2009
Edisi : 02 /Februari 2009
Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerbitan Yogya 3/2/2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Pengantar
Pers, Pemilu dan Profesionalisme
DI TENGAH situasi politik jelang pemilihan umum yang mulai panas di negeri ini sekarang, di manakah peranan pers? Masihkah pers mampu mengawal idealismenya tanpa harus terjungkal dalam kubangan bisnis semata? Dua pertanyaan itu adalah kenyataan yang terus membayangi kehidupan pers hingga saat ini. Seiring dengan masih banyaknya agenda pers yang belum dilaksanakan, masih banyak pula ancaman bagi pers berada di depan mata. Setidaknya, pada periode April hingga Oktober mendatang, jagat media massa akan menampung kepentingan berbagai pihak yang berkompetisi memperebutkan posisi melalui pemilu. Agenda pemilu legislatif dan pemilihan presiden, memang sudah menggema sejak setahun terakhir, akan berujung pada April nanti dan memuncak pada bulan Oktober. Pers banyak menjadi pilihan para kontestan untuk meraih massa, mem-perluas cakupan wilayah konstituen para kontestan. Pers dijadikan ajang kampanye. Isu politik menjadi warna utama dalam pemberitaan di media pers. Belanja iklan politik di media massa tahun ini juga diprediksi akan naik secara signifikan. Dibandingkan pada pemilu 2004, belanja iklan jelang Pemilu 2009 menembus jumlah Rp 3 triliun (Kompas 9/2). Sebuah angka yang fantastis. Dengan perkembangan situasi demikian, tentu saja masih terus menggelayut harapan akan adanya pers yang independen, bebas, tidak berpihak dan merupakan salah satu pilar demokrasi. Namun, seperti yang sudah-sudah, kali ini pun pers masih terus dibayangi oleh posisi yang tidak kokoh di tengah idealisasi pers yang mestinya berpihak melalui jalur profesionalisme. Posisi pers menempatkan diri di tengah hiruk pikuk pesta politik seperti inilah yang akan menguji sejauh mana pers benar-benar adil, bebas dan tidak memihak. Pada perhelatan memperingati Hari Pers Nasional (HPN) 9 Februari lalu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menegaskan agar pers menegakkan kebenaran besar dan meninggalkan kebenaran kecil. Mengutip pernyataan Presiden seperti diwartakan (Kompas 9/2) , siapa pun
2
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
anggota legislatif dan presiden terpilih dalam Pemilu 2009 adalah kebenaran kecil. Kebenaran besarnya adalah Pemilu 2009 berjalan aman, tertib, jujur, adil bebas dan demokratis. Fakta adalah suci, begitu yang dianut pers. Namun, pada situasi yang berkembang seperti sekarang, benarkah pers nanti akan menempatkan dirinya berada di tengah dan menyuarakan fakta itu seadil-adilnya? Misalnya, bagaimana pers menempatkan setiap kontestan pemilu itu berada pada posisi sama. Tidaklah aneh jika partai politik yang dukungan finansialnya sangat kuat, menggunakan pers sebagai ujung tombak pertempuran memperebutkan massa. Dia bisa memasang iklan di mana pun dan menggelar berbagai event di mana pun yang tentu saja layak untuk diliput pers, karena memang mempunyai news value bagi pers. Namun, bagaimana pers bersikap terhadap partai-partai kecil, yang dukungan massanya sedikit, karena relatif baru dibentuk, pun dukungan finansialnya? Semestinya pers berlaku adil dalam hal ini. Pers tidak bisa hanya memilih partai besar nan kuat saja. Sudahkah hal itu tercermin dalam pemberitaan di media massa saat ini? Waktu jugalah yang akan membuktikan nanti.
Standar dan etika
Di tengah hangatnya pers memperingati HPN, sebuah artikel tentang perlunya sertifikasi bagi wartawan menjadi relevan (Suara Merdeka 10/2) . Ini menarik, karena selama ini masih terus berkembang penilaian di tengah masyarakat bahwa kinerja wartawan Indonesia belumlah standar. Masih banyak media yang mempekerjakan wartawan dengan kemampuan seadanya, tidak memenuhi kualifikasi sebagai seorang profesional. Mestinya, sebagai seorang profesional, wartawan mendapatkan pendidikan tertentu agar mempunyai kemampuan dengan standar etika profesi yang telah ditentukan. Di sinilah sebenarnya gugatan atas pentingnya sertifikasi seperti dituangkan dalam artikel itu. Jika sampai sekarang masyarakat masih jelas membedakan tentang model kinerja wartawan (bodrek) dan mana wartawan (beneran), maka itulah gambaran nyata yang masih terjadi. Tidak semua institusi media sudah mempunyai kesadaran betapa pentingnya mendidik jurnalisnya dengan benar. Hanya beberapa media, terutama yang kuat secara finansial dan sudah mapan terus gelisah untuk mengasah keterampilan jurnalisnya. Memang, keterampilan jurnalis tidak datang secara tiba-tiba. Keterampilan itu harus diasah. Jurnalis pada
3
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
kenyataannya bukanlah super man atau manusia serba bisa, tapi dia harus mengetahui banyak hal agar bisa memberitakan tentang banyak hal kepada khalayak. Untuk itu perlu perangkat memadai, mulai dari keterampilan secara teknikalitis, sampai pada pemahaman filosofi yang dilandasi dengan standar etika. Kiprah pers di tengah realitas sosial masyarakat terus dibayangi dengan kemungkinan terjadi profesionalisme yang tergadai dengan mengorbankan idealisme di satu pihak dan harapan terus menjaga independensi pers di pihak lain, tidak pernah selesai dibicarakan. Hanya merekalah yang bisa membuktikan bagaimana berkarya, bersikap dan tumbuh menjadi pilar demokrasi. Demikian pula ketika pers masih memandang isu-isu tertentu sebagai isu yang kurang (seksi) karena tidak menjual, semata karena tidak memiliki sensasi. Misalnya beritaberita seputar isu HIV/AIDS. Sampai sekarang, isu ini masih dipandang kalah pamor dibanding dengan isu lain, misalnya politik, kriminal,ekonomi juga berita seputar masalah seks. Ini kenyataan tersendiri, bahwa meski sebagian jurnalis sudah mempunyai pemahaman tentang bagaimana bahaya HIV/AIDS, ternyata dalam pemberitaan di media isu itu tetap belum cukup menonjol. Tak kalah penting sebenarnya adalah berita mengenai bencana. Dalam kondisi perkembangan cuaca dan iklim akhir-akhir ini, hampir setiap hari media menyajikan be-rita tentang bencana. Ada banjir, air laut yang meluap, gelombang tinggi menenggelam-kan kapal, tanah longsor, wabah penyakit, untuk menyebut beberapa contoh. Namun sejauh ini, pers belum sepenuhnya menempatkan kebencanaan itu sebagai sebuah isu penting yang semestinya diteropong dari berbagai perspektif. Ada banyak dimensi sosial yang terjadi di tengah bencana. Ada berbagai penyebab, sehingga timbul bencana. Hal-hal ini bahkan nyaris tidak disinggung. Karena biasanya yang menjadi fokus liputan adalah peristiwa yang mempunya nilai kebesaran (magnitude) dalam jumlah kerugian yang ditimbulkan atau jumlah korbannya. Unsur menarik lebih menonjol dibanding unsur penting bagi khalayak. Tentang bagaimana media dan kebencanaan itu, selengkapnya bisa diikuti dalam Newsletter edisi ini. Selamat membaca. (agoes widhartono)
4
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Sekilas Info
Diskusi Publik Membangun Karakter Bangsa
Kamis (19/2) lalu, redaksi Newsletter Online LP3Y menghadiri Studium General dan diskusi publik dalam rangka pembukaan Program Sekolah Politik Islam dengan tema “Membangun Karakter Bangsa: Sebuah Landasan Filosofi dan Spiritual di Yayasan Padma (Padepokan Musa Asyarie), Jl. Solo Km. 8 Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Diskusi ini diikuti sekitar 40 orang. Selain dihadiri oleh peserta Program Sekolah Politik Islam, juga dihadiri undangan yang terdiri dari akademisi, pimpinan Ormas keagamaan, aktivis perempuan, aktivis partai dan media. Sebagai pembicara hadir Prof. Dr. H. Ahmad Syafii Maarif dan pada pembukaan diskusi dibuka oleh Prof. Dr. Musa Asy’arie. Dalam pengantarnya Musa Asy’arie mengatakan bahwa Program Sekolah yang dibentuk ini merupakan pendalaman intelektual dan bertujuan untuk memajukan peradaban bangsa. Banyak hal yang bisa dipelajari dalam diskusi tersebut, menurut Buya Syafii, panggilan akrab Syafii Maarif, diantaranya tentang karakter bangsa Indonesia yang sebenarnya belum hilang, tetapi melemah. Dibutuhkan pemimpin yang tidak hanya cerdas secara emosional, spiritual tetapi juga dibutuhkan kecerdasan hati. Karena dengan hati yang cerdas akan mengalir kearifan, rasa tenggang rasa dan kepedulian yang tinggi terhadap rakyat. Menjelang pemilu April 2009 ini, Buya melihat demokrasi belum sepenuhnya terbentuk. Sifat aji mumpung masih banyak dimiliki oleh para wakil rakyat. Oleh karenanya siapapun pemimpin yang terpilih pada pemiliu 2009 ini, Buya berharap harus meletakkan telinganya ke bumi. Itu artinya pemimpin diharapkan yang benar-benar mendengarkan nasib rakyat. Bukan pemimpin yang tidak punya arah. Pada akhir diskusi, Buya Maarif berharap diusianya yang ke 74 tahun, ia ingin melihat bangsa ini geliat dan tetap utuh. (ismay prihastuti)
