma gawat napas ditemukan pada 40% kasus, dan kalau dibawah 1,5 ditemukan pada 73% kasus. Meskipun 73 bayi mengalami sindroma gawat napas kalau rasio lesitin-sfingomielin dibawah 1,5 tetapi yang terbukti fatal hanya pada 14%. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133.

2. Komponen-komponen minor surfaktan Pada tahun 1973, Nelson dan Lawson melaporkan hasil evaluasi terhadap konsentrasi total phospholipid phosphorus dalam cairan amnion dengan ekstrak lipid total yang dipresipitasi menggunakan aseton dingin. Hasil presipitasi ini dihancurkan dengan sulfuric acid yang menyebabkan

lepasnya

inorganic

phosphorus,

kemudian

diukur

dengan

spectrophotometry.

Penelitian ini mendapatkan bahwa bila konsentrasi total phospholipid phosphorus lebih dari 0,140 mg/dl tidak satupun ditemukan terjadi sindroma gawat napas di antara 150 neonatus. Sementara bila konsentrasi total phospholipid phosphorus kurang dari 0,140 mg/dl ditemukan sindroma gawat napas pada 12 antara 37 neonatus.

Pada tahun 1972 dan 1973, Nelson dan Lawson melaporkan pemakaian konsentrasi lesitin dalam cairan amnion sebagai indeks untuk menilai maturitas paru-paru janin. Sampel cairan amnion disentrifugasi pada 1.500 rpm selama 10 menit supernatant yang diasilkan

diperiksa dengan thin-layer chromatography (TCL). Bintik lesitin dan sfingomielin kemudian dianalisis dengan menggunakan Lechitin phosphorus.

Pada penelitian awal dilaporkan bahwa didapatkan hasil dengan prediktabilitas yang akurat dimana konsentrasi lesitin 0,100 mg tidak satupun terjadi sindroma gawat napas dari 74 neonatus. Pada penelitian yang kedua dilaporkan bahwa pemeriksaan ini lebih prediktif untuk sindroma gawat napas daripada berat badan. Korelasi ini memberikan bukti bahwa pemeriksaan ini mempunyai korelasi yang lebih baik dengan tingkat maturitas paru-paru janin daripada dengan usia kehamilan.

Pada tahun 1974 dan 1976, Lindback dkk melaporkan penelitian mengenai pemeriksaan lesitin cairan amnion. Setelah dilakukan ekstraksi lipid dengan chloroform, lipid dipisahkan dengan thin-layer chromatography (TCL). Hasil pengukuran dinyatakan dalam micromole per desi liter. Pada pasien normal, diambil kadar lesitin sebesar 4,8 mikromole per desi liter sebagai nilai ambang prediktif. Pada pasien dengan hipertensi atau diabetes dan pertumbuhan janin terhambat, dari 48 neonatus dengan konsentrasi lesitin diatas nilai ambang sindroma gawat napas pada 6 neonatus. Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C, Lowenberg E. Significance of phosfatidylglycerol in amniotik fluid in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 899-903.

c. Fosfatidilgliserol

Walaupun lesitin merupakan komponen utama fosfolipid surfaktan paru-paru, fosfolipid lain mungkin juga menambah aktif total surfaktan. Komponen minor fosfolipid yang terutama adalah fosfotidilgliserol dan fosfatidilinositol. Pada tahun 1976, Hallman dkk menemukan adanya korelasi antara persentase fosfatidilgliserol dan fosfatidilinositol dengan usia kehamilan dan rasio lesitin-sfingomielin pada 66 spesimen yang didapatkan dari kehamilan normal. Pada tahun 1977, peneliti lain dari kelompok ini juga mendapatkan bahwa dalam spesimen yang didapatkan dari aspirasi tracheal neonatus-neonatus yang mengalami sindroma gawat napas tidak ditemukan adanya fosfatidilgliserol. Setelah usia

kehamilan 30 minggu, fosfatidilgliserol ini selalu teridentifikaasi pada neonatus yang tidak mengalami sindroma gawat napas.

Pada tahun 1977, Cunningham dkk melaporkan tidak teridentifikasinya fosfatidilgliserol dan sampel cairan amnion yang didapatkan dari kehamilan resiko tinggi dengan usia kehamilan 34-37 minggu. Pada tahun 1978, Golde melaporkan hasil pemeriksaan terhadap fosfatidilgliserol pada sampel cairan amnion dari 215 pasien melahirkan bayi dalam 72 jam dari saat pemeriksaan. Pada sampel cairan amnion yang mengandung fosfatidilgliserol tidak teridentifikasi, sindroma gawat napas terjadi pada 4 neonatus.

