Edisi 62 Juni 2003
ISSN 0853-7402
L
P
3
Y
d
a
n
F
o
r
d
F
o
u
n
d
a
t
i
o
n
TAMPAK sejumlah orang berumur di atas tiga puluh- yang padat seperti tertera dalam panduan. Persoalan lain di luar substansi workshop ini terdengar an tahun dengan pakaian warna gelap memasuki ruang pelatihan. Siapakah mereka? Itulah sosok wartawan senior rasa rindu mereka terhadap keluarga. Salah satu peserta yang Media Indonesia. Sebanyak 26 peserta yang terdiri dari 23 kebetulan perempuan dan punya dua anak usia balita, laki-laki dan hanya 3 orang perempuan mengikuti Workshop persoalan waktu ini menjadi hal yang tidak mudah. Untuk Redaktur yang diselenggarakan pada 19-28 Mei lalu. Mereka menanggulangi rasa rindu terhadap anak-anaknya, hampir tiap hari ia menelpon anaknya. “Saya tidak tenang menginap di Hotel Mutiara, jalan Malioboro Yogyakarta. Adapun tujuan workshop tingkat redaktur ini meninggalkan mereka terlalu lama” katanya. Itulah ungkapan diselenggarakan selain agar peserta punya pemahaman yang hati salah seorang ibu pekerja. Dia harus mampu menguasai lebih tajam tentang peta persaingan bisnis, juga punya atau mengatasi dua dunia, dunia pekerjaannya dan dunia anak-anaknya di rumah. Tapi apakah itu pemahaman lebih tajam tentang visi dan juga terjadi pada pekerja laki-laki, atau D a f t a r I s i misi harian Media Indonesia. Sehingga itukah tuntutan perempuan bekerja di muara dari kegiatan itu diharapkan ● Pengantar Redaksi ................ 1 sektor publik? peserta dapat mengimplementasikan ● Kalender .............................. 2 Terlepas dari persoalan itu, ada satu sikap Media Indonesia terhadap XXXXXXXXXXXXXXX hal yang patut dicontoh selama workshop ● Dapur Info ............................ 3 fenomena yang terjadi di ruang publik, - Mudah-mudahan Pesawat itu Jatuh berlangsung. Meski waktu yang baik melalui politik pemberitaan sehari- Catatan dari Seminar Pekerja Migran ..... dikeluhkan terlalu lama bagi mereka, hari maupun melalui editorial. ● Analisis Info ......................... 7 namun sikap profesional dengan tetap Selama sepuluh hari mengikuti Presenter Berita Perempuan : Otoritatif ..... disiplin dalam hal waktu dan pengerjaan workshop, bagi mereka memang sesuatu ● Sumber Info ......................... 9 tugas patut ditiru. Meski ada beberapa yang “luar biasa”, tidak seperti biasanya. Bisnis Versus HIV/AIDS peserta yang sempat “down” karena Beberapa peserta mengatakan paling ● Spesial Info ........................ 11 terlalu lelah, workshop redaktur kali ini Reporter Televisi, Mengapa Harus Cantik? lama mereka mengikuti pelatihan● Info Buku ........................... 13 relatif berjalan lancar dan sesuai rencana. pelatihan sebelumnya hanya 5 hari - Menelusuri Relasi Bahasa Gender Semoga wartawan yunior dalam hal ini sampai satu minggu. Workshop kali ini - Berdamai Dengan Suara Hati bisa mencontoh seniornya. (May) memang luar biasa, apalagi dengan jadwal ●
Profil .................................. 16
Cara mendapatkan NEWSLETTER PMP AIDS: Kirimkan identitas serta nama media Anda, akan kami kirimkan secara gratis. Informasi yang kami muat di NEWSLETTER dapat dikutip atau disiarkan tanpa ijin asal menyebut sumber. Apabila anda memiliki informasi tentang HIV/AIDS yang layaka untuk disebarkan kepada masyarakat luas, silakan kirim dan akan kami muat. Anda dapat menghubungi kami ke alamat: LP3Y Jl.Kaliurang Km 13,7 Ngemplak, Sleman, Yogyakarta 55584 atau via telepon dan faksimili No. (0274)896016, email:
[email protected] dan situs http://www.lp3y.org Penanggung Jawab : Ashadi Siregar Pimpro/Pemimpin Redaksi : Slamet Riyadi Sabrawi Staf Redaksi : Ismay Prihastuti, Laily Rahmawati, Masduki, Th. Puspitawati, Rondang Pasaribu Sekretaris Redaksi : W. Nurcahyo
1
K
a
l
e
n
d
e
r
Belum ada artikelnya
2
D
a
p
u
r
I
n
f
o
‘Mudah-Mudahan Oleh : Gantyo Koespradono *)
BERSAMA rekan-rekan redaktur se-Media Indonesia, sejak 18-28 Mei 2003, saya mengikuti pelatihan redaktur yang diselenggarakan Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerbitan Yogyakarta (LP3Y). Bagi saya mengikuti pendidikan semacam ini bukanlah barang baru, sebab kegiatan serupa juga pernah saya ikuti di Lembaga Pers Dr Sutomo Jakarta. Buat saya, LP3Y juga bukan ‘makhluk asing’, sebab saya pernah mengikuti pelatihan tentang penulisan AIDS angkatan pertama manakala untuk kali yang pertama LP3Y mendapat proyek berkala soal itu dari Ford Foundation. Yang baru bagi saya adalah bahwa pelatihan redaktur Media Indonesia itu berlangsung di Yogyakarta, kota pelajar yang citra “pelajarnya” telah luntur oleh tuntutan zaman. Unsur baru yang juga saya rasakan dalam pelatihan kali ini adalah bahwa saya hadir ke Yogyakarta tidak sendirian, tapi bersama dengan seluruh rekan yang berjabatan redaktur di Media Indonesia. Proyek pelatihan ini sendiri sebenarnya sudah dirancang jauh-jauh hari tatkala Saur Hutabarat menduduki jabatan pemimpin redaksi dua tahun lalu (yang bersangkutan kini menjabat Pemimpin Redaksi Metro TV). Karena itu banyak yang menyebut pelatihan bagi para redaktur ini sebagai proyek gilagilaan yang memiliki risiko tinggi. Ya, risiko tinggi, karena dengan cara “bedol desa” itu, kami para redaktur harus tega mendelegasikan tugas dan wewenang sehari-hari
kepada para asisten redaktur (asred). Ada memang perasaan waswas, jangan-jangan kepergian kami ke Yogyakarta selama 10 hari mengakibatkan mekanisme penerbitan Media Indonesia terganggu, seperti mutu yang berkurang, terlambat cetak (karena SDM berkurang), dan sebagainya. Tapi kekhawatiran itu ternyata tidak terbukti, sebab menurut Asisten Redaktur Eksekutif Sarwono ketika menutup pelatihan Rabu (28/5) yang lalu, proses penerbitan koran — khususnya di redaksi — berjalan seperti biasa. Menurut dia, sepeninggalnya para redaktur ke Yogyakarta, para asred justru semakin bersemangat. “Bahkan asred yang biasanya sakit-sakitan saat masih ditunggui redaktur, kini malah sehat. Tidak lagi mengenakan jaket saat rapat redaksi,” kata Sarwono bergurau. Malah ada yang mengatakan, sejak para redaktur ke Yogyakarta, mutu Media Indonesia bertambah bagus, oplah meningkat, dan tidak pernah terlambat terbit. Karena itu beralasan jika saat membuka pelatihan, Pemimpin Redaksi Media Indonesia Andy Flores Noya bergurau dengan mengatakan bahwa pelatihan di LP3Y merupakan cara lain Pemimpin Umum Media Indonesia Surya Paloh untuk memecat seluruh redaktur. Selama di Yogyakarta, selain belajar, kami memang kerap bercanda. Bahkan canda-canda yang beredar di kantor pusat di Kedoya, Kebon Jeruk, Jakarta kerap kami dengar, karena ada yang iseng membocorkannya lewat SMS. Beberapa di antaranya, “Surya Paloh mendukung GAM.” GAM yang dimaksudkan di sini bukan Gerakan Aceh Merdeka, tapi “Gerakan Asred Merdeka.” Kali lain ada SMS seperti ini: “Panglima ‘GAM’ Sarwono memerintahkan anak buahnya untuk maju terus dan bertahan menduduki kantor pusat.” Ada pula canda yang mungkin konyol, tapi kami menganggap tidak berarti apa-apa, seperti: “Kalau 3
D
a
p
u
r
I
para asred mau cepat jadi redaktur, berdoa saja agar pesawat Bouraq ke Yogyakarta yang dinaiki para redaktur jatuh.”
n
f
o
Tapi ketika ditanya, bagaimana kami harus menjabarkan visi-misi itu dalam praktek sehari-hari, terus terang kami bingung dan bingung terus. Dengan perkataan lain, selama ini kami melakukan tugas jurnalistik tanpa konsep, tapi berjalan dengan sendirinya (otomatis). Karena berjalan otomatis dan cenderung tanpa arah, kami pun tidak mengerti mana wilayah publik dan mana wilayah privat (mengutip ceramah Ashadi Siregar) yang boleh dan tidak boleh kami masuki. Padahal pekerjaan jurnalistik adalah pekerjaan yang para pelakunya harus mampu memaknai setiap fakta yang muncul, didengar dan dilihat, bukan asal tulis. Melalui diskusi kelompok yang dipandu para mentor, kami akhirnya dapat mengurai vis-misi Media Indonesia dalam praktik sehari-hari, bagaimana kami harus bersikap, bagaimana kami harus merencanakan liputan berita, bagaimana kami harus menulis editorial. Khusus untuk menulis editorial, terus terang banyak di antara kami yang sulit untuk melepaskan diri dari unsur subjektivitas pribadi. Latar belakang kami (usia, pendidikan, habit, suku, aliran politik) ternyata masih mempengaruhi kami dalam menulis editorial. Banyak di antara kami yang lupa visi-misi Media Indonesia saat menulis editorial. Tapi apa pun kekurangan kami, kehadiran para redaktur ke Yogyakarta adalah untuk belajar. Dari situ kami dapat mengetahui kekurangan kami, dan siapakah kami. Lebih dari itu, kepergian kami ke Yogyakarta sekaligus membuktikan bahwa sistem kerja di redaksi telah berjalan dengan baik, meskipun ada program pelatihan ala “bedol desa”. Itu berarti suksesi dan regenerasi di Media Indonesia bukanlah barang tabu. Kapan dan di mana pun siap dilakukan.
Mawas Diri Di luar canda-canda tadi, yang pasti kehadiran kami ke Yogyakarta sangat bermanfaat bagi kami. Berbagai materi yang disajikan oleh para nara sumber (seperti Ashadi Siregar, Revrisond Baswir, Tony Prasetiantono dan fasilitator lain) setidaknya memotivasi kami untuk mau mawas diri dan mengetahui siapa sebenarnya kami.
