Novel Catatan Harian Si Popy

  • December 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Novel Catatan Harian Si Popy as PDF for free.

More details

  • Words: 14,942
  • Pages: 43
BAB 1

BUKU INI AKU PINJAM Maka bersukacitalah hati Popy manakala bel pulang berbunyi. Dia berdiri paling awal, karena sejak tadi dia telah mengemasi bawaannya ke dalam tas. Maka melesatlah dia keluar kelas paling depan, ketika Pak Guru masih mengemasi buku-bukunya. Ida dan Enya yang sedari tadi melihat gelagat mencurigakan, segera menyusul Si Kacamata. "Gila! Nggak mungkin kamu siang ini mendadak punya kencan sama Ramayana. Nggak mungkin!" Enya menyerbu dengan ekspresi rada sewot. "Di dunia ini banyak hal yang mungkin. Apa sih, istimewanya Rama?" Popy mengerling penuh kemenangan. Matanya mengerdip, membuat kacamatanya makin melorot. Kalo sudah begini, tampang Popy jadi makin lucu, antik dan sebenarnya ngegemesin. "Asyik!" seru Ida ikut-ikutan girang. "Ada apa sebenarnya di antara kalian? Atau diam-diam kalian udah menjalin setori di luar sepengetahuan kita?" Tokoh kita cuma nyengir penuh kemenangan, bikin Enya makin senewen. Kencan sama Ramayana? Huh! Itu adalah setori paling dahsyat abad ini! Si Kacamata kencan sama Demetrio Albertini adalah berita yang bisa bikin geger seantero Bintang Kejora. Dan itu adalah ancaman bagi Enya yang selama ini merasa punya kelas di atas Popy. "Ayolah. Kalian boleh menemaniku...." "Bilang aja kamu nervous," ejek Enya. "Maklum, mau ketemu pangeran. Catet, ya. Siapa kuaat?" Ida masih ingin membela teman kurusnya. Tapi tujuan utamanya adalah membikin panas hati Enya. Puas rasanya. Gapura Bintang Kejora adalah satu-satunya pintu keluar. Di situlah Rama memutuskan untuk ketemu Popy. Dan Popy bersyukur dengan pilihan itu. Jika seluruh penghuni SMA Bintang Kejora melihatnya, betapa.... "Mana bukunya?" Popy yang paling tercekat, manakala tiba-tiba Ramayana muncul dari balik gapura. Ida dan Enya cuma berusaha nampak cuek. Ternyata jagoan basket nan tampan itu telah terlebih dahulu menunggu Popy. Seperti robot layaknya, Popy merogoh tas sekolahnya dan mengangsurkannya pada Rama. "Komplit?" "Apanya?" "Catatan kamu...." Popy mengangguk. "Aku bawa, ya...." Popy hanya mengangguk lagi. Lalu sudah. Lalu Rama berlalu tanpa menoleh lagi. Lalu terdengar tawa mengikik. Tawa Enya, juga Ida. "Kirain apa, nggak taunya cuman mau pinjem buku. Boleh nggak aku ke rumah kamu...? Kapan kamu mau nonton bareng aku...?" Popy membuang muka cepat-cepat, lalu cepat-cepat pula memandang ke arah Enya lagi. Dia tertawa. Semula pelan lantas makin berkepanjangan. "Kalian pikir apa? Emang Rama cuman mau minjem catetan biologiku buat di-kopi." Popy masih tertawa, seolah puas karena sudah bisa ngerjain konco-konconya. Padahal.... 1

*** Setibanya di rumah, Popy kehilangan napsu makan siangnya. Memandang mangkuk berisi sayur bening, terbayang lagi semua adegan di gapura tadi. Apa yang bisa dibayangkan? Nggak ada sikap manis yang ditunjukkan Rama. Pun sekedar basa-basi penyedap permintaan tolong. Nggak ada adegan yang pantas dibanggakan. Buktinya, Enya dan Ida menertawainya. Cuma untungnya Popy cukup cerdik untuk nggak mempermalukan dirinya sendiri. Popy nggak kesal-kesal amat. Nggak juga merasa pantas untuk marah. Dia cuma menyesalkan sikap Rama. Tidakkah dia diajari sopan santun untuk berterima kasih? Popy masih melamun, hingga terlambat menyadari kehadiran Guruh. Tumben adiknya yang semata wayang ini pulang tepat waktu. Biasanya Guruh selalu terlambat dengan alasan yang nggak ada habisnya. Yang belajar di rumah Tori-lah, yang mampir dulu ke rumah Om Faisal (padahal enggak! Guruh nggak pernah bisa cocok sama adiknya bokap itu), atau alasan lain yang bikin nyokap pusing kepala. Cowok kelas 3 SMP ini paling pinter bikin alasan. "Hari ini temen-temenmu ngebosenin, ya?" Popy berbaik hati menyendokkan nasi ke piring Guruh. Guruh diam. "Kenapa?" desak Popy. "Enggak kenapa-kenapa!" Guruh terlihat kesal. "Emang nggak boleh, pulang on time?" "Bukan nggak boleh, tapi malahan harus." "Huuu, sok toku. Padahal kamu sendiri juga sering ngaret. Cuman bedanya, Nyo sama Bo percaya aja sama kamu." "Aku anak yang bertanggung jawab, Ruh...." "Nggak adil!" Popy tersenyum puas. Guruh memberenggut. Cowok bongsor (dan jagoan berantem) itu mulai menikmati makan siangnya. "Tau nggak, kenapa aku pulang jam segini?" "Iya, kenapa?" "Jangan diketawain, ya?" "Janji!" "Aku kangen, Pop." Popy terhenyak. "Rasanya udah lama banget kita nggak makan bareng semeja kayak begini. Maksudku cuma kamu sama aku... dan kamu melayani aku..." Popy merasakan tenggorokannya tersumbat. "Kayaknya udah tahunan kita nggak makan bareng seperti ini. Terakhir kalinya kapan, Pop?" "Tauk...." "Aku ingat. Dulu pas Bo sama Nyo nungguin Eyang di rumah sakit." "Itu tiga tahun yang lalu, kan? Kamu masih kelas enam?" "Persis. Lama, ya?" Popy tercenung. Dia mendadak merasakan dadanya sesak. Pengakuan Guruh bahwa dia kangen padanya membuatnya terharu amat sangat. Popy mengacak rambut Guruh dengan lembut. Ada airmata mengambang di pelupuk matanya, tapi Popy malu jika Guruh melihatnya. Catet! Begitulah tokoh kita yang kelak akan selalu kita rindukan ini. Biar pun di luar nampak cuek dan funky, dia menyimpan kelembutan dan kepekaan yang cukup tebel. Di balik sikap tegarnya, Popy sebenarnya tergolong manusia yang gampang banget menangis. 2

Sejak Popy merasakan getar bahagia di dadanya. Membuatnya lupa bahwa dia telah dikecelekan oleh sikap Rama. Tali persaudaraan memang jauh lebih murni. Jauh lebih tulus dan mengalahkan hal apapun di dunia ini. Airmatanya bergulir tanpa dapat ditahannya. Runtuh sudah jaimnya, dan membiarkan bulir kayak intan tersebut menempel di pipinya. *** Tapi ngelupain Ramayana seratus prosen memang nggak gampang. Buktinya sekarang sudah jam 00.35 WIB, Popy belum juga bisa tidur. Popy cuma membolak-balik badan di ranjangnya. Bete berat doski. Ada setumpuk komik Spiderman di atas meja, tapi semua sudah dihapalnya. Lagian malam ini Popy lagi kehilangan napsu membaca. Yang ada cuma napsu untuk... melamun. Dan ngelamunin Rama memang asyik. Bahkan lamunan Popy sampai ke lamunan-lamunan yang norak semisal: Rama tengah ngelonin buku catatan biologinya. Tapi yang paling diharapkan Popy adalah: ada sebuah puisi (atau surat cinta?) yang tengah disempurnakan oleh Rama, lalu akan diselipkannya di buku itu. Amboi.... Apa pun yang terjadi besok, Popy sudah menyiapkan sekian rencana. *** Popy mengayuh sepedanya pelan-pelan. Dia lagi nggak menginginkan angin kecang meriap-riapkan rambutnya yang sebahu itu. Pasalnya, pagi ini sang rambut sudah mendapatkan perlakuan khusus. Sudah dikeramas dan dibilas empat kali. Sudah di-conditioner dua kali, dan terakhir sudah disisir serapi mungkin dengan bantuan hair dryer untuk menemukan tatanan terbaik. Pagi ini Popy emang sengaja tampil lain dari hari-hari biasanya yang cenderung apa adanya. Dia memakai minyak wangi, memakai baju seragam paling putih, dan memakai lipstik! O, ooo, lipstik. Catet! Emang sih, Si kurus ini nyaris nggak pernah pakai lipstik kecuali pas datang ke pesta. Tapi khusus pagi ini, Popy beranggapan bakal ada acara yang lebih penting daripada sepuluh pesta. Ketemu dan berhadapan dengan Rama kali ini, dengan sengaja dan terencana, Popy ingin tampil sebagai cewek seutuhnya. Cewek yang lebih suka terlihat cantik dan feminin. Seperti biasanya, Popy nggak langsung masuk ke sekolah, melainkan mampir dulu ke Kafe Salepo. Ritual pagi hari bersama ketujuh sohib kentalnya. Dia sengaja datang mendahului, tapi ternyata di warung Pak Salepo itu Baron dan Agus Prawit sudah terlihat duduk berhadapan mengisi TTS di suratkabar. Mereka berdua langsung menoleh ketika Popy baru saja menginjak ambang pintu warung. Dan seperti Popy duga, mereka langsung terperangah. "Tumben kamu jadi perempuan?!" Baron tertawa. "Nyokap ulang tahun." Popy asal menyahut. Baron dan Agus Prawit saling memandang. Apa hubungannya? Popy bertepuk, mencari perhatian Pak Salepo yang tengah memasang taplak di meja sudut. Isyarat bahwa Popy menghendaki menu khsusunya. Baru saja Popy duduk di samping Baron, Adek Si Tukang Gambar muncul dan langsung menghampiri Popy. "Pop, ada titipan." Popy langsung ngeh dengan apa yang terjadi. Adek membawa catatan biologinya. Catatan yang kemarin dipinjem Rama. Popy dengan tenang, nyaris tanpa ekspresi menerima bukunya dan seperti nggak sengaja membuka setiap lembarnya. 3

Nggak ada apa-apa. Nggak ada selembar kertas, apalagi sampul surat yang terjatuh. "Rama pesen apa?" "Nggak apa-apa. Cuman minta tolong aku ngembaliin bukumu." "Cuman begitu?" Adek mengangguk. "Doi nggak bilang kenapa nggak bisa mulangin sendiri?" Adek menggeleng. Popy menghela napas panjang tanpa kentara. Setelah itu dia berdiri. "Mau kemana Pop?" tanya Agus Prawit. "Mau setor dulu. Perut mendadak mules, nih." Untunglah mereka bertiga nggak curiga sama sekali. Lain persoalannya jika saat ini ada Enya dan Ida. Duet kedua cewek itu bakalan meriah. Bisa-bisa Popy tengsin setengah mati untuk menutupi keadaan yang sebenarnya. Popy nggak ke kamar kecil, melainkan ke toilet di belakang warung. Di situ dia mulai mengacakacak rambutnya dan menghapus lipstiknya. Ini sebuah keputusan yang cepat yang amat tepat, sebelum Si Artis dan Si Ganjen memergoki dan menyadari semuanya. Sambil berkaca dan menenangkan hatinya, Popy mulai membuat perhitungan. Kejadian ini adalah pelajaran. Bahwa terkadang apa yang terjadi sama sekali meleset dari yang diharapkan. Dia memang kecewa. Tapi dia lebih menyesalkan Ramayana. Alangkah sayangnya cowok setampan Rama punya kepribadian yang minus. Betapa enggak? Yang jelas, hari ini Popy punya catatan khusus tentang Rama. Cowok mirip Demetrio Albertini itu perlu belajar etika. Cuwek boleh-boleh aja, tapi etika kudu punya. Siapa yang akan mengajarinya? Entahlah. Lima menit cukuplah sudah untuk mengembalikan sosok Popy seperti apa adanya. Maka ketika beranjak dari toilet, yang terlihat adalah sesosok cewek funky nan cuwek berambut sebahu, mengenakan kacamata yang seolah ogah-ogahan bertengger di atas hidungnya. Dengarkan, dia sudah bisa bersenandung pelan nyaris tak terdengar: Buku ini aku pinjam.... 'kan kutulis sajak indah.... Gombal! *** (Popy patah hati? Enggak dong. Catet! Kita kan udah mulai ngerti kayak apa sebenarnya tokoh kita ini. Doi tabah, man!). .

4

BAB 2

SIAPA SURUH JADI PINTAR Nggak biasanya Baron nelpon malem-malem, apalagi di jam sebelas lewat begini. Makanya Popy langsung punya dugaan yang enggak-enggak. Tapi sebelum dugaan Popy berkembang lebih parah, Baron udah lebih dulu ngomong: "Pop, aku mau bikin partai. Kamu mau gabung?" Popy nggak tertawa. Apalagi dari nada bicaranya, omongan Baron terkesan serius banget. "Bar? Kamu nggak lagi mabok, kan? Bar, Bar, Baron...?" "Aku waras, Pop. Sumpah!" "Bohong! Kamu harus ngerti, Bar. Kita emang sering brengsek. Tapi aku paling ogah punya fren yang suka teler. Kamu abis ngapain? Nelen ekstasi atau nenggak putau?" "Nggak!" "Kamu sadar sekarang lagi bicara sama siapa?" "Sama kacamata jelek. Si Kurus yang sok funky en junkies!" "Kamu udah tidur? Kamu ngelindur, ya? Diam di tempat, Bar. Hati-hati masuk sumur!" "Brengsek kamu, Pop. Diajak ngomong serius malah ngaco melulu." "Oke. Kamu mau bikin partai. Partai apa? Partai tambahan?" "Partai beneran, Pop. Kamu punya data berapa jumlah ABG di Indonesia Raya ini?" "Banyak." "Iya, banyak. Tapi berapa?" "Siapa punya hitungan itu!" Popy bener-bener berteriak. Dia merasa Baron udah 'ngerjain' dia. "Aku serius, Pop. Kita harus bikin partai." Popy menggeser posisi rebahannya. Kakinya bergerak, jempolnya menyentuh tombol off pada stereo-nya, menghentikan 'Something In The Way'-nya Nirvana. "Otre. Kamu mau bikin partai. Lalu?" "Menurutmu, aku mampu nggak memimpin sebuah partai?" "Ayo, kamu bisa!" "Serius, Nek." "Otre, aku serius. Kamu emang mampu. Kamu pinter, sih. Kamu jago berorganisasi. Kamu bisa memimpin orang banyak...." "Kalo kamu mau gabung, kamu bisa banyak membantuku. Mungkin kamu jadi sekjen. Atau...." "Atau kita bicara aja di kafe besok. Kita datang lebih awal buat ngobrol empat mata. Oke?" "Otre, Nek. Tapi mulailah ngerjain pe-er kita. Kita mau bikin partai ABG." Begitu telepon ditutup, Popy langsung menarik selimut setelah sebelumnya menghidupkan kembali Nirvana-nya. Dia udah ngantuk berat dan nggak ingin terbebani macem-macem pikiran, apalagi ide gila Baron. *** Tapi bukan Popy kalo nggak tepat janji. Dia tetap datang lebih pagi ke Kafe Salepo. Dia datang paling awal, bahkan ketika Pak Salepo belum siap seratus persen untuk membuka warungnya. "Tumben pagi-pagi sekali, Tante...," sapa Pak Salepo sambil mengedipkan sebelah matanya. Ting! "Kencan sama siapa?" Ting! "Sama Baron." Ting! "Udah dateng?" 5

