PANCASILA
Kata Pengantar
Pancasila sebagai dasar Negara bangsa Indonesia hingga sekarang telah mengalami perjalanan waktu yang tidak sebentar, dalam rentang waktu tersebut banyak hal/peristiwa yang terjadi menemani perjalanan Pancasila. Mulai peristiwa pertama saat pancasila dicetuskan sudah menuai banyak konflik di internal para pencetusnya, hingga sekarangpun di era reformasi dan globalisasi Pancasila masih hangat diperbincangkan oleh banyak kalangan berpendidikan terutama kalangan Politik dan mahasiswa. Kebanyakan dari para pihak yang memperbincangkan masalah Pancasila adalah mengenai awal dicetuskannya Pancasila tentang sila perta aterutama. Memang dari sejarah awal perkembangan bangsa Indonesia dapat kita lihat bahwa komponen masyarakatnya terbentuk dari dua kelompok besar yaitu kelompok agamis dalam hal ini didominasi oleh kelompok agama Islam dan yang kedua adalah kelompok Nasionalis. Kedua kelompok tersebut berperan besar dalam pembuatan rancangan dasar Negara kita tercinta ini. Makalah ini dibuat sebagai catatan perjalanan Pancasila dari jaman ke jaman, agar kita senantiasa tidak melupakan sejarah pembentukan Pancasila sebagai dasar Negara, dan juga dapat digunakan untuk menjadi penengah bagi pihak yang sedang berbeda pendapat tentang dasar Negara supaya kedepan kita tetap seperti semboyan kita yaitu “Bhineka Tunggal Ika”.
DAFTAR ISI
Pokok Bahasan : •
Bagaimana anda melihat peristiwa perumusan Pancasila 64 tahun yang lalu/
•
Apa artinya Pancasila merupakan campuran berbagai ide?
•
Ada pendapat Pancasila merupakan hasil kompromi dari dua kekuatan yang bersaing saat itu?
•
Mengapa kita harus melihat sejarah pancasila?
•
Apa akibatnya jika Pancasila hanya dilihat dalam satu momentum saja?
•
Ke depan apakah sebagai pengikat Pancasila masih bisa diandalkan?
•
Bagaimana cara yang harus di lakukan untuk menanamkan pemahaman itu?
•
Bagaimana bisa orang Indonesia tidak lagi peduli dengan dasar Indonesia (Pancasila)?
•
Dalam penerapan Pancasila gagal, apa pendapat anda?
•
Padahal Pancasila sangat mengandalkan kesejahteraan rakyat?
•
Orang akan kembali percaya kepada Pancasila kalau nilai-nilai sudah dibuktikan?
Penjabaran :
Pancasila. Istilah Pancasila selalu berkumandang pada masa Orde Baru di bawah kepemimpinan HM Soeharto. Apa saja selalu dikaitkan dengan Pancasila. Begitu pula dengan Undang-Undang Dasar 1945 selalu dibicarakan. Pancasila dan UUD 1945 menjadi dua istilah sangat popular, bahkan selalu menjadi slogan Orde Baru. Kita tentu masih ingat tentang P-4 (Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila) yang disosialisasikan dalam dunia pendidikan, baik formal, informal maupun non-formal. Istilah Penataran P-4 tidaklah asing bagi generasi muda kala itu. Selanjutnya buat mereka yang aktif dalam organisasi social kemasyarakatan dan politik, istilah asas tunggal Pancasila juga ramai dibincangkan. Sama halnya dengan Pancasila, istilah UUD 1945 juga selalu ditekankan oleh para elit Orde Baru. Mereka kala itu selalu menyebut-nyebut UUD 1945, terlebih ketika hendak menyusun atau membuat berbagai peraturan dan perundang-undangan. Pidato para pejabat selalu mengaitkannya kepada konstitusi tersebut. Tak pelak lagi, Pak Harto sebagai Presiden, mandataris MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan tokoh utama dalam mensosialisasikan Pancasila dan UUD 1945. Boleh disebut, Pak Hartolah yang secara tegas menyatakan bahwa pedoman, pegangan, landasan, acuan utama kita dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara adalah Pancasila dan UUD 1945. “Kita harus melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen,” ucap Pak Harto dalam tiap kesempatan. Penekanan kata murni dan konsekuen dipahami sebagai tidak perlunya lagi kita mengusik, mengotak-atik Pancasila dan UUD 1945 sebagaimana apa adanya seperti yang ditetapkan pada 18 Agustus 1945, sehari setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan oleh Bung Karno dan Bung Hatta. Guna mengamankan konstitusi, perubahan UUD 1945 hanya dimungkinkan jika melalui persetujuan lewat referendum. Dalam perjalanannya, mengingat begitu kuatnya penekanan tentang pentingnya Pancasila dan UUD 1945 masa Orde Baru, banyak orang merasa bosan, jenuh atau bahkan menjadi antipati. Terlebih lagi memang upaya mensosialisasikan dasar Negara dan konstitusi tersebut oleh elit Orde Baru kala itu seolah tidak ada jemu-jemunya, bahkan cenderung seolah seperti tidak ada kata henti. Kesan pemaksaan sering dijadikan alasan untuk menolak Pancasila. Sementara, banyak pula yang melihat berbagai prilaku, tindakan atau perbuatan, baik oleh pejabat maupun anggota masyarakat, dinilai menyimpang jauh dari nilai-nilai Pancasila yang disosialisasikan dan dilestarikan itu. Akhirnya ketika gerakan reformasi menerpa kita semua dan Pak Harto lengser pada 21 Mei 1998, Pancasila dan UUD 1945 ikut pula dilengserkan. Sosialisasi Pancasila lewat P-4 dihentikan. BP-7 (Badan Pelaksanaan Pendidikan dan Pengkajian Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) lembaga penyelenggara P-4 dibubarkan. Sementara UUD 1945 diamandemen hingga 4 kali sehingga kini konstitusi kita dinilai betul-betul sudah menjadi baru, tidak lagi sama dengan apa yang dirumuskan para founding father. Buruk Rupa Cermin Dibelah, Lantas apakah dengan kita melengserkan Pancasila dan UUD 1945, kehidupan kita bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kini menjadi jauh lebih baik dibandingkan masa Orde Baru? Apakah berbagai krisis ekonomi,
krisis multi dimensi sebagaimana terjadi pada penghujung masa Orde Baru sudah teratasi? Sudah tentu jawabannya tidak dapat dinyatakan secara hitam putih. Hal yang pasti, permasalahan yang dihadapi masa sekarang tampaknya tidak banyak beranjak jauh, terutama yang dirasakan oleh rakyat kalangan menengah ke bawah. Sementara untuk di kalangan sebagian elit secara pribadi-pribadi, kelompok atau golongan tentu saja menilai banyak jauh meningkat pada kondisi saat ini. Terlebih bila kita memang total melupakan Pancasila dan UUD 1945. Nah, dari kondisi saat ini yang dinilai masih gonjang ganjing itulah, sementara pihak melihat ada sesuatu yang hilang dalam kehidupan kita. Mereka melihat kita selama ini ternyata ibarat “buruk rupa cermin dibelah.” Maksudnya, wajah kita yang buruk tapi malah yang kita rusak adalah cermin, alat bagi kita untuk dapat melihat siapa kita. Lebih jauh, dapat pula bagaikan: “kita tak pandai menari, lantai yang dibilang goyah.” Selain itu dapat pula ibarat: “pesawat yang gagal diterbangkan tapi landasan yang dipersalahkan.” Kenyataan tersebut membuat ada penilaian yang menyebutkan kita kini dalam kondisi memprihatinkan. Rakyat Indonesia mengalami degradasi wawasan nasional bahkan juga degradasi kepercayaan atas keunggulan dasar Negara Pancasila, sebagai sistem ideology nasional karenanya, elit reformasi mulai pusat sampai daerah mempraktekkan budaya kapitalisme-liberalisme dan neo-liberalisme. Jadi, rakyat dan bangsa Indonesia mengalami erosi jati diri nasional!” Kalau kita melihat masalah Undang-Undang Dasar 1945 dan Pancasila. Ketiganya terlihat sepakat bahwa saat ini kita sudah melenceng atua bahkan cenderung sudah mengabaikan penerapan substansi dari konstitusi dan ideologi Negara sebagaimana yang diamanatkan oleh para founding father, bapak bangsa. Penyelenggaraan kehidupan bermasyarkaat, berbangsa dan bernegara saat ini tidak lagi memakai acuan UUD 1945 dan Pancasila. Masa Orde Baru sudah memulai menanamkan Pancasila dan UUD 1945 dalam pikiran kita. Selanjutnya sudah pula terus diucap-ucapkan dan banyak pula dicoba diterapkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dasar Negara dan konstitusi warisan founding fathers itu tidak disosialisasikan dalam waktu singat tapi makan waktu cukup lama, lewat proses dialog yang panjang. Lewat musyawarah mufakat yang tidak langsung begitu saja disetujui. Bayangkan, penerimaan Pancasila sebagia satu-satunya asas buat organisasi sosial politik dan kemasyarakatan baru disepakati pada Sidang Umum MPR 1983, sekitar 15 tahun setelah Orde Baru. Itu pun tidak langsung diterapkan karena dibuat dulu undang-undangnya. Sementara sampai berakhirnya Orde Baru, sebenarnya upaya sosialisasi dan pelestariannya masih terus dilakukan. Sungguh saying, euphoria reformasi telah membuat kita lupa, mana yang harus tetap dipertahankan dan mana yang harus dibuang. Kita terlalu emosional sehingga semua produk Orde Baru dianggap keliru. Padahal yang keliru adalah dalam tararan operasional yang memang dimungkinkan dapat saja belum sesuai dengan Pancasila dan UUD 1945. Hal paling menarik, kita melihat seolah Pancasila dan UUD 1945 adalah produk Orde Baru. Pelaksanaan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen hanyalah
rekayasa, sebuah kepentingan kekuasaan Orde Baru. Oleh karena itulah agaknya kenapa kita kini merasa tidak penting lagi melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Bukankah hal ini sangat naïf jika kita seharusnya mau menjunjung tinggi warisan para founding father? Founding father ibarat orangtua dalam kehidupan keluarga. Dari kacamata agama, kita sebagai anak harus berbakti kepada orangtua. Artinya, warisan dan nilai-nilai yang ditinggalkan sebagai amanat orangtua harus kita junjung. Kalau tidak, kita dapat kualat, menjadi anak durhaka. Berbagai bencana yang terus melanda, krisis dan masalah yang terus menghinggapi rakyat kita, boleh jadi sebagai pertanda Tuhan menegur kita karena kita kualat atau durhaka. Tampaknya, memang mau tidak mau kita harus kembali memakai wacana “mari melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen.” Oke saja, titik tolaknya tidak dengan melihat apa yang dilakukan pada masa Orde Baru dan juga Orde Lama. Melainkan mari kital ebih jauh back to basic, melihat langsung sejarak produk awal lahirnya dasar Negara dan konstitusi yang kemudian ditetapkan pada 18 Agustus 1945. mungkin dari sini kita akhirnya dapat kembali membangun semangat Kebangkitan Nasional 1908, Sumpah Pemuda 1928 dan akhirnya semangat Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Pancasila sebagaimana kita yakini merupakan jiwa, kepribadian dan pandangan hidup bangsa Indonesia. Disamping itu juga telah dibuktikan dengan kenyataan sejarah bahwa Pancasila merupakan sumber kekuatan bagi perjuangan karena menjadikan bangsa Indonesia bersatu. Karena Pancasila merupakan ideology dari negeri kita. Dengan adanya persatuan dan kesatuan tersebut jelas mendorong usaha dalam menegakkan dan memperjuangkan kemerdekaan. Ini membuktikan dan meyakinkan tentang Pancasila sebagai suatu yang harus kita yakini karena cocok bagi bangsa Indonesia. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kita ideologi sendiri diciptakan oleh destutt de trascky pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan “sains tentang ide”. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu, sebagai akal sehat dan beberapa kecenderungan filosofis, atau sebagai serangkaian ide yang dikemukakan oleh kelas masyarakat yang dominant kepada seluruh anggota masyarakat (definisi ideology Marxisme). Untuk bisa melihat Pancasila sebagai lebih jernih kita perlu melihat sejarah awalnya Pancasila. Pancasila adalah sebuah istilah yang diciptakan Bung Karno dalam pidatonya di siding BPUPKI tanggal 1 Juni 1945, sehingga dikenal sebagai hari lahirnya Pancasila. Sedikit dari kita yang masih mengingat bahwa Pancasila versi Bung Karno di BPUPKI berbeda dengan Pancasila yang kita kenal sekarang. Secara histories, selama ini kita telah salah memahami Pancasila. Banyak orang mengira, Pancasila itu adalah sesuatu yang murni diciptakan oleh Soekarno, dan merupakan sebuah karya yang digali dari perut bumi Nusantara. Itu, jelas, tidak seluruhnya benar, namun tidak juga semuanya salah. Yang benar adalah, apa yang dirumuskan oleh Soekarno pada 1 Juni 1945 itu, merupakan kristalisasi dari pemikirannya sejak 1926. Kita tahu, pada tahun itu, Soekarno menulis sebuah buku yang dia beri judul Nasionalisme, Islam dan Marxisme. Nah, dari sinilah kemudian Soekarno mulai mengembangkan pemikirannya hingga 1940-an. Kemudian, ada orang bilang, Pancasila itu digali dari
warisan asli Indonesia. Kata siapa? Kalau benar itu warisan asli bumi Indonesia, mengapa Soekarno dalam Lahirnya Pancasila menyebut pemikiran Lenin, Sun Yat Send an beberapa ahli lainnya? Pancasila yang kita kenal sekarang adalah Pancasila versi Piagam Jakarta, dengan revisi sila pertama. Pancisa versi Bung Karno adalah seperti ini : 1. 2. 3. 4. 5.