Whittle dkk pada tahun 1982 melaporkan bahwa kerja surfaktan yang tidak cukup untuk mencegah sindroma gawat napas, sekaligus rasio lesitin- sfingomielin adalah 2, dianggap disebabkan sebagaian oleh kurangnya fosfatidilgliserol dan peninggian permukaan aktif. Ditemukannya fosfatidilgliserol didalam cairan amnion memberikan jaminan yang cukup besar, tetapi tidak harus merupakan garansi absolut, bahwa sindroma gawat napas tidak akan timbul. Fosfatidilgliserol belum ditemukan di dalam darah, mekonium, atau secret vagina, karena itu kontaminan-kontaminan ini tidak akan mengacaukan interpretasi. Tidak adanya fosfatidilgliserol tidaklah harus merupakan indikator kuat bahwa sindroma gawat napas kemungkinan akan timbul setelah lahir, tidak adanya fosfolipid ini hanya menunjukan bahwa bayi tersebut mungkin akan mengalami sindroma gawat napas.

Uji aglutinasi imunologi cepat (dalam 15 menit) (Amniostat-FLM) untuk mendeteksi fosfatidilgliserol dalam sampel cairan amnion, mempunyai keakuratan yang tinggi, dan dengan demikian dapat dipakai untuk menemukan ketidakmungkinan neonatus akan mengalami sindroma gawat napas. Hal ini telah dibuktikan secara memuaskan oleh Garite dkk pada tahun 1983.

d. Phosphatidate Phosphohydrolase (PAPase)

Herbert dkk melaporkan aktivitas spesifik dari enzim phosphatidate phosphohydrolase (PAPase) dalam cairan amnion. Enzim ini telah diketahui terdapat dalam badan-badan

lamellar

pada

pneumosit

tipe

II

peningkatan

aktivitas

enzim

phosphatidate

phosphohydrolase berkaitan dengan sintesis surfaktan pada kehamilan. Enzim ini diduga merupakan faktor kritis dalam produksi lesitin dan fosfatidilgliserol. Penelitian ini meliputi 223 kehamilan, sampel cairan amnion didapatkan melalui amniosintesis transabdominal dan bebas dari kontaminasi darah dan mekonium. Aktivitas enzim phosphatidate phosphohydrolase didapatkan seiring dengan usia kehamilan dan mempunyai korelasi dengan sindroma gawat napas. Dari 53 neonatus yang lahir beberapa waktu setelah pemeriksaan dengan level kurang dari 50, sepuluh diantaranya didapat terjadi sindroma gawat napas, sementara dari 170 neonatus dengan level 50 atau lebih, terjadi sindroma gawat napas pada 1 kasus. Herbert WNP, Johnston JM, MacDonald PC, Jimenez JM. Fetal lung maturation. Human amniotic fluid phosphatidate phosphohydrolase activity through normal gestation and its relation to the lecithin/spingomielin ratio. Am J Obstet Gynecol 1978; 132: 373-379. e. P/S Ratio O’Ne’il dkk melaporkan hasil pemeriksaan palmitic acid / stearic acid ratio (P/S Ratio) pada sampel cairan amnion dari 64 pasien. Pada 31 diantara pasien-pasien ini, kehamilan dengan komplikasi diabetes mellitus. Setelah dilakukan ekstraksi lipid dan thin-layer chromatography (TLC), bintik lesitin diekstraksi, hidrolisasi, dan metilasi. Ester yang dihasilkan diekstraksi, redissolved, dan diperiksa dengan gas-liquid chromatography. Nilainya dibandingkan dengan metal ester asam lemak murni standar. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133.

f.

Foam Stability Test (Tes Busa)

Metode pemeriksaan ini menawarkan hasil lebih yang cepat didapatkan, mudah dilakukan, reagensia yang mudah didapatkan Foam Stability Test atau uji stabilitas busa, metode pemeriksaan ini diperkenalkan pertama kali oleh Clements pada tahun 1972, disebut juga shake test atau uji kocok, sekarang dipakai secara luas.

