Nuzul Qur`an

  • May 2020
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Nuzul Qur`an as PDF for free.

More details

  • Words: 4,793
  • Pages: 29
MAULID NABI MUHAMMAD SAW DALAM TELAAH STRATEGI PENGEMBANGAN MASYARAKAT ETIS QUR’ANIK Oleh: DR. AMRIL MANSUR, M.A

A.PENDAHULUAN Memperingati nuzul Qur`an yang sedang kita lakukan pada saat ini dapat dinilai telah menjadi bahagian dalam kehidupan keberagamaa umat Muslim hampir di seluruh seantaro dunia, tidak terkecuali masyarakat Muslim Indonesia. Bahkan bagi masyarakat Muslim Indonesia telah menjadi agenda yang tidak dapat dilupakan dalam setiap ramadhan. Secara praktis dengan adanya pelaksanaan peringatan nuzul Qur`an dengan segala bentuk aktivitas dan kegiatan yang mengikutinya yang dilakukan secara semarak dan seremonial di berbagai tempat dan pelosok di negeri Indonesia yang tercinta ini, dinilai memang cukup menggembirakan, bahkan tidak jarang kondisi objektif-teramati dan terukur dari semaraknya pelaksanaan peringatan acara

ini telah pula dijadikan alasan

bagi pengambil keputusan di negeri ini sebagai salah satu indikator yang memuaskan bagi keberhasilan pengembangan

2

keberagamaan umat Muslim di negara kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai ini. Mengamati pelaksanaan peringatan nuzul Qur`an di negeri ini, memang kita cukup bergembira, terutama

jika

adanya kontinunitas dan diiringi dengan peningkatan baik kuantitas dan kualitas. Peringatan nuzul Qur`an seperti ini memang tidak dapat dipungkiri, karena hampir diseluruh lapisan masyarakat Muslim di berbagai tempat tidak pernah melewatkan atau absen melaksanakan kegiatan ini. Namun dibalik itu semua masih menyisakan berbagai pertanyaan besar atas keberhasilan dan kesemarakan Sedemikian

pelaksanaan peringatan nuzul Qur`an.

rupa perayaan yang setiap saat kita lakukan ini

seyogianya tidak hanya sebatas

mengadakan dan menghadiri

saja dengan kegiatan-kegiatan yang mengiringinya, akan tetapi yang

lebih

fundamental

lagi

adalah

kita

dapat

menginternalisasikan nilai-nilai yang terkandung dalam alQur`an baik secara individu maupun kolektif dalam kehidupan kita. sedemikian rupa sehingga janji al-Qur`an yang mengklaim dirinya sebagai hudan linnas benar-benar teraplikasi dalam kesejarahan hidup manusia. Dalam

hal ini manusia dituntut

dapat membuktikan fungsi Qur`an seperti ini, sehingga alQur`an benar-benar menjadi pengarah bagi setiap gerak langkah manusia itu. Artinya pada diri manusialah terwujud atau

3

tidaknya hudan linnas sebagaimana yang dimaksudkan Tuhan dalam firman-Nya surah……. Untuk merealisasikan keinginan Qurnik seperti disebut di atas, paling tidak perlu dipahami apa sesungguhnya makna katakata hudan tersebut dan bagaimana pula mengaplikasikannya dalam

kehidupan

manusia

secara

nyata

dalam

konteks

kesejarahan hidupnya. Dengan pengetahuan inilah, kita dapat membangun dan mengembangkan masyarakat kita menuju masyarakat etis qur’anik sebagaimana yang sudah menjadi komitmen masyarakat muslim umumnya. Kesempatan ini akan digunakan untuk menjawab dan menelaah

dua pertanyaan di atas, sehingga

perayaan nuzul

Qur`an yang tengah kita laksanakan pada hari ini benar-benar dapat memberi makna bagi kita dalam peningkatan dan percepatan kualitas masyarakat etis qur’anik untuk masa sekarang dan akan datang. Semoga Allah SWT meridhainya. Amin Yarab al-`Alamin.

B. HUDAN LINNAS: SEBUAH UPAYA METODOLOGIS DARI MANUSIA. Secara etimologi kata hudan berakar dari kata hada yang bermakna menunjuk secara lembut atau halus yang akan melahirkan hidayah yang sangat berarti bagi subjeknya.

4

Sedangkan hudan itu sendiri bermakna semacam petunjuk atau simbol/lambang untuk menunjuk sesuatu yang dianugerahkan oleh Allah SWT. Hidayah sebagai hasil hudan seperti diungkap di atas

juga mempunyai akar kata yang sama dengan hudan,

dan mengandung pengertian petunjuk pada sesuatu yang dituntut, dalam hal ini tentu sesuai dengan yang diinginkan hudan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa secara praksis, hidayah merupakan produk usaha akal manusia di dalam mempelajari secara seksama terhadap simbol-simbol hudan. Dalam pengertian ini berarti hidayah bernuansa manusiawiIlahi, sementara hudan bernuansa ilahi. Nuansa hidayah seperti ini dikelompokkan oleh Raghib al-Isfahani dalam kitabnya Mu`jam Mufradat Alfaz al-Qur`an kepada 4 bentuk, yaitu; 1. Hidayah yang bersifat umum bagi setiap manusia yang

memiliki akal, kecerdasan dan pengetahuan a priori 2. Hidayah yang dijadikan pada manusia melalui seruan

nabi dan wahyu. 3. Hidayah yang berupa taufiq diberikan pada orang

tertentu yang beriman dan beramal shaleh. 4. Hidayah melalui berita baik di akhirat