Kebangsaan Internasionalisme atau kemanusiaan Mufakat dan demokrasi Kesejahteraan sosial Ke-Tuhanan Yang Maha Esa
Bung Karno melihat bahwa yang paling penting sebagai fondasi berbangsa adalah kita harus menjadi sebuah bangsa yang satu. Setelah itu baru menyusul kemanusiaan, kerakyatan, keadilan, dan ke-Tuhanan. Dulu sewaktu masih sekolah aku sempat mempertanyakan kenapa Bung Karno menempatkan ke-Tuhanan sebagai sila terakhir. Apakah Bung Karno menganggap Tuhan tidak penting? Bung Karno melihat sila keTuhanan sebagai sebuah penutup untuk melengkapi. Beliau menyadari bahwa agamaagama yang berbeda di Indonesia juga bisa membawa benih perpecahan. Sebagai penutup, sila ke-Tuhanan versi Bung Karno berarti toleransi beragama, janganlah keempat sila sebelumnya tercerai-berai hanya karena pertikaian agama. Itulah versi Bung Karno. Lain lagi dengan versi Mohammad Yamin. Beliau menempatkannya seperti ini : 1. Peri Kebangsaan 2. Peri Kemanusiaan 3. Peri Ke-Tuhanan 4. Peri Kerakyatan 5. Keadilan Sosial Kemudian Yamin merevisinya menjadi : 1. Ketuhanan Yang Maha Esa 2. Rasa Persatuan Indonesia 3. Rasa Kemanusiaan yang adil dan beradab 4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan / perwakilan 5. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia Mohammad Yamin menempatkan Tuhan di sila pertama. Yamin memaknai sila keTuhanan berbeda dengan Bung Karno. Baginya ke-Tuhanan bukan menjadi dasar Negara melainkan pengakuan akan ke-Tuhanan Yang Maha Esa. Yamin juga melihat potensi sila ini sebagai pemecah bangsa. Tiap-tiap agama monoteis memiliki konsepsi Tuhan yang berbeda-beda. Belum lagi yang animis, polities apalagi ateis. Oleh karena itu di dalam pidatonya ia mengatakan bahwa ke-Tuhanan hanya mengikat bagi bangsa Indonesia, tidak mengikat bagi masing-masing pribadi. Namun tawaran ini juga memberikan masalah baru, karena kalau sila pertama tidak mengikat, begitu pula sila berikutnya, dengan demikian peri kemanusiaan juga tidak mengikat, begitu pula kebangsaan, kerakyatan dan keadilan. Ini menjadi masalah besar. Sementara itu golongan Islam umumnya mempunyai tafsir yang lain. Kelompok ini dapat diwakili oleh pemikiran Hatta, Natsir dan Hamka. Mereka semua berpendapat bahwa sila pertama adalah fondasi bagi sila-sila lain. Karena jika seorang mengakui
Tuhan Yang Maha Esa, ia juga otomatis menjadi seorang yang berperikemanusiaan, kebangsaan kerakyatan, dan tentunya juga berkeadilan sosial. Sila pertama adalah inti dari Pancasila. Golongan agama, khususnya monoteis, setelah digantinya versi Piagam Jakarta yang berbunyi ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalan syariat Islam bagi penganutnya, dapat menerima versi ini. Akhirnya adalah Pancasila dari Piagam Jakarta-lah yang kita pakai sampai saat ini, minus sila Pertama : Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Hukum Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemelukpemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Penyusunan Piagam Jakarta ini adalah panitia kecil yang terdiri dari Soekarno, Hatta, Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdulkahar Muzakkir, Agus Salim, Achmad Subardjo, Wachid Hasjim dan Mohammad Yamin. Kelompok ini memang didominasi oleh golongan Islam, sehingga tidak aneh hasilnya seperti demikian. Dan bisa dipahami bahwa Ke-Tuhanan yang Maha Esa versi Piagam Jakarta mengacu pada keTuhanan versi Islam, atau paling tidak versi agama monoteis. Agama polities seperti Hindu dan agama ateis seperti Buddha tidak mendapat tempat. Begitu pula penganut animisme, dinamisme, dan banyak kepercayaan menurut adat lainnya. penganut paham materialis seperti komunisme juga tidak mendapat tempat. Jumlah mereka yang diabaikan memang jauh lebih kecil dibandingkan dengan penganut monoteisme tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa mereka juga berdiam di tanah Indonesia. Salah satu bukti cerdasnya Soekarno. Sepanjang proses pergerakan nasional dan pasca kemerdekaan, ideologi yang selalu bersaing adalah kekuatan Islamisme dan kekuatan nasionalisme. Karena itu, Soekarno memberikan sebuah rumusan yang bisa mengikat kedua ideologi itu untuk kepentingan bangsa. Rumusan itu adalah Pancasila. Jadi, tujuan Soekarno merumuskan Pancasila adalah untuk memberi kedua ideologi yang berbeda itu suatu pegangan bersama. Jadi, sangat tidak mungkin memisahkan Soekarno dengan Pancasila? Tentu saja tidak mungkin. Dan ini yang penting, adalah sangat keliru kalau ada orang yang mengidentikkan Soekarno hanya dengan Pancasila yang dirumuskan 1 Juni. Pancasila yang dirumuskan 1 Juni itu adalah Pancasila yang kemudan berproses sampai 18 Agustus. Jadi, kalau ada orang yang menilai Pancasila 1 Juni, Pancasila 22 Juni, dan Pancasila 18 Agustus, itu masing-masing berbeda, yakin saja, orang itu tidak paham sejarah. Pancasila itu adalah dari 1 Juni, 22 Juni hingga 18 Agustus, itu tidak bisa dipisahkan. Dan, di setiap momen itu, Soekarno selalu menjadi penentu. Jadi, kalau ada orang yang mau memisahkan Pancasila dengan Soekarno, itu kecelakaan sejarah. Di sinilah akar permasalahan Pancasila, di sila pertama. Sila-sila yang lain relatif tidak bermasalah dan dapat diterima semua pihak. Persoalan ini kemudian dibawa ke Konstituante yang bertugas merumuskan sebuah undang-undang dasar yang tetap, mengingat semua undang-undang dasar sebelumnya (UUD 45, UUD RIS, UUD
Sementara) adalah bersifat sementara. Masalah perumusan dasar Negara adalah penting sebelum penyusunan konstitusi karena diperlukan pijakan filosofis bagi konstitusi: apakah ia berdasar agama, atua yang lain misalnya. Pancasila yang tercantum di UUD 1945 adalah sebuah kesepakatan sementara yang diterima dalam keadaan darurat, dimana perbedaan-perbedaan diabaikan demi kepentingan situasi. Adalah tugas Konstituante untuk menyelesaikan masalah ini, begitu besar masalah yang diemban oleh Konstituante. Di lain pihak Konstituante adalah badan paling demokratis yang pernah ada di bumi Indonesia. Ia dibentuk oleh pemilu yang paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Semua orang menaruh harapan besar pada Konstituante. Di dalam Konstituante terdapat pertentangan yang kuat tentang tafsir Pancasila ini. Penafsiran kelima sila lima tersebut tidak mencapai kesepakatan mengenai sila apa yang paling mendasar. Golongan agama melihat sila yang pertama, Ke-Tuhanan Yang Maha Esa sebagai yang paling utama dan mendasari sila yang lain. Golongan komunis, yang cukup besar waktu itu sebagai pemenang ke-4 Pemilu tentu tidak bisa menerima ini. Mereka mau mengubah sila pertama menjadi “Kebebasan Beragama”. Secara implicit sebenarnya mereka mau memasukkan tafsir bahwa bebas beragama juga berarti bebas tidak beragama, yang menjadi landasan berpikir bagi paham mereka. Ini tentu saja tidak bisa diterima oleh golongan agama, karena melihat ini sebagai pintu masuk bagi komunis untuk mengambil alih Negara ini. Pihak nasionalis yang diwakili PNI juga memiliki pemikiran yang lain. Mereka mengikuti pemikiran Bung Karno yang menempatkan kebangsaan sebagai sila yang utama. Bung Karno jika dipaksa menyarikan Pancasila menjadi satu sila, ia menamakannya Ekasila, yaitu “Gotong Royong”. Golongan agama tentu tidak bisa menerima ini juga, karena sila utamanya menjadi bukan sila ke-Tuhanan. Perdebatan tiga golongan ini cukup untuk membuat siding Konstituante panas. Sayangnya masalah ini tidak pernah selesai. Pada saat Konstituante sedang masa reses, mereka ditelikung dari belakang lewat persekutuan di belakang antara Soekarno lewat PNI, tentara melalui IPKI (Ikatan Partai Pendukung Kemerdekaan Indonesia) dan PKI memboikot Konstituante. Akhir ceritanya sudah kita ketahui semua, Dekrit Presiden yang mengakhiri era paling demokratis dalam sejarah Indonesia. Sebuah kesempatan emas untuk menyelesaikan masalah bangsa yang paling besar, masalah dasar Negara, seperti yang diamanatkan UUD 1945, telah lewat, digantikan dengan masa dictatorial Soekarno. Sejak itu pintu perdebatan dasar negara ditutup, digantikan oleh ideologi Nasakom yang diajukan Soekarno. Hal yang sama pun dilakukan oleh Soeharto dengan ideologi Pancasila (versi Orde Baru) dengan P4 dan 36 butir pengamalan Pancasila. Pancasila yang belum selesai ini pun menjadi alat penguasa, bukan lagi menjadi dasar negara. Pancasila yang belum selesai ini menyimpan masalah yang sewaktu-waktu bisa terbuka kembali. Seperti kata Sutan Takdir Alisyahbana dalam pertemuan Perhimpunan Pendidikan Indonesia di Bandung tanggal 27 Desember 1950, Pancasila hanyalah kumpulan faham-faham yang berbeda-beda untuk menenteramkan semua golongan pada rapat. Dengan demikian golongan agama dalam ditenteramkan dengan sila pertama. Mereka yang humanis dapat dipuaskan dengan sila kedua. Yang nasionalis dengan sila ketiga, yang democrat dengan sila keempat dan sosialis dengan sila kelima. Mengenai apakah semuanya bisa berkesinambungan menjadi satu ideologi negara adalah persoalan lain, karena masing-masing golongan mempunyai tafsirnya masing-masing terhadap Pancasila.
