Oh NASIB SUPERSEMAR (Pengingkaran terhadap amanat SP 11 Maret 1966) Suatu Kajian Hitoris dan Politis 1. Ketetapan MPRS Nomor VIII/MPRS/1965 tentang Prinsip-prinsip musyawarah untuk mufakat dalam Demokrasi Terpimpin sebagai Pedoman bagi Lembaga-lembaga Permusyawaratan/Perwakilan, adalah Ketetapan MPRS yang terakhir dalam era 'Orde Lama'. 2. Segera setelah peristiwa G30S atau GESTOK, Mayor Jenderal Soeharto, yang waktu itu adalah Panglima Kostrad, mengambil oper pimpinan Angkatan Darat tanpa menghiraukan keputusan dan instruksi Presiden Soekarno. Presiden R.I. sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata, telah mengambil alih untuk sementara pimpinan Angkatan Darat dan telah menunjuk pula Mayjen Pranoto Reksosamoedro sebagai Care-Taker Panglima AD. Hal ini samasekali tidak dihiraukan Mayjen Soeharto, bahkan menolak untuk mengizinkan Mayjen Pranoto Reksosamoedro menghadap Presiden. Mayjen Soeharto sendiripun pada mulanya menolak untuk memenuhi panggilan menghadap Presiden. Kiranya jelas bahwa perbuatan ini merupakan perbuatan pembangkangan alias 'insubordinasi' yang dilakukan oleh Mayjen Soeharto. 3. Sehubungan dengan diangkatnya Mayjen Pranoto Reksosamoedro selaku Care-Taker Pimpinan AD yang ditolak oleh Mayjen Soeharto -- Presiden Soekarno selaku Panglima Tertinggi telah menunjuk Mayjen Jenderal Soeharto sebagai perwira yang ditugasi untuk melakukan usaha-usaha pemulihan keamanan dan ketertiban yang menjadi terganggu karena adanya G30S. Dalam rangka pelaksanaan tugas ini, dibentuklah Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban, yang kemudian menjadi 'tersohor' sebagai Kopkamtib. Dibentuk pula ditingkat Kodam Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Daerah - Kopkamtibda - dengan segala lembaga-lembaganya, antara lain Tim Pemeriksa Pusat dan Daerah, Tim Oditur Pusat dan Daerah. 4. Lembaga Kopkamtib dan Lembaga-lembaga pendukungnya itulah yang kemudian bergerak dan 'menyandang kekuasaan dan kewenangan' untuk melakukan tindakan apa saja yang 'dianggapnya perlu' demi 'pemulihan keamanan dan ketertiban'. Dalam kurun waktu +/- 6 bulan, Kopkamtib tidak atau belum dapat memulihkan keamanan dan ketertiban (malah ada kesan membiarkan), operasi sapu-jagat melanda dan merambah ke segala penjuru tanah air kita. Korban yang berjatuhan sulit untuk dihitung secara cermat; ada yang memperkirakan 800.000 orang, ada yang mengatakan 1.000.000 orang dan ada pula yang menunjuk 1.500.000 orang dan 2.000.000 orang yang meninggal dengan cara yang mengenaskan. 5. Demonstrasi KAMI, KAPI, KASI, KABI dan lain sebagainya untuk menuntut perbaikan keadaan terus berkembang dan puncaknya adalah pada tanggal 11 Maret 1966 sewaktu ada sidang Kabinet lengkap di Istana Negara. Sidang Kabinet yang dipimpin sendiri oleh Presiden Soekarno ini dikepung oleh sejumlah pasukan yang menanggalkan pakaian tentaranya dan memakai pakaian seperti mahasiswa ataupun rakyat kebanyakan, yang dalam pers release dikatakan 'ada pasukan yang tidak dikenal mengepung istana yang agaknya bermaksud untuk menangkap Presdiden dan semua Menteri Kabinet', kecuali Menteri Panglima AD, yaitu Letjen Soeharto, yang memang tidak hadir dalam sidang kabinet tersebut. 6. Oleh karena adanya 'pasukan liar' yang mengepung istana tersebut di atas, maka setelah Presiden Soekarno mendapatkan pemberitahuan dari Ajudan beliau, Brigjen Sabur, sidang yang sedang berlangsung diserahkan untuk dilanjutkan oleh Waperdam II Dr. Leimena dan Presiden Soekarno diikuti oleh Waperdam I Dr. Soebandrio dan Waperdam III Dr. Chaerul Saleh 'menyingkir' terbang dengan helikopter ke Istana Bogor. 7. Siang harinya, tiga Jenderal, yaitu Mayjen Basoeki Rachmat, Mayjen Andi Jusuf dan Brigjen Amir Machmud, yang adalah 'utusan-utusan' dari Letjen Soeharto (yang kabarnya 'sakit', sehingga karenanya tidak dapat menghadiri Sidang Kabinet pagi harinya), menyusul Presiden Soekarno ke Istana Bogor, dengan maksud untuk 'menentramkan hati' Presiden Soekarno dan sekaligus 'minta maaf' tentang kejadian pagi hari tanggal 11 Maret 1966 itu. 8. Sebagaimana kita semua mengetahui hasil dari mission tiga Jenderal itu adalah diberikannya Surat Perintah Sebelas Maret 1966 oleh Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, yang kemudian terkenal dengan singkatan 'Supersemar". Adapun isinya Surat Perintah tersebut adalah sebagai berikut:
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA Surat Perintah I. Mengingat: • •
1.1. Tingkatan Revolusi sekarang ini, serta keadaan politik baik Nasional maupun Internasional. 1.2. Perintah Harian Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Presiden/Pemimpin Besar Revolusi pada tanggal 8 Maret 1966.
II. Menimbang: • •
2.1. Perlu adanya ketenangan dan kestabilan Pemerintah dan jalannya Revolusi. 2.2. Perlu adanya jaminan keutuhan Pemimpin Besar Revolusi, ABRI dan Rakyat untuk memelihara kepemimpinan dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi serta segala ajaran-ajarannya.
III. Memutuskan / Memerintahkan: Kepada : Letjen Soeharto, Menteri Panglima Angkatan Darat. Untuk : Atas nama Presiden/Panglima Tertinggi AB/Pemimpin Besar Revolusi: •
• •
1. Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu, untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi / Mandataris MPRS demi untuk keutuhan Bangsa dan negara Republik Indonesia, dan melaksanakan dengan pasti segala ajaran Pemimpin Besar Revolusi. 2. Mengadakan koordinasi pelaksanaan perintah dengan Panglima-panglima Angkatan-angkatan lain dengan sebaik-baiknya. 3. Supaya melaporkan segala sesuatu yang bersangkut paut dalam tugas dan tanggung jawabnya seperti tersebut di atas.
IV. Selesai. Jakarta, 11 Maret 1966 Presiden/Panglima Tertinggi/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS., SOEKARNO
9. Dengan adanya Surat Perintah 11 Maret 1966 itu, Jenderal Soeharto menganggap dirinya memperoleh landasan dan kekuasaan yang memadai untuk lebih mengkonsolidasikan cengkraman atas keadaan/situasi pada saat itu, dan tindakan pertama yang dilakukannya adalah mengeluarkan Keputusan 'Presiden/Panglima Tertinggi ABRI / Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS' tanggal 12 Maret 1966, yang ditanda-tangani oleh Letjen Soeharto sebagai 'pengemban' Supersemar yang berisi pembubaran Partai Komunis Indonesia, termasuk semua organisasi, dari tingkat Pusat sampai ke daerah yang berasas/berlindung dan bernaung di bawah PKI. Yang dinamakan 'Keputusan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS tanggal 12 Maret 1966' adalah diametral bertentangan dengan kebijaksanaan politik dari Presiden Soekarno, yang pada waktu itu sebenarnya masih tetap Presiden Republik Indonesia, yang ingin mendahulukan tindakan hukum terhadap oknum-oknum atau institusi yang bersalah, sebelum akan dilakukan tindakan politik. Untuk itu Pres. Soekarno mengutus Waperdam II Dr. Leimena untuk mengadakan hubungan dengan ketiga Perwira (Jenderal) yang menerima di SP 11 Maret 1966 di Bogor. Berhubung jawaban Pak Harto yang bernada akan mengambil alih persoalan secara pribadi, maka Presiden Soekarno mengutus Waperdam II Leimena untuk memberikan tegoran dan peringatan kepada Letjen Soeharto dengan sebuah surat tertanggal 13 Maret 1966, yang berisi penegasan bahwa maksud dan makna sesungguhnya dari Supersemar adalah 'mengambil tindakan-tindakan yang dianggap perlu dalam bidang teknis pengamanan dan penertiban, bukan dalam bidang kebijaksanaan politik yang berdampak dalam dan luas. Tegoran dan peringatan dengan surat tersebut samasekali tidak digubris (ignore) oleh Letjen Soeharto dengan menyatakan bahwa tindakan tersebut adalah tanggung jawabnya 'pribadi'. Pada tanggal 14 Maret 1966 sekali lagi diberikan tegoran dan peringatan, akan tetapi Jenderal Soeharto tetap 'mbalelo' dan tidak memperdulikan tegoran dan peringatan atasannya (salinan surat terlampir). Apakah tindakan itu bukan insubordinasi berat yang dilakukan oleh Jenderal Soeharto ? Di mana itu 'sumpah prajurit ?' 10. Jenderal Soeharto bukannya meneliti kembali dan memperhatikan tegoran dan peringatan Pres. Soekarno, akan tetapi malahan melanjutkan gerakan coup d`état-nya dengan mengeluarkan Surat Perintah Penangkapan Belasan Menteri (sekitar 16 Menteri) pada tanggal 16 Maret 1966. Akhirnya, sebagai klimaks dari rangkaian tindakan berkesinambungan mengambil alih kekuasaan pemerintahan, Jenderal Soeharto menahan/mengisolasi Presiden Soekarno dari keperluan berkomunikasi yang dibutuhkannya, dari orang-orang yang dicintainya, dari keadaan (termasuk kebersihan) yang biasa dinikmatinya. Dalam kondisi yang terpenjara inilah akhirnya Bung Karno pada tanggal 21 Juni 1970 berpulang menghadap Illahi. 11. Rupanya dengan tegoran dan peringatan dari Pres. Soekarno tentang cara-cara yang digunakan oleh Jend. Soeharto dalam melaksanakan Supersemar, Jend. Soeharto khawatir tentang 'kemungkinan dicabutnya SP 11 Maret 1966 itu'. Untuk menghindarkan adanya kemungkinan ini, maka tindakan penangkapan dan penahanan terhadap orang-orang yang dicurigai 'terlibat langsung atau tidak langsung' pada G30S terus dilakukan dengan sangat intens, tidak terkecuali para anggota DPR-GR/MPRS. Tindakan 'membersihkan' DPR-GR/MPRS ini juga dimaksudkan agar kemudian segala sesuatunya dapat dijalankan 'secara konstitusional'. Dalam rangka usaha-usaha secara konstitusional itu diangkatlah Jend. A.H. Nasution sebagai Ketua MPRS, tentunya setelah para anggota DPR-GR/MPRS yang ditangkap dan ditahan diganti dengan orang-orang yang pro Orba. 12. Sidang Umum ke-IV MPRS diadakan sejak tanggal 20 Juni 1966 hingga tanggal 5 Juli 1966. Ketetapan pertama yang ditelorkan adalah TAP No. IX/MPRS/ 1966, tanggal 21 Juni 1966, yang isinya 'memperkuat kebijaksanaan Pres. Soekarno yang tertuang dalam SP 11 Maret 1966 dan meningkatkannya menjadi TAP MPRS'. Dengan demikian kemungkinan bagi Pres. Soekarno untuk mencabut/menarik kembali SP 11 Maret 1966 ditutup rapat-rapat, karena 'secara konstitusional' Presiden tidak dapat 'mengingkari' dan 'mencabut' TAP MPRS. Walaupun namanya mengukuhkan, TAP MPRS tersebut juga menyiratkan usaha untuk mengebirinya, karena TAP MPRS tidak menugaskan Pengemban SP 11 Maret 1966 secara tegas untuk 'menjamin keselamatan pribadi, ajaran-ajaran dan kewibawaan Presiden/Panglima Tertinggi ABRI', tetapi lebih dimaksudkan untuk kepentingan usaha penyempurnaan lembaga/lembaga/ aparatur negara, seperti konsideran butir d TAP tersebut. Naskah TAP tersebut (terlampir). 13. Rekayasa politik dengan menggunakan sarana hukum, khususnya hukum Konstitusi, memang hebat, namun apabila disimak dengan teliti isi dan makna TAP IX/MPRS/1966 tersebut, maka akan terlihat betapa 'dungu-nya' mereka itu, karena dalam kenyataannya mereka itu melaksanakan isi SP 11 Maret 1966 dengan itikad jahat dan samasekali tidak sejalan dan tidak sesuai dengan inti pokok dari SP 11 Maret 1966 itu. Butir 1 dari SP 11 Maret 1966 itu berbunyi: 'Mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk terjaminnya keamanan dan ketenangan serta kestabilan jalannya Pemerintahan dan jalannya Revolusi, serta menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Pimpinan Presiden… dst..nya.