"Belom," tanpa 'ting'. Bayangan bakal punya gosip baru modal buat penglaris langsung buyar. "I'm coming...." Tuh, manusia yang diomongin mendadak muncul. Baron datang membawa sebuah stofmap. Popy langsung lemes. "Baca!" Baron langsung meletakkan stofmap-nya. Baron bener-bener serius, batin Popy sambil menaikkan kacamatnya. Baron duduk di samping Popy, dan entah sengaja entah enggak, tangannya nyantai bertengger di pundak tokoh yang selalu kita rindukan. "Aku udah bikin profil partai. Platform-nya. Visi dan misinya pun udah jelas-las. Mau tau slogan kita?" Popy menatap tanpa kedip ke arah Baron. "Membangun generasi masa depan yang gaul dan junkies!" "Dahsyat," gumam Popy. "Siapa generasi masa depan itu?" "Ya kita-kita ini. Ini partai dari, oleh dan untuk kita." "Partai Anak Baru Gede?" "Itu melecehkan. Tau nggak? Jangan pakai sebutan ABG di dalam partai. Itu ngelecehin kita sendiri, Nek!" "So?" "Partai Kuntum Bangsa Indonesia. PKBI. Keren, kan ?" Popy menyingkirkan tangan Baron dari pundaknya lalu meraba kening cowok itu. Anget. "Bacalah, Nek." Popy melihat draft yang rapi. Popy membaca kalimat-kalimat, paragraf-paragraf yang serius. "Bagus." Popy berkomentar pendek setelah sekilas membaca (sebenarnya melihat, Coy) draft bikinan Baron. "Kita tinggal nyari orang-orang untuk kepengurusan inti. Membentuk DPC, lalu deklarasi, lalu...." "Kamu sekedar latah atau bener-bener udah gokil, sih? Kalo gokil, kenapa enggak gokil dulu-dulu, sebelum pemilu berlangsung?" "Aku baru mikir kemarin, Pop. Idenya emang baru dua hari yang lalu." Baron tepekur. Popy baru sadar, wajah Baron terlihat sedih. "Ada apa sebenarnya, Bar?" "Aku gemes, kesel, geram, bete berat, Nek." "Tell me the truth." "Babe gue. Bapakku gagal...." Popy nge-rewind ingatannya. Dulu bokapnya Baron ikut mendeklarasikan partai baru. "Posisi Bapak yang strategis...." Beliau bahkan jadi caleg anggota DPR. Urutan lima besar. "Nyatanya perolehan suara cuma kueciiil. Mungkin partai itu harus bubar karena nggak memenuhi target dua persen. Padahal...." Beliau udah abis-abisan. Popy ngerti itu. Setidaknya Baron pernah beberapa kali bercerita tentang itu. Ya waktu, ya tenaga, ya duit. Nggak tau juga kalo ternyata beliau juga money-politic. Popy nggak mau tau itu. "Bapak frustasi. Semua kena getahnya...." "Lalu kamu mendendam? Atau sekedar kesal?" "Ini untuk lima taon ke depan, Pop. Apa salahnya? Mumpung negeri ini memberikan kebebasan penuh. Kebebasan untuk berkumpul dan berserikat yang dilindungi Undang-Undang." Popy menghela napas panjang. "Aku iba sama kamu, Bar. Aku sepenuhnya bersimpati sama kamu sekeluarga." 6

"Jadi?" Mata Baron bersinar girang. "Saat ini aku sama sekali nggak tertarik untuk berpolitik. Nggak minat bikin partai betulan atau sekedar partai tambahan. Kalo standing party sih, otre-otre aja." "Pop?!" Baron terbelalak. "By the way...," kata Popy sebelum ngeloyor keluar dari kafe, "aku salut sama idemu yang cukup cemerlang. Kalo semua ABG, remaja dan anak muda di Indonesia Raya ini bergabung dalam satu partai... kamu bisa jadi presiden termuda di dunia.... Tapi, mau jadi apa negeri ini?" Baron melongo. *** Dua hari kemudian. Usai mengikuti rapat OSIS, Popy merasa harus dan kudu ketemu Baron. Dan Baron berhasil dibajak sama Popy, dibawa ke dekat air mancur di halaman depan Bintang Kejora. "Bar... to the point aja, ya?" "Terserah," Baron lagi kumat cuweknya. "Ngomong-ngomong...." "Aaah, kamu mulai pake basa-basi!" "Bicara soal partai, Bar." "PKBI?" "Ya, itu sungguh ide ajaib tapi cukup rasional. Bukti bahwa otakmu penuh." "Em-em." Hidung Baron kembang-kempis. "Akhirnya kamu berminat, kan? Sayang... telat!" "Secepat itu kamu mendeklarasikannya?" Popy nggak yakin. "Aku udah ngelupain semua itu. Sama halnya dengan Bapak yang kini dengan lapang dada menerima kekalahan dengan segala resikonya." "Syukurlah...." Popy menghela napas luegaaa. "Udah, nggak usah ngomongin partai lagi. Bikin senewen. Kita yang muda-muda ini nunggu aja hasil Sidang Umum nanti. Ngedoain supaya yang muncul nanti bener-bener wakil rakyat yang sakti dan budiman." "Amin...." "Jadi, apa lagi?" Popy menaikkan kacamatanya yang melorot, pertanda dia mau serius. "Tadi abis rapat OSIS. Kamu tahu, sebentar lagi bakal ada pemilihan ketua OSIS yang baru?" "Hm, lalu apa hubungannya sama beta?" "Aku ingat draft yang kamu bikin kemarin. Aku pikir kamu bisa bikin yang lebih manjur, meski nggak harus secanggih itu untuk program-program sekolah kita." "Pop?" "Aku yakin, seyakin-yakinnya. Kalo kamu ngerasa bisa bikin partai, pasti kamu mampu jadi ketua OSIS." "Em-em, memang. Tapi apa aku harus jadi Ketua OSIS?!" Baron menyentakkan tangan Baron. "Aku udah ngejagoin kamu. Kamu bakal bersaing sama calon-calon yang lain. Aku bantu kamu menyusun program, kampanye, lalu...." "Nggak mau...!" "Harus! Siapa lagi? Aku menilai kamu yang paling canggih di antara kita. Kamu yang paling jenius, paling brilian, paling... gokil!" "Ogah! Udah tradisi di sini, ketua OSIS dijabat oleh anak kelas dua." "Kita ubah tradisi itu, karena aku tau kamu pinter. Kamu pantas memimpin." 7

"Cari aja yang lain. Aku ogah jadi ketua OSIS, titik!" "Jadi kamu maunya jadi apa? Cuma jadi ketua partai?" "Aku...?" Baron balik membelakangi Popy, lalu berjalan seperti layaknya orang berbaris, sambil bernyanyi: Aku seorang kapiten Mempunyai pedang panjang Kalau berjalan, prok-prok-prok.... Baron terus melangkah tegap menuju kantin sekolah. Di sana Adek, Wahyu dan yang lain tengah menunggu dalam suasana merdeka. *** (Nggak jadi apa-apa emang nggak apa-apa. Namun kalo udah ada apa-apa berlabel 'U di-back Stone', nah itu yang salah!)

8

BAB 3

PORNOGRAFI DI MADING SMA Bintang Kejora, tempat bercokolnya tokoh-tokoh kita, adalah gudangnya kegiatan yang asyikasyik punya. Sekali waktu coba tengok pada ngapain penghuni sekolah keren itu jika lagi bebas kegiatan belajar-mengajar. Guru-guru pada main pingpong di aula, atau mojok mikirin kayu alias main catur. Selebihnya ngeborong sate ayam atau gado-gado buat disantap rame-rame. Guru-guru muda biasanya lebih suka ngider dari kelas ke kelas. Biasa, ngecengin murid-murid yang kece. Para siswa lebih syaik lagi. Terutama pada waktu jam kosong. Jika nggak ada guru (biasanya karena alasan rapat), mulailah sebagian besar dari mereka ngeluarin simpanannya. Ada komik, buku stensilan, kartu remi porno sampai rajutan. Sesekali ada juga sih acara razia barang haram. Tapi selalu aja banyak yang bisa meloloskan diri. Di kelasnya Popy agak beda. Jika kosong pelajaran lantaran gurunya lagi ada acara dan nggak sempet ngasih catetan, seisi kelas pada kompakan tidur. Iya, bener! Tanya aja ke Popy langsung. Ada yang pakai alas koran tidur di lantai, ada yang asal nelungkup di bangku aja. Dalam hal ini, Popy termasuk salah satu manusia yang gampang tidur, padahal guru jam pelajaran berikutnya udah masuk dan memberikan materi pelajaran. Yang model begini pastilah gara-gara ulah konco-konco yang sengaja ingin ngerjain. Itu tadi kegiatan nggak resmi. Kegiatan yang resmi adalah kegiatan eskul yang seabrek macemnya. Mulai dari seni sampai olahraga. Popy punya niat untuk nampilin liputan kegiatan yang resmi maupun yang nggak resmi di Bintang Kejora di majalah dinding edisi depan. Asal tahu aja, Popy menjadi pemimpin redaksi kelas di mading Bintang Kejora. Mading Bintang Kejora adalah salah satu kegiatan yang sangat dibanggakan di Bintang Kejora. Tahun lalu bahkan pernah diikutkan lomba mading SMA seMetropolitan dan... kalah. Tapi lumayanlah masih mendapat predikat juara harap-harap cemas. Prinsip yang dipakai di Bintang Kejora adalah: "Mendingan bikin mading daripada coret-coret dinding." Popy sadar betul bahwa kali ini dia sangat terlambat ngadain rapat redaksi. Tahu-tahu minggu depan kelasnya yang kena giliran. Jadi praktis mereka tinggal punya waktu lima hari untuk menyiapkan semuanya, sebelum hari-H pemasangan mading baru. Popy mumet. Tapi dia sadar, sejak dulu (sejak di SMP) dia emang menginginkan posisi pemred untuk menampung hasrat dan menyalurkan bakat menulisnya. Makanya rapat siang ini harus sekali jadi. Nentuin laporan utama, topik sentral dan membagi tugas. "Jadi gimana?" Popy melempar pertanyaan ke floor, seusai menyampaikan gagasannya. "Setujuuuuu...!" Popy puas. Dia tahu, jawaban itu nggak asal latah, tapi karena teman-teman emang akur dengan idenya. " Ada usul?" Baron mengangkat tangan setengah-setengah. Agak lama dia berkomat-komit, lalu: "Gimana kalo kali ini kita geber foto aja?" "Foto?" Mamok yang duduk di sebelah Baron langsung melotot. Dia merasa langsung kena tembak, karena di redaksi ini dia emang kebagian tugas sebagai fotografer, sesuai dengan hobinya. Sang Provokator ini gape banget soal potret-memotret. "Mana ada majalah dinding jadi pameran foto?" Tapi Popy langsung ngeh dengan isi kepala Baron. "Kali ini kita tampil beda, Coy. Kita sengaja geber foto-foto investigasi. Kayak detektif gitu, Mok. 9

Pasti otre. Kamu kan ahlinya ngintip-ngintip adegan seru. Aku nggak mau tahu caranya. Pokoknya kamu dapetin aja tuh acara guru-guru yang pingpong pake taruhan. Guru yang lagi asyik pacaran di kantor, murid yang lagi mojok di belakang kantin, yang lagi terlena baca stensilan. Terserah kamu." Mamok langsung berseri-seri. Nalurinya langsung tergoda. Hebat betul bisa bikin gempar dan menarik urat malu orang banyak. "Aku ngerti," Popy kembali angkat bicara. "Bagus juga kita geber foto-foto dengan captions yang ngegigit. Tapi kita harus fair. Kita harus bikin jurnalistik yang seimbang. Jadi, yang positif pun harus kita tampilin...." "Pepti-pepti lah." "Apa itu?" "Separo-separolah, Nek." Eta, sekretaris redaksi memberi penjelasan. Eta ini anaknya rada gendut tapi lincah. Dia merangkap kerja sebagai sekretaris, reporter sekaligus tukang ketik. "Kamu sanggup, Mok?" "No problem. Beres, Bu." Mamok berkata sambil mengelus kumisnya. "Jadi gimana?" Anggota redaksi yang lain minta ketegasan. Popy membaca corat-coretnya. "Mamok dibantu Baron mengejar kegiatan-kegiatan itu. Tembak abis tuh semua eskul. Basket, renang, seni suara, seni tari, komputer...." "Lalu?" "Lalu iseng-isengnya para guru....." "Lalu?" "Iseng-isengnya para siswa...." "Lalu?" "Lalu lintas! Tidur 'kali...?" "Hehehe... acara tidur di kelas kita juga diekspose dong, ya?" usul Reza, salah seorang staf redaksi. "Terserah," jawab Popy pendek. "Kamu yang jadi modelnya, Pop?" tawar Mamok. "Aku? Mana boleh pemred ikut mejeng? Ambil aja yang lain. Di kelas kita banyak jagoan tidur." Popy ngeles. Adek berdiri. "Saya ngapain?" Popy tersenyum keibuan tiri. "Kali ini ilustrator bebas tugas. Yang kita geber cuma liputan foto." "Enaaak...." Rapat berakhir dengan keputusan bulet. Tema mading kali ini adalah "Kegiatan 'Eskul' di Bintang Kejora" (Inget, ekstra-nya pake tanda petik!). Mamok dan Baron punya waktu tiga hari untuk mengabadikan momen-momen asyik. Target lokasinya adalah ruang guru, kantin, kelas, lapangan olahraga dan kolam renang. Hari Sabtu acara wakuncar ditiadakan karena mereka akan rapat lagi di rumah Eta buat menulis tajuk dan memberi teks seru atas hasil jepretan Mamok yang terpilih Hari Minggu-nya rame-rame memasang mading di papan. Beres. *** Jumat sore Mamok dan Baron bener-bener bersemangat. Pasalnya, sore ini mereka berdua bakal ngintip anak-anak yang ikut kegiatan renang. Belum tahu kan , kalo Bintang Kejora punya kolam renang sendiri? Ceritanya begini: Di belakang sekolah terdapat sebuah rumah mewah yang konon milik seorang staf kedubes di Itali. Rumah mewah yang dilengkapi fasilitas kolam renang yang lumayan gede itu praktis kosong lantaran pemiliknya pindah sementara ke Itali. Nah, karena pinterpinternya Bapak Kepala Sekolah bernegosiasi dengan penjaga dan pemelihara rumah itu, maka 10

kolam renangnya boleh dimanfaatkan oleh siswa Bintang Kejora untuk kegiatan eskul. Siapa sih yang nggak suka mainan air? Jadi jangan heran kalo kegiatan renang merupakan eskul yang paling diminati para siswa. Renang gratis, siapa yang nolak? Otak ngeres Mamok langsung hidup. Dia udah nyiapin tele spesial buat jepret cewek-cewek yang berbikini-ria. Untunglah niatnya buat mengabadikan acara ganti baju dicegah sama Baron. Kalo enggak, bisa menambah koleksi foto syur, dong. Baron dan Mamok ngerasa kurang afdol kalo ngambil gambar terang-terangan. Kurang alami, kan? Makanya keduanya beraksi dengan tele dari atas pohon di belakang tembok, di luar kolam. Mamok dengan segenap keahliannya berhasil menjepret adegan nyebur ke air, Pak Guru yang mendorong pantat Erika, bokong Astuti yang aduhai, Si Seksi Rina yang lagi rebahan di tepi kolam, bahkan nge-zoom punggung Si Jali yang panuan. Mamok yakin banget, bahwa liputan foto di kolam renang ini bakalan hot! *** Rapat redaksi di rumah Eta jadi seru, penuh gelak tawa dan jejeritan. Pasalnya, foto-foto hasil jepretan Mamok emang te-o-pe banget. Ada beberapa foto yang bisa bicara bahwa pada jam sebelas tiga puluh (ini jam belajar!) ada empat orang guru lagi main pingpong ditonton enam orang guru yang lain. Ada foto Pak Bambang dan Pak Rochim yang serius banget mikirin catur ditonton dijuriin Pak Kepsek. Lalu yang tak kalah seru adalah adegan santai berduanya Pak Rudi sama Bu Iwie. Pak Rudi dan Bu Iwie lagi berduaan aje di deket kolam air mancur di halaman depan. Pak Rudi itu guru muda yang masih bujangan, sementara Bu Iwie anaknya udah tiga. Tanpa komentar pun, adegan itu bisa nelorin gosip yang macem-macem. Otak jahil Popy puaaas banget. Kegiatan basket, nyanyi dan tari biasa-biasa aja, tapi kudu ditampilin buat perimbangan. Gambar Brian yang lagi ngorok di kelas juga asyik. Tapi yang paling seru dan hot kayak martabak, adalah adegan-adegan di kolam renang. Dari hasil musyawarah dan mufakat akhirnya dicomot empat foto di kolam renang. Adegan Rina yang rebahan di tepi kolam. Kebetulan tanpa sengaja posenya terkesan menantang. (Menantang siapa, Coy?). Pak Leman yang mendorong pantat Erika, Astuti yang bak foto model 'air', dan barisan cewek berbikini. Ada beberapa foto yang kelewat vulgar, yang Popy keberatan jika dimuat di mading. Popy sendiri cukup heran campur kagum, kok bisa-bisanya Mamok mendapatkan momen seperti itu. Tapi Popy lupa bahwa Mamok punya kesempatan buat menyimpan foto-foto lain yang lebih 'ler'. Tugas Popy terasa ringan, karena hanya membuat tulisan singkat pengantar redaksi. Acara menempel dan menulis komentar singkat untuk setiap foto dikerjakan rame-rame dalam waktu singkat, karena foto-foto karya Mamok udah lebih banyak bicara. Singkatnya, Minggu sore mading 'Jitu' (nama yang dipilih oleh kelas Popy) udah mejeng di papan dengan apiknya. Popy dan pasukannya yakin, esok hari Bintang Kejora bakalan gempar. Dan Popy nggak bakalan nolak kalo terpaksa menerima penghargaan untuk kerja tim-nya kali ini. *** Senin pagi, waktunya kumpul di Kafe Salepo, Popy ngedapetin wajah keruh Mamok dan Baron. "Pop, pagi ini, sebelum pelajaran dimulai, kamu harus segera menghadap Pak Henry." "Ngadep be-pe? Apa salah beta?" "Sebenarnya salah kita semua, Bu." Popy punya firasat jelek. Tumben Mamok terlihat sedih begitu. 11