Kami memang telah mempunyai buku biru Pegangan Wartawan Media Indonesia. Dalam buku ini, selain berisi tentang visi-misi, juga berisi tentang berbagai panduan kerja bagi redaksi, baik ketika berada di lapangan maupun saat menyunting berita. Tapi, seperti disinyalir Direktur LP3Y Ashadi Siregar, buku tersebut memang jarang kami pegang, apalagi dibaca. Maka wajar-wajar saja manakala kami mendapat tugas untuk memperbaiki visi-misi sebagaimana tertulis dalam buku itu, ada di antara kami yang sama sekali tidak tahu menahu, apa sebenarnya visimisi Media Indonesia. Umum yang diketahui adalah bahwa Media Indonesia bercita-cita menjadi surat kabar yang punya pengaruh luas di masyarakat, dibaca oleh masyarakat kelas menengah atas dan jadi koran referensi.
*) Penulis adalah Peserta Pelatihan Redaktur Media Indonesia-LP3Y April 2003.
4
Catatan dari
Seminar Pekerja Migran dan Seksualitas BANYAK hal menarik menjadi catatan saya ketika menghadiri Seminar bulanan tentang Pekerja Migran dan Seksualitas yang diselenggarakan Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan 26 Juni lalu. Sebagai pembicara Muhadjir Darwin, yang mewakili rekan-rekan peneliti lainnya seperti: Anna Marie Wattie, Siti Ruhaini Dz dan Susi Eja Yuarsi banyak mengupas persoalan ketidakadilan yang dialami pekerja migran yang sering disebut TKI, terutama pekerja perempuan. Topik diskusi ini lebih memfokuskan pekerja migran yang berada di Malaysia. Mungkin kita sudah sering mendengar tentang kasus pekerja migran perempuan yang disiksa, diperkosa, atau bahkan bunuh diri karena intimidasi begitu kuat dari sang majikan. Pemberitaan media mengenai hal itu kerap kita temukan. Kasus terakhir mengenai pekerja migran yang masih hangat dalam ingatan adalah dipulangkannya sejumlah pekerja migran oleh pemerintah Malaysia karena diketahui tidak memiliki dokumen perjalanan (paspor atau visa). Mereka yang biasa disebut pekerja ilegal karena tidak memiliki paspor, sama jumlahnya dengan mereka yang disebut pekerja legal. Banyaknya jumlah mereka yang dikategorikan ilegal
biasanya karena; 1) migran masuk tanpa paspor, 2) mereka masuk secara sah, namun tinggal di negara tujuan melewati batas waktu ijin tinggal, 3) migran masuk secara sah tapi bekerja tanpa mempunyai dokumen kerja, dan 4) migran masuk secara sah, tapi paspor hilang atau dihilangkan majikan. Situasi yang sulit bagi pekerja ilegal, namun kepada siapa harus menuntut jika terjadi penyalahgunaan terhadap mereka. Bagaimana tindakan pemerintah dengan adanya kasus-kasus di atas? Lambatnya penanganan dan kurang tegasnya langkah pemerintah Indonesia dalam menangani pengungsi yang datang ke Nunukan, bisa dilihat sebagai indikasi bahwa persoalan TKI /pekerja migran belum menjadi prioritas pemerintah. Secara kultural masyarakat kita memang masih memandang rendah PRT (Pembantu Rumah Tangga). Begitu pula dengan pemerintah kita yang juga masih memandang rendah pekerja migran, karena mereka yang bekerja ke luar negeri kebanyakan menjadi pekerja kasar di pabrik atau perkebunan dan sebagai pembantu rumah tangga (masyarakat kelas bawah). Sehingga perlakuan diskriminasi pejabat terhadap PRT tampak ketika mereka menangani berbagai kasus yang ada. Paling tidak untuk membantu pekerja migran di negara tujuan, idealnya pemerintah 5
a
n
a
l
i
s
i
menyediakan sarana seperti satu pos pengaduan di tempat yang banyak pekerja asal Indonesia. Hal ini berguna untuk menghindari perilaku semena-mena dari majikan. Tapi hal ini toh tidak dilakukan meski diakui bahwa pekerja migran kita adalah salah satu penyumbang devisa terbesar. Persoalan lain yang menyangkut pekerja migran perempuan khususnya, tidak hanya sebatas pada kasus kekerasan fisik dan seksual tetapi banyak pula perempuan yang menjadi objek trafficking. Menurut salah satu pengakuan korban trafficking, semua pekerja seks yang di kirim ke Johor, pada umunya tertipu janji para calo yang memperkerjakan mereka. Pada awalnya mereka diiming-imingi gaji tinggi dengan bekerja di restoran atau rumah tangga. Kondisi mereka juga memprihatinkan sebab mereka umumnya tidak tahu menahu tentang dokumen perjalanan termasuk paspor dan visa kerja. Sebagian dari mereka mengatakan pernah dibuatkan paspor dan disuruh foto tetapi mereka tidak pernah melihat atau membawanya. Masalah ini seringkali menjadi awal dari proses kekerasan yang dialami pekerja migran perempuan. Mereka tak berdaya, mereka bingung akan mengadu pada siapa karena paspor pun tak mereka pegang. Ternyata, kondisi ini selaras dengan apa yang ditemukan Yayasan Kembang, sebuah lembaga yang menangani para pekerja migran, dalam diskusi yang berlangsung. Mereka banyak menemukan kasus mengenai “kejanggalan” prosedur dalam pengiriman TKI. ‘Kejanggalan’ tersebut meliputi pemalsuan umur pekerja, pekerja migran tidak tahu atau tidak pernah pegang paspor, dan sebagainya. Persoalan pendidikan yang relatif rendah menjadi salah satu penyebab sehingga mereka mudah diperdayakan. Dalam menangani persoalan itu, salah satu langkah yang ditempuh Yayasan Kembang sebagai salah satu LSM yang memberdayakan pekerja migran adalah memberi informasi yang benar mengenai hak-hak mereka sebagai pekerja lintas batas negara, sebelum mereka pergi ke negara tujuan, mengingat minimnya penanganan pemerintah. Persoalan mengenai penanganan ini menjadi semakin penting, mengingat semakin banyak korban jika tidak ada tindakan konkrit. Persoalan ini bukan persoalan biasa, kita tahu bahwa persoalan ini telah menyangkut Hak Asasi Manusia dan ini tentu merupakan persoalan negara yang tidak bisa diabaikan. Sebagai catatan mengenai respon negara baik penerima dan pengirim dalam menangani persoalan ini sbb:
s
I
n
f
o
-
migrasi menguntungkan kedua negara, Indonesia sebagai negara pengirim dan Malaysia sebagai negara tujuan/penerima. Indonesia menerima devisa yang tidak kecil jumlahnya, Malaysia mendapatkan tenaga kerja yang sesuai dan mereka juga mengakui kesulitan jika tidak ada pekerja Indonesia.
-
kedua negara cenderung menyederhanakan masalah sebagai masalah ekonomi atau legalitas, sehingga aspek kemanusiaan dari migrasi itu sangat terabaikan
-
perlu ada kebijakan dan aksi yang lebih pro aktif untuk melindungi pekerja Indonesia dari praktik kekerasan dan penipuan melalui kerjasama bilateral dan multilateral.
Langkah yang sesegera mungkin harus ditempuh pemerintah adalah penanganan terhadap akses migrasi, dan bukan menyetop TKI, toh diakui pengangguran di Indonesia sangat banyak. Rekomendasi Kebijakan: Melihat kompleksitas permasalahan pekerja migran tersebut, masalah migrasi lintas batas antara Indonesia dan Malaysia perlu diatasi melalui kebijakan yang benar-benar komprehensif, bukan kebijakan departemental, ad hoc, dan incremental, seperti yang selama ini dilakukan. Ini berarti penanganan pemerintahan harus tidak bertentangan dengan penanganan instatnsi lain. Masalah migrasi lintas batas, tidak bisa dilihat sebagai persoalan migrasi biasa, karena di dalamnya terdapat masalah trafficking manusia dan pelecehan terhadap hak dan martabat manusia, terutama perempuan dan anak. Untuk menjaga konsistensi kebijakan di lapangan pemerintah perlu malakukan kontrol terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang dilakukan oleh birokrat desa dan kecamatan yang melakukan pemalsuan umur dan identitas dalam KTP (Kartu tanda penduduk), aparat imigrasi yang tidak kritis terhadap KTP palsu atau melakukan komersialisasi penerbitan paspor, atau aparat kepolisian yang terlibat langsung dalam proses trafficking, atau aparat departemen yang melakukan konspirasi dengan calo untuk: memeras atau melakukan trafficking terhadap calon tenaga kerja. Kolaborasi antara LSM dan pemerintah sudah sesegera mungkin dilakukan untuk menangani persoalan trafficking ini. (May) 6
a
n
a
l
i
s
i
s
I
n
f
o
Presenter Berita Perempuan :
Otoritatif atau Dekoratif?