5
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Seminar Mengukur Kemiskinan
YOGYA (LP3Y) : Bagaimana mengukur kemiskinan masyarakat? Topik itulah yang dibahas dalam seminar Mengukur Kemiskinan Subjektif di Indonesia, Kamis (19/2) lalu. Acara yang digelar di Ruang Auditorium Lantai 2 Gedung Masri Singarimbun Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) UGM itu, menampilkan pembicara Amelia Maika , MA, peneliti PSKK UGM. Menurut Amelia, adalah sulit menentukan kemiskinan subyektif, terutama jika untuk melahirkan kebijakan. Karena, dalam penelitiannya, ketika mengetengahkan konsisi miskin sekali dan kaya sekali dalam skala 1 sampai 6, responden banyak menjawab pada angka tengah. Itu artinya, ada sebagian yang memang dalam realitas miskin, tapi tidak mau mengakui bahwa dia miskin. Sebaliknya, ada masyarakat yang sudah kaya secara finansial, tapi tetap saja mengaku dirinya tidak kaya. Disebut miskin juga tidak mau. Hal-hal inilah yang menurut Amelia akan menimbulkan kesulitan jika pihak-pihak tertentu, misalnya eksekutif, hendak membuat kebijakan. Ada variabel budaya yang berbicara pada kondisi seperti itu. Seminar di PPSK tersebut merupakan agenda rutin bulanan, meski sempat absen sekitar empat bulan. Acara dihadiri sekitar 125 orang, terdiri atas mahasiswa, serta beberapa birokrat antara lain dari Dinas Kesehatan dan BKKBN. Selama acara berlangsung sekitar 90 menit, suasana cair penuh dialog cukup terbangun. Bahkan, pertanyaan yang diajukan peserta kadang menggelitik. Misalnya ketika narasumber mengatakan bahwa data tertentu diambil dari Sakerti (Survei Analisis Kesejahteraan Rumah Tangga Indonesia) 2000, ada peserta yang bertanya, siapakah Sakerti? Penanya meminta agar narasumber tidak menganggap bahwa peserta semuanya sudah mengerti, sudah paham pokok persoalan dan pintar. Seminar dinyatakan bersambung, karena belum menentukan kesimpulan. Oleh karenanya, Amelia Maika menjelaskan, hasil penelitiannya akan disampaikan pada kesempatan yang lain. (agus widhartono)
6
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Media dan Jurnalisme :
Fakta tentang Layanan Publik dalam Teropong Media
AKHIR bulan Januari 2009 lalu, beberapa suratkabar memberitakan tentang inspeksi mendadak (sidak) anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di beberapa instansi di Yogyakarta. Pemberitaan tentang peristiwa itu menarik disimak, karena didapati berbagai pendekatan pilihan untuk menyampaikan berita itu kepada khalayak. Beragam angle, sudut pandang, dipakai oleh media dalam memberitakan peristiwa tersebut. Ada yang secara lugas, jelas merekonstruksi peristiwa. Ada pula media yang tidak jelas, tercermin dalam judulnya, hendak mengatakan apa. Ada empat suratkabar yang diamati menyangkut hal tersebut, yakni Kedaulatan Rakyat, Kompas edisi Yogyakarta, Republika dan Koran Tempo yang semuanya adalah edisi hari Sabtu, 31 Januari 2009. Judul di suratkabar tersebut adalah sebagai berikut:
NO
NAMA MEDIA
JUDUL
1.
Kedaulatan Rakyat
Layanan Publik di Yogya Rawan
2.
Republika
KPK Temukan Penyimpangan Pelayanan Publik
3.
Kompas
Pelayanan Instansi Perlu Dibenahi
4.
Koran Tempo
Tiga Layanan Publik di Yogyakarta Dinilai Buruk
Dilihat dari judul-judul di empat suratkabar itu , pilihan kata yang digunakan untuk judul di Kedaulatan Rakyat menjadi sedikit berbeda dibanding yang lain.
7
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Pertama, perbedaan itu menyangkut makna pada judul. Pertanyaan muncul karena di sana ada kata (rawan). Apa sebenarnya yang dimaksudkan pada judul Layanan Publik di Yogya Rawan? Rawan apa dan rawan terhadap apa? Judul ini seakan dibiarkan menggantung menjadi beban pembacanya. Untuk memahaminya, mari kita coba menyelami tubuh berita di bawah judul itu, dimulai dari leadnya, yang secara lengkap dikutip sebagai berikut: YOGYA (KR) – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah instansi pelayanan publik di Kota Yogyakarta, Jumat (30/1). Instansi yang disidak yaitu dinas Perizinan Pemkot Yogyakarta, di antaranya Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kantor Samsat dan RS Dr Sardjito. Setelah mencermati lead di atas, tidak tercermin, apa yang sebenarnya dimak-sudkan dalam judul, terutama dengan pilihan kata (rawan) itu. Dalam lead hanya di sampaikan tentang aktivitas KPK di Yogya (sidak) dan instansi yang disidak. Sama sekali tidak tercermin, bagaimana hasil sidak itu. Sehingga, kata (rawan) menjadi ganjalan ba-gi khalayak untuk memahami apa sebenarnya yang terjadi dalam aktivitas anggota KPK itu. Padalah, format berita itu adalah berita langsung , straight news, yang semestinya lead sudah memberi penjelasan tentang apa maksud judulnya. Dalam berita langsung, judul adalah saripati lead. Mengenai hasil sidak itu, baru dijelaskan pada alinea keempat, dikutip demikian selengkapnya demikian: Mengenai hasil sidak di BPN, Haryono (lengkapnya adalah Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Pengawasan Internal dan Pengaduan Masyarakat, Dr Haryono Umar Akt MSc-pen), mengatakan, sektor layakan publik rawan. Antara lain BPN, dianggap tidak ada transparansi. BPN tidak mencantumkan informasi jenis pelayanan dan tarif yang jelas. “Tarif ditentukan oleh kepala seksi, sehingga sangat rawan korupsi dan kolusi,” ujarnya. Dari kalimat kutipan langsung pada alinea itu, baru diketahui bahwa hasil sidak menengarai kerawanan terjadinya korupsi dan kolusi di instansi BPN. Tidak dijelaskan bagaimana korupsi dan kolusi di instansi itu terjadi. Suratkabar lain, meski sudah sedikit menginformasikan fakta, tercermin melalui pilihan judulnya, namun tetap belum lugas menjelaskan apa yang terjadi dan bagaimana hasil sidak, terutama jika mengikuti prinsip bagaimana judul sebuah berita langsung yang semestinya sudah dijelaskan pada leadnya. Suratkabar Republika, misalnya, dalam judul sudah jelas muatan
8
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
subyek-predikatnya, menjelaskan apa. Namun, dalam leadnya hal itu tidak ditemui apa yang dimaksud dengan penyimpangan pelayanan publik itu. Selengkapnya lead tersebut dikutip sebagai berikut: YOGYAKARTA – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke beberapa pelayanan publik di Yogyakarta (Samsat, Pelayanan Perijinan Satu Atap Dinas Perijinan Pemkot Yogyakarta, Badan Pertanahan Nasional dan RSUP Dr Sardjito) karena Yogyakarta mendapat predikat nomor satu untuk kota yang tidak ada kasus korupsinya. Teras berita (lead) di atas tidak menjelaskan apa yang dimaksud penyimpangan pelayanan publik, seperti pada judulnya. Yang terjadi justru kalimat sebab-akibat, mengapa KPK melakukan sidak, tercermin pada kalimat: karena Yogyakarta mendapat predikat nomor satu untuk kota yang tidak ada kasus korupsinya. Penjelasan tentang bagaimana pelayananan publik yang telah menyimpang itu, lagi-lagi, juga ditemui pada alinea setelah lead itu, yakni pada alinea kedua yang pada intinya menjelaskan bahwa ketika sidak di RSUP Dr Sardjito KPK menemukan beberapa temuan, antara lain pasien Jamiman Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang ternyata harus membayar ongkor berobat, membeli obat, membeli peralatan dan keperluan lain. Ada pula pasien yang meng-klaim ke Jaminan Kesehatan Daerah sebesar Rp 1,2 juta, namun yang diganti hanya Rp 200 ribu dan pasien (diping-pong) ke sana ke mari untuk menyelesaikan urusan itu. Dengan demikian, apa yang menyimpang, bagaimana penyimpangan itu terjadi, baru muncul dijelaskan di dalam body text, jauh di bawah teras beritanya. Pada Koran Tempo, berita tentang hal itu disajikan sudah dengan penilaian, yakni tentang layanan publik di Yogyakarta yang buruk. Dalam sub judul bahkan ditambah dengan fakta pendukung atas penilaian itu yakni : KPK menemukan calo berkeliaran di Samsat. Selengkapnya, lead berita tersebut dikutip sebagai berikut: YOGYAKARTA – Pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi menilai buruk tiga sektor layanan publik di Yogyakarta, sehingga perlu dibenahi. Tiga instansi itu adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), dinas perisinan terkait dengan Pelayanan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) dan pelayanan publik di Sistem Administrasi Manunggal di Bawah Satu Atap (Samsat). Fakta penilaian itu dikutip dari keterangan narasumber Haryono Umar dari KPK.