Memperingati hari lahir Pancasila 1 Juni 1945, adalah memperbincangkan ideologi nasional Bangsa Indonesai yang tentu saja akan dikaji berdasarkan konteks waktu, generasi dan semangat jaman, maupun perspektif sudut pandangnya, dan diharapkan dapat menjadi wacana yang lebih komprehensif serta bermuara pada kegiatan dan tindakan yang nyata, sehingga tidak terjebak dalam romantisisme, abstraksi dan angan-angan pemikiran belaka. Pancasila tidak bergerak pada proses konseptualisasi yang semakin mantap, tetapi mempunyai peran dalam kegiatan empiric dsebagai visi, orientasi dan perangkat kritik dalam kehidupan praktis berbangsa dan bernegara. Pembudayaan Pancasila sebagai ideologi modern harus berjalan selaras dengan proses pembangunan bangsa dalam berbagai aspeknya tanpa terjebak dalam praktik dogmatisme dan determinisme, serta indoktrinasi. Indonesia dan Pancasila adalah realitas histories dari hasil perjuangan rakyat yang melepaskan diri dari penjajahan dan penindasan, untuk hidup sebagai bangsa yang lebih bermartabat dan lebih sejahtera. Pancasila sebagai ideologi bangsa mempunyai makna fungsional sebagai penopang solidaritas nasional dan sekaligus sebagai sumber inspirasi pembangunan untuk mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Pancasila oleh para founding fathers dimaksudkan sebagai staat fundamental norm sekaligus philosophie grondslag. Makna dari hal ini adalah ditempatkannya Pancasila sebagai sistem nilai yang menjadi landasan bagi penyelenggaraan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta filosofi hidup bagi setiap warga negara. Panasila dengan demikian memiliki makna emansipatif karena ada orientasi berupa tindakan praktis dalam setiap denyut kehidupan di Indonesia. Pancasila menjadi jiwa yang tertanam dalam setiap sanubari seluruh elemen bangsa untuk menyusun Indonesia, kini dan esok. Dalam pengalaman kehidupan kebangsaan kita, Pancasila yang telah berusia 64 tahun lamanya, telah melampaui ruang dan waktu berdialektika dengan dinamika jaman. Sepanjang waktu itu, Pancasila telah menjadi landasan bagi penyelenggaraan negara dengan berbagai dinamikanya. Sejarah lahirnya Pancasila memberikan pesan kepada kita bahwa Pancasila merupakan manifestasi dari keluhuran budi dan semangat kolektifitas dari bangsa Indonesia yang oleh para founding fathers dirumuskan menjadi suatu tata nilai bagi kehidupan kebangsaan yang lebih untuk Indonesia yang merdeka. Pancasila menjadi produk histories dari konsensus sosial segenap kekuatan sosial politik yang membentuk Indonesia modern tersebut, sekaligus dijadikan pengalaman empiris dalam menciptakan harmoni di antara perbedaan kepentingan dari keragaman orientasi. Nilai-nilai Pancasila pada praktik pengejawantahannya kemudian sangatlah dipengaruhi oleh struktur kepentingan kekuasaan politik yang tengah berlangsung. Pengalaman sejarah politik bangsa kita memperlihatkan hal tersebut. Pancasila pernah berada pada masa dijadikan suatu instrumen politik untuk mengakhiri fragmentasi dan kekacau balauan politik eksperimen demokrasi liberal dalam sistem politik parlementer yang bertentangan dengan Pancasila yang berlandaskan nilai-nilai ke-Indonesiaan. Dengan demikian, keluarnya dekrit Presiden 1 Juli 1959 dapat dimaknai sebagia suatu upaya politik untuk mengembalikan prinsip permusywaratan yang merupakan nilai principal dalam Pancasila dan UUD 1945. Dalam perjalanan sejarah selanjutnya, Pancasila harus berdialektika dengan interpretasi yang dilakukan oleh kekuasaan Orde Baru. Komitmen untuk melaksanakan Panasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen pada realitasnya kemudian justru menjadi jargon dan idiom politik belaka. Kita menyaksikan realitas adanya keretakan antara sistem nilai ideal dengan pengalaman praktis. Pancasila
bermetamorfosa sebagai ideologicalstate apparatus dalam bentuk doktrin resmi berupa butir-butir P4 yang dioperasionalisasikan oleh represif state apparatur dalam forum-forum resmi penataran, litsus negara dengan berbagai aparatusnya. Tingkat pemahaman terhadap butir-butir P4 kemudian menjadi ukuran bagi sesuatu yang oleh negara dianggap sebagai kadar komitmen terhadap Pancasila. Persoalan muncul bukan pada nilai-nilai ideal yang terkandung dalam P4, namun terletak pada kesenjangan antara nilai-nilai ideal dalam penjabaran Pancasila dalam praktek kenegaraan. Tak hanya itu, Pancasila pun digunakan sebagai instrumen untuk melakukan penataan politik yang muaranya adalah menjaga legitimasi dan stabilitas kekuasaan rezim yang berlangsung. Atas nama Pancasila, penguasa secara sewenang-wenang melakukan tindakan represi terhadap masyarakat yang kritis dan dianggap potensial menjadi ancaman bagi kekuasaan. Dua realitas penyelewenang terhadap nilai-nilai Pancasila : Pertama : adalah bentuk dari praktik kemalasan bangsa untuk senantiasa mengaktualisasi dan merevitalisasi nilai-nilai luhur jati diri bangsa, sebagai elaborasi Pancasila terhadap konteks aspirasi jaman dan generasi. Sehingga menjadikan kita tidak percaya diri dan gamang. Mengadopsi sebuah nilai dengan menirunya mentahmentah. Bila tanah (baca: ruang) yang mau dipijak saja tidak tahu, lagit (baca: jaman) mana yang akan dijunjung. Kedua : terutama pada praktik penyederhanaan, yang melahirkan penyeragaman dan orientasi kepada materi yang bersifat fisik belaka. Proses sebagai nilai penentuan hasil cenderung diabaikan, tak pelak lebih mudah menerima hal yang instant dan cepat saji. Rakyat dan realitasnya diabaikan perannya sebagai unsur emansipatoris bersama pemerintah dan negara, untuk menggunakan Pancasila dalam menilai pembangunan bangsa dan Negara. Pada prinsipnya kedua praktik penyimpangan, adalah praktik korupsi, terutama terhadap nilai, yang kini telah melahirkan ketidakadilan, diskriminasi, dan cenderung menggunakan kekerasan daripada berdialog dan bertoleransi karena pluralitas masyarakat dan budayanya. Indonesia, kini memasuki babak lanjut dari perjalanan sejarahnya, masuk pada tata masyarakat global yang makin integrative. Berjuta peluang dan tantangan ada didepan kita. Perkembangan teknologi dan informasi memungkinkan kita untuk mengembangkan diri dan memajukan peradaban kita. Namun demikian, ketidak siapan kita dapat juga menimbulkan permasalahan dalam pergaulan global. Dalam konteks ini kita merasakan bahwa dampak globalisasi yakni liberalisasi ekonomi dengan praktik korporasi yang tamak yang pernah dialami oleh bangsa kita hampir genap empat abad lamanya. Mulai era imperialisme kolonial Belanda dengan Perseroan Terbatas yang bernama VOC menancapkan kuku kekuasaannya dikerajaankerajaan Nusantara. Kemudian hingga berlangsung pada derajat yang lebih intens ketika pada pemerintahan yang merilis kebijakan politik dan ekonomi pintu terbuka terhadap kepentingan modal asing. Dikeluarkannya UU Penanaman Modal Asing Tahun 1967, membawa Indonesia dalam tata ekonomi yang dikonstruksi oleh paham kapitalisme-liberalisme secara lebih dalam. Pancasila dilupakan sebagai dasar filosofi kehidupan berbangsa dan bernegara, yang dapat menjadi dasar penataan, politik, ekonomi dan Negara. Liberalisasi tahap lanjut saat ini, berjalan parallel dengan arus gerakan demokratisasi
yang diusung oleh gelombang reformasi, implikasinya adalah semakin terbukanya ruang untuk mengekspresikan kebebasan yang cenderung menjadi anarki. Liberalisasi melanda seluruh sector dan bidang kehidupan tanpa terkecuali dan menyeret Indonesia dalam tata dunia global tanpa reserve. Liberalisasi ini di satu sisi memberikan inspirasi akan tata masyarakat bebas, keluar dari praktek penindasan dan penjajahan, dari rezim yang hegemonic dan represif. Kebebasan ini diyakini dapat memberikan kesempatan untuk menata kehidupan lebih baik sebagaimana menjadi cita-cita founding fathers. Namun demikian, yang perlu dikritisi adalah muatan kepentingan neo-liberal yang menyelusup dalam kebebasan ini sarat dengan sejumlah kontradiksi yang tidak sesuai dengan Indonesia Merdeka yang kita cita-citakan. Saat ini para pemimpin negara kita, seolah kehilangan daya untuk bernegosiasi dengan kepentingan-kepentingan global maupun kepentingan kelompok yang kerap bertentangan dengan kepentingan nasional. Hal ini membuat masyarakat bangsa kita mengalami kemunduran kebelakang jauh seperti yang dicita-citakan Pancasila, dan terjebak dalam berbagai problematika kebangsaan yang semakin carut-marut, kompleks, dan akut. Dalam alam yang lebih bebas kini, negara tidak lagi mempunyai kemampuan monopolistic untuk menafsirkan Pancasila. Kini ada ruang yang sama terbuka bagi siapapun untuk menginterpretasikan Pancasila dalam suasana demokratis. Implementasi Pancasila tidak pada sekedar abtraksi teoritis, tetapi semakin emansipatif berupa tindakan-tindakan praktis dalam berbagai bidang kehidupan, Pancasila tidak hanya sumber etik sosial, tetapi juga sebagai instrument politik bagi masyarakat untuk melihat kinerja struktur kekuasaan yang sedang berlangsung dan melawan semua bentuk ketidak adilan sosial, diskriminasi, kekerasan dan segala manifestasinya. Logika yang memposisikan Pancasila adalah alat kekuasaan harus dibalik dengan menyertakan nilai-nilai yang tumbuh berkembang dalam masyarakat secara demokratis, dan kacamata untuk melihat dan memastikan kekuasaan telah bekerja sesuai dengan mandat rakyat. Pancasila sebagai ideology nasional, merupakan konsensus sosial yang bersifat final. Konsekuensi dari hal ini adalah penerimaan terhadap Pancasila secara demokratis tanpa wacana dan upaya-upaya menyangsikan keberadaannya. Para pemimpin elit politik yang ada pada supra dan infra struktur politik memikul tanggung jawab besar untuk mengintegrasikan Pancasila dalam semua dimensi kehidupan dan menjawab seluruh persoalan yang terjadi dan dirasakan bangsa kita saat ini. Oleh karenanya elit politik harus berani memutar haluan kembali, kembali pada Pancasila sebagai pedoman dalam perilaku politik secara nyata dengan berpijak teguh pada tiga hal : Pertama, karena kita adalah negaram erdeka, tentunya harus menunjukan memiliki kedaulatan. Kedaulatan yang tidak dinilai karena formalitas batas geografis dan pengakuan politik dari negara lain. Namun yang terpenting, memberikan peneguhan rakyat kita sendiri, dengan cepat dan berani bersikap, tegas dan jelas, pada pengambilan keputusan yang menyangkut rakyat dan Negara. Kegamangan dan keragu-raguan, sama saja menyemai sikap oposisi yang selanjutnya anarkis yang massif guna pemenuhan keputusan dan kebijakan yang berkaitan dengan rakyat dan negara.
Kedua, di bidang ekonomi yang seharusnya untuk mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, pengelolaan sector yang menjadi sumber daya ekonomi bangsa diprioritaskan bertumpu pada potensi bangsa sendiri dan untuk kepentingan rakyat banyak. Proses menghadirkan kemampuan berdiri, tidak disederhanakan dengan tindakan nasionalisasi aset. Karena hidup dalam perkembangan dunia yang kian mengglobal, menjadi lebih mudah bila pilihannya pada semakin meningkatkan kemampuan dan keunggulan daya saing bangsa. Kemampuan dan keunggulan daya saing pada sumber daya manusia, baik pada produksi, konsumsi dan komunikasi. Ketiga, kekayaan akan ragam budaya dan nilai-nilai luhurnya adalah modal bagi kepribadian bangsa Indonesia. Modal dasar ini harus semakin dikembangkan untuk pemenuhan dan peningkatan peran kontributifnya padap engembangan peradaban dunia secara universal. Hal inilah kenapa Bung Karno, salah satu pendiri negara dan bangsa Indonesia, menuliskannya kepada kita dengan : ….nasionalisme kita, adalah nasionalisme yang hidup pad ataman sari internasionalisme. Pancasila harus diintegrasikan dalam perilaku sosial maupun politik dan sebagai alat pemersatu bangsa di semua dimensi kehidupan. Perubahan akan dapat terjadi jika para pemimpin politik kita dapat memberikan tauladan kepada seluruh masyarakat akan pelaksanaan Pancasila secara murni dan konsekuen. Bentuk nyata dari keteladanan dan konsistensi pelaksanaan Pancasila ini dpaat dimulai dengan diakhirinya kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak kepada kepentingan rakyat, praktik kejahatan korupsi, ego kepentingan yang bersifat sektoral, pengutamaan permusyawaratan sebagai mekanisme politik dalam menyelesaikan seluruh persoalan bangsa dan menolak seluruh kepentingan asing yang bertentangan dengan kepentingan nasional. Pancasila dinilai gagal meniupkan roh kebangsaan dan spiritualitas rakyat Indonesia? Karena dianggap terlalu normative dibandingkan dengan ideology lainnya, semisal Marxisme, Sosialisme dan Liberalisme, terutama dalma hal metodologinya, maka ada yang mengatakan hal itu benar. Bagaimana bisa mengangkat bangsa ini, jika Pancasila telah terpinggirkan dari zona kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila hanyalah sebuah artefak sejarah yang nasibnya tak jauh beda dengan sampah, dimasukkan di tempat pembuangan dan dilupakan begitu saja. Apalagi menurut Koento Wibisono Siswomihardjo, penghapusan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila menimbulkan sikap alergi dan sinis masyarakat terhadap Pancasila. Yang lebih menyedihkan lagi adalah hampir 70% perguruan tinggi telah menanggalkan mata kuliah Pancasila sebagai bahan ajarnya. Ini adalah preseden buruk bagi Panasila sendiri. Semakin Pancasila terpinggirkan, bangsa Indonesia terancam krisis ideology dan mudah tersusupi ideologi lain yang kental sectarian. Ini adalah titik nadir bagi keberlanjutan NKRI (Gatut Saksono:2007). Ada beberapa ideology yang masih eksis. Ideology kapitalisme menawarkan nikmat duniawi seperti kekayaan, penguasaan modal sebagai tujuan pokok. Sedangkan komunisme menawarkan persamaan kepemilikan antar individu dalam suatu komunitas sebagai representasi keadilan distributive yang menjadi unsur pokoknya. Di Indonesia, ideologi Pancasila menawarkan keluhuran budi dalam etika sebagai daya pikat untuk mengundang masyarakat sepaham dengan muatan ideologi yang dibawanya. Jadi semua ideologi pada umumnya menawarkan satu garis perjuangan pokok sebagai konsentrasi utamanya. Kemudian dengan isu pokok tersebut diasumsikan dapat menjawab segala persoalan kehidupan.