5

Keempat kategori hidayah ini, bersifat hirarkhis dan berjenjang dimana yang kedua tidak akan tercapai sebelum yang pertama, begitu seterusnya. Terlepas dari pembagian hidayah di atas, yang jelas hidayah sangat terkait dengan usaha manusia dan agama. Tanpa pencarian akal manusia secara terus menerus yang diimbangi dengan kesalehan diri dalam mengaktualisasikan agama, maka hidayah itu pun tidak mungkin akan tercapai. Dalam konteks ini berarti untuk orang yang zalim dan kufr tentulah hidayah merupakan sesuatu yang tidak masuk akal untuk diperoleh. Jadi, pengaktifan akal secara terus menerus yang diiringi dengan penyucian jiwa dapat dikatakan merupakan syarat mutlak bagi manusia untuk memperoleh hidayah, tentunya dalam kontek memahami hudan. Puasa yang merupakan disiplin spritual yang bertujuan meraih taqwa sebagaimana yang sangat lazim diungkap oleh para ulama dan ahli, berarti

mengandung makna bahwa orang

yang sedang berpuasa adalah orang yang sedang berjalan ke arah kesempurnaan ruhaninya dalam rangka meraih kedekatan dirinya dengan Tuhannya. Puasa memang diakui sebagai satusatunya ibadah yang dapat menimbulkan kesadaran akan dekat kepada Tuhan dan merasakan kehadiran-Nya di mana saja, bukan saja dalam bentuk keyakinan akan tetapi kedekatan dan

6

kesadaran kepada Tuhan itu merupakan dalam bentuk realitas yang tidak mungkin diingkari oleh shaimun. Karakteristik

puasa

seperti

ini

sangat

dimaklumi

mengingat puasa pada tarap awalnya menahan segala keinginankeinginan ragawi, seperti makan, minum, berhubungan suami isteri dan lain sebagaimana, kendatipun semuanya itu pada prinsipnya halal dilakukan. Namun karena perintah puasa, menjadikan semuanya itu haram dilakukan di siang hari, sekalipun pada dasarnya setiap orang mampu dilakukannya dan tidak ada halangan untuk tidak melakukannya dengan berbagai dalih, tetapi karena memang merasakan kehadiran Tuhan sebagai realitas yang selalu ada di dekatnya menjadikan dirinya tidak mampu melakukannya. Inilah maknanya bahwa ibadah puasa merupakan ibadah yang memahami Tuhan tidak hanya dalam bentuk keyakinan saja tetapi lebih dari itu menyadari bahwa Tuhan itu benar-benar hadir di dekatnya. Sikap seperti inilah yang diinginkan untuk terus menerus dihidupkan dalam setiap aktivitas muslim mengisi kehidupannya. Inilah bentuk transfer nilai ibadah yang diinginkan dalam diri muslim ketika ia telah mengakui beriman kepadaNya. Al-Qur`an yang diturunkan pada tepatnya

tanggal

17

ramadhan

pada

bulan ramadhan tahun

kenabian,

sesungguhnya memiliki makna yang sangat dalam yang layak untuk kita refleksikan ke dalam diri kita yang sangat dalam.

7

Bila dilihat tujuan al-Qur`an diturunkan sebagaimana pada ayat disebutkan di atas, dan masa-masa awal turunnya bulan ramadhan sebagai bulan penyucian jiwa menunjukkan bahwa memahami nilai-nilai hudan yang terkandung dalam al-Qur`an mestilah didasari pada pemilikan akal yang kuat di samping jiwa yang bersih. Pemilikan hidayah sebagai produk pencarian akal yang kuat dan pengupayaan secara terus menerus yang dilakukan dengan jiwa yang bersih dalam memahami simbol-simbol hudan adalah sesuatu yang sangat bersesuain dengan tujuan ibadah puasa yang memang menekankan latihan penyucian jiwa, sehingga turunnya al-Qurt`an di bulan ramadhan bukan merupakan

sesuatu

tanpa

makna.

Inilah

makna

yang

sesungguhnya kenapa al-Qur`an sebagai hudan diturunkan pada bulan yang penuh kesucian ini. Melalui telaah historis seperti ini, secara implisit mengatakan bahwa simbol-simbol hudan yang

ada

dalam

dirinya

hanya

dapat

didekati

dan

diinternalisasikan ke dalam kehidupan apabila dilakukan dengan kebersihan jiwa dan kemampuan akal yang terus menerus berupaya memahami kandungan nilai yang termuat dalam alQur`an. Jiwa yang kotor seperti kezaliman, keserakahan, penindasan, ketidak-adilan dan lain-lain sebagainya merupakan sesuatu yang sangat menjauhkan untuk dapat termilikinya nilainilai Qur`anik ke dalam kehidupan manusia sekalipun didukung

8

oleh kemampuan akademik atau olah pikir yang tinggi. Inilah sebagai persyaratan yang mendasar manakala kita hendak memahami simbol-simbol hudan dan menginternalisasikannya dalam diri kita. Inilah makna mesti kita pahami ketika kita menginginkan

dapat

memahami

nilai-nilai

hudan

bagi

kehidupan manusia.