9
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Pada alinea kedua berita itu, dikutip penjelasan Haryono Umar : “ Saya ke sini (Yogya-karta) untuk memantau dan menyoroti pelayanan publik yang kami anggap harus dibe-nahi,” ujar Haryono. Dengan demikian, pilihan judul di atas, media tersebut mencoba memberi penjelasan kepada khalayak pembaca tentang apa yang terjadi ketika KPK mengadakan inspeksi mendadak di Yogya. Mulai dari tidak ada informasi di kantor BPN, penyimpangan dalam klaim Jamkesmas. Pembaca tidak dibuat menerka sendiri seperti apa pelayanan publik yang disebut menyimpang atau rawan, namun sudah langsung pada penilaian: pelayanan publik buruk. Yang terakhir adalah Kompas edisi Yogyakarta. Suratkabar ini memuat berita atas peristiwa yang sama, meski tidak ditempatkan pada posisi head line, yakni hanya dimuat sebagai berita 3 kolom, namun memberi kesimpulan dengan solusi, yaitu perlunya pembenahan pada sektor pelayanan publik di Yogyakarta. Lead di Kompas dikutip selengkapnya demikian : YOGYAKARTA, KOMPAS – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jumat (30/1), mengunjungi tiga instansi pemerintah yang berhubungan dengan pelayanan pubik dan satu rumah sakit di Provinsi DI Yogyakarta. Dari hasil kunjungan itu, KPK menemukan bahwa pelayanan pada masing-masing instansi perlu dibenahi. Pada alinea ketiga, Kompas menulis fakta atas kondisi yagn perlu dibenahi itu, antara lain saat mengunjungi BPN. Kantor itu, demikian Kompas, tidak menyediakan informasi yang mencukupi bagi publik pengguna layanan, baik menyangkut tarif maupun waktu pengurusan. Setiap pemohon juga harus bertemu langsung dengan kepala seksi. Hal itu bisa saja menimbulkan potensi kolusi. Sebenarnya, informasi seperti itu juga sudah disampaikan oleh suratkabar-surat-kabar lain. Namun, penempatannya tidak bisa segera diketahui dengan mudah oleh pembaca, karena terselip dalam kutipan-kutipan narasumber, berada sangat jauh di bawah lead. Liputan media yang meneropong layanan publik masih sama, yakni hanya mengutip penjelasan narasumber otoritatif, pejabat KPK. Jurnalis belum memberi informasi kepada khalayak, bagaimana perkembangan yang terjadi usai pejabat KPK itu melakukan inspeksi. Apakah pelayanan publik tetap buruk atau bertambah baik?
10
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Mestinya, jurnalis tidak hanya puas atas keterangan narasumber dari KPK itu, yang memberi penilaian bahwa pelayanan publik buruk dan perlu ada upaya memperbaiki. Bisa saja jurnalis itu sabar sebentar untuk melihat apa yang terjadi. Apakah jawaban direktur RS Dr Sardjito yang mengatakan akan memperbaiki sistem layanan publik benar-benar terjadi, atau sekadar memuaskan sang pejabat pemeriksa? Demikian pula di instansi lain yang diinspeksi oleh pejabat KPK itu. Bisa pula jurnalis yang meliput inspeksi mendadak itu bekerja tandem dengan rekan sesama jurnalis sekantor, membagi tugas. Bagaimana kondisi pelayanan publik setelah ditinggal si pemeriksa tadi. Hasil liputan bisa digabungkan menjadi sebuah laporan yang tentunya lebih komprehensif. Tidak hanya memberitakan tentang adanya inspeksi mendadak, kemudian ditemukan beberapa ketidakberesan di sana. Demikianlah ditemui pada empat suratkabar yang telah meliput peristiwa sama, mengutip keterangan dari narasumber sama. Ketika melaporkan menjadi produk jurna-lisme, yang muncul memang beragam sudut pandang, namun sebenarnya substansinya masih tetap sama saja. (agoes widhartono)
11
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Media dan AIDS :
Mengapa Berita HIV/AIDS Tetap Minim?
S atu bulan, dalam tahun 2009 ini terlewati sudah. Itu berarti sudah 26 tahun berjalan setelah ditemukannya kasus AIDS di Indonesia. Dalam sejarah HIV/AIDS Indonesia, awalnya tahun 1983 Dr. Zubairi Djoerban dalam penelitiannya menyatakan dari 30 waria, dua diantaranya kemungkinan AIDS. (http://www.spiritia.or.id) Selanjutnya, perkembangan HIV/AIDS tercatat rapi dalam sebuah sejarah. Dan penelitian tentang itu pun berkelanjutan. Peristiwa demi peritiwa terangkum dan kasus-demi kasus pun tercatat. Kasus meninggalnya wisatawan Belanda di Bali pada tahun 1987 dan diakui Depkes, sehingga Indonesia masuk dalam daftar WHO sebagai negara ke-13 di Asia yang melaporkan kasus AIDS. Cukup banyak peristiwa yang menyangkut kasus HIV/AIDS ini. Jumlah peningkatan angka yang terinfeksi HIV yang setiap tahun selalu bertambah. Dari data Ditjen PPM dan PL Depkes RI menyebutkan secara kumulatif pengidap infeksi HIV dan kasus AIDS 1 Januari 1987 s.d. 31 Desember 2008, terdiri dari: 6.554 HIV dan 16.110 AIDS atau Jumlah HIV/AIDS: 22.664 dengan kematian: 3.362. Sekilas, angka itu nampaknya tidak terlalu signifikan kenaikannya dalam kurun waktu 26 tahun. Namun, fenomena gunung es menyebabkan angka tersebut sesungguhnya jauh lebih tinggi dari angka yang terlaporkan. Salah satu aspek yang perlu dipertanyakan sejauhmana efektivitas kampanye pencegahan dan penularan yang dilakukan, baik oleh lembaga swadaya masyarakat ataupun pemerintah atas nama negara. Sedangkan aspek lainnya, melihat tingginya angka kasus HIV/AIDS ini tentu berimplikasi pada tingginya biaya obat yang dikonsumsi ODHA. ARV (antiretroviral) merupakan obat yang membantu memperlambat HIV agar orang yang terinfeksi tetap sehat dan dapat melakukan aktivitas seperti biasa. Harga obat ini masih tergolong mahal. Oleh karenanya pemerintah berusaha memberikan pelayanan ARV gratis bagi mereka yang tidak mampu.