Indikasi tersebut banyak bermunculan mengingat perilaku para ideolog cenderung menjadi fanatik, dan bangga, terhadap ideologi yang dianutnya. Kaum kapitalis begitu bernafsunya mengejar uang sebagai pangkal pokok kehidupan. Sehingga apapun yang tidak berbau uang bukanlah kehidupan yang pantas untuk dijalani. Demikian juga komunisme, para pengajur ideologi ini begitu lantang meneriakan keadilan distributif bagi kaumnya, tanpa pernah mengimbangi dirinya dengan sisi spiritualisme. Akibatnya ideologi yang ada sekarang terlihat kurang utuh dalam menyikapi problem kehidupan. Ideologi terlalu didewakan menjadi sebuah sistem yang mampu menuntaskan segala hal. Padahal ideologi di mata orang awam yang dihinggapi perut lapar, takkan ada manfaatnya apa-apa jika tidak mendatangkan keadilan dan kemakmuran. Maka dari itu persoalan umat manusia hubungannya dengan kehidupan bangsa, terutama ekonomi menjadi begitu dominant. Prof. Gunar Mirdal peraih hadiah nobel bidang ekonomi melalui penelitiannya mengenai keterpurukan negara-negara terbelakang dalam bidang ekonomi menyebutkan bahwa faktor akhlaklah yang menjadi penyebab utama keterbelakangan tersebut. Hal ini menandaskan bahwa dalam kehidupan apapun segala persoalan harus menempatkan pembenahan perilaku harus menjadi perhatian utama. Artinya bahwa apapun ideologi yang dianut, tetap aspek perilaku memegang kunci dalam membangun peradaban. Pancasila yang notabene dilahirkan atas pondasi nilai-nilai luhur yang tumbuh di dalam diri bangsa Indonesia, menurut saya amatlah pantas dijadikan ideologi trans nasional. Hal ini didasarkan pada subtansi nilai-nilai Pancasila yang cenderung melengkapi berbagai unsur-unsur kehidupan termasuk didalamnya ideologi dan bukannya membenturkannya. Sehingga Pancasila, saya nilai sebagai ideologi yang mempunyai karakteristik konvergensi daripada dikotomis. Oleh karenanya untuk mendapatkan hasil yang dicita-citakan Pancasila dibutuhkan pemahaman bersama (mutual understanding) dan tingkat pendidikan yang lebih baik (well educated) agar kesan yang muncul dari pancasila sebagai ideologi tidak terlalu apologetic. Menurut Ma’ruf Amin, Pancasila memang bukan agama, karena ia merupakan kumpulan value (nilai) dan vision (visi) yang hendak diraih dan diwujudkan bangsa Indonesia saat berikhtiar mendirikan sebuah negara. Menurutnya Pancasila adlaah sebagai Vision of state. Inilah yang sering kali tidak dipahami para penentang Panasila sebagai ideologi transnasional bangsa Indonesia. Mereka kecewa kepada Pancasila karena tidak membawa perubahan yang berarti bagi hidup mereka. Padahal jika kita lihat pandangan Feith, Persepsi yang salah dari beberapa kelompok terhadap Pancasila sebenarnya bukan terletak pada nilai-nilai luhurnya, tetapi lebih ditujukan kepada cara menafsirkan dan memperlakukan nilai-nilai tersebut (Feith, 1991). Ke depan agaknya senada dengan pendapat Dr. Kaelani, agar Pancasila tidak menjadi ideologi Transnasional yang tumpul maka perlunya adanya pembenahan dari epistemology pemahaman kita terhadap Pancasila. Beliau mengusulkan agar ada usaha untuk merevitalisasi nilai-nilai Pancasila adalah dengan : • • •
Mengembangkan nilai-nilai Pancasila melalui pengembangan Pancasila sebagai kerangka dasar pengembangan dasar epistemis ilmu. Pancasila sebagai landasan etis bagi pengembangan ilmu. Pancasila sebagai landasan filosofis pengembangan pendidikan yang berkepribadian Indonesia.
•
Dan nilai-nilai Pancasila sebagai sumber nilai dalam realisasi normatif dan praktis kehidupan bernegara dan berbangsa. Dengan demikian Pancasila sebagai sebuah sistem nilai semakin dapat dielaborasi lebih jauh.
Kita memang tidak bisa memutar kembali jarum sejarah. Masa demokrasi terpimpin apalagi masa Orde Baru dengan sukses membuat tidak saja bangsa ini a-historis tapi juga a-ideologis. Lihat saja partai-partai yang berlaga di era reformasi ini, tidak ada yang mengusung ideologi partai yang jelas, apalagi kalau melihat sepak terjang mereka di parlemen. Persekutuan mereka bukanlah persekutuan kebangsaan dan persekutuan ideologis melainkan persekutuan kepentingan, itu pun kepentingan jangka pendek. Hanya segelintir partai saja yang menunjukkan garis politik yang jelas, entah itu agamis, kanan atua kiri. Sisanya Cuma melihat angin politik, mana yang bertiup lebih kencang. Bangsa ini dengan ideologi yang tidak jelas juga terlihat banci. Ideologi kita tidak jelas, kiri atau kanan. Di dalam text book Pancasila, atau PMP atau PPKn, disebutkan bahwa ideologi kita tidak komunis dan juga tidak liberal. Hal ini sulit diterima oleh akal khususnya bagi mereka yang terdidik, karena tidak kiri atau tidak kanan sama saja dengan tidak berideologi, alias berfondasi di atas pasir longgar. Dan ini di era Orde Baru malah membuat bangsa ini mengambil semua keburukan liberal barat (swastanisasi dan liberalisasi perdagangan) dan semua keburukan komunisme (represi dan sensor informasi). Kebancian ideologi seperti inilah yang membuat bangsa ini bisa terombang-ambing, tergantung pihak mana yang memainkannya. Mempersoalkan kembali Pancasila memang ibarat membuka kotak Pandora. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi. Di lain pihak sulit untuk melibat bangsa ini maju ke depan tanpa menyelesaikan masalah ideologi bangsa. Nampaknya bangsa ini memang terjepit seperti memakan buah simalakama. Hal seperti ini memang sering terjadi di dalam sejarah. Bangsa Amerika saja harus mengalami perang sipil yang memakan korban sangat banyak untuk menyelesaikan masalah ideologinya. Mudah-mudahan bangsa ini bisa belajar dari sejarah bangsa lain sehingga kita bisa menyelesaikan masalah ideologi bangsa ini dengan gontok-gontokan di alam pemikiran saja, tidak di level fisik. Meskipun kalau melihat perkembangan belakangan ini sulit diharapkan bangsa ini bisa menyelesaikan masalah sepeka ini tanpa gontok-gontokan fisik. Mungkin memang tepat para bapak bangsa kita dulu sebelum merdeka yang lebih menitikberatkan pada bidang pendidikan, untuk membuat anak-anak bangsa ini melek. Tanpa itu kita hanya menjadi bulan-bulanan sejarah. Waktu ini tampak meningkat keinginan masyarakat untuk menegakkan kembali Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa dan Dasar Negara RI. Hal itu sangat menggembirakan mengingat kuatnya usaha pihak-pihak tertentu di dalam maupun luar negeri, yang ingin menghilangkan Pancasila dari kehidupan bangsa Indonesia. Namun demikian, masih menjadi pertanyaan apakah semua orang yang ingin Pancasila tegak kembali, mengetahui inti pikiran Pancasila dan perbedaannya dengan cara berpikir Barat. Pikiran Barat. Sejak terjadi Renaissance di Eropa pada abad ke 14, pikiran Barat sangat berpangkal pada peran Manusia sebagai Individu dalam kehidupan. Dunia Barat memandang Individu sebagai mahluk yang lahir dengan kebebasan penuh dan sama satu dengan yang lain (Men are created Free and Equal). Kebebasan itu memberikan kepadanya hak untuk mencapai segala hal yang diinginkan. Ia hidup terpisah satu sama lain,
masing-masing dilengkapi dengan kekuasaan penuh, sehingga ia segan berkumpul dengan individu lain. Thomas Hobbes (1588-1679) berkata bahwa kondisi manusia ini adalah kondisi perang antara setiap individu dengan individu lainnya (bellum omnium contra omnes). Karena dengan begitu sekuriti setiap individu selalu terancam, maka Ratio individu mendorongnya untuk memperoleh perdamaian dengan hidup bersama individu lain. Jadi dalam pikiran Barat hidup bersama antara individu adalah karena dorongan ratio guna mengamankan sekuritinya melalui perdamaian. Itu berarti bahwa hubungan antara individu adalah selalu dalam bayangan Konflik. Inilah yang dinamakan Individualisme dan Liberalisme. Pikiran Pancasila. Ketika Bung Karno pada 1 Juni 1945 menguraikan pandangannya yang beliau namakan Pancasila depan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, beliau menyatakan bahwa Pancasila beliau gali dari kehidupan bangsa Indonesia yang sudah berabad lamanya. Beliau mengatakan bahwa Pancasila adalah Isi Jiwa bangsa Indonesia. Dalam Pancasila kehidupan digambarkan sebagai Perbedana dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Tidak ada Manusia atau Individu yang hidup sendiri melainkan senantiasa dalam hubungan dengan individu lain dalam satu ikatan bersama. Individu berada dalam Keluarga. Meskipun berada dalam satu keluarga tidak ada dua individu yang benar-benar sama, jadi selalu berbeda. Karena perbedaan itu individu hidup mengejar yang terbaik. Akan tetapi perbedaan individu itu selalu berada dalam hubungan Keluarga, sehingga kehidupan individu selalu disesuaikan dengan kepentingan Keluarga (Ora sanak ora kadang, yen mati melu kelangan). Sebaliknya karena individu adalah bagian permanent dari Keluarga, maka Keluarga mengusahakan yang terbaik bagi semua individu yang ada di dalamnya. Maka dasar pikiran Pancasila adalah Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan yang berarti Kekeluargaan dan Kebersamaan. Hubungan antara individu dengan individu lain dan dengan Keluarga adalah selalu mengusahakan Harmoni atau Keselarasan. Bentuk dinamiknya adalah Gotong Royong. Maka dalam memandang kehidupan pikiran Pancasila jelas sekali berbeda dengan pikiran Barat, yaitu Harmoni berbeda dengan Konflik, Individu dalam Kebersamaan berbeda dengan Individu bebas, sama dan dengan kekuasaan penuh. Pengaruh terhadap pandangan tentang Negara. Berdasarkan pikiran Barat itu maka Barat melihat Negara sebagai sumber Kekuasaan. Hal mana antara lain ditegaskan Nicolo Machiavelli (1469-1527) dan masih berlaku hingga sekarang. Ia melihat Negara sebagai satu-satunya jalan untuk menciptakan orde (ketertiban) dalam kehidupan yang diisi individu-individu yang bebas dan penuh kekuasaan. Sebab dalam negara itu terdapat supreme power atau sovereignty yang dapat menciptakan orde dalam kehidupan. Yang dimaksudkan dengan sovereignty adalah the absolute and perpetual power of commanding in a state (Jean Bodin, 1530-1596) Thomas Hobbes dan John Locke (1632-1704) melihat bahwa sumber kekuasaan dari supreme power itu adalah kekuasaan yang ada pada individu. Sebab individu melalui rationya menyadari bahwa harus ada ketertiban dan untuk itu diperlukan kekuasaan. Joh Locke kemudian mencari jalan bagi penggunaan kekuasaan itu. Ia tidak memberikannya kepada seorang, seperti digambarkan Machiavelli, melainkan melalui
pembagian kekuasaan di tiga tangan yang mengadakan keseimbangan melalui checks and balance. Inilah yang dinamakan Trias Politica yang sejak tahun 1688 digunakan dalam mengatur kekuasaan negara di Barat. Pancasila berpangkal pada penglihatan umat manusia sebagai Kesatuan dengan manusia dilahirkan hidup bersama. Sebab itu buat Pancasila negara bukan organisasi kekuasaan, melainkan organisasi untuk mewujudkan Kebahagiaan Manusia (Sila ke 5: Kesejahteraan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia). Tujuan itu dicapai dengan cara Musyawarah Mufakat (Sila ke 4) dengan selalu memperhatikan Kemanusiaan Beradab (Sila ke 2) dan menjamin Persatuan Indonesia (Sila ke 3) dengan dilandasi kesadaran akan kekuasaan Tuhan Yang Maha Esa (Sila ke 1). Karena 200 juga bangsa Indonesia tidak dapat melakukan musyawarah, maka dibentuk Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai Penjelmaan Rakyat. Jadi MPR bukan padanannya Parlemen dari sistem Barat. Karena MPR terdiri dari sekian banyak orang, maka ia tidak dapat menjalankan kewajiban mewujudkan kebahagiaan dan kesejahteraan umum. Sebab itu MPR mengangkat Presiden Republik Indonesia sebagai Mandataris MPR. Untuk menjalankan kewajibannya MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN0 yang harus dijalankan Presiden RI. Untuk menjalankan pekerjaannya Presiden RI didampingi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama menetapkan undang-undang, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden RI, Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) untuk mengawasi kebendaan dan keuangan negara, Mahkamah Agung (MA) untuk menyelenggarakan pengadilan. Selain itu Presiden RI dibantu Pemerintah RI terdiri para Menteri untuk melaksanakan pekerjaan yang menjadi kewajibannya. Jadi Negara RI berdasarkan Pancasila tidak sama dan bukan satu Negara Berdasarkan pikiran Barat. Negara RI tidak menjalankan Trias Politica, melainkan menjalankan segala ketentuan yang termuat dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang asli sebelum di-amandemen. Segala issue yang dikemukakan pihak Barat seperti Hak Azasi Manusia (HAM), Demokrasi, dll harus pula dilihat dari kacamata dan pikiran Pancasila. Mengapa Kita Mau Melaksanakan Pancasila? Orang-orang yang menganut pikiran Barat berpendapat bahwa jauh lebih bermanfaat dan praktis untuk menggunakan cara berpikir Barat dalam membangun kehidupan di Indonesia. Barat sudah membuktikan pencapaian kesejahteraan dan memberikan model jelas apa yang harus kita lakukan. Mengapa harus melaksanakan Panasila, kata mereka, padahal belum ada buktinya untuk dijadikan model. Akan terlalu lama dan penuh ujian sebelum kita tiba pada pelaksanaan Pancasila, kata mereka, sedangkan Rakyat sudah menunggu kesejahteraan hidup yang mereka dambakan. Jawabannya adalah : Belum tentu jalan terbaik. Apalagi kalau kita perhatikan pendapat dan pikiran orangorang terkemuka Barat, termasuk kaum filosof seperti Oswald Spengler (Der Untergang des Abendlandes), P.A. Sorokin (The Crisis of our Age), J.Huizinga dan Jan Romein dalam berbagai buku mereka, Ortega Y Gasset, dan lainnya. Para pemikir Barat sendiri sangsi akan masa depan dunia Barat kalau tidak melakukan perubahan mendasar. Jadi apakah kita hanya mau mengekor kepada perkembangan yang menuju ke keruntuhannya? Tentu tidak, kita harus membangun bangsa untuk sepanjang masa sampai dunia kiamat.