Kita semua menjadi saksi bahwa tidak ada secuil isi pokok SP 11 Maret 1966 itu yang dilaksanakan oleh Jend. Soeharto dengan Orbanya, kecuali tindakan- tindakan yang sesuai dengan politik yang dijalankannya, yaitu 'menghancurkan jalannya revolusi Indonesia, menangkap dan menahan Pres. Soekarno sampai mati dan melarang buku-buku atau tulisan Pres. Soekarno, yang memuat ajaranajaran politik dan kemasyarakatan yang sangat berharga bagi bangsa Indonesia'. Jadi disatu sisi Jend. Soeharto dan Orbanya hendak 'melestarikan' berlakunya SP 11 Maret 1966, setidaktidaknya sampai dilaksanakannya Pemilu MPR, akan tetapi dilain sisi mereka sangat berkepentingan untuk menggunakan TAP MPRS No. IX/MPRS/1966, tanggal 21 Juni 1966 itu untuk melancarkan pelaksanaan politik mereka sendiri dengan hanya memanfaatkan kesempatan untuk 'mengambil segala tindakan yang dianggap perlu ….', tanpa menghiraukan syarat-syarat lainnya, karena syarat-syarat lainnya itu justru akan menghalangi niat-niat busuk mereka. Hanyalah dengan sepotong anak kalimat yang terdapat dalam butir 1 dari isi SP 11 Maret 1966 tersebut, Jend. Soeharto dan Orbanya telah menjungkir-balikkan tatanan politik dan kemasyarakatan Indonesia, dengan didukung oleh politik kekuasaan dan kekejaman yang diluar batas prikemanusiaan. Siapa yang menentang kebijaksanaan politik Orde Baru dengan mudah dicap terlibat langsung atau tidak langsung dengan G30S, dan nasib orang yang demikian itu menjadi orang yang 'vogelvrij verklaard', tidak punya hak apa-apa lagi dan siapapun boleh 'membunuhnya' tanpa ada urusan. Pemerintah Orba yang dikomandani oleh Jend. Soeharto ini adalah suatu bentuk pemerintah seperti suatu 'schrik bewind' (kekuasaan pemerintahan yang mengagetkan dan menakutkan). Bentuk pemerintahan yang 'schrik bewind' ini, jelas tidak dilandasi oleh pembinaan 'nation and character building', bagi pertumbuhan bangsa kita - akan runtuh dari dalam. Pemerintahan yang menakutkan ini memang berjalan cukup lama, sekitar satu generasi (lebih dari 30 tahun), dan sekarang kita semua menjadi saksi kehancuran bangsa kita, bangsa Indonesia yang menjadi tercabik-cabik karena pertentangan politik, pertentangan sosial, kesenjangan ekonomi, pergulatan antar umat beragama, antar suku, antar kepentingan dan sebagainya tanpa ada yang melerai, termasuk TNI dan Polisi sebagai alat kekuasaan sekalipun. 14. Dengan kajian sebagaimana diuraikan di atas, jelaslah bahwa sejak tanggal 2 Oktober 1965 telah terjadi perbuatan-perbuatan dan tindakan-tindakan hukum yang dilakukan oleh Jend. Soeharto yang melanggar perintah atasan, membuat rekayasa politik dengan menggunakan sarana hukum konstitusi yang tidak masuk akal sehat. Perbuatan-perbuatan Jend. Soeharto itu tidak lain adalah rangkaian dan suatu kesinambungan dari usaha dan tindakan yang semuanya melanggar hukum, yang pada akhirnya menuju kearah pengambil-alihan kekuasaan - coup d`état - secara tidak sah. Oleh pakar asing, rangkaian perbuatan Jend. Soeharto itu disebut 'creeping coup d`état', atau suatu pengambilalihan kekuasaan secara merayap. 15. Dalam Sidang Umum MPRS ke IV, tanggal 20 Juni - 5 Juli 1966, Presiden Soekarno telah menyampaikan pertanggung-jawabnya tentang masalah-masalah politik terutama pada kurun waktu 1965 - 1966, yang diberi judul 'Nawaksara' (sembilan pokok permasalahan). Sudah dapat diduga bahwa Nawaksara ini akan ditolak oleh MPRS yang telah di 'make-up'. Demikian juga 'Pelengkapnya', yang disampaikan Pres. Soekarno dengan surat kepada MPRS No. 01/Pres/1967, tanggal 10 Januari 1967. Kemudian, dalam situasi yang sudah sangat sulit itu, usaha terakhir demi bangsa yang dicintainya, Pres. Soekarno membuat 'Rancangan Pengumuman' Presiden/Mandataris MPRS tanggal 20 Februari 1967, yang intinya 'menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban SP 11 maret 1966'. Ternyata rancangan ini ditolak oleh Pemerintah/Pengemban SP 11 Maret 1966 melalui Keterangan Pemerintah pada Sidang Pleno DPR-GR tanggal 4 Maret 1967. Dalam keterangannya tersebut, Pemerintah (Pengemban SP 11 Maret 1966) antara lain menyatakan: …. 'Hendaknya pula kita dapat menang- gapi tindakan politik Presiden (Pres. Soekarno) yang tertuang dalam Pengumuman Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI seperti yang saya sebut tadi, dalam rangka upaya rintisan menyelesaikan konflik politik, untuk tetap menuju kepada kemurnian pelaksanaan UUD 45. Memang Pengumuman tersebut tidak kurang dan tidak lebih hanya merupa- kan upaya untuk merintis-melancarkan penyelesaian konflik …..,, melalui prosedur konstitusionil. …. …. tetapi ….Pengumuman tersebut bukanlah suatu tindakan penyelesaian situasi konflik yang tersendiri, melainkan suatu langkah tindakan dalam rangka upaya mendapatkan hasil penyelesaian yang setepattepatnya…….. ….. Dalam suasana yang demikian itu tiba-tiba pada tanggal 7 Pebruari 1967 (ketika itu sedang berlangsung sidang Presidium dengan seluruh Menteri-menteri …) kami selaku Ketua Presidium Kabinet/Pengemban Super Semar menerima surat rahasia/pribadi melalui Sdr. Hardi SH. (anggota DPP PNI), surat pengantar dan sebuah konsep Surat Penugasan dari Pres. Soekarno (lengkapnya terlampir). …. Setelah surat tersebut kami baca dan pelajari dengan saksama, sampailah pada kesimpulan bahwa sulitlah kami untuk menerima tugas seperti tercantum dalam suratnya itu, berdasarkan alasan-alasan bahwa dengan tindakan tersebut situasi konflik tidak akan menjadi reda, usaha penyelesaian konflik
tidak akan diperlicin, melainkan akan mempersulit keadaan. Bahkan materi dari Surat Penugasan tersebut hanya sekedar formalitas belaka dari tugas-tugas kami selaku Ketua Presidium Kabinet, …. sehingga secara riil Surat Penugasan tersebut samasekali tidak mempunyai arti'. Penolakan ini rupanya dilandasi atas rasa kemenangan yang telah diambang pintu, dimana DPR-GR waktu itu sudah memutuskan resolusi untuk memanggil Sidang Istimewa MPRS. Lebih lanjut …….. Pengemban SP 11 Maret 1966 menyatakan ….hanya akan bersedia mempertimbangkan penyelesaian lain (di luar SI MPRS), kalau penyelesaian dilandasi oleh TAP MPRS No. XV/MPRS/1966 pasal 2 (menyatakan berhalangan), alias 'give up'. Sungguh suatu sikap yang arogan, dan nyata-nyata telah mengingkari keberadaan Presiden Soekarno yang masih 'in place', tetapi secara fisik memang berada dalam tahanan. 16. Puncak dari rekayasa politik untuk menjatuhkan Pres. Soekarno dengan menggunakan 'cara-cara konstitusional', tercapai pada waktu diadakan SI MPRS tanggal 7 - 12 Maret 1967, yang pada hari terakhir persidangan yaitu pada tanggal 12 Maret 1967 itu menelorkan TAP MPRS No. XXXIII/MPRS/1967, yang intinya adalah mencabut mandat MPRS dari Dr.Ir. Soekarno, dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Dengan TAP tersebut lengkaplah pengasingan/pengisolasian Bung Karno, tidak saja dicopot jabatan-nya, juga sejak itu beliau dimatikan hak-hak politiknya, dimana antara lain beliau dilarang melakukan kegiatan politik sampai dengan pemilihan umum (Pasal 3). 17. Pengambil-alihan kekuasaan yang dilakukan dengan 'merayap penuh kesabaran, kejam dan terencana', memang telah mampu membius dan membuat takut rakyat dan bangsa Indonesia, seolaholah segala sesuatunya adalah benar dan wajar sehingga tidak menyadari bahwa itu semua adalah rekayasa politik untuk menggulingkan Presiden Soekarno. Selanjutnya dalam SI MPRS tersebut, TAPTAPMPRS sebelumnya - yang ditelorkan setelah kita kembali ke UUD 45 - dicabut satu persatu, misalnya gelar Pemimpin Besar Revolusi, dll. 18. Tragedi yang dialami bangsa Indonesia sejak 1965 hingga 1967 sebenarnya merupakan pelaksanaan dari 'grand strategy, grand design' kaum imperialis. Sejak lama memang Bung Karno diincar oleh kaum imperialis (terutama AS) untuk disingkirkan atau dibunuh. Akhirnya terlaksanalah kehendak kaum imperialis itu dengan digulingkannya Pres. Soekarno 'secara quasi konstitusional' pada tanggal 12 Maret 1967. Perlu pula disimak, bahwa pada waktu Pres. Soekarno belum secara penuh dilengserkan, namun segera setelah SU MPRS ke-IV dan menjelang SI MPRS tanggal 7-12 Maret 1967 keluarlah Undang-undang pertama dalam tahun 1967, yaitu UU No.1 tahun 1967 tentang 'Penanaman Modal Asing', yang diundangkan oleh Pengemban SP 11 Maret 1966, bukan oleh Presiden seperti dimaksudkan oleh sistem hukum kita. Secara materiil seharusnya dilaporkan dulu kepada Presiden (karena materinya tidak relevan dengan penugasan dalam SP 11 Maret 1966), dan secara prosedural melanggar sistem hukum). Oleh karena itu, tidak dapat disangkal bahwa memang benar tangan-tangan asing telah terlibat, dan sejak itu mereka menuntut buah dari peranannya, untuk mencengkramkan kukunya kembali, meraup keuntungan besar di persada ibu pertiwi dan bangsa Indonesia. Kita terjajah lagi sekarang. 19. Dari seluruh uraian di atas, kiranya dapat dipetik kesimpulan bahwa: a. Sejak tanggal 2 Oktober 1965 Jend. Soeharto telah memulai dengan gerakan- gerakan pembangkangan/insubordinasi yang tentunya tidak patut dilakukan oleh seorang Jenderal/Pejuang terhadap atasannya, Presiden/ Panglima Tertinggi ABRI, kecuali tentu ia memang sudah merencanakan sustu design/strategy tertentu untuk mengambil-alih kekuasaan pemerintahan. b. Pada tanggal 11 Maret 1966 pagi, nyata-nyata telah dilakukan propokasi untuk melancarkan gerakan coup d`état, dengan menggunakan kekuatan bersenjata (pasukan) tak dikenal mengepung istana, yang dimaksudkan sebagai tekanan psikologis (perang urat syaraf) untuk akhirnya mendapatkan SP 11 Maret 1966. c. Isi pokok SP 11 Maret 1966 tidak dilaksanakan oleh Pengembannya, kecuali sepotong anak kalimat pertama dari butir 1 SP tersebut. Walaupun ditegor dan diperingatkan, namun Jend. Soeharto tetap menjalankan politiknya sendiri, suatu perbuatan yang nyata-nyata melanggar Sapta Marga dan Sumpah Prajurit. d. Penangkapan-penangkapan dan penahanan dilakukan secara membabi buta, dan komposisi DPRGR/MPRS dirombak total, sehingga melahirkan lembaga legislatif 'stempel' atau 'yes-men'. Dengan komposisi legislatif yang demikian itu diadakanlah Sidang Umum dan Sidang Istimewa MPRS. e. Penggulingan Pres. Sukarno direkayasa sedemikian rupa seolah-olah hal tersebut konstitusioanl. Namun bila disimak dengan saksama konsideran dari TAP-TAP MPRS yang berkaitan dengan subyek itu, ternyata kentara sekali bahwa alasan- alasan yang dipergunakan sangat mengada-ada dan dapat dan