12
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Pengobatan ARV ini butuh disiplin waktu bagi penggunanya, karena jika tidak, resistensi terhadap obat tersebut dapat terjadi. ODHA yang sudah resisten dengan ARV lini pertama, akibatnya mereka harus mengkonsumsi obat lini kedua yang harganya lebih mahal misalnya Viden, Zerit, Nelfex yang perpaket dihargai Rp.2,4 juta perbulan. Artinya, untuk pengobatan ODHA yang harus mengkonsumsi ARV jenis ini dibutuhkan dana Rp. 28,8 juta per tahun (Buku 22 Jurnalis 22 Cerita tentang Perempuan, Orientasi Seks dan HIV/AIDS: 2007). Belum lagi muncul masalah pelayanan kesehatan yang ada. Seberapa jauh kesiapan tenaga kesehatan, baik dokter, perawat dan sebagainya menghadapi kasus ini, mengingat sejumlah kasus HIV/AIDS terjadi di daerah. Dalam konteks media, pertanyaan yang muncul adalah bagaimana media, khususnya media cetak memberitakan HIV/AIDS ini? Seberapa besar intensitas media melihat isu ini? Apakah berita HIV/AIDS hanya diberitakan jika hanya ada peristiwa saja, dan apakah informasi itu bermanfaat bagi khalayak? Sehingga berita yang disajikan dapat membantu upaya pencegahan bagi masyarakat. Hasil pengamatan terhadap berita-berita HIV/AIDS yang dimuat dua suratkabar versi cetak (Kompas-Jakarta, sirkulasi nasional dan Kedaulatan Rakyat, lokal) ditambah satu media cetak hasil pengklipingan aids-ina.org yakni Jawa Pos periode Januari menunjukkan beberapa hal yang penting dijadikan perhatian pengelola suratkabar dan khususnya jurnalis. Tentu saja hasil pengamatan ini bersifat terbatas karena rentang waktu hanya sebulan, padahal kasus ini berlangsung sudah puluhan tahun. Adapun analisis tidak ditujukan terhadap berita berdasarkan penempatan ketiga suratkabar tersebut. Analisis dimaksudkan untuk melihat secara kuantitas seberapa besar perhatian suratkabar tersebut terhadap kasus HIV/AIDS. Dan jika diberitakan, seperti apa pemberitaan HIV/AIDS tersebut? Tercatat selama Januari 2009, Kompas menurunkan dua item berita, Kedaulatan Rakyat, tidak satu pun memuat berita HIV/AIDS. Sedangkan Jawa Pos, dua item. Semua dalam format penyajian berita langsung (straight news). Dari pengamatan tersebut, dari aspek kuantitas, setidaknya sudah terjawab. Masih sangat minim berita HIV/AIDS di media. Aspek lain tentang kualitas penyajian informasi HIV akan dibahas lebih lanjut.
13
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Tanda Tanya Informatif Sejak awal disadari minimnya berita HIV/AIDS dapat menjadi bahasan bahwa isu ini masih kalah jauh dengan isu-isu lain yang dianggap penting seperti politik, ekonomi, kriminalitas dan sebagainya. Namun bukan berarti isu ini tidak penting, karena masalah ini juga berkaitan dengan manusia. Pencegahan bagi manusia yang belum terinfeksi dan penanganan yang maksimal bagi mereka yang sudah terlanjur terinfeksi. Berkaitan dengan itu, tidak adanya berita HIV/IDS di satu suratkabar juga dapat menimbulkan tanda tanya besar. Apakah memang tidak ada yang penting dengan HIV/AIDS ini, berkaitan jumlah ODHA di DIY sampai dengan Desember 2008, menyebutkan AIDS, 246 kasus, AIDS/IDU 119 kasus dan Odha mati, 70 orang (http://www.spiritia.or.id). Pertanyaan selanjutnya, dari jumlah itu berapa banyak yang sedang menjalani pengobatan ARV? Bagaimana ODHA yang menjalani terapi ARV tersebut, apakah layanan ARV gratis berjalan lancar atau ada kendala? Seperti kendala yang dihadapi? Apakah rumah sakit daerah sebagai rumah sakit rujukan dan tenaga medisnya sudah siap menampung ODHA yang masuk fase AIDS? Jika memang tenaga medis dan masyarakat sudah cukup tercerahkan dengan adanya HIV/AIDS ini, itu tidak menjadi masalah. Persoalannya, masih ada berita tentang ketidaksiapan sejumlah dokter spesialis di Medan, Sumatera Utara menerima ODHA. (Media Indonesia, 10/02) Tentang berita lainnya, Kompas menurunkan berita pertama dengan Judul "Obat ARV Hanya Cukup sampai Maret"(7/1), dan berita Kedua dengan judul “50 Persen Pengidap di Bali 2029 Tahun (13/1). Pada berita pertama berisi tentang persediaan obat ARV di Kota Sukabumi yang hanya sampai Maret, dan Dinas Kesehatan Kota Sukabumi belum mendapat kepastian kapan Departemen Kesehatan akan mengirim ARV. Sedangkan berita kedua, pembaca mendapat informasi singkat tentang Komisi Penanggulangan AIDS Daerah (KPAD) Bali yang gencar mengajak kalangan perusahaan untuk melakukan sosialisasi HIV/AIDS di tempat kerja. Masih tentang berita terkait, ada kompilasi berita dibawahnya yang memberi informasi tentang satu ODHA meninggal di Madiun, Jawa Timur, serta informasi tentang dana APBD Rp.100 juta yang tahun ini akan dialokasikan untuk sosialisasi penggunaan ARV bagi ODHA, pencegahan dan cara-cara penularan ARV.
14
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Sekilas, berita ini relatif sudah memberikan informasi bagi pembaca. Namun jika, pembca yang kritis, ia akan terus bertanya tentang alokasi dana APBD yang sangat minim untuk masalah ini. Berita ini sudah tepat menggambarkan betapa minimnya jumlah anggaran tersebut. Tinggal kemudian jika pembaca mencoba berandai-andai, membandingkan dengan biaya pengobatan ARV untuk seorang ODHA selama setahun, hanya ada 4 ODHA yang bisa di biaya APBD tersebut. Sehingga pengobatan ARV gratis ini menjadi suatu kebutuhan mendesak. Dua berita terakhir yang disajikan suratkabar Jawa Pos. Dari data Kliping http://www.aidsina.org termuat selama Januari Jawa Pos menurunkan dua item berita yakni judul pertama “Anggaran untuk Penderita HIV Membengkak” (7/1) dan kedua, “Penderita HIV Meregang Nyawa” (8/1). Informasi yang ingin disampaikan kepada pembaca pada judul pertama adalah jumlah pengidap HIV/AIDS yang meningkat berimplikasi pada beban anggaran yang besar oleh negara untuk pengobatan ODHA di provinsi Jawa Tengah. Namun yang menimbulkan pertanyaan ketika ada pernyataan tentang Dinas kesehatan Jateng yang mengusulkan warga yang hendak menikah agar menyertakan surat keterangan bebas penyakit tersebut. Cuplikan beritanya sebagai berikut: Sebelumnya, Dinas Kesehatan Jateng mengusulkan warga yang hendak menikah agar menyertakan surat keterangan bebas penyakit tersebut. (alinea 8) Ketua Pansus Raperda HIV/AIDS DPRD Jateng Sarwono mengatakan, usulan tersebut masuk dalam salah satu pembahasan alot dalam penyusunan raperda. Dia mengakui, usulan tersebut masih menjadi pro kontra. (alinea 9) Di sini Jurnalis menelan mentah-mentah pernyataan Ketua Pansus Raperda HIV/AIDS DPRD Jateng, Sarwono bahwa usulan itu menimbulkan pro dan kontra. Meskipun diakui bahwa langkah tersebut cukup efektif menekan penularan penyakit yang belum ada obatnya tersebut. Jika jurnalis kritis dan punya wawasan tentang AIDS, tulisan mungkin tidak melulu tentang pernyataan Ketua Pansus. Jurnalis tersebut setidaknya dapat pula mengungkap bahwa menikah itu merupakan hak asasi setiap orang. Siapapun boleh menikah meski ia terinfeksi HIV, sehingga ODHA pun boleh menikah. Lain halnya dengan berita kedua pada suratkabar Jawa Pos ini. Berita ini sebenarnya mengungkap tentang seorang ODHA yang meninggal di RS. Sanglah, Denpasar, Bali.