B.TRANSFER

NILAI

ETIS

QUR’ANIK:

TELAAH

STRATEGIS PERJUANGAN NABI MUHAMMAD SAW Berbicara tentang transfer nilai sama artinya berbicara tentang berbagai upaya untuk menanamkan nilai-nilai, baik untuk

kepentingan

individu

maupun

masyarakat.

Secara

akademis paling tidak ada dua strategi pendekatan dalam pentransferan suatu nilai, yaitu dari dalam dan dari luar Pendekatan

dari

dalam

pada

dasarnya

mencakup

penanaman nilai-nilai yang fundamental dan prinsipil ke dalam diri sehingga terjalin erat dan tak dapat dipisahkan dari keseluruhan diri pribadi seseorang. Sementara pendekatan dari luar berupa usaha menciptakan kondisi-kondisi yang kondusif untuk terujudnyanya nilai-nilai yang fundamental tersebut dalam perilaku aktual. Dengan arti kata upaya pendekatan dari luar

bergerak dalam bentuk

penyiapan dan

pengelolaan

infrastruktur dalam rangka meraih realitas nilai-nilai yang ditanamkan

menjadi

perilaku

senyatanya.

Perlu

juga

9

digarisbawahi bahwa kedua pendekatan ini merupakan

satu

kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, keduanya selalu berjalan beriringan. Dua

pendekatan metodologi pentransferan nilai seperti

disebutkan di atas, ternyata secara jelas dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW

di saat

membangun masyarakat Muslim

pertama pada masa awal kenabiannya. Sejarah

membuktikan

bahwa usaha pertama yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW untuk menanamkan nilai keislaman, terlebih dahulu dengan menanamkan

ketauhidan sebagai bentuk perwujudan

nyata dari keimanan yang memang merupakan nilai yang fundamental dalam Islam. Pendekatan

dari

dalam

ini

dilakukan

oleh

Nabi

Muhammad SAW dengan menanamkan ketauhidan. Dalam Islam tauhid merupakan konsep sentral yang beri ajaran bahwa Allah SWT adalah pusat segala sesuatu, dan manusia mesti mengabdikan diri sepenuhnya kepadanya. Konsep tauhid ini mengandung implikasi dokrinal bahwa tujuan hidup manusia hanyalah semata-mata untuk mengabdi kepada Allah SWT. Ini merupakan kunci bagi keseluruhan ajaran Islam itu sendiri, sehingga manusia terbebas dari segala bentuk belenggu dan ketergantungan kehidupan baik materi maupun immateri, individu maupun sosial, jabatan maupun finansial. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa konsep tauhid sebagai ajaran

10

nilai fundamental dalam Islam berusaha membebaskan manusia dari

segala

bentuk

belenggu

kehidupan.

Manusia

yang

diinginkan dalam Islam melalui penanaman nilai ketauhidan ini hanyalah manusia yang mengorientasikan segala aktivitas kehidupannya pada Khaliqnya. Dalam catatan sejarah dawah Rasulullah SAW, terutama pada periode Makiyah menunjukkan bahwa penanaman nilai tauhid ini sangat mendapat perhatian

khusus sebagai dasar

pembentukkan nilai-nilai keislaman yang dibawanya. Para mufassir sepakat bahwa ayat-ayat yang diturunkan pada periode awal misi kenabiannya ini, memuat ajaran-ajaran tauhid. Hal ini cukup dimengerti mengingat ajaran tauhid merupakan dasar dari segala aktivitas keagamaan selanjutnya, baik pada tataran individual maupun sosial. Bila dicermati lebih dalam keberhasilan spektakuler misi dakwah Rasulullah SAW yang hanya memakan waktu

lebih

kurang 22 tahun yang sampai saat ini diakui oleh dunia, pada prinsipnya tidak lepas dari keberhasilan Muhammad SAW menanamkan risalah tauhid kepada umatnya yang saat itu sangat terkungkung oleh sistem teologi, struktur sosial dan ekonomi yang sangat mengikat kehidupan masyarakat pada masa itu. Dalam bidang teologi umpamanya, masyarakat Arab pra Islam pada saat itu berpaham materialistis-realistis yang hanya mengakui kehidupan nyata yang dapat memberikan kenikmatan

11

pada kehidupan mereka secara nyata pula. Mereka tidak memiliki pemikiran imajinatif tentang adanya kehidupan setelah sekarang, karena bagi mereka tidak ada eksistensi kehidupan di luar batas-batas dunia yang mereka kenal saat ini. Al-Qur`an dalam surah al-Jatsiyah ayat 24 secara eksplisit mengungkapkan kondisi objektif keyakinan teologis masyarakat Arab ketika Muhammad SAW menyampaikan misinya ini.

Artinya ; dan mereka berkata : ‘ Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia ini saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang membinasakan kita selain masa Dalam surah al-An`amj ayat 29 dijumpai pula paham teologi masyarakat arab pada masa itu;

Artinya: Tentu mereka akan mengatakan : hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja. Dan kita sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Pada tataran implementif-operatif, sesungguhnya paham teologis seperti ini tidak terlepas dari kentalnya ikatan sosial kesukuan dalam srtuktur kehidupan mereka. Sedemikian rupa jika ditemukan salah seorang dari suatu kerabat / suku melanggar paham teologis yang telah diyakini oleh suatu suku

12

dan diterima secara turun temurun maka ia akan terputus dari ikatan

struktur

sosial

sukunya.