mudah diperdebatkan. Atas dasar itu sulit untuk dapat menerima bahwa tindakan-tindakan Jend. Soeharto tidak menyimpang atau sesuai dengan amanat SP 11 Maret 1966 yang murni, dan dalam banyak hal tindakannya justru mengingjak-injak dan mengingkari api/semangat SP tersebut. Karena itu pula lebih lanjut sulit menerima tindakannya (Jend. Soeharto) sesuai dengan hukum, terutama hukum konstitusi. f. Karena tindakan-tindakan Jend. Soeharto adalah melanggar hukum, maka segala hasil rekayasa politiknya adalah tidak sah. Lengsernya Pres. Soeharto dan yang kemudian digantikan oleh Wakil Presiden Habibie-pun merupakan perselingkuhan dalam menafsirkan Pasal 8 UUD 45. ______________ 1). Materi Utama Seminar Supersemar di Jakarta tgl. 8 Maret 2001. diselenggarakan oleh Panitia Nasional Satu Abad Bung Karno. Semula dengan judul asli ''Beberapa Catatan Tentang Sejarah Politik Ketatanegaraan Republik Indonesia Yang Tertuang Dalam Beberapa Ketetapan MPRS'; re-type/edit khusus oleh PNSABK..
LAMPIRAN 01 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA *
J.M. Men/PANGAD, Letn. Djendr. Suharto, 1. Pada tanggal 11 Maret 1966, menghadap kepada saya sebagai utusan Men/PANGAD: a. Menteri/May.Jen, - Basuki Rachmat b. Menteri/Brig.Jen, - Moch. Jusuf c. Panglima/Brig.Jen, - Amir Machmud Mereka mengemukakan penjelasannya tentang kejadian-kejadian pada waktu diadakan sidang Kabinet Paripurna pada tgl. 11 Maret pada siang hari di Istana Negara di Jakarta. Ditegaskan oleh para utusan Perwira Tinggi tadi, bahwa AD selalu dan tetap setia kepada Presiden/Pangti/ Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi, dan bahwa AD mampu untuk menjaga keselamatan beliau. Diusulkan oleh ketiga Perwira Tinggi tadi, agar diberikan perintah khusus kepada Menteri PANGAD untuk menjaga keamanan, dan menegakkan kewibawaan dari Presiden/Pangti/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi serta menjamin keamanan, ketenangan dan kestabilan jalannya Pemerintahan dan Revolusi. Diharap bahwa sesudahnya perintah ini dilaksanakan, tidak terulang lagi kejadian-kejadian, khususnya di Jakarta, yang sama sekali tidak menguntungkan jalannya Revolusi. 2. Berhubungan dengan laporan tsb. di atas, maka saya susun Panitia Perumus terdiri dari ketiga WAPERDAM dan ketiga Perwira Tinggi tadi. Surat Perintah saya, disampaikan kepada sdr. oleh ketiga Perwira Tinggi, dengan penjelasan tepat dan tegas tentang apa yang saya maksudkan dengan Surat Perintah saya itu. 3. Sesudahnya saya mengetahui tentang Surat Perintah Harian sdr. no I dan no. II, tanggal 12 Maret 1966, maka saya panggil ketiga Perwira Tinggi untuk meminta pertanggungan jawab mereka tentang penyampaiannya kepada sdr. tentang Surat Perintah saya . 4. Mereka menjawab, bahwa apa yang saya kehendaki dan maksudkan dengan Surat Perintah tadi sudah secara lengkap dan jelas disampaikan kepada sdr. dengan ditambah beberapa usul rencana pelaksanaan teknis. 5. Disamping itu saya kirim WAPERDAM II Dr. J. Leimena ke Jakarta untuk mengadakan hubungan dengan ketiga Perwira tersebut dan dengan sdr. sendiri. Dilaporkan kepada saya oleh WAPERDAM II, bahwa sdr. membenarkan keterangan dari ketiga Perwira Tinggi itu. Selanjutnya sdr. menambah, bahwa jika sdr. dianggap melampaui batas daripada makna Surat Perintah itu, maka hal itu adalah tanggungjawab sdr. sendiri. 6. Atas dasar pengertian tersebut di atas, maka bersama ini sdr. saya perintahkan untuk kembali kepada pelaksanaan Surat Perintah Presiden/Pangti/PBR/ Mandataris MPRS, dengan arti melaksanakannya secara Teknis belaka, dan tidak mengambil dan melaksanakan Keputusan-keputusan di luar bidang teknis tersebut. 7. Akhirnya, harap melaksanakan tugas tersebut dalam koordinasi dengan Panglima-panglima dari ketiga Angkatan lainnya. 8. Sekian. Jakarta, 14 Maret 1966 PRESIDEN/PANGLIMA TERTINGGI ABRI/ PEMIMPIN BESAR REVOLUSI / MANDATARIS MPRS
SUKARNO
______________ * Sumber : Mayjen (Purn) TNI Moersid.
LAMPIRAN 02
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. IX/MPRS/1966 Tentang Surat Perintah Presiden/Panglima Tertinggi ABRI/Pemimpin Besar Revolusi/ Mandataris MPRS MPRS RI Menimbang : a. bahwa Surat Perintah Presiden/Pangti ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS tanggal 11 Maret 1966 kepada Letjen Soeharto, Menteri/Panglima AD, merupakan suatu upaya khusus untuk mengatasi ancaman bahaya terhadap keselamatan jalannya pemerintahan dan jalannya revolusi, kewibawaan pimpinan revolusi serta terhadap keutuhan Bangsa dan Negara; b. bahwa upaya khusus tersebut diterima secara positif oleh Rakyat, karena mencerminkan rasa keadilan menurut suara hati nuraninya dan telah terbukti bermanfaat dalam rangka usaha memenuhi Tri Tuntutan Rakyat; c. bahwa upaya khusus itu, yang telah diterima pula oleh DPR-GR secara bulat, adalah sesuai dengan hukum dasar yang dimaksudkan oleh UUD 45 dan kegunaannya untuk pengamanan kebijaksanaan pengembalian kepada pelaksanaan UUD 45 secara murni; d. bahwa untuk kepentingan usaha penyempurnaan lembaga-lembaga/aparatur negara sesuai dengan UUD 45, Surat Perintah tersebut masih perlu diperlakukan. Mengingat : Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (3) UUD 45; MEMUTUSKAN Menetapkan : PERTAMA : menerima baik dan memperkuat kebijaksanaan Presiden/Pangti ABRI/ Pemimpin Besar Revolusi/Mandataris MPRS-RI yang dituangkan dalam Surat Perintah tanggal 11 Maret 1966 kepada Letjen TNI Soeharto/Menteri Panglima AD dan meningkatkannya menjadi Ketetapan MPRS; KEDUA : Ketetapan tersebut pada sub PERTAMA mempunyai daya laku sampai terbentuknya MPR hasil Pemilu. Waktu Pemilu tersebut ditetapkan dengan Ketetapan MPRS; KETIGA : mempercayakan kepada Letjen TNI Soeharto/Menteri Panglima AD, pemegang Ketetapan tersebut, untuk memikul tanggung jawab wewenang yang terkandung di dalamnya dengan penuh kebijaksanaan, demi pengamanan usaha-usaha mencapai tujuan Revolusi dan demi kebulatan serta kesatuan Bangsa dalam mengemban Amanat Penderitaan Rakyat, berdasarkan UUD 45. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 21 Juni 1966
MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT SEMENTARA R.I. Care-taker/Ketua Pelaksana Pimpinan Harian, Ttd. (Mayjen TNI Wilujo Puspo Judo) Wakil Ketua, Ttd, (Osa Maliki)
Wakil Ketua, Ttd, (H.M.Subchan Z.E.)
Sesuai dengan aslinya Administrator Sidang Umum IV MPRS Ttd, (Wilujo Puspo Judo) Mayjen TNI.
LAMPIRAN 03
Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia No. XV/MPRS/1966 Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden Dengan Rachmat Tuhan Yang Maha Esa MPRS-RI Menimbang : a. bahwa berdasarkan pertimbangan-pertimbangan politis psikologis, MPRS menganggap lebih baik tidak mengisi lowongan jabatan Wakil Presiden; b. bahwa oleh karenanya dipandang perlu untuk membuat ketentuan mengenai pejabat Presiden, apabila Presiden sewaktu-waktu berhalangan, mangkat, berhenti, atau tidak dapat melakukan kewajibannya, guna menghindarkan kekosongan dalam Pimpinan Negara dan Pemerintahan; Mengingat : UUD 45 Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (2), Pasal 7 dan Pasal 8. Mendengar : Permusyawaratan dalam rapat-rapat MPRS dari tanggal 20 Juni s/d tanggal 5 Juli 1966 MEMUTUSKAN Menetapkan: Ketetapan Tentang Pemilihan/Penunjukan Wakil Presiden dan Tata-Cara Pengangkatan Pejabat Presiden Pasal 1 Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara tidak mengadakan pemilihan Wakil Presiden. Pasal 2 (1) Apabila Presiden berhalangan maka Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966 memegang jabatan Presiden. (2) Pemanfaatan Ketetapan dalam ayat (1) di atas oleh Pengembannya, dilakukan dengan didampingi oleh Pimpinan MPRS dan Pimpinan DPR-GR. Pasal 3 Dalam hal terjadi yang disebut dalam pasal 8 UUD 45 maka MPRS segera memilih pejabat Presiden yang bertugas sampai dengan terbentuknya MPR hasil Pemilu. Ditetapkan di : Jakarta Pada tanggal : 5 Juli 1966. Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Ketua, Ttd,
(Dr. A.H. Nasution) Jenderal TNI Wakil Ketua,
Wakil Ketua.