SEIRING kebebasan media penyiaran untuk menyajikan berita aktual, program berita menjadi primadona yang bisa disaksikan pemirsa di televisi hampir tiap jam. Jumlah televisi yang cukup banyak, 11 stasiun dan jam tayang yang sudah rata-rata di atas 20 jam, membuat kompetisi dalam penyajian program semakin ketat. Tayangan hiburan semata dianggap tidak cukup, sehingga informasi aktual juga menempati porsi signifikan, meskipun proporsinya berbeda-beda antarstasiun televisi. Indosiar misalnya tergolong paling sedikit sajian beritanya dibanding televisi lain. Metro TV adalah yang terbanyak karena televisi ini didedikasikan sejak awal sebagai televisi berita di Indonesia. Fungsi informasi yang diemban televisi selaku media publik disadari betul oleh pengelola dan diejawantahkan dengan menghadirkan tayangan berita serta perbincangan yang selalu up to date bahkan bersifat langsung (live) dari lapangan sehingga pemirsa seakan menjadi bagian dari peritiwa yang disiarkan. Merespon fenomena itu, profesi presenter berita-pun makin marak, bukan hanya untuk memenuhi target penyelenggaraan acara itu sendiri sebagai sebuah produk tayangan untuk melayani kebutuhan publik tetapi juga untuk menghadirkan kemasan acara berita yang layak tonton secara komersial. Dalam konteks ini, kita menyaksikan hampir setiap jam di headline news atau Info Utama atau jam-jam tertentu dalam buletin dan liputan 6, penampilan presenter mengantarkan sebuah peristiwa sebelum reporter melakukan pelaporan langsung. Presenter berfungsi memandu pemirsa mengikuti sebuah laporan peristiwa atau secara khusus membacakan sendiri berita yang sudah diedit sebelumnya di studio produksi. Mereka kebanyakan berjenis kelamin perempuan. “Ideologi” komersial mengajarkan bahwa tayangan serius semacam berita pun harus dikemas
sedemikian rupa agar tidak hanya kaya informasi tetapi juga enak ditonton (infor matif and entertaining). Ketika acara berita disajikan, medium gambar bergerak pada dasarnya berada dalam spektrum ruang dan waktu pemirsa yang sedang aktif menonton, serius, berbeda dengan sajian hiburan. Sehingga tayangan berita yang materinya “keras” (hard news) harus tetap dapat dikonsumsi secara lembut (soft) oleh kemasan yang memikat. Bagaimana cara pengelola televisi khususnya bidang pemberitaan menyajikan tayangan berita agar memikat pemirsa? Banyak cara tetapi terdapat kecenderungan yang beragam, yaitu menempatkan presenter sebagai aktor dominan. Presenter diposisikan secara sentral sebagai pusat perhatian pemirsa sejak awal hingga akhir berita. Presenter ibarat sopir dan juga “teras rumah” bagi semua orang yang ingin mengikuti perjalanan berita. Bisa dimaklumi, hampir semua stasiun televisi menghadirkan sosok presenter sesempurna mungkin sejak penampilan pakaian, postur tubuh, rambut, posisi duduk hingga olah vokalnya. Atraksi gerak kepala dan tangan bahkan gaya berjalan ketika menyampaikan berita akan menjadi daya tarik yang secara detail ikut mempengaruhi performa seluruh tampilan acara berita. Produser sadar betul dengan semua aspek itu sehingga presenter dieksploitasi sedemikian rupa agar tampil prima. Ketika kita menyaksikan makin banyak perempuan berprofesi sebagai presenter berita, menjadi pertanyaan apakah kehadiran mereka memang ditopang kemampuan profesional dan dipertimbangkan dipilih produser berdasarkan otoritas profesionalnya atau sekadar dihadirkan sebagai pemanis alias “dekor” dari sebuah panggung tayangan serius? Pilihan atas kedua fungsi itu akan berkorelasi pada perspektif yang dipergunakan dalam memposisikan perempuan dalam industri 7
a
n
a
l
i
s
i
s
I
n
f
o
profesional berhadapan dengan laki-laki selaku produser atau penonton. Penggunaan fungsi dekoratif jelas mengandung bias gender dan tidak memberi kontribusi apapun bagi perubahan citra perempuan di televisi. Fungsi dekoratif artinya fungsi “benda mati” yang dihadirkan untuk memusatkan perhatian mata pemirsa kepada aspek fisik bukan aspek intelektual dari seorang presenter. Dalam konteks itu, presenter perempuan sering harus tampil dengan persiapan materi bacaan berita seadanya, sekadar siap secara outer beauty bukan inner beauty. Apa yang ia tanyakan kepada narasumber dalam wawancara
Diamati sekilas, masih jarang sosok semacam ini tampil di televisi, apalagi di televisi yang baru berdiri Strategi televisi sebagai medium eksploitasi perempuan semakin canggih dalam menempatkan peran-peran yang bias gender bagi perempuan. Program berita hanyalah contoh dari sekian banyak program lain, umumnya terjadi di sektor acara olah raga dan infotainment. Tadinya kita berprasangka baik, kalangan produser berita lebih sensitif gender dengan tidak menempatkan presenter perempuan sebagai dekoratif semata, tetapi kenyataan tidak terbukti demikian. Dibutuhkan kesadaran presenter perempuan sendiri untuk tidak mau dieksploitasi
disela berita, atau dalam wawancara dengan reporter di lapangan (yang kebetulan laki-laki) tidak begitu penting dipersiapkan, yang penting adalah proses bagaimana sang presenter bertanya, vokalnya yang merdu dan gerak bibirnya yang membuat pemirsa terhibur sejenak untuk “menikmati” sajian fisik itu. Kecantikan menjadi modal utama yang harus dimiliki presenter, minimal good looking menurut standar mata laki-laki. Fungsi otoritarif adalah fungsi intelektual sebagai seorang presenter, karena ia memahami berita yang disajikan, membaca teks dengan penuh penghayatan dan mewawancarai narasumber secara tajam dan kritis. Kecantikan, gaya bertanya dan segala atribut penampilan fisik tidak begitu penting. Otoritas yang menempel pada sosok reporter merupakan hasil kerja kerasnya dan pengalaman sebagai reporter lapangan, tidak sekadar menjadi pembaca berita yang baik di studio siaran.
dan sikap kritis pemirsa memilih dan menseleksi program berita yang baik secara kemasan, cerdas presenternya, tidak hanya cantik. Jika sebelumnya, televisi dikritik karena menempatkan perempuan sebagai presenter di acara yang dianggap “hanya untuk perempuan” seperti pemandu acara memasak di dapur, acara konsultasi seks. Kini televisi semakin canggih dengan menempatkan perempuan sebagai presenter di acaraacara serius dan “berkonotasi laki-laki” seperti olah raga, mistik, acara berita aktual dan kriminal. Tujuannya bukan memberdayakan atau mengubah persepsi buruk perempuan di televisi, tapi mengukuhkan bias gender. Mengutip Laura Mulvey (1975), perempuan di televisi masih tidak dapat pilihan peran lain kecuali diposisikan sebagai objek bagi pandangan mata lelaki (male gaze). Akankah selalu begitu? (Adink) 8
Suplemen
Newsletter Edisi 62
Pengantar Redaksi:
Suplement Newsletter kali ini menampilkan tulisan Surya Makmur Nasution sebagai penerima hibah dari LP3Y. Tulisan ini awalnya merupakan usulan liputan yang dipilih pada Workshop Peliputan AIDS, Gender dan Kesehatan Reproduksi periode 28/1-1/2’2003. Tulisan ini juga telah dimuat di Kompas edisi 14 Maret 2003.
HIV/AIDS di Batam
Kian Fenomenal FENOMENA HIV/AIDS di Pulau Batam, sebetulnya sudah muncul sejak tahun 1993 lalu. Kasus pertama ditemukan dari salah seorang pekerja seks (PS) bersama pasangannya berkewarganegaraan Singapura yang mengidap HIV positif di lokalisasi Pulau Amat Belanda, Kecamatan Belakang Padang. Sejak itu, kasus-kasus HIV/AIDS pun ditemukan di berbagai tempat lain, seperti Samyong, Bukit Girang, Tanjung Sengkuang. Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Batam mencatat sebanyak 122 pengidap HIV positif (34 kasus tanpa survei, 88 kasus ditemukan melalui survei), sedangkan AIDS sebanyak 24 kasus, hingga Desember 2002. Dari jumlah tersebut, 21 orang di antaranya sudah meninggal dunia. Sementara catatan Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK), salah satu rumah sakit yang menangani pasien HIV/AIDS, sebanyak 27 kasus AIDS dan 65 HIV positif. Selama tahun 2002 di RSBK ada delapan orang telah meninggal dunia. Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) yang sejak Oktober 2002 mulai menangani pasien HIV/AIDS mencatat sedikitnya enam orang ditemukan HIV positif. Penemuan itu bukanlah atas dasar sengaja melakukan survei, melainkan ditemukan saat pasien memeriksakan kesehatannya sebagai pasien biasa karena menderita penyakit lain. “Berbedanya jumlah pengidap HIV positif dan AIDS antara Dinas Kesehatan dengan RSBK, tak usah dipertentangkan. Kita hanya mencatat yang ada di RSBK saja. Sementara Dinas Kesehatan semua wilayah di Batam. Lagi pula, urusan soal jumlah bukan menjadi hal yang penting dalam penanganan masalah HIV/AIDS. Sebab, soal jumlah begitu dinamis,” ungkap Kepala RSBK Batam, Sri Sudharsono. Menurut Sri, yang dibutuhkan sekarang ini adalah bagaimana upaya mencegah penyebaran HIV/AIDS di kalangan masyarakat dan menangani orang yang hidup dengan HIV/ AIDS (Odha) di Batam. Antara pencegahan HIV/AIDS dan penanganan Odha, merupakan dua hal yang harus segera dicarikan solusinya. Ungkapan Sri benar adanya. Meski fenomena HIV/AIDS di Batam terus bertambah jumlahnya, tapi belum mendapat perhatian serius oleh masyarakat secara luas. Mulai dari Dinas Kesehatan, belum tampak upaya spesifik untuk menangani pencegahan dan penanggulangan orang yang hidup dengan HIV/AIDS (Odha). Kalau pun ada upaya penyuluhan dan pencegahan, sifatnya masih parsial, tidak terintegrasi dan tidak terus menerus. Dengan kata lain, belum ada keberpihakan dalam penanggulangan masalah Odha. Itu bisa dibuktikan dengan apa yang sudah dilakukan Dinkes Batam. Menurut Kepala Dinkes Batam, Puardi Djarius, pihaknya sudah melakukan upaya pencegahan dan
penanggulangan HIV/AIDS dengan memberi penyuluhan dan bantuan obat-obatan. Dinkes juga melakukan pendataan melalui survei di tempat-tempat lokalisasi maupun bukan lokalisasi hiburan, mengambil darah untuk tes HIV/AIDS. Lalu, Dinkes mencatat atau memperoleh data penambahan pengidap HIV positif di Batam. Tapi, setelah data diperoleh, orang-orang yang mengidap HIV positif tersebut tidak diketahui secara jelas, siapa orangnya. Alasan menjaga kerahasiaan nama si pengidap karena khawatir melanggar hak asasi, Dinkes Batam tak mencatat nama-nama pengidapnya. “Kita kan harus menghargai hak orang. Ya, kalau orang yang kita periksa bersedia diberi tahu. Kalau dia tak mau, bagaimana,” ungkap Puardi. Bukankah dengan memberitahukan kepada orangnya, justru berdampak positif bagi si pengidap, Puardi menegaskan, pihaknya tak bisa melakukan hal itu. Karena itu menyangkut kerahasiaan seseorang, dokter tak diperkenankan memberi tahukan kepada siapa pun, kecuali atas kerelaan si pengidap. *** MENGAMBIL darah untuk tes HIV/AIDS sekadar membuat catatan atau laporan, sungguh kurang bijak. Sebab, itu sama saja membiarkan si pengidap hidup dengan virus dalam tubuhnya tanpa ada upaya penanganan perawatan kesehatannya. Padahal, pengidap HIV/AIDS berhak atas hidupnya dan memperoleh hak kesehatan dirinya. Malah dampaknya jauh lebih berbahaya jika orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS tidak terdeteksi siapa-siapa orangnya. Bisa saja Odha tanpa disadarinya telah menyebarkan HIV kepada orang lain akibat ketidaktahuan dirinya sebagai orang terinfeksi HIV. Hal itu sangat dimungkinkan terjadi, karena HIV bisa disebarkan melalui hubungan seks tidak aman, menggunakan jarum suntik bersama, atau tranfusi darah. Sebagaimana dikemukakan Sri Sudharsono yang juga Ketua Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda Batam, justru sebaliknya dalam melakukan pendataan pengidap HIV/AIDS, nama-nama pengidap harus diketahui. Tujuannya, agar dalam melakukan penanggulangan atau pencegahan bahaya HIV/ AIDS bisa dilakukan dengan terarah. Tentu saja, sebelum melakukan pendataan, diberikan dulu konseling kepada orang-orang yang hendak melakukan tes HIV. Jangan sampai orang yang akan diperiksa darahnya untuk tes HIV tidak mengetahui maksud dan tujuannnya. Konseling dilakukan bukan hanya sebelum diperiksa, tapi juga sesudah ada hasil tesnya. 1
S u p l e m e n Newsletter Edisi 62/Juni/2003
Pekerjaan untuk memberi konseling memang tidak mudah dilakukan. Tapi, agar penanganan dan pencegahan HIV/AIDS bisa tepat dan mengenai sasaran, mau tidak mau upaya ke arah itu harus dilakukan. “Saya yakin jika metodologi pemeriksaan untuk HIV/AIDS dilakukan dengan benar, diyakini orang akan bisa menerima apa pun hasil pemeriksaannya. Meski pun sebelum dilakukan pemeriksaan, harus betul-betul dulu dilihat kondisi psikologis si pasien. Suatu ketika orang akan timbul kesadarannya sendiri untuk tes HIV,” ungkap Sri. Namun demikian, bukan berarti kerahasiaan orang-orang yang memeriksakan kesehatannya untuk tes HIV sama sekali diabaikan. Kerahasiaan si pengidap tetap dijaga karena merupakan haknya dan hanya boleh diketahui antara dokter yang memeriksa dengan dirinya. Bagi pengidap HIV/AIDS sebetulnya tak perlu menyembunyikan dirinya. Kalau tidak berani tampil ke publik, sebaiknya harus berani melakukan konseling kepada dokter yang ahli. Kalau belum tahu apakah positif atau negatif, jangan ragu-ragu untuk konseling dan melakukan tes HIV/AIDS. “Itu lebih baik dilakukan daripada mengetahui HIV setelah lima tahun berjalan. Pemeriksaan secara dini justru akan mengurangi risiko atau bahaya HIV/AIDS. Sebab, terinfeksi HIV bukan berarti hancur. Orang terinfeksi HIV masih bisa produktif dan bekerja normal seperti orang pada umumnya,” kata dr Francisca Tanzil, salah seorang dokter konselor HIV/ AIDS di Batam. Dokter ahli penyakit dalam di RSOB, Soritua Siregar mengaku, memang tidak mudah untuk menjelaskan kepada pasien dalam kaitan terinfeksi HIV/AIDS, sebelum diberi konseling. Ia pernah menemukan kasus HIV/AIDS, tapi sulit untuk menjelaskan kepada pasiennya. Sebab, HIV/AIDS diketahui ada di dalam tubuh si pasien ketika yang bersangkutan berobat karena sakit lain, seperti hepatitis, malaria atau tuberkulosis. “Ketika masalahnya akan disampaikan kepada pasien, yang bersangkutan tidak datang lagi ke rumah sakit. Alamat yang ditinggalkan di rumah sakit pun, fiktif. Kalau pun si pasien yang masih ditangani, tapi tak memiliki keluarga, kami pun kesulitan untuk melakukan perawatannya,” ungkap Siregar.
