MUTU PELAYANAN YANG BERORIENTASI PADA PATIENT SAFETY PENDAHULUAN Hampir setiap tindakan medik menyimpan potensi risiko. Hal ini paling tidak telah dibuktikan dari laporan the IOM (Institute of Medicine) yang menyebutkan bahwa setiap tahun sekitar 48.000 hingga 100.000 pasien meninggal dunia di Amerika Serikat akibat medical error yang terjadi di pusat-pusat pelayanan kesehatan. Studi paling ekstensif mengenai adverse event telah dilakukan oleh the Harvard Medical Practice yang melibatkan lebih dari 30.000 pasien yang dipilih secara acak dari 51 rumah sakit di New York pada tahun 1984 (Brennan et al, 1991). Adverse events yang manifestasinya antara lain berupa perpanjangan masa rawat inap atau timbulnya kecacatan pasien saat meninggalkan rumah sakit pasca perawatan, terjadi pada 3,7% pasien rawat inap. Analisis lebih lanjut menunjukkan bahwa lebih dari 58% adverse event tersebut sebetulnya dapat dicegah (preventable adverse events), sedangkan 27,6% terjadi akibat kelalaian klinik (clinical negligence). Meskipun pelacakan berikutnya mengisyaratkan bahwa kecacatan akibat adverse event tersebut umumnya berlangsung tidak lebih dari 6 bulan namun 13,6% di antaranya akhirnya meninggal dan 2,6% mengalami kecacatan permanen. Komplikasi akibat obat relatif paling sering dilaporkan (19%), disusul oleh infeksi luka operasi (14%) dan komplikasi akibat timbulnya masalah teknis selama tindakan operasi (13%) (Brennan et al, 1991). Temuan tersebut kemudian juga dikuatkan oleh studi di Utah dan Colorado pada tahun 1992 yang melaporkan bahwa adverse event terjadi pada 2,9% pasien rawat inap. Studi ini membukukan angka kelalaian klinik yang lebih besar (29,2%) dengan adverse event yang dapat dicegah mendekati 53% (Thomas et al, 1999). Robert and Robert (1988) melakukan telaah terhadap pasien rawat inap dengan infark myokard atau komplikasi pasca operasi. Di antara 182 kematian
1
yang dialami oleh penderita pneumonia, infark myokard, dan gangguan serebrovaskular, sekitar 27%nya sebetulnya dapat dicegah (Dubois, 1988). Dari studi yang dilakukan McGuire et al (1992) terhadap lebih dari 44 ribu pasien yang menjalani tindakan operatif mulai tahun 1977 hingga 1990 dilaporkan bahwa 5,4% pasien mengalami komplikasi dan hampir setengahnya terjadi akibat error. Diantara 749 kematian yang terjadi di rumah sakit yang sama pada kurun waktu tersebut disimpulkan bahwa 7,5% kematian disebabkan oleh medical error. Dalam kenyataannya masalah medical error dalam sistem pelayanan kesehatan mencerminkan fenomena gunung es, karena yang terdeteksi umumnya adalah adverse event yang ditemukan secara kebetulan saja. Sebagian besar yang lain cenderung tidak dilaporkan, tidak dicatat, atau justru luput dari perhatian kita semua. Classen et al. (1997) misalnya hanya berhasil mengidentifikasi 731 medication error pada 648 pasien di antara 36.653 pasien yang menjalani rawat inap. Dari angka tersebut ternyata hanya sebagian kecil saja yang dilaporkan oleh dokter, perawat, maupun farmasis, sedangkan sebagian besar kasus dapat terdeteksi melalui automated signals yang dikembangkan oleh rumah sakit. DEFINISI DAN DAMPAK DARI MEDICAL ERROR Menurut Institute of Medicine (1999), medical error didefinisikan sebagai: The failure of a planned action to be completed as intended (i.e., error of execusion) or the use of a wrong plan to achieve an aim (i.e., error of planning). kesalahan medis didefinisikan sebagai: suatu Kegagalan tindakan medis yang telah direncanakan untuk diselesaikan tidak seperti yang diharapkan ( yaitu., kesalahan tindakan) atau perencanaan yang salah untuk mencapai suatu tujuan (yaitu., kesalahan perencanaan). Definisi tersebut menggambarkan bahwa setiap tindakan medik yang dilaksanakan tetapi tidak sesuai dengan rencana atau prosedur sudah dianggap sebagai medical error. Di sisi lain melakukan upaya medik melalui prosedur yang keliru juga dianggap sebagai medical error. Sedangkan menurut Bhasale et al
2