"Mading kita dicopot semalem." "Dicopot? Semalem? Gimana bisa begitu, Pak?" "Pak Bon, Pop." Baron bicara. "Sore kemarin begitu kita pulang, ternyata Pak Bon langsung nelpon ke Kepsek. Kepsek langsung nelpon Pak Henry. Lalu pagi-pagi bener tadi Pak Henry mencopot hasil kerja keras kita." "Itulah," Popy berpikir cepet ngeles. "Tempo hari aku udah keberatan nampilin Pak Rudi dan Bu Iwie." "Entahlah. Bisa jadi karena foto-foto guru atau yang di kolam renang itu. Pokoknya sekarang juga kamu ke ruang Bimbingan. Pak Henry udah nunggu. Cepetan, Pop. Mumpung beritanya belum tersebar luas." "Kamu mau ikut, Mok?" Seperti dugaan Popy, Mamok menggeleng. Anak ini emang sulit diajak bersusah-susah. Popy mengepalkan tangannya. Sebagai pemimpin, dia emang kudu berani bertanggung jawab. "Wish me luck, Coy!" "Kami di belakangmu, Bu!" seru Ida dan Enya. Biar keduanya nggak terlibat masalah mading, sebagai temen mereka siap ngebantu kesulitan Popy. Itulah gunanya temen. Dengan sedikit gentar, Popy masuk ke ruang Bimbingan dan Penyuluhan, langsung berhadapan dengan Pak Henry yang nyaris nggak pernah tersenyum itu. Popy menaikkan kacamatanya yang melorot demi melihat lembaran madingnya terhampar di meja Pak Henry. "Pagi, Pak...." Popy mencoba tegar dengan mengumbar senyum manis, tapi Pak Henry tak bergeming. "Duduklah," katanya tandas. Dan sebelum Popy angkat bicara dan bertanya-tanyi, Pak Henry langsung to the point: "Mading kelasmu saya breidel!" Di balik kacamatanya yang kembali melorot, pandangan Popy bergerak dan berhenti di foto Pak Rudi dan Bu Ewie. "Jelas kalian telah menyalahi jurnalistik sekolah kita." "Point yang mana, Coy... eh, Pak?" "Pornografi!" Tuk! Tuk! Tuk! Tuk! Telunjuk Pak Henry lincah menunjuk keempat foto di kolam renang. "Gimana bisa porno, Pak? Itu riil. Itu fakta. Mana bisa kegiatan renang dinilai porno?" Pak Henry melotot. "Tapi ini?" Pak Henry mendekatkan matanya ke foto Rina yang aduhai. Kalo Popy nggak salah liat, Pak Henry cepet-cepet menelan ludah. "Apa nggak bisa menampilkan foto-foto yang lebih sopan? Pak Kepsek memprotes foto-foto kalian!" Perdebatan terus berlangsung hingga bel masuk berbunyi. Keluar dari ruang be-pe, Popy udah ditungguin geng-nya dan dihujani pertanyaan. Eta dan Reza ada di antara mereka dengan rasa penasaran yang sama gedenya. "Mading kita dibreidel," kata Popy singkat. "Alasannya?" "Pornografi!" Semua mulut langsung terdiam. Popy berjalan lemes menuju kelasnya diikuti pasukannya yang masih penasaran. Sambil berjalan Popy berdengung: Nggak adil... nggak adil... guru-guru kita emang nggak adil... 12

maunya menang sendiri... sendiri... sendiri... "Lagunya siapa, Pop?" Adek penasaran. "Laguku sendiri!" jawab Popy kesal. "Catet, Bo. Aku besok mau berenang pake jins. Siapa mau kompakan?" Semua yang ada di belakang Popy berseru akur. "Catet lagi, ya." Popy berhenti dan menghadap ke mereka. "Mulai sekarang jangan ada lagi yang coba-coba memotret kegiatan guru-guru kita. Paham?" Nggak ada yang bertanya lagi. Semua udah paham permasalahan yang sebenarnya. Kamu ngerti juga, kan? *** (Kali ini no comment. Popy lagi terpukul dan sedih aja. BTW, the show must go on!).

13

BAB 4

IDIH, POPY CEMBOKUR Popy lagi bete berat. Sejak pulang sekolah, tokoh yang selalu kita rindukan ini memilih ngerem di kamar birunya. Wajahnya jadi kehilangan kadar manisnya. Mukanya jadi kusut, rambut cepaknya jadi kusut. Nyokap yang gagal membujuknya buat makan malam bersama akhirnya mengalah mengirimkan ransum ke kamar. Guruh yang mencoba bermanis-manis bahkan kena sembur. Bo dan Nyo menduga, Popy lagi dilanda stres gara-gara nggak masuk hitungan setelah ngikutin casting di AN-teve. Kemarin memang Popy ikut ngantri sebagai calon presenter Planet Remaja. Dan seperti yang diduga sebelumnya oleh Baron Cs. Popy memang gagal total. Kalo dianalisa, faktor kegagalan tersebut adalah karena Popy jelek. Bisa dimaklumi dong. Pasalnya, saingan Popy adalah para model bahkan bintang sinetron. Terang aja Si Kurus Item itu lewat. Popy sadar betul, Bo dan Nyo punya dugaan dia kecewa karena gagal di casting. Dan saat ini Popy lagi nggak punya niat untuk berdebat. Makanya doski biarin aja diskusi Bo dan Nyo ngelantur ke mana-mana. Padahal yang terjadi sebenarnya nggak gitu. Popy sama sekali udah ngelupain kegagalannya, karena niatnya sejak semula emang sekedar coba-coba dan nyari pengalaman. Makanya percuma juga kalo dia masih mikirin hal itu. Popy kali ini sengaja memendam perasaannya. Masalahnya, seisi rumah bisa-bisa ngeledek abisabisan kalo ngerti persoalan sebenarnya yang tengah dihadapinya. Tengsin berat, dong. Masak iya, Popy harus berterus terang bahwa dia suntuk cuma gara-gara tabrakan sama Rama. Ajaib, kan? Lalu apa pula komentar beliau-beliau? Tapi that is a fact. Siang tadi Popy secara nggak sengaja menabrak Ramayana. Atau ditabrak, atau saling bertabrakan, atau.... *** GABRUUKKK! Kosa kata buruk simpanan Popy langsung lancar mengalir begitu tubuhnya bertabrakan dengan seseorang di samping ruang TU. Setumbuk buku tugas yang hendak diserahkannya ke Pak Rudy berhamburan di lantai. Sambil memunguti buku-buku itu, pertama kali yang Popy lakukan adalah memelototi sepatu basket di depan hidungnya, lalu naik dan naik lagi... lalu berhenti di seraut wajah nan kiyut yang seketika membikin hati Popy menggelepar. (Ikan kali!). "Sori. Saya yang meleng...." Popy masih pura-pura bersungut kesal ketika Rama ikut berjongkok memunguti buku-buku itu. "Sori banget. Saya... saya nggak sengaja." "Nggak apa-apa." Saking gugupnya, Popy sampai hampir kehilangan kata-kata. Popy mendongak dan ternyata dia langsung bertemu pandang dengan sepasang mata Rama. Mata yang melotot. "Kamu Popy, kan?" Popy terkesima atas pertanyaan itu. Batinnya seketika dongkol bukan main. Seketika pula memorinya berputar, mengenang peristiwa yang mengganjal di hatinya. Ramayana punya sisi minus di mata Popy. "Wah, saya pangling sama kamu. Sumpah, saya kira bukan kamu. Abis... kamu sekarang lain 14

banget. Rambut kamu...." "Kenapa rambut saya?" "Lain, kan ? Kamu memotongnya lagi, kan ? Jadi makin pendek aja. Bikin wajah kamu jadi lain." "Bilang aja jelek." "Nggak gitu, Pop. Kamu jadi makin manis." Andai yang bilang begitu Baron, Adek atau Enya, Popy pasti bakalan makin marah. Tapi kalo yang bilang Rama, Popy langsung mikir serius. Dia mulai kenal sama Rama. Dia mulai menyadari karakter jagoan basket nan kiyut ini. Rama nggak bisa berbasa-basi bahkan cenderung kaku dan kuper. O-ooo, Si Kacamata langsung empot-empotan. Ini kali pertama cowok yang diem-diem suka bikin deg-degan ini memujinya. "Lain kali jangan meleng, ya?" "Kamu marah?" "Oh, enggak. Tapi... lagi dong!" Eh, Rama malah mengajak bersalaman. Wuih, Popy jadi panas duingin, Bo. *** Dan panas dinginnya itu terbawa sampai sekarang. Noraknya, cuma gara-gara bersalaman itu, Popy jadi nggak mau mandi dan cuci tangan. Maunya cuma ngelamuuun aja. Usai makan malam di kamar, Popy nekat nggak mau keluar kamar. Padahal sekarang ini malem Minggu. Ajakan Bo nonton Tarzan pun ditolaknya. Yang dikerjakan Popy cuma tiduran sambil baca Spiderman dan ngemil kacang atom. Itu pun nggak konsen sama sekali. Otaknya tetep manteng di seraut wajah yang jauh lebih tampan dari Josh Harnett. Parahnya, dia nggak punya kemauan buat mengusir bayangan itu. Sudah ratusan kali adegan bertabrakan itu di-rewind. Kok makin indah dan makin mesra jadinya. Busyet, kan? Bukan tabrakannya, melainkan pujian Rama itu, lho. Begitu spontan dan terus-terang. "Rugi, malem Minggu ngendon di kamar. Jalan, yuuuk...." Guruh nyelonong. "Jalan aja sendiri. Nih, aku tambahin uang sakumu!" Popy melemparkan selembar puluhan ribu yang diterima Guruh dengan gembira. Tujuan Popy cuma agar adiknya itu cepat berlalu dari kamarnya. Boy, siapa sangka selama ini Rama merhatiin diriku. Kalo nggak merhatiin, gimana doski bisa ngerti bahwa aku barusan memendekkan rambut lagi. Baron aja nggak negur. Mamok juga cuwek. Jadi cukup wajar kalo aku jadi ge-er. Berpikir begitu, Popy jadi makin nekat mau ngelamun abis-abisan sampai pagi! Tapi siapa sangka, menjelang pukul sembilan malem ada u-tamu yang nggak diundang langsung menyerbu ke kamarnya. Mereka bertujuh, lengkap. Wahyu, Adek, Enya, Ida, Mamok, Agus Prawit dan tentu aja Baron. "Hellooo...!" "Inilah malaikat-malaikat penghiburmu, Putri Tidur...." Mamok jadi komandan. "Pada ngapain, nih? Kok tumben kompakan di malem Minggu. Pada nggak punya acara sendirisendiri?" "Sekali-sekali, Bu. Ngadepin gacoan mulu juga bosen. Sekali waktu, kita merdeka," kata Ida. Popy menyerah sekaligus menghindar. "Ya udah, silakan bikin minum sendiri-sendiri dan cari kesibukan. Mau baca boleh, mau nonton VCD juga nggak dilarang, mumpung semua lagi pergi. Kamu bawa koleksi kamu, Yu? Aku sendiri masih ingin baca komik." Wahyu menggeleng. "Acaranya nggak gitu, Bu. Kita keluar. Ini surprais karena Adek mau traktir 15

kita." "Lukisanmu jadi laku, Dek?" tanya Popy sambil menaikkan kacamatanya. "Yap. Akhirnya ibuku sendiri yang beli, buat dipajang di kantornya. Lumayan, kan?" Popy menatap Adek dengan iba. "Baguslah kalo gitu. Awal yang bagus, karena aku yakin kelak lukisanmu yang lain akan dikoleksi para konglomerat." "Amien...," sambut yang lain. "Okelah," Popy bangkit dan meraih jaketnya. "Sebenarnya aku lagi males keluar rumah. Lagi pengen ngerampungin baca. Tapi kalo demi merayakan awal kesuksesan Adek, ayolah...." "Kamu nggak mandi dulu, Pop? Kusut banget kamu, kayak belum disetrika aja." Enya protes. "Aku udah mandi." "Kapan?" "Tadi pagi. "*** Mereka sepakat nongkrong di WTS alias Warung Tenda Semanggi. Sembari ngecengin artis-artis, siapa tahu bisa ngobrol apalagi ngedapetin tanda tangannya. Karena mobilnya cuma satu, terpaksalah mereka berdesak-desakan di minibus-nya Baron. Nggak apa-apa, malah anget (plus keringetan karena nggak ber-AC... hihihi). Cuaca Metropolitan lagi ceraaah banget. Seger dan... entahlah, menurut rasa Popy, malam ini kok semuanya serba romantis aja. Dan Popy melamun lagi selama di perjalanan. Untung yang lain nggak curiga, karena sibuk tertawa oleh joke-joke yang dilontarkan Adek dan baron. Setibanya di kawasan Semanggi, Baron langsung menuju tempat parkir. Pada saat hendak masuk di arena parkir, tiba-tiba Baron mengerem mobilnya dengan mendadak karena tahu-tahu ada sepasang manusia yang melintas di depannya. "Hei! Itu mata atau kutil? Liat-liat dong, kalo jalan! Ini jalan milik rakyak banyak, bukan jalan kalian sendiri!" Baron berkoar sok galak sambil mengeluarkan kepalanya lewat jendela. Sepasang penyeberang itu kontan berhenti dan menoleh. "Hai?!" "Hei?! Ramayana, kan?" Dug! Kepala Popy terbentur kaca, karena secara refleks dia ingin melongok ke luar. "Baron? Baron, kan?" Cowok itu berseru lega. "Ah, sialan kau!" Baron keluar dan meninju pundak cowok itu pelan-pelan. Popy sudah membuka jendela dan melongok ke luar. O, My Dear God! Cowok itu memang Rama. Lalu siapa cewek yang digandengnya itu? Popy menegaskan pandangannya. Siapa cewek ayu berrok mini yang kini bahkan menggelendot manja di pundak Rama itu? Ampun mesranya! "Sama siapa?" terdengar suara Baron. "Komplit, kayak bakso. Semua ada. Kamu mau siapa?" Popy gemetaran. "Mamok ada juga?" Popy langsung lemes. "Ada. Ketiduran, kali. Kalian mau gabung?" Rama segera menggeleng, ketika cewek ayu di sebelahnya terang-terangan menarik lengannya. "Otre, kalo gitu. Selamat bermalam Minggu, ya...." "Sori ya, Bar. Aku yang meleng, bikin kamu gusar." "Sori banget, saya... saya nggak sengaja...," gumam Popy menyambung ucapan Rama. "Kamu ngapain sih, Pop?" Ida menyikut Popy. 16