Salah satu bentuk kerja sama yang bisa dilakukan dimulai dari kampanye pencegahan HIV/AIDS, misalnya melalui publikasi poster-poster ke tempat-tempat orang yang berperilaku risiko tinggi. Isi kampanye antara lain melakukan hubungan seks aman dengan kondom, menghindari penggunaan jarum suntik bergantian, atau mencegah melakukan hubungan seks berganti-ganti pasangan, sampai berhat-hati untuk menerima transfusi darah sebelum bebas dari HIV/AIDS. Kampanye melalui poster ini belum dilaksanakan secara terprogram. Sementara penyuluhan HIV/AIDS minim. Kalau pun ada penyebaran brosur kampanye HIV/AIDS tempatnya masih terbatas, misalnya diberi dalam acara-acara seminar kesehatan. Sementara di tempat-tempat orang berperilaku risiko tinggi, seperti lokalisasi PS, karaoke, diskotek atau pun di tempattempat umum, belum tersentuh. “Terus terang, orang enggan dan tidak mau memeriksakan darah untuk tes HIV karena mereka tidak memperoleh pengetahuan dan pemahaman yang cukup. Apalagi stigma masyarakat terhadap pengidap HIV/AIDS masih saja dipersepsikan sebagai orang yang tak bermoral. Padahal, soal HIV/AIDS tidak ada kaitannya dengan urusan moral,” kata Febrina Yaswir dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) Batam. Kampanye HIV/AIDS di Batam, baik berupa kampanye poster maupun penyuluhan sudah patut dilakukan, terutama di tempat-tempat orang berperilaku risiko tinggi. Dapat dibayangkan, setiap sudut Pulau Batam, hampir semua ada tempat hiburannya. Di pulau seluas 41.500 hektar dengan jumlah penduduk 532.000 jiwa ini diisi dengan tempat-tempat karaoke, pub, diskotek dan massage (panti pijat) yang setiap weekend, Sabtu dan Minggu dikunjungi lebih 5000 orang asing, yang umumnya dari Singapura dan sebagian kecil Malaysia. Keberadaan tempat-tempat hiburan itu bukan hanya di tengah kota atau kawasan bisnis dan perhotelan, seperti Nagoya dan Jodoh. Tapi, mulai di pinggiran sampai ke kawasan pusat pemerintahan Batam Centre sekalipun sudah mulai berdiri pub dan diskotek. Berdasarkan data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Batam tahun 2002, jumlah tempat karaoke, pub dan diskotek di Batam sebanyak 81 tempat yang tergabung dalam Asosiasi Jasa Hiburan (Ajahib). Tempat hiburan sebanyak itu juga berada di lingkungan perhotelan berbintang, mulai bintang satu sampai empat, yang jumlahnya sebanyak 33 hotel.
*** SEMENTARA kalangan lembaga swadaya masyarakat (LSM) atau pihak rumah sakit yang punya kepedulian terhadap masalah HIV/AIDS, terlihat berjalan sendiri-sendiri. Di Batam, rumah sakit yang mau menerima pasien HIV/AIDS hanya RSBK dan RSOB. Kalau pun ada kerja sama, antara LSM dan Dinas Kesehatan atau rumah sakit, sifatnya temporer, terbatas pada proyek-proyek tertentu saja. “Program kerja sama berkesinambungan itu yang perlu kita integrasikan. Makanya kita berupaya bagaimana merangkul semua pihak, mulai dari Dinas Kesehatan, DPRD, rumah sakit, dokter maupun LSM untuk sama-sama melakukan gerakan bersama dalam penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS,” ungkap Efrizal dari Yayasan Mitra Kesehatan dan Kemanusiaan. Pertimbangannya, untuk melakukan pencegahan, setidaknya kampanye apa itu HIV/AIDS dan bagaimana mencegahnya, sudah saatnya dilaksanakan secara bersama. Gerakan bersama ini pun harus menjadi gerakan publik. Artinya, yang mengurusi dan peduli terhadap masalah pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS bukan semata-mata hanya urusan dokter, rumah sakit, LSM atau dinas kesehatan.
*** DALAM penanggulangan pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS sebagai gerakan bersama, Direktur Yayasan Kemitraan Kesehatan dan Kemanusiaan (YMKK) Batam Lola Wagner mengatakan bahwa saatnya Pemerintah Kota (Pamkot) Batam mengalokasikan dana Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD). Anggaran itu dibutuhkan bukan sekadar memberi bantuan perobatan, tapi lebih luas dari itu, menyediakan pelayanan kesehatan reproduksi, informasi dan pendidikan, dan pelayanan konseling. “Pengalokasian itu merupakan bentuk partisipasi dari Pemkot Batam yang dampaknya dirasakan langsung oleh masyarakat,” kata Lola. Anggota Komisi E Marthin Langi mendukung anggaran untuk pencegahan dan penanggulangan HIV/AIDS dimasukkan dalam anggaran Dinas Kesehatan Batam. Dewan akan meresponnya secara positif. LSM diminta harus gigih memperjuangkannya ke instansi terkait untuk meyakinkan 2
S u p l e m e n Newsletter Edisi 62/Juni/2003
Pemerintah Kota Batam pentingnya alokasi langsung kepada pelayanan kesehatan maupun HIV/AIDS. Menanggapi usulan YMKK, Kepala Dinas Kesehatan Puardi Djarius mengatakan, anggaran untuk pelayanan kesehatan sebetulnya sudah disediakan. Namun, selama ini tidak pernah disebutkan anggarannya untuk HIV/AIDS. “Sebab, selama ini anggarannya bersifat komulatif,” jelasnya. Dari kalangan rumah sakit, seperti Kepala Rumah Sakit Rumah Sakit Otorita Batam (RSOB) dr Tengku Marwan Nusri MPH mengatakan, pihaknya hanya bisa membantu pengobatan untuk pengidap HIV/AIDS melalui obat generik. Penyediaan obat generik ARV (antiretroviral) dilakukan atas kerja sama dengan Kelompok Studi Khusus (Pokdisus) Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia (UI) dengan harga Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (UI) dengan harga Rp 700.000 per bulannya. Sementara Kepala RSBK Batam, Sri mengatakan sedang berupaya mencari bantuan kepada luar negeri untuk memperoleh obat gratis bagi para Odha. Justru itu sudah saatnya gerakan bersama melibatkan publik secara luas untuk mencegah dan menanggulangi HIV/AIDS di Batam dimulai. Jika tidak fenomena HIV/AIDS di Batam dari waktu ke waktu akan terus bertambah pengidapnya dan bisa jadi lahan subur karena tanpa ada upaya pencegahan dan penanggulangannya secara serius dan terintegrasi. (SMN)
Ketika Pekerja Seks
Peduli HIV/AIDS SEKITAR 100 orang pekerja seks (PS) bersama sejumlah ibu pengasuh (Mami) di kawasan Samyong, Bukit Girang, Tanjung Sengkuang, Batam berkumpul di bawah tenda terbuat dari kain terpal. Rabu (5/2) pagi itu mereka berkumpul untuk menghadiri hajatan Yayasan Pembinaan Asuhan Bunda Cabang Batam pembukaan peresmian klinik kesehatan yang diperuntukkan buat PS dan warga lain yang tinggal di daerah itu. Klinik yang diresmikan, namanya, Balai Pengobatan Budi Kemuliaan bekerja sama dengan Aksi Stop AIDS (ASA). Memakai pakaian dengan dandanan seadanya, para PS secara bergantian datang memenuhi kursi-kursi plastik yang sudah disediakan panitia. Ada memakai celana panjang, rok, kaus ketat, dan kemeja. Mungkin karena terlalu letih bekerja selama semalam, wajah mereka tampak terlihat masih sembab. Sebagian di antaranya tak segan-segan menguap selebar-lebarnya tanpa menutup mulut dengan tangannya. Biasanya setiap pagi mereka baru bangun tidur paling cepat antara jam 10.00 sampai 11.00 WIB, hari itu harus sudah bangun pada pukul 09.00 WIB. Dalam keadaan masih setengah mengantuk, para PS menurut saja ketika para Mami, ibu asuh, memerintahkan untuk menghadiri acara tersebut. Sebab, acara tersebut dalam pandangan Mami dianggap begitu penting buat anak asuhnya. Jelas saja acara yang dijadwalkan pukul 09.00 WIB harus dimulai, molor hampir pukul 11.00 WIB. “Maklumlah, ibu-ibu dan bapak-bapak, kalau anakanak kami lambat datangnya. Anak-anak kita biasanya bangun jam 11.00 atau 12.00 siang, tiba-tiba harus bangun pagi-pagi, jadi agak repot,” kata Mami Merry (bukan nama sebenarnya), salah seorang pengasuh di kawasan Samyong. Selama berlangsungnya acara, para PS dan ibu pengasuh tampak tekun mengikuti acara demi acara. Mereka bukan hanya mendengar informasi dibukanya klinik kesehatan, tapi juga disuguhi ceramah singkat tentang HIV (Human Immunodeficiency Virus) dan AIDS (Acquired Immune Deficiency Syndrome) yang disampaikan secara bergantian oleh LSM maupun dari Dinas Kesehatan Kota Batam. Selama berlangsungnya acara, salah seorang ibu asuh, yang dipandang dituakan di kawasan tersebut pun ikut
