PEMANFAATAN PERANGKAT LUNAK OPEN SOURCE
T. Budiman
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal 30 November 2009
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
PEMANFAATAN PERANGKAT LUNAK OPEN SOURCE1 T. Budiman, S.Si
1 PENDAHULUAN Indonesia sebagai salah satu negara yang masih berkembang memiliki kepentingan yang lebih besar untuk dapat mengejar ketertinggalan dari negara-negara maju dalam berbagai bidang. Sayangnya memang untuk mengejar ketertinggalan dibutuhkan upaya (dan biaya) yang lebih besar. Namun bidang teknologi informasi adalah salah satu bidang di mana hal tersebut tidak berlaku. Gerakan open source dapat kita manfaatkan untuk mendapatkan transfer teknologi informasi dari negara-negara maju tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar. Pemaparan berikut akan menjelaskan manfaat-manfaat apa yang dapat diperoleh dengan menggunakan perangkat lunak open source.
2 MANFAAT EKONOMIS 2.1 Biaya Penerapan Teknologi Informasi Teknologi Informasi dapat memberikan manfaat yang besar dalam kehidupan sehari-hari sebagai perangkat bantu yang dapat memberi berbagai macam kemudahan, meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja, bahkan membantu dalam pengambilan keputusan. Namun penerapan teknologi informasi juga bukan tanpa biaya. Ada banyak hal yang perlu dilakukan agar teknologi informasi dapat berfungsi sebagaimana seharusnya. Dalam penerapannya dikenal istilah TCO (Total Cost of Ownership) yang 1 Artikel ini berlisensi Creative Commons Attribution-Share Alike 3.0 Unported License. PT Bina Persada Konsultan
2/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
mencakup perhitungan biaya untuk semua hal yang terkait dengan penerapan Teknologi Informasi. Hal-hal tersebut antara lain adalah: 1. Perangkat keras dan perangkat lunak: 1. Perangkat keras jaringan 2. Perangkat keras server 3. Perangkat keras workstation 4. Perangkat lunak jaringan 5. Perangkat lunak server 6. Perangkat lunak workstation 7. Biaya instalasi dan integrasi 8. Biaya riset pembelian 9. Biaya jaminan dan lisensi 10.
Biaya kegiatan audit lisensi
11.
Biaya migrasi
12.
Biaya penanggulangan resiko keamanan, upgrade,
kebijakan lisensi masa depan, dll. 2. Biaya operasional 1. Infrastruktur (ruangan) 2. Listrik 3. Biaya pengujian 4. Kerugian yang muncul bila terjadi kegagalan fungsi 5. Kerugian yang muncul bila terjadi penurunan perfoma kerja 6. Biaya keamanan 7. Biaya proses backup dan recovery
PT Bina Persada Konsultan
3/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
8. Biaya pelatihan 9. Biaya audit 10.
Biaya asuransi
11.