"Ups! Nggak apa-apa. Itu Rama, kan?" "Iya, sama gebetannya 'kali. Cakep banget, tuh. Kamu nggak ingin menyapa doski?" "Ngapain!" "Idih, kok sewot. Cemburu, ya?" "Yeee... emangnya Rama itu siapa?" Popy bener-bener sewot. Baron telah kembali ke belakang kemudi dan memarkir mobilnya. Dengan nggak kentara, Popy masih sempat merhatiin pasangan itu. Di mana tangan cowok cool itu? O-ooo, di pinggang cewek itu! Demit! Popy mengumpat keras. Untung cuma di dalam hati. Setelah kejadian itu, Metropolitan mendadak sangat nggak romantis lagi. Semanggi yang nyaman terasa jadi sumpek dan reseh. Stik kakap yang biasanya mampu menggoyang lidah jadi serasa combro basi. Serba nggak ngenakin, serba pengen cepet-cepet pulang. Tapi Popy kudu toleran. Dia berusaha nggak mengurangi kegembiraan dan kebanggaan Adek, meski sebenarnya hatinya terluka cukup parah. Kasihan.... *** Tengah malem teng Popy sudah kembali ke rumah. Bo dan Nyo ternyata belum pulang. Bik Ipah memberi laporan, barusan Tuan dan Nyonya nelpon, bilang kalo mau sekalian nonton midnight. "Jangan-jangan ortu Non lagi mengalami puber kedua...," kata Bik Ipah. Popy lagi enggak napsu menanggapi. Dia justru bersyukur bisa sendirian dan bebas ngapa-ngapain. Maka sepeninggal Bik Ipah, Popy segera membongkar lemari kecil Bo dan mengobrak-abrik koleksi kaset tuanya, yang konon mirip-mirip sama yang dikoleksi Wahyu. Setelah bongkar sana bongkar sini, akhirnya ketemulah yang dia cari. Dibawanya kaset tua itu ke kamar. Sesaat kemudian Bik Ipah yang tidur di dekat pintu karena menunggu pulangnya Tuan dan Nyonya, terpaksa menyumbat telinganya dengan bantal karena dari kamar Popy terdengar lagu yang cukup syahdu tapi dipasang sangat kenceng. Keras banget. Tembang tua milik kelompok Queen. Jealousy look at me now jealousy... you got me somehow, you give me warning took me by surprise.... Kasihan. Popy pasti lagi merana didera cemburu. Friend, ayolah coba kita intip apa yang terjadi di kamar itu. Ternyata Popy telah tertidur lelap. *** (Makanya, jangan suka kebablasan. Tapi, menurut kalian, apa mungkin kejadian kayak itu bikin tokoh kita patah hati? Enggaklah ya. Percayalah, besok pasti kita akan ketemu lagi sama Popy yang tegar. So pasti yang funky en junkies pula).

17

BAB 5

MUSIBAH ATAU HADIAH? "Pop!" Popy menengok. Pudy, anak kelas dua itu, berlari kecil ke arahnya. "Ssst...," Pudy memberi isyarat hendak membisiki Popy. Popy segera ingat akan cowok yang satu ini. "Ada apa?" Popy terlambat menghindar. Pudy mendekatkan mulutnya ke kuping Popy dan berbisik: "Nanti pulang sekolah nebeng kamu, ya?" "Apa?!" Popy malahan berteriak. "Pulang nanti aku bonceng kamu." "Gitu aja pake bisik-bisik. Kirain mau ngebocorin rahasia negara." Pudy cuma meringis. Dia nggak sadar tapi susah buat ngilangin kebiasaan. Gara-gara kebiasaannya selalu bisik-bisik, dia dijuluki PBB alias Pudi Bisik-bisik. Padahal setiap kata atau kalimat yang dibisikkannya itu biasa aja. Nggak ada yang rahasia-rahasia amat. Mungkin dia suka bisik-bisik cuma strategi agar dia bisa mencium aroma kuping lawan bicaranya. "Gimana, Pop?" "Gimana apanya?" Pudy siap-siap untuk berbisik lagi, tapi Popy buru-buru mengelak. "Boleh aku bonceng kamu?" "Bonceng di mana? Sepedaku nggak pake boncengan." "Aku yang kayuh, kamu duduk di pipa depan, atau di stang." Si Kacamata melotot. Terbayang adegan akrobatik pake sepeda. Atau romantisme pacaran ala Galih dan Ratna? Idih, Popy langsung nggak napsu. Nggak kebayang dia yang mungil berboncengan sama Pudy yang badannya tinggi gede item kayak gorila. Cakep sih cakep. Tapi bagi Popy, tipe cowok macam Pudy ini emang nggak pernah masuk hitungan. Lagian, tokoh kita nggak begitu akrab sama Pudy, kecuali karena Pudy cukup akrab sama Mamok-lah, Popy ngerti bahwa diamdiam Pudy naksir dirinya. Untungnya Pudy nggak punya keberanian buat berterus-terang. "Ngapain juga bonceng sepeda. Bukannya lebih enak naik bis kota?" "Aku pengin punya pengalaman lain, sama kamu." "Enggak lah, ya.... Enak aja." "Pop...." "Hayo!" bentak Popy. "Kalo kamu mau bisik-bisik lagi, aku teriak minta tolong. Biar dikira kamu mau perkosa aku." "Sepedamu di warungnya Salepo, kan? Nanti pulang sekolah aku tunggu kamu di sana." "Nggak usah! Jangan! Ban sepedaku kempes." "Ah, kamu...." "Bener! Sumpah! Kebetulan tadi pagi ban sepedaku kempes. Nanti terpaksa aku tinggal di kafe. Aku terpaksa pulang naik bis kota." Pudy menatap Popy penuh rasa kecewa dan nggak percaya. Si Kurus item kita berlagak pilon aja. *** Ketika Popy baru aja menuntun sepedanya dari samping Kafe Salepo, dia mendadak menjerit kesal. 18

Ban belakang sepedanya kempes.. "Pak Salepo!" Popy menjerit kuat-kuat. Salepo tergopoh-gopoh mendatangi kostumer kesayangannya itu. "Ada apa, Neng Pop?" "Siapa yang kempesin ban saya?" Pak Salepo berjongkok dan nekat memijit ban yang udah jelas-jelas kempes itu. "Siapa?" "Bukan saya." "Iya, siapa?" Pak Salepo menggeleng. "Kali emang kempes sendiri. Kena paku atau apa." "Pasti Pudy. Pak Salepo tadi liat Pudy? Temen Mamok yang segede Kingkong itu? Yang hobinya bisik-bisik?" Gelengan kepala lagi. Popy langsung panik. Nanti jam dua 'tet' dia harus masuk kursus Bahasa Jerman dan hari ini ada test. Rencananya pulang sekolah dia langsung ke tempat kursus. Maka diputuskannya untuk meninggalkan sepeda di tempat Pak Salepo, sekalian minta tolong untuk ditambalin. Salepo yang baik hati udah barang tentu menyanggupi permintaan itu. Maka adegan berikutnya adalah Popy yang berjalan gontai ke halte bis kota, bergabung sama anakanak Bintang Kejora yang lain. Tapi baru aja Popy tiba di halte itu, sebuah sedan yang sporty berhenti tepat di depan hidungnya. Di belakang stir terdapat seraut wajah manis, Olive anak kelas dua yang barusan menang lomba ballet. Di sampingnya, yang tengah melongokkan kepalanya ke arah Popy adalah Pudy. Popy mau ngamuk tapi tak berdaya. "Hello, Girl...! Ternyata kamu nggak bo'ong. Ban sepedamu emang bocor, ya? No problem. Ternyata naik sedan lebih adem. Mau ikut?" "Go to hell, Pud!" Pudy terkekeh lalu memberi isyarat agar Olive menjalankan mobilnya. Popy mau ngamuk tapi tak berdaya. Dia bersumpah akan pergi ke gunung dan menimba seribu jurus sakti demi membalas dendamnya kepada Pudy. Sebuah motor bebek butut berhenti. "Kenapa sepedamu, Bu?" Mamok mematikan motornya. "Kempes, Mok. Apes aku hari ini." Sebuah bis kota menepi dan anak-anak Bintang Kejora pun berebutan untuk naik. Popy yang udah bergerak disambar Mamok. "Bonceng aku aja." Popy menatap bebek butut itu sampai kacamatanya melorot. "Motormu sanggup nganter aku sampai ke tempat kursus?" "Pelecehan! Ngapain ke sana? Nggak pulang dulu?" "Mana sempat?" kata Popy mirip iklan. "Jam dua 'tet' ada test. Mau nganter sampai sana?" "Okelah, Bu." Popy udah naik di belakang Mamok dan langsung mencium aroma kombinasi apek-asem-tengik dari badan Mamok yang keringatan. Bau badan Mamok emang aduhai banget, kayak pasar Inpres. Tapi apalah daya jika lagi butuh. Popy harus tahan. Satu kali. Dua kali. Tiga, empat, lima... sepuluh kali Mamok gagal menghidupkan mesin motornya, Popy makin cemas. "Dorong, Pop!" "What?!" 19

"Dorong!" Dengan tergesa dan nggak sempat protes, Popy turun dan langsung mendorong motor butut itu kuat-kuat. Begitu agak kencang, Mamok langsung memasukkan gigi versneling untuk menghidupkan motornya, dan... ngiiik! Motor berhenti, mesin nggak mau hidup. "Dorong, Pop...!" "Again?" Popy nurut. Di kepalanya terbayang puluhan soal yang udah menunggu. Dorong lagi, dan hasilnya cuma keringatnya bercucuran. "Motor jeleeeeek...!!!" Popy menjerit histeris. Mamok mengangkat sadel dan membuka tutup tangki bensin. "Pop..., kamu punya duit goceng?" "Apa?" "Empat rebu juga nggak apa-apa. Bensinnya abis, nih." Popy menatap Mamok penuh kebencian. Mau rasanya dia menelan Mamok bulet-bulet. Popy bukannya mencari recehan, melainkan tengok kiri-tengok kanan nyari taksi. Ketika dari arah sekolah dilihatnya sebuah mobil dengan driver berseragam Bintang Kejora, tanpa pikir panjang Popy melambai-lambaikan jempolnya. Sedan itu berhenti. Tanpa pikir panjang dan tanpa mempedulikan protes Mamok, Popy mendekati pembawa sedan itu. "Tolong anter saya, ya...?" "Kamu anak kelas satu?" Cowok itu menatap Popy dari balik kacamata gelapnya. "Saya Popy. Popy yang terkenal itu, lho. Kamu nggak kenal saya?" Cowok itu menggeleng. "Kamu mau ke mana?" "Ke Santa." "Ayolah. Kebetulan saya melewati daerah itu." "Makasih sebelumnya...." Popy tanpa pikir panjang langsung masuk ke mobil yang duiiinginnya kayak kulkas itu. "Kamu tinggal di Santa?" tanya cowok itu setelah mobil berjalan. Popy sempat menjulurkan lidahnya ke arah Mamok. "Nggak. Ikut kursus, tempatnya di Santa." "Kursus apaan? Memasak?" "Bukan. Kursus merajut." "Kamu lucu." "Kamu juga." Cowok itu memasang kaset ke stereonya. Lagunya Joshua. Popy mendelik. "Kamu kelas satu, ya?" Popy mengangguk. "Hmmm, ternyata anak kelas satu cakep-cakep, ya." Popy agak bingung dengan ungkapan itu. Ke mana arahnya? "Kamu kelas tiga?" "Kelas tiga. Kenapa?" "Nggak apa-apa. Penghuni SMA Bintang Kejora emang banyak." "Oooo...." "Kamu nggak punya kaset lain, kecuali lagu anak-anak?" "Di sini nggak banyak. Kalo di rumah, lumayanlah." Cowok itu mengulurkan tangannya, membuka laci. Dan Popy langsung menelan air liur begitu melihat laci itu. Ada belasan kaset dan CD yang 20

semuanya serba Nirvana. Popy mau menjerit-jerit girang dan berkicau bahwa koleksi cowok ini hampir sama dengan koleksinya di rumah. Tapi reaksi itu buru-buru ditahannya. Dia nggak mau dianggap mengada-ada. Maka yang dilakukan Popy cuma mengambil satu CD album Incesticide, lalu terdengarlah tembang Dive. Popy hapal betul dengan lagu berdurasi 3 menit 53 detik itu. Dia pun ikut berserak-serak kecil. "Kamu hapal?" Cowok itu kagum. Popy terus ber-Nirvana. Silver, lalu Stain. Popy merem-melek. Mobil bagus yang dingin, stereo keren dan lagu-lagu yang asyik punya. Cihuy banget dah. O-ooo, Popy jadi mikir ke belakang lagi. Untung ada Pudy yang brengsek itu. Untung ada Mamok yang senantiasa bokek. Kalo udah seperti ini, semua jadi serba menguntungkan. Jadi, kejadian hari ini musibah atau justru anugerah? Popy nggak perlu mencuri-curi lirik lagi. Dia yakin seratus prosen, cowok di belakang kemudi ini emang keren total. Kiyut setengah hidup. Baron atau Ramayana sekali pun jelas lewat jauh dibanding dengannya. Bersembunyi di mana makhluk keren ini selama ini, sampai-sampai lolos dari perhatian? Tapi sodara-sodara, yang namanya kenikmatan emang biasanya cuma sekejap. Tahu-tahu mobil berhenti tepat di depan tempat kursus. "Di sini, kan?" "Yap!" Popy turun dengan cepat. Cowok itu melempar senyum manis dan tulus ketika Popy say thank you. Dengan stil cuwek, Popy melangkahkan kakinya dan nggak nengok-nengok lagi. Tengsin dong kalo keliatan napsu. something in the way... uuuuhhh... something in the way.... Dendang Popy terhenti oleh bunyi klakson. Tokoh kita merasa punya keharusan untuk menengok tanpa harus mokal. Ternyata cowok itu masih menatapnya. Melambaikan tangan dengan manis dan setelah itu barulah berlalu. Ketika yang tertinggal hanyalah deru suara knalpot yang kemudian menghilang, barulah Popy sadar dan berpikir: Siapa cowok itu? Kelas 3 apa? Namanya siapa? Tinggalnya di mana? Wah, Popy nyeseeeel banget. Dia emang suka lupa diri kalo udah dengerin lagu-lagunya Nirvana. *** (Siapa cowok asyik itu? Anak dari planet mana? Sabar aja. Siapa tahu di babak berikutnya doski udah nongol lagi. Panteng terus, di... ya! Heh, kayak dengerin Radio Prambors aja, ya?).