angkat bicara. Ia menjelaskan suka duka menghadapi anak asuhnya untuk memberi pengertian akan pentingnya kesehatan, terutama pencegahan bahaya penyebaran HIV. Jika mereka disuruh untuk tetap menggunakan kondom setiap melayani tamu, belum tentu diindahkan. Sebab, tidak semua tamu mau menggunakan kondom. Setiap kali diingatkan untuk pergi memeriksakan kesehatannya secara rutin, belum tentu dilaksanakan. “Terus terang, kami begitu berterima kasih, karena telah diperhatikan. Kami tak bosan-bosannya mengimbau anakanak asuh kami di sini untuk mengontrol kesehatannya. Kenyataannya, dari dulu hingga sekarang sudah banyak kemajuan kesadaran anak-anak kami untuk memeriksakan kesehatannya,” kata Mami Merry sebagai wakil dari mamimami lainnya yang hadir siang itu. *** SAMYONG sebagai salah satu lokalisasi prostitusi di Batam, sudah ada sejak tahun 1973. Lokalisasi ini disebut Samyong karena orang yang pertama kali membuka daerah tersebut seorang WNI keturunan bernama, Samyong. Tujuan awal membuka tempat hiburan di Samyong diperuntukkan bagi pekerja asing dari Thailand dan Filipina yang bekerja di PT Mcdermot, sebuah perusahaan pelapisan pipa terbuat dari baja, yang letaknya tidak jauh dari lokasi perusahaan. Keterangan Karolus (64), orang yang sudah bermukim sejak tahun 60-an di Samyong, pada awalnya hanya hutan belantara yang di dalamnya terdapat ada tiga rumah dan satu bar. Setelah Samyong dibuka, para PS yang ada di daerah lain, seperti Jodoh (sekitar 10 kilometer ke Samyong) pindah. Masuknya PS ke Samyong menjadikan daerah tersebut berkembang. Tamu-tamu yang datang pun bukan hanya karyawan Mcdermot, tapi juga pekerja kapal, orang-orang Singapura, maupun pekerja di perusahaan lain. Berkembang pesat, akhirnya Samyong terbelah menjadi dua lokasi, yaitu Samyong Dalam dan Samyong Luar. Jumlah RT-nya ada tiga yang masing-masing dihuni 200 PS, belum termasuk permukiman penduduk setempat. Meski dulu tidak ada balai kesehatan, jelas Karolus, bukan berarti PS tidak mendapat perawatan kesehatan. 3
S u p l e m e n Newsletter Edisi 62/Juni/2003
Tapi, kondomnya yang murah saja lah, Rp 3000 per potong,” ungkapnya. Namun, berdasarkan pengalaman Ade Chandra, petugas lapangan dari Balai Pengobatan Budi Kemuliaan, banyak di antara PS yang sengaja tak menggunakan kondom bila berhubungan dengan pasangan pelanggan tetapnya. “Terus terang, bagi PS yang sudah punya pelanggan tetap, jarang sekali mau memakai kondom,” ungkap Ade. Keterangan Ade tak dibantah Ririn. Ia mengaku, untuk melayani tamu pelanggan tetap, memang jarang menggunakan kondom. “Ya, habis gimana ya. Kalau sudah senang, nggak pakai kondom nggak apa-apa. Tapi, kalau tamu-tamu biasa, biasanya saya anjurkan pakai kondom,” ungkapnya.
Perusahaan Mcdermot menyediakan sendiri tenaga medis, yaitu seorang dokter dan mantri kesehatan. Tapi, bantuan kesehatan yang diberikan hanya agar tak hamil dan mengecek apakah ada penyakit kelamin. “Seingat saya dulu mantri yang datang ke Samyong bernama Untung, sedangkan dokternya bernama Suharjono. Mereka diperbantukan oleh Mcdermot. Tapi, setelah Samyong berkembang, setahu saya tidak ada lagi tenaga medis disediakan Mcdermot,” ungkap Karolus yang puluhan tahun menjadi tenaga pengaman di Samyong Dalam. Berdasarkan pengakuan Sri Sudharsono, Pimpinan Rumah Sakit Budi Kemuliaan (RSBK), PS di Samyong baru mendapat penanganan medis secara terus menerus dengan mendirikan poliklinik pada tahun 1993. Penanganan itu dilakukan bersamaan dengan berdirinya RSBK di Batam. Awalnya, poliklinik hanya melayani pemeriksaan kesehatan, pencegahan kehamilan, dan penyuluhan penggunaan kondom. Tapi, melihat perkembangan Samyong yang semakin ramai dihuni PS dan didatangi tamutamu dari luar Batam, tenaga medis dari RSBK menawarkan kepada PS mau memeriksakan darahnya untuk tes HIV. Itu terinspirasi karena ditemukannya HIV di berbagai belahan dunia, seperti Afrika, Amerika Serikat maupun Thailand. “Karena lokalisasi prostitusi merupakan tempat perilaku berisiko tinggi tertular HIV, hal itu kita jelaskan kepada PS di Samyong. Ternyata, mereka bersedia dan mau mengerti akan bahaya virus tersebut. Meski tidak seluruhnya PS bersedia diambil darahnya untuk tes HIV, tapi kita menemukan kasus HIV positif di Samyong” ungkap Sri. “Selama 10 tahun melakukan pemeriksaan darah PS, dengan mengambil sampel 100 sampai 200 orang, terdapat 10 kasus pengidap HIV positif di Samyong. Di antara orangorang pengidap HIV positif itu, ada yang kembali ke kampung halamannya di Pulau Jawa, ada juga yang ditampung di RSBK dan dipekerjakan di bagian administrasi,” jelas Sri. “Mereka yang pulang ke kampung halamannya bukan karena dipaksa keluar dari Batam, tapi atas permintaannya sendiri. Tapi, sebelum mereka pulang kita beri penyeluhuan terlebih dahulu tentang bagaimana pencegahannya,” ungkap Sri. Ditemukannya kasus HIV/AIDS di Samyong sudah diduga sebelumnya. Sebab, berdasarkan temuan di lapangan, banyak di antara PS melayani tamunya tak menggunakan kondom. Padahal, dalam sehari, seorang PS melayani sedikitnya dua sampai tiga orang dalam sehari. Apalagi, sebelum bekerja di Samyong, umumnya PS sudah melakukan pekerjaan yang sama di berbagai tempat dengan gontaganti pasangan. Jika PS masih banyak yang tak mau menggunakan kondom, jangan salahkan mereka. Sebagian besar dari pelanggan lebih suka tak memakai kondom dalam berhubungan seksual. Bahkan tak jarang tamu-tamu pelanggan yang memaksa PS tak memakai kondom. “Kami sering dipaksa tamu agar tak pakai kondom. Alasannya, kalau pakai kondom kurang puas. Lalu mereka menuduh kami berpenyakit kelamin atau dituduh mengidap HIV,” kata Ririn, salah seorang PS berumuran sekitar 26 tahun. Ia menuturkan, di klinik kesehatan di Samyong, disediakan setiap bulan kondom secara gratis. Tapi, jumlahnya terbatas. “Kalau yang diberi kepada kami sudah habis, kami biasanya membeli sendiri ke apotek-apotek.
