Papa

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Papa as PDF for free.

More details

  • Words: 783
  • Pages: 2
Papa

Pada hari itu, papa dengan kakinya yang terpincang-pincang memakai tongkatnya memasuki rumah saya. Saya segera keluar menyambutnya :”Pa, kenapa engkau ke sini ?” Papa tidak menjawab hanya diam saja, dengan terpincang memapah tongkatnya memasuki ruang tamu, saya menghidangkan segelas teh untuknya dan bertanya : ”Pa, ada masalah apa ?” Papa dengan serius meminum teh yang saya hidangkan dan tidak menjawab pertanyaan saya. Setelah beberapa saat papa dengan suara serak berkata : ”Saya tidak mau tinggal di rumah abang keduamu lagi.” Saya berkata : ”Papa ngambek lagi.” “Ngak, tetapi saya tidak mau tinggal di sana lagi.” Saya tahu penyakit lama papa kambuh lagi. Sekarang umur papa sudah tujuh puluh enam tahun, sejak saya kecil sampai sekarang, saya tahu papa mempunyai tabiat yang sangat jelek, suka marah-marah, semua anggota keluarga harus patuh kepadanya. Di era tahun 90-an kami tiga bersaudara sudah berangsur-angsur dewasa, satu persatu meninggalkan kampung halaman dan berkeluarga, akhirnya papa juga ikut dengan abang ke dua saya pindah kekota dan tinggal di rumah abang yang agak besar, kakak ipar saya menyediakan sebuah kamar untuknya dan melayani dia dengan baik, walaupun suasana hidup dan umur yang sudah bertambah tetapi temperamen papa yang cepat marah tidak berubah sedikitpun. Sifat diktator papa masih berlanjut, membuat suasana keluarga abang ke dua menjadi kacau. Oleh sebab itu cekcok sering terjadi, Pada musim semi di tahun 1992 papa datang mencari saya, dia berteriak bagaikan petir menyatakan ingin pulang ke kampung dan tinggal sendirian di kampung. Seorang yang sudah tua dan kesepian yang mempunyai 3 orang putera, tetapi membiarkannya tinggal sendirian di kampung membuat saya tidak tega. Saya mencari ke dua abang saya dan membicarakan masalah ini, akhirnya diambil keputusan, papa bergilir tinggal bersama kami bertiga. Dengan terpaksa papa setuju kepada pendapat kami dan berjanji tidak akan mencampuri urusan rumah tangga kami lagi. Dengan demikian keadaan yang damai berjalan beberapa tahun. Tiga tahun terakhir ini, kesehatan papa makin buruk, pertama pendengarannya berkurang, kakinya sudah tidak begitu kuat lagi dan harus memakai tongkat. Setengah tahun yang lalu karena masalah sepele, papa ribut dengan abang sulung saya dan pindah lebih cepat ketempat abang ke dua, di sana dia hanya tinggal 2 bulan terjadi kegaduhan lagi.

Saya tahu papa orangnya sensitif, keras kepala dan banyak prasangka sehingga sulit bergaul dengan orang lain. Tetapi saya tidak dapat menyalahkan papa, umurnya sudah hampir delapan puluhan, seumur hidup sudah bertemperamen tinggi, tidak mungkin merubah sifatnya lagi. Saya tahu papa datang kerumah saya bermaksud tinggal bersama dengan saya, tetapi kamar yang biasanya papa pakai sedang bocor dinding kamar lembab belum sempat diperbaiki sehingga tidak mungkin dipakai lagi, saya memberitahukan hal ini kepada papa dan menasehati dia agar sabar tinggal bersama abang ke dua saya lagi. Tetapi dia berkata jika tempat saya tidak bisa dia akan pulang ke kampung tinggal di kampung sendiri.Melihat ekpresi papa yang sedih bagaikan seorang yang sendirian tersesat di padang pasir membuat saya sangat sedih. Melihat hari telah gelap saya berkata kepadanya : ”Pa, hari telah gelap, saya antar papa pulang dulu ke rumah abang, besok pagi saya akan mencari kamar kos yang dekat dengan rumah saya dan papa bisa pindah ke sana.” Papa setuju dengan saya. Saya memanggil sebuah becak. Dengan kaki kirinya papa berusaha melangkah naik ke atas becak dengan susah payah dia tidak bisa naik, saya mencoba memapahnya naik tetapi berkali-kali dia mencoba memakai tenaganya untuk naik gagal, pada saat ini saya menyadari tubuh papa begitu kurus dan lemah, akhirnya saya mengendong dia naik di atas becak. Dalam perjalanan, saya teringat masa kecil saya ketika saya belajar berjalan dan akan jatuh, tangan kokoh papa dengan sabar memapah saya, pada masa remaja papa sering memboceng saya dengan sepedanya, ketika saya kuliah di luar kota, setiap 10 hari papa akan mengunjungi saya dan membawa kebutuhan sehari-hari saya dan ketika saya sudah kerja papa sering menasehati saya. Dapat dikatakan, di masa pertumbuhan saya setiap menit setiap jam papa selalu mengulurkan tangannya yang hangat kepada saya. Pada saat ini, papa sudah tua sedang memerlukan uluran tangan seseorang. Saya bertanya kepada diri saya sendiri, ada apa dengan diri saya ? Pada saat dia memerlukan bantuan saya kenapa saya harus mengantar papa pergi?” Jika papa bersedia tinggal di rumah saya saat ini? Kenapa saya tidak mengabulkan permintaannya? Pada saat papa memerlukan kehangatan keluarga dan perhatian, saya masih mencari alasan yang tidak masuk akal menolak dia. Saya memalingkan kepala memperhatikan papa, muka papa sudah berkeriput dan dia sedang memejamkan matanya yang lelah, dalam goncangan becak saya melihat mukanya yang menyedihkan membuat hati saya sangat pilu. Saya menyuruh tukang becak berhenti, membalik arah. Papa membuka matanya bertanya kepada saya : ”Ada apa?” Saya menjawab : ”Pa, kita sekarang tidak akan pergi kemanapun, kita akan segera pulang ke rumah!” suara saya sangat serak, airmata meleleh ke pipi saya. (erabaru.or.id)

Related Documents

Papa Papa
June 2020 10
Papa
June 2020 11
Papa
May 2020 14
Papa
May 2020 9
Papa
December 2019 31
Papa
October 2019 24