(1998) medical error didefinisikan sebagai “an unintended event . . . that could have harmed or did harm a patient.” Data pasti mengenai medical error relatif sulit diperoleh, karena sebagian tidak dikenali, dianggap biasa (bukan suatu event), atau terjadi tetapi tidak dicatat. Salah satu studi yang relatif cukup representatif adalah yang dilaporkan oleh Brennan et al (1991) terhadap medical record dari 30.121 pasien yang yang masuk ke 51 rumah sakit di New York tahun 1984. Laporan tersebut menunjukkan bahwa efek samping terjadi pada 3,7% pasien, yang 69% di antaranya terjadi akibat medical error. Angka yang jauh lebih besar dilaporkan oleh Wilson et al (1995) di Australia. Dari 14.179 catatan medik pasien yang berasal dari 28 rumah sakit di New South Wales, medical error terjadi pada 16,6% pasien, yang mengakibatkan terjadinya kecacatan tetap (permanent disability) pada 13,7% pasien dan kematian sekitar 4,9%. Analisis selanjutnya menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya sebetulnya bisa dicegah (preventable) Studi yang dilakukan oleh Bates et al8 mencatat angka kejadian efek samping 6,5% di dua rumah sakit di Boston yang 28% di antaranya terjadi akibat medical error. Sementara itu suatu studi observasional yang dlaporkan oleh Andrew et al (1997) menemukan angka medical error yang jauh lebih tinggi, yaitu 45,8%. Di antara semua kasus medical error yang dilaporkan tersebut diketahui bahwa 18%nya tergolong serius, yang antara lain berakibat terjadinya kecacatan sementara (temporary disability). Masalah medical error di ICU ternyata juga tidak sedikit. Sekitar seperempat pasien ICU yang tergolong critically ill dan terpaksa menggunakan ventilator, mengalami ventilator associated pneumonia (VAP), yang angka kematian pada kelompok ini memberikan kontribusi sebesar 60% untuk kematian akibat hospital acquired infection. Akibat VAP ini pasien terpaksa harus dirawat rata-rata lebih lama 6 hari dengan biaya terapi yang meningkat hingga US$ 40.000 per pasien (Weber et al, 2002; CDC, 2004). Studi lainnya juga menemukan bahwa setiap tahun, dari sekitar 80.000 pasien ICU di Amerika yang menggunakan central-line catheter, 20.000 di
3
antaranya meninggal, dengan dampak peningkatan biaya rata-rata sekitar US$ 56.00 per kasus (Mermel 2000; O’Grady et al, 2002) DAMPAK MEDICAL ERROR DALAM PELAYANAN KESEHATAN Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya reversible hingga yang berat berupa kecacatan atau bahkan kematian. Sebagian penderita terpaksa harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya berdampak pada biaya perawatan yang lebih besar. Classen et al13 melaporkan bahwa untuk mengatasi masalah medical error pada 2,4% pasien yang masuk ke rumah sakit selain diperlukan biaya ekstra sebesar US$ 2262 (atau hampir Rp 23 juta) per pasien juga diperlukan perpanjangan hari rawat rata-rata 1,9 hari. Hasil yang hampir sama juga dilaporkan melalui the Harvard study of adverse drug events. Dalam temuannya terbukti bahwa biaya yang harus dikeluarkan per pasien akibat adanya medical error adalah sekitar US $ 2595 (lebih dari Rp 25 juta) dengan perpanjangan masa rawat di rumah sakit rata-rata 2,2 hari. Namun demikian jika dilakukan analisis lebih rinci maka untuk kasus-kasus yang sifatnya bisa dicegah (preventable) biaya ekstra yang harus dikeluarkan hampir 2 kalinya, yaitu US $ 4685 (hampir Rp 50 juta) sedangkan perpanjangan masa rawat inap rata-rata 4.6 hari.14 Perkiraan lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk rumah sakit pendidikan dengan 700 tempat tidur maka rata-rata biaya yang harus dikeluarkan per tahun untuk mengatasi medical error adalah sekitar US 5,6 juta (sekitar Rp 56 milyar rupiah) Johnson et al, melakukan kalkulasi terhadap biaya obat yang erat kaitannya dengan terjadinya efek samping. Hasil kalkulasi menunjukkan bahwa medical error yang berkaitan dengan obat menyebabkan terjadinya 116 juta kunjungan ekstra ke dokter per tahun, berdampak pada penulisan resep secara ekstra sebanyak 76 juta lembar, 17 juta kunjungan pasien ke unit gawat darurat, 3 juta ekstra perawatan jangka panjang, dengan total biaya sebesar US$ 76,6 miliar, atau jauh lebih besar daripada anggaran yang diusulkan Presiden George W Bush ke Kongres untuk menggempur Afganistan.