Biaya sumber daya manusia di bidang teknologi
informasi 3. Biaya jangka panjang 1. Biaya penggantian 2. Biaya upgrade di masa depan atau penanggulangan masalah skalabilitas 3. Biaya penghentian pemakaian Melihat biaya-biaya yang perlu dikeluarkan tersebut, tentunya setiap organisasi akan berusaha untuk melakukan penghematan bilamana memungkinkan. Mengingat untuk bagian pertama (yaitu perangkat keras dan perangkat lunak) kita masih banyak bergantung pada produsen luar negeri, maka umumnya biaya-biaya ini memiliki nilai yang cukup signifikan. Di sini perangkat lunak open source dapat menjadi solusinya. Perangkat lunak open source umumnya tidak memerlukan biaya untuk pembelian lisensi. Selain itu biaya-biaya dukungan untuk pemeliharaannya, mulai dari biaya instalasi, perawatan, upgrade, dan pelatihan dapat dilakukan oleh perusahaan / konsultan lokal yang tidak memerlukan hubungan kerja sama kontraktual secara khusus dengan produsen aslinya sehingga biayanya dapat ditekan2. Menurut analisa IDC yang diterbitkan di tahun 2008, setidaknya jumlah dana yang dapat dihemat dengan menggunakan lisensi open source di Indonesia adalah sebesar US$523 juta di tahun 2010 dan US$765 juta di 2 Umumnya produk dan jasa luar negeri tidak mengalami penyesuaian ketika dijual di Indonesia. Akibatnya (mengingat perbedaan PCI) produk luar negeri secara relatif terasa lebih mahal di Indonesia ketimbang di negara asalnya. PT Bina Persada Konsultan
4/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
tahun 20113
2.2 Ketergantungan Teknologi Sistem-sistem informasi yang sekarang ini dibangun umumnya sudah semakin lengkap dan memiliki banyak komponen-komponen yang saling berhubungan. Seringkali sebuah organisasi pada mulanya hanya membeli beberapa komponen dasar yang diperlukannya saja dengan harga yang semula dapat diterima. Namun seiring dengan kebutuhan organisasi yang meningkat, maka organisasi ini memerlukan komponenkomponen tambahan untuk sistem informasinya. Besar kemungkinan komponen tambahan ini harus dibeli dari produsen yang semula karena ada inkompatibilitas dengan produk dari produsen lain. Mengingat kondisi ini, produsen pun dapat memasang strategi harga yang menguntungkannya, mengingat konsumen tidak memiliki opsi lain yang lebih murah. Bahkan kalaupun suatu ketika produsen ini tidak lagi dapat memberikan pelayanan yang memuaskan, konsumen tidak dapat menunjuk produsen lain untuk menggantikannya. Dalam gambaran di atas, kita melihat sebuah efek dari ketergantungan teknologi (vendor lock-in), yang berakibat juga pada ketergantungan ekonomi, di mana konsumen tidak lagi memiliki posisi tawar terhadap produsen. Akibatnya organisasi dapat secara terpaksa mengeluarkan biaya lebih besar dari pada yang direncanakannya. Skenario di atas dapat terjadi bila kita menggunakan produk proprietary. Namun ini tidak dapat terjadi pada produk open source. Bila sebuah organisasi membeli sebuah produk dari produsen tertentu dengan 3 BSA, Economic Benefit for Lowering PC Software Piracy (http://www.bsa.org/idcstudy/). BSA menghitung selisih penambahan pengeluaran TIK bila tingkat pembajakan tetap 85% seperti sekarang ini dengan bisa tingkat pembajakan dapat ditekan menjadi 75% di tahun 2011, tentu dengan asumsi dilakukan pembelian lisensi. Jumlah $765 juta dollar itu sebenarnya hanya setara dengan 10% pengeluaran lisensi. Ini berarti Indonesia baru dapat menyetarakan tingkat pembajakannya dengan Jepang (di 20%) dengan mengeluarkan $ 4,975 milyar dollar atau sekitar 1% dari GDP nasional kita. PT Bina Persada Konsultan
5/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
lisensi open source, maka produk tersebut dapat dimodifikasi oleh pihak-pihak lain selain dari produsen itu. Bila saja misalnya organisasi membutuhkan komponen tambahan untuk aplikasinya, namun produsen semula menawarkan harga yang terlampau tinggi untuk komponen itu atau tidak sanggup memenuhi kebutuhan, maka masih ada dua opsi yang bisa dilakukan. Pertama, bila itu adalah produk open source, maka kemungkinan ada perusahaan lain yang juga memiliki keahlian di produk tersebut, sehingga konsumen bisa membandingkan pelayanan dan harga yang ditawarkan oleh perusahaan lain tersebut dan memilih yang lebih menguntungkan bagi konsumen. Kedua, bila memang tidak ada perusahaan lain, maka organisasi ini juga berhak dan dapat menambahkannya sendiri. Organisasi dapat menyewa sebuah tim dengan kemampuan pemrograman untuk mempelajari produk tersebut dan kemudian menambahkan sendiri komponen yang dibutuhkan. Dengan tidak terjadinya ketergantungan teknis, maka dimungkinkan adanya berbagai opsi solusi ini, dan dengan sendirinya faktor kompetisi bisnis menyebabkan solusi yang tersedia adalah solusi yang ekonomis.