Kelemahan utama yang tampak pada pemeriksaan ini adalah tingginya hasil negatif palsu dan keakuratan-nya masih perlu dipertanyakan pada kehamilan-kehamilan resiko tinggi. Pemeriksaan ini tergantung pada kemampuan surfaktan dalam cairan amnion, kalau dicampur dengan etanol dalam jumlah cukup, untuk menimbulkan busa yang stabil. Teknik ini memerlukan tidak lebih dari 30 menit untuk mengerjakannya.

Ke dalam tabung kaca 13x100 yang bersih secara kimiawi dengan tutup sekrup plastic berlapis Teflon, dimasukan cairan amnion 0,5 ml, saline 0,9% sebanyak 0,5ml, dan etanol 95% sebanyak 1 ml dimasukan kedalam tabung lain. Masing-masing tabung dengan dikocok kuat selama 15 detik dan ditempatkan tegak di rak selama 15 menit. Bertahannya cincin utuh gelembung pada interface udara-cairan setelah 15 menit dianggap sebagai uji positif.

Kalau cincin busa bertahan selama 15 menit, resiko terjadinya sindroma gawat napas sangat rendah. Misalnya, Schlueter dkk (1975) hanya menemukan satu kasus sindroma gawat napas dari 205 kehamilan dengan uji positif untuk cairan amnion yang dilarutkan dengan volume salin yang sama. Tetapi ada 2 masalah pada uji coba ini : 

Kontaminasi sedikit saja cairan amnion, reagen, atau alat kaca, atau kesalahan pengukuran, dapat merubah hasil yang cukup jelas.



Uji negative palsu agak sering terjadi, yaitu kegagalan cincin busa untuk tetap utuh selama 15 menit di dalam tabung berisi cairan amnion yang diencerkan

Pemeriksaan dengan shake test ini, penting diperhatikan kemurnian reagensia dan kontaminasi sampel cairan amnion dengan darah atau mekonium dapat menyebabkan hasil positif palsu.

SHAKE TEST Positif gelembung > 2/3 Intermedi ate gelembu ng 1/32/3 Negatif

1 ml Alkohol 95% O,5 ml NaCl 0,9% 0,5 ml cairan amnion

Kocok 15 detik

gelembung < 2/3

Diamkan tegak lurus 15 menit

Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133.

G. Test of Optical Density

Pada tahun 1977, Sbarra dkk mendapatkan bahwa derajat penyerapan cahaya dengan panjang gelombang 650 nm telah dilaporkan berkorelasi baik dengan rasio lesitinsfingomielin di dalam cairan amnion. Pada tahun 1983, Tsai dkk melaporkan uji ini paling informative pada penyerapan tinggi; tetapi diantara kedua ekstrim tersebut, nilai positif palsu dan negatif palsu terbukti mengganggu. Selain itu, Khouzami dkk (1983) melaporkan bahwa perbedaan sentrifugasi mengubah penyerapan cahaya cukup besar oleh cairan amnion.

Yang paling sering dipakai adalah pengukuran optical density dari cairan amnion pada 650 nm. Walaupun pemeriksaan ini mudah dan cepat, hasil pemeriksaan dipengaruhi oleh variasi volume cairan amnion.

Pada tahun 1977, Sbarra dkk melaporkan adanya korelasi optical density cairan amnion pada 650 nm (OD 650) setelah disentrifugasi pada 2.000 x g selama 10 menit dengan rasio

lesitin-sfingomielin. Pada penelitian ini, hasil pengukuran dibandingkan dengan metode modifikasi Borer. Semua sampel dengan OD650 > 0,15 menunjukan rasio L/S < 2, dan 41 dari 59 pasien dengan 300 sampel, 2 dari 136 sampel dengan hasil > 0,15 mempunyai rasio L/S < 2 dan 13 dari 164 sampel dengan hasil < 0,15 mempunyai rasio L/S > 2,0. Copeland dkk juga melaporkan hasil penelitian dengan metode pemeriksaan ini terhadap 87 sampel, dan menunjukan korelasi dengan rasio L/S. Tidak ditemukan hasil positif palsu, tetapi didapatkan negatif palsu sebesar 40%. O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144. H. Microviscosity Metode pemeriksaan ini dapat memberikan hasil yang cepat, dan tekniknya sederhana dan mudah dilakukan, tetapi kekurangannya adalah instrument dan reagen-nya mahal. Pemeriksaan

ini

sering

juga

disebut

pemeriksaan

polarisasi

fluoresen

atau

mikroviskometri.