4
Dari uraian di atas sebetulnya terlihat bahwa medical error merupakan fenomena gunung es. Hanya kasus-kasus yang serius dan mengancam jiwa (life threatening) yang secara mudah terdeteksi dan tampak di permukaan, sedangkan kasus-kasus yang sifatnya ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi, tidak dicatat, ataupun tidak dilaporkan (apalagi yang gejalanya hilang dengan penghentian pemberian terapi yang dicurigai sebagai penyebab efek samping) PERLUNYA DIKEMBANGKAN STANDAR DAN INDIKATOR UNTUK PATIENT SAFETY Sejak masalah medical error menggema di seluruh belahan bumi melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik hingga ke journal-journal ilmiah ternama, dunia kesehatan mulai menaruh kepedulian yang tinggi terhadap isu patient safety. Di Amerika Serikat misalnya, laporan yang diterbitkan oleh the Institute of Medicine merupakan pemicu yang efektif bagi gerakan patient safety ini (Kohn et al, 2000). Dalam laporan tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa biaya nasional akibat medical error mencapai 17 milyar dollar per tahun. Di Australia, gerakan patient safety dimulai dari publikasi hasil studi the Quality in Australian Health Care Study yang menemukan bahwa adverse event dialami oleh 16,6% pasien yang dirawat di rumah sakit, dengan total biaya untuk mengatasinya yang mencapai lebih dari 1 milyar dolar per tahun (Wilson et al, 1995). Beberapa institusi kemudian mulai mengembangkan upaya-upaya patient safety seperti misalnya yang diawali oleh the ACHS (the Australian Council on Healthcare Standards), the Council for Safety and Quality in Health Care, the Institute for Clinical Excellence dan the National Institute for Clinical Studies. Di Inggris yang mengawali konsep clinical governance melalui the National Institute for Clinical Excellence (NICE), patient safety juga telah menjadi prioritas bagi upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan secara berkesinambungan (continuous quality improvement).
5
Berbagai definisi mutu yang dikaitkan dengan patient safety selanjutnya diajukan, dan salah satu definisi yang umum digunakan antara lain menyebutkan bahwa mutu pelayanan kesehatan adalah “tingkat di mana pelayanan kesehatan untuk individu maupun populasi mampu menghasilkan outcome pelayanan sesuai dengan yang diharapkan dan konsisten dengan pengetahuan profesional terkini” (IOM, 2001). Namun demikian mengingat definisi tersebut dianggap terlalu luas, berbagai peneliti telah mencoba mengembangkannya untuk menjamin agar pengukuran mutu pelayanan kesehatan lebih spesifik. Salah satunya adalah yang diajukan oleh Donabedian (1980), yaitu berpedoman pada struktur, proses, dan outcome. Sementara itu the IOM (1999) dan National Health Service menggunakan konsep mutu pelayanan kesehatan dalam 6 aspek, yaitu safety, effectiveness, timeliness, efficiency, equity, dan patient awareness. Chassin mengusulkan metode lain yang menekankan pada 3 area utama, yaitu under use, over use, dan misuse of health care services. Under use didefinisikan sebagai kegagalan untuk memberikan pelayanan yang efektif padahal jika dilakukan dapat menghasilkan outcome yang diharapkan (misalnya tidak memberikan imunisasi atau gagal untuk melakukan bedah katarak). Disebut overuse apabila pelayanan kesehatan yang dilakukan ternyata memberi dampak risiko yang lebih besar daripada potensi manfaat yang dapat ditimbulkan (misalnya memberikan antibiotika untuk kasus-kasus common cold). Sedangkan misuse didefinisikan sebagai komplikasi yang sebenarnya dapat dihindari jika pelayanan kesehatan dilakukan secara seksama. Dari beberapa konsep tersebut kemudian dikembangkan sejumlah indikator untuk mengkuantifikasikan mutu pelayanan kesehatan. Salah satunya adalah indikator mutu pelayanan yang disusun oleh ACHS yang merupakan instrumen untuk mengidentifikasi area pelayanan kesehatan yang masih memerlukan perbaikan secara fundamental. Dengan metode kuantifikasi ini selanjutnya dapat dilakukan analisis statistik untuk menilai area-area pelayanan yang dianggap memiliki defisiensi dalam menghasilkan outcome yang diharapkan.