15
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Sayangnya, peristiwa yang disampaikan ini dibumbui opini jurnalis yang dapat mengakibatkan pembaca semakin ketakutan akan HIV/AIDS. Atau dengan kata lain pembaca tidak mendapatkan apa-apa selain adanya kematian ODHA dan penolakan warga. Berikut salah satu penggalan beritanya: Hanya, terkait penyebab hingga pemuda nahas ini terinfeksi penyakit mematikan itu, petugas tidak berani memberikan penjelasan pasti. "Yang jelas dia sudah positif," paparnya. (alinea 3) Kata pemuda nahas ini seharusnya tidak masuk menjadi bagian berita karena ini merupakan opini jurnalis. Nahas menurut siapa, menurut jurnalis atau si petugas. Di sini jurnalis seolah-olah memberi penilaian bahwa ketidaksengajaan terinfeksi HIV merupakan kenahasan. Padahal di sini jurnalis bisa menyelipkan informasi cara-cara pencegahan agar tidak tertular, meskipun petugas tidak memberikan penjelasan yang pasti karena memang azas kerahasiaan yang harus dijaga. Selain itu, masih ada yang perlu dikritisi pada alinea berikutnya: Bahkan mirisnya, penolakan warga itu mulai prosesi pemandian dan penguburan. Rata-rata alasan warga karena mereka takut tertular. Enam kasus itu terinci, di Denpasar ada tiga yakni di kawasan Kesiman Dentim, dan tiga kasus lainnya di Jembrana. Uniknya lagi, di Denpasar, kasus terjadi di desa yang sama, dengan tidak diketahui KPA Kota Denpasar (alinea 5) Pertama, kata mirisnya, lagi-lagi jurnalis beropini. Dan fakta penolakan warga yang dikatakan alasannya takut tertular semestinya dengan peristiwa itu jurnalis justru mngungkap bahwa realitas di daerah tersebut masih seperti itu. Padahal sosialisasi tentang pencegahan dan penularan sudah dilakukan sejak lama. Apa artinya, dengan adanya realitas tersebut jurnalis bisa saja tidak hanya sekadar memberikan informasi bahwa ada sejumlah warga yang menolak hadir ke pemakaman ODHA tetapi juga sekaligus mampu memberikan informasi tentang cara-cara penularan dan pencegahannya, serta sekaligus mempertanyakan kepada pihak yang berkompeten terhadap sosialisasi penularan HIV/AIDS ini. Konsistensi kepedulian Pers, termasuk suratkabar, sebagai institusi sosial memikul tanggungjawab untuk menjalankan fungsi kontrol. Fungsi kontrol ini sudah tentu harus dijalankan secara konsisten.
16
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Menjalankan fungsi kontrol secara konsisten hanya dapat dilakukan apabila didukung kepedulian yang konsisten pula. Itu berarti tidak cukup bagi suratkabar hanya memberitakan telah terjadi suatu persoalan yang menyangkut kehidupan banyak orang dan persoalan itu mendapat perhatian masyarakat luas. Sebagai konsekuensi dari fungsi kontrol yang diembannya, suratkabar dituntut untuk memberitakan pula bagaimana persoalan tersebut ditangani, serta apakah penanganan yang dilakukan sungguh mampu mengatasi persoalan itu. Kembali pada pertanyaan semula tentang mengapa media masih tetap minim memberitakan HIV/AIDS, hal ini perlu kiranya merujuk pada kondisi pers atau suratkabarnya. Kebijakan redaksi yang menjadi bagian dari suatu keputusan akan dimuat atau tidaknya suatu berita. Berbagai pelatihan diselenggarakan untuk jurnalis agar peduli terhadap persoalan ini. Realitasnya, memang masih banyak kendala, baik dari sisi eksternal, tempat jurnalis bekerja dan internal jurnalis. Mengingat belum konsistennya media dalam memberitakan HIV/AIDS, itu artinya upaya pencegahan belum maksimal dijalankan, padahal pers atau media menjadi salah satu agen dalam membantu pencegahan secara mandiri. Selain itu, media yang hanya berhenti pada pemberitaan tentang kasus atau peristiwa HIV/AIDS, ini menjadi pertanyaan mengingat peningkatan angka kasus HIV terus menerus. Oleh karena itu diperlukannya upaya berlanjut tentang informasi HIV/AIDS, tentang cara-cara pencegahan, cara-cara penularan dan sebagainya. Untuk itu, sebagai bentuk kepedulian media terhadap persoalan ini, kiranya perlu konsistensi mengangkat berita HIV/AIDS dengan tujuan memberi informasi kepada masyarakat dengan tepat. Kepedulian ini diharapkan tumbuh dari internal jurnalis yang selanjutnya berkembang lebih jauh. Mulai dari hal yang nampaknya kecil tetapi besar manfaatnya, yakni dengan tidak menggunakan bahasa sensasional dan mendramatisasi tentang HIV. (ismay prihastuti)
17
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Media dan Kebencanaan :
Persoalan Kesehatan Korban Banjir Nyaris Luput dari Pemberitaan
Ada empat topik yang menyita perhatian dan ruang pemberitaan media cetak pada Januari 2009. Pertama, serbuan Israel ke Gaza yang menyebabkan kehancuran permukiman dan menewaskan 1000 lebih warga Gaza. Kedua, perhelatan akbar pelantikan Barack Obama menjadi presiden ke-44 AS pada 20 Januari. Ketiga, hiruk pikuk dinamika politik nasional menjelang Pemilu 2009. Keempat, bencana banjir yang terjadi di hampir seluruh pulau di negeri ini. Jika pemberitaan Obama menyurut dalam sepekan usai hari pelantikan, begitu pula kabar dari Gaza, topik politik nasional Indonesia cenderung meningkat dalam porsi pemberitaan. Lantas, bagaimana dengan pemberitaan bencana banjir? Kendati tak sehingar-bingar cerita Gaza, Obama dan persiapan menjelang Pemilu 2009, kabar bencana banjir masih mendapat ruang di media. Bahkan, kabar banjir masih mewarnai lembar-lembar suratkabar dan tayangan televisi hingga Februari. Berbeda dengan Gaza, Obama dan persiapan Pemilu 2009, berita bencana banjir tampaknya telah menjadi sajian rutin media pada setiap akhir tahun hingga satu-dua bulan di awal tahun (Desember - Februari). Bagi media, bencana banjir bagai peristiwa yang sudah dijadikan agenda tetap liputan tahunan. Bahkan, seakan-akan media sudah mempunyai template untuk berita bencana ini. Jurnalis tinggal mengisi template itu dengan fakta terkini menyangkut wilayah, waktu, ketinggian air dan perubahannya (meninggi-menyurut), jumlah korban, luasan genangan, kerugian. Tidak ada yang salah dengan cara pemberitaan bencana banjir seperti itu. Akan tetapi ada satu aspek yang nyaris luput dari perhatian jurnalis. Dikatakan nyaris luput berarti hampir saja aspek itu tak tersentuh dan tak terberitakan media. Aspek tersebut yakni tentang persoalan kesehatan (termasuk sanitasi) bagi korban banjir. Persoalan kesehatan di sini bukan hanya soal
18
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