NASIB PS di Samyong, boleh dikatakan, masih beruntung. Sebab, dilokalisasi Samyong ada penanganan klinik kesehatan setiap hari Senin sampai Jumat dalam seminggu. PS yang mengeluhkan penyakit menular seksual, atau ingin memeriksakan kesehatannya dapat ditolong. Kalau siang cukup datang ke klinik, kalau malam datang ke dokterdokter praktek atau rumah sakit. Sementara PS di Pulau Amat Belanda, Belakang Padang, menurut Febrina Yaswir, dari Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sungguh memprihatinkan. Sudah bertahun-tahun lamanya lokalisasi PS ada di Amat Belanda, tapi penanganan kesehatan reproduksinya belum terlaksana sesuai harapan. Kalau pun ada petugas kesehatan dari Dinas Kesehatan yang datang tiap bulan memeriksakan kesehatan, tapi masih setengah hati, belum serius. Penanganan kesehatan reproduksi bagi kalangan PS di Amat Belanda, masih bersifat pemeriksaan pencegahan kehamilan belaka. Belum sampai menyentuh pentingnya menjaga kesehatan atas infeksi menular seksual (IMS). Itu belum lagi pemahaman PS terhadap bahaya HIV/AIDS yang senantiasa berisiko tinggi bagi mereka. Kalau pun ada informasi tentang pentingnya pencegahan HIV/AIDS dengan menggunakan kondom, tapi hal itu tidak terperhatikan secara serius. PS tak pernah memperoleh penjelasan tentang HIV/AIDS secara lengkap dan menyentuh kesedaran mereka. Dengan kata lain, untuk membicarakan kepada hal-hal yang lebih substansial tentang bahaya HIV/AIDS, masih sulit dilakukan. Pengakuan, Sum dan Tris, dua orang PS di Amat Belanda, setiap kali petugas kesehatan datang ke lokasi untuk memeriksakan kesehatan, mereka merasa seperti diintrogasi dan ditakut-takuti. “Kami bukan tak mau memperhatikan kesehatan kami sendiri, apalagi soal bahaya HIV/AIDS. Tapi, kayaknya petugas sering seperti mengintrogasi kami kalau memberi penjelasan,” jelas Sum. Begitu pun, ungkap Sum, seperti halnya pemakaian kondom, mereka sebenarnya tetap berupaya menyediakannya untuk melayani tamu-tamu. Kondom itu ada yang diperoleh dari Dinas Kesehatan ada yang mereka beli sendiri ke Mami. Cuma terkadang, pelanggan sering tak mau jika disodorkan untuk pakai kondom. Seolah-olah kalau disodorkan kondom, mereka sudah berpenyakit. “Kalau orang Singapura, biasanya bawa kondom. Orang-orang kita yang sering tak bersedia. Karena kita butuh uang, ya terpaksa lah kadang-kadang tak pakai kondom juga melayani tamu,” ungkap Sum asal Indramayu, Jawa Barat yang berumur sekitar 35 tahun itu. (SMN) 4
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Bisnis Versus HIV/AIDS Oleh : Tauvik Muhamad
HIV/AIDS saat ini bukan lagi sekadar persoalan kesehatan. Ia telah menjadi persoalan sosial dan ekonomi, dengan dunia usaha sebagai segmen yang paling terkena imbasnya. Virus ini menghancurkan dunia bisnis melalui, antara lain, penurunan tingkat produktivitas akibat berkurangnya jumlah angkatan kerja terdidik dan terlatih. Belum lagi membengkaknya biaya usaha sejalan dengan meningkatnya kebutuhan merekrut, melatih dan melatih ulang karyawan. Karenanya, tidak ada pilihan lain selain mengibarkan bendera perang sedini mungkin. Apabila ditelusuri, upaya bisnis memerangi HIV/AIDS telah dirintis sejak 1982. Diawali oleh upaya Levi Strauss & Co meningkatkan kesadaran tentang HIV/AIDS dengan menjalankan program penanggulangan di tempat kerja. Program-program yang dilakukan, misalnya, penyusunan kebijakan perusahaan, edukasi dan pelatihan bagi pekerja dan komunitas serta merekrut dan tetap mempekerjakan orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Usaha ini kemudian diikuti perusahaan multinasional lainnya seperti Coca Cola, Heineken, Exxon Mobil, IBM, The Body Shop, Daimler Chrysler, Standard Chartered Bank, dan Bristol Myers Squibb. Seriusnya ancaman HIV/AIDS terhadap dunia bisnis memaksa perusahaan-perusahaan membentuk sebuah koalisi bisnis. Berbagai koalisi pun bertumbuhan di hampir seluruh bagian dunia, terutama di wilayah dengan tingkat prevelensi tinggi, sejak tahun 1990-an. Di Eropa misalnya, sebut saja The Prince of Wales Business Leaders, forum yang berdiri tahun 1990, serta The Global Business Council on HIV/AIDS tahun 1997. Kedua koalisi ini setidaknya menghimpun 20 perusahaan multinasional ternama, termasuk Calvin Klein, Polaroid, Squibb Eskom dan The Tata Iron & Steel Co. Untuk tingkat regional, berdiri The European AIDS and Enterprise Network untuk Eropa, serta Asian Business Coalition on AIDS untuk Asia. Sementara di tingkat nasional sebut saja
Thailand Business Coalition on AIDS dan South African Coalition on HIV/AIDS. Merebaknya koalisi ini mendorong World Economic Forum (WEF) menggagas berbagai inisiatif pada 2001, termasuk inisiatif kesehatan mengenai HIV/AIDS yang dikenal sebagai Global Health Initiative (GHI). WEF merupakan sebuah forum bisnis bergengsi di dunia yang awalnya dikenal sebagai klub eksklusif pelaku binis “kulit putih,” dan sedikitnya menguasai tiga-perempat pergerakan modal dunia. GHI bertujuan meningkatkan kualitas dan kuantitas kegiatan bisnis dalam memerangi HIV/ AIDS, tuberculosis dan malaria. Inti kegiatannya termasuk memobilisasi sektor swasta untuk mengatasi kelangkaan dana dalam penanggulangan HIV/AIDS dunia. Dengan menghimpun hampir seribu perusahaan besar, di antaranya Abbot Laboratories, Anglo American, Kuwait Industries Co. Holding, Mc Donald’s. Merck, Bill & Melinda Gates foundation, Open Society Institute, dan bekerjasama erat dengan UNAIDS (United Nations Joint Programme on HIV/AIDS) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), GHI menjadi sentral dari penggalangan dana global (global fund) untuk HIV/AIDS. Lalu bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, terdapat sekitar 19 juta orang berisiko tinggi terpapar HIV/AIDS. Berdasarkan perkiraan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), kerugian ekonomi yang diderita negara ini akibat HIV/AIDS mencapai Rp 476 triliun setiap tahunnya. Apabila tidak segera diambil tindakan, satu juta orang diperkirakan tewas 10 tahun ke depan. Difasilitasi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO), sektor swasta yang diwakili Kamar Dagang dan Industri Indonesia (KADIN) dan Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO), bersamasama dengan pemerintah dan perwakilan serikat pekerja, mendeklarasikan komitmen tripartit penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia pada 25 9
S
u
m
b
e
r
I
n
f
o
Februari 2003. Di bawah komitmen tersebut, ketiga pihak sepakat untuk menggalang kekuatan memerangi HIV/AIDS melalui program pencegahan di tempat kerja. Melihat keseriusan dunia bisnis Indonesia dalam memerangi HIV/AIDS, GHI saat ini sedang menjajaki kemungkinan kerjasama dengan KADIN dan APINDO melalui Aliansi Bisnis Nasional untuk AIDS. Pencegahan HIV/AIDS memang memerlukan komitmen politik. Karena persoalan HIV/AIDS masih sarat dengan penyangkalan, rasa malu dan minimnya kepemimpinan. Sayangnya, masih terdapat berbagai
diperoleh perusahaan jika bisnis melakukan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja. Sosialisasi dan advokasi dapat dilakukan oleh Aliansi Bisnis Nasional untuk AIDS yang diperluas dengan melibatkan Kamar Dagang Internasional dan perusahaan-perusahaan di luar anggota KADIN dan APINDO. Kedua, perlu dipikirkan untuk memberi insentif bagi perusahaan, misalnya membebankan biaya pelatihan HIV/AIDS sebagai komponen pengurang pajak perusahaan. Hal ini dapat mendorong perusahaan melakukan program pencegahan di tempat kerja tanpa mengganggu
kendala untuk mewujudkan komitmen ke dalam program pencegahan HIV/AIDS di setiap perusahaan. Kendala tersebut mencakup; Ketidaktahuan para pebisnis tentang keterkaitan dampak HIV/AIDS terhadap dunia bisnis. Kedua, prioritas perusahaan yang masih berkutat dengan upaya penyelamatan perusahaan akibat krisis ekonomi. Dan ketiga, belum adanya kebijakan pemerintah yang secara legal-formal mengatur kewajiban untuk menjalankan program pencegahan HIV/AIDS di tempat kerja. Merujuk kendala-kendala yang dihadapi sektor bisnis tersebut, maka perlu digelar kegiatan sosialisasi dan advokasi secara intens dan berkelanjutan tentang implikasi sosial dan ekonomi akibat HIV/AIDS, termasuk benefit yang bakal
upaya perusahaan bertahan dalam periode pemulihan krisis ekonomi nasional dewasa ini. Ketiga, Pemerintah diharapkan segera mengeluarkan peraturan yang tegas tentang kewajiban perusahaan menggelar program HIV/AIDS sebagai bagian dari program K3-Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Adanya aturan tersebut dapat menjadi acuan sekaligus “paksaan” bagi perusahaan untuk menjalankan program penanggulangan HIV/AIDS di tempat kerja. Tidak pelak lagi, dunia bisnis memainkan peranan penting dalam menanggulangi penyebaran HIV/AIDS di seluruh belahan dunia. Kesadaran yang sudah terbangun di tingkat global, mestinya juga diikuti di tingkat lokal, termasuk Indonesia. (Sumber: Koran Tempo, 5 Juni 2003) 10
S
p
e
s
i
a
l
I
n
f
o
Reporter Televisi,
Mengapa Harus Cantik? PERNAHKAH anda menyaksikan adegan proses reportase jurnalistik di lapangan seperti berikut : kamera yang menyorot objek liputan atau narasumber dipegang oleh perempuan sedangkan mikrofon yang disodorkan kepada mulut narasumber dipegang lakilaki? Jawabnya pasti jarang atau malah belum pernah terjadi di Indonesia kecuali dalam situasi “darurat” (emergency reporting). Sejak TVRI lahir tahun 1962 dan munculnya televisi swasta yang menyajikan berita tahun 1996, masyarakat Indonesia yang pernah menjadi narasumber atau menyaksikan kinerja kru televisi di lapangan hanya mengenal dua sosok jurnalis televisi: kameramen yang umumnya dikuasai laki-laki dan mikrofon untuk wawancara yang dipegang tangan perempuan. Situasi itu membentuk kultur bawah sadar yang menilai aneh ketika terjadi pembalikan profesi, perempuan sebagai kameramen dan laki-laki reporternya. Bagaimana dengan situasi darurat, maksudnya situasi yang lagi-lagi menurut kultur masyarakat tidak pantas dialami perempuan, misalnya mewawancarai kepala suku atau binatang buas. Persoalannya tidak krusial, ketika kameramen dan reporternya berjenis kelamin sama. Tetapi yang kini menggejala di kalangan praktisi televisi dalam peliputan jurnalistik harian (straight news) adalah menempatkan kru liputan secara berpasangan, laki-laki dan perempuan sebagai tim kerja. Tanpa dikomando, pembagian tugas sudah terjadi secara alamiah, kamera canggih dengan alasan ukuran yang besar dan beban yang berat diserahkan ke tangan laki-laki dari studio TELEVISI sampai ke lokasi peliputan. Kru perempuan dengan sigap langsung membawa mikrofon dan peralatan ringan lainnya. Apakah saat mulai bekerja di lapangan formasi semacam itu tetap berlangsung? Jawabnya jelas YA, karena dua hal. Pertama, proses pembelajaran fungsi dan operasionalisasi kamera sejak awal rekruitmen dibebankan kepada laki-laki. Kedua, sebagai pengusung kamera, kru laki-laki menjadi lebih akrab, terbiasa dengan peralatan itu. Hal serupa juga terjadi pada kru perempuan yang terbiasa dengan mikrofon.