21

BAB 6

KECIL-KECIL UDAH.... Sambil menyanyikan lagu lawas Stay The Same-nya Joey McIntyre, Popy keliatan semangat banget melakukan gerakan sapu bersih. Entah mengapa hari ini Si Kacamata kumat lagi hati baiknya. Melihat cucian Bik Ipah begitu menggunung, Popy jadi kasihan. Makanya dia rela nggak ikutan jogging bareng Bo dan Nyo. Popy milih tinggal di rumah dan ngebiarin Guruh yang nemenin beliau berdua. Popy pikir dengan menyapu dan mengepel lantai, menggantikan tugas Bibik, keringatnya bakalan keluar juga. Sehat juga. Capeknya juga nggak jauh-jauh amat sama jogging. Popy nggak pengen sirik-sirikan. Makanya kamar Guruh pun nggak luput dari gerakan sapu bersihnya. Kamar guruh emang ruang paling jorok plus berantakan dibandingin ruang lain di rumah ini. Gudang pun jauh lebih rapi. Meski awalnya mencak-mencak, akhirnya Popy bertekat untuk merapikan seisi kamar Guruh. Biar rapi dan enak diliat, dan siapa tahu nanti dicontoh sama Guruh. Maka sambil terus ber-Stay The Same, Popy mulai merapikan baju-baju Guruh yang tersebar di lantai dan di atas kasur. Menata sepatu-sepatu kets itu di tempatnya. Merapikan kaset dan CD, juga buku-buku pelajaran yang berserak di atas meja. Selembar kartu pos menarik perhatian Popy. Kartu Pos itu bergambar sekuntum mawar merah bertuliskan UNE ROSE DE GENEVE. Popy yang pada dasarnya tergolong em-em-te alias manusia mau tahu langsung membaca tulisan cakar ayam di kartu pos itu. Semula Popy mengira kartu itu dikirim oleh seorang cewek yang pasti ada apa-apanya sama Guruh. Popy pikir dia mendapat materi baru buat meledek adiknya. Tapi tokoh kita jadi kecele ketika membaca alamat pengirim kartu itu. Yonas Kristianto, Geneve Swiss. Kartu pos itu asli dikirim dari Geneva. Stempel posnya terbaca 1200 Geneve 2 Exp.-Lettres. Popy makin bersemangat membaca berita singkat itu. My best friend Guruh, Geneva kini makin panas, relatif kumuh. Orang-orang masih bicara pagelaran Pink Floyd yang luar biasa spektakuler di lapangan St. Yakob Basel . Koran-koran memuat pernikahan Jacko. Lagu I Swear keluar dari Top 10 diganti Crazy - Aerosmith. Aku tadi dari Bern. Ke KBRI urus pasport 17-an. Nanti ke Bern lagi. Upacara + makan-makan. Ruh, tengokin arwana-ku, ya... Salam Pramuka! Tiga kali Popy membaca ulang berita pendek itu. Bukan soal Swiss. Bukan soal luar negerinya. Tapi menurut Popy, kalimat-kalimat itu kereeen banget. Tapi juga bikin mumet. Singkat tapi bagus. Mungkin pengirimnya berbakat jadi penulis atau pengarang. Siapa Yonas ini? Kenapa selama ini Guruh nggak pernah cerita atau ngobrolin temannya yang kecil-kecil udah tinggal di Swiss? Apakah manusianya juga sekeren bahasanya? Wuihhh, Popy penasaran banget. *** Guruh yang masih keringetan langsung diseret Popy ke kamarnya. "Kamar Tuan udah hamba bersihin. Udah rapi jali dan wangi. Sekarang aku minta upahnya!" "Lagi? Kemarin udah mie pangsit. Apa lagi?" Guruh diam-diam puas banget melihat kondisi kamarnya. 22

"Aku cuman mau kamu ngejelasin ini!" Popy menunjuk kartu pos UNE ROSE DE GENEVE yang masih terhampar di atas meja itu. "Kamu membacanya?" Si Bongsor itu menatap kakaknya. Sedikit protes. "Cuman gitu aja, nggak usah marah deh. Bukan surat rahasia, kan? Cowok juga." Guruh ternyata terdiam. Agak lama. "Siapa sih, Yonas? Anak mana? Temen sekolahmu? Temen SD? Sekarang masih di Geneva?" "Yonas...," gumam Guruh. Matanya menerawang ketika menimang-nimang kartu pos itu. "Dia salah langkah...." "Kayak apa sih, manusianya?" Guruh membuka laci dan menyerahkan selembar foto seukuran kartu pos. Begitu memelototi foto itu kontan Popy menjerit. Cowok kecil itu cakep banget. Biar cuma berseragam pramuka, dia lebih cakep dibandingin sama Jack Lloyd, bintang cilik pemeran Anakin Skywalker dalam Star Wars, The Phantom of Menace. Dia berpose membelakangi menara Pizza. "Dia sempat jalan-jalan ke Itali bahkan Jerman. Asyik, kan?" "Asyik sih asyik. Tapi...." Popy langsung lemes. Abis, masih keciiiil, Coy! "Itu fotonya lima tahun yang lalu." "Hah??? Syukurlah. Sekarang udah gede, kan? Tapi kartu posnya itu? Doi masih tinggal di sono? Jauh amat!" Guruh tersenyum tipis. Geli juga melihat kelakuan kakaknya. Guruh sering berpikir, ada bagusnya juga kalo Popy segera punya pacar. "Kamu itu gimana sih, Pop? Masak nggak ngerti kalo kartu pos itu dikirim tepat lima tahun yang lalu? Kartu itu aku keluarin lagi karena hari ini umurnya pas lima tahun." Popy merebut kartu pos itu dan memelototi tulisan ceker ayamnya. Biasa, kalo lagi napsu begitu, kacamatanya pasti melorot jatuh ke hidung. Memang benar. Di dekat tanda tangan Yonas terdapat angka 15-8-1994. Pantas aja beritanya tentang Perkawinan Michael Jackson dan konser Pink Floyd. Udah usang. "Itu kartu pos yang pertama dan terakhir dari Yonas. Dia anak yang beruntung... tapi...." "Yonas?" Popy jadi mikir lagi. "Yonas yang mana?" "Temen SD. Dia beruntung dikirim ke luar negeri selama tiga minggu. Asyik sekale ya, bisa jalanjalan di Eropa." "Acara apa?" "Pramuka. Pertemuan Pramuka sedunia!" "Oooo... keren." Popy sampai monyong mulutnya karena kagum. "Anaknya cakep. Paling keren di antara yang lain. Pinter, keterampilannya segudang. Doi pramuka sejati." "Percayaaaa...." Popy sekali lagi mengagumi foto bocah keren di tangannya. Seragam Pramukanya bikin dia terlihat gagah. "Tapi... sekarang dia masih temenmu, kan?" Guruh mengangguk. "Satu sekolah? Kok nggak pernah kamu ajak ke sini? Kenalin dooong...!" Popy merengek. "Doi masuk SMP Teladan." "Lalu hubungan kalian putus segitu aja?" "Dia banyak berubah, sejak orangtuanya bercerai." "Ah?" "Kami jarang ketemu lagi. Terakhir ngobrol di rumahnya setahun yang lalu, atau lebih. Dia... dia masih gemar memelihara arwana. Ikan itu sahabat tersetianya...." Suara Guruh tergetar. "Aku mau jadi sahabatnya! Anaknya asyik, kan?" Popy bersemangat. Nggak apa-apa kan , kalo pacaran sama cowok yang lebih muda? (Tuh, Si Popy emang suka mikir yang jauh-jauh!). 23

"Pada dasarnya Yonas anak yang baik. Rasa setia kawannya tebel banget. Sayang lingkungan keluarganya seperti itu. Orangtuanya bercerai saat dia masih kelas 1 SMP. Kamu bisa bayangin seperti apa rasanya, Pop?" Popy menggeleng. "Pasti sakit sekali...." "Yonas hancur. Dia sangat terpukul. Sayangnya waktu itu kami mulai berjauhan karena beda sekolah. Andaikata kami masih selalu ketemu, mungkin aku bisa mencegahnya. Aku nggak tau sama sekali...." "Kenapa?" "Yonas mulai kenal narkoba. Ngisep, nyuntik atau... nggak tau!" Guruh mendadak geram. Popy terhenyak. "Kecil-kecil kok udah kecanduan...." "Orangtua brengsek itulah yang membuat anak baik itu terjerumus!" "Boleh jadi orangtuanya emang brengsek, Ruh. Tapi kalo mental kita baik? Kalo iman kita kuat? Kalo kita bisa nyalurin kekecewaan dengan positif?" "Entahlah, Pop.... Aku jadi sedih mengenang Yonas." "Aku ingin berkenalan dengannya." "Lalu?" "Kali aja bisa ngasih solusi. Biar dia nggak keterusan rusak. Kali aja belum terlambat." Guruh menghela napas panjang. "Popy... Popy, kamuuu ini suka jadi pahlawaan, ya? Atau cuman ngeliat cakepnya?" "Hehehe...." Popy tertawa tengil. "Tapi bener, kok. Aku mau ngebantu dia kalo kamu mau ngenalin. Oke?" "Terlambat, Pop." "Ah, nggak ada kata terlambat untuk kebaikan." "Buat Yonas semuanya udah telat." "Emangnya manusia apa Yonas itu? Dari batu?" "Yonas udah tamat." "Ah?!" Popy terperanjat. "Doi lewat. Over dosis, dan dokter nggak bisa menyelamatkan napasnya. Yonas akhirnya meninggal. Kudengar kemarin Papa dan Mama-nya sengaja ketemu buat upacara seratus hari meninggalnya Yonas. Tadinya aku mau datang, tapi takut kalo di sana jadi nangis. Malu, Pop." Popy masih terpana. Lalu tercenung cukup lama. Alangkah tragisnya. Alangkah bodohnya. "Temenmu bukan anak pinter, Ruh. Dia bodoh. Bodoh!" Guruh hanya diam. "Dia mati muda dengan percuma. Alangkah sayangnya...." Guruh masih diam. "Ruh...." Guruh menatap kakaknya. "Kamu juga udah pernah nyoba-nyoba?" "Nyoba apaan?" "Ngisep cimeng. Atau nyuntik...? Atau... apa lagi?" "Nggak, Pop. Sumpah! Sumpah!" "Jangan coba-coba, ya...." "Enggak! Sumpah!" "Aku nggak mau kamu mati muda." Guruh tersenyum. "Kadang-kadang kamu naif banget, Pop." Popy menatap adiknya, tanpa tersenyum. "Kadang-kadang aku cemas sama kamu. Sama pergaulanmu. Sama gengmu yang suka tawuran itu. Rawan, sangat rawan...." 24

"Yonas adalaah pelajaran paling berharga bagiku, Pop. Jangan terkecoh sama pergaulanku, please ... Yonas jauh lebih cool dibanding aku. Dia justru penyendiri. Jarang bergaul, tapi malahan jadi begitu. Pergaulan bukan satu-satunya ukuran." "Baiklah. Kamu harus tetap mengenang Yonas." "Hari ini aku akan menengok makamnya. Anak cengeng itu gemar mawar merah, kayak perempuan." "Boleh aku nemenin kamu?" "Kita naik sepeda aja, ya?" "Otre." *** Ketika selesai mandi dan berdandan ala kadarnya, dari kamarnya Popy mendengar sebuah lagu dari kamar Guruh. So much trouble in the world... so much trouble in the world... Bless my eyes this morning The sun is on the rice once again We heard that thingss are going, anything can happen You see, you've been sailing on your evil trip Blees the thunder space-ship, building mines from reality. No care for you, no care for me.... So Much Trouble In The World. Popy tahu lagu itu. Mungkin lagu itu dijadiin jembatan yaang mempermudah Guruh mengenang sahabatnya yang udah lewat. Atau mungkin Guruh sengaja menemukan korelasinya, karena Bob Marley sang legenda reggae itu juga dibunuh oleh narkoba. Tragis memang. *** (Nggak cuma Yonas, nggak cuma Marley. Kurt Cobain juga. Jimi Hendrix, Jim Morrison, Janis Joplin pun idem. Kali juga salah satu sohibmu ikut-ikutan sia-sia. Pesan Popy: Stop the madness!).

25

BAB 7

BANYAK JALAN MENUJU KENAL Lagi nggak ada yang dikerjain, daripada bengong Popy iseng-iseng nyobain playstation-nya Guruh, main Grand Tourismo. Tentu aja tanpa sepengetahuan Guruh, karena Popy sendiri suka reseh ngeliat Guruh sering lupa waktu dan lupa belajar gara-gara keasyikan main. Popy suka nyinyir ngatain PS cuman buang-buang waktu percuma. Eh, nyatanya asyik juga. Begitu ngerasain tantangan buat menempatkan mobil balapnya di urutan terdepan, Popy jadi lupa daratan dan lautan. Lupa bahwa doi belum makan siang. Lupa bahwa dia sudah janjian nelpon Ida buat ngediskusiin pe-er kimia hari ini. Telepon berdering. "Angkat Biiik!" teriak Popy sambil terus menekan stik. Masih berdering. "Biiiiik!!! Telpon tuh!" Tetap berdering. Popy baru ingat, Bik Ipah lagi ke pasar buat ngeborong bawang putih. Ini atas daulat Nyo yang demen main spekulasi. Mumpung sekarang harga bawang putih lagi anjlok, buruan aja nimbun sebanyak-banyaknya. Popy khawatir, kalo semua yang punya duit punya pikiran kayak Nyo, bisa-bisa harga yang sekarang tiga ribu perak perkilo, minggu depan bisa melonjak jadi tiga puluh ribu. Yang untung akhirnya yang punya duit banyak juga. Petani tetap gigit jari. Sambil bersungut kesal dan segera ngelupain masalah harga bawang putih, Popy berlari ke meja telpon. Dia nebak: Pasti Ida. "Sori, aku keasyikan main PS, Da...." "Kamu ini gimana? Kalo udah janji mestinya harus ditepati. Aku ngerti kamu emang cantik, tapi jangan begitu caranya. Kamu nggak punya perasaan! Hatimu itu terbuat dari apa? Dari batu atau tanah liat?" Popy melongo. Kaget, takjub dan akhirnya ketawa sendiri. Yang nelpon bukan Ida, tapi suara cowok yang asing baginya. Cowok muda. Popy bisa dengan cepat ngebedain suara ABG dan suara dewasa. "Itulah kamu!" Suara cowok itu makin keras. "Kamu ngerasa menang, kan? Puas? Ketawa kayak Mak Lampir. Kamu ini cewek macam apa?" Popy kumat jahilnya. "Ya inilah saya, Boy. Salah sendiri, kenapa kamu datangnya terlambat." "Terlambat? Kamu bicara apa lagi? Sial!" "Siapa yang sialan? Kalo ngomong yang bener! Kamu bicara sama siapa?" Popy mulai anget. "Dasar cewek nggak tau diuntung. Ngaca dong! Ngaca!" "Ngaca ke dengkulmu itu!" Kraakghcx! Popy menaruh gagang telepon keras-keras. Sial amat siang hari bolong begini dapet telpon nyasar yang langsung ngata-ngatain. Tapi baru selangkah menjauhi meja telepon, kring terdengar lagi. "Kamu bener-bener nggak tau diri! Tunggu saatnya kamu akan ngerasain akibatnya. Kamu bakalan hancur!" "Takuuuuut...!" Popy membanting gagang telepon untuk kedua kalinya. Dia duduk, sengaja menunggu dering berikutnya. Dan dia udah nyiapin kalimat yang pasti dan asli bakalan bikin senewen penelpon ngawur tadi. Bener. Telpon berdering lagi. 26