dampak banjir bagi kesehatan korban, tetapi juga menyangkut bagaimana pelayanan kesehatan terhadap mereka. Mengapa fakta tentang persoalan kesehatan (termasuk sanitasi) bagi korban banjir perlu dicermati jurnalis? Mengapa jurnalis perlu mencermati fakta ini? ******** Khususnya di Indonesia, banjir merupakan persoalan besar bagi kehidupan masyarakat karena kerugian yang ditimbulkannya, terlebih lagi karena banjir merupakan bencana alam yang paling sering terjadi di negeri ini. Data Pusat Pengembangan Krisis Departemen Kesehatan Indonesia (www.ppk-depkes.org) menunjukkan bahwa selama 2008 dari 645 kejadian bencana alam, hampir 50% berupa banjir (317 kejadian, jika ditambah banjir bandang menjadi 340 kejadian), di urutan kedua yaitu longsor (110 kejadian). Banjir tak hanya menimbulkan kerugian ekonomi dan hilangnya jiwa. Gangguan kesehatan para pengungsi merupakan persoalan yang pasti muncul. Kasus bencana banjir di Jabodetabek tahun 2007 menunjukkan hal itu. Data dari Dinas Kesehatan Provinsi DKI, Banten dan Jawa Barat yang direkapitulasi Pusat Pengembangan Krisis-Depkes (www.ppk-depkes.org 15/2/2007) menunjukkan akibat kondisi pengungsian yang kurang layak (tercemar sampah, lumpur, sanitasi buruk, dsb) 637 pengungsi mengalami ISPA dan 400 pengungsi (terutama anak-anak) mengalami diare. Riset yang dilakukan Christopher A Ohl menggambarkan bahwa kondisi buruk di daerah yang terkena banjir telah menyebabkan munculnya, bahkan meningkatnya, angka penderita diare (termasuk kolera dan disentri), ISPA (Inveksi Saluran Pernapasan Akut), hepatitis A dan B, tifus, leptospirosis, dan penyakit berbasis vektor nyamuk dan lalat. (Flooding and human health, British Medicine Journal, 2000) Korban yang paling rentan terhadap gangguan penyakitpenyakit ini terutama kelompok rentan, yaitu bayi, balita, anak-anak, perempuan dan lansia. Di sisi lain, para korban banjir adalah kelompok yang berada pada kondisi rapuh baik secara fisik maupun psikologis. Dalam kondisi mempertahankan hidup, seringkali persoalan kesehatan terabaikan. Untuk itu bantuan pihak lain diperlukan. Terlebih lagi bahwa kesehatan para pengungsi merupakan hak, sebagaimana ditegaskan dalam UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana pasal 26 ayat 2: Setiap orang yang terkena bencana berhak mendapatkan bantuan pemenuhan kebutuhan dasar. Adapun pemenuhan kebutuhan dasar yang merupakan bagian dari rangkaian tanggap darurat bencana (emergency response)
19
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
meliputi bantuan penyediaan kebutuhan air bersih dan sanitasi, pangan, sandang, pelayanan kesehatan, pelayanan psikososial dan penampungan/tempat hunian (Pasal 53). Pertanyaan kita tatkala bencana banjir terjadi di berbagai daerah, bagaimana media, khususnya suratkabar, memberitakan bencana banjir? Apakah media (khususnya para jurnalisnya) menaruh perhatian pada aspek kesehatan korban banjir? Ataukah aspek ini terluput dari perhatian mereka? Untuk menjawab hal itu, dilakukan pengamatan sederhana terhadap berita-berita banjir pada dua suratkabar harian, yaitu Kompas dan Suara Merdeka. Kompas sebagai suratkabar nasional yang diasumsikan meliput seluruh Indonesia, Suara Merdeka sebagai suratkabar lokal Jawa Tengah yang diasumsikan memberi ruang bagi liputan banjir di daerah sirkulasi (daerah Jawa Tengah, khususnya Pantura dan bagian selatan) yang kebanyakan daerah rawan banjir. Setidak-tidaknya, 15 dari 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah mengalami banjir di awal 2009 (Kompas, 31/1 hal 23). Adapun periode pemberitaan yang diamati yaitu Januari 2009 (masa banjir, yang diawali akhir Desember, atau sebagian baru mulai). Materi yang diamati mencakup straight news, features dan laporan. Tujuan pengamatan bukan untuk membandingkan kedua media tersebut baik dari sisi kuantitatif maupun kualitatif, melainkan apakah media, lebih khusus lagi jurnalis, menaruh perhatian terhadap persoalan kesehatan para korban banjir sebagai salah satu aspek penting ketika terjadi bencana. Dengan demikian, suratkabar yang memberitakan persoalan kesehatan lebih banyak tidak dengan sendirinya mendapat nilai lebih baik dari lainnya. Sebaliknya, yang lebih sedikit memberitakan soal kesehatan tidak bisa dikatakan lebih buruk. Lagipula, diasumsikan bahwa masing-masing suratkabar mempunyai khalayak pembaca berbeda. Selain itu, riset sederhana ini juga tidak dimaksudkan untuk menjawab mengapa media atau jurnalis memberitakan (dengan cara dan intensitas tertentu) atau tidak memberitakan aspek kesehatan dalam konteks bencana banjir. Untuk menjawab hal itu dibutuhkan riset tersendiri dengan jurnalis sebagai subyek utama. Tujuannya untuk mengetahui seperti apa media atau jurnalis mengabarkan bencana banjir, apakah mereka memberi perhatian terhadap aspek kesehatan atau lebih banyak atau lebih terfokus memaparkan fakta-fakta keras seperti luas genangan, jumlah korban dan kerugian, atau fluktuasi tinggi genangan.
20
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Kalaupun memberitakan, seperti apa fakta itu disajikan dan fakta-fakta apa yang disampaikan ke publik. Apakah dengan penyajian seperti itu khalayak mendapat manfaat, baik untuk dirinya sebagai person pembaca maupun sebagai publik, baik sebagai korban bencana maupun bukan. Apabila persoalan kesehatan kurang atau tidak mendapat publikasi, maka akan timbul sejumlah anggapan. Pertama, pembaca beranggapan bahwa tidak ada persoalan kesehatan dalam bencana banjir. Kedua, persoalan kesehatan hanya muncul di daerah tertentu (sesuai yang diberitakan). Ketiga, persoalan kesehatan di tengah bencana banjir bukan isu penting untuk dibicarakan karena media pun tidak (atau kurang) mengangkatnya. Selain itu, dalam konteks relasi negara - warga negara, publik tidak mendapat informasi apakah negara sudah menjalankan kewajibannya memenuhi hak warga negara (yang menjadi korban banjir) untuk mendapatkan pelayanan kebutuhan dasar ( di antaranya pelayanan kesehatan); kalaupun sudah, apakah sesuai dengan kebutuhan. Dalam hal ini kontrol terhadap pelaksana dan pelaksanaan pelayanan publik yang melekat dalam fungsi media tidak berjalan. Untuk melihat seperti apa media memberitakan persoalan kesehatan di tengah bencana banjir pengamatan ditujukan kepada kuantitas pemberitaan, kualitas penyajian informasi fakta kesakitan dan fakta tentang pelayanan kesehatan. Fakta tentang pelayanan kesehatan meliputi informasi dan edukasi tentang persoalan kesehatan di tengah banjir, pelayanan pengobatan, ketercukupan fasilitas (tenaga, obat dan pendukung), keterjangkauan, sanitasi dan penyediaan air bersih. Minim Liputan Hasil pengamatan menunjukkan secara kuantitatif berita yang menjadikan persoalan kesehatan sebagai topik utama maupun berita banjir yang mengandung informasi tentang persoalan kesehatan di dua suratkabar amat minim dibandingkan dengan keseluruhan berita banjir yang dipublikasikan. Hanya ada delapan berita yang bermuatan informasi tentang topik ini dari seluruh berita banjir yang berjumlah 83 item (Kompas 33 item, Suara Merdeka 50 item) (tabel 1.)