Sudah dua kali terbukti bahwa melaksanakan cara berpikir Barat menyebabkan persoalan besar bagi kita, yaitu dalam masa antara 1950 hingga 1959, dan sekarang setelah Reformasi tahun 1998 yang bahkan dapat memecah NKRI yang keutuhannya hanya dapat dijamin dengan Pancasila untuk menghadapi berbagai perbedaan, seperti agama. Yang pertama dapat kita akhiri setelah Presiden Sukarno mengeluarkan Dekrit Kembali pada UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Sedangkan yang sekarang belum dapat kita akhiri dan semoga tidak akan lama lagi terjadi koreksi terhadap Reformasi. Yang kita perlukan adalah Reformasi yang menjadikan Pancasila Kenyataan di Indonesia. Melihat sejarah umat manusia, baik dalam sejarah bangsa-bangsa maupun sejarah tokoh-tokoh dunia, maka terbukti bahwa kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin tercapai kalau kehidupan dilakukan berdasarkan Jati Diri Bangsa. Kalau tidak didasarkan Jati Diri maka kalaupun terjadi kemajuan, maka itu tidak menimbulkan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin yang hakiki bagi rakyat. Maka karena Pancasila adalah Jati Diri Bangsa Indonesia, kita harus membangun kehidupan bangsa berdasarkan Pancasila. Hanya itu yang akan memberikan kebahagiaan dan kesejahteraan lahir batin rakyat Indonesia. Apa artinya Pancasila merupakan campuran berbagai ide? Sejarah mengatakan, memang demikian adanya. Tapi, kita jangan lupa, Soekarno merumuskan Pancasila berangkat dari sebuah pemahaman kondisi bahwa Indonesia merupakan negara yang majemuk. Majemuk dalam dua hal. Pertama, dari segi geografis atau kondisi alam. Kedua, majemuk dalam arti memiliki ragam latar budaya dan penduduk. Dari situasi itu, Soekarno sangat menyadari bahwa bangsa ini memerlukan sebuah alat pengikat. Alat pengikat itu, menurut dia, tak lain adalah Pancasila. Relasi Pancasila Agama dan Kebudayaan Sebuah Refleksi. Secara teoritik hubungan antara Panasila dengan Agama, bersifat ganda. Disatu pihak bisa bersifat simbiose-mutualistik. Keduanya bisa saling mengisi dan memperkuat ranah etika berbangsa dan bernegara Dilain pihak keduanya dapat bersaing sebagai pendefinisi realitas dan memperebutkan dukungan. “Ketegangan” antara Pancasila dan Agama bisa semi-permanen, jika agama dipahami sebagai ideologi (Islam addin wa-daulah) dan bukan sebagai “addin”. Agama bisa berubah menjadi ideologi jika berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan (status-quo), sebaliknya Pancasila bisa berabah menjadi pseudo agama, jika ditampilkan secara doktriner. Secara bistoris ketegangan Pancasila dan Agama terjadi sejak negara ini berdiri. Distorsi Pancasila pada waktu itu lebih pada dominasi multitafsirnya. Demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin yang bertentangan itu, sama-sama bernaung dalam demokrasi Pancasila. Pada masa Orba Pancasila banyak mengalami inkonsistensi, cenderung menggeser peran agama (pseudo agama) dan berfungsi sebagai legitimasi kekuasaan. Asas-tunggal yang diterapkan pada tahun decade 80-an, telah berhasil mengakhiri “ketegangan” hubungan antara Agama dan Pancasila. Sayangnya karena prosesnya bersifat indoktrinasi dan bukan atas dasar adanya “kebutuhan bersama”, membuat relasi harmoni itu sangat pendek umurnya. Pada masa pasca-reformasi merupakan periode yang paling rentan terhadap eksistensi Pancasila. Pancasila telah kehilangan energi untuk mensosialisasikan dirinya. Pancasila telah kehilangan kesaktiannya sebagai referensi tindakan bernegara dan berbangsa. Bbahkan dalam kadar yang terbatas, Pancasila telah kehilangan dukungan. Selama ini telah terjadi “ketidakseimbangan” produksi wacana antara gerakan keagamaan yang menampilkan semangat: inklusif, toleran, demokratis dan
memandang pluralitas sebagai kenyataan realitas sosial di Indonesia, dengan corak keagamaan yang: eksklusif, intoleran, anti-demokrasi, tidak memiliki konsep nasionalisme dsb. Hasilnya terdapat kecenderungan kuat, paling tidak di kalangan mahasiswa umum, untuk menggeser Pancasila dengan Syari’at Islam. Jika hasil survey yang mengatakan bahwa 80 persen mahasiswa umum di UGM, UI, ITB, UNAIR dan UNIBRA, menginginkan Syari’at Islam benar, maka fenomena ini cukup merisaukan. Kebutuhan kita yang sekarang adalah bagaimana menapai kewarganegaraan inklusif ditengah-tengah tarik menarik kepentingan ideologi dan mengerasnya semangat neoprimordialisme, khususnya semangat egois kolektif yang numpang dalam kesadaran keagamaan. Jika krisis Pancasila ini tidak disadari sejak sekarang maka the end ideologi Pancasila benar-benar akan terjadi. Di tingkat impelementasi Pancasila telah menunjukkan ideologi yang kosong, ditingkat kesadaran tidak diminati lagi dan ditingkat revitalisasi telah kehilangan etos. Beberapa Kekuatan Pancasila antara lain : 1. Sebagai basis dasar berbangsa dan bernegara, Pancasila memiliki kekuatan kekuatan integrative . Pancasila menyediakan ruang untuk menampung keberagaman perbedaan primordial yang dapat dipertemukan dalam “kehendak bersama”. 2. Sebagai ideology terbuka. Pancasila memiliki kemampuan adaptif dengan perubahan zaman tanpa beban prinsip kesakralan sebagaimana agama. 3. Prinsip Bhineka Tunggal Ika yang ada, memungkinkan perbedaan, politik, keyakinan, agama, kebudayaan, dipersatukan dalam puncak-puncak budayatanpa penyeragamanmu. 4. Secara substantial Pancasila merupakan perpaduan : Agama (kepercayaan kepada Tuhan YME), Kebudayaan (Bhineka Tunggal Ika) dan Barat (Demokrasi, HAM, Kemanusiaan, pluralisme dsb). 5. Nilai-nilai universal agama seperti: kemanusiaan, keadilan, demokrasi dapat dipertemukan disini, tanpa harus mempersoalkan perbedaan ritual agama sebagai alas an untuk membuat ideology alternative. 6. Pancasila juga memberikan ruang pada sekularisi parsial, terhadap system politik, orientasi budaya, termasuk penerapan system demokrasi yang secara tradisional tidak seluruhnya disediakan agama. 7. Pancasila juga menyediakan ruang dialogis yang secara teoritik melindungi kelompok minorita, menghargai perbedaan cultural (multikulturalisme), dan memandang pluralitas sebagai condition sine guanon. Prinsip ini dapat mengeliminasi konflik-budaya yang muncul akibat semangat neo-primordialisme termasuk egois kolektif yang numpang dalam semangat keagamaan. Kelemahan : 1) Pancasila tidak memiliki sabuk pengaman atas kemungkinan terjadinya penyalahgunaan atas dirinya-sendiri. Baik dalam overdosisi dalam penerpannya, seperti terjadinya perubahan Pancasila sebagai ideology Negara menjadi “pseudo agama” diperlakukan sebagai idoleogi tertutup (doktriner) seperti yanhg terjadi sepanjang Orba maupun defisit ideology seperti yang terjadi sekarang.
2) Premis Sentral bahwa Pancasila memberikan rumusan Indonesia bukan Negara sekuler dan bukan Negara agama, lebih banyak menyulitkan daripada menjadi problem solving dalam sengketa hak-hak “kepercayaan”. Posisi Negara sebagai apparatus-keyakinan telah melampaui batas-batas yang dibutuhkan. 3) Kelemahan dan seklaigus kekuatan Pancasila adalah kekaburannya. Akibatnya Pancasila mudah terjebak pada monopoli interpretasi, multi- interpretasi dan intrumentalisasi kepentingan kekuasaan. Ancaman : Jika pancasila hanya menjadi daftar keinginan bersama (das-sollen) tetapi ksoong dalam implementasinya (das-seinnya). Jika pancasila kehilangan pendukung sebagai konsekuensi atas rendahnya komitmen. Seperti disinyalir oleh Kompas, sudah menjadi keprihatinan umum, ideology pancasila tidak lagi mengambil porsi sentral dalam wacana public, lebih-lebih dalam beberapa tahun belakangan ini. Bahkan mulai muncul kekhawatiran tentang kemungkinan Pancasila digeser oleh ideology lain. Jika terjadi gerak polirik keaagamaan yang mengarah pada politik teokrasiotoriter yang memaksakan doktrin androsentris dan mengancam pandangan antroposentris. Jika terjadi hegemoni budaya (Barat) yang mendalangi seluruh perjalanan bangsa, yang membuat kita tidak memiliki kemandirian dan harga diri. Tantangan Pancasila : Ditingkat empiris Pancasila telah gagal menjadi guidance atas prinsip-prinsip yang dirumuskan sendiri dalam tingkat implementasi, Pancasila telah kehilangan daya tahannya untuk menjaga “kehendak bersama”. Kegagalan Pancasila, bukan karena Pancasila tidak memiliki elemen-elemen yang mempertemukan kebutuhan bersama, tetapi lebih kepada tidak adanya inkonsistensi dalam penerapannya. Dalam kenyataanya, elemen-elemen yang mendasari pembukaan UUD 1945, nyaris menjadi fosil tata nilai. Dalam bidang ekonomi pasal 33 nyaris tidak pernah secara sungguh-sungguh menjadi dasar kebijakan ekonomi makro. Seluruh kebiajkan yang ada seluruhnya didikte oleh neo l.liberalisme lewat consensus Washington dengan sepuluh prinsipnya. Dalam dunia pendidikan rencana mem-BHP-kan 81 perguruan tinggi negeri (PTN) se-Indonesia, menjadi kontradiktif dengan jiwa Pasal 31 UUD 1945 (kemal, Kompas, 4 Maret 2008) Sikap kompetitip Pancasila dengan agama, sebagai system nilai yang memiliki watak dan karakteristik yang berbeda, telah melahirkan kompetisi baik dalam bidang Ideologi (Politik) maupun sebagai pendefmisi relitas. Meskipun tidak ada perbedaan yang signifikan antara partai berlandaskan ideology agama dengan partai berlandaskan ideology sekuler, kecuali system simboliknya, secara ideologis keduanya tidak mudah dipertemukan dan berpotensi melahirkan konflik. Dimasa depan ketegangan baru yang mungkin terjadi, adalah polarisasi pemahaman keagamaan yang telah menjamur pasca-orde baru. Derasnya pemahaman konservatisme keagamaan model ichwanul-Muslimin atau wahabiya, khusunya dikalangan mahasiswa dikampus-kampus umum, diduga akan mempengaruhi pergumulan baru dalam demokrasi di Indonesia.