Ttd,
Ttd,
(Osa Maliki)
(H.M.Subchan Z.E.)
Wakil Ketua,
Wakil Ketua,
Ttd,
Ttd,
(M.Siregar)
(Mashudi) Brigjen TNI
Sesuai dengan aslinya Administrator Sidang Umum IV MPRS Ttd, (Wilujo Puspo Judo) Mayjen TNI.
LAMPIRAN 04
SALINAN NOTA PRIBADI PRES. SOEKARNO KEPADA Letjen TNI SOEHARTO, PENGEMBAN SP 11 MARET 1966
NOTA PRIBADI Dengan perantara Sdr. M. HARDI S.H. Jakarta, 7 Pebruari 1967. Sdr. Jenderal Soeharto Yth.: Bersama ini saya menyampaikan suatu rancangan naskah yang saya sudah setujui. Jika Saudara pada dasarnya dapat juga menyetujuinya, maka Insya Allah akan saya nyatakannya di depan Sidang Badan Pekerja MPRS, dimana saya dapat memberikan penjelasan singkat untuk ikut meredakan situasi yang gawat dewasa ini. Untuk membicarakan segala sesuatu mengenai naskah tersebut, saya harap Saudara datang untuk menemui saya. Wassalam, Ttd, SUKARNO. Rancangan Rahasia SURAT PENUGASAN MENGENAI PIMPINAN PEMERINTAHAN SEHARI-HARI KEPADA PEMEGANG SURAT PERINTAH 11 MARET 1966 KAMI, Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi ABRI. Setelah menyadari bahwa --- terlepas dari penilaian mengenai sebab-musababnya --- dikalangan masyarakat dan Bangsa Indonesia sejak beberapa waktu berlangsung situasi konflik yang menggawat, hingga dapat membahayakan keselamatan Nusa dan Bangsa Indonesia serta keselamatan Revolusi Pancasila; Kemudian, setelah meyakini perlu adanya usaha yang harus diprakarsai oleh setiap Patriot Indonesia secara jujur dan ikhlas demi untuk memupuk kembali persatuan dan kesatuan di kalangan segenap kekuatan progresif revolusioner Pancasilais pada khususnya dan di kalangan Bangsa Indonesia pada umumnya dan demi untuk suksesnya Revolusi Pancasila; Dengan mengingat : a. Ketentuan-ketentuan dalam UUD 45 ; b. Ketetapan No. IX/MPRS/1966 ; c. Ketetapan No. XV/MPRS/1966 ; d. Ketetapan No. XVIII/MPRS/1966 ; dengan ini menugaskan khusus kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966, Jenderal Soeharto, untuk memegang Pimpinan Pemerintahan sehari-hari dengan dibantu oleh segenap Aparatur Pemerintah, khususnya Para Panglima ABRI. Dalam rangka penunaian tugas termaksud di atas, dan dengan mengingat Ketentuan-ketentuan dalam UUD 45 serta Ketetapan-ketetapan MPRS yang bersangkutan, maka Presiden/Mandataris
MPRS/Panglima Tertinggi ABRI memegang pimpinan kenegaraan dan menentukan garis-garis besar dari pimpinan Pemerintahan demi untuk menegakkan garis Revolusi Pancasila. Dalam melaksanakan penugasan ini, maka pemegang Surat Perintah 11 Maret harus selalu mengadakan konsultasi yang erat dengan kami, sehingga wewenang dan tugas kewajiban sebagaimana terkandung dalam Ketetapan No. IX/MPRS/1966 dapat dilaksanakan dengan sempurna. Kepada segenap Pemimpin Masyarakat, kepada segenap Aparatur Pemerintah serta kepada segenap lapisan masyarakat diperintahkan/diserukan agar memberikan bantuan yang sebesar-besarnya kepada Pemegang Surat Perintah 11 Maret 1966. Semoga Tuhan Yang Maha Esa melindungi Rakyat Indonesia serta Revolusi Pancasila. Jakarta, 7 Pebruari 1967. Presiden/Mandataris MPRS/Panglima Tertinggi A.B.R.I.,
SUKARNO
LAMPIRAN 05
BUNG KARNO DI TENGAH JEPITAN CIA * Tanggal 7 Desember 1957, pukul 19.39, Laksamana Felix Stump, panglima tertinggi Angkatan Laut (AL) AS di Pasifik, menerima perintah melalui radiogram dari Kepala Operasi Angkatan Laut (AL) Laksamana Arleigh Burke. Isinya, dalam empat jam ke depan gugus satuan tugas di Teluk Subic, Filipina, bergerak menuju selatan ke perairan Indonesia. 'Keadaan di Indonesia akan menjadi lebih kritis', demikian salah satu kalimat dalam radiogram tersebut. Kesibukan luar biasa segera terlihat di pangkalan AL AS. Malam itu juga satuan tugas dengan kekuatan satu divisi kapal perusak, dipimpin kapal penjelajah Princenton, bergerak mengangkut elemen tempur dari Divisi Marinir III dan sedikitnya 20 helikopter. 'Berangkatkan pasukan, kapal penjelajah dan kapal perusak dengan kecepatan 20 knots, yang lainnya dengan kecepatan penuh. Jangan berlabuh di pelabuhan mana pun', bunyi perintah Burke. Inilah keadaan paling genting, yang tidak sepenuhnya diketahui rakyat Indonesia. Perpecahan dalam tubuh Angkatan Darat, antara mereka yang pro dan kontra Jenderal Nasution, serta yang tidak menyukai Pres. Soekarno, mencapai titik didih. Pada saat yang sama, beragam partai politik ikut terbelah memperebutkan kekuasaan. Kabinet jatuh bangun. Usianya rata-rata hanya 11 bulan. Paling lama bertahan hanyalah Kabinet Juanda (23 bulan), yang merupakan koalisi PNI-NU. Situasi memanas menjalar ke daerah, benteng terakhir para elite politik di pusat. Daerah terus bergolak. Pembangkangan terhadap Jakarta dimulai sejak militer menyelundupkan karet, kopra, dan hasil bumi lainnya. Militer Indonesia yang lahir dan berkembang dari milisi berdasarkan orientasi ideology pimpinannya, bukanlah jenis pretorian. Mereka tetap kepanjangan dari parpol, entah itu PNI, PSI, Masyumi, PKI dan seterusnya. Terlalu kekanak-kanakan jika dikatakan tindakan sekelompok perwira mengepung Istana Bogor dan mengarahkan meriam pada 17 Oktober 1952 sebagai ekspresi ketidakpuasan semata, dan bukan percobaan 'kudeta' terselubung. Demikian pula ketika Kolonel Zulkifli Lubis mencoba menguasai Jakarta. Sebelum kemudian merencanakan pembunuhan atas Pres. Soekarno dalam peristiwa Cikini, dengan eksekutor keponakan pimpinan salah satu parpol. Bagi Gedung Putih, inilah saat tepat melaksanakan rencana tahap III, yaitu intervensi militer terbuka ke wilayah RI. Pres. Soekarno harus tamat segera. CIA di bawah Allen Dulles telah mematangkan situasi. Melalui jaringannya di Singapura, Jakarta dan London, sebagaimana dikemukakan Audrey R. Kahin dan George McT Kahin dalam bukunya yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia, "Subversi Sebagai Politik Luar Negeri", agen-agen CIA berulang kali melakukan kontak khusus dengan Sumitro Djojohadikusumo, pencari dana untuk pemberontakan tersebut. Demikian pula dengan para perwira pembangkang seperti Kolonel Simbolon, Kol. Fence Sumual, dan sejumlah perwira dan tokoh parpol lainnya. Namun, ketika perintah menggerakkan elemen Armada VII dikeluarkan, keputusan itu tampak tergesagesa yaitu kurang dua jam setelah pembicaraan melalui telepon antara Pres. Eisenhower dengan Menlu John Foster Dulles. Itu sebabnya ketika gugus tugas AL di Teluk Subic bergerak, barulah kedua tokoh ini sadar atas alasan apa intervensi nantinya dilakukan. Pemerintah Inggeris, sekutu terdekat AS, sempat terperanjat dan menolaknya, sehingga kapal-kapal perang tersebut kembali ke pangkalannya. Namun, setelah lobi intensif, tanggal 23 Desember 1957 PM Harold Macmillan menyetujuinya dan membentuk kerja sama operasi untuk Indonesia. ********************************** Pertengahan tahun 1958 Gedung Putih akhirnya harus mengakui kegagalannya 'menegakkan demokrasi dan menbendung komunisme' di Indonesia. KSAD Jenderal AH Nasution yang disebut AS sebagai antikomunis, bergerak di luar perkiraan. Ia menerjunkan pasukan para merebut Bandara Pekanbaru. Dari pantai timur, didaratkan Marinir untuk menggunting pertahanan pemberontak. Alhasil, Dumai yang merupakan ladang minyak Caltex, berhasil diamankan. Pasukan Kol Akhmad Husein kocar-kacir, meninggalkan segala peralatan perang, termasuk senjata anti serangan udara yang belum sempat digunakan. Mereka tidak mengira serangan dadakan itu. Pesan rahasia dari Armada VII AS agar meledakkan Caltex tidak sempat lagi dipikirkan. Padahal inilah nantinya akan dijadikan kunci intervensi AS ke Indonesia. Dua battalion Marinir AS sudah siaga penuh. Dalam tempo 12 jam Marinir ini akan tiba di Dumai.