"Semua pembicaraan anda telah terekam. Polisi dan pihak Telkom akan segera melacak lokasi anda... dan...." "Eh, Kacamata? Kamu ngapain?" Ampun, ternyata suara Ida. Merdu, khas milik penyanyi ganjen itu. "Aduh Ida! Kirain masih penelepon kacauw tadi. Mimpi apa aku semalem. Barusan aku diteror." "Buang aja ke laut. Jaman sekarang emang lagi trend-nya main teror lewat telpon. Eh? Emangnya kamu pengamat politik? Atau oposan?" "Aku sih oplosan, Da. Telor sama madu. Tapi bener, kok. Barusan ada cowok yang ngata-ngatain aku. Kasar." "Forget it aja, deh. Pop, aku nelpon cuma mau bilang pe-er kimianya kita omongin besok aja pagipagi di Kafe Salepo. Aku mendadak diajak latihan band sama anak-anak 56. Tumben, mereka butuh vokal. Siapa tau dapet job." "Lagakmu, kayak yang udah prof aja. Da, kamu mau nggak jadi penyanyi tunggal, dibayar...." "Di mana? Kapan? Berapa?" Ida antusias banget. "Di kamarku. Kamu digantungin dekat almari pakaianku, khusus meninabobokkan beta? Nyokap pasti bersedia bayar mahal." "Sial!" Pembicaraan selesai, telepon diletakkan dan... kring lagi. Popy beramah-tamah. "Selamat siang...." "Siang, malam, pagi, terserah! Pokoknya kamu harus bertanggung jawab!" Again! Suara ngaco itu lagi! "Tanggung jawab? Emangnya siapa sih, di antara kita yang berjenis kelamin cewek? Harusnya kamu, dong! Sebagai cowok, kamu yang harus bertanggung jawab atas kehamilanku ini. Kamu!" Suara cowok itu menghilang sebentar. Dalam hati, tokoh kita ngerasa puas banget. Nah, mumet kamu! "Halo...?" suara cowok itu terdengar bimbang. "Aku nggak mau ngegugurin janin di perutku ini. Dosa, Boy. Kita yang akan memikul dosanya. Kamu yang banyak, aku dikit." "Hallooo...?" "Halo-halo apaan! Kalo nelpon yang bener, Man! Nggak sadar kalo kamu sedari tadi salah sambung? Mabok kali, ya? Minumnya besok, maboknya sekarang. Payah! Udah, beta capek. Gokil!" Gagang telepon udah diletakkan. Begitu berbunyi lagi, Popy langsung mencabut kabelnya. Ngurus orang gila bisa ikutan gila. Mendingan main playstation lagi. Pura-pura jadi pembalap lagi. *** Sore harinya Popy ngebantu Bik Ipah nyiram kembang. Mawar, melati, semuanya indah. Popy nggak segan-segan ngebantu tugas Bik Ipah tanpa pamrih. Cuma sekali-sekali aja dia minta bagian sepuluh prosen dari gaji sebulan Bik Ipah. Hehehe.... Si Kacamata nyantai banget penampilannya. Cuma pakai oblong ketat dan celana pendek yang asal muasalnya dari celana jins yang digunting sendiri. Dengan busana seperti itu, Popy jadi makin terlihat kecil mungil. Imut, kayaak anak SD. Lagi asyik main semprot-semprotan, mendadak ada sebuah BMW menepi dan berhenti di dekat pintu pagar. Ah, paling juga orang mau nanya alamat, batin Popy. Begitu orang itu turun dari BMW-nya, Popy berbaik hati menyongsongnya. "Ada apa, Bang?" 27

Orang itu melepas helm-nya. (Lho? Naik BMW kok pake helm? Hehehe... sodara-sodara, BMW di sini adalah singkatan dari Bebek Merah Warnanya. Orang itu emang naik motor bebek). Dugaan Popy bahwa orang itu tukang ojek segera tertepis, manakala di balik helm itu ternyata terdapat seraut wajah yang lumayan... ancur. Tapi dari penampilannya jelas cowok itu anak sekolahan. Manusia itu nggak segera menjawab, melainkan menatap Popy dari atas ke bawah, lalu dari bawah ke atas. Dipelototi begitu, Popy kontan senewen. Maklum, celananya yang suwir-suwir itu emang kependekan banget. Paha Popy yang bersih jadi ke mana-mana. Belum lagi kalo dibawa nungging dikit, sebagian pantatnya pasti ikut ngerasain segarnya angin mamiri. Itu mata kok malahan jajan! "Mau apa?" tanya Popy ketus sambil memperbaiki posisi berdirinya. "Saya mau minta maaf sama yang tadi siang nerima telpon saya. Pasti kamu. Saya masih ingat suara kamu. Suara yang bagus dan cerdas." Popy tercengang. Orang gokil itu kini telah berada tepat di depan hidungnya. Mau cari mati? "Kamu? Kamu yang gila-gilaan tadi siang?" Popy memelototi cowok di depannya lebih seksama. Amboy, pake anting-anting! Melihat ekspresi 'nek' tokoh kita, cowok itu terlihat rada grogi. "Maaf, ya... setelah tiga kali hubungan, eh pembicaraan kita, saya baru sadar kalo salah sambung. Tadinya saya kira saya bicara sama... ah, malu saya." Duh, suaranya dimanis-manisin. Gayanya digenit-genitin. "Lain kali hati-hati!" Lalu Popy meninggalkan cowok yang masih berdiri merapat di pintu pagar itu. "Non, eh... kamu! Saya ke sini mau minta maaf soal telpon siang tadi. Sumpah, begitu sadar saya keliru, saya langsung mati-matian ngelacak alamat ini. Untung kakak saya kerja di Telkom." Popy nyureng. Mikir sebentar. "Bagus...! Itu namanya memanfaatkan jabatan." "Maafin saya, ya...." "Saya maafin. Saya lupain. Udah?" "Ngggnggg...." Bedengung kayak tawon. Pasti ada maunya. "Apa lagi?" "Nggg... kenalan boleh, nggak?" Tuh, ujung-ujungnya minta kenalan. "Nggak!" "Boleh ngobrol dulu?" "Buat apa? Ngerti kan, saya lagi sibuk?" "Kayaknya... kita pernah ketemu, ya? Di mana? Kamu sering ke Pondok Indah?" Popy jadi kesel banget. "Kuno! Yang itu kuno! Temen-temenku udah sering pake cara sok pernah ketemu kayak ini. Kuno! Kalo yang tadi siang sebenernya udah lumayan canggih. Tapi kamu tergesa-gesa. Sayang sekale, Boy!" "Saya nggak ngerti. Apa salahnya kita kenalan dulu?" Cowok itu pasang tampang memelas. "Ke laut aja!" Popy berteriak keras ke Bik Ipah yang sama sekali nggak tau berdiri, eh, duduk persoalannya. "Bik Ipah, konci pintu pagar!" Popy nggak ingin berpaling lagi. Dia hanya mendengar sesaat kemudian setelah Bik Ipah menggembok pintu pagar, suara BMW alias Bebek Merah Warnanya itu berlalu. Popy nggak mau ambil pusing lagi. Dia kembali semprat-semprot, nunggang-nungging dengan bebasnya. Menari-nari, menyanyi asal jadi. 28

Cowok payah... cowok payah ke laut aje! Cowok yang kelewat akal, ke laut aja! Kalo dipelihara, lama-lama bisa bahaya. *** (Popy nggak suka dikadalin. Tentu aja dia lebih suka ngakalin daripada diakalin. Manusiawi, kan? Tapi, jangan-jangan Popy jadi skeptis begitu hanya gara-gara cowok itu ber-BMW alias Bebek Merah Warnanya, hihihi! Oke, lain kali aja kita tanya langsung ke doski).

29

BAB 8

BELAJAR (TIDAK ) JATUH CINTA Kalo Bu Heni (guru Bahasa Indonesia yang justru bahasanya amat amburadul itu) lagi ngajar, seisi kelas pasti lemes. Abis, emang nggak ada menariknya pelajaran Bahasa Indonesia kalo gurunya nggak canggih. Terlalu banyak kaidah yang harus dimengerti dan malah bikin pusing. Konon akhirnya banyak teori yang nggak kepakai dalam aplikasi sehari-hari. Apalagi Bu Heni selalu kebagian jam-jam terakhir, di mana anak-anak udah pada capek dan ngantuk. Mamok diam-diam menarok komik di pahanya. Ida ngapalin teks lagu When You Believe. Agus Prawit ngisi TTS bersebelahan sama Enya yang sibuk mengikir kukunya. "Kamu punya VCD Tarzan, Nya?" tanya Agus. Enya mengangguk. Di sudut, Baron rupanya udah bener-bener ketiduran. "Siapa sih yang nyanyi untuk Tarzan?" tanya Agus lagi. "Berapa kotak?" Enya balik tanya. Agus Prawit melongo. Sementara itu Popy kelap-kelip, lagi bertahan mati-matian untuk nggak mengikuti jejak Baron. Adek yang duduk persis di samping Popy seperti biasa asyik bikin sketsa. "Ssst, jangan banyak gerak, Pop." Adek berbisik. "Aduh, jangan lagi deh, Dek. Kemarin kamu gambar aku, jadinya lebih mirip Jennifer Love Hewitt. Emang mirip? Enggak la ya... cakepan aku dikit, banyakan dia." Adek nggak nanggapin. "Kok kamu sekarang kurusan, Pop?" "Kapan kamu liat aku gemuk?" Popy menoleh. "Tapi hari ini kamu keliatan makin kurus." "Yang bener aja." "Kamu mikirin apa? Atau kurang makan?" "Biasa aja. Jangan mengada-ada." "Coba kamu gemukan dikit, Pop." "Lalu kamu naksir aku?" Adek cuma senyam-senyum. "Makan vitamin, dong. Panjangin dikit rambutmu biar lebih cewek. Lalu...." "Kok kamu jadi ribut, sih?" "Aku pikir kamu emang lebih baik naik bis kota. Biar...." "Nggak item! Sebel!" sergah Popy. "Kamu diperhatiin kok nggak seneng." "Nggak!" "Emangnya cewek nggak suka diperhatiin?" "Tergantung...." "Kalo kamu, suka cowok item atau yang putih?" "Aku? Aku suka dua-duanya." Popy tertawa pelan. "Kemaruk. Tapi, ngomong-ngomong, cowok ideal menurutmu yang seperti apa?" "Tumben kamu nanya begitu? Kenapa, sih?" "Nggak boleh?" "Kedengarannya jadi janggal, karena kamu yang ngomong." 30

Popy melirik, dilihatnya mata Adek menerawang. *** Pulang sekolah, Adek membarengi Popy sampai ke Kafe Salepo. Ketika berjalan bersebelahan dengan Adek, Popy makin menyadari ada yang berubah pada diri sohibnya itu. "Kok hari ini kamu rapi banget, Dek?" "Lagi pengen aja." Pendek jawaban Adek. Kesannya ingin menghindari omongan berikutnya. Tapi Popy pantang menyerah. Adek mendadak rapi jali. Bajunya dimasukin, setrikaannya masih licin. Dan keliatan banget kalo Adek nyisir rambutnya. Biasanya, rambut yang semi gondrong itu dibiarin nggak tersentuh sisir. Popy harus mengakui, kalo mau rapi kayak begini, Adek sebenarnya lumayan keren juga. "Kamu jadi cakep," Popy nggak mau menyimpan pujian. Kata ortu, pujian yang tulus itu mendapat pahala. Adek belingsatan dibilang begitu. Mukanya merah-padam karena malu. "Cewek mana yang bikin kamu berubah?" "Nggak ada." "Pasti ada." "Nyokap." "Bo'ong! Aku sumpahin kamu nggak dapet jodoh sampai tua kalo bo'ong." "Nyokap yang atur aku." "Bo'ong lagi. Kamu nggak bakat nipu." Adek tersenyum misterius." Popy jadi sebel. Biasanya Adek suka terus-terang dalam segala hal. Cewek mana yang bisa ngatur Adek? Sehebat apa dia sampai bisa meluluhkan Adek yang terkenal ndablek ini? "Pop...?" Adek nampak ragu-ragu. "Apa seeeh?" "Cowok ideal menurutmu itu bagaimana?" "Nggak mauuuu! Nggak mau jadi narasumber! Nggak mau jadi bahan penelitian!" Popy lari. *** Tokoh kita yakin seyakin-yakinnya bahwa hanya cewek istimewa yang bisa bikin Adek berubah. Popy meyakini bahwa Adek positif jatuh cinta. Dan orang yang bisa memberi info soal itu cuma Wahyu. Di antara Kelompok Delapan, Adek dan Wahyu emang sejoli lantaran kesamaan minat di soal musik. "Kamu peka, Pop. Aku nggak bisa main rahasia-rahasiaan biar pun Adek minta aku buat tutup mulut. Cewek itu namanya Raras." "Raras? Anak planet mana?" "Bintang tamu di band-ku. Vokalis. Ceritanya, sekali waktu aku ajak seniman kita ke studio latihan. Aku kenalin ke penyanyi cantik itu. Eh, ternyata justru Raras yang ngebet. Nitip salam terus. Tadinya Adek cuwek bebek. Tapi lama-lama jadi pengen ikut latihan nge-band. Aku sih seneng baget. Adek main bass-nya lumayan. Nah, bagus juga kalo akhirnya mereka jadi deket. Soalnya... kamu ngerti sendiri, kan? Adek tuh anaknya kelewat cool. Ngalah-ngalahin kulkas aja," papar Wahyu panjang-lebar. "Aku juga ikutan lega. Tadinya aku khawatir doi naksir aku." Wahyu tertawa ngakak mendengar ke-GR-an Si Kacamata. "Abis, doi jadi merhatiin aku terus. Nggak taunya beta cuma kelinci percobaan." 31

Sejak mendengar penjelasan wahyu, Popy nggak lagi reseh mikirin perubahan Adek. Dia malah bersyukur punya temen yang makin hari makin keren karena mau ngurus badan dan penampilannya. Dan Popy pun jadi sukarela jadi narasumber dan kelinci percobaan Adek sambil tetep pura-pura nggak ngerti setorinya. *** Tapi perubahan pada diri Adek ternyata nggak berlangsung lama. Hari ini Popy kembali menemui Adek yang kusut, yang kucel, yang acak-acakan. Yang ngebiarin baju leceknya berkibar-kibar di luar celana. Yang menyisir rambut semi gondrongnya cuman dengan jari. Popy udah berusaha mancing-mancing, tapi Adek bawaannya jadi makin diem. Wajahnya keruh dan memelas. Bosan pancing-memancing, akhirnya Popy to the point aja. "Kamu putus sama Raras?" Adek kontan mencak-mencak. Yang disalahin Wahyu. "Wahyu cuma bilang apa adanya. Apa salahnya temen ikut hepi ngeliat kamu dapat sosotan cakep." "Cakep apanya? Orang tuh yang penting iner byuti-nya." "Wuih, canggih amat bahasa kamu." "Wahyu yang salah. Aku dendam sama Wahyu." "Kenapa?" "Tanya aja ke dia. Aku nggak mau ngomongin Raras lagi. Aku emang bodoh. Emangnya aku pungguk yang ngerinduin bulan?" Kok jadi gitu? Kok kayaknya tragis banget? Ada setori model apa? Sore-sore Popy menggenjot sepedanya ke rumah Wahyu, ngebela-belain rasa setia kawannya. "Ada apa Adek sama Raras?" Popy langsung melihat rasa bersalah di wajah Wahyu. "Ceritanya panjang, Pop." "Go on!" "Udah lama aku kenal Raras, sejak dia gabung di band. Sejujurnya aku yang pertama kali naksir cewek itu. Jujur lagi, aku pernah numpahin perasaan ke doi, tapi ditolak mentah-mentah lantaran Raras ngerasa kami nggak selevel. Raras tuh seleranya ketinggian. Borju banget. Kesimpulanku, cuma cowok tajir aja yang masuk perhitungannya." "Lha, kamu kan tajir juga. Tajir akal." "Okelah. Makanya aku akalin doi." "Karena patah hati? Karena cinta nggak kesampaian?" "Aku kenalin Adek ke Raras dengan embel-embel Adek tuh anak tajir banget, tapi suka undercover. Aku bilang, Adek tuh low profile. Nggak mau nonjol-nonjolin diri. Padahal bokapnya anggota MPR dari utusan golongan orang kaya." "Raras percaya? Emang ada utusan golongan orang kaya?" "Itulah begonya. Raras pasti nggak pernah baca koran." "Pasti cuma baca profil pengusaha sukses." "Maybe. Raras kena batunya." "Tapi Adek juga. Teganya kamu sama temen sendiri. Adek bisa hancur." "Raras akhirnya ngerti siapa Adek sebenarnya. Dan bisa diduga, Raras lantas mencampakkan Adek." "Teganya kamu, Yu. Adek bisa hancur...." Tiba-tiba aja Adek muncul di hadapan mereka tanpa didahului oleh tanda-tanda alam. 32