Kecendurngan seperti ini penting untuk dipastikan sketsanya, pertama-tama bukan untuk menghentikan kekhawatiran yang mungkin terjadi, tetapi lebih pada pencegahan kemungkinan terjadinya “clash culture” dan mentradisikan dialog-dialog agar klaim tafsir agama tidak terjebak pemutlakan tafsir yang mematikan. Progonosisi Masa Depan. Dalam kaitannya dengan pancasila kalau kita berfikir optimistic, maka proses dialektika sejarah, tidak seluruhnya didorong oleh kekuatan atau “driving force” yang elemen-elemennya premisnya selalu bersifat positif. Kemampuan peradaban hanya lahir melalui proses dialektika yang rumit. Dialektika tidak pernah bisa dihentikan oleh priode waktu, seperti disinyalir oleh Fukuyama dalam the end of history. Kita harus membangun “historical force” yang tidak mengulang kesalahan sejarah masa lalu atau tidak produktif seperti yang terjadi sekarang ini. Sebaliknya jika kita berfikir pesimis, maka akan terjadi “clash ideolois” mengancam perpecahan bangsa di masa depan. Dalam kaitannya dengan kebudayaan arah kebudayaan, dalam konteks determinasi global yang sekarang terjadi, perlu adanya kesadaran kebutuhan proteksi terbatas atas apa yang selama ini menjadi consensus nasional (UUD 1945). Ideology dibelakang consensus Washington sebagai pengganggu penerapan pasal 33 misalnya, harus dianggap sebagai salah satu “ancaman” atas kemandirian budaya. Apalagi lahirnya IMF dan World Bank (1944) sejak awal dilandasi oleh upaya ideologis untuk menjaga “proyek modernisasi”. Dalam kaitannya dengan agama konservatisme keagamaan yang berusaha memutar jarum sejarah dalam bentuk romantisasi islam klasik abad 7 dengan menyodorkan tradisi arabisasi, bisaanya tidak memiliki daya tahan lama karena tidak adanya strategi adapatasi, tetapi proses islamisasi model ini cenderung merisaukan. Istrumentalisasi kekerasan dan klaim kemutlakan kebernaran atas tafsir yang diyakini, telah mengganggi kebutuhan kemapanan budaya demokrasi yang dibutuhkan. Pranata demokrasi yang telah susah payah diracik dari kemelut Orde Baru bisa terdekontruksi lewat semangat teokrasi yang anti : Demokrasi, pluralisme, yang bertentangan dengan kebutuhan bangsa Indonesia. Sejarah Pancasila. Orang tidak melihat tiga waktu itu sebagai rentetan proses yang saling terkait. Tanggal 1 Juni 1945, Pancasila sebagai calon dasar Negara, baru dirumuskan dan diajukan soekarno kepada siding BPUPKI (Badan Pembantu Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Tanggal 22 Juni 1945 BPUPKI membuat sebuah panitia kecil berisi 9 anggota dengan pimpinan Soekarno untuk mebahas tawaran soekarno itu. Baru pada 18 Agustus 1945 Pancasila disahkan sebagai dasar Negara. Menjelang kekalahan Jepang pada Perang Dunia II, Jepang berusaha menarik perhatian para pemimpin kita dengan mendirikan panitia persiapan kemerdekaan dan BPUPKI. Pertanyaan yan timbul pada sidang yang berlangsung yang berlangsung tiga hari itu adalah ? jika Indonesia merdeka apa yang menjadi dasar Negara? Begitu banyak pendapat teori dan perdebatan. Tetapi pada tanggal 1 Juni 1945 Soekarno berpidato dan memukau semua orang yang hadir pada sidang tersebut.
Jika hanya memikirkan hal yang remeh-temeh kapan Indonesia akan merdeka? Dasar Negara haruslah simpel dan universal ? Ada 5 poin utama yang dikemukakan Soekarno pada saat itu: 1) Kebangsaan, 2) Kemanusiaan 3) Kerakyatan, 4) Keadilan Sosial, dan 5) Ketuhanan Dan jika kelima poin tersebut disimpulkan maka menjadi gotong royong. Karena itu gotong royong merupakan roh dari Pancasila. Soekarno dalam pidatonya juga mengatakan, Ketuhanan Dengan Berkebudayaan? Akhirnya dibetuklah panitia untuk menyusun Pancasila sebagai dasar Negara, dan lahirlah Piagam Jakarta. Ada perbedaan pada sila pertama saat itu yaitu : ? Ketuhanhan dengan menjelankan Syariat Islam? Dengan mempertimbangkan suara dari Indonesia Timur maka sila Pertama diganti menjadi ? Ketuhanan Yang Maha Esa? Pancasila sering dipolitisir oleh pihak-pihak tertentu. Pada tahun 1957 – 1959 ada pemikiran untuk merumuskan kembali dasar Negara. Dewan Konstituante memperdebatkan hal itu selama 2 tahun dengan beberapa pilihan : 1) Dasar Negara Pancasila dipertahankan 2) Dasar Negara Islam, atau 3) Dasar Negara Sosio Demokratis Pada akhirnyaSoekarno mengeluarkan Dekrit Presiden dan membubarkan Dewan konstituante dan kembali pada Pancasila. Untuk mempertahanakan Pancasila, Soekarno membuat indoktrinasi yang dikenal dengan 7 Pokok Indoktrinasi yang berujung membuat Pancasila menjadi dogmatis dan menjenuhkan. Banyak orang menolak Pancasila hanya karena merasa ingin berbeda dengan pihak penguasa, karena Pancasila di politisir oleh Pihak-pihak yang berkuasa untuk melanggengkan kekuasaannya. Apa yang membuat pancasila menarik adlah nilai-nilai persatuan tapi universal yang dikandung didalamnya. Ketika kita dihadapi oleh beberapa persoalan multidimensional dan mulai kehilangan arah, maka ada pihak yang mengusung budaya kearab-arabanpada satu sisi ada kebarat-baratan pada sisi yang lain. Ditengah kebingungan ini muncul pertanyaan tentang apa sih jati diri kita sesungguhnya yang dapat mempersatukan semua pihak. Karena pertanyaan tersebut dan tampak mengabaikan pihak yang lain, maka Pancasila menjadi jawaban yang Relevan. Sebagai nilai-nilai dasar, Pancasila telah mencakup semuanya. Kesadaran akan nilainilai universal yang ada di Indonesia telah terangkum semuanya didalam PANCASILA. Pancasila harus dibuat bermakna bagi kehidupan kita agar tidak hanya menjadi sekedar konsep yang sewaktu-waktu dapat dibuang. Karena itu kesadaran akan Pancasila harus muncul dari bawah.
Nilai-nilai dasar sangat penting untuk selalu dimaknai kembali. Karena generasi di masa mendatang belum tentu bisa menghayati Pancasila sebagai perekat dasar yang mempersatukan Indonesia. Hal tersebut akan sulit sekali dicapai jika kita tidak berusaha memaknai kembali nilai-nilai luhur Pancasila. Jika Pancasila hanya dilihat dalam satu momentum saja. Kita akan kehilangan fakta sejarah yang benar. Dan, kalau sejarah sudah kehilangan fakta, itu namanya bukan sejarah. Pancasila yang Tak Terdengar Sedih melihat Negara kita tercinta, Indonesia berada dalam kondisi yang terpuruk. Politikmpenuh kecurangan. Ekonomi Negara kacau balau tak terkendali, social menurun dengan banyaknya kerawanan social, budaya semakin terkikis oleh penjajahan cara baru, pertahanan kebobolan, dan keamanan tidak bisa diandalkan hingga banyak investor bahkan warga Negara yang memilih kabur dari Negara kita yang kita cintai ini. Aneh memang, Negara sekaya Indonesia bisa mengalami keterpurukan dan juga krisis multi dimensi yang semakin hari semakin tak bisa dikendalikan. Begitu banyak permasalahan yang terjadi di negeri yang kata band Koes Plus tongkat, kayu dan batu bisa jadi tanaman. Sebenarnya ada apa sih dengan Negara kita yang kaya sehingga dijuluki zamrud katulistiwa ini? Segala sesuatu pastilah ada sebabnya. Sebab-akibat adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan di dunia ini. Karena itu, kita kita bisa melihat sebab-sebab dari akibat yang telah terjadi. Contoh, kenapa sih tagihan listrik membengkak? Jawabannya mungkin karena lupa mematikan lampu dan juga televise. Kenapa sih tagihan telepon naik? Jawabannya mungkin karena keseringan internetan. Nah, seperti itulah kita akan melihat sebab dan akibat krisis multidimensi di Indonesia. Sebenarnya hanya ada satu alasanatau sebab yang pasti kenapa Indonesia gagal menjadi Negara yang disegani, maju dan terhormat. Ada satu kata yaitu Pancasila, Negara kita yang katanya menggunakan Pancasila sebagai dasar negaranya justru hanya menjadikannya nyanyian yang dulu ketika sekolah sering kita nyanyikan bersama teman-teman. Pancasila sebagai ideology yang katanya terbaik dan diambil dari nilai-nilai luhur masyarakat Indonesia toh pada kenyataanya tidak bisa membawa Negara pada cita-cita yang diharapkan, yaitu kemakmuran Negara. Yang terjadi justru kemakmuran pejabat yang melakukan korupsi. Apa Pancasilanya yang salah? Apa penataran P4-nya yang kurang sempurna? Pancasila hanya dasar, dan itu tak berarti tanpa adanya subjek yang dikenakan kepadanya, yaitu pelaku atau pelaksana dari Pancasila itu sendiri. Yang saya lihat, mayoritas masyarakat Indonesia seolah tak peduli dan bahkan acuh tak acuh terhadap dasar yang dilambangkan dengan burung garuda gepeng yang dipajang di depan kelas. Kenapa sebenarnya? Kenapa banyak warga Negara tidak peduli pada dasar Negara mereka? Apakah layak disebut warga Negara? Mari kita bahas satu persatu dengan mengambil masing-masing satu contoh. Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa
Kita mengakui sebagai Negara bangsa yang bertuhan, bangsa yang berkeyakinan dan bukan komunis ataupun atheis, tetapi apakah pengejawantahannya telah terjadi dalam kehidupan sehari-hari? Kita lihat hamper di setiap kota di negeri ini ada yang namanya lokalisasi? Itu adalah tempat berkumpulnya para pelacur yang menjajakan dirinya kepada pria-pria hidung belang. Dalam semua agama yang dianut di Negara kita ini, saya yakin pelacuran adalah dosa dan hukumnya haram. Tapi kenapa pelacuran justru diadakan oleh pemerintah melalui lokalisasi? Bukankah lokalisasi itu yang mengatur adalah pemerintah? Katanya bertuhan, tapi kenapa tumah ibadah bisa dekat dengan pelacuran? Sila Kedua Kemanusaan yang Adil dan Beradab Benarkah kita semua warga Negara Indonesia adlaah manusia? Saya yakin jawabannya ya, karena hanya mereka yang berakal yang bisa menerima kesepakatan mengenai konstitusi dan kenegaraan. Tapi pantaskah kita disebut manusia bila kita bersifat dan bersikap layaknya binatang? Bagaimana dengan kasus-kasus yang terjadi berkenaan dengan pelanggaran HAM di Negara ini? Kasus GAM, Timor TImur, Tragedi Mei 2008, Kerusuhan Monas, itu semua bisa disebut manusia yang beradab? APakah pengeroyokan, pembunuhan, penyiksaan dan main hakim sendiri bisa disebut kemanusiaan yang beradab? Apakah disebut manusia bila membiarkan warga negaranya mati kelaparan karena tidak mampu membeli sembako yang harganya melangit tatkala tiga huruf yang dijadikan lelucon di televise (BBM) meroket bak pesawat ulang alik Chalenger. Dimana sisi kemanusiaan yang beradab ketika masih dan sering kita temui warga miskin yang terinjak-injak dalam pembagian sembako gratis atau keluarga yang memilih bunuh diri sebagai jalan keluar? Dimana sisi kemanusiaannya tatkala anggota dewan yang berjas dan berdasi meminta kenaikan gaji yang tinggi sementara banyak warganya yang masih makan Senin-Kamis layaknya puasa sunah? Adil dan beradabkah? Sila ketiga Persatuan Indonesia. Inilah yang lucu dari para subjek negara di Indonesia. Persatuan seperti apa yang ditampilkan? Persatuan seperti apa yang telah terjadi dan terlihat nyata di negara ini? Apakah persatuan mengganyang aliran sesat dengan kekerasan? Apakah persatuan menolak harga BBM dengan menyerang dan melemparkan molotov? Apakah persatuan mogok makan sebagai bentuk protes? Atau mungkin persatuan paduan suara DPR yang mengatakan ”ya” sementara mata mereka tampak seperti senter yang mulai kehabisan baterai? Apa persatuan karena telah ada ”pelicin” yang membuat kita mau menyingsingkan lengan baju? Atau persatuan yang ditunjukkan dengan bersamasama menyanyikan lagu kebangsaan dan mengadakan acara peringatan tanpa bisa diambil dan diresapi maknanya? Yang mana nih? Sila keempat Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan Perwakilan. Pertanyaan dari sila terpanjang ini adalah, sudahkah kita menggunakan jalan musyawarah sebagai penyelesaian? Atau kita lebih memilih jalan yang lebih muda yang disimbolkan dengan amplop? Atau mungkin melalui pentungan dan kapak yang siap memotong leher kita kapan saja? Dimana sisi musyawarahnya? Sudahkah rakyat dipimpin oleh para pemimpin yang memiliki kebijaksanaan layaknya Nabi Muhammad, Yesus, atau Budha? Sudah pulakah suarasuara masyarakat terwakilkan oleh orang-orang yang katanya cerdas yang kita pilih dengan menusukkan paku? Kalau telah terwakilkan, kenapa bisa terjadi banyak keputusan-keputusan kontroversial yang bertentangan dengan keinginan masyarakat? Jujur saja, musyawarah adalah ciri khas dari negara ini semenjak nenek moyang kita.