Mengapa pekerjaan jurnalistik televisi di lapangan mengandung bias gender? Mengapa peralatan seperti kamera dan mikrofon “memiliki jenis kelamin”? Dengan mudah kita menyebut konstruksi sosial media televisi sebagai biangnya. Media televisi hadir di tengah kultur masyarakat yang patriarkhal. Media televisi juga membangun budayanya sendiri berdasarkan nilai-nilai kapitalistik. Nilai-nilai itu tercermin dari sejak pengambilan keputusan mengenai kinerja peliputan di lapangan dan proses rekruitmen yang diadakan untuk posisi reporter dan kameramen. Disadari tetapi tidak disebutkan secara eksplisit, pengelola televisi mulai membudayakan menerima kru reporter dari kalangan perempuan dengan satu syarat: berparas cantik. Tidak percaya? Lihatlah sendiri bagaimana para pemegang mikrofon untuk televisi ketika berebut wawancara dengan menteri atau tokoh masyarakat. Jumlah perempuannya makin banyak, mereka ratarata berparas menarik dan berpenampilan yang juga menarik. Jumlah reporter perempuan yang makin besar tentu menggembirakan, tetapi apa yang dibanggakan jika mereka sebenarnya dioperasikan oleh suatu pemikiran stereotip bahwa perempuan berparas cantik akan memudahkan akses media menelisik data penting dan narasumber utama. Kawan saya Luviana, yang bekerja di Metro TV menceritakan, adanya perlakuan narasumber yang berbeda terhadap reporter laki-laki dan perempuan. Reporter perempuan, apalagi jika berparas cantik akan mendapat kemudahan, ditambah pada saat yang sama mendapat perlakuan yang menjurus pelecehan. Bagaimana menjelaskan fenomena makin besarnya angka perempuan cantik yang menjadi reporter dengan kebijakan redaksional media televisi yang bias gender? Ada dua sisi penting. Pertama, televisi telah berhasil mengurangi persepsi masyarakat bahwa aktifitas reportase di lapangan sebagai “dunia laki-laki”, ini dampak positifnya. Kedua, televisi melembagakan kembali persepsi bias gender ketika perempuan cantik hanya diperlakukan secara 11
S
p
e
s
i
a
profesional karena motiv kecantikannya, bukan kecerdasan atau agresifitas kerjanya. Persepsi itu meminjam istilah sosiolog Thamrin Amal Tamagola sebagai pencitraan perempuan selaku PIGURA. Perempuan yang dipajang sebagai aksesori, hiasan untuk menarik perhatian orang lain, menarik pembeli mendekati dan kemudian mudah dikuras habis uang belanjaannya. Sejauh ini belum ada riset atau evaluasi awal untuk menilai dan menyimpulkan perilaku reporter televisi perempuan. Bagaimana kinerja produktifitas mereka terhadap peningkatan
l
I
n
f
o
dan berinteraksi secara face to face dengan beragam pihak secara setara di lapangan. Akan sangat mengerikan jika profesi itu dicemari perilaku buruk segelintir orang. Pengelola televisi harus jujur mengakui dan segera memperbaiki kebijakan redaksional agar tidak mengukuhkan bias gender. Wilayah reportase lapangan adalah wilayah paling krusial dalam proses jurnalistik yang tidak semestinya diracuni strategi yang tidak etik dalam penggalian data atau sumber berita. Sudah cukup budaya amplop telah begitu meracuni dunia jurnalistik karena membuat proses komunikasi jurnalissumber berita di lapangan seperti pertukaran kekuasaan (power sharing) yang tidak sehat. Apabila kenyataan ditambah dengan budaya fashion show dalam reportase dengan mengedepankan sosok perempuan reporter sebagai “umpan” komunikasi, maka reportase makin tidak sehat. Berita yang diperoleh juga pasti menurun kualitasnya. Bagaimana sejarahnya sehingga perempuan menempati posisi yang sebelumnya dikuasai laki-laki seperti menjadi reporter di lapangan? Proses rekruitmen yang selama ini berlangsung bisa dijadikan referensi. Memang sudah tidak ada lagi diskriminasi, tetapi motiv pasti berbeda ketika pelamar yang diterima perempuan, bukan laki-laki. Dalam kepala pengelola sudah terbentuk stereotype tertentu yang berpotensi mendiskriminasi bukan hanya perempuan dengan laki-laki tetapi perempuan cantik dengan yang tidak cantik. Mengapa harus cantik? Strategi mendekati narasumber untuk memperoleh data yang underground dan menjalin hubungan yang lebih hangat antara media dengan sumber berita seperti institusi kepolisian agaknya menjadi alasan penting. Tentu masih banyak alasan lain yang sebetulnya lebih profesional, tetapi yang menonjol pada praktiknya di lapangan adalah alasan pertama di atas. Menurut data awal, peliputan berita-berita kriminal yang mempertemukan reporter perempuan dengan narasumber laki-laki dari kalangan kepolisian menjadi “kawasan rawan” pelecehan seksual akibat kebijakan redaksional yang bias gender tersebut. Sehingga sudah saatnya kebijakan itu dievaluasi dan dipertegas dalam penentuan kriteria lamaran bahwa menjadi reporter televisi tidak harus cantik. Apakah hai pengelola redaksi yang budiman bersedia? (Adink)
kualitas dan kuantitas berita di televisi. Yang menggelisahkan justru kasak-kusuk yang bergeser menjadi gosip murahan bahwa reporter perempuan, terutama yang berparas cantik menjalani “profesi ganda”, siang liputan malam hari melayani kebutuhan biologis narasumber. Semoga gosip ini hanya isapan jempol. Menjadi reporter adalah profesi terhormat karena melewati proses rekruitmen yang berkerangka intelektual, menjalankan tugas melayani kebutuhan publik akan informasi untuk pencerdasan 12
I
n
f
o
B
u
k
u
Menelusuri Relasi Bahasa- Gender Judul Penulis Penerbit Tahun Halaman
: : : : :
Gender Voices David Graddol dan Joan Swann Pedati, Pasuruan 2003 xiv+335 halaman
KETIKA analisis gender mulai diperkenalkan sebagai perspektif baru dalam melihat fakta sosial, bahasa tak luput dijadikan fokus kajian. Bahasa “dicurigai” sebagai piranti yang besar kontribusinya dalam mereproduksi praktik-praktik ketimpangan gender karena bahasa tidak lagi dipandang mencerminkan pembagian gender, melainkan juga dianggap sanggup menciptakan pembagian gender. Sifat bahasa yang tidak terbatas pada dimensi personal, melainkan sudah dianggap sebagai sumber daya publik, makin menguatkan kegigihan untuk menelusuri sejauh mana hubungan antara bahasa dan ketimpangan gender. Memandang bahwa bahasa bersifat seksis dengan menunjukkan sejumlah kata dan istilah yang diskriminatif terhadap perempuan memang tidak sepenuhnya keliru. Namun, penunjukan bukti-bukti semacam itu baru mencakup sebagian dari aspek bahasa, yaitu semata-mata berkaitan dengan bagaimana bahasa merepresentasikan perempuan dan laki-laki. Aspek-aspek lain seperti bagaimana laki-laki dan perempuan menggunakan bahasa, meliputi tipe suara laki-laki dan perempuan, cara bertutur, aksen, dan bagaimana laki-laki dan perempuan membangun percakapan, sama sekali belum tersentuh. Buku ini mengeksplorasi semua aspek kebahasaan tersebut dengan sangat komprehensif. Berbagai penelitian tentang peran dan pengaruh bahasa dalam membentuk perilaku individu dan struktur sosial disisir dengan sangat hati-hati untuk menunjukkan betapa kompleks hubungan yang terbangun antara bahasa dan gender. Penulis buku ini, misalnya, tidak serta merta menyimpulkan bahwa perbedaan tipe suara dan aksen laki-laki (maskulin) dan perempuan (feminin) adalah bersifat biologis alamiah ataupun socially constructed. Ada kontribusi dari masing-masing variabel dalam membentuk perbedaan tersebut.
Namun, ketika sampai pada topik percakapan, penulis dengan tegas menggarisbawahi bahwa cara kerja gender lebih bersifat langsung pada aktivitas percakapan. Berbagai macam ciri percakapan yang pernah diteliti, seperti bagaimana memanfaatkan arah pembicaraan dan pola interupsi, menggambarkan perbedaan akses yang dimiliki oleh masing-masing jenis kelamin. Perbedaan akses tersebut mencerminkan perbedaan kuasa (power) –yang meliputi komponen seperti ‘kecakapan’, ‘status’, atau ‘dominasi’—antara laki-laki dan perempuan (hal. 148). Tampak bahwa perbedaan perimbangan kekuasaan itu menyertakan variabel-variabel sosial-kultural, bukan variabelvariabel biologis-natural. Selain menelusuri sejumlah penelitian antropologis awal, penelitian psikologi dan penelitian stratifikasi sosial berkaitan dengan bahasa, penulis buku ini juga meminjam perspektif feminisme dan poststrukturalisme untuk menjelaskan saling pengaruh antara bahasa dan struktur sosial. Pemikiran-pemikiran di luar ranah linguistik yang dipakai penulis untuk membedah fenomena linguistik menjadi kelebihan tersendiri yang ditawarkan buku ini. Kendati edisi asli buku ini (dalam Bahasa Inggris) telah terbit empat belas tahun silam (1989), namun penerbitan dalam Bahasa Indonesia kiranya patut disambut baik mengingat sejauh ini belum ada literatur yang secara khusus membahas berbagai pemikiran dan realitas hubungan antara bahasa dan gender. Tetapi agak disayangkan sebab ternyata buku yang dinilai sempat mengagumkan sejumlah kalangan ini dialihbahasakan dan disunting dengan kurang hatihati sehingga di sana-sini masih terdapat diksi yang kurang tepat (misalnya ‘power’ yang lazim diartikan ‘kuasa’ atau ‘kekuasaan’, oleh penerjemah diartikan ‘kekuatan’). Dijumpai juga kalimat-kalimat yang tidak sempurna (tidak berpredikat), dan pengistilahan yang tidak konsisten antara ‘gender’ dan ‘jender’. (Laily) 13
I
n
f
o
B
u
k
u
Berdamai dengan Suara Hati Judul
: Ketika Ibu Harus Memilih PandanganBaru Tentang Peran Ganda Wanita Penulis : Susan Chira Penerbit : Qanita Tahun : 2003 Halaman : 340 halaman
KONSTRUKSI sosial dan budaya yang menuntut peran ganda terhadap perempuan bekerja, tanpa disadari telah menghadapkan perempuan dalam ‘beban ganda’. Dampaknya, perempuan dikondisikan dalam perasaan bersalah, terutama ketika mulai menyandang status sebagai ibu. Pada saat itu di hadapannya terbentang pilihan sulit: bekerja atau di rumah mengasuh, merawat dan membesarkan anak. Memilih keduanya seolah merupakan kemustahilan. Buku ini menceritakan kegelisahan yang merupakan pengalaman pribadi yang dialami penulis ketika menghadapi kenyataan di masyarakat berkembang fenomena ‘mazhab kembali ke rumah’ (hal. 43). Bertahun-tahun penulis mengira hanya bisa memilih salah satu: pekerjaan atau anak. Semua orang mengatakan bahwa dirinya mempunyai keinginan yang mustahil: bekerja dengan baik sekaligus menjadi seorang ibu yang baik. Bertahun-tahun ia menekan hasratnya untuk menjadi ibu dan mengabaikan suara hatinya. Sementara itu di sisi lain muncul anggapan bahwa timbulnya penyakit masyarakat dinilai berakar dari ambisi perempuan (baca: ibu) untuk ‘keluar rumah’. Dengan demikian solusinya sudah jelas: ibu yang bijaksana akan mau menekan ambisinya dan tidak mau mengorbankan keluarganya demi mendapatkan segalanya. Sebagai seorang ibu, penulis sering kali merasa seperti orang jahat, rasa cinta kepada anak-anaknya seperti suatu keraguan, sebab dirinya tidak memenuhi sosok ideal seorang ibu yang baik. Dirinya ingin bekerja, namun, masyarakat mengatakan bahwa satu-satunya alasan yang bisa diterima untuk bekerja adalah kebutuhan mendesak untuk menafkahi keluarga. Ibu rumah tangga masih tetap dianggap emas (hal. 49), sementara sebagaian besar ibu saat ini hanyalah ‘kaleng’ belaka. Buku ini juga dilengkapi ilustrasi kisah-kisah betapa ketidakadilan penilaian dijatuhkan pada ibu 14
bekerja ketika musibah justru dialaminya. Salah satunya kisah Deborah Eappen , seorang ibu bekerja yang memperkerjakan Louise Woodward sebagai pengasuh anak. Ketika pada suatu hari salah satu anaknya meninggal dengan retakan di kepala, justru di pengadilan Deborah dikecam telah memperkerjakan pengasuh anak yang muda dan murah. Bahkan dirinya dianggap telah menyakiti anaknya sendiri dan kemudian menuduh si pengasuh anak untuk menutupi kejahatannya sendiri. Keputusan Deborah untuk menolak tawaran bergengsi sebagai kepala dokter rumah sakit dan pilihannya untuk hanya bekerja tiga hari seminggu belum cukup, hanya kalau dia total berhenti bekerja, barulah pengorbanan dianggap cukup. Ibu masa kini memang harus ‘tabah’ karena menghadapi sorotan tajam masyarakat yang kadang menghakimi tanpa ampun.Sosok ibu yang baik tampaknya begitu didambakan dewasa ini karena kita menjalani kehidupan yang sarat oleh budaya dan krisis moral. Bekerja atau menjadi ibu, atau memilih keduanya adalah sebuah pilihan dan setiap pilihan mempunyai konsekuensi. Sebenarnya dalam epilog buku ini penulis mengungkapkan bahwa dirinya tidak bertujuan untuk menemukan ‘kedamaian’ yang sulit diraih, melainkan untuk belajar mengajukan pertanyaan yang tepat agar dapat membuat keputusan yang adil bagi diri sendiri dan keluarga. Namun dengan pilihan yang yang adil itu dia telah berdamai dengan suara hatinya. Bekerja sambil membesarkan anak memang sulit. Diam di rumah bersama anak-anak sepanjang hari juga pekerjaan sulit dan membosankan. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa menyangkal keinginan untuk bekerja juga sangat melelahkan dan membuatnya depresi sehingga berpengaruh negatif terhadap kebersamaan dalam keluarga. Jadi, bila kita bisa nyaman dengan pilihan untuk bekerja dan berkeluarga, mengapa tidak? (th puspitawati)
S u r a t
P e m b a c a
“Lama Tidak Kontak-kontak LP3Y”
“Ingin Jadi Peserta Kagiatan LP3Y”
Salam Sehat, Bagaimana khabarnya, aku sudah lama banget tidak kontak-kontak. Aku saat ini tidak punya akses untuk mendapatkan informasi yang dilansir LP3Y, terutama kaitannya dengan media dan gender. Apakah aku bisa mendapatkan newsletternya atau informasi apa saja, agar aku tak terputus info-info baru? Kalau bisa, saya senang hati sekali.