Sejak itu sesungguhnya tamatlah riwayat PRRI yang dimotori para kolonel pembangkang serta tokoh PSI dan Masyumi. Pentagon tercengang. Pasukan PRRI makin terdesak, walaupun Sumitro Djojohadikusumo sebagai wakil PRRI di pengasingan tetap optimis. Kota demi kota berhasil direbut TNI hingga akhirnya para pemberontak hanya mampu melakukan perang gerilya terbatas. Bersamaan dengan itu dukungan rakyat kepada pasukan Kol. Simbolon, Kol. Zulkifli Lubis, Kol. Achmad Husein, Kol. Dahlan Djambek, dan sejumlah perwira menengah lainnya, makin menciut. CIA gagal membaca situasi. Atas rekomendasi CIA pula sedikitnya AS telah mendrop persenjataan bagi 8.000 prajurit pemberontak. Ini belum mencakup meriam, mortir, senapan mesin berat, dan senjata antitank. AS juga melatih sejumlah prajurit Dewan Banteng dan Dewan Gajah, yang diangkut dengan kapal selam menuju pangkalan militernya di Okinawa, Jepang. Keunggulan dalam system persenjataan dan pendidikan militer, ternyata bukan jaminan superioritas dalam setiap pertempuran. Penguasa Gedung Putih mulai patah semangat. Tanda kekalahan kelompok yang dibantu, yang disebutnya 'patriot sejati' itu makin jelas. Tetapi CIA dengan intelijen AL AS tetap memasok informasi keliru. Dalam laporannya, kekalahan pemberontak antikomunis akan mengguncang Malaya, Thailand, Kamboja, dan Laos. Ini sangat berbahaya. Atas pertimbangan itu AS akhirnya tetap melanjutkan bantuan pada pemberontak, khususnya Permesta di Sulawesi Utara. Belajar dari kekalahan PRRI di Sumatra, di Sulawesi Utara penerbang AS dan Taiwan memberi perlindungan payung udara bagi Permesta. Pesawat pembom malang melintang memutus jalur transportasi laut. Ambon, Makasar, bahkan Balikpapan dihujani bom. Korban terus bertambah. Namun, semua usaha ini juga menemukan kegagalan untuk menekan Jakarta. Ofensif dibalas dengan ofensif. Jenderal Nasution terus mengerahkan pasukan terbaiknya untuk merebut satu per satu pertahanan Permesta. Puncaknya ketika ALRI menembak jatuh pesawat pembom yang dikemudikan Allen Pope, warga negara AS, di Teluk Ambon pada 18 Mei 1958. Peristiwa ini tidak saja mengejutkan publik AS, tetapi juga masyarakat internasional. Apalago Allen Pope mengaku bekerja untuk CIA. Kecaman terhadap agresi As mulai mengalir. Tanpa sedikitpun merasa bersalah, AS kemudian dengan gampang putar haluan. Dari membantu peralatan perang dan menyebarkan informasi bohong mengenai ancaman kominis terhadap stabilitas Asia Tenggara jika pemberontak kalah. Gedung Putih kemudian memutuskan membantu ekonomi dan militer Indonesia. Namun kebijakan baru ini bukan berarti terputusnya hubungan dengan pemberontak yang disebutnya masih punya 'masa depan' itu. Melalui jaringan CIA, sejumlah senjata ringan masih dipasok bagi DI/TII di Sulawesi dan Aceh, serta Permesta di Sul.Utara. Pres. Eisenhower menyebutnya sebagai 'bermain di dua pihak'. ******************************* Kebijakan bermuka dua ini, tanpa peduli apa dan berapa banyak korban jiwa dan harta benda. Lantas di balik selubung bahaya ancaman komunisme, AS selalu berhasil memperdayai elite militer dan politik Indonesia. Gambaran lebih jelas mengenai Indonesia dikemukakan Pres. Eisenhower dalam konferensi gubernur negara bagian AS tahun 1953. Ia mengatakan, sumbangan AS sebesar 400 juta dolar AS membantu Perancis dalam perang Vietnam bukanlah sia-sia. Jika Vietnam jatuh ke tangan komunis, negara tetangganya akan menyusul pula. 'Kita tidak boleh kehilangan Indonesia yang sangat kaya sumber daya alamnya', ujarnya. Bagi AS, di dunia ini hanya dikenal dua blok, yaitu komunis dan liberal. Di luar jalur itu dikategorikan sebagai condong ke komunis. Maka dengan kosmetik demikianlah bagi AS tidak ada ampun untuk seorang nasionalis seperti Soekarno. Tahap pertama operasi intelijen dengan membantu dana dua partai politik besar yang disebutnya antikomunis, agar bisa merebut suara dalam Pemilu 1955. Perolehan suara ini diharapkan akan mengurangi dukungan bagi Soekarno. Perkiraan ini meleset. PKI yang paling tidak disukai AS dan dianggap loyal terhadap Soekarno, justru memperoleh jumlah suara mengejutkan, hingga menempatkannya di urutan kelima. Padahal tujuh tahun sebelumnya, atau tahun 1948, PKI sudah diancurkan dalam peristiwa Madiun. Peristiwa Madiun yang diprakarsai Muso tidak lama setelah kembali dari pengembaraannya di dunia Marxisme-Leninisme di Uni Soviet, mustahil dapat dipadamkan tanpa sikap tegas Bung Karno. CIA tidak memahami ini. Bung Karno tetap dianggap condong ke blok komunis. Itu sebabnya setelah gagal mendanai dua partai politik dalam pemilu, CIA kemudian mencoba cara lain yang lebih keras, yaitu 'menetralisir' Bung Karno. Peristiwa penggeranatan tanggal 30 Nopember 1957 atau lebih dikenal dengan sebutan Peristiwa Cikini, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari scenario CIA. Walaupun bukti dalam peristiwa yang menewaskan 11 orang dan 30 lainnya cedera masih simpang siur tetapi indikasi keterlibatan CIA sangat jelas. Pengakuan Richard Bissell Jr, mantan Wakil Direktur CIA bidang Perencanaan pada masa Allan Dulles, kepada Senator Frank Church, Ketua Panitia Pemilihan Intelijen Senat tahun 1975, yang melakukan penyelidikan atas kasus tersebut, membuktikan itu. Ia menyebut sejumlah nama kepala negara, termasuk Pres. Soekarno, untuk 'dipertimbangkan' dibunuh. Bagaimana kelanjutannya, ia tidak mengetahui. Bung Karno
sendiri yakin CIA di belakang peristiwa ini. David Johnson, Direktur Center for Defence Information di Washington, juga membuat laporan sebagai masukan bagi Komite Church. Peristiwa Cikini yang dirancang Kol. Zulkifli Lubis, yang dikenal sebagai pendiri intelijen Indonesia, bukanlah satu-satunya upaya percobaan pembunuhan atas Bung Karno. Maukar, penerbang pesawat tempur TNI AU juga pernah menjatuhkan bom dan menghujani mitraliur dari udara ke Istana Presiden. Presiden Eisenhower sendiri memutuskan dengan tergesa persiapan invasi ke Indonesia sepekan setelah percobaan pembunuhan yang gagal dalam peristiwa Cikini. Ia makin kehilangan kesabaran. Apalagi peristiwa itu justru makin memperkuat dukungan rakyat pada Bung Karno. Ketegangan Bung Karno dengan Gedung Putih mulai mengendur setelah Pres. JF Kennedy terpilih sebgai Presiden AS. Ia malah mengundang Bung Karno berkunjung ke Washington. Dalam pandangan Kennedy, seandainya pun Bung Karno membenci AS, tidak ada salahnya diajak duduk bersama. Kennedy yang mengutus adiknya bertemu Bung Karno di Jakarta, berhasil mencairkan hati proklamator ini hingga membebaskan penerbang Allan Pope. Begitu Kennedy tewas terbunuh, suatu hal yang membuat duka Bung Karno, hubungan Jakarta-Washington kembali memanas. Penggantinya, Pres. Johnson yang disebut-sebut di bawah 'todongan' CIA, terpaksa mengikuti kehendak badan intelijen yang 'mengangkatnya' ke kursi kepresidenan. Pada masa ini pula seluruh kawasan Asia Tenggara seperti terbakar. CIA yang terampil dalam perang propaganda, kembali menampilkan watak sesungguhnya. Fitnah dan berita bohong mengenai Bung Karno diproduksi dan disebar melalui jaringan media massa yang berada di bawah pengaruhnya. Tujuannya mendiskreditkan proklamator itu. Hanya di depan publik menyatakan gembira atas kebebasan Allan Pope, tetapi diam-diam diproduksi berita bahwa kebebasan itu terjadi setelah istri Allan Pope berhasil merayu Bung Karno. Sedang pemboman istana oleh Maukar diisukan secara sistematis sebagai tindak balas setelah Bung Karno mencoba menggoda istri penerbang itu. CIA terus melakukan berbagai trik perang urat syaraf mendiskreditkan Bung Karno. Termasuk di antaranya Bung Karno berbuat tidak senonoh terhadap pramuria Soviet dalam penerbangan ke Moskow. Jauh sebelum itu, Sheffield Edwards, Kepala Keamanan CIA pada masa Allan Dulles, pernah meminta bantuan Kepala Kepolisian Los Angeles untuk dibuatkan film cabul dengan peran pria berpostur seperti Bung Karno. Dalam satu artikel di majalah Probe, Mei 1996, Lisa Pease yang mengumpulkan berbagai arsip dan dokumen, termasuk dokumen CIA yang sudah dideklasifikasikan, menyebut yang terlibat dalam pembuatan film itu Robert Maheu, sahabat Howard Hughes, serta bintang terkenal Bing Crosby dan saudaranya. Lantas apa akhir semua ini ? (Maruli Tobing)
_________________ * Dikutip dari Harian KOMPAS tanggal 9 Februari 2001, hal. 25.
Presiden Sukarno : « Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan di segala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutama menyangkut garis-garis besarnya. Inipun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa UUD 1945, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garisgaris besarnya saja dari haluan Negara ».