Tapi sepertinya musyawarah sebagai penyelesaian masalah yang kita banggakan ini hanya milik nenek moyang kita yang katanya seorang pelaut. Dan terakhir... Sila kelima Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Kita tahu pasti kalau sila inilah yang paling banyak disorot saat ini. Keadilan yang dilambangkan dengan rasi bintang Libra, ternyata hanyalah kumpulan buku-buku berbahasa Belanda yang menjadi monopoli orang-orang berdompet tebal alias orang kaya harta. KUHP yang dibanggakan seolah hanya digunakan sebagai formalitas, dan hanya akronimnya yang sering dipakai (KUHP – Kasih Uang Habis Perkara). Adilkah maling ayam yang tewas di tangan massa yang tak beradab dengan koruptor milyaran rupiah yang bisa melenggang wisata keluar negeri? Apakah adil ketika para pejabat dan konglomerat hitam yang telah merugikan negara milyaran rupiah itu bebas tak bersyarat? Adilkah sementara tetangga kita yang mencuri karena kemiskinan tewas terpanggang dengan mengenaskan? Yang terjadi sekarang adalah : • Sila 1 Banyak yang lebih takut sama Bos daripada sama Tuhan • Sila 2 Banyak yang pada nggak peduli sama keadaan saudara kita yang kena musibah dan di kampong-kampung yang buat makan aja susah. • Sila 3 Banyak persepsi, banyak argument, banyak kepentingan yang justru jauh dari persatuan. • Sila 4 Sudah nggak ada lagi musyawarah mufakat, karena beda pendapat mendingan jadi oposisi ketimbang jalan bareng. • Sila 5 yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin. Dari pembahasan kelima sila di atas, bisalah kita menyimpulkan kalau Pancasila yang terdiri dari lima sila dengan masing-masing simbol yaitu bintang, pohon beringin, kepala banteng, rantai dan padi dan kapas ternyata tidak diamalkan dengan baik. Begitu banyak contoh-contoh nyata tentang pelanggaran akan nilai-nilai dasar Pancasila. Bukankah pelanggar dasar negara patut dan pantas untuk dihukum? Lalu kenapa mereka tidak dihukum? Apakah hukum hanya milik para pejabat dan konglomerat? Dari pembahasan di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa bila kita ingin bangkit dari segala keterpurukan bangsa dan krisis multidimensi, marilah kita kembali ke Pancasila sebagai dasar negara sekaligus pedoman kita. Ke depan, apakah sebagai pengikat, Pancasila masih bisa diandalkan? Tergantung bagaimana orang Indonesia menanggapinya sekarang. Kalau saya, jujur saja, sangat khawatir. Orang sekarang malas berbicara soal Pancasila. Saya bertanya, siapa yang mau berdiskusi soal Pancasila sekarang? Orang kampus saja, sudah ogah. Sebagai warga negara, justru hal seperti itu sangat saya khawatirkan. Tidak ada sebuah negara yang tidak tegak di atas sebuah ideologi. Selonggar apa pun pengertian ideologi itu. Amerika punya ideologi, ideologi demokrasi. Kita punya apa? Angkatan pergerakan nasional sudah memberikannya kepada kita, yakni Pancasila. Sayangnya, dalam upaya penerapannya, Pancasila selalu ditawarkan dalam bahasa cuci otak. Dipaksakan dengan cara indoktrinasi.
Ideologi Pancasila di tengah Perubahan Dunia Dunia berkembang dan berubah dengan sangat cepat, dan perubahan yang terjadi itu ikut mewarnai kehidupan bangsa kita secara fundamental. Ada beberapa penulis buku yang melalui konsep-konsepnya telah berhasil memotret realitas zaman yang sedang kita jalani ini. Di antaranya adalah Rowan Gibson (1997) yang menyatakan bahwa The road stop here. Masa di depan kita nanti akan sangat lain dari masa lalu, dan karenanya diperlukan pemahaman yang tepat tentang masa depan itu. New time call for new organizations, dengan tantangan yang berbeda diperlukan bentuk organisasi yang berbeda, dengan ciri efisiensi yang tinggi. Where do we go next; dengan berbagai perubahan yang terjadi, setiap organisasi-termasuk organisasi negara-perlu merumuskan dengan tepat arah yang ingin dituju. Peter Senge (1994) mengemukakan bahwa ke depan terjadi perubahan dari detail complexity menjadi dynamic complexity yang membuat interpolasi menjadi sulit. Perubahan-perubahan terjadi sangat mendadak dan tidak menentu. Rossabeth Moss Kanter (1994) juga menyatakan bahwa masa depan akan didominasi oleh nilai-nilai dan pemikiran cosmopolitan, dan karenanya setiap pelakunya, termasuk pelaku bisnis dan politik dituntut memiliki 4 C, yaitu concept, competence, connection, dan confidence. Kesadaran Berbangsa Sebenarnya, proses reformasi selama enam tahun belakangan ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan secara optimal untuk merevitalisasi semangat dan cita-cita para pendiri negara kita untuk membangun negara Pancasila ini. Sayangnya, peluang untuk melakukan revitalisasi ideologi kebangsaan kita dalam era reformasi ini masih kurang dimanfaatkan. Bahkan dalam proses reformasi-selain sejumlah keberhasilan yang ada, terutama dalam bidang politik-juga muncul ekses berupa melemahnya kesadaran hidup berbangsa. Patut disadari oleh semua warga bangsa bahwa keragaman bangsa ini adalah berkah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Oleh sebab itu, semangat Bhinneka Tunggal Ika harus terus dikembangkan karena bangsa ini perlu hidup dalam keberagaman, kesetaraan, dan harmoni. Sayangnya, belum semua warga bangsa kita menerima keragaman sebagai berkah. Oleh karenanya, kita semua harus menolak adanya konsepsi hegemoni mayoritas yang melindungi minoritas karena konsep tersebut tidak sesuai dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perlu disadari oleh semua pihak bahwa proses demokratisasi yang sedang berlangsung ini memiliki koridor, yaitu untuk menjaga dan melindungi keberlangsungan NKRI, yang menganut ideologi negara Pancasila yang membina keberagaman, dan memantapkan keseta-raan. Oleh karenanya, tidak semua hal dapat dilakukan dengan mengatasnamakan demokrasi. Mahasiswa Tak Minati Pancasila Melemahnya kekuatan Pancasila sebagai ideologi dan pandangan hidup bangsa juga terjadi kepada kelompok mahasiswa. Kaum muda yang diharapkan menjadi penerus kepemimpinan bangsa ternyata abai dengan Pancasila. Mengutip survei yang dilakukan aktivis gerakan nasionalis pada 2006, sebanyak 80 persen mahasiswa memilih syariah sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Sebanyak 15,5
persen responden memilih aliran sosialisme dengan berbagai varian sebagai acuan hidup. Hanya 4,5 persen responden yang masih memandang Pancasila tetap layak sebagai pandangan hidup berbangsa dan bernegara. Penelitian itu dilakukan di Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, dan Universitas Brawijaya. Perguruan-perguruan tinggi tersebut selama ini dikenal sebagai basis gerakan politik di Indonesia.Danial menilai survei tersebut menunjukkan kondisi riil di perguruan tinggi negeri di seluruh Indonesia. Kondisi ini menunjukkan semakin rendahnya semangat nasionalisme di kalangan generasi penerus bangsa. "Banyak generasi muda yang lupa isi harfiah Pancasila. Apalagi mengerti Pancasila secara maknawi? Pascabergulirnya gerakan reformasi, Pancasila dilalaikan oleh banyak pihak. Pancasila tidak lagi menjadi acuan dalam kehidupan politik dan tak lagi digunakan sebagai kerangka penyelesaian masalah nasional. Bahkan, banyak orang bersikap sinis dan takut ditertawakan jika berbicara tentang Pancasila. Pancasila tak lagi menjadi acuan, baik dalam pengambilan keputusan maupun penyusunan perundangundangan. Jarang pula masalah nasional yang menentukan jalannya sejarah bangsa direfleksikan atau dipertanyakan kembali dalam kerangka dasar negara, Pancasila. Masalah itu, antara lain terlihat dalam meningkatnya jumlah penduduk miskin dan penganggur, kesehatan dan pendidikan bagi rakyat miskin, konflik etnis dan antarumat beragama, serta meluasnya sikap ekstrem dan fundamentalis. Itu semua jauh dari Pancasila.Kebebasan yang diperoleh melalui reformasi, lanjutnya, dipahami dalam kerangka logika konsumerisme dan tumbuhnya sikap tak peduli akan nilai empati, compassion, cinta kasih, solidaritas, dan nilai kemanusiaan yang menjembatani privat dengan publik. Terkait dengan hal itu, kata Sastrapratedja, Pendidikan Pancasila perlu diperhatikan kembali. Pascareformasi, Pendidikan Pancasila menjadi kurang penting dalam lembaga pendidikan. Hal itu bisa jadi merupakan akibat atau ekses Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang selama Orde Baru sangat ditekankan. Pendidikan Pancasila harus ditumbuhkan lagi menjadi bagian dari Pendidikan Kewarganegaraan dengan cara yang menarik.Maftuh Basyuni juga mengajak semua pihak untuk menegaskan komitmen pada Pancasila. Beberapa langkah yang bisa dikategorikan sebagai pengamalan Pancasila adalah memperbaiki kualitas keberagaman masyarakat secara berimbang, memperbaiki kualitas ketahanan keluarga, dan memperbaiki persaudaraan antarsesama kelompok. Pemimpin yang mampu Secara terpisah, Wakil Ketua Dewan Perwakilan Daerah Laode Ida menilai, Kebangkitan Nasional telah berusia satu abad, tetapi hingga saat ini belum ada pemimpin yang mampu membangkitkan rakyat dari kemelaratan, kebodohan, dan ketertinggalan. Pemimpin seperti ini yang dibutuhkan Indonesia ke depan. Soalnya, situasi yang dihadapi Indonesia saat ini berbeda dengan 100 tahun lalu. Sekarang tidak lagi butuh pemimpin yang mempersatukan kelompok etnik, raja seperti 100 tahun lalu, karena terorganisir dalam negara. Yang dihadapi rakyat sekarang adalah ketiadaan pemimpin yang bisa membuat mereka bangkit dari kemelaratan, kebodohan, ketertinggalan aat ini masih banyak warga Indonesia yang
belum menikmati listrik, akses jalan dan transportasi dari satu tempat ke tempat lain, bahkan mati karena kelaparan. Indonesia juga membutuhkan pemimpin yang mau bersungguh-sungguh memperjuangkan apa yang tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan bangsa. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan bahwa Pancasila sebagai ideologi nasional dan dasar negara Republik Indonesia sudah final. Karena itu Presiden Yudhoyono mengajak seluruh masyarakat Indonesia untuk menghidupkan, mengamalkan dan memegang teguh Pancasila sebagai dasar negara. "Memang, kita tidak ingin Pancasila dan UUD 1945 disakralkan karena tidak perlu disakralkan. Namun pemikiran untuk mengganti Pancasila dengan idelogi dan dasar negara lain atau pun mengubah Pembukaan UUD 1945 yang merupakah ruh dan jiwa konstitusi kita, tentulah tidak akan kita berikan tempat dalam kehidupan bernegara. Dikatakan ada empat pilar utama yang menjadi nilai dan consensus dasar yang menopang tegaknya Republik Indonesia selama ini yakni : - Pancasila - UUD 1945 - Negara Kesatuan Republik Indonesia dan prinsip - Bhineka Tunggal Ika Sepanjang perjalanan sejarah bangsa kita, selalu ada saja ujian terhadap pilar-pilar utama kehidupan bernegara. Dalam era globalisasi dan transformasi nasional dewasa ini, kembali kita menghadapi tantangan empat pilar utama itu. Terhadap rongrongan itu, pertama-tama kita harus menegaskan bahwa Pancasila sebagai dasar negara, sebagai falsafah dan pandangan hidup bangsa sudah final, Pancasila tetap harus ditegakan sebagai falsafah bangsa, pandangan hidup bangsa (way of life) serta perangkat pemersatu bangsa. Pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR RI No XVIII/MPR/1998 yang mencabut TAP MPR No II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila yang sekaligus secara eksplisit menetapkan Pancasila sebagai dasar negara. Pembukaan UUD 1945 juga harus dipertahankan karena memuat cita-cita, tujuan nasional, dan dasar negara. Selain itu NKRI juga sudah final dan tidak dapat diganggu gugat. Keutuhan dan kedaulatannya tidak dapat dikompromikan. Penegakannya dapat dilakukan dengan berbagai cara yang mengedepankan pendekatan keadilan dan kesejahteraan. Di tengah-tengah keragaman bangsa kita yang majemuk, lanjutnya, slogan Bhineka Tunggal Ika harus terus diaktualisasikan, sebagai keniscayaan kehidupan bangsa yang beragam suku, agama, bahasa dan budaya. Untuk itu, dia mengajak untuk bersatu dan bertekad bulat guna mengukuhkan persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi Pada bagian lain Presiden Yudhoyono mengemukakan bahwa demokrasi di Indonesia saat ini bertumbuh mekar. Tantangannya bagaimana menggunakan kebebasan itu secara tepat, bermanfaat, penuh tanggung jawab, dan disertai akhlak yang baik. Marilah kita abdikan demokrasi dan kebebasan ini untuk mengatasi permasalahan dan membangun kesejahteraan rakyat. Dalam penerapan, Pancasila gagal? Pancasila tidak pernah sukses saat diterapkan. Itu fakta. Dari zaman Bung Karno sampai Pak Harto, dan sampai sekarang implementasi Pancasila itu gagal. Di mana-
