Nomor 4.docx

  • Uploaded by: Nofianto Hari Wibowo
  • 0
  • 0
  • November 2019
  • PDF

This document was uploaded by user and they confirmed that they have the permission to share it. If you are author or own the copyright of this book, please report to us by using this DMCA report form. Report DMCA


Overview

Download & View Nomor 4.docx as PDF for free.

More details

  • Words: 916
  • Pages: 4
HITAM – umum BIRU – positif MERAH – negatif HIJAU - solusi Sebagai upaya optimalisasi implementasi Program Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), BPJS Kesehatan sebagai badan hukum publik yang mengelola keuangan Dana Jaminan Kesehatan senantiasa menjalankan fungsi kendali mutu dan kendali biaya dengan tetap mengutamakan mutu pelayanan kepada pasien JKN-KIS.

Per 25 Juli 2018, BPJS Kesehatan menerapkan implementasi (1) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 2 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Katarak Dalam Program Jaminan Kesehatan, (2) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 3 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Persalinan Dengan Bayi Lahir Sehat, dan (3) Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Penjaminan Pelayanan Rehabilitasi Medik.

Terbitnya peraturan ini mengacu pada ketentuan perundang-undangan khususnya Undang-undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), Pasal 24 ayat (3) yang menyebutkan BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran pelayanan kesehatan untuk meningkatkan, efisiensi dan efektivitas jaminan kesehatan. “Kebijakan 3 Peraturan Direktur Jaminan Pelayanan Kesehatan ini kami lakukan, untuk memastikan peserta program JKN-KIS memperoleh manfaat pelayanan kesehatan yang bermutu, efektif dan efisien dengan tetap memperhatikan keberlangsungan Program JKN-KIS. Hal ini dilakukan sebagai tindak lanjut dari Rapat Tingkat Menteri awal tahun 2018 yang membahas tentang sustainibilitas Program JKN-KIS dimana BPJS Kesehatan harus fokus pada mutu layanan dan efektivitas pembiayaan,” ujar Kepala Humas BPJS Kesehatan, Nopi Hidayat.

Nopi menambahkan, yang dimaksud dengan efektivitas pembiayaan disini adalah sesuai dengan

kutipan penjelasan atas Undang-undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 22 bahwa …Luasnya pelayanan kesehatan disesuaikan dengan kebutuhan peserta yang dapat berubah dan kemampuan keuangan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Hal ini diperlukan untuk kehati-hatian.

Dalam menjalankan fungsinya, BPJS Kesehatan juga telah berkomunikasi dengan berbagai stakeholder antara lain Kementerian Kesehatan, Asosiasi Profesi dan Fasilitas Kesehatan, Tim Kendali Mutu dan Kendali Biaya, serta Dewan Pertimbangan Medis (DPM) dan Dewan Pertimbangan Klinis (DPK). Ditingkat daerah BPJS Kesehatan telah melakukan sosialisasi kepada Dinas Kesehatan, fasilitas kesehatan, asosiasi setempat. “Perlu kami tekankan bahwa dengan diimplementasikan 3 peraturan ini, bukan dalam artian ada pembatasan pelayanan kesehatan yang diberikan kepada peserta JKN-KIS. Namun penjaminan pembiayaan BPJS Kesehatan disesuaikan dengan kemampuan keuangan BPJS Kesehatan saat ini. BPJS Kesehatan akan tetap memastikan bahwa Peserta JKN-KIS mendapat jaminan pelayanan kesehatan sesuai dengan ketentuan. BPJS Kesehatan juga terus melakukan koordinasi dengan faskes dan dinas kesehatan agar dalam implementasi peraturan ini dapat berjalan seperti yang diharapkan,” ujar Nopi.

Ahmad Ansyori, Komisioner DJSN, mengatakan lembaganya meminta BPJS Kesehatan menunda dan memperbaiki peraturan terbaru. ”Regulasi BPJS Kesehatan overstaping,” katanya saat dihubungi Jawa Pos kemarin. Menurutnya, BPJS Kesehatan tidak berhak mengeluarkan aturan mengenai penggunaan manfaat anggaran. Harusnya aturan tersebut dibuat dalam Peraturan Presiden. Ansyori menilai jika BPJS Kesehatan telah sepihak mengeluarkan keputusan. ”Rekomendasinya adalah untuk meralat aturan itu,” ujarnya. Dalam hal ini BPJS Kesehatan berpedoman pada UU no 40 tahun 2004 yang menyatakan BPJS Kesehatan dapat mengembangkan sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, dan sistem pembayaran. Tujuannya adalah meningkatkan efisiensi dan efektivitas pelayanan.