Tabel 1. Jumlah Berita Banjir dan Jumlah Berita Berkandungan Informasi Soal Kesehatan (Kompas dan Suara Merdeka edisi Januari 2009)
21
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Media
Jumla h
Ada Kandungan informasi/
Format Penyajian
Item Straight News
features
Indepth reporting
fakta ttg soal kesehatan
Penempatan Soal Kesehatan sbg topik
Soal kesehatan hanya informasi tambahan/sisipan
Utama
Kompas
33
31
2
--
3
1
2
Suara Merdeka
50
47
3
--
5
3
2
JUMLAH
83
78
5
--
8
4
4
Delapan berita tersebut hanya berasal dari lima daerah banjir, yaitu Semarang (3 item), Demak (1), Pekalongan (1), Sulawesi Barat (1), Jakarta (2). Padahal, Suara Merdeka saja memberitakan banjir di 16 kabupaten/kota di Jawa Tengah. Adapun Kompas mengangkat peristiwa banjir di lebih dari 25 kabupaten/kota yang meliputi Pulau Jawa (Jakarta, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah dan Jawa Timur), Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Sumbawa. Berita kategori pertama yaitu yang menjadikan persoalan kesehatan sebagai topik berita (bisa dicermati dari judul, lead hingga tubuh berita sekalipun tidak seluruhnya), hanya empat (1 di Kompas, 3 di Suara Merdeka). Kompas edisi 22/1 (hal 23) memasang judul Korban Terserang Gatal-gata. Suara Merdeka menjadikan soal kesehatan sebagai topik utama berita banjir dengan judul Waspadai Penyakit Kulit (17/1 hal F), Pengungsi Terserang Diare dan Penyakit Kulit (20/1 hal F) dan Pascabanjir Rawan Penyakit Kulit (25/1 hal F). Berita kategori kedua, yakni berita banjir yang di dalam tubuh beritanya terkandung informasi persoalan kesehatan sebanyak empat item (2 di Kompas, 2 di Suara Merdeka). Di Kompas terdapat pada berita berjudul Banjir, Warga Mengungsi (15/1 hal 1) dan Latihan Penanggulangan Banjir Digelar (7/1 hal 26). Sedangkan di Suara Merdeka, informasi tersebut terselip pada berita berjudul Banjir Meninggi, Pengungsi Bertambah (15/1 hal F) dan sekilas pada berita berjudul Dipersiapkan Tempat Pengungsian (16/1 hal H). Penyajian berita banjir dengan kandungan informasi persoalan kesehatan semua dalam format straight news. Lima features atau berita kisah dari 83 item berita tidak bermuatan persoalan
22
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
kesehatan. Padahal sesungguhnya, persoalan kesehatan di tengah bencana banjir sangat potensial untuk disajikan dengan pendekatan features. Namun pilihan format penyajian berita bukan cakupan pembahasan di sini. Miskin Fakta Berita banjir di dua suratkabar tak hanya minim (secara kuantitatif) dari informasi persoalan kesehatan. Berita yang mengangkat persoalan kesehatan sebagai topik dan berita yang menjadikan informasi persoalan kesehatan sebagai pelengkap pun miskin fakta. Dari beritaberita itu tidak diperoleh informasi memadai tentang kondisi kesehatan para korban (terutama kelompok rentan) dan seperti apa upaya pelayanan kesehatan bagi mereka sebagai bagian dari bentuk pemenuhan hak atas kebutuhan dasar korban di masa tanggap darurat bencana. Sebetulnya, kalau kelengkapan fakta dijadikan salah satu alat ukur, maka jumlah berita yang bisa dikatakan bermuatan informasi persoalan kesehatan kurang dari delapan item. Persisnya hanya empat. Sebab, informasi yang disajikan pada berita kategori kedua (persoalan kesehatan bukan topik utama) nyaris tidak memberikan gambaran apapun. Berikut adalah kondisinya. Pada berita berjudul Dipersiapkan Tempat Pengungsian (Suara Merdeka 16/1 hal H), yang memberitakan banjir di beberapa wilayah di Pekalongan, informasi tentang persoalan kesehatan hanya satu alinea terdiri dari dua kalimat. Kutipannya sebagai berikut: Banjir cukup berdampak terhadap kesehatan masyarakat. Kemarin, digelar pengobatan gratis di Balai Desa Jeruk Sari. Banyak pertanyaan tak terjawab dari informasi seperti itu. Jika disebut berdampak terhadap kesehatan masyarakat, apa faktanya? Gangguan kesehatan apa yang dialami para korban banjir, siapa yang mengalami, berapa banyak yang sudah mengalami? Pertanyaan elementer ini pun tak bisa dijawab oleh berita tersebut. Kemudian, ketika dalam berita tersebut disebutkan, ...Kemarin, digelar pengobatan gratis di Balai Desa Jeruk Sari, pembaca tidak mendapat informasi tentang siapa penyelenggaranya (lembaga pemerintah, instansi swasta, organisasi kemasyarakatan?), berapa banyak korban yang dilayani , siapa yang berobat/mengalami gangguan kesehatan dan dengan keluhan penyakit apa saja. Pembaca juga tidak mendapat informasi cukup tentang persoalan kesehatan melalui berita berjudul Banjir Meninggi, Pengungsi Bertambah (Suara Merdeka 15/1 hal F). Dalam berita yang
23
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
mengabarkan perkembangan banjir di Semarang ini, diinformasikan sekilas adanya bantuan bahan makanan dan obat-obatan dan PMI membuka Posko di basement ruko yang dijadikan tempat pengungsian. Apa yang bisa didapat pembaca dari informasi semacam ini? Ada bantuan obat-obatan tapi tidak disebutkan dari mana, untuk kebutuhan apa saja, untuk mengcover berapa pengungsi? Antisipasi terhadap gangguan kesehatan apa? Apakah basement itu memadai atau mampu menampung pengungsi? Fasilitas pendukung sanitasi tersedia? Jumlahnya cukup sesuai jumlah pengungsi? Informasi minimalis yang miskin fakta tentang persoalan kesehatan (kondisi kesehatan maupun pelayanan) juga terlihat pada dua berita lain. Pada berita berjudul Latihan Penanggulangan Banjir Digelar (Kompas 7/1 hal 26), yaitu tentang latihan penanggulangan banjir di Jakarta, disisipkan fakta hasil pengamatan wartawan bahwa dalam pelatihan itu diperlihatkan tenda untuk rumah sakit lapangan, kemudian fakta lisan tentang disiapkannya 324 Puskesmas, 240 ambulans, 286 dokter dan 1.292 paramedis. Cuma itu. Berita tersebut menganggap pembaca tidak perlu tahu berapa banyak rumah sakit lapangan yang tersedia dan siap, apakah cukup. Begitu pula pembaca dianggap tidak perlu tahu apakah jumlah puskesmas, ambulans, dokter dan paramedis dengan jumlah tersebut sesuai dengan kebutuhan (kalau lebih tentu bagus, kalau kurang tentu bisa dipersoalkan). Pembaca pun tak mendapat informasi apakah ada fasilitas sanitasi dan air bersih disiapkan. Informasi yang minim fakta juga terpaksa harus diterima pembaca tatkala mengikuti berita berjudul Banjir, Warga Mengungsi (Kompas 15/1 hal 1). Ironis, dalam berita utama halaman pertama yang menyediakan space memadai, informasi tentang aspek kesehatan hanya satu alinea dan sekilas pintas. Demikian informasi itu ditulis Pos-pos pengungsian sudah didirikan di lokasi-lokasi yang dilanda banjir paling parah. Dapur umum dan mobil kesehatan keliling disediakan sejak pagi. Jurnalis atau media tentu bisa saja berkilah bahwa berita-berita tersebut tidak menjadikan aspek kesehatan sebagai topik utama. Apalagi dalam format straight news. Dan memang ya. Meskipun demikian, bukan berarti ketika memasukkan informasi tentang aspek ini lantas terkesan hanya sekadar ada, sekadar tempelan, yang tidak menunjukkan sikap mempertanyakan si jurnalis terhadap fakta di lapangan. Bukankah sejatinya jurnalis adalah kepanjangan mata dan telinga pembaca? Pertanyaan-pertanyaan di atas, sesungguhnya amat bisa dijawab tanpa harus mengubah topik berita. Jika empat berita di atas disebut miskin fakta terkait persoalan kesehatan, apakah empat berita yang menjadikan persoalan kesehatan sebagai topik utama bisa dikatakan memadai untuk
24
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
menggambarkan realitas persoalan kesehatan dalam konteks bencana (banjir)? belum sepenuhnya juga.