NAWAKSARA dan PELENGKAPNYA Pidato Pres. Sukarno pada SU MPRS ke-IV, 1966 Saudara-saudara sekalian, Assalamu 'alaikum w.w. I. RETRO-SPEKSI. Dengan mengucap syukur alhamdulillah, maka pagi ini saya berada di muka Sidang Umum MPRS yang ke-IV. Sesuai dengan Ketetapan MPRS No. I/1960 yang memberikan kepada diri saya, Bung Karno, gelar Pemimpin Besar Revolusi dan kekuasaan penuh untuk melaksanakan TAP-TAP tersebut, maka Amanat saya hari ini saya ingin mengulangi lebih dulu apa yang pernah saya kemukakan dalam Amanat saya di muka Sidang Umum ke-II MPRS pada tanggal 15 Mei 1963 yang berjudul 'Amber Parama-Arta' tentang hal ini. 1. Pengertian Pemimpin Besar Revolusi Dalam pidato saya, 'Ambeg Parama-Arta' itu, saya berkata, saya ulangi, saya berkata : 'MPRS telah memberikan KEKUASAAN PENUH kepada saya untuk melaksanakannya, dan dalam memberi kekuasaan penuh kepada saya itu, MPRS menamakan diri saya bukan saja Presiden, bukan saja Panglima Tertinggi Angkatan Perang, tetapi m e n g a n g k a t saya juga menjadi 'PEMIMPIN BESAR REVOLUSI INDONESIA'. Demikian saya katakana. Saya menerima pengangkatan itu dengan sungguh rasa terharu, karena MPRS sebagai Perwakilan Rakyat yang tertinggi di dalam Republik Indonesia, menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa saya adalah 'Pemimpin Besar Revolusi Indonesia', yaitu: 'PEMIMPIN BESAR REVOLUSI RAKYAT INDONESIA'! Dalam pada iru, saya sedar, bahwa hal ini bagi saya membawa konsekwensi yang amat berat!, oleh karena seperti Saudara-saudara juga mengetahui, PIMPINAN membawa pertanggungan-jawab yang amat berat sekali ! 'Memimpin' adalah lebih berat daripada sekedar 'melaksanakan'. 'Memimpin adalah lebih berat daripada sekedar 'menyuruh melaksanakan'! Saya sadar, l e b i h daripada yang sudah-sudah, setelah MPRS mengangkat saya menjadi Pemimpin Besar Revolusi, bahwa kewajiban saya adalah amat berat sekali, tetapi Insya Allah SWT saya terima pengangkatan sebagai Pemimpin Besar Revolusi itu dengan rasa tanggung-jawab yang setinggi-tingginya ! Saya Insya Allah, akan memberi p i m p i n a n kepada Indonesia, kepada Rakyat Indonesia, kepada Saudara-saudara sekalian, secara maksimal di bidang pertanggungan-jawab dan kemampuan saya. Moga-moga Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Murah, Yang Maha Asih, selalu memberikan bantuan kepada saya secukup-cukupnya. Sebaliknya, kepada MPRS dan kepada Rakyat Indonesia sendiri, hal inipun membawa konsekwensi ! Tempohari saya berkata, saya ulangi, tempohari saya berkata : 'Jikalau benar dan jikalau demikianlah Keputusan MPRS, yang saya diangkat menjadi Pemimpin Besar Revolusi Indonesia, Revolusi Rakyat Indonesia, maka saya mengharap daripada seluruh Rakyat, termasuk juga segenap Anggota MPRS, untuk selalu mengikuti, melaksanakan, menfi'ilkan segala apa yang saya berikan dalam pimpinan itu ! Pertanggungan-jawab yang MPRS sebagai Lembaga Tertinggi Republik Indonesia letakkan di atas pundak saya, adalah suatu pertanaggungan-jawab yang berat sekali, tetapi dengan ridla Allah SWT dan dengan bantuan s e l u r u h Rakyat Indonesia, termasuk di dalamnya juga Saudara-saudara para
Anggota MPRS sendiri, saya percaya, bahwa Insya Allah, apa yang digariskan oleh Pola Pembangunan itu dalam 8 tahun akan terlaksana !' Demikianlah Saudara-saudara sekalian beberapa kutipan daripada Amanat saya 'Amber Parama-Arta'. Dari Amanat 'Ambeg Parama-Arta' tersebut, dapatlah Saudara ketahui, bagaimana visi serta interpretasi saya tentang predikat Pemimpin Besar Revolusi yang Saudara-saudara sendiri berikan kepada saya. Saya menginsyafi, bahwa predikat itu adalah sekedar gelar, tetapi sayapun - dan dengan saya semua kekuatan-kekuatan progresif revolusioner di dalam masyarakat kita yang tak pernah absen dalam kancahnya Revolusi kita ini - sayapun yakin seyakin-yakinnya, bahwa tiap Revolusi mensyarat- mutlakkan adanya Pimpinan Nasional. Lebih-lebih lagi Revolusi nasional kita yang multi kompleks sekarang ini, dan yang berhari depan Sosialisme Pancasila. Revolusi demikian tidak mungkin tanpa adanya pimpinan. Saya ulangi, Revolusi yang demikian tidak mungkin tanpa adanya pimpinan. Dan pimpinan itu jelas tercermin dalam tri-kesatuannya RE-SO-PIM, yaitu Revolusi, Sosialisme, Pimpinan Nasional. 2. Pengertian Mandataris MPRS Karena itulah, maka pimpinan yang saya berikan itu adalah pimpinan disegala bidang. Dan sesuai dengan pertanggungan-jawab saya terhadap MPRS, pimpinan itu terutama menyangkut garis-garis besarnya. Inipun adalah sesuai dan sejalan dengan kemurnian bunyi aksara dan jiwa Undang-undang Dasar'45, yang menugaskan kepada MPRS untuk menetapkan garis-garis besar haluan Negara. Saya tekankan garis-garis besarnya saja dari haluan Negara. Adalah tidak sesuai dengan jiwa dan aksara kemurnian Undang-undang Dasar '45, apabila MPRS jatuh terpelanting kembali ke dalam alam demokrasi liberal, dengan beradu debat bertele-tele tentang garis-garis kecil, dimana masing-masing golongan beradu untuk memenangkan kepentingan-golongan dan mengalahkan kepentingan Nasional, kepentingan Rakyat banyak, kepentingan Revolusi kita !! Pimpinan itupun saya dasarkan kepada jiwa Pancasila, yang telah kita pancarkan bersama dalam Manipol- Usdek sebagai garis-garis besar haluan Negara. Dan lebih-lebih mendalam lagi, maka saya telah mendasarkan pimpinan itu kepada Sabda Rasulullah SAW : 'Kamu sekalian adalah Pemimpin, dan setiap pemimpin akan diminta pertanggungan-jawabnya tentang kepemimpinannya itu dihari kemudian'. Saudara-saudara sekalian, Itulah jiwa daripada pimpinan saya, seperti yang telah saya nyatakan dalam Amanat 'Ambeg ParamaArta'. Dan Saudara-saudara telah membenarkan Amanat itu, terbukti dengan Ketetapan MPRS No. IV/1963, yang menjadikan Resopim dan Ambeg Parama Arta masing-masing sebagai pedoman pelaksanaan garis-garis besar haluan Negara, dan sebagai landasan kerja dalam melaksanakan Konsepsi Pembangunan seperti terkandung dalam Ketetapan MPRS No. I dan II tahun 1960. 3. Pengertian Presiden Seumur Hidup Malahan dalam Sidang Umum MPRS ke II pada bulan Mei tahun 1963 itu Saudara-saudara sekalian telah menetapkan saya menjadi Presiden seumur hidup. Dan pada waktu itupun saya telah menjawab keputusan Saudara-saudara itu dengan kata-kata : 'Alangkah baiknya jikalau nanti MPR, yaitu MPR hasil pemilihan umum, masih meninjau soal ini kembali'. Dan sekarang inipun, sekarang inipun saya masih tetap berpendapat demikian ! II. LANDASAN KERJA MELANJUTKAN PEMBANGUNAN Kembali sekarang sebentar kepada Amanat 'Ambeg Parama Arta' tersebut tadi itu. Amanat itu kemudian disusul dengan Amanat saya 'Berdikari' pada pembukaan Sidang Umum MPRS ke III pada tanggal 11 April 1965, dimana dengan tegas saya tekankan tiga hal: 1. Trisakti Pertama : bahwa Revolusi kita mengejar suatu Ide Besar, yakni melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat ; Amanat Penderitaan Rakyat seluruhnya, Amanat Penderitaan Rakyat seluruh Rakyat sebulat-bulatnya. Kedua : bahwa Revolusi kita berjuang mengemban Amanat Penderitaan Rakyat itu dalam persatuan dan kesatuannya yang bulat-menyeluruh; dan hendakya jangan sampai watak Agung Revolusi kita diselewengkan sehingga mengalami dekadensi yang hanya mementingkan golongannya sendiri saja, atau hanya sebagian daripada Ampera itu saja ! Ketiga : bahwa kita dalam melaksanakan Amanat Penderitaan Rakyat itu tetap dan tegap berpijak dengan kokoh kuat atas landasan Trisakti, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari dalam ekonomi ; sekali lagi berdikari dalam ekonomi!!
Saya sangat gembira sekali, bahwa Amanat-amanat saya itu dulu, baik 'Ambeg Parama Arta', maupun 'Berdikari' telah Saudara-saudara tetapkan sebagai landasan kerja dan pedoman pelaksanaan Pembangunan Nasional Semesta Berencana untuk masa 3 tahun yang akan datang, yaitu sisa jangka waktu tahapan pertama mulai tahun 1966 s/d 1968 dengan landasan 'Berdiri di atas Kaki Sendiri' dalam ekonomi. Ini berarti, bahwa Lembaga Tertinggi dalam Negara kita ini, Lembaga Tertinggi daripada Revolusi kita ini, Lembaga Negara Tertinggi yang menurut kemurnian jiwa dan aksaranya, UUD - Proklamasi kita adalah penjelmaan kedaulatan Rakyat, membenarkan Amanat-amanat saya itu. Dan tidak hanya membenarkan saja, melainkan juga menjadikannya sebagai landasan kerja serta pedoman bagi kita semua, ya bagi Presiden/Mandataris MPRS/Perdana Menteri, ya bagi MPRS sendiri, ya bagi DPA, ya bagi DPR, ya bagi Kabinet, ya bagi parpol-parpol dan ormas-ormas, ya bagi ABRI, dan bagi seluruh Rakyat kita dari Sabang sampai Merauke, dalam mengemban bersama Amanat Penderitaan Rakyat. Memang, di dalam situasi nasional dan internasional dewasa ini, maka Trisakti kita, yaitu berdaulat dan bebas dalam politik, berkepribadian dalam kebudayaan, berdikari di bidang ekonomi, adalah senjata yang paling ampuh di tangan seluruh rakyat kita, di tangan prajurit-prajurit Revolusi kita, untuk menyelesaikan Revolusi Nasional kita yang maha dasyat sekarang ini. 2. Rencana Ekonomi Perjuangan Saya tadi berkata, terutama prinsip Berdikari di bidang ekonomi! Sebab dalam keadaan perekonomian bagaimanapun sulitnya, saya ulangi, bagaimanapun sulitnya, saya minta jangan dilepaskan jiwa 'self-reliance' ini, jangan dilepaskan jiwa berdikari ini, jiwa percaya kepada kekuatan diri sendiri, jiwa self-help atau yang dinamakan jiwa berdikari. Karenanya, maka dalam melaksanakan Ketetapan- ketetapan MPRS no. V dan VI tahun 1965 yang lalu, saya telah meminta Bappenas dengan bantuan dan kerjasama dengan Muppenas, untuk menyusun garis-garis lebih lanjut daripada Pola Ekonomi Perjuangan seperti yang telah saya canangkan dalam Amanat Berdikari tahun yang lalu itu. Garis-garis Ekonomi Perjuangan tersebut telah selesai, dan saya lampirkan bersama ini Ikhtisar Tahunan tentang pelaksanaan Ketetapan MPRS No. II/MPR/1960. Didalamnya Saudara-saudara akan memperoleh gambaran tentang Strategi Umum Pembangunan 3 tahun 1966 - 1968, yaitu Prasyarat Pembangunan, dan pola Pembiayaan tahun 1966 s/d 1968 melalui Rencana Anggaran 3 tahun. 3. Pengertian Berdikari Khusus mengenai Prinsip Berdikari ingin saya tekankan apa yang telah saya nyatakan dalam pidato Proklamasi 17 Agustus 1965, yaitu dalam pidato TAKARI, bahwa berdikari tidak berarti mengurangi, melainkan memperluas kerjasama internasional, terutama diantara semua negara yang baru merdeka. Yang ditolak, ditolak oleh Berdikari adalah ketergantu- ngan kepada imperialisme, bukan kerjasama yang sama sederajat dan saling menguntungkan. Dan di dalam Rencana Ekonomi Perjuangan yang saya sampaikan bersama ini, maka Saudara-saudara dapat membaca bahwa : 'Berdikari bukan saja tujuan, tetapi yang tidak kurang pentingnya harus merupakan prinsip daripada cara kita mencapai tujuan itu, prinsip untuk melaksanakan Pembangunan dengan tidak menyandarkan diri kita kepada bantuan negara atau bangsa lain. Ingat ucapan saya berulang-ulang : 'The crown of independence is the ability to stand on own feet'. Adalah jelas, bahwa tidak menyandarkan diri tidak berarti bahwa kita tidak mau kerjasama berdasarkan sama sederajat dan saling menguntung- kan'. Dalam rangka pengertian politik Berdikari demikian inilah, kita harus menanggulangi kesulitan-kesulitan di bidang Ekubang kita dewasa ini, baik yang hubungan dengan inflasi maupun yang hubungan dengan pembayaran hutang-hutang luar negeri kita. III HUBUNGAN POLITIK DAN EKONOMI Masalah Ekubang tidak dapat dilepaskan dari masalah politik, malahan harus didasarkan atas Manifesto Politik, Manifesto Politik kita. Berulang-ulang sayapun telah berkata, Dekon, Dekon kita adalah Manipol di bidang ekonomi, atau dengan lain perkataan 'political-economy' - nya pembangunan kita. Dekon merupakan strategi umum, dan strategi umum di bidang pembangunan 3 tahun di depan kita, yaitu tahun 1966 - 1968, didasarkan atas pemeliharaan hubungan yang tepat antara keperluan untuk melaksanakan tugas politik dan tugas ekonomi. Demikianlah tugas politik keamanan kita, politik pertahanan kita, politik dalam negeri kita, politik luar negeri kita dan sebagainya.