2.3 Penghematan Devisa Seperti yang telah disebutkan di bagian pertama di atas, pengeluaran teknologi informasi bukan hanya sekedar pengadaan barang dan pembelian lisensi, tetapi juga berupa sejumlah jasa layanan lain. Untuk produk-produk proprietary luar negeri besar kemungkinan jasa layanan ini pun harus dibeli dari produsen luar negeri atau perusahaan lokal yang telah memiliki bentuk kerja sama khusus dengan produsen aslinya. Ini berarti bahwa selain biaya pengadaan, biaya lisensi, sebagian biaya jasa layanan pun akan mengalir ke luar negeri. Sebagai kontrasnya untuk aplikasi open source kemungkinan hanya biaya pengadaan perangkat keras saja yang masih mengalir ke luar negeri. Tidak ada biaya lisensi, dan jasa layanan dapat disediakan oleh perusahaan lokal sepenuhnya secara sah. Ini menyebabkan biaya-biaya PT Bina Persada Konsultan
6/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
jasa layanan dapat sepenuhnya mengalir di dalam negeri dan menghidupkan industri teknologi informasi nasional kita.
3 KOLABORASI TERBUKA 3.1 Model Pengembangan Bersama / Pemanfaatan Bersama Pada tahun 1991 Linus Torvalds, seorang mahasiswa di Universitas Helsinki, mulai membangun sebuah kernel sistem operasi. Dia mempublikasikan hasil karyanya di internet dengan harapan untuk memperoleh masukan dari orang-orang lain yang mungkin tertarik dengan proyek pribadinya tersebut. Saat itu dia menyebut bahwa proyeknya itu 'hanyalah hobby, tidak akan menjadi besar dan profesional'. Namun ternyata banyak orang lain yang juga tertarik dengan ilmu membuat kernel sistem operasi tersebut yang banyak memberi masukan, bahkan mengirimkan potongan-potongan source code untuk membantu Torvalds. Pada akhirnya sesuatu yang berawal dari proyek satu orang menjadi sebuah proyek yang dikerjakan oleh banyak orang yang bekerja secara sukarela melalui internet. Apalagi ketika Linux, nama kernel tersebut, sudah bisa mulai digunakan maka kombinasinya dengan aplikasi-aplikasi yang sudah dibuat dalam Proyek GNU sudah dapat menghasilkan sebuah sistem operasi lengkap dengan aplikasi-aplikasinya yang telah dapat digunakan. Pekerjaan mengumpulkan, menyatukan, dan mempaketkan ribuan aplikasi yang tersebar di internet juga bukanlah pekerjaan yang mudah. Muncullah proyek-proyek khusus, yang juga berbasis sukarelawan untuk melakukan pekerjaan ini seperti misalnya Proyek Debian ataupun yang sudah berupa perusahaan seperti misalnya Red Hat. Ini adalah contoh kolaborasi generasi pertama di mana sekumpulan PT Bina Persada Konsultan
7/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
individu secara spontan membentuk sebuah komunitas kolaborasi dengan tujuan yang sama, yaitu menyediakan sebuah sistem operasi open source untuk dapat digunakan di PC. Motivasi para anggotanya berbeda-beda, mulai dari sekedar untuk belajar, hobby, idealisme, sampai motivasi bisnis, namun semuanya terakomodasi dalam satu wadah bersama yang saat itu tidak memiliki entitas hukum4. Contoh bentuk kolaborasi generasi kedua adalah Apache Software Foundation. Apache Software Foundation dibentuk sebagai sebuah badan hukum non-profit untuk mewadahi kebutuhan individu-individu dan organisasi yang