6
Upaya yang sama juga dilakukan oleh The Agency for Healthcare Research and Quality (AHRQ) yang mengembangkan beberapa indikator yaitu Prevention Quality Indicators, Inpatient Quality Indicators, dan Patient Safety Indicators (PSIs). Apa yang dimaksud dengan indikator patient safety (IPS)? Indikator
patient
safety
merupakan
ukuran
yang
digunakan
untuk
mengetahui tingkat keselamatan pasien selama dirawat di rumah sakit. Indikator ini dapat digunakan bersama dengan data pasien rawat inap yang sudah diperbolehkan meninggalkan rumah sakit. Indikator patient safety bermanfaat untuk menggambarkan besarnya masalah yang dialami pasien selama dirawat di rumah sakit, khususnya yang berkaitan dengan berbagai tindakan medik yang berpotensi menimbulkan risiko di sisi pasien. Dengan mendasarkan pada IPS ini maka rumah sakit dapat menetapkan upaya-upaya yang dapat mencegah timbulnya outcome klinik yang tidak diharapkan pada pasien. Secara umum IPS terdiri atas 2 jenis, yaitu IPS tingkat rumah sakit dan IPS tingkat area pelayanan. Indikator tingkat rumah sakit (hospital level indicator) digunakan untuk mengukur potensi komplikasi yang sebenarnya dapat dicegah saat pasien mendapatkan berbagai tindakan medik di rumah sakit. Indikator ini hanya mencakup kasus-kasus yang merupakan diagnosis sekunder akibat terjadinya risiko pasca tindakan medik. Indikator tingkat area mencakup semua risiko komplikasi akibat tindakan medik yang didokumentasikan di tingkat pelayanan setempat (kabupaten/kota). Indikator ini mencakup diagnosis utama maupun diagnosis sekunder untuk komplikasi akibat tindakan medik. Apa tujuan penggunaan Indikator Patient Safety? Indikator patient safety (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih lanjut, seperti misalnya untuk menunjukkan: •
adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu,
7
•
bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau terapi sebagaimana yang diharapkan
•
tingginya variasi antar rumah sakit dan antar pemberi pelayanan
•
disparitas geografi antar unit-unit pelayanan kesehatan (pemerintah vs swasta atau urban vs rural)
Apa saja yang termasuk dalam indikator patient safety? Sesuai dengan tujuannya, IPS hendaknya memuat potensi-potensi risiko klinis yang relatif sering menimbulkan trauma di pihak pasien atau menimbulkan dampak medik, biaya, dan organisasi yang signifikan bagi pelayanan kesehatan/rumah sakit. Penetapan IPS harus dilakukan melalui kajian-kajian serta analisis seksama terhadap berbagai adverse event yang banyak ditemukan di sistem pelayanan kesehatan yang ada. Berikut disajikan beberapa contoh IPS yang dapat digunakan untuk menilai sejauh mana konsep-konsep patient safety telah diterapkan secara konsisten di rumah sakit. Beberapa indikator patient safety Luka tusuk atau luka iris yang tidak disengaja Komplikasi akibat anestesi Kematian pada diagnosis yang angka kematiannya rendah Dekubitus Kegagalan dalam menyelamatkan nyawa pasien Benda asing tertinggal dalam tubuh pasca tindakan medik/bedah Pneumotorak iatrogenik Perdarahan atau hematom pasca operasi Fraktur tulang panggul pasca operasi Gangguan fisiologis dan metabolik pasca operasi Emboli paru pasca operasi atau trombosis vena Kegagalan respirasi pasca operasi Sepsis pasca operasi Dehisensi luka pasca operasi Infeksi akibat tindakan medik Reaksi transfusi Trauma saat lahir
8