IV DETAIL KE DPR Detail, detail daripada tugas-tugas ini kiranya tidak perlu diperbincangkan dalam Sidang Umum MPRS, karena tugas MPRS ialah menyangkut garis-garis besar saja. Detailnya seyogyanya ditentukan oleh Pemerintah bersama-sama dengan DPR, dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945. V TETAP DEMOKRASI TERPIMPIN Sekalipun demikian perlu saya peringatkan disini, bahwa Undang-undang Dasar 1945 memungkinkan Mandataris MPRS bertindak lekas dan tepat dalam keadaan darurat demi keselamatan Negara, Rakyat dan Revolusi. Dan sejak Dekrit 5 Juli 1959 dulu itu, Revolusi kita terus meningkat, malahan terus bergerak cepat sekali, yang mau tidak mau mengharuskan semua Lembaga-lembaga Demokrasi kita untuk bergerak cepat pula tanpa menyelewengkan Demokrasi Terpimpin ke arah Demokrasi Liberal. VI HAL MELAKSANAKAN UUD 1945 Dalam rangka merintis jalan ke arah pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 itulah, saya dengan surat saya tertanggal 4 Mei 1966 kepada Pemimpin DPR GR mewujudkan : a. RUU Penyusunan MPR, DPR dan DPRD b. RUU Pemilihan Umum Saya ulangi, Saudara-saudara, saya yang memajukan RUU Pemilihan Umum itu. Saya yang menghendaki lekas diadakan Pemilihan Umum. c. Penetapan Presiden No. 3 tahun 1959 jo Penetapan Presiden No. 3 tahun 1966 untuk diubah menjadi Undang-undang, agar supaya DPA dapat ditetapkan menurut pasal 16 ayat (1) Undangundang Dasar 1945. VII WEWENANG MPR DAN MPRS Tidak lain harapan saya ialah hendaknya MPRS dalam rangka pemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 itu menyadari apa tugas dan fungsinya, juga dalam hubungan persamaan dan perbedaanya dengan MPR hasil pemilihan umum nanti. Wewenang MPR selaku pelaksanaan kedaulatan Rakyat adalah menetapkan Undang-undang Dasar dan garis-garis besar daripada haluan Negara (pasal 3 UUD), serta memilih Presiden dan Wakil Presiden (pasal 6 UUD ayat 2). Undang-undang Dasar serta garis-garis besar haluan Negara telah kita tentukan bersama, yaitu Undangundang Dasar Proklamasi 1945 dan Manipol/Usdek. VIII KEDUDUKAN PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN Undang-undang Dasar 1945 itu menyebut pemilihan jabatan Presiden dan Wakil Presiden, masa jabatannya serta isi sumpahnya dalam satu nafas, yang tegas bertujuan agar terjamin kesatuan pandangan, kesatuan pendapat, kesatuan pikiran, kesatuan tindak antara Presiden dan Wakil Presiden, yang membantu Presiden (pasal 4 ayat 2 UUD). Dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan. Saya ulangi, dalam pada itu, Presiden memegang dan menjalankan tugas, wewenang dan kekuasaan Negara serta Pemerintahan (pasal 4,5,10,11,12,13,14,15,16,17 ayat 2). Jiwa kesatuan antara kedua pejabat Negara ini, serta pembagian tugas dan wewenang seperti yang ditentukan dalam Undang-undang Dasar 1945 itu hendaknya kita sadari sepenuhnya. IX PENUTUP Nah, Saudara-saudara, demikian pula hendaknya kita semua, di luar dan di dalam MPRS menyadari sepenuhnya perbedaan dan persamaannya antara MPRS sekarang, dengan MPRS hasil pemilihan umum yang akan datang, agar supaya benar-benar kemurnian pelaksanaan Undang-undang Dasar 1945 dapat kita rintis bersama, sambil membuka lembaran baru dalam sejarah kelanjutannya Revolusi Pancasila kita ini. *********************** LAMPIRAN-LAMPIRAN
A. BIDANG POLITIK : (1) Surat Perintah Presiden tertanggal 11 Maret 1966 dengan tindakan pelaksanaannya. (2) Surat Presiden tertanggal 4 Mei 1966 dan Penjelasan Presedium Kabinet Republik Indonesia tertanggal 12 Mei 1966. (3) Pernyataan ABRI tertanggal 5 Mei 1966 dengan pidato pengiring Waperdam a.i. Bidang Pertahanan/ Keamanan. B. IKHTISAR TAHUNAN Bagian Politik : (1) Amanat Presiden di depan Sidang Gabungan MPRS ke X tertanggal 6 Desember 1965. (2) Keterangan dan jawaban Pemerintah di depan DPR GR a. Bidang Lembaga-lembaga Politik; b. Bidang Ekonomi, Keuangan dan Pembangunan; c. Bidang Pertahanan Keamanan; d. Bidang Sosial Politk. C. IKHTISAR TAHUNAN Bagian Pembangunan : (1) Tinjauan Umum (Jilid I) ; (2) Tinjauan terperinci (Jilid II).
BEBERAPA PATAH KATA PRIBADI PRESIDEN SUKARNO Demikianlah Saudara-saudara, teks laporan progress saya pada MPRS. Izinkanlah saya sekarang mengucapakan beberapa patah kata pribadi kepada Saudara-saudara, terutama sekali mengenai pribadi saya. Nawa Aksara (Nawaksara) Lebih dahulu tentang laporan progres ini. Laporan progres itu saya simpulkan dalam sembilan pasal, sembilan golongan, sembilan punt. Saya ingin memberi judul kepada amanat saya tadi itu. Sebagaimana biasa saya memberi judul kepada pidato-pidato saya. Ada yang saya namakan pidato 'Manipol', ada yang bernama 'Berdikari', ada yang bernama 'Resopim', ada yang bernama 'Gesuri' dan lain-lain sebagainya. Amanat saya ini saya beri judul apa ? Sembilan perkara, pokok, saya tuliskan di dalam amanat ini. Karena itu saya ingin memberi nama kepada amanat ini, pidato ini, Pidato Sembilan Pokok. Sembilan, ya sembilan apa ? Nah kita ini biasa memakai bahasa Sanskrit kalau memberi nama kepada amanatamanat, bahkan sering kita memakai perkataan dwi, tri -Trisakti - dua-duanya perkataan Sanskrit ; Catur Prasatya, catur = empat, satya = kesetiaan, Panca Azimat, panca adalah lima. Lha ini, sembilan pokok ini saya namakan apa ? Sembilan di dalam bahasa Sanskrit adalah nawa ; eka, dwi, tri, catur, panca, enam = sad, tujuh = sapta, delapan = hasta, sembilah = nawa, sepuluh = dasa. Jadi saya mau beri nama terutama dengan perkataan 'Nawa'. Nawa apa ? Ya, karena saya tulis, saya mau beri nama 'Aksara', dus 'Nawa Aksara' atau disingkat 'Nawaksara'. Tadinya ada orang yang mengusulkan memberi nama, Sembilan Ucapan Presiden, Nawa Sabda. Nanti kalau saya kasi nama Nawa Sabda, ada saja yang salah-salah berkata : 'hh-hh, Presiden bersabda'. Bersabda itu kan seperti raja, bersabda. Tidak, saya tidak mau memakai perkataan sabda itu, saya sekedar memakan perkataan Aksara. Aksara dalam arti tulisan, - aksara Jawa, aksara Belanda, aksara Latin dan lain-lain, aksara dalam arti tulisan. Nawa Aksara atau Nawaksara, itu judul yang saya berikan kepada pidato ini. Saya minta kepada wartawan-wartawan mengumumkan hal ini, bahwa pidato Presiden dinamanan oleh Presiden 'Nawaksara'. Dedicate jiwa ragamu kepada Service of freedom Kemudian saya mau menyampaikan beberapa patah kata mengenai diri saya sendiri. Saudara-saudara semuanya mengetahui bahwa tatkala saya masih muda, amat muda sekali, saya miskin, dan oleh karena saya miskin, maka demikianlah sering saya ucapkan - saya tinggalkan 'this material world'. Dunia jasmani saya ini laksana saya tinggalkan karena dunia jasmani ini tidak memberi hiburan dan kepuasan kepada saya, oleh karena saya miskin. Maka saya meninggalkan dunia jasmani ini dan saya masuk - kataku sering dalam pidato-pidato dan keterangan- keteranganku - ke dalam 'world of the mind'. Saya meninggalkan dunia yang 'material' ini, saya masuk ke dalam 'world of the mind', dunianya alam cipta, dunia khayal, dunia pikiran. Dan telah sering saya katakan bahwa di dalam 'world of the mind' itu saya berjumpa dengan nabi-nabi besar, dalam 'world of the mind' itu saya berjumpa dengan ahli falsafah yang besar, di dalam 'world of the mind' itu saya berjumpa dengan pemimpin-pemimpin bangsa yang besar dan di dalam 'world of the mind' itu saya berjumpa dengan pejuang-pejuang kemerdekaan yang berkaliber besar. Nah, saya berjumpa dengan orang-orang besar ini, tegasnya, jelasnya, dari baca buku-buku. Salah satu pemimpin besar dari salah satu bangsa yang berjuang untuk kemerdekaan, mengucapkan kalimat sebagai berikut : 'the cause of freedom is a deathless cause'. 'The cause of freedom is a deathless cause', perjuangan untuk kemerdekaan adalah satu perjuangan yang tidak mengenal mati, 'the cause of freedom is a deathless cause'. Sesudah saya baca kalimat itu dan renungkan kalimat itu, bukan saja saya tertarik kepada 'cause of freedom' dari pada bangsa saya sendiri dan bukan saja saya tertarik pada 'cause of freedom' daripada seluruh umat manusia di dunia ini, tetapi karena saya tertarik kepada 'cause of freedom' ini, saya ingin menyumbang- kan diriku kepada 'deathless cause' ini, 'deathless cause of my own people, deathless cause of all people on eartj'. Dan lantas saya mendapat keyakinan, bukan saja 'the cause of freedom is a deathless cause', pengabdian kepada perjuangan kemerdekaan, pengabdian kepada kemerdekaan, itupn tidak mengenal maut, tidak mengenal habis pengabdian yang sungguhsungguh pengabdian. Bukan 'service' yang hanya 'lip-service', tetapi 'service' yang betul-betul masuk ke dalam jiwa, 'service' yang betul-betul pengabdian, 'service' yang demikian itu adalah satu 'deathless service. Dan saya tertarik oleh saya punya pendapat sendiri itu. Pendapat pemimpin besar daripada bangasa yang saya sitir tadi berkata, 'the cause of freedom' is a deathless cause'. Saya berkata, 'not only the cause of freedom is a deathless cause, but also the service of freedom is a deathless service'.