berbeda untuk melakukan kolaborasi bersama dalam membangun perangkat lunak (pada awalnya adalah server web Apache, yang sampai kini paling banyak digunakan di internet). Dengan adanya sebuah badan hukum, maka ASF dapat memberikan perlindungan hukum bagi produk-produk open source yang dihasilkan oleh anggota-anggotanya. Namun keanggotaan pada ASF masih berupa individu dan bukan perusahaan. Kolaborasi generasi ke-3 yang sekarang ini mulai banyak digunakan adalah kolaborasi antar organisasi, bukan lagi antar individu. Berbeda dengan organisasi standardisasi seperti ISO, organisasi ini berfokus pada pengembangan produk secara bersama-sama5. Pada akhir tahun 2001 IBM mengumumkan peluncuran proyek Eclipse sebagai sebuah proyek open source. Eclipse adalah aplikasi Integrated Development Environment (IDE) yang merupakan pembangunan ulang dari IDE seri VisualAge. Keunikannya Eclipse didesain sebagai sebuah platform pembangun aplikasi yang memungkinkan pihak lain menambahkan fungsionalitas dengan mudah dalam bentuk plug-in. IBM bahkan mempercayakan pengelolaan proyek tersebut pada sebuah 4 Hak cipta Linux dipegang oleh Linus Torvalds dan banyak kontributor lainnya sesuai dengan bagian pekerjaannya masing-masing. Nama dagang 'Linux' terdaftar atas nama Linus Torvalds, sekedar untuk mencegah nama tersebut disalahgunakan oleh orang lain. 5 François Letellier, Open Source Software: the Role of Nonprofits in Federating Business and Innovation Ecosystems, 2008 PT Bina Persada Konsultan
8/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
organisasi non-profit bernama Eclipse Foundation yang beranggotakan perusahaan-perusahaan lain yang berminat untuk mengembangkan aplikasi berdasarkan Eclipse. Perusahaan-perusahaan lain menyambut inisiatif tersebut dengan baik sehingga dalam waktu yang relatif singkat bermunculanlah beragam plug-in Eclipse untuk berbagai keperluan yang dibangun oleh perusahaan yang berbedabeda. Sebagian dimanfaatkan untuk membuat IDE atau plug-in yang komersial, dan sebagian menjadi plug-in yang juga open source. Kolaborasi antar perusahaan ini memungkinkan terjadinya perkembangan yang amat pesat dan mendorong vendor-vendor IDE yang sebenarnya telah memiliki platform IDE sendiri seperti Borland JBuilder ikut beralih menggunakan platform Eclipse6. Pola kolaborasi semacam ini adalah pola yang cocok pula untuk digunakan dalam konteks Indonesia. Organisasi-organisasi yang memiliki kebutuhan dasar perangkat lunak yang sama dapat memilih untuk bekerja sama dengan mengembangkan perangkat lunak dasar yang kemudian dikelola, dikembangkan, dan dapat digunakan bersama-sama. Selain memberi dukungan dalam upaya komunitas untuk membentuk distro nasional, kegiatan IGOS juga termasuk mencoba menfasilitasi terbentuknya komunitas yang dapat bekerja sama membangun dan memanfaatkan aplikasi-aplikasi sistem informasi untuk keperluan egovernment. Aplikasi-aplikasi jenis lain juga dapat dibangun dengan bentuk kolaborasi semacam ini, sebagi contoh aplikasi manajemen koperasi, aplikasi manajemen sekolah, atau bahkan upaya pengadaan laptop untuk anak-anak di daerah yang belum memiliki listrik (Proyek OLPC – One Laptop Per Child).