Dengan

demikian

dapat

dikatakan bahwa persoalan teologi benar-benar merasuk ke dalam sikap mental individu pada saat itu. Perubahan tatanan struktur sosial kesukuan yang sangat mengental pada masyarakat saat itu digantikan oleh Nabi Muhammad

SAW

dengan

tatanan

struktur

sosial

yang

berazaskan ketauhidan, sehingga masyarakatnya pun terbebas dari belenggu kesukuan mereka. Pendekatan dari luar, dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW dengan upaya memperbaiki secara total tatanan struktur sosial yang telah berjalan pada saat itu. Pada masyarakat Arab

pra Islam saat itu, persoalan

solidaritas kekerabatan atau kesukuan sangat mengental dalam tatanan sosial kemasyarakatan mereka. Kekerabatan atau kesukuan yang juga dikenal dengan tribalisme pada masa itu, bukan hanya merupakan basis kehidupan sosial satu-satunya, tetapi juga merepresentasikan prinsip perilaku yang tertinggi, sekaligus juga merupakan pola kehidupan yang komprehensif, baik yang bersifat domistik maupun publik. Penghargaan terhadap

kesukuan

keseluruhan

gagasan

bagi

masyarakat

moral

terpenting

merupakan sebagai

sumber landasan

bangunan masyarakat Arab saat itu. Ikatan kekerabatan dan kesukuan dihargai melebihi dari segala yang ada di dunia ini,

13

bahkan bertindak untuk kejayaan suku merupakan kewajiban yang

dibebankan

kepada

setiap

anggota

suku.

Kuatnya

keterikatan suku dengan anggotanya diekspresikan oleh Duraib ibn al-Simah dalam syairnya

yang dikutip Nicolson sebagai

berikut: ‘Aku seorang suku dari Ghaziyah, jika ia salah aku pun salah dan jika Ghaziyah dituntun kepada kebenaran aku pun juga berlaku benar bersamanya’. Dari sya`ir ini sangat jelas menunjukkan bahwa kesukuan merupakan semangat gerak setiap individu Arab pra Islam pada masa itu, sehingga tidak heran jika banyak penulis moderen saat ini mengklaim bahwa persoalan kesukuan dalam masyarakat Arab pra Islam telah menjadi passion yang garang dan ganas, sekaligus juga merupakan kewajiban yang utama dan suci dari segala kewajiban. Demikianlah struktur sosial jahiliah pada dasarnya bersifat tribal dalam pengertian idealnya bahwa kesukuan adalah alfa dan eksistensi manusia adalah omeganya. Bahkan dalam keyakian teologis pun

juga sangat terkait dengan

kesukuan seperti telah disinggung di atas. Keterikatan suku dengan persoalan teologi seperti ini, di antaranya dicatat oleh sejarah dengan menunjukkan bahwa setiap suku pada masa itu memiliki berhala sendiri-sendiri. Hampir 360 berhala diletakkan di Ka`bah pada saat itu. Tuhan-tuhan pada suku tersebut

14

dikelompokkan ke dalam tuhan-tuhan kecil dalam jumlah yang banyak. Demikian pula halnya dalam persoalan tatanan ekonomi. Kebobrokan sistem ekonomi pada masyarakat Arab pra Islam juga telah banyak diungkap oleh para sejarawan saat ini. Kebobrokan ini lebih dikarenakan telah sangat merajalelanya sistem pengekploitasian dalam praktek ekonomi seperti yang dikembangkan oleh sistem ekonimi kapitalis moderen saat ini. Pada saat itu masyarakat Mekkah dirundung ketidak nyamanan, karena harta benda atau modal terkonsentrasi pada beberapa orang dan tidak ada pula keadilan yang disrtibutif proporsional dalam sistem ekonomi mereka. Pemilik modal berusaha menegembangkan armada kafilah dagang mereka sebagai simbol ujuk kekuatan dalam rangka menguasai pasar dan jalur-jalur perdagangan

pada

saat

pengusaha ini semakin

itu,

sehingga

leluasa

dengan

demikian

menguasai pasar dengan

menerapkan pola-pola perdagangan yang eksploitatif. Gambaran di atas mencerminkan bahwa betapa beratnya perjuangan yang dihadapi oleh Muhammad SAW dalam membangun masyarakatnya. Secara logika sulit untuk dipahami atas keberhasilan Nabi merubah sistem nilai yang telah begitu mendarah daging disetiap individu dan kelompok masyarakat Arab praIslam. Namun kenyataannya dalam jangka watu yang terbilang singkat, Nabi Muhammad SAW berhasil mejungkir

15

balikkan tatanan sosial, ekonomis dan teologis yang telah mapan pada saat itu. Keberhasilan Nabi Muhammad SAW untuk hal seperti ini, tidak

lain

dikarenakan

oleh

adanya

upaya

penyiapan

insfrasturuktur untuk dapat penerapan nilai-nilai keislaman ke dalam kehidupan masyarakat yang dibangunnya. Insfrastruktur ini diantaranya, membangun persaudaraan atas dasar ikatan keagamaan,

sistem

ekonomi

atas

dasar

keadilan

yang

proporsional, dan keyakinan atas dasar ketauhidan. Dalam konteks

ini

dapat

dipahami

bahwa

keberhasilan

Nabi

Muhammad SAW dalam membangun masyarakat Muslim pada masa itu pada prinsipnya dengan menerapkan dua strategi pendekatan pentransferan nilai seperti yang telah diungap di atas. Strategi dari dalam dapat dilihat dari upaya Nabi Muhammad SAW menanamkan tauhid sebagai realitas iman dalam setiap gerak langkah individu umatnya pada saat itu. Melalui penanaman iman seperti ini berarti Nabi Muhammad SAW mengikis habis segala bentuk keterkungkungan dan keterikatan pengikutnya kepada segala hal selain pada Allah SWT. Sedemikian rupa dengan sikap mental tauhid seperti ini segala bentuk ketergantungan sosial, ekonomi dan keyakinan yang sudah sangat membelenggu kehidupan manusia pada saat itu, digantikan dengan hanya bergantung dan berorientasi

