OBAMA DAN SIMBOLISASI PERUBAHAN Oleh : Gun Gun Heryanto* (Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta) Mengamati rivalitas antar kandidat Presiden AS saat ini, menyuguhkan gambaran yang cukup berbeda dengan pemilihan presiden sebelum-sebelumnya. ”Super Tuesday” yang digelar di 24 negara bagian serta pemilihan penduhuluan di berbagai negara bagian lainnya hingga saat ini, belum memberi kemenangan yang signifikan bagi kandidat dari kubu Partai Demokrat. Andai saja ‘perang di kandang’ Demokrat telah usai dan mengukuhkan salah satu dari Obama atau Hillary menjadi kandidat resmi, maka banyak yang memprediksikan Amerika tinggal menunggu waktu ‘pentasbihan’ seorang demokrat memimpin kembali negeri Paman Sam. Penandaan power pada citra politik Jhon McCain dan Mike Huckabee tidak semengkilap dan segemerlap Obama maupun Hillary. Citra personal Obama sebagai kulit hitam pertama atau Hillary perempuan pertama yang akan menjadi Presiden Amerika, sama-sama menjadi titik episentrum resonanasi politik demokrat di pemilihan nasional presiden Amerika kali ini. Indikator-indikator
objektif
yang
dapat
menjadi
kompas
bagi
kecenderungan pemilih Amerika, seperti situasi ekonomi yang saat ini kacau balau di bawah George W Bush yang Republikan, kebijakan high cost serta berdarahdarah di Irak dan Afghanistan yang menjadi killing field bagi banyak prajurit Amerika, tak terelakan lagi menjadi isu negatif yang tak menguntungkan bagi siapa pun calon Republikan. Hanya saja, pertempuran seru yang menyedot energi, uang puluhan bahkan ratusan juta US Dolar, harapan sekaligus prestise di kubu Partai Demokrat hingga
kini belum usai. Obama dan Hillary kokoh memancang tiang kemenangan masing-masing di aras dukungan pemilih yang memang secara nyata menunjukkan betapa sama-sama kuatnya mereka, hingga keduanya tak dapat memperluas jarak kemenangan yang signifikan satu dari yang lainnya. Penanda Power Hasil ”Super Tuesday” pada 5 Februari menunjukkan Hillary menang di delapan negara bagian sementara Obama menang di 13 negara bagian. Saat itu, Hilllary di atas angin, karena berhasil mengantongi 1.021 delegasi, lebih banyak dari Obama yang mengumpulkan 933. Kondisi tersebut berbalik, dengan kemenangan bagi Obama setalah akhir pekan lalu (10/2) Obama menang di Lousiana, Nebraska, Washington, Maine dan US Virgin Island. ’Penaklukan’ wilayah oleh Obama berlanjut dengan kemenangan di Maryland, Virginia dan Washington DC (12/2). Dengan demikian, data terakhir menunjukkan Obama unggul tipis atas Hillary, 1.259 delegasi untuk Obama
dan 1.210 untuk Hillary (versi perhitungan RealClearPolitics) atau
merujuk pada perhitungan CNN yang menyatakan Obama unggul dengan 1.215 delegasi atas Hillary 1.190 delegasi. Lantas, usaikah perang antara mantan First Lady dengan politisi muda kulit hitam kharismatik ini? Jalan panjang masih terbentang. Kemenangan Obama atas Hillary belumlah signifikan. Hasil tadi paling tidak menunjukkan kepada publik bahwa pertama, demokrat memiliki kandidat yang secara faktual sangat diminati. Demokrat membutuhkan minimum 2.025 delegasi dari 4.049 delegasi pada konvensi nasional partai agar dapat menjadi kandidat resmi partai untuk
pemilu nasional. Hillary dan Obama masih sama-sama memiliki peluang untuk memenangkan pertarungan penduhuluan yang masih akan berlangsung hingga pertengahan bulan Juni. Perang terdekat yang bisa menjadi barometer, yakni di Texas dan Ohio, 4 Maret mendatang serta pertarungan di superdelegates. Kedua, hasil kemenangan sementara Obama di 22 negara bagian, dari aspek jangkauan wilayah, lebih luas dari Hillary yang menang di 12 negara bagian.