Dan saya, Saudara-saudara, telah memberikan, menyumbangkan atau menawarkan diri saya sendiri dengan segala apa yang ada pada saya ini kepada 'service of freedom' itu. Dan saya sadar sampai sekaran ini, 'the service of freedom is a deathless service', yang tidka mengenal habis, tidak mengenal akhir, tidak mengenal maut, Itu adalah urusan isi hati. Badan manusia bisa hancur, badan manusia bisa dimasukkan ke dalam kerangkeng, badan manusia bisa dimasukkan ke dalam penjara, badan manusia bisa ditembak mati, badan manusia bisa dibuang ke tanah pengasingan yang jauh daripada tempat kelahirannya, tapi ia punya 'service of freedom' tidak bisa ditembak mati, tidak bisa dikerangkeng, tidak bisa dibuang ke tempat pengasingan, tidak bisa ditembang mati. Dan saya beri tahu kepada Saudara-saudara, menurut perasaankau sendiri, saya telah lebih daripada 35 tahun, hampir 40 tahun, 'dedicate myself to this service of freedom' dan saya menghendaki agar supaya seluruh, seluruh, seluruh Rakyat Indonesia, masing-masing juga 'dedicate' jiwa raganya kepada 'service of freedom' ini, oleh karena memang 'service of freedom' ini 'is a deathless service'. Tetapi akhirnya segala sesuatu adalah di dalam tangan-Nya Tuhan. Apakah Tuhan memberi saya 'dedicate myself, my all to this service of freedom', itu adalah Tuhan punya urusan. Karena itu, maka saya terus, terus, terus, selalu memohon kepada Allah SWT agar saya diberi kesempatan untuk membuktikan, menjalankan aku punya 'service of freedom' ini. Tuhan yang menentukan, de mens wikt, God beslist ; manusia bisa berkehendak macam- macam, Tuhan yang menentukan. Demikianpun saya, bersandaran kepada keputusan Tuhan itu, Saudara- saudara. Tjuma saya juga dihadapan Tuhan berkata, ya Allah, ya Rabbi, berilah saya kesempatan, kekuatan, taufik, hidayat, untuk 'dedicate myself to this great cause of freedom and to this great service of freedom'. Inilah, Saudara-saudara, yang hendak saya katakan kepadamu di waktu saya pada hari sekarang ini memberi laporan kepadamu sekalian. Moga-moga Tuhan selalu memimpin saya, moga-moga Tuhan selalu mempimpin Saudara-saudara sekalian. Sekian, Saudara Ketua.
Salinan PERLENGKAPAN PIDATO NAWAKSARA No : 01/Pres/67 Hal : Perlengkapan Pidato Nawaksara Presiden Republik Indonesia. Jakarta, 10 Januari 1967. Kepada Yth. Pimpinan MPRS di JAKARTA. Saudara-saudara, Menjawab nota Pimpinan MPRS No. Nota 2/Pimp/ MPRS/1966 perihal melengkapi laporan pertanggungan jawab sesuai keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966, maka dengan ini saya nyatakan: I. Dalam Undang-undang Dasar 1945, ataupun dalam Ketetapan dan Keputusan MPRS sebelum Sidang Umum ke IV, tidak ada ketentuan, bahwa Mandataris harus memberikan pertanggungan jawab atas halhal "cabang". Pidato saya yang saya namakan "Nawaksara" adalah atas kesadaran dan tanggung jawab saya sendiri, dan saya maksudkannya sebagai semacam "Progress-report sukarela" tentang pelaksanaan mandat MPRS yang telah saya terima terdahulu. Dalam Undang-undang Dasar 1945 ditetapkan bahwa MPR menentukan garis-garis besar haluan Negara, dan tentang pelasanaan garis-garis besar haluan Negara inilah Mandataris harus mempertanggung jawabkan (lihatlah UUD fatsal 3). Juga dalam penjelasan daripada fatsal 3 UUD ini nyata benar bahwa Mandataris harus mempertanggung jawabkan tentang pelaksanaan keputusan MPR mengenai garis-garis besar haluan Negara itu. Dus tidak tentang hal-hal lain. Namun "for the sake of state-speech-making", maka atas kehendak saya sendiri saya mengucapkan "Nawaksara' itu. II. Sebagai pemenuhan daripada ketentuan-ketentuan UUD 1945 mengenai hubungan fungsionil antara Presiden/Mandataris dengan MPRS, maka - setelah berkonsultasi dengan Presidium Kabinet Ampera, khususnya dengan Pengemban S.P. 11 maret 1966, dan para Panglima Angkatan Bersenjata beberapa kali -, dengan ini saya menyampaikan penjelasan-penjelasan sebagai pelengkapan Nawaksara sebagai berikut : Pertama-tama saya memperingkatkan Saudara-saudara, bahwa saya disamping "Nawaksara" itu telah menyerahkan banyak lampiran kepada MPRS. Dan saya sekarang mengajak Saudara dan segenap Rakyat Indonesia untuk menyadari lagi, bahwa situasi politik di tanah-air kita adalah gawat, sehingga kita bersama harus berusaha sekuat tenaga untuk meniadakan situasi konflik, demi untuk menyelamatkan Revolusi kita. Untuk itu, maka perlu kita kembali kepada prinsip perjoangan yang berulang-ulang saya tandaskan, yaitu : pemupukan persatuan dan kesatuan diantara segenap kekuatan progresif revolusioner di kalangan rakyat Indonesia, serta menekankan kepada kewaspadaan istimewa terhadap bahaya kekuatan kontra revolusi di dalam Negara dan bahaya kekuatan subversif - kontra revolusioner dari luar negeri. Untuk memenuhi permintaan Saudara-saudara kepada saya mengenai penilaian terhadap G.30.S., maka saya sendiri nyatakan : a. G.30.S. ada satu "complete overrempelling" bagi saya. b. Saya dalam pidato 17 Agustus 1966, dan dalam pidato 5 Oktober 1966 mengutuk Gestok. Pada 17 Agustus 1966 saya berkata : "sudah terang Gestok kita kutuk. Dan saya, saya mengutuknya pula; Dan sudah berulang-ulang kali pula saya katakana dengan jelas dan tandas, bahwa "yang bersalah harus dihukum! Untuk itu kubangunkan MAHMILLUB". c. Saya telah otorisasi kepada pidato Pengemban S.P. 11 Maret yang diucapkan pada malam peringatan Isro dan Mi'radj di Istana Negara yang lalu, yang antara lain berbunyi :
"Setelah saya mencoba memahami pidato Bapak Presiden pada tanggal 17 Agustus 1966, pidato pada tanggal 5 Oktober 1966 dan pada kesempatan- kesempatan yang lain, maka saya sebagai salah seorang yang turut aktif menumpas Gerakan 30 September yang didalangi oleh PKI, berkesimpulan, bahwa Bapak Presiden juga telah mengutuk Gerakan 30 September/PKI, walaupun Bapak Presiden menggunakan istilah Gestok". Otorisasi ini saya berikan kepada Jenderal Soeharto, pagi sebelum ia mengucapkan pidato itu pada malam-harinya di Istana Negara. Saya memang selalu memakai kata Gestok. Pembunuhan kepada Jenderal-jenderal dan ajudan dan pengawal-pengawal terjadi pada 1 Oktober pagi-pagi sekali. Saya menyebutnya 'Gerakan satu Oktober", singkatannya Gestok. d. Penyelidikan yang seksama menunjukkan, bahwa peristiwa G.30.S. itu ditimbulkan oleh 'pertemuannya' tiga sebab, yaitu ; a. keblingeran pimpinan PKI., b. kelihayan subversi Nekolim, c. memang adanya oknum-oknum yang 'tidak bener'. e. Kenapa saya saja yang diminta pertanggungan jawab atas terjadinya G.30.S. atau yang saya namakan Gestok itu? Tidaklah misalnya Menko Hankam (waktu itu) juga bertanggung jawab? Sehubungan dengan ini saya menanya : Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh Presiden/Pangti dengan penggranatan hebat di Cikini? Siapa yang bertanggung jawab atas usaha membunuh saya dalam 'peristiwa Idhul Adha'? Siapa yang bertanggung jawab atas pemberondongan dari pesawat udara kepada saya oleh Maukar? Siapa yang bertanggung jawab atas penggranatan kepada saya di Makasar? Siapa yang bertanggung jawab atas pemortiran kepada saya di Makasar? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di dekat gedung Stanvac? Siapa yang bertanggung jawab atas pencegatan bersenjata kepada saya di selatan Cisalak? Dll., dll. Syukur Allamdulillah, saya dalam semua peristiwa itu dilindungi oleh Tuhan. Kalau tidak, tentu saya sudah mati terbunuh. Dan mungkin akan Saudara namakan satu 'tragedi nasional' pula. Tetapi sekali lagi saya menanya : Kalau saya disuruh bertanggung jawab atas terjadinya G.30.S., maka saya menanya : siapa yang dimintai pertanggung jawab atas usaha pembunuhan kepada Presiden/Pangti, dalam tujuh peristiwa yang saya sebutkan di atas itu ? Kalau bicara tentang 'Kebenaran dan Keadilan' maka saya pun minta 'Kebenaran dan keadilan'. f. Adilkah saya sendiri disuruh bertanggung jawab atas kemerosotan di bidang ekonomi ? Marilah kita sadari, bahwa keadaan ekonomi suatu bangsa atau Negara, bukanlah disebabkan oleh satu orang saja, tetapi adalah satu resultante daripada proses factor-faktor obyektif dan tindakan-tindakan daripada keseluruhan aparatur pemerintahan dan masyarakat. Satu contoh pertanyaan : Siapakah yang bertanggung jawab atas terus menanjaknya harga-harga dewasa ini, dan macetnya banyak perusahaan-perusahaan swasta ? Sebagaimana telah saya kemukakan dalam salah satu pidato saya, saya mengkonstatir bahwa adanya peristiwa-peristiwa seperti DI/TII, PKI Madiun, Andi Azis, RMS, PRRI/Permesta, (juga disini saya menanya: siapa yang harus bertanggung jawab?) - maka kita tidak boleh tidak tentu mengalami kemunduran di segala bidang, dengan sendirinya kemunduran itu menyangkut pula bidang ekonomi. g. Tentang 'kemerosotan akhlak" ? Di sini juga saya sendiri saja yang harus bertanggung jawab ? Mengenai soal akhlak, perlu dimaklumi bahwa akhlak pada suatu waktu adalah hasil perkembangan daripada proses kesadaran dan laku-tindak masyarakat dalam keseluruhannya, yang tidak mungkin disebabkan oleh satu orang saja. Satu contoh pertanyaan misalnya ; siapakah yang bertanggung jawab bahwa sekarang ini puluhan pemudi sekolah menengah dan mahasiswa-wanita menjadi korban daripada perbuatan a-moral ? h. Dus, Dengan menyadari faktor-faktor yang kompleks, yang menjadi sebab-musabab dari terjadinya peristiwaperistiwa sebagai termaktub di atas, demikian pula mengingat kompleksitas sari pengaruh-pengaruh peristiwa-peristiwa tersebut kepada segala bidang, maka tidak adillah kiranya hal-hal itu ditekankan pertanggu- ngan jawabnya kepada satu orang saja.
i. Demikianlah jawaban saya atas surat Saudara- saudara tertanggal 22 Oktober itu. Hendaknya jawaban saya ini Saudara anggap sebagai pelengkap Nawaksara, yang Saudara minta, sebagai pelaksanaan daripada keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966. Wassalam Presiden/Mandataris MPRS SUKARNO. Pelengkap Nawaksar disalin dari: Buku Proses Pelaksanaan Keputusan MPRS No. 5/MPRS/1966 tentang Tanggapan MPRS RI terhadap pidato Presiden/mandataris MPRS di depan Sidang Umum ke IV MPRS pada tangal 22 Juni 1966 yang berjudul Nawaksara, Penerbitan MPRS Tahun 1967, No. 5, Hal 25-31.