16

kepada Allah SWT semata. Kuatnya dobrak tauhid sebagai realitas

iman

seperti

ini,

selain

secara

aplikatif

dapat

memebebaskan manusia dari segala bentuk belenggu kehidupan material dan sosial budaya saat itu, juga

secara konseptual

makna iman itu sendiri memang menjanjikan untuk kehidupan yang lebih baik yang akan membebaskan manusia dari segala macam keterikatan yang dapat menyengsarakan manusia itu sendiri. Kata

iman

yang

sering

diterjemahkan

dengan

kepercayaan, atau mempercayai, sesungguhnya berakar dari am-n yang berarti menjadi damai dalam dirinya, atau merasakan tiadanya kegudahan dalam dirinya. Makna kata iman seperti ini berarti sama dengan mutma`in yaitu adanya perasaan puas dan ketenangan dalam diri seseorang. Makna seperti ini dijumpai dalam al-Qur`an umpamanya pada surah al-Nahl ayat 112:

Artinya: Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruwah dari segenap tempat…. Kecuali itu, kata iman juga dijumpai dalam makna lain sekalipun tidak terlepas dari konteks makna

di atas.

17

Umpamanya

iman dimaknai dengan pengertian menerima

kepercayaan akan sesuatu untuk dipelihara. Kata dimakanai juga sebagai keyakinan,

iman

seperti ditemukan dalam

surah al-Ahzab ayat 72. Dalam surah al-Nisa’ ayat 83 , surah alBaqarah ayat 125.

Dan di tempat-tempat lain

kata ini

menunjukkan makna ‘aman dari bahaya yang datang dari luar’, sehingga dapat diartikan bahwa ‘kedamaian’ dan ‘keamanan’ merupakan pengertian dasar bagi kata iman ini. Dari berbagai makna iman seperti diungkap di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kata iman dari kata dasarnya a-m-n adalah

‘menjadi damai’

atau ‘ tidak adanya gangguan/

ancaman’ atau ‘ menjadi aman’. Bila dikaitkan makna iman ini dengan Allah SWT sebagai objek keimanan, maka dalam pengertian seperti ini berarti bahwa

seseorang yang tidak

menerima Allah SWT dan tidak memiliki keyakinan pada-Nya dan bentuk-bentuk iman yang lain yang mengiringinya, tidak dapat berada dalam keadaan aman, damai, suatu keadaan ini sangat berbeda dengan

orang-orang yang melupakan Tuhan.

(Surah al-Hasyr ayat 19). Pengertian iman di atas, setidaknya memiliki dua implikasi.

Pertama

disamasebangunkan

bahwa

iman

pengertiannya

itu

dengan

tidak

dapat

pengetahuan

rasional, namun demikian bukan berarti ia tampa pengetahuan seperti ini. Para pakar teologi Muslim menyebutkan bahwa iman

18

itu sangat terkait dengan aqd, yakni suatu keyakinan keterikatan dari pikiran tentang sesuatu secara pasti dan tak tergoyahkan berdasarkan pada pengetahuan seperti ditemukan dalam surah al-Jatsiyah ayat 23. Surah Thaha ayat 114, surah al-Zumar ayat 9, surah al-Fathr ayat 19 dan 22. Jadi, keimanan itu membutuhkan muatan kecerdasan pengetahuan sekalipun yang belakangan ini tidak sama dengan yang pertama. Kedua, keimanan itu

merupakan

persoalan hati atau

hati-dan–pikiran yang mesti membuahkan perbuatan. Dengan demikian memisahkan keyakinan dengan perbuatan menurut alQur`an merupakan sesuatu

yang membingungkan dan tidak

dapat diterima. Banyak ayat-ayat al-Qur`an

mempasangkan

iman dengan perbuatan baik. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa penanaman ketauhidan sebagai bentuk pendekatan dari dalam, merupakan sesuatu yang niscaya, karena dengan tertanamnya iman dalam diri seseorang berati dirinya telah terlepas dari segala bentuk belenggu material, kesukuan dan finansial dan lain-lainnya yang serba duniawi. Kesemuanya ini diakui sangat menindas humanitas manusia yang terjadi pada masyarakat Arab pra Islam pada masa itu. masyarakat

Dengan terbebasnya

individu maupun

dari ketertindasan humanitas seperti diungkap di

atas, maka risalah kenabian Muhammad SAW pada masa itu dengan mudah dapat direaliasasikan, setidaknya ini terbukti dari

19

keberhasilan Nabi Muhammad SAW membangun masyarakat etis-Qur`anik

di Madinah dalam waktu yang relatif singkat

sebagai protetype masyarakat madani yang diinginkan oleh rakyat Indonesia saat ini. Umat yang dibangun oleh Nabi Muhammad SAW melalui dua strategi menghasilkan

pendekatan

seperti

disebutkan di atas, telah

apa yang disebut saat ini dengan humanisme

teosentris, yaitu suatu umat yang senantiasa memusatkan dirinya pada keimanan terhadap Tuhan namun juga tidak melupakan perjuangannya untuk kemuliaan peradaban manusia. Pada umat seperti inilah, akan terujudnya masyarakat yang senantiasa menjadikan konsep tauhid sebagai acuan utama dalam kehidupan mereka, karena memang konsep tauhid merupakan konsep sentral dalam.