6 T. Budiman, Open Source: Kuda Hitam Teknologi Informasi, SDA Asia 2006 PT Bina Persada Konsultan
9/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
3.2 Solusi yang Unik Tidak ada dua buah organisasi yang tepat sama. Ada banyak sekali faktor yang menentukan keadaan dan kondisi sebuah organisasi, mulai dari orang-orang di dalamnya, kultur kerjanya, letak geografisnya, masyarakat di sekitarnya, proses kerjanya, sampai tujuan dan visi organisasi tersebut. Oleh karena itu kebutuhan atas teknologi informasi juga akan unik bagi organisasi tersebut. Di dalam banyak hal muncul kebutuhan-kebutuhan khusus yang spesifik bagi sebuah organisasi. Kebutuhan-kebutuhan khusus ini mungkin saja dapat dipenuhi oleh solusi proprietary, tetapi dapat pula tidak. Dalam hal ini pihak produsen menjadi satu-satunya pihak yang menentukan dan apa pun keputusannya terpaksa diterima. Namun seperti kita lihat di bagian sebelumnya ketika kita menggunakan solusi open source, maka pihak-pihak lain yang memiliki kemampuan yang dibutuhkan dapat saja turut memberikan solusi tersebut. Penggunaan solusi open source menjamin bahwa pengguna memiliki potensi untuk mendapatkan solusi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhannya. Jaminan ini belum tentu terdapat dalam solusi proprietary.
4 TINDAKAN Hal-hal yang dapat dilakukan sebagai individu a.l.: 1. Lakukan pengecekan apakah perangkat lunak yang biasa kita gunakan adalah perangkat lunak dengan lisensi yang legal. 2. Pertimbangkan perangkat lunak mana saja yang sebenarnya tidak kita butuhkan dan mana saja yang tidak dibutuhkan. 3. Bila masih terdapat perangkat lunak yang belum legal yang kita pergunakan, carilah informasi mengenai biayanya. 4. Coba mulai mengenal penggunaan Linux. Ada distro Linux yang PT Bina Persada Konsultan
10/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
dapat dicoba tanpa diinstall (LiveCD), dan ada juga yang dapat diinstall di sebagai aplikasi Windows. 5. Bila Anda ingin mencoba menggunakan Linux secara reguler, dapat dicoba untuk diinstal secara bersamaan dengan sistem operasi yang biasa digunakan (dual boot). Untuk in disarankan untuk mencari bantuan dari orang yang sudah menguasai Linux7. 6. Periksa apakah perangkat-perangkat lunak yang biasa Anda gunakan dan yang Anda butuhkan tersedia juga yang berlisensi open source. 7. Pertimbangkan kemungkinan untuk migrasi menggunakan solusi open source, hal-hal apa saja yang perlu disiapkan dan dilakukan. 8. Cari rekan kerja yang juga mau mencoba hal yang sama, proses belajar menggunakan perangkat yang baru lebih baik dilakukan bersama-sama. 9. Cari komunitas yang dapat menjadi tempat bertanya dan meminta bantuan.
5 PENUTUP Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa dua buah kategori besar manfaat penggunaan perangkat lunak open source adalah dari faktor ekonomi dan dari faktor kolaborasi terbuka. Dari sisi ekonomi perangkat lunak open source dapat digunakan untuk menekan biaya penerapan teknologi informasi sekaligus memutus ketergantungan teknologi maupun finansial pada vendor-vendor luar negeri. Kesempatan ini juga dapat digunakan untuk menjalin sebuah upaya pengembangan dan inovasi bersama yang mengarah pada penggunaan secara bersama pula yang diharapkan dapat turut membangun sebuah ekosistem usaha 7 Walaupun proses instalasi Linux sudah dibuat semudah mungkin, bila terjadi kesalahan resikonya adalah data pada harddisk Anda hilang. Pengguna biasa umumnya tidak pernah diharapkan untuk menginstal sendiri sistem operasinya (baik Linux maupun Windows). PT Bina Persada Konsultan
11/12
Kementerian Negara Pembangunan Daerah Tertinggal
yang menguntungkan bagi semua pihak di Indonesia.
PT Bina Persada Konsultan
12/12