"Siapa yang ancur? Jangan nuduh, dong! Dengan tuduhan aja orang bisa masuk penjara, lho!" Wahyu dan Popy saling pandang. Merasa bersalah. "Panjang umur kamu, Dek," sapa Popy dan Wahyu seragam. "Aku udah nggak nyaman ati terus. Aku ngerti, kalian pasti kumpul buat ngomongin kesialanku." "Bukan kesialan, tapi pengalaman.... Jatuh cinta juga harus belajar," kata Wahyu sebelum disalahkan. "Pahit." Popy menukas tangkas. "Jangan buru-buru salah menilai." Adek duduk di lantai dengan santainya. Dia mengambil gulungan kertas dari saku bajunya dan menyerahkannya ke Popy. Popy menerima kertas itu dan membukanya. Gambar Spiderman yang lagi eksyen. "Ini cowok idaman kamu, kan?" "Tapi anaknya siapa? Bokapnya anggota MPR dari utusan golongan orang kaya bukan? Makasih ya, Dek?" Adek nggak marah diledek begitu. Malah tertawa ngakak. Popy mengajak Adek ber-toast tangan. "Jangan cengeng, Boy!" "Pasti dong. Emang bener, pengalaman mahal harganya. Dan jangan lupa, Wahyu sendiri juga mengalamin. Cuma be-be-te." "Apaan, tuh?" tanya Wahyu. "Beda-beda tipis." Adek dan Wahyu tertawa bareng, sama-sama getir. Popy juga merasa lega, melihat Adek kembali semula. Berkali-kali dia mengamati penampilan Adek. Rasanya emang bagusan kalo Adek tampil apa adanya seperti sekarang. "Enakan nggak usah pacaran. Nggak pake jatuh cinta-cintaan." "Gimana kalo kita kenalin Raras sama Mamok?" Tiba-tiba Popy kemasukan ide jahil. "Pasti seru!" koor Adek dan Wahyu. "Bilang aja Mamok keponakannya presiden." "Jangan! Menteri aja. Menteri yang korup." "Kok harus yang korup?" "Soalnya menteri yang jujur belum tentu kaya raya." "Begitu ya...? Tapi apa ada pejabat kita yang miskin?" "Ada nggak ya...?" Obrolan kacauw itu berhenti manakala Adek udah meraih gitar dan mulai menyanyi dengan fals. And it feels so bad sometime The way you loved me, loved me La la la la.... Popy dan Wahyu saling pandang. Sedikit heran. Tumben Adek nyanyiin lagunya The Moffatts. Setahu mereka, Adek benci banget sama boybands yang cuma ngandalin tampang cakep. Mereka nggak ngerti bahwa yang suka Until You Loved Me itu Raras. Rupanya Adek udah mulai ketularan selera Raras. Mudah-mudahan aja cuma soal lagu. *** (Emang enakan apa adanya. Nggak usah nipu-nipu. Yang paling gawat adalah kalo kita udah rela menipu diri sendiri. Iya, kan? Masak iya, kita harus jadi orang lain terus? Be your self, man!).

33

BAB 9

NAMANYA JUGA TEMEN Namanya juga temen. Makanya Popy mau-mau aja mengemban tugas dari Enya tanpa protes. Tokoh kita nggak ngerasa diperalat, meski jelas kali ini dia disuruh ini-itu sama Enya. Lagian tugas, atau tepatnya permintaan tolong itu, sama sekali nggak bikin berat. Si Kacamata cuma heran, kenapa Pion? Apa hebatnya cowok itu? Tampangnya jauh, penampilannya pun nggak masuk. Kenapa Pion? Popy nggak tega nanya banyak-banyak, karena doi khawatir dianggap ngelecehin selera Enya. Tapi daulat Sang Calon Artis tegas dan jelas: "Selidiki seluk-beluk Dion!" Arti sesungguhnya adalah: "Cari tau, Dion udah punya sosotan atau belom!" "Kamu naksir doi?" Enya yang jelita itu cuma mengangkat bahu. Nggak jelas apa maksudnya. Dion (Popy lebih suka menyebutnya Pion) itu anak kelas 2. Kebetulan aja doi juga aktif di kepengurusan OSIS kayak Popy. Atas dasar pertimbangan itulah Enya memilih Popy untuk jadi spy. "Kok kamu nggak ber-solo karir aja? Nggak takut nantinya Si Pion jadi naksir beta?" Enya mencibir. Popy yang udah hafal kelakuan sohibnya yang satu ini stil kalem aja. "Kalo doi demen ama kamu, nalarnya kalian udah jadian sejak dahulu kala. Kalian cukup deket. Sering kerja bareng malah." Popy ngakurin aja. Sungguh, dia bakal ngebantu Enya dengan tulus. Namanya juga temen, kan? Ketemu dan mendekati Pion, apa susahnya? Tapi untuk mengorek rahasianya, Popy ngerasa harus pake trik khusus untuk menghindari hal-hal yang nggak diinginkan, semisal Pion jadi ge-er. Bukannya sombong atawa sok tinggi. Tapi Pion selama ini bener-bener lewat dari perhitungan Popy. Kadang cuma ngebayangin jerawatnya aja lamunan Popy tentang Pion langsung sirna. Namun demi rasa setia kawan, Popy rela menempel Pion setelah sebelumnya minum obat anti mabuk. Hehehe... apa hubungannya coba?" Jam istirahat paling gampang ketemu Pion di kantin sekolah. Dia terkenal cukup royal mentraktir temen-temennya. Dan emang bener. Ketika Popy sampai di kantin, dilihatnya Pion tengah duduk semeja bersama empat teman sekelasnya. Makan-makan, ketawa-ketiwi, meriah. "Tumben sendirian, Pop?" sapa Pion setengah cuwek saat Popy mengambil tempat di antara mereka. "Lagi pengen aja." "Temen-temenmu di mana?" "Temen yang mana?" Popy pura-pura tolol. Dia berharap Pion menyebut nama Enya. Kalo bener, artinya di antara mereka udah rada nyambung. "Baron." "Tauk tuh pada ke mana. Ke laut kali, ye?" Pion nggak senyum. Kali aja urat tawanya kelewat kaku. "Kamu mau makan apa? Pesen aja, ntar bonnya gabung sama kita." Setelah itu Pion kembali asyik ngobrol sama keempat konconya. Popy mulai sebel karena kehadirannya nggak dianggap sama sekali. Nggak sekali pun Popy dilibatin dalam percakapan mereka. Popy nggak pengen jadi norak karena nimbrung-nimbrung. Makanya doi pilih diem aja sembari pasang kuping. Tapi hingga bel masuk berbunyi, Popy nggak nangkep satu point plus pun tentang 34

Pion. Biasa-biasa aja. Obrolan mereka pun cuma sebatas urusan sekolah. Ngebosenin, kan? Makanya Popy makin penasaran. Apa yang menarik dari diri Pion, hingga cewek sekelas Enya naksir dia? Tapi demi temen, Popy nggak kapok. Pulang sekolah sengaja dia cari-cari kesempatan supaya bisa jalan bareng sama Pion, minimal sampai di depan sekolah. "Yon, Rabu besok rapatnya jadi, kan?" "Nggak tau, ya. Mau rapat, mau enggak, aku nggak mau tau. Kalo diundang ya datang. Kalo enggak, kebenaran. Emangnya siapa yang tertarik sama urusan OSIS...." "Lho? Tapi kamu jadi pengurus...." "Terpaksa, Pop. Abis, temen-temen nunjuk aku." Popy berpikir tangkas. "Jadi kalo bukan OSIS, kegiatan apa yang kamu suka?" "Dasar wartawan sekolah. Aku nggak suka bergerak-gerak." "Bergerak-gerak gimana?" "Sukanya diem aja. Nyantai, nggak banyak urusan. Bukankah diem itu emas?" Popy mulai sebel. "Kali kamu lebih suka sama kegiatan solo?" "Ke Solo? Ngapain?" Astaga, bego nian anak yang satu ini, batin Popy. Kini Si Kurus jadi inget. Ya, bukankah selama jadi pengurus OSIS, Pion emang terkenal paling pasif? Bener! Yang suka ngantuk kala rapat ya si Pion ini! "Mungkin kamu suka kegiatan sorangan aja. Sendiri gitu. Maksudku... aduh, kamu bego amat seeeh!" Popy akhirnya menjerit. "Maksudku, kali aja kamu lebih suka adventurer sendiri, naik gunung sendiri, atau sekedar nonton pelem sendirian. Gitu?" "Nggak juga. Kadang sama temen." Popy makin bingung. Mereka akhirnya berpisah di depan gerbang sekolah. Popy ke sepedanya, Pion ke mobilnya yang terparkir di tepi jalan. (Di Bintang Kejora ada larangan bawa mobil ke sekolah. Yang nekat bawa, terpaksa memparkir mobilnya di luar agak jauh dari sekolah). *** Lewat telepon kali aja lebih asyik. Soalnya ada juga sih, orang yang ngerasa lebih oke, lebih terbuka dan lebih percaya diri jika lagi nggak face to face. Dan tokoh yang sering kita rindukan itu menelpon Pion. "Bisa ketemu sama Pion, eh... Dion?" kata Popy ketika di seberang sana yang terdengar adalah suara perempuan. Dari logatnya, Popy menebak pasti pembokat. "Mas Dion lagi tiduran di kamarnya." "Bilang, ini telpon dari Popy, teman sekolahnya." "O ya, dari Topi?" "Popy!" "Baik Neng Toki. Tunggu sebentar!" Pembokat budeg! Popy menggerutu. Setengah menit Popy membuang pulsa. "Neng Topi...." "Nama saya Popy! You hear me?!" "Anu... Neng Toki... eee... Mas Dion nggak mau terima." "Nggak mau terima gimana? Udah bilang telpon dari saya?" 35

"Udah. Tapi nggak mau terima." "Ngapain, seeeh?" "Katanya udah tidur." Popy mau tertawa, tapi nggak berhasil. Telpon doi banting. Sombong amat Pion jelek Itu! Popy termenung membuat kalkulasi: Obrolannya nggak bermutu. Seleranya payah. Hobinya nggak jelas. Toleransinya lewat. Sopan-santunnya nol. Pembantunya budeg. Tampangnya jauh. Jerawatnya gede-gede. Apanya yang menarik? Jangan-jangan Enya udah salah kaprah. Atau jangan-jangan di era reformasi ini logika Enya juga ikut-ikutan terjungkir-balik. Yang salah jadi benar, yang benar jadi salah. Yang lurus jadi bengkok, yang bengkok dianggap lurus. Yang oke ditepis, yang nggak oke jadi idaman. Payah! Baru sehari aja Popy udah ngerasa jijay. Setelah berpikir panjang, Popy mengambil keputusan bulet untuk mengakhirinya sekarang juga. *** Pagi di Kafe Salepo. "Tugas beta udah selesai, Bu!" "Cepat amat!" Enya memberi isyarat. Mereka berdua segera menjauh dari mata dan telinga Mamok dkk. Di samping kantin, Enya naik ke sadel sepeda Popy. "Secepat ini kamu mengorek info tentang Dion?" "Ah, apa hebatnya. Biasa aja. Siapa dulu dong detektifnya." "Kamu emang jago. Kelak kamu bakalan jadi wartawan te-o-pe." Popy batuk-batuk. "Aku cuma heran. Jujur, aku heran banget. Ada apa sih, sampai-sampai Si Pion masuk hitunganmu." "Rahasia dong...." Enya tersenyum penuh kemenangan. "Apanya? Tampangnya idih gitu." "Dion itu ibarat berlian yang belum diasah...." "Diasah apanya? Mukanya, biar nggak jerawatan?" Popy ketus. Dia ingat kelakuan Pion yang nggak mau menjawab telponnya. "Hehehe...." Enya nggak marah mendengar incarannya dijelek-jelekin. Sepertinya malah suka. Suka karena nggak punya saingan? "Apanya sih, yang bikin kamu ngebet, Nek?" "Apanya, yaaaa...." Enya menggoda. "Sayang kamu terlambat." "Apa?" Enya langsung kehilangan senyumnya. "Doi udah punya gebetan serius." "Jangan ngaco! Jangan mengada-ada." "Bener, Bu. Pion udah punya sosotan." "Siapa?" "Kamu bisa pingsan kalo ngerti. Doi seorang artis beken." Enya nggak pingsan. Cuma melongo sampai-sampai hilang cantiknya. Setelah usai bertakjub-ria, Enya menghela napas kecewa. "Beta udah duga, Nek. Cowok sekelas Dion pasti punya gacoan artis." Popy masih manas-manasin. Enya mendesak dengan suara tangis. "Siapa cewek itu?" 36

"Artis sinetron. Ratna." Enya mengangguk paham. Wajahnya jelas menyiratkan kekecewaan yang luar biasa. "Kamu udah sadar siapa Dion, kan?" "Apanya sih yang hebat sampai-sampai artis pun bertekuk lutut sama dia? Apanya?" Popy nggak sadar bahwa dia udah terseret dalam arus bualannya sendiri. "Bukan Dion yang hebat, tapi bokapnya. Nyokapnya juga! Bodoh kamu, nggak pernah baca koran. Gajah di pelupuk mata nggak keliatan." "Siapa?" "Nyokap Dion itu produser. Bokapnya sutradara. Makanya jangan heran kalo Dion punya gebetan artis beken. Paham?" Ooooo... bulet! Popy udah ngerti sekarang. Intinya adalah, Enya pengen deket sama Dion sebagai jembatan KKN sama ortunya. Popy masih tercenung, masih mikir-mikir panjang. Sementara Enya masih diliputi kecewa. Bayangan diajak main sinetron sama camer buyar-yar. Lemes. Tiba-tiba dari balik dinding triplek terdengar sayup-sayup suara sember Pak Salepo. Sambil nyuci piring atau apa, Pak Salepo bernyanyi-nyanyi kecil: Apa-apa-apanya dong... apanya dong... apanya dong.... Popy dan Enya saling pandang. Jangan-jangan Pak Salepo menguping pembicaraan mereka? *** (Baru kali ini Popy ngerasa puaaaaas banget sama bo'ongnya. Popy nggak merasa berdosa. Popy sebenarnya mau menasehati Enya soal cara mencapai puncak popularitas. Bagi Popy yang paling baik adalah mendaki sedikit demi sedikit dari bawah, bukan turun mendadak dari helikopter. Yang namanya temen, berhak juga untuk menasehati, kan? Mungkin kapan-kapan aja kalo ada waktu Popy menasehati Enya. Kalo sempet!).