Tuhan dalam konsep tauhid

ini adalah pusat segala sesuatu dan manusia mesti mengabdikan diri sepenuhnya kepadaNya dan tujuan hidup manusia tidak lain hanyalah untuk mengabdikan diri kepadaNya. Namun demikian, konsep tauhid ini

bukan tanpa mempunyai arusbalik pada

manusia, banyak sekali dari ayat-ayat al-Qur’an mengiringi persoalan iman

dengan amal shalih yang tidak dapat

dipisahkan. Ini berarti bahwa iman mesti diaktualisasikan dalam bentuk amal perbuatan. Artinya, konsep tauhid sebagai realitas iman harus diaktualisasikan menjadi aksi kemanusiaan. Dalam konteks pemahaman sepertilah dikatakan bahwa dua strategi

20

pendekatan pentransferan nilai-nilai Islam seperti diungkap di atas tidak dapat dipisahkan. Tegasnya di saat ada iman di situ pun ada amal. Dengan

demikian

dapat

dikatakan

bahwa

Islam

menjadikan tauhid sebagai pusat dari segala orientasi nilai, sementara pada saat yang sama manusia sebagai tujuan dari transformasi nilai, sehingga Islam sebagai agama rahmatan li alamin benar dapat dirasakan. Bagi kita umat Muslim pada saat ini semua bentuk usaha yang

telah

dilakukan

Nabi

Muhammad

SAW

dalam

menanamkan nilai-nilai etis qur’anik pada masyarakatnya, pada prinsipnya telah terakumulasi di dalam al-Qur`an sebagai Kitab yang sarat dengan muatan petunjuk bagi kehidupan manusia, baik untuk individu maupun untuk masyarakat. C.

METODOLOGI MENGGALI HUDAN DALAM ALQUR`AN SEBAGAI SUMBER DAN INFRA STRUKTUR NILAI DALAM MEMBANGUN MASYARAKAT ISLAMIS. Di dalam Islam, al-Qur`an berfungsi sebagai petunjuk

bagi manusia untuk menjalani kehidupan yang benar secara total di mana dalam kehidupannya akan sealalu mengahadpi dilemadilema

besar.

khususnya

Dengan

tidak

dapat

demikian

al-Qur`an

dipisahkan

dari

bagi

segala

Muslim aktivitas

kehidupannya. al-Qur`an bagi Muslim tentu tidak saja sebatas pemahaman teologis, tetapi juga segala pesan-pesan moral yang

21

dikandungnya

diupayakan

tampil

dalam

kehidupan

kesehariannya. Pemahaman seperti ini sangat erat kaitannya dengan makna iman sebagaimana telah diungkap di muka, manakala kata iman itu dikaitkan dengan Allah SWT. Keyakinan umat Muslim terhadap al-Qur`an

sebagai

wahyu Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW

sampai sejauh ini tidak diragukan lagi, namun yang

menjadi persoalan adalah sejauhmana umat Muslim dapat mengambil pengertian dan mengimplimentasikannya dalam kehidupan aktual mereka. Dua persoalan ini dinilai merupakan agenda penting manakala kita berkeinginan menjadikan alQur`an sebagai pedoman bagi kehidupan kita. Sehubungan dengan hal di atas paling tidak ada dua strategi pendekatan yang saling terkait untuk mencapai tujuan di atas, yaitu pendekatan akademis-epistemologis dan pendekatan praksis-aksiologis. Pendekatan yang pertama berkenaan dengan upaya pencarian pemaknaan nilai-nilai yang dikandung alQur`an secara sistematis dan metodologis, sehingga pesan-pesan al-Qur`an dapat mudah dimengerti secara objektif dan rasional. Pendekatan kedua berkenaan dengan upaya pengaplikasian nilai-nilai al-Qur`an dalam kehidupan keseharian, sehingga alQur’an benar-benar menjadi penuntun dalam kehidupan kita.

22

Dalam pendekatan akademis-epistemologis setidaknya ada beberapa pemikiran yang perlu dikembangkan saat ini yang meliputi: 1. Perlu mengembangkan penafsiran sosial-struktural melebihi dari pada penafsiran individual. 2. Mengubah cara berfikir subjektif menjadi

berfikir

objektif, dan model berfikir induktif ke deduktif 3. Mengubah Islam yang normatif-deduktif menjadi historis-empiris, atau ahistoris menjadi historis. Dimaksud

dengan

pengembangan

penafsiran

sosial-

struktural melebihi dari penafsiran individual adalah bagaimana memahami sebuah peristiwa dalam kehidupan sosial tidak secara

individual,

sehingga

bila

terdapat

perilaku

yang

bertentangan dengan al-Qur`an, maka yang ditampilkan adalah kutukan terhadap pelakunya tidak pada akar persoalan yang sesungguhnya yang mencakup kenapa munculnya perilaku yang bertentangan itu. Misalkan perilaku korupsi sebagai perilaku yang bertentangan dengan al-Qur`an, selama ini umunya orang mengecam pelakunya kendatipun kecamanan seperti ini syahsyah saja. Namun yang paling mendasar sesungguhnya adalah mencari sebab musabab struktural-sosial kenapa perilaku seperti ini muncul. Dimaksudkan dengan mengubah cara berfikir subjektif menjadi berfikir objektif tidak lain adalah bertujuan untuk