Hal ini menjadi penanda, bahwa gaung power Obama lebih marata
Artinya, kedigdayaan Obama menuju kursi Amerika-1 perlahan tapi pasti mulai nyata. Impresi menawan politisi yang sempat tinggal di Jakarta ini, sangat mungkin meraup kemenangan di negara-negara bagian yang belum melakukan pemilihan pendahuluan. Pencitraan Obama Jika mengamati figur Obama di era industri pencitraan, yang menuntut perpaduan antara pesona diri, pengemasan isu dan kebijakan, serta keterampilan mengartikulasikan pesan politik, nampak jelas Obama lebih memadai dibanding Hillary. Obama nampak telah berhasil mengkostruksi dirinya sebagai kandidat yang cerdas, simbol pluralisme ras, etnik dan antargolongan (karena dirinya adalah prototype warga kulit hitam, mimiliki label nama muslim, nenek moyangnya berasal dari Kenya dan sempat beberapa tahun tinggal di Indonesia). Selain itu, tampilan diri obama di media massa dan ruang-ruang publik juga simpatik, energik dan secara serius menapaki jejang karir politik dengan segenap kemampuan dirinya bukan karena dorongan kekuatan referensi (reference power).
Bahkan jika kita amati, Obamalah yang berhasil merangkum strategi ’sihir’ kampanye media dari presiden-presiden yang sukses sebelumnya. Spontanitas Obama yang cerdas dalam menjawab pertanyaan publik mengingatkan kita pada konsep pionir kampanye media milik Eisenhower yang pada saat pemilihan presiden tahu 1952 berhasil menang atas Adlai Stevenson melalui konsep’unique selling proposition’. Ketegasan Obama mengungkap kebijakan menolak perang berdarah-darah di Irak, mengingatkan kita pada konsep kampanye Lyndon Johnson melawan kandidat sayap-kanan Republik Barry Goldwater tahun 1964. Iklan politik ’Daisy’ milik Jhonson pada waktu itu secara tegas dan eksplisit menolak penggunaan nuklir atau kekerasan berdarah-darah di Kremlin. Jhonson pun memenangi pertarungan karena ketagasannya ini. Sosok masa lalu dirinya yang masuk dalam kategori pinggiran tapi independen dan relatif bersih, mengingkatkan kita pada konstruksi citra diri Jimi Carter si petani kacang dari Georgia Peanut Farm yang karena citra low profile dan independensinya ini, sukses menjadi presiden di tahun 1976. Belakangan, slogan kampanye Obama yang banyak menghipnotis pemilih Amerika adalah slogan ”Change” . Slogan ini berupaya mengasosiasikan diri Obama yang ingin membawa Amerika ke era baru perubahan. Slogan ”Change” ini, secara faktual sangat digandrungi oleh kaum muda, kelompok terdidik dan kaum kritis. Ini tentu saja mengingatkan kita, pada suksesnya Bill Clinton pada tahu 1992 yang waktu itu juga mengusung slogan ”change” dan konsepnya ”a time for change” hingga mengalahkan George Bush yang berkuasa sejak 1988.
Soal kecerdasan, Hillary juga tak terbantahkan karena konstruksi sosok dia sejak muda adalah orang pintar, energik, memiliki banyak pengalaman karena mendampingi suaminya Bill Clinton saat memerintah sebagai Presiden. Istri yang tegar dan konsisten menemani suami, meski Bill Clinton sempat hampir memporak-porandakan biduk rumah tangga mereka akibat skandalnya dengan Monica Lewinsky. Citra yang belakangan serius dikonstruksi oleh penasehat kampanye media adalah isu Gender, karena Hillary-lah yang memiliki kans mungubah sejarah AS yakni sebagai Presiden wanita pertama. Namun demikian, Hillary tak bisa mengkonstruksi citra lebih dari itu. Bahkan ada kecenderungan citra Hillary terlampau terbebani oleh sejarah (terutama saat episode dia harus menemani skandal demi skandal yang menimpa Bill Clinton). Di berbagai media muncul kecenderungan asumsi bahwa Hillary di beberapa kesempatan tidak jujur terhadap berbagai isu yang menjadi pertanyaan publik. Selain juga ada kekhawatiran intervensi atau asistensi berlebihan yang sangat mungkin dilakukan oleh Bill Clinton. Isu inilah yang beberapa waktu lalu mencuatkan sebutan sinis untuk Hillary yakni ’Billary’. Hillary atau Obama kah yang nantinya akan mewakili demokrat dalam Pemilu Nasional? Tentu saja masih harus menunggu waktu. Jika Obama menang, tentu jauh akan lebih mudah mengalahkan McCain dibanding melawan teman sekandang yakni Hillary. Tapi jika pun Hillary yang melenggang ke pemilu nasional, Obama telah sukses menjadikan pemilu presiden AS menarik
diperbincangkan
dan sosoknya mampu memberi resonansi dan simbolisasi
perubahan Amerika.
(Tulisan ini telah dipublikasikan di Harian Merdeka, 14 November 2008)