Salam Hormat, Saya kali pertama berjumpa dengan bapak Ashadi saat mengikuti kegiatan the British Council di makassar tahun 2000, lalu dalam kegiatan jurnalistik damai kerjasama lp3y dan Elsim Makassar. Saya saat ini sebagai pemimpin redaksi harian pagi Ambon Ekspres di ambon. pada kesempatan ini, mohon sekiranya ada kegiatan yang diselenggarakan the British Council atau kegiatan pemantauan pemilu 2004 yang sudah semakin dekat.saya mohon diundang.
Mukhotib MD Divisi Media Lembaga Kajian Islam dan Sosial Jl. Pura I/01 Sorowajan, Yogyakarta, 55198 Phone/Facs: 0274-524901 E-mail:
[email protected]
Subject Author Date
Ambon, 12 juni 2003 Ahmad Ibrahim hp. 08124154702 Email :
[email protected]
: Beda, wartawan media cetak dan Radio? : Syaiful W . Harahap : 26/07/2002
SAYA adalah alumni lp3y angkatan ke-6. Saya jadi ingin nimbrung atas perdebatan antara saudara Saiful dan Iwan Jayadi ttg Kegiatan berjurnalistik di radio. Sebagai org radio saya membenarkan pernyataan bahwa memang ada perbedaaan antara pers elektronik(radio)dengan cetak terutama masalah penyajian.Radio Yang didengar hanya selintas haruslah dipahami sebagai sebuah karakteristik sebuah media yang terelakkan. Kalau dianggap tdk ada unsur kelayakan, dan kelengkapan. Yaa wajar saja(meski saya tdk mengikuti dari mana awal perdebatan ini)Karna radio anti detail. W ajar pula kalau yang bicara itu (maaf) wartawan cetak.Karna kita punya resep penyajiaan yang berbeda,(berita utk dibaca,dengan utk didengar). Berikutnya saudaraku Iwan Jayadi.WEh,payah kalo yg dianggap asli wartawan adalah wartawan cetak. Coba anda main ke radio saya tentu anda akan merubah pernyataan anda tersebut.Mas, yang namanya berjurnalistik menurut saya tidak terbatas pada pencarian yang sifatnya musti turun lapangan langsung. menulis ulang dari sebuah media dan dibacakan lewat udarapun menurut saya sudah berjunalistik. mbok kawan-kawan cetak ini jgn arogan,kayak nggak nginjek bumi aja.Apa anda tdk pernah mendownload internet utk mengisi kolom koran anda ???? Asal kawan-kawan tau, yang namanya kegitan jurnalistik diradio siaran swasta secara resmi, baru tumbuh subur setelah ORBA JATUH. Jadi wajar kalo ada perbedaan keyakinan. Sebagai penutup, saya harap LP3Y kalo ngadain pelatihan jangan lintas media. Ya ini akibatnya.................jaka sembung pakek anting.................nggak nyambung bikin pening...ha..ha..ha..ha Salam buat masduki, ketemu neng Semarang nglali opo lali, Cre LP3Y, kawan-kawan angkatan VI....piye kabare tho ?Trim's LP3Y....ilmu yang saya timba disana. kini mendukung karier saya.
MARI KITA BUKTIKAN DIUDARA KITA TETAP JAYA. Saya, Benediktus Agung PS dulu di RADIO KIS 105.8 (Kebenaran Insan Semesta) Semarang. Sekarang Saya di CFM 93.9 (Cipta Informasi Rakyat) Jl. Tabanan 1c
15
p r o f i l P
r
o
f
i
l
LIES MARCOES
Saat Ceramah Selalu Bawa Alat Peraga KEMANApun Lies Marcoes ceramah, alat-alat peraganya pun tak pernah berpisah. Ia bisa membawa kotak berisi berbagai asesoris perempuan maupun laki-laki. Atau berupa gulungangulungan poster plus alat tulis. Bahkan ia membuat sendiri kain seluas papan tulis putih (whiteboard) besar yang sudah disemprot dengan lem. Kain itu berfungsi sebagai tempat untuk menempelkan kertas metaplan (berupa kertas manila warna-warni berukuran 10x20 cm) yang bisa digunakan untuk mengeksplorasi pendapat peserta. Ketika ia menjadi pemateri Gender & Kespro dalam Workshop AGKR untuk Wartawan Manado Maret lalu kain berlem itu ia serahkan ke LP3Y. “Agar digunakan untuk workshop-workshop LP3Y berikutnya,” begitu pesannya. Dan pastilah kain berlem semacam itu akan dibuatnya lagi untuk ia ceramah di lain tempat. Lies sudah beberapa kali menjadi narasumber Gender & Kespro dalam workshop AGKR yang digelar LP3Y, baik di Yogya maupun di luar Yogya. Ia suka berimprovisasi dengan menyelipkan beragam permainan yang membuat peserta tergugah. Ia kadang, tanpa diduga, mengajak orang lain yang dikenalnya –meski orang tersebut tidak berkaitan langsung dengan materi yang ia—dalam ruang diskusi. Itu salah satu trik dia untuk mengalihkan perhatian peserta sejenak darinya, agar ia bisa mengambil jeda sambil menyusun tangga klimaks diskusi berikutnya. Lies mengaku keterlibatannya dalam dunia pelatihan akibat obsesi yang dipendamnya: ingin punya sekolah. “Sekolah yang dapat membalikkan ideologi penindasan yang berporos pada pengalaman lelaki, ke ideologi pemerdekaan manusia yang berangkat dari pengalaman perempuan melahirkan kehidupan. Coba kita renungkan bencana di dunia ini: perang, kelaparan, kerusakan lingkungan, krisis energi, itu semua kan suatu dunia yang pada ujungnya bermuara pada cara pandang dan logika kaum lelaki. Mayoritas pelaku semua krisis itu juga lelaki!. Sekolah yang aku idamkan adalah yang bisa menghidupkan paradigma pengalaman perempuan,” ujar Lies yang meraih Master of Medical Anthropology dari Universitas Amsterdam, Belanda, tahun 2000. Namun, kadang muncul pertanyaan di benaknya: Jangan-jangan paradigma perempuan yang ada saat ini juga merupakan ciptaan patriarki juga. “Aku juga sedang menulis buku, hampir rampung. Ini buku tentang bagaimana sebaiknya sebuah training untuk
pembebasan dapat dilakukan. Ini lebih mendokumentasikan pengalaman saya sebagai trainer untuk isu yang gampang sekali ditolak, yaitu isu gender, dan hak penguasaan kaum perempuan atas tubuhnya atau dalam bahasa lain disebut hak reproduksi,” akunya. Selain berkeinginan membuat sekolah ia juga memiliki obsesi lain, yakni ingin membuat novel kehidupan. “Aku ingin menulis novel tentang perempuan-perempuan di sekitar lingkunganku masa kecil,” kata Lies. Untuk mendukung obsesinya ini ia mengoleksi novel-novel dunia. “Semua karya Salman Rushdie, Maguib Mahfudz, Ignazio Silone, Milan Kundera semuanya aku kumpulin. Percaya nggak, novel Ignazio Silone, Bread and Whine aku udah baca 8 kali! Itu novel tentang perjuangan gerakan bawah tanah aktivis gereja Katolik melawan fasisme Musolini di Italia. Dalam bayanganku itu kan kira-kira kayak dunia kita atau dunia saya, bagaimana dunia pesantren dan para kyainya, lalu ada usaha dari dalam pesantren sendiri untuk memaknai kehadiran Tuhan dan hukum-hukumnya untuk pembebasan manusia dari tuhan-tuhan kecil berupa fasisme, patriarkisme. Novel itu menggambarkan usaha seorang mantan Romo meng-hidupkan ajaran gereja dalam realitas kehidupan manusia lelaki dan perempuan yang tertindas,” tutur Lies yang kini menjadi Program Officer Islam and Civil Society The Asia Foundation, Jakarta. Tetapi diakuinya untuk nulis novel makin lama makin susah. “Bahasaku tidak spontan lagi, terlalu lama bekerja jadi birokrat LSM (ia tertawa, red) bahasanya jadi sangat kering, menjemukan, formal.” Sebagai aktivis, ibu tiga anak ini, merasa tidak punya hambatan dari lingkungan keluarga. “Aku sepertinya ditakdirkan berdarah-darah ketika melahirkan saja, sementara bojoku (suamiku, red) “berdarah-darah” menumbuhkembangkan mereka. Kalau keberhasilan diukur dengan menggunakan indikator yang —sebenarnya agak kampungan— yaitu prestasi anak, maka aku mungkin masuk dalam kategori itu. Kemarin anak-anakku terima rapot. Semuanya juara kelas,” tuturnya bangga. Apalagi kegiatannya kini merambah ke dunia televisi. Belakangan ini pada beberapa Senin malam ia berperan sebagai ‘Mbokde Lies Marcoes” dalam acara Waroeng Toedjoeh milik TV7. (srs)
16