Pada tahun 1976, Shinitzky dkk memperkenalkan pemeriksaan dengan mengukur microviscosity cairan amnion. Metode pemeriksaan ini didasarkan pada pengukuran jumlah depolarisasi oleh fluoresen spesifik yang dilarutkan dalam lipid cairan amnion. Sebagai suatu pengukuran dari viskositas, pemeriksaan ini merefleksikan aktifitas tegangan permukaan cairan dan dinyatakan sebagi nilai P.

Pada penelitian awal meliputi 47 sampel, nilai P sampel cairan amnion kurang lebih 0,400 sampai 0,200 dengan usia kehamilan lanjut. Pada publik selanjutnya, nilai P ditentukan < 0,366 dipakai sebagai indikator maturitas, hasil ini dibandingkan dengan rasio L/S. Pada 153 dari 161 pemeriksaan, hasilnya sesuai. Pada 8 kasus, nilai polarisasi yang mengindikasikan maturitas paru berhubungan dengan rasio L/S kurang dari 2. O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144.

I. Tap test

Pada tahun 1984, Socol dkk melaporkan telah melakukan penelitian untuk menilai maturitas paru-paru janin dengan metode pemeriksaan baru yang disebut tap test. Metode pemerksaan ini hasilnya cepat, tidak mahal, dan hanya memerlukan 1 ml sampel cairan amnion. Cairan amnion didapatkan melalui amniosentesis atau dari vaginal pool.

Tap test dilakukan denga cara mencampurkan kurang lebih 1 ml sampel cairan amnion dengan 1 tetes 6N hidrocloric acid (konsentrasi hidrocloric acid diencerkan 1:1) dan kemudian ditambahkan kurang lebih 1,5 ml diethyl ether. Campuran ini kemudian dimasukan ke dalam tabung reaksi, kemudian di-tapped tiga atau empat kali, dimana akan dihasilkan kira-kira 200-300 gelembung busa dilapisan ether. Pada cairan amnion dari janin yang matur, gelembung busa tersebut dengan cepat timbul dipermukaan dan pecah; pada cairan amnion dari janin yang immatur, gelembung busa tersebut stabil atau pecah dan lambat. Pada penelitian ini tap test dibaca pada 2,5 dan 10 menit. Jika tidak dari gelembung busa yang tinggal di lapisan ether, hasil tes dinyatakan matur.

Kassanos D, Botsis D, Gregoriou O, Bezantakos Ch, Kontogeorgi Z, Zourlas PA. The tap test: A simple and inexpensive method for the diagnosis of fetal Pulmonary maturity. Int J Gynecol Obstet 1993; 41: 135-138 J. Amniotic Fluid Turbidity

Suatu pemeriksaan yang cepat, dengan teknik pemeriksaan yang sangat sederhana untuk memprediksikan maturitas paru janin. Verniks kaseosa merupakan material lemak kompleks yang terdiri dari sebaseus dan epithelial, didapatkan pada kulit janin pada trimester III kehamilan. Seiring dengan matangnya epidermis, verniks akan menurun daya lekatnya pada kulit janin. Lepasnya lapisan verniks dari epidermis menyebabkan meningkatkan partikel-partikel free floating di dalam cairan amnion dan akibatnya meningkatkan turbiditas cairan amnion.

Turbiditas cairan amnion meningkat dengan bertambah tuanya kehamilan, maka turbiditas cairan amnion ini dapat menjadi petunjuk tak langsung bagi maturitas paru-paru janin. Turbiditas cairan amnion dan maturitas paru-paru janin mempunyai hubungan yang saling

berkait dengan usia kehamilan. Stong dkk, pada tahun 1992, melakukan pemeriksaan turbiditas cairan amnion pada 100 sampel yang didapatkan melalui amniosentesis.