23

menyuguhkan Islam pada cita-cita objektif. Ketentuan zakat umpamanya, secara subjektif zakat memang bertujuan untuk pembersihan harta pribadi dan sekaligus pembersihan jiwa, namun sisi objektif yang sesungguhnya pada tujuan zakat adalah tercapainya kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan. Terakhir yang dimaksud dengan mengubah cara berpikir deduktif-normatif menjadi induktif-empiris, atau ahistoris ke historis tidak lain adalah bagaimana agar ayat-ayat al-Qur`an pada level normatif dapat dimaknai dalam kehidupan empiris manusia. Kita ambil contoh, ketika kita memahami konsep fuqara’ dan masakin dalam ayat al-Qur’an, paling-paling kita melihatnya hanya sebatas sebagai orang mesti dikasihi sehingga kita mesti memberikan infaq dan sedeqah kepada mereka. Sebaliknya jika kita lakukan dengan pendekatan induktifempiris, kita mungkin dapat lebih memahami konsep tentang kaum fakir dan miskin ini pada konteks yang lebih riil dan faktual sesuai dengan kondisi sosial, ekonomi maupun kultural. Dengan cara kita dapat memahami lebih tepat apa sesungguhnya yang dimaksudkan dengan fuqara’ dan masakin itu serta pada kelas sosial dan ekonomi mana mereka berada dalam suatu masyarkat, sehingga dengan konsep yang mengakar dari kehidupan empiris manusia ini, maka

persoalan fuqara’ dan

masakin akan semakin dapat dipecahkan. Demikian juga halnya dengan kemampuan kita dalam memahami sejarah atau cerita-cerita dalam al-Qur`an. Selama

24

ini sering kita terjebak memahami kisah-kisah dalam al-Qur`an sebatas fakta-fakta historis yang ahistoris, pada hal maksud alQur`an menceritakan kisah-kisah itu tidak lain adalah agar kita berfikir historis. Dengan kata lain bahwa kita dituntut mampu mengambil

pelajaran

dari

kisah-kisah

tersebut,

karena

sesungguhnya kisah-kisah dalam al-qur`an itu boleh jadi ada sepanjang zaman pada setiap sistem sosial kita. Kita

ambil

contoh misalnya kisah Bani Israil sebagai kelompok tertindas pada zaman Fir`un. Kisah ini sering kita pahami hanya sebatas dimana peristiwa itu terjadi, pada hal kelompok tertindas sampai saat ini pun tetap ada dan diciptakan. Pada sistem masayarakat kapitalis, sosialis, fioadalis dan dalam

bentuk sistem sosial

yang lainnya boleh jadi selalu ditemukan golongan-golongan yang berada pada posisi tertindas ini.

Dengan cara berfikir

historis tentu kita akan dapat mengidentifikasi siapakah yang dimaksud sebagai golongan yang tertindas baik dalam tatanan sosial politik maupun ekonomi kita sekarang umpamanya. Begitu pula pendekatan praksis-aksiologis tentu akan menumbuhkan semangat masyarakat untuk mempelajari dan memahami nilai-nilai Qur’anik serta mengimplementasikan dalam kehidupannya. Upaya seperti ini membutuhkan suatu kemauan yang kuat dalam setiap lapisan masyarakat. Saat ini kita harus sudah memulai untuk merencanakan aktivitasaktivitas yang secara langsung berkenaan dengan penghampiran diri pada al-Qur’an.

25

Penghampiran ini dapat dilakukan dengan menghidup suburkan kembali terampil baca al-Qur’an dan melanjutkannya dengan menggali pesan-pesan moral yang tertuang di dalam alQur’an itu. Upaya seperti dapat dilakukan dengan mendirikan dan mengaktifkan tempat pengajian anak-anak, remaja dan dewasa baik di langgar, mushalla masjid maupun di lembagalembaga atau instansi pemerintah. Pada tempat-tempat seperti inilah nantinya al-Qur’an tidak hanya sebatas dibaca, tetapi diupayakan pencarian

pesan-pesan moral yang terkandung

dalam al-Qur’an itu. Dalam kondisi seperti inilah al-Qur’an tidak lagi sebatas dipelajari oleh orang perorang, tetapi telah menjadi kesadaran kolektif masyarakat itu sendiri. Bila hal ini terujud, maka masyarakat etis qur’anik sebagaimana yang telah pernah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dapat pula kita terapkan saat ini. Bagi kita masyarakat Muslim Provinsi Jambi, sebenarnya apa yang telah pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW yang pada hari ini kita peringati kelahirannya, sesungguhnya sangat mungkin untuk diterapkan. Hal ini mengingat kondisi masyarakat kita yang mana adat istiadatnya bernuansakan Islamis,

setidaknya

dapat

diamati

dari

falsafah

hidup

masyarakat Jambi yang menyandarkan adat dengan agama Islam. Pada

kesempatan

ini

izinkanlah

saya

mengajukan

beberapa pandangan untuk menciptakan suasana masyarakat

26

Jambi yang berdimensikan etik qur’anik dalam kehidupannya. Saat ini kita baru saja menyelenggarakan Musabaqah Tilawat alQur’an