Trauma obstetrik pasca operasi Cesar Trauma obstetrik pasca persalinan dengan instrumen Trauma obstetrik pasca persalinan tanpa instrumen Berdasarkan indikator-indikator yang telah disusun tersebut kemudian dibuat definisi, cara menghitung angka kejadian serta pada tingkat mana indikator tersebut harus dicapai, serta variabel-variabel apa saja yang harus dipertimbangkan untuk menghindari misleading dalam interpretasinya. Berikut diberikan beberapa contoh: Dekubitus Definisi: Kasus dekubitus per 1000 patient discharge yang dirawat lebih dari 4 hari Numerator: Diagnosis saat discharge adalah 7070 sesuai ICD-9 Denominator: Semua medical & surgical discharges yang didefinisikan dengan DRG spesifik Pada pasien yang dirawat minimal 5 hari Tidak mengikutsertakan pasien dengan diagnosis hemiplegi, paraplegi atau kuadriplegia Tidak melibatkan pasien-pasien dari unit pelayanan long term facilities. Angka empirik 22,7 per 1000 population at risk Risk adjustment; Umur, jenis kelamin, DRG, kategori komorbiditas Benda asing tertinggal dalam tubuh pasien pasca prosedur medik/bedah Definisi: Kasus benda asing tertinggal dalam tubuh secara tidak sengaja selama prosedur per 1000 pasien yang di discharge Numerator: Diagnosis saat discharge adalah sesuai ICD-9 untuk benda asing yang tertinggal pasca tindakan medik/operatif Denominator: Semua medical & surgical discharges yang didefinisikan dengan DRG spesifik Angka empirik 9 per 100.000 population at risk Risk adjustment: Umur, jenis kelamin, DRG, kategori komorbiditas Apa manfaat indikator patient safety? Laporan dari ACHS menunjukkan beberapa perubahan yang signifikan setelah diterapkannya indikator patient safety dalam sistem pelayanan kesehatan. Antara lain adalah pada area-area berikut (ACHS, 2003): Indikator anestesi. Melalui indikator ini maka proporsi pasien yang menjalani pre anesthetic assessment sebelum tindakan pembedahan, meningkat dari 79% menjadi 93,6%.
9
Ditemukan
pula
adanya
peningkatan
kunjungan
dokter
pasca
tindakan
pembedahan dalam 3 tahun terakhir, yang semula hanya 22% menjadi 69%. Indikator kegawatdaruratan medik Setelah digunakannya indikator ini proporsi pasien yang mendapatkan terapi thrombolitik dalam periode 1 jam setelah tiba di unit gawat darurat meningkat dari 72% pada tahun 1998 menjadi 80% pada tahun 2002. Indikator oftalmologi Dari indikator ini diketahui bahwa proporsi pasien dirawat inap selama 3 hari atau lebih pasca bedah katarak menurun hingga 0,3%. Indikator pasien rawat inap dengan gangguan jiwa Setelah diterapkannya indikator ini jumlah pasien rawat inap di bangsal psikhiatri yang meninggal berkurang dari 0,26% menjadi 0,1%. Indikator bedah Ditemukan penurunan proporsi pasien dengan gambaran histologi apendiks normal pasca apendiktomi dari 21% menjadi 15% Selama 5 tahun terakhir angka kematian pada coronary artery bypass grafting (CABG) menurun dari 2,1 menjadi 1,8%. Dari berbagai data di atas semakin jelas bahwa IPS sangat diperlukan dalam sistem pelayanan kesehatan, baik dalam konteks clinical governance atau peningkatan mutu pelayanan kesehatan berkelanjutan maupun sebagai bagian dari upaya pelayanan kesehatan untuk menjamin bahwa setiap tindakan medik yang dilakukan selain efficacious juga aman bagi pasien. KESIMPULAN Data empirik membuktikan bahwa dalam sistem pelayanan kesehatan masalah-masalah medical error ternyata sering terjadi dengan derajat yang beragam, mulai dari yang ringan dan tidak menimbulkan trauma hingga yang berat dan menyebabkan kecacatan atau kematian pada pasien. Melalui telaah-telaah ilmiah serta bukti-bukti epidemiologi mengenai medical error dan potensi risiko tindakan medik yang ada, beberapa lembaga yang peduli terhadap masalah