mana, rakyat jauh dari sejahtera, dan menderita. Jangan jauh-jauh, contoh paling dekat kasus Lapindo. Penetapan P4 dan azas tunggal merupakan bentuk formalisasi Pancasila yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai perwujudan kediktatoran pada masa itu. Akan tetapi, formalisasi Pancasila tersebut tidak mampu melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Akibatnya, walaupun penataran P4 dilaksanakan terus - menerus, Pancasila tetap tidak tertanam dalam jiwa Bangsa Indonesia. Pancasila tidak mampu menjadi pandangan hidup bangsa. Banyaknya korupsi, manipulasi anggaran dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh pejabat dan aparat merupakan bukti bahwa mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam berpancasila pun gagal menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup mereka. Menekan masyarakat dalam berpolitik, mencurangi pemilu secara sistematik dalam pemilu selama Orde Baru juga merupakan perwujudan dari pengkhianatan kepada Pancasila. Orde Baru telah melakukan formalisasi Pancasila dan menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menakutnakuti masyarakat. Alih-alih melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap warga negara, pemerintah Orde Baru justru membuat Pancasila menjadi hantu bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak mampu menjiwai Pancasila. Kini, marilah kita kembalikan esensi Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Formalitas Pancasila tidak kita perlukan lagi. Justru pengejawantahannya dalam kehidupan kita sehari-harilah yang perlu kita wujudkan. Padahal, Pancasila sangat mengindahkan kesehjateraan rakyat? Begini, saat lahirnya Pancasila, ketika Soekarno merumuskan arti keadilan sosial, apa yang dia katakan? Kita bisa catat: “Di dalam Indonesia merdeka, tidak akan ada kemiskinan.” Itu, dia ucapkan pada pidato 1 Juni 1945, ketika dia merumuskan Pancasila. Dan sekarang, setelah 62 tahun kita merdeka? Kita menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Belum masalah keadilan hukum, bagaimana bisa koruptor berkeliaran? Ya, inilah bukti kita jelas tidak Pancasilais. Orang akan kembali percaya kepada Pancasila kalau nilai-nilainya sudah dibuktikan? Oh, iya. Tapi, bagaimana dalam situasi sekarang orang akan percaya? Sedang jurang sosial menganga lebar antara rakyat dengan pejabat. Itu fakta. Kita hidup sekarang ada dalam pengertian anti-Pancasila, kok. Angkat kembali nilai Pancasila Nilai-nilai Pancasila sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara telah memudar. Bukan hanya pada generasi muda, tapi juga pada diri para tokoh yang ada sekarang ini, yang menjadi penentu masa depan bangsa Indonesia. Kita lihat dari gejala-gejala dan bukti-bukti, sekarang ini nilai-nilai itu sudah memudar. Bukan hanya pada generasi muda. Semangat dan nilai-nilai Pancasila, seperti saat dilahirkan melalui pidato mantan Presiden Soekarno, mesti diangkat kembali. Peristiwa penting dan heroik yang mengandung nilai historis, filosofis kenegaraan, sudah banyak dilupakan. Saat ini terjadi dekadensi moral di semua lapisan generasi, pentingnya nilai-nilai Pancasila dipertahankan. Kita melihat akhir-akhir ini rasa persaudaraan sesama anakanak bangsa semakin menipis, persoalan dalam hal toleransi antarumat beragama di
sejumlah daerah. Pancasila adalah kesepakatan para pendiri bangsa, nilai-nilai luhur yang harus selalu menjadi pedoman bangsa. Kalau tidak, bubarlah negeri ini. Sebagai dasar kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila perlu direaktualisasi dengan mempertimbangkan konteks dinamika lokal, nasional dan global yang terus berubah. Pancasila tidak boleh hanya sebatas pajangan yang dikerangkeng dalam mukadimah konstitusi. Proses kehidupan di berbagai bidang terus bergerak menjauh dari nilai kolektif Pancasila. Reaktualisasi Pancasila harus jadi agenda besar bangsa. Perlu dirumuskan parameter transformatif setiap sila dari Pancasila. "Agar lebih mampu menjadi referensi konsepsional dan operasional. Lalu semua kebijakan pembangunan nasional mesti merujuk pada parameter transformatif itu. Hal senada dikatakan Fatwa. Pancasila merupakan nilai-nilai yang memberikan inspirasi, rujukan, menjadi landasan ke mana kita akan membawa bangsa ini pada kemajuan. Tapi kita tidak boleh kaku. Pancasila itu dinamis. Nilai-Nilai Pancasila. Topik bahasan nilai-nilai Pancasila dibawakan oleh Ahmad Yulden Erwin dari Lampung, dengan lugas, mengelitik dan menarik Erwin juga mengisahkan bahwa dulu dia sendiri sangat alergi dengan Pancasila, Karena image Pancasila diusung oleh pihak penguasa sebagai ikon-kon politik para penguasa yang korup. Sampai akhirnya Pembicara sadar bahwa dulu yang ditolak bukan Pancasila tetapi Rezim/orang-orang yang menggunakan Pancasila untuk memperkuat posisinya.
Burung Garuda Pancasila bisa ditafsirkan menjadi Funky, antara lain misalnya : Mengapa Garuda menoleh kesebelah kanan? Karena berkaitan dengan otak kanan (berkaitan dengan rasa bisaanya simbolnya LOVE), karena Soekarno pecinta yang hebat karena itu Garuda dibuat menoleh kekanan. Artinya: ‘Kepala harus dituntun oleh Cinta’ Mengapa Garuda memakai Perisai? Perisai adalah pelindung, pelindung dari hal-hal negatif yang menjadi kontra dari kelima sila. Mengapa simbol sila kerakyatan adalah Kepala Banteng? Namanya Rakyat bisaanya tidak berpikir panjang sama seperti banteng mudah diprovokasi, karena itu Banteng di Garuda memejamkan mata, agar tidak mudah diprovokasi (banteng yang Meditatif) Mengapa Bintang ditengah? Bintang di tengah dengan sudut-sudut menunjuk ke empat sila, karena setiap sila-sila dalam Pancasila harus selalu dijiwai oleh Ketuhanan Yang Maha Esa.
Kelima-lima Sila dalam Pancasila saling berhubungan. Jika muncul pertanyaan dalam masyarakat, mengapa rakyat belum sejahtera( sila ke-5) Karena rakyat belum dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan (sila ke-4). Mengapa Rakyat belum dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan? Karena belum ada persatuan (sila ke-3)? Mengapa belum ada persatuaan? Karena belum ada kemanusiaan yang adil dan beradab (sila ke-2). Mengapa belum ada kemanusiaan? Karena belum ada Ketuhanan Yang Maha Esa. Melihat simbol yang ada di Burung Garuda, kita menjadi mengetahui Jiwa Indonesia sebenarnya adalah Ketuhanan. Salah satu pertanyaan yang menarik adalah bagaimana cara agar bisa mengawal penafsiran kita tentang Pancasila supaya tidak menyimpang atau tidak salah tafsir? Jawabanya adalah jika kita ingin menghindari multi tafsir, kita harus melihat keseluruhan secara komprehensif, dari semua simbol yang ada di Burung Garuda Pancasila yang ditafsir, Jangan kita melupakan nilai di bawah Garuda yang merupakan seuntai pita bertuliskan "Bhinneka Tunggal Ika" Itu adalah keseluruhan Roh dari bangsa Indonesia. Apapun penafsiran harus selalu kembali kepada rohnya yaitu, Berbeda tetapi tetap satu. Mengembalikan Pancasila Sebagai Pandangan Hidup Bangsa Pada 1 Juni 1945, Soekarno mengajukan rumusan dasar negara yang kemudian dikenal sebagai Pancasila, dasar negara dan pandangan hidup Bangsa Indonesia. 1 Juni kemudian diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila. Pancasila telah mengalami perjalanan satu generasi. 64 tahun. Dalam kurun waktu tersebut banyak peristiwa sejarah yang dihadapi oleh Pancasila. Salah satu peristiwa sejarah yang paling terkenal adalah tantangan terhadap Pancasila berupa G30S/PKI. Peristiwa yang lain yang mewarnai perjalanan Pancasila adalah penetapan P4 oleh MPR tahun 1978, kemudian penetapan Pancasila sebagai azas tunggal dan pencabutan Tap MPR tentang P4 dan penghapusan azas tunggal. Penetapan P4 dan azas tunggal merupakan bentuk formalisasi Pancasila yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru sebagai perwujudan kediktatoran pada masa itu. Akan tetapi, formalisasi Pancasila tersebut tidak mampu melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap manusia Indonesia. Akibatnya, walaupun penataran P4 dilaksanakan terus - menerus, Pancasila tetap tidak tertanam dalam jiwa Bangsa Indonesia. Pancasila tidak mampu menjadi pandangan hidup bangsa. Banyaknya korupsi, manipulasi anggaran dan penyimpangan-penyimpangan lain yang dilakukan oleh pejabat dan aparat merupakan bukti bahwa mereka yang seharusnya menjadi teladan dalam berpancasila pun gagal menjadikan Pancasila sebagai pandangan hidup mereka. Menekan masyarakat dalam berpolitik, mencurangi pemilu secara sistematik dalam pemilu selama Orde Baru juga merupakan perwujudan dari pengkhianatan kepada Pancasila. Orde Baru telah melakukan formalisasi Pancasila dan menggunakan Pancasila sebagai senjata untuk menakutnakuti masyarakat. Alih-alih melembagakan Pancasila ke dalam jiwa setiap warga negara, pemerintah Orde Baru justru membuat Pancasila menjadi hantu bagi masyarakat. Akibatnya, masyarakat tidak mampu menjiwai Pancasila.
Kini, marilah kita kembalikan esensi Pancasila sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa. Formalitas Pancasila tidak kita perlukan lagi. Justru pengejawantahannya dalam kehidupan kita sehari-harilah yang perlu kita wujudkan. Pemerintah Harus Aktualisasikan Nilai-nilai Pancasila Pemerintah harus bertanggungjawab untuk memelihara, mengembangkan dan mengaktualisasikan nilai-nilai pancasila dalam seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal ini penting dilakukan untuk menjaga bangsa baik dalam bidang ekonomi, sosial, politik, hukum, kebudayaan maupun aspek-aspek kehidupan lainnya. Pancasila adalah dasar negara, oleh karenanya Pancasila harus dijadikan sumber nilai utama dan sekaligus tolok ukur moral bagi penyelenggaraan negara dan pembentukan peraturan perundang-undangan. Negara juga harus bertanggungjawab untuk senantiasa membudayakan Pancasila melalui pendidikan Pancasila di semua lingkungan dan tingkatan secara sadar, terencana dan terlembaga. Sebab Pancasila merupakan sistem filsafat terbaik yang dimiliki bangsa Indonesia sebagai dasar dan acuan bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika. Segenap komponen bangsa Indonesia wajib menjunjung tinggi, menjaga dan mengaktualisasikan Pancasila. Pancasila merupakan sistem nilai fundamental yang harus dijadikan dasar dan acuan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam melaksanakan tugas pokoknya melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar atas kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan social. Kesemua itu, dalam rangka mewujudkan visi bangsa yakni Indonesia yang sungguh-sungguh merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Pancasila sebagai suatu sisitem yang berkadar filosofis, maka Pancasila senantisasa terbuka untuk didiskusikan, ditafsirkan, dikritik dan sekaligus menjadi alat analisis kritis bagi ideologi-ideologi lain yang harus dikembangkan secara terus-menerus oleh segenap komponen bangsa dengan menghindari dominasi dan hegemoni pihak tertentu. Pancasila itu adalah ideologi terbuka, bukan tertutup seyogyanya masyarakat dan media massa juga proaktif mendirikan kelompok-kelompok kajian atau diskusi menjaga dan mengembangkan Pancasila.