(MTQ)

yang

berjalan

dengan

kesuksesan

dan

kesemarakan di tengah-tengah masyarakat kita dan kita bersyukur pada Allah SWT atas keberhasilan itu, sambil pula berharap

penyelenggaraan

dan

penyemarakan

seperti

ini

semakin meningkat untuk masa-masa akan datang. Di atas semuanya itu, kita tentu akan lebih bersyukur lagi bahwa dengan adanya peristiwa seperti ini telah memunculkan kembali keinginan yang kuat pada masyarakat kita dan pemimpin-pemimpin kita untuk menyelenggarakan kegiatan membaca al-Qur’an setelah maghrib. Penyelenggaraan ini akan lebih bermakna lagi bila kegiatan ini benar-benar telah menjadi gerakan bersama di seluruh lapisan masyarakat. Sehubungan dengan hal ini, ada baiknya jika kita mulai kegiatan ini tidak saja meliputi tingkat membacanya saja, tetapi dilanjutkan dengan semacam kelompok-kelompok pengajian tafsir al-Qur’an secara sistematis dan terprogram, mulai dari tingkat

dasar

sampai

pada

tingkat

lanjutan,

tidak

saja

diselenggarakan oleh masyarakat melalui pengajian-pengajian di masjid-masjid, tetapi juga di instansi-instansi pemerintah dan badan-badan swasta. Jika perlu, penilaian keberhasilan suatu daerah/tempat tertentu, menempatkan aspek pengajian al-Qur’an dalam bentuk tingkatannya dijadikan juga sebagai indikator keberhasilan.

27

Demikianlah semoga apa yang saya tampilkan dalam kesempatan ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Akhirnya saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas segala sesuatu yang kurang berkenan atas penyampaian saya pagi ini. Akhir kalam wabillahi tawfiq wa al-hidayah, wassalamu`alaikum wr. wb. Jambi, 27 Mei 2002 Penulis,

DR. AMRIL MANSUR, M.A.

DAFTAR BACAAN Abdullah, Amin, Studi Agama: Normativitas atau Historisitas, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. Al-Isfahani, Raghib, al-Dhari`a ila Makarim al-Shari`a, Ed. `Abd. Yazid al-`Ajami, Dar al Wafa`, Kairo, 1987. Arkoun, Mohammad, al-Islam: al-Akhlaq wa al-Siyasah, Markaz al-Atsma` al-Qawmy, Beirut, 1990. ---------- , Rethinking Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 1996. Dep. Agama R.I., al-Qur’an dan Terjemahannya, Karya Toha Putera, Semarang, 1989. Engineer, Asghar Ali, Islam dan Teologi Pembebasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.

28

Fakhry, Majid, al-Fikr al-Islam fi al-`Arabiy, Juz II, Dar alFikr, Beirut, 1980. Hourani, George F., Reason and Tradition Islamic Ethics, Cambridge University Press, London, 1985. Izutsu, Toshihiko, Konsep-Konsep Etika Religius dalam alQur’an, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1993. Kuntowijoyo, Paradigma Islam Interpretasi untuk Aksi, Mizan, Bandung, 1991. Rahman, Fazlur, “Some Key Ethical Concept of The Qur’an”, dalam The Journal of Religious Ethics, Vol. II, No. 2, 1983. ---------, Islam dan Modernitas tentang Intelektual, Pustaka, Bandung, 1985.

Transformasi

BIODATA DR. AMRIL MANSUR, M.A lahir di Jambi 1956. Setelah lulus S-1 /Sarjana lengkap dari jurusan Pendidikan Agama Fakultas Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang tahun 1984, beberapa tahun kemudian melanjutkan ke Program Pascasarjana S-2 IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, selesai tahun 1993. Di institusi ini pula pada tahun 2001 menyelesaikan program doktor / S-3 Dalam bidang Filsafat dan Etika Islam dengan judul disertasi STUDI PEMIKIRAN FILSAFAT MORAL RAGHIB AL-ISFAHANI.(w. 1108 M) Dalam bidang pekerjaan, selain menjadi tenaga pengajar/ dosen tetap di Fakultas Tarbiyah IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi sejak tahun 1986, juga sejak tahun 2001- sekarang ikut memberikan perkuliahan pada jenjang S-2 di Program

29

Pascasarjana IAIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi dan di Program Pascasarjana IAIN Sulthan Syarif Qasim Pekanbaru. Saat ini juga menjadi ketua pada Lembaga Studi Filsafat, Kemasyarakatan, Kependidikan dan Perempuan (LSFK2P) Selain aktif menulis di journal ilmiah dan surat kabar harian, juga melakukan penelitian dan seninar, terutama yang berkaitan dengan Kependidikan Islam dan Etika. Hingga saat ini penulis telah diamanahkan oleh Allah SWT dua orang putri; Dina Auliya Amly/ 8 tahun dan Harzalina Zilfi Amly /7 tahun dan Mar`iy Romizzidi Amly O tahun sebagai buah perkawinan dengan isteri penulis yang tercinta DR. MUHMIDAYELI, M.Ag. -----------

Related Documents