Prosedur pemeriksaan yang dilakukan : 2-5 ml cairan amnion segar ditempatkan pada sebuah tabung reaksi 7 ml (diameter 13 ml). tabung ini kemudian ditempatkan di depan sebuah kliping berita yang dipilih dan digunakan utuk seluruh 100 sampel. Apabila kliping berita tersebut dapat dibaca melalui sampel cairan amnion tersebut, maka diklasifikasikan sebagai clear (jernih). Apabila kliping tersebut tidak dapat dibaca, maka diklasifikasikan sebagai turbid (keruh). Seluruh sampel cairan amnion dinilai di dalam ruangan yang sama dan dengan lampu penerang yang sama. Kemudian dilakukan pemeriksaan rasio lesitinsfingomielin dan fosfotidilgliserol. Paru-paru dinyatakan matang bila rasio lesitinsfingomielin > 2,0 atau fosfotidilgliserol terdeteksi. Strong dkk mendapatkan bahwa nilai prediksi positif turbiditas cairan amnion untuk janin matur adalah 97%, sensifitas dan spesifitas turbiditas cairan amnion adalah 59% dan 98%. Sensi prediksi positif dan negative untuk janin immatur adalah 71% dan 29%. Tidak satupun dari janin yang hasil pemeriksaan cairan amnion-nya keruh yang menderita sindroma gawat napas atau pun memerlukan bantuan oksigen setelah lahir. Strong TH, Hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills S, Sugden P. amniotic fluid turbidity : A useful adjunct for assessing fetal Pulmonary maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100. K. Ultrasonografi

Kemajuan teknologi dalam pemeriksaan ultra-sonografi telah memungkinkan dilakukan observasi perubahan-perubahan yang terjadi pada plasenta dalam rahim. Winsberg, Fisher dkk, Hobbins dan Winsberg, serta Stein dkk telah memperlihatkan gambaran ultrasonografi pada plasenta yang matur. Secara logis, dapat diterima bahwa plasenta sebagai “fetal” organ akan menjadi matur sejalan dengan sistem organ fetal lainnya. Pada tahun 1979, Hobbins dkk mencoba membuat kategori fase-fase maturisasi plasenta, untuk itu mereka mengklasifikasikan variasi gambaran ultra-sonografi plasenta yang terjadi selama kehamilan dan kemudian mencari korelasinya dengan rasio lesitin/sfingomielin sebagai salah satu indeks maturitas paru-paru janin.

Klasifikasi plasenta, dibuat mulai dari Derajat 0 sampai dengan Derajat III.

Derajat 0 : chorionic plate tampak halus, dan dengan jelas tampak sebagai garis rata. Gambaran ini akan terlihat pada kehamilan kira-kira 12 minggu. Substansi plasenta tampak homogen dan tidak tampak area ekhogenik. Lapisan basal juga tampak homogen dan tekstur yang sama seperti substansi plasenta. Fase ini tampak pada trimester I dan II.

Derajat I : Plasenta menunjukan perubahan paling awal dari proses maturasi-nya, yaitu chorionic plate tampak sebagai garis yang rata tetapi dengan beberapa undulasi. Beberapa ekhogenik area tampak pada substansi plasenta, sehingga tidak lagi tampak homogen. Tidak ada densitas yang terlihat di lapisan basal. Fase ini biasanya didapatkan mulai dari kehamilan 30-32 minggu dan terus sampai kehamilan aterm.

Derajat II : Perubahan terjadi pada tiga zona, yaitu chorionic plate lebih banyak tanda-tanda identitas. Substansi plasenta tampak terpisah dan tidak komplit oleh gambaran linear echogenic atau comma like echgenic densities. Pada fase ini linear echogenic densities tidak mencapai lapisan basal. Area ekhogenik dalam substansi plasenta tampak bertambah jumlahnya dan ukurannya lebih besar dari Grade I.

Derajat III : merupakan gambaran plasenta yang matur. Chorionic plate tampak terputusputus oleh identitas, dimana memanjang kelapisan basal dan mungkin memperlihatkan septa inter-kotiledon. Substansi plasenta menjadi terpisah dalam beberapa kompartemen yang mungkin adalah batas kotiledon. Bagian tengah dari kompertemen ini menunjukan area kosong, padat, bentuk tidak teratur, area ekhogenik tampak dekat ke chorionic plate. Area ekhogenik pada lapisan basal menjadi lebih besar, lebih padat, dan menyatu.

Plasenta 129 pasien dilakukan gradasi plasenta. Delapan puluh enam pasien termasuk klasifikasi Derajat I atau lebih dan seluruhnya diukur rasio lesitin/sfingomielin. Didapatkan rasio lesitin/sfingomielin yang matur (2,0) pada 68% plasenta Derajat I (21/31), 88% plasenta Derajat II (28/23), dan 100% plasenta Derajat III (23/23). Hasil ini memperlihatkan korelasi antara perubahan dalam proses maturasi yang terlihat dengan pemeriksaan ultra-sonografi dan maturasi paru-paru janin yang didasarkan pada rasio lesitin/sfingomielin. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY. The relation ship of placental grade, fetal lung maturity, and neonatal outcome in formal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 145: 54-58.