Ternyata
Berita Kompas berjudul Korban Terserang Gatal-gatal (22/1 hal 23) yang mengabarkan kondisi korban banjir di Polewali, Mandar, Sulawesi Barat, memang menunjukkan dampak jelas banjir terhadap kesehatan korban dengan nara sumber para korban. Sejumlah warga sudah menderita gatal-gatal. Dari penuturan warga, diperoleh informasi bahwa pelayanan pengobatan sudah ada. Fakta kondisi lingkungan yang buruk yang ikut mempengaruhi kondisi kesehatan juga tergambar, sekalipun dengan informasi terbatas. Dalam berita sepanjang lima alinea untuk kesehatan (total 15 alinea) itu dipaparkan warga mandi, buang air dan cuci pakaian di sungai. Untuk kebutuhan memasak masih ada sumur yang tidak tertimbun lumpur banjir juga ada pasokan air bersih dari pemerintah. Anak-anak buang air besar dan kecil di sekitar tenda. Hanya saja tidak ada informasi mengenai seberapa cukup fasilitas pelayanan kesehatan (obat dan air bersih) dari pemerintah. Ketercukupan fasilitas ini antara lain bisa diperbandingkan dengan kebutuhan. Untuk itu perlu ada informasi rasio antara jumlah pengungsi dengan fasilitas yang tersedia. Informasi ini tak ada di berita. Untuk masalah sanitasi, apakah pengungsi juga mendapat informasi dan edukasi untuk tindakan preventif terhadap ancaman gangguan kesehatan? Tidak ada informasi itu. Demikian pula pembaca pun tidak mendapat gambaran tentang kondisi tempat pengungsian yang disebut berupa tenda. Tenda seperti apa? Sebab, tempat bernaung (shelter) juga menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi daya tahan tubuh pengungsi terutama kelompok rentan (bayi, balita, anak-anak, perempuan dan lansia). Pembaca juga tidak mendapat informasi berapa banyak pengungsi yang termasuk kelompok rentan? Dan apakah ada fasilitas untuk menjaga kesehatan mereka? Tanpa ada fakta-fakta tersebut, pembaca menangkap kesan bahwa kondisi pengungsi baik-baik saja, mereka tidak terancam apa pun, dan pelayanan untuk pemenuhan kebutuhan dasar (termasuk kesehatan) sempurna. Namun, itu pun hanya kesan atas fakta yang tidak lengkap. Informasi yang mengesankan bahwa pemerintah menjalankan fungsi pelayanan tanggap darurat untuk kesehatan korban banjir di Semarang Utara diberitakan Suara Merdeka (Waspadai Penyakit Kulit, 17/1 hal F). Berita 10 alinea berisi antara lain imbauan kepada warga korban banjir ini sepenuhnya mengutip seorang narasumber, yaitu Kepala Dinas Kesehatan
25
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Semarang. Warga korban banjir diimbau waspadai pascabanjir karena penyakit lebih rawan menyerang warga (lead). Dalam berita itu dikutip pula keterangan narasumber bahwa Dinas Kesehatan “selain menggencarkan informasi melalui kader Puskesmas, posko keliling juga dilakukan, termasuk pengadaan obat. Juga disiagakan 7 Puskesmas. Selain itu, masih bersumber dari pejabat yang sama, Suara Merdeka ini menginformasikan ...khusus untuk bayi 6 bulan-1 tahun di tempat pengungsian pihaknya mempersiapkan makanan pendamping ASI. Sedangkan balita disiapkan biskuit.Untuk susu kami tidak merekomendasikan untuk bayi di pengungsian. Kami khawatir air di lingkungan banjir tidak bersih. Tak salah jurnalis memberitakan fakta lisan yang bersumber dari pejabat pemerintah. Namun, berita itu perlu dikritisi sebab begitu banyak pertanyaan tak terjawab. Apakah informasi melalui kader Puskesmas diketahui warga? Kalau diketahui, apakah warga memahaminya? Kalau memahami, apakah menjalankan anjuran-anjuran petugas medis? Tentang tidak direkomendasikannya pemberian susu (non ASI) kepada bayi di pengungsian karena persoalan air bersih, apakah betul-betul diikuti warga? Jangan-jangan, faktanya berbicara lain? Kemudian, ketika kekhawatiran bahwa air di pengungsian tak bersih, seharusnya ada fakta bahwa air bersih yang menjadi kebutuhan warga/korban memang tak tersedia. Lalu, dari mana dan bagaimana warga mendapatkan air bersih? Mengapa pemerintah tidak menyediakan air bersih? Padahal salah satu persoalan yang dihadapi korban bencana banjir yaitu ketersediaan air bersih, sebab banyak sumber telah tercemar lumpur, sampah, kotoran manusia dan ternak, dsb. Berita dengan niat baik ikut mencegah korban banjir dari terpapar penyakit ditulis Suara Merdeka edisi 25 Januari dengan judul Pascabanjir Rawan Penyakit Kulit. Lead berita tersebut ditulis demikian..Warga di kawasan banjir, pascabanjir diminta lebih menjaga kebersihan lingkungan rumah. Karena seusai banjir, seringkali penyakit gatal dan muntaber mulai menyerang. Imbauan ini disampaikan seorang dokter pada acara pengobatan gratis di lokasi banjir Semarang Timur yang diselenggarakan PCM (Pimpinan Cabang Muhammadiyah) Ada persoalan teknis penuturan dalam berita ini. Imbauan tersebut disampaikan kepada warga atau kepada wartawan? Sebab, dalam berita tertulis ...kata dokter X di sela-sela pengobatan gratis yang diselenggarakan PCM. Kalau disampaikan kepada wartawan, berarti imbauan ini belum tentu sampai ke warga. Apakah warga korban banjir bisa mengakses suratkabar? Kalau
26
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
disampaikan langsung ke warga dalam sebuah forum penyuluhan, misalnya, tentulah harus disebutkan bahwa imbauan itu disampaikan dokter X kepada warga saat penyuluhan di selasela acara pengobatan gratis. Dengan demikian, pembaca mendapat informasi bahwa para korban banjir mendapat informasi untuk tindakan preventif yang merupakan haknya (hak untuk sehat). Tentu saja harus dilengkapi pula dengan informasi tambahan, apakah warga memahami informasi tersebut. Sayang fakta itu tak muncul, dua alinea lain dari berita itu justru berisi informasi tentang berbagai kegiatan PCM yang tak berhubungan sama sekali dengan persoalan korban banjir, khususnya persoalan kesehatan korban banjir di Semarang Timur. Pembaca juga tak mendapat informasi berapa warga yang mendapat pengobatan gratis itu. Di berita hanya disebutkan target pengobatan 400 orang. Lalu, penyakit apa saja yang dikeluhkan warga yang telah terlayani? Perlu Bekal Mencermati banyaknya pertanyaan tak terjawab atas berita kesehatan di bencana banjir yang jumlahnya pun amat minim itu, tak ada pilihan saran bagi jurnalis kecuali menambah perbekalan diri dengan pengetahuan tentang aspek-aspek kebencanaan. Kajian di atas menunjukkan bahwa sentuhan isu kebencanaan belum tampak dalam pemberitaan. Ketika meliput banjir jurnalis perlu mengetahui hal-hal mendasar seperti luasan genangan, kerugian (ekonomi, fisik, sosial) yang timbul dan mungkin timbul, penyebab bencana, jumlah korban (terutama kelompok rentan, seperti bayi, balita, anak-anak, perempuan dan lansia), fasilitas-fasilitas publik yang terganggu berikut dampaknya, dan tentu saja apa dan bagaimana tindakan untuk mengurangi kerugian tersebut. Tentu saja, pengetahuan tentang persoalan yang muncul, seperti kesehatan para korban/pengungsi, mutlak dimiliki. Ketika meliput peristiwa bencana seperti halnya banjir , maka jurnalis perlu membekali diri dengan pengetahuan tentang aspek situasi tanggap darurat bencana (emergency response). Tanggap darurat bencana adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan dengan segera pada saat kejadian bencana untuk menangani dampak buruk yang ditimbulkan, yang meliputi kegiatan penyelamatan dan evakuasi korban, harta benda, pemenuhan kebutuhan dasar, perlindungan, pengurusan pengungsi, serta pemulihan prasarana dan sarana (UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana, Pasal I ayat 10).
27
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009
[EDISI : 02 /FEBRUARI 2009]
Pemenuhan kebutuhan dasar, salah satunya pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih dan sanitasi, bagi korban banjir adalah bagian dari tindakan tanggap darurat. Bagaimana tindakan ini dilaksanakan, dan seberapa bermanfaat bagi korban bencana, menjadi salah satu tugas jurnalis untuk memotretnya dan memaparkan ke publik. Melalui media, yang memotret dengan tepat, jelas,lengkap, publik bisa melihat apakah para korban bencana banjir sebagai warga negara telah mendapatkan hak-haknya, khususnya hak atas pemenuhan kebutuhan dasar (di antaranya pelayanan kesehatan, air bersih, sanitasi) dari pemerintah. Sebaliknya, publik bisa mendapat gambaran apakah pemerintah telah menjalankan kewajibannya memenuhi hak-hak warga. Untuk mendapatkan potret ini tentu saja dibutuhkan sikap kritis jurnalis ketika mencari dan menemukan fakta di lapangan, selain pengetahuan memadai tentang kebencanaan. (dedi h
purwadi)
Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Redaksi : Ismay Prihastuti, Dedi H. Purwadi, Agoes Widhartono, Rondang Pasaribu. Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo
28
Edisi : 02/februari 2009
March 2, 2009