Ansyori mengatakan argumen BPJS Kesehatan dengan berpedoman pada undang-undang tersebut tidak tepat. ”Hanya, apa bermakna secara hukum bisa menetapkan sendiri? Saya rasa tidak begitu maksud undang-undang,” tutur Ansyori. Apalagi keputusan yang digunakan BPJS adalah dari direktur teknis. ”Kalau DJSN kami mengenal tiga peraturan. Yakni dari dewan pengawas, peraturan badan, dan peraturan direksi yang mengikat ke dalam. Direksi diwakili oleh direktur utama tidak didistribusi oleh direktur teknis,” imbuhnya. Akibat dari peraturan itu dapat menekan fasilitas kesehatan (klinik atau rumah sakit, Red). ”Faskes kesulitan memberikan layanan yang optimal karena ada batasan,”ungkapnya. Dia mencontohkan jika ada pasien yang membutuhkan layanan fisioterapi lebih dari tiga kali dalam seminggu. Sedangkan dalam aturan itu, BPJS Kesehatan membatasi hanya dua kali seminggu atau maksimal delapan kali dalam satu bulan. Dia menyayangkan BPJS Kesehatan yang tidak mengadvokasi kepentingan peserta, malah mengeluarkan aturan yang dinilai memberatkan. Ansyori pernah melakukan study lapangan di rumah sakit swasta di Jakarta. Ada pasien fisioterapi yang mengalami kesulitan dalam mendapatkan pelayanan. ”Tahapan terlalu panjang. Pertama booking nomor antrean jam 2 malam, akan datan lagi jam 6 ambil nomor antrean. Jam 9 sampaikan berkasnya dan baru jam 12 teng pelayanan bisa dimulai. Seharusnya yang dilakukan BPJS ini mengadvokasi peseta bukan menambahi beban,” katanya. Yang menjadi kontroversi : - BPJS Kesehatan dinilai overstaping. Seharusnya ada Peraturan Presiden sedangkan BPJS mengeluarkan Peraturan Direktur Jaminan Layanan Kesehatan. - Akibat keputusan baru, fasilitas kesehatan merasa terhambat dalam memberikan layanan.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia Ilham Oetama Marsis mengatakan, adanya peraturan baru tersebut jelas dianggap dapat merugikan masyarakat. Meskipun kondisinya defisit, tapi peraturan seperti itu tidak tepat adanya. "Sebagai organisasi profesi kami menyadari adanya defisit pembiayaan JKN. Namun hal tersebut tidak boleh mengorbankan keselamatan pasien, mutu layanan kesehatan dan kepentingan masyarakat," ucapnya. BPJS Kesehatan setiap tahun terus mengalami defisit keuangan. Dari laporan Menteri Kesehatan (Menkes) Nila F Moeloek, tahun 2017 BPJS Kesehatan mengalami defisit sebesar Rp 9 Triliun. "Itulah yang membuat BPJS Kesehatan menghitung ulang pengeluaraannya dan menyeleksi penyakit apa saja yang banyak menyedot anggaran, termasuk tiga penyakit itu," kata Saleh. Saleh mengatakan Komisi IX baru saja memberikan rekomendasi kepada BPJS Kesehatan untuk mengatasi defisit yang terus dialami BPJS Kesehatan. Ia berharap Pemerintah segera merespon agar kebijakan paling primer ini bisa tetap dirasakan masyarakat. "Layanan kesehatan itu kan sangat penting bahkan lebih penting dari infrastruktur. Jadi saya berharap Pemerintah berpikir agar layanan BPJS Kesehatan ini bisa terus dirasakan oleh masyarakat," ucapnya. Tahun 2019 nanti, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI mengajukan anggaran Rp 26 Triliun untuk mengcover 107 juta orang. Pengajuan anggaran itu naik dari tahun 2018 yakni sebesar Rp 25 triliun yang menangani 92,4 juta orang.

Related Documents

Nomor
August 2019 35
Nomor Antrian
October 2019 39
Nomor Kpps.docx
December 2019 27
Nomor Urut.docx
June 2020 20
Nomor ..docx
December 2019 14
Nomor Rm.docx
July 2020 7

More Documents from "triakomayasari"