O’brien WF, Cefalo RC. Clinical applicability of amniotic fluid tests for fetal pulmonic maturity. Am J Obstet Gynecol 1980; 136; 135-144. 2. Cunningham FG, MacDonald PC, Gant NF. Obstetri Wiliams. Edisi 18. Jakarta: EGC, 1995; 121-133. 3. Lee W, Bell M, Novi MJ. Pulmonary lamellar bodies in human amniotic fluid: Their relationship to fetal age and the lechitin/spingomyelin ratio. Am J Obstet Gynecol: 1980; 136: 60-66. 4. Ganong WF. Fisiologi Kedokteran. Edisi 9. Jakarat: EGC, 1979; 633-634. 5. Kassanos D, Botsis D, Gregoriou O, Bezantakos Ch, Kontogeorgi Z, Zourlas PA. The tap test: A simple and inexpensive method for the diagnosis of fetal Pulmonary maturity. Int J Gynecol Obstet 1993; 41: 135-138 6. Liu KZ, Dembinski TC, Mantsch HH. Rapid determination of fetal lung maturity from infrared spectra of amniotik fluid. Am J Obstet Gynecol 1988; 178 : 234-241. 7. Almong R, Goldkrand JW, Saulsbery RA, Samsonoff C. Prediction of respiratory distress syndrome by a new coorimetric assay. Am J Obstet Gynecol 1992; 166: 1827-1834. 8. Goldkrand JW, Varki A, Mc Clurg JE. Surface tension of amniotik fluid lipid extracts: .Prediction of pulmonary maturity Am J Obstet Gynecol 1977; 128: 591-922. 9. Grannum PAT, Berkowitz RL, Hobbins J. The ultrasonic changes in the maturing placenta and their relation to fetal Pulmonary maturity. . Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 915-922. 10. Strong TH, Hayes AS, Sawyer AT, Folkkestad B, Mills S, Sugden P. amniotic fluid turbidity : A useful adjunct for assessing fetal Pulmonary maturity status. Int J Gynecol Obstet 1992; 38: 97-100. 11. Bustos R, Gluck MVKL, Gabbe SG, Surat Evertson L, Vargas C, Lowenberg E. Significance of phosfatidylglycerol in amniotik fluid in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1979; 133: 899-903. 12. Morrison JC, Whybrew WD, Bucovaz ET, Wiser WL, Fish SA. the lechitin/spingomyelin ratio in cases associated with fetomaternal disease. Am J Obstet Gynecol: 1977; 127: 363-368. 13. Laatikainen TJ, Raisanen IJ, Salminen KR. Certicotropin-releasing hormone in amniotic fluid during gestation and labor and in relation to fetal lung maturation. Am J Obstet Gynecol 1988; 159: 891-895. 14. Hoffman DR, Truong CT, Johnstone JM. The role of platelet-activating factor in human fetal maturation. Am J Obstet Gynecol 1986; 155: 70-75. 15. Kazzi GM, Gross TL, Rosen MG, Jaatoul NY. The relation ship of placental grade, fetal lung maturity, and neonatal outcome in formal and complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 145: 54-58. 16. Katal SL, Amenta JS, Singh G, Silverman JA. Deficient lung surfactant apoproteins in amniotic fluid with mature phosphohilid profile from diabetic pregnancies. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 48-53. 17. Socol ML, Sing E, Depp OR. The tap sest: A rapid indicator of fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1984; 148: 445- 450. 18. Goldstein AS, Fukunaga K, Malachowski N, Johnson JD. A comparison of lecithin/ sphingomyelin ratio and shake tewst for estimating fetal pulmonary maturity. Am J Obstet Gynecol 1974; 118: 1132-1135. 19. Parker CR, Hauth JC, Hankins GDV, Leveno K, Rosenfeld CR, Porter JC, MacDonald PC. Endocrine maturation and lung function in premature neonates of women with diabetes. Am J Obstet Gynecol 1989; 160: 657-662. 20. Herbert WNP, Johnston JM, MacDonald PC, Jimenez JM. Fetal lung maturation. Human amniotic fluid phosphatidate phosphohydrolase activity through normal gestation and its relation to the lecithin/spingomielin ratio. Am J Obstet Gynecol 1978; 132: 373-379.

Related Documents


More Documents from "Bernadette Tiffany"

June 2020 11
June 2020 5
Alberto Caeiro
June 2020 11