37

BAB 10

KITA BUTUH MASALAH Kita tentu pernah mengalami situasi yang serba nggak ngenakin, padahal nggak ada apa-apa. Dunia tetap tenteram dan damai. Reformasi (yang positif dong!) tetep jalan terus. Nggak hujan, nggak angin. Pokoknya everything it's otre-otre aja, tapi kok serba nggak enak. Ditanya kenapa, juga bingung, karena emang nggak ada apa-apa. Popy, tokoh yang senantiasa kita rindukan, lagi ngalamin situasi yang begitcu. Dia ngerasa resah, padahal semuanya beres. Ngerasa ada yang kelupaan, padahal nggak juga. Bolak-balik doski meneliti fisik dan batinnya. Ngaca-ngaca udah pol. Termenung juga sampe bosen. Eh, tetep aja resah. Boringnya minta ampun. Semua beres, tapi kok perasaan malah ada nggak beres. Aneh, kan? Pe-er udah kelar sejak petang, sementara di skedul nggak ada lagi tugas-tugas sekolah yang kudu dirampungin hari ini. Nggak ada lagi yang harus dikerjain. Kamar birunya udah rapi jali, juga tumpukan komik-komik itu. Ada kepikiran untuk ngerjain sesuatu, tapi apa? Bik Ipah udah bikin sempurna semuanya, termasuk kamar Guruh yang biasanya berantakan itu. Bo lagi asyik baca koran sore, dan Nyo ngimbangin dengan baca tabloid hiburan yang akhir-akhir ini udah nggak se-hot yang kemarin-kemarin. Guruh ngerem di kamarnya main Play Station Balapan lagi, balapan lagi! Popy udah bosen nimbrung. "Ke laut, yuuuk!" teriak Popy rada uring-uringan setelah gagal mencari perhatian dengan menumpahkan es sirup di lantai. (Ih, iseng amat, ya?). Bo nggak mengkomentari ajakan itu, karena ngerti banget Popy cuman nyari perhatian. Nyo sekedar menoleh lalu melambaikan tangannya, isyarat agar Popy mendekat dan mencermati apa yang lagi dibacanya. Popy mendekat sebentar, lalu manyun. Nyo jadi heran. Tumben Popy nggak tertarik sama resep masakan baru. Biar kata nggak begitu demen di dapur, Popy biasanya rada suka juga baca-baca resep masakan. Popy malah ngisengin rambut Nyo yang disanggul asal-asalan. Dikacaukannya sisiran Nyo sampai Nyo kewalahan. "Iseng amat, seeeh...?!" Nyo sampai jejeritan. Tapi rupanya Popy belum juga puas. Liat aja, nggak ada senyum di wajahnya. "Bo, ke pantai yuuuk...!" rengek Popy di depan Bo. Bokap cuma mengangkat matanya sedikit. "Serius? Malem hari begini? Ngapain?" "Mancing?" "Alamak, kamu ini!" Bo cemberut. Jelas Popy cuman mengada-ada, tepatnya minta perhatian. "Gimana kalo nonton aja?" tawar Bo. "Rasanya semua udah kita tonton di VCD," ujar Nyo tanpa diminta. "Iya, ya...," kata Popy. "Pantesan bioskop sekarang nggak laku. Kali peredaran VCD bajakan perlu deberangus secara serius, supaya bioskop kembali laku. Iya, Bo? Bener nggak sih, katanya VCD bajakan yang disita itu akhirnya masuk ke pasar lagi?" Popy kecewa melihat anggukan bokapnya. Cuma anggukan. Coba kalo berlanjut dengan diskusi kecil, pasti Popy lebih suka. Hmmmm, semua ternyata lagi punya keasyikan sendiri-sendiri. Popy masuk aja ke kamarnya, berguling-guling di kasur yang licin hingga lecek lagi. Mencoba mejamin mata, belum juga terasa nyaman. Diacak-acaknya kaset dan CD Nirvana, tapi... bosen juga. Popy udah hapal semua. 38

Pikir punya pikir, akhirmya Popy melesat ke loteng. Nggak puas dengan bengong di balkon, Popy naik lagi ke atas genteng. Wuah, rasa puas. Tinggi, tinggi, tinggi. Dan Popy dengan rada leluasa bisa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ke rumah tetangga di kiri-kanan. Ke selokan yang senantiasa keruh di depan sana. Lalu ke... pemain gitar! O-oh, rupanya ada yang main gitar di rumah sebelah kiri. Popy mengendap-endap dalam kegelapan, hingga mencapai jarak yang nggak jauh lagi dari posisi pemain gitar di bawah itu. Popy kenal dengan cowok di bawah itu. Namanya Ibnu. Sudah lama Popy ngerti, cowok bertubuh mungil itu gape main gitar dan sesekali ikut nge-band. "Hai, Maaann!" teriak Popy nggak tanggung-tanggung kerasnya. Kali bisa kedengeran dari jalan raya sana. Ibnu, cowok yang lagi bergitar itu, kontan menghentikan petikannya dan celingukan mencari sumber suara. Popy menahan tawa puas. Puas bisa membingungkan Ibnu. "Gitar terus, nggak bosen-bosen!" teriak Popy lagi. Ibnu rupanya udah pasang kuping dan berhasil mengetahui asal-muasal suara. Dia mendongak dan cuma mendapatkan kegelapan. Popy menyembunyikan dirinya. "Itu setan atau Popy?" tanya Ibnu dari bawah. "Setan Popy, hihihi...." Popy mencoba tertawa kayak Mak Lampir, tapi hasilnya jauh lebih nggak merdu. Dia menampakkan dirinya. "Hai!" Ibnu mendongak. "Busyet kamu. Kayak kurang kerjaan aja malem-malem naik di genteng. Ntar dikira maling. lho." "Emang lagi kurang kerjaan. Mau aku kerjain?" "Nggak u-u, ya...." Ibnu ngeloyor masuk ke rumahnya begitu aja, bikin Popy kecewa berat. Padahal asyik juga kalo nyanyi di atas genteng diiringi petikan gitar dari bawah sana. "Ibnu jeleeeek...!" Popy berteriak lantang sambil menengadahkan wajah dan tangannya ke arah angkasa raya. Gagal ngebajak Ibnu, Popy akhirnya rebahan di genteng. Dipandangnya angkasa gelap yang cuma berhias bintang kecil. Dari bawah, tepatnya dari dalam rumah Ibnu, terdengar petikan asyik, 'Friend Is A Four Letter Word'. Lagunya Cake yang asyik punya. Popy geram. Dia demen banget lagu itu dan nyaris hapal semua liriknya. Kalo nggak mau dibilang agresif, pasti disamperinnya Ibnu. *** Udara dingin menerpa wajah dan paha Popy. Yang namanya langit, ya gitu-gitu aja. Popy bosan lagi. Maka turunlah dia ke bumi, masuk ke ruang tengah, mengacak rambut Nyo lagi. Tapi Nyo udah cuwek. Kini telepon yang jadi sasaran. Nelpon Ida, anak itu ternyata lagi pergi. Nelpon Enya. "Nya, kamu punya cerita apa?" Di ujung sana, so pasti Enya langsung bingung ditodong pertanyaan macem itu. "Pasti kamu kumat gokilnya. Iseng, kan?" "Cerita dong...." "Cerita apanya?" "Jadi kamu nggak punya cerita yang seru-seru? Gosip apa gitu. Apaaa aja. Cerita, dong! Curhat, dong!" "Nggak ada, Buuuu....Curhat kok dipaksa." Suara Enya kedengaran jengkel. "Dikiiit aja." 39

"Kok maksa. Kenapa sih, kamu?" "Please...." "Plis-plis. Apanya yang plis? Udah ah, kalo nggak ada apa-apa, aku lagi ada tamu." "Tamu? Siapa? Cowok baru, kan ?" Popy antusias. "Si Jo." "Jo? Jo siapa? Jo yang mana?" Klik! Enya memutus pembicaraan. Popy baru aja hendak memijit redial, tapi telepon masuk lebih dahulu bikin kaget. "Siapa yang mau angkat?" Bo dan Nyo saling pandang. Semua menunggu. Berdering lagi. "Siapa?" "Kamu dong! Kamu yang di depannya. Aneh-aneh aja kamu malam ini." Bo melotot. Popy mengangkat telepon malas-malasan. "Monggo...." "Pop?" "Bukan! Ini embahnya!" goda Popy begitu mengenali suara Wahyu. "Tumben kamu mau keluarin beaya. Nelpon dari wartel mana?" "Nebeng di rumah sebelah," kata Wahyu dengan berbisik. Mungkin dia nelpon tanpa sepengetahuan yang empunya telpon, pikir Popy. "Dasar pelit. Kenapa nggak dari wartel kayak biasanya?" Usai berkata begitu, Popy rada nyesel. Dia tau banget keadaan ekonomi Wahyu dan ortunya. Makanya dia buru-buru menambahkan, " Ada urusan penting apa?" "Anu... nnngggg...." "Jangan kayak tawon. Cepetan, nggak enak sama yang minjem telpon kalo kelamaan, kan? Ada apa?" "Ada masalah, Pop." Popy menarik kursi dengan kakinya dan duduk untuk menyamankan dirinya. "Masalah apa?" "Besok malem aku manggung, Pop." "Ngeband? Asyik! Kalian nge-jam sama siapa?" "Festival. Kelasnya kacangan, sih. Tapi lumayan juga buat ngelatih mental." "Aku nonton, Yu. Nggak usah cemas. Aku ajak yang lain buat mendukung grupmu. Apa perlu sekelas?" "Bukan. Nggak gitu. Kalian nggak liat juga nggak apa-apa." "Sialan. Belum te-o-pe aja udah belagu." "Salah. Kita-kita belum belagu aja udah te-o-pe." "Udah-udah! Nanti kelamaan kamu ngerepotin tetangga. Masalahnya apa?" "Aku butuh kostum." "Kostum? Kostum yang gimana? Kamu kan nge-drum. Biasanya posisinya di belakang, jauh dari pandangan penonton. Hihihi... seringnya dicuekin. Nggak usah takut mati gaya, deh!" "Yaaah, paling enggak, aku perlu memakai sesuatu yang lain, supaya pe-de. Masak iya, pake baju yang itu-itu terus." "Aku ngerti! Aku ngerti! Kamu mau pinjem gaunku, biar tampil beda...." "Nggak lucu." "So?" "Guruh ukuran baju dan celananya sama denganku, kan?" 40

Popy ngerti arah omongan Wahyu. "Oke, aku pinjemin Guruh." "Tapi modelnya, kamu bisa milihin?" Popy termangu sebentar. "Pop? Aduh! Yang punya telpon dateng. Gimana, dong?" Popy nggak perlu mikir. "Sekarang aja kamu ke sini milih sendiri." "Tapi...." "Udah, kamu naik taksi ke sini, entar aku yang bayar ongkosnya. Enak, kan?" "Yes!" teriak Wahyu puas. "That's what friends are for...." *** Guruh sama sekali nggak keberatan bajunya dipinjem Wahyu. Dia bahkan mempersilahkan Wahyu memilh sendiri sesuai seleranya. Popy ikut menunggui Wahyu memilih sendiri sesuai seleranya. Popy ikut menunggui Wahyu menentukan pilihannya. Tapi ketika Wahyu mencobanya, ternyata ukurannya meleset dari yang dibayangkan. Semua kegedean, karena badan adik Popy ini emang bongsor banget. Wahyu jadi lemes-mes. Seri di wajahnya berangsur jadi pias. "Gimana, dong?" Popy malah terlihat lebih cemas ketimbang Wahyu. Dia kecewa kalo nggak bisa membantu Wahyu. "Kalo punya Bo gimana?" usul Guruh. "Apa lagi Bokap. Ukurannya lebih gede." "Pinjem temen yang lain aja." "Siapa?" "Ibnu," kata Guruh. "Ah ya! Kamu akrab sama anak sebelah itu, kan? Anaknya ada. Tadi barusan main gitar di depan rumahnya. Ayo kita ke sana!" Popy bener-bener bergairah. Lain banget cuaca di wajahnya dibandingkan dengan sebelum dia kemasukan masalah Wahyu. "Tunggu dulu! Maksud kalian, Ibnu yang mana? Yang di samping rumah ini, kan?" Wahyu mencekal lengan Popy kuat-kuat. "Ibnu yang anak band juga? Main gitar, kan? Jangan!" "Emang kenapa? Kamu kenal? Kebetulan, kan?" "Mau ditarok di mana muka ini. Besok kami beradu. Kita sama-sama ikut festival. Bisa-bisa doi berkoar soal baju pinjeman. Tengsin, kan?" Popy manggut-manggut paham. Guruh juga. Popy memutar otak. Eh, dia belum sadar bahwa boringnya mendadak ilang. Gimana caranya mengatasi problem Wahyu, sobat karibnya ini. Dan seperti biasa, Popy berpikir praktis dan cepat. Tapi lebih cepat desakan Wahyu. "Gimana dong?" "Aku beliin kamu baju dan celana baru." "Ah, jangan bercanda. Kalo ada setan lewat, bisa jadi betulan, lho." "Ini emang betulan. Aku rela beliin baju dan celana buat kamu ikut festival. Tapi ada aturannya." "Gimana?" Guruh ikut penasaran. Popy tersenyum tengil. "Kalo grup kamu bisa menang, dan harus juara satu, maka satu stel pakaian itu gratis. Hitung-hitung itu hadiah buat kamu. Tapi kalo kalian kalah, kamu harus mengembalikan baju itu buat kupakai sendiri atau kusumbangkan ke anak yatim. Deal?" Wahyu mikir sebentar. Lalu: "Deal. Aku setuju." 41

Usai berjabat tangan, Popy menghampiri Bo yang tetap asyik baca koran di ruang tengah. "Bo...." Popy merengek. "Wahyu perlu baju untuk show besok." "Show? Di teve? Hebat!" "Bukan. Ikut festival band." "Itu juga hebat." "Sekarang, mau nggak Bo nganter kami ke mal buat beli baju?" "Buat Wahyu? Kenapa enggak. Ayo!" Popy kaget sendiri demi mendengar suara Bo yang bersemangat. "Ikuuuut...." O-oo, Nyo yang sedari tadi nguping, rupanya mau andil juga. Kompak jadinya. Dan Popy makin suka aja. Makin bersemangat aja. Lalu ke mana wajah keruh itu? Ke mana uring-uringan itu? Ke laut 'kali, ye! *** Maka yang terjadi berikutnya adalah, Bokap dan Nyokap duduk berdampingan di depan. Bo nyetir, sementara Nyo bermanja-manja merebahkan kepalanya di bahu suami tercintanya. Di belakang, Popy ngiri setengah mati melihat kemesraan itu. Guruh membisu. Seperti biasanya dia emang nggak terlalu banyak bicara. Di sebelahnya, Wahyu berkali-kali mengucap syukur dalam hati karena memiliki teman sedahsyat Popy. Malam ini dia sadar bahwa sahabatnya bukan cuma Popy, tapi juga Guruh. Juga Nyo dan Bo. Selain bersyukur, dalam hati Wahyu terus bernyanyi: Keep smilin', keep shinin'. Knowing you can always count on me, for sure. That's what friends are for. For the good time and the bad time, I,ll be on your side forever more. That's what friends are for.... *** (Malemnya, sebelum bobo', Si Kurus bikin rangkuman: Manusia emang butuh masalah, tapi jangan nyari-nyari masalah. Itulah hidup dan agar supaya hidup tetap 'hidup'. Saya setuju. Kamu?).

42

BIODATA PENULIS Donatus A. Nugroho, memulai debut karirnya menjadi penulis remaja paling produktif saat ini berangkat dari idealismenya menolak diangkat sebagai pegawai negeri di akhir tahun delapan puluhan. Ia lantas lebih memilih terjun di dunia yang dicintainya, menulis. Lahir di Solo, Salatiga, Jawa Tengah, penulis ini mengukuhkan dirinya sebagai pengarang handal dengan meraih puluhan penghargaan sebagai juara pertama di LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang, GADIS, MODE, ANEKA YESS!, Ceria Remaja, Planet Pop, dan masih banyak media nasional lainnya. Saat ini novel-novelnya sudah banyak diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, Erlangga, DAR! Mizan, Lingkar Pena, Puspa Swara, dan banyak lagi penerbitan lainnya. Catatan Harian Si Popy merupakan karya order solonya untuk majalah Planet Pop, yang kemudian direvisi dan diterbitkan di cafenovel.com bersama Effendy Wongso. Selain menulis, ia paling senang berburu dan mengoleksi kaset-kaset lawas. Bersama Zara Zettira Zr., ia pernah tercatat sebagai Redaktur Istimewa di majalah Planet Pop, Jakarta (1999-2000) Penulis yang senangnya berkutat di dunia remaja hingga sekarang ini lahir di Watampone, Sulawesi Selatan, 13 Juni 1980, Effendy Wongso menghabiskan masa-masa remajanya untuk menulis. Cerpen-cerpennya sudah tersebar hampir di seluruh majalah remaja nasional. Nominator LCCR (Lomba Cipta Cerpen Remaja) Anita Cemerlang empat tahun berturut-turut sekaligus sebagai salah seorang pengarang paling produktif versi majalah Anita Cemerlang 1996 ini, pernah tercatat sebagai koresponden majalah Anita Cemerlang (1996-1998) dan pemimpin redaksi majalah Planet Pop (1999-2000)

43

Related Documents