10
tersebut kemudia menyusun berbagai upaya untuk mengantisipasi medical error. Hal ini umumnya dilakukan dalam upaya peningkatan mutu pelayanan secara berkesinambungan serta menjamin bahwa selain efficacious, suatu tindakan medik haruslah aman bagi pasien. Indikator patient safety (IPS) dikembangkan untuk mengidentifikasi masalahmasalah medik yang berpotensi menimbulkan outcome yang tidak diharapkan. Atas dasar identifikasi tersebut maka umpan balik secara berkala dapat dilakukan kepada unit-unit pelayanan kesehatan sebagai alert agar mengubah strategi pelaksanaan tindakan medik yang lebih aman dan mampu meminimalkan risiko bagi pasien. DAFTAR PUSTAKA
1. Andrews LB, Stocking C, Krizek T, Gottlieb L, Krizek C, Vargish T, et al. (1997) An alternative strategy for studying adverse events in medical care. Lancet; 349: 309.13.
2. Bates DW, Cullen DJ, Laird N, Petersen LA, Small SD, Servi D, (1995). Incidence of adverse drug events and potential adverse drug events. JAMA; 274: 29. 34.
3. Bhasale AL, Miller GC, Reid SE, Britt HC. (1998) Analysing potential harm in Australian general practice: an incident. monitoring study. Med J Aust;169:73-6.
4. Brennan TA, Leape LL, Laird L, et al. Incidence of adverse events and negligence in hospitalized patients: results of the Harvard Medical Practice Study I. N Engl J Med 1991; 324 : 370. 6. 5. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). 2004. Guidelines for Preventing HealthCare–Associated Pneumonia, 2003. Atlanta: Centers for Disease Control and Prevention. 6. Chassin MR Quality of care: Time to act. JAMA 266, 3472-3473, (1991). 7. Classen, David C.; Pestonik, Stanley, L.; Evans, Scott; Burke, John P., (1997) Computerized Surveillance of Adverse Drug Events in Hospital Patients. JAMA. 266(20):2847–2851. 8. Donabedian A Explorations in Quality Assessment and Monitoring Vol. 1 Ann Arbor, Mich.: Health administration Press. 1980 9. Dubois, Robert W. and Brook, Robert H. (1988) Preventable Deaths: Who, How Often, and Why? Ann Intern Med. 109:582–589.
10. Institute of Medicine (IOM). Crossing the quality chasm. Washington, DC: National Academy Press. 2001
11
11. Kable AK, Gibberd RW and Spigelman AD Adverse events in surgical patients in Australia. International J. for Quality in Health Care 14, 269-276, (2002) 12. Kohn LT, Corrian JM, and Donaldson MS (Eds).To err is human: building a safer health system. National Academy of Sciences 2000. 13. McGuire, Hunter H.; Horsley, J. Shelton; Salter, David R. (1992) Measuring and Managing Quality of Surgery: Statistical vs Incidental Approaches. Arch Surg. 127:733–737. 14. Mermel LA. 2000. Prevention of intravascular catheter-related infections. Annals of Internal Medicine 132:391-402; Correction at 133:395. 15. O’Grady NP et al. 2002. Guidelines for the prevention of intravascular catheter-related infections. MMWR 51(RR-10 16. Thomas, Eric J.; Studdert, David M.; Newhouse, Joseph P. (1999) Costs of Medical Injuries in Utah and Colorado. Inquiry. 36:255–264. 17. Wilson R. McL., Runciman W.B., Gibberd R.W., Harrison B.T., Newby L., and Hamilton J.D. The Quality in Australian Health Care Study. The Medical Journal of Australia (1995) 163(9), 458-471. 18. Weber DJ et al. 2002. Healthcare-acquired pneumonia. Current Treatment Options in InfectiousDiseases 4:141-51. 19. Wilson RM, Runciman WB, Gibberd RW, et al. The quality in Australian healthcare study. Med J Aust